Pedang Asmara Jilid 17 karya Kho Ping Hoo - Tanpa banyak cakap lagi Yuci lalu mengikuti keluarga calon isterinya rnasuk ke dalam gedung, sedangkan Tiong Sin tinggal di luar, bahkan lalu berjalan-jalan meninggalkan pasukan. Biarpun dia kelihatan tenang saja. namun di dalam hatinya dia amat gelisah. Rahasia pembunuhan terhadap dua orang gadis kembar dan ayah mereka telah diketahui.
Dan hal itu berarti bahaya besar baginya. Kalau tuan rumah mengerahkan pasukan untuk menangkapnya atau membunuhnya, tentu Yuci tidak akan melindunginya, dan pasukannya pun tidak akan mau bergerak membelanya tanpa perintah Yuci! Dia seorang diri mana mungkin akan mampu menyelamatkan diri?
Sementara itu, dengan jantung berdebar Yuci masuk ke ruangan dalam bersama keluarga tunangannya. Diam-diam dia mengerjakan pikirannya. Apa yang harus dia lakukan dalam menghadapi keadaan ini? Pembunuhan yang dilakukan Tiong Sin terhadap dua orang gadis kembar dan ayah mereka itu telah diketahui oleh Maimi dan orang tuanya!
Setelah mereka duduk mengeliling meja dan semua pelayan disuruh keluar, hanya empat orang di antara mereka, yaitu Maimi dan ayah ibunya, dan Yuci, pemuda ini lalu berkata dengan lembut.
"Sebelum membicarakan urusan orung lain, sebaiknya kalau saya mulai dengan urusan kita lebih dulu." Dia mengeluarkan surat balasan ayahnya dan menyerahkannya kepada Pangeran Pang Sun. Surat itu berbunyi antara lain bahwa Panglima Chepe Noyon menyetujui perjodohan antara puteranya dan puteri Pangeran Pang Sun, akan tetapi minta agar pelaksanaan pernikahannya dilakukan setelah perang selesai, atau setelah Kerajaan Cin berhasil ditundukkan!
"Ayah berkata bahwa seorang perajurit sejati selalu menaruh kepentingan pribadinya di bawah kepentingan Negara. Karena negara sedang perang, maka tidak sepatutnya kalau pernikahan dilangsungkan sebelum perang selesai dengan kemenangan. Saya harap Paman dan Bibi, juga dinda Maimi setuju dengan pendapat ayah ini."
Pangeran Pang Sun dan isterinya mengangguk. "Kami menghargai pendapat ayahmu. Memang sebaiknya demikianlah. Melihat kekuatan balatentara Yang Mulia Jenghis Khan, saya yakin bahwa dalam waktu dekat Kerajaan Cin akan dapat ditundukkan. Dan sesudah itu, kita merayakan pernikahan kalian sekalian merayakan kemenangan kita bersama!"
Setelah menceritakan sedikit jalannya pertempuran di mana dia ikut juga memimpin pasukan, Yuci lalu berkata. "Nah, sekarang kita bicarakan tentang Bu Tiong Sin."
"Sudah kukatakan bahwa dia bukan manusia baik-baik," Maimi berkata dengan cemberut. "Terbuktilah kini, dia membunuh dengan kejam dua orang pembantuku dan juga ayah mereka. Padahal, Siauw Cin dan Siauw Lin itu adalah kakak beradik kembar yang seperti saudaraku sendiri!" Jelas terkandung kemarahan dan sakit hati dalam ucapan Puteri Maimi itu.
Yuci menarik napas punjang. Tiong Sin ternyata membuat gara-gara saja dan dialah yang merasa amat tidak enak terhadap tunangan dan orang tuanya. Juga peristiwa ini sungguh amat berbahaya, dapat merenggangkan hubungan yang sudah terjalin demikian baiknya antara bangsa Mongol dan suku Liao-tung.
"Aku merasa menyesal sekali datang terlambat dan tidak sempat mencegah terjadinya pembunuhan itu. Aku dan pasukanku juga terkejut dan memaksa Tiong Sin membuat pengakuan mengapa dia melakukan hal itu, kalau dia tidak mau mengaku, aku akan menjadikannya tawanan untuk diadili olen Sribaginda sendiri."
"Dan dia membuat pengakuan?" Maimi bertanya, agak cepat karena jantungnya berdebar tegang, khawatir kalau-kalau Tiong Sin mengakui semuanya, bahwa bukan hanya Siauw Cin dan Siauw Lin yang menjadi korban, melainkan ia sendiri juga!
Yuci mengangguk. Terpaksa dia harus menceritakan sikap yang tidak patut dari kedua orang gadis itu, bukan sekali-kali untuk membela Tiong Sin, melainkan untuk membela diri mengapa dia membiarkan saja Tiong Sin dan tidak menentangnya.
"Dia menceritakan bahwa dua orang gadis Han itu jatuh cinta kepadanya dan.... mereka menyerahkan diri kepada Tiong Sin. Setelah kami berangkat meninggalkan tempat ini, di tengah perjalanan, dua orang gadis Han itu bersama ayah mereka menyusul dan mereka minta bicara sendiri dengan Tiong Sin. Kami hanya melihut dari jauh. Menurut keterangan Tiong Sin, dua orang gadis itu dan ayah mereka memaksa kepada Tiong Sin untuk mengawini mereka. Dia menolak dan dia pun diserang oleh mereka bertiga. Tiong Sin membela diri dan cepat sekali tiga orang itu roboh dan tewas, kami tidak sempat mencegahnya. Dan kami memang melihat sendiri bahwa mereka yang lebih dulu menyerang."
"Dia bohong! Memang manusia jahat sekali Bu Tiong Sin itu! Ceritanya itu semua bohong!"
"Bohong? Apa yang kaumaksudkan, dinda Maimi?" tanya Yuci dengan heran.
"Siauw Cin dan Siauw Lin telah membuat pengakuan kepadaku sambil menangis bahwa pada malam harinya setelah kami menerima kunjungan kalian, iblis jahat Tiong Sin itu telah memasuki tenda mereka dan menculik mereka keluar, lalu memperkosa mereka. Tentu saja aku hendak merahasiakan aib yang menimpa diri mereka, hanya memesan kepadamu agar berhati-hati karena iblis itu jahat dan berbahaya. Kemudian, ketika rombonganmu meninggalkan kami, aku melihat Siauw Cin dan Siauw Lin menyelinap pergi. Aku merasa curiga dan diam-diam aku menyuruh seorang pembantu memata-matai mereka dan pembantuku itulah yang melihat betapa dua orang gadis itu bersama ayah mereka dibunuh oleh Tiong Sin."
Mendengar keterangan ini, wajah Yuci menjadi merah sekali. Dahulu dia memang percaya kepada keterangan Tiong Sin karena menganggap hal itu masuk akal. Tidak mustahil seorang pemuda setampan dan segagah Tiong Sin akan menarik perhatian dua orang gadis kembar itu yang jatuh cinta. Akan tetapi, dengan adanya keterangan dari Maimi, tentu saja semua keterangan Tiong Sin itu tidak ada artinya lagi. Tentu saja dia lebih percaya akan kebenaran keterangan tunangannya.
"Keparat! Kalau begitu dia telah melakukan kejahatan! Aku akan menangkapnya dan menyerahkannya kepada Paman Pangeran untuk diadili!" Setelah berkata demikian, Yuci berlari keluar dan mencari-cari.
Akan tetapi Tiong Sin tidak nampak bayangannya! Ketika Yuci bertanya-tanya, dia mendengar bahwa Tiong Sin baru saja pergi meninggalkan tempat itu menuju ke selatan. Dengan marah Yuci lalu mengumpulkan tiga puluh orang anak buahnya, dan dengan pasukan berkuda ini, dia lalu melakukan pengejaran ke selatan.
Tiong Sin memang telah melarikan diri. Pemuda ini merasa tidak enak sekali ketika Yuci tidak mengajaknya melakukan pembicaraan dengan Pangeran Pang Sun dan dia sudah mulai curiga melihat sikap ayah Maimi itu. Bukan saja rahasianya membunuh dua orang gadis kembar dan ayah mereka telah ketahuan, namun agaknya peristiwa malam itu juga telah diketahui. Dia tahu bahwa kalau sampai dia diserang di situ, dia takkan mampu menyelamatkan diri.
Sebagai seorang yang tergolong penting, dengan alasan ada keperluan mendesak dengan Yuci, tidak sukar bagi Tiong Sin untuk memasuki rumah Pangeran Pang Sun. Para petugas jaga sudah mengenal dia sebagai tamu agung, maka mereka bahkan memberi hormat ketika Tiong Sin masuk. Pemuda ini menyelinap dan ketika berada di luar ruangan di mana Yuci bercakap-cakap dengan keluarga itu, dia berhenti dan mendengarkan.
Ketika dia mendengar laporan Maimi tentang dirinya, bahkan dengan jelas mendengar nada suara penuh sakit hati dari puteri itu, bahwa dia telah memperkosa dua orang gadis kembar, tahulah dia banwa dia berada dalam bahaya. Cepat dia keluar dan setelah tiba di luar, tanpa pamit dia lalu pergi meninggalkan tempat itu. Persetan dengan kedudukan dan kemuliaan yang dijanjikan Jenghis Khan kepadanya.
Pertama Jenghis Khan adalah seorang Mongol, bukan bangsa Han dan belum tentu akan memberikan kedudukan tinggi kepada seorang Han. Kedua, setelah terjadi peristiwa dengan gadis-gadis di suku Liao-tung itu, tentu dia mendapat nama buruk dan mungkin akan mendapat marah dan hukuman pula dari Jenghis Khan.
Dan dia pun tidak begitu tertarik dengan perang-perangan itu, terlalu berbahaya baginya dengan harapan balas jasa yang belum menentu. Bagaimana kalau pasukan Jenghis Khan kalah? Tentu dia tidak mendapatkan apa-apa dan dia selalu terancam maut dalam perang itu.
Akan tetapi, baru saja dia mulai mendaki sebuah bukit, tiba-tiba saja dia mendengar derap kaki kuda di belakang nya dan tak lama kemudian, Yuci bersama tiga puluh orang perajurit telah berloncatan dari atas kuda dan mengepungnya, Tiong Sin masih bersikap tenang dan dia pura-pura merasa heran. "Yuci, apa yang kau lakukan ini?"
"Bu Tiong Sin, manusia jahat! Tidak perlu lagi engkau berpura-pura, menyerahlah untuk kutangkap dan kuserahkan kepada Paman Pangeran agar perbuatanmu yang terkutuk itu dapat diadili!"
"Hemmm, Yuci! Perbuatan terkutuk yang bagaimana maksudmu?"
"Keparat! Engkau telah memperkosa dua orang gadis kembar, kemudian ketika mereka menuntut, engkau malah membunuh mereka dan ayah mereka! Menyerahlah!"
Tiong Sin tertawa. "Ha-ha-ha, Yuci, mengapa engkau begini bodoh? Dengan mudah saja aku dapat memperoleh wanita cantik yang kusukai, untuk apa aku harus melakukan perkosaan? Apalagi terhadap gadis-gadis Liao-tung yang sedang didekati oleh Sribaginda Jenghis Khan? Tidak, aku tidak memperkosa mereka. Engkau ditipu oleh Puteri Maimi, calon isterimu itu. Aku tidak memperkosa, akan tetapi mereka berdua, gadis kembar itu, menyerahkan diri dengan suka rela."
"Bohong.....!"
"Sama sekali tidak, karena aku mempunyai saksi. Saksinya adalah Puteri Maimi sendiri! Ia tahu benar bahwa aku tidak memperkosa dua orang gadis kembar itu, melainkan kami melakukan hubungan atas dasar suka sama suka, secara suka rela....."
"Tiong Sin! Apa maksudmu bahwa dinda Maimi menjadi saksi?" Yuci berseru, lebih merasa terkejut dan heran daripada marah.
Tiong Sin tersenyum. Tiba saatnya untuk membalas dendam kepada Puteri Maimi itu yang membuka rahasianya. "Apa maksudku? Jelas, karena Maimi sendiri juga ikut dalam pesta permainan cinta itu. Ha ha ha, bahkan ialah yang lebih dulu menyerahkan diri dengan suka rela kepadaku! Kalau tidak percaya, kau tanya padanya! Engkau akan mengawini seorang gadis yang bukan perawan lagi, Yuci!"
"Keparat jahanam!" Yuci. membentak marah. "Serang dan bunun dia!" perintahnya kepada anak buahnya. Dan Tiong Sin terpaksa harus memutar pedangnya untuk melindungi dirinya ketika hujan senjata datang menyerangnya.
Akan tetapi, tiga puluh orang perajurit yang dibawa Yuci adalah perajurit pilihan sehingga betapapun lihainya Tiong Sin memutar pedangnya, tetap saja dia terdesak dan terhimpit. Apalagi Yuci selalu menyerangnya dengan luncuran anak panah yang amat berbahaya. Sudah dua batang anak panah yang dilepas Yuci, dapat ditangkisnya dan anak panah itu menyeleweng dan mengenai dua orang perajurit sendiri sehingga mereka itu roboh dan tewas.
Lebih banyak lagi yang dielakkan oleh Tiong Sin. Pemuda ini mulai menjadi panik. Sukar baginya untuk dapat membobolkan kepungan itu, apalagi dia tahu bahwa kalau dia melarikan diri tentu Yuci dan pasukannya akan mengejar dan mempergunakan anak panah, dan hal ini akan berarti dia celaka. Pada saat itu, kembali para perajurit menerjangnya dari empat penjuru. Ketika dia memutar pedang menangkis, empat orang itu terpental dan mereka melemparkan tubuh ke belakang.
Dan empat orang perajurit lain telah menggantikan tempat mereka dan menyerang. Ketika Tiong Sin menangkis lagi, kembali yang empat ini digantikan empat orang lain. Terkejutlah Tiong Sin. Dengan cara demikian, dia tidak akan pernah berhenti tergerak dan tentu dia akan kehabisan tenaga. Maka, begitu ada empat orang lain menyerang lagi, dia bukan saja mengelak dan menangkis, juga pedangnya berkelebat cepat, membalas serangan dan empat orang itu pun mengeluh dan roboh mandi darah.
Akan tetapi, pada saat Tiong Sin sibuk membalas serangan, daya tahannya berkurang dan pada saat itulah, melalui suatu "lubang", sebatang anak panah menerobos masuk dan tahu-tahu telah menancap dan menembus paha kiri Tiong Sin! Kiranya Yuci memang mempergunakan siasat itu sambil mengintai dan membidikkan anak panahnya dan pada saat yang tepat, mencari lubang dan menyerang dengan tiba-tiba, sehingga dia berhasil melukai paha Tiong Sin walaupun untuk itu dia harus mengorbankan empat orang anak buahnya.
"Aduhhh.....!" Tiong Sin berseru kaget. Maklum bahwa keadaannya amat berbahaya, dan melarikan diri takkan ada gunanya, dia lalu mengamuk! Pedangnya berkelebat dengan kecepatan kilat, membentuk gulungan sinar yang membungkus dirinya. Yuci maklum akan kelihaian bekas rekan ini, maka pemuda yang cerdik dan pandai dalam hal ilmu perang ini berseru.
"Longgarkan kepungan, kita serang dengan anak panah!" Yuci memang cerdik sekali. Dia tidak ingin kehilangan lebih banyak anak buah lagi, maka dia perintahkan agar kepungan dilonggarkan. Dengan kepungan jarak jauh ini, pedang di tangan Tiong Sin tidak akan mampu melukai anak buahnya, dan sebaliknya, Tiong Sin harus terus menggerakkan pedang untuk melindungi tubuhnya dari sambaran anak panah. Kalau hal ini terus berlangsung, tak lama lagi Tiong Sin akan kehabisan napas dan akan roboh sendiri!
Tiong Sin makin kaget. Dia tadinya ingin mengadu nyawa, kalau mungkin, sebelum dia roboh, dia harus dapat membunuh Yuci terlebih dahulu. Akan tetapi, kini Yuci mengadakan pengepungan jarak jauh dan dia pun tahu apa artinya itu. Artinya, dia tidak akan mampu membalas, dan akhirnya dia akan roboh, oleh anak panah para pengeroyoknya atau oleh karena kehabisan tenaga. Dia menjadi semakin panik.
Pada saat yang amat gawat bagi keselamatan Tiong Sin itu, tiba-tiba saja muncul seorang kakek berusia enam puluh tahun. Tubuhnya tinggi kurus dan wajahnya suram muram dan dingin. Dia muncul bersama seorang gadis berusia kurang lebih delapan belas tahun, gadis yang berpakaian mewah dan indah, wajahnya manis sekali dan begitu mereka muncul, keduanya sudah menggerakkan golok di tangan mereka dan para pengepung kocar-kacir!
Lebih lagi golok di tangan kakek itu, sebatang golok yang ketika diputar mengeluarkan sinar putih dan yang lebih menyeramkan, golok ini mengeluarkan hawa dingin yang membuat orang yang berada di dekatnya menggigil! Dalam waktu singkat, belasan orang pengeroyok roboh tewas.
Melihat ini, Yuci lalu memberi aba-aba agar sisa anak buahnya mundur, dan memimpin mereka untuk melarikan diri. Yuci maklum bahwa kalau dilanjutkan, semua anak buahnya akan tewas dan dia sendiri pun tidak akan menang, maka dia memimpin sisa anak buahnya mundur untuk mencari bala bantuan. Untuk menghadapi Tiong Sin dan dua orang pembantu yang sakti itu, dia harus mengerahkan lebih banyak anak buahnya!
Kakek dan gadis itu tidak mempedulikan mereka yang melarikan diri. Mereka menghampiri Tiong Sin. Pemuda ini sudah menyarungkan pedangnya, berdiri dengan tegak. Anak panah menancap dan menembus paha kirinya. Ketika dia mencoba melangkah, tubuhnya terhuyung, maka dia pun berdiri tegak saja dan hanya memandang kepada dua orang yang menghampirinya itu. Dia tidak tahu siapa mereka, akan tetapi jelas merekalah yang menyelamatkan dirinya, maka dia pun segera memberi hormat dengan kedua tangannya.
"Aku Bu Tiong Sin menghaturkan terima kasih kepada Lo-cian-pwe (Orang Tua Gagah) dan kepada Li-hiap (Nona Pendekar) yang telah menyelamatkan nyawaku dari tangan orang-orang Mongol itu!" Dia sengaja menyebut orang-orang Mongol karena dia merasa yakin, melihat wajah dan pakaian mereka bahwa kekek dan gadis itu tentulah orang-orang Han.
Akan tetapi, kakek dan gadis itu tidak menjawab, juga tidak membalas penghormatannya. Terutama kakek itu, sikapnya sungguh membuat Tiong Sin bergidik. Kakek itu tubuhnya kurus kering seperti tinggal tulang terbungkus kulit, mukanya kerlputan dan matanya nampak cekung. Muka seperti tengkorak, apalagi mulut itu selalu cemberut, mata itu selalu sayu dan muram. Wajah yang dingin! Dalam pandang mata itu terpancar keangkuhan dan ketinggian hati bercampur kekerasan.
Gadis di sampingnya memiliki wajah yang manis, dan biarpun pakaiannya mewah dan tubuhnya penuh perhiasan, namun mata Tiong Sin yang berpengalaman dapat melihat bahwa di balik pakaian itu terdapat tubuh yang bentuknya indah menggairahkan. Akan tetapi, juga gadis ini memiliki sikap dan pandang mata yang dingin. Begitu dinginnya membuat Tiong Sin sendiri bergidik, seolah-olah dia menghadapi dua orang yang bangkit dari kubur, walaupun gadis itu memiliki bibir kemerahan dan wajah yang manis segar.
"Kui Lan, kita apakan dia ini? Kita bunuh sajakah?" pertanyaan itu keluar dengan suara yang datar dan dingin menyeramkan dan juga teramat mengejutkan hati Tiong Sin.
"Jangan, Ayah." kata gadis itu, juga dengan suara dingin, seolah-olah tidak peduli dan membicarakan urusan kecil, bukan mati hidupnya seseorang. "Kita sudah kepalang menolongnya, kenapa tidak membawanya pergi dan mengobati lukanya?"
"Huh, merepotkan saja....." Kakek itu mencela.
Dengan hati gelisah bukan main, dan dia maklum bahwa dia berhadapan dengan dua orang manusia aneh, Tiong Sin lalu menjatuhkan dirinya berlutut, bukan hanya karena gelisah, akan tetapi juga karena pahanya terasa nyeri bukan main dan terdorong pula oleh kecerdikannya.
"Mohon pertolongan Lo-cian-pwe dan Li-hiap. Kalau orang-orang Mongol itu datang kembali, aku tentu mereka bunuh. Aku tidak berdaya karena terluka. Kalau Ji-wi (Kalian Berdua) sudi menolongku, aku Bu Tiong Sin berjanji akan mentaati segala perintah Jiwi."
"Huh, janji palsu....." Kakek itu menggerutu. "Kui Lan, kita bunuh saja orang ini dan kita pergi....."
"Tidak, Ayah. Panggullah dia dan kita bawa pergi, siapa tahu kelak dia berguna bagi Ayah. Jangan kepalang tanggung menolong, Ayah. Hayolah!"
Biarpun dengan sikap tak senang, kakek itu lalu menggerakkan tangannya cepat sekali dan tahu-tahu Tiong Sin merasa tubuhnya lemas karena tertotok Dia terkejut bukan main, akan tetapi di lain saat, tubuhnya telah dipanggul oleh kakek itu dan dibawa lari. Gadis itu lari di sampingnya dan melihat cara kedua orang itu lari, diam-diam Tiong Sin merasa kagum. Mereka lari seperti terbang saja!
Dan dia pun merasa gembira bukan main. Ingin rasanya dia dapat bergerak untuk merangkul dan mencium bibir yang kemerahan itu, bibir yang telah menyelamatkannya karena tanpa adanya bibir manis itu yang meminta, tentu sekarang dia telah mati konyol di bawah tangan kakek yang kejam dan berwatak dingin seperii salju ini!
Ketika Yuci datang kembali ke tempat itu bersama seratus orang lebih pasukan pilihan, dia tidak menemukan lagi Tiong Sin dan dua orang penolongnya itu. Mereka pergi tanpa meninggalkan jejak, dan terpaksa, dengan hati mengkal Yuci menyuruh anak buahnya mengubur mereka yang tewas dan mengobati mereka yang terluka.
Yuci merasa penasaran bukan main. bukan saja karena Tiong Sin berhasil melarikan diri, akan tetapi juga apa yang didengarnya dari Tiong Sin. Maimi juga telah menyerahkan dirinya kepada Tiong Sin? "Engkau akan mengawini gadis yang tidak perawan lagi, Yuci!" Ucapan ini selalu berdengung di telinganya! Benarkah keterangan itu?
Rasanya tidak mungkin! Tidak mungkin seorang gadis seperti Maimi begitu mudah, menyerahkan diri begitu saja kepada seorang pria seperti Tiong Sin! Tidak mungkin! Tiong Sin pasti hanya membual saja, untuk membuat dia penasaran, agar dia tidak melanjutkan pernikahannya dengan Maimi! Bagaimanapun juga, dia harus menceritakan fitnah yang dilontarkan Tiong Sin itu kepada tunangannya. Dia harus mendengar sendiri penyangkalan Maimi!
Demikianlah, ketika kembali dan bertemu dengan Maimi, dia mengajak tunangannya untuk bicara dengan empat mata saja. Setelah kesempatan itu tiba, dia menceritakan tentang fitnah yang dilontarkan Tiong Sin.
"Ketika kudesak, Tiong Sin tetap menyangkal, dinda Maimi. Dia tetap mengatakan bahwa dia tidak memperkosa kedua orang gadis kembar itu, melainkan bahwa dua orang gadis itulah yang dengan suka rela menyerahkan diri karena jatuh cinta padanya. Dan dia mengatakan pula bahwa dia mempunyai seorang saksi, dan bahkan saksi itu pun telah menyerahkan diri kepadanya, dan saksi itu adalah engkau, dinda Maimi!" Berkata demikian, Yuci menatap wajah tunangannya dengan tajam penuh selidik.
Sejak tadi, Puteri Maimi sudah siap siaga karena ia sudah menduga bahwa kalau tersudut, tentu Tiong Sin akan membuka rahasia itu untuk menolong diri sendiri. Maka, mendengar ucapan itu, ia lalu bangkit dan mukanya berubah merah sekali.
"Jahanam keparat iblis Bu Tiong Sin itu!" bentaknya marah. "Apakah Kanda dapat percaya saja kepada ucapan iblis itu? Percayakah Kanda bahwa seorang wanita seperti aku ini... begitu saja menyerahkan diri kepada seorang seperti dia?"
Melihat sikap ini saja, legalah hati Yuci. "Tentu saja tidak, dinda Maimi," katanya sambil menarik tangan Maimi dan menyuruhnya duduk kembali. "Aku tidak percaya dan menduga bahwa tentu dia melempar fitnah...."
"Jelas dia melempar fitnah untuk menolong diri sendiri atau... atau ibis itu iri kepadamu maka ingin agar hubungan diantara kita putus. Keparat dia!"
"Aku pun menjadi marah dan menyerangnya bersama para perajurit. Akan tetapi dia memang tangguh sekali. Biarpun anak panahku telah melukai paha kirinya, dia tidak roboh dan masih melawan. Kami mengepungnya dan pasti kami dapat menangkapnya kalau saja tidak muncul seorang kakek dan seorang gadis aneh itu. Mereka amat lihai, bahkan kakek itu sakti, mereka membunuh belasan orang anak buahku. Terpaksa aku mengajak sisanya mundur untuk mencari bala bantuan. Dan ketika aku kembali ke sana, Tiong Sin sudah tidak ada, demikian pula kakek dan gadis itu."
Memang, percakapan dengan Maimi itu, penyangkalan gadis itu bahwa ia telah menyerahkan diri kepada Tiong Sin, bahwa ia bukan perawan lagi seperti yong dikatakan Tiong Sin, telah melegakan hati Yuci. Akan tetapi, bagaimanapun juga, masih ada sedikit keraguan di dalam hatinya dan dia tahu bahwa keraguan itu baru akan dapat terhapus bersih sama sekali kalau dia sudah menjadi pengantin dengan Maimi. Baru dia akan mendapatkan bukti apakah fitnah yang dilontarkan Tiong Sin itu benar ataukah palsu!
Puteri Miami bukan tidak memikirkan hal ini. Ia pun diam-diam merasa gelisah bukan main. Tiong Sin, jahanam itu, telah membuka rahasianya dan Yuci telah mendengar bahwa ia telah menyerahkan diri kepada Tiong Sin! Biarpun saat ini Yuci percaya kepadanya dan menganggap keterangan Tiong Sin itu hanya fitnah belaka, akan tetapi bagaimana nanti kalau tiba hari pernikahan mereka?
Apa yang akan dijadikan alasan kepada Yuci kalau calon suami itu mengetahui buktinya bahwa ia bukanlah orang perawan lagi? Tentu Yuci akan teringat kepada keterangan Tiong Sin, dan ia merasa ngeri untuk membayangkan akibatnya! Puteri Maimi bukan seorang gadis yang bodoh. Ia lalu menghubungi seorang nenek yang terkenal ahli menolong wanita yang melahirkan, dan juga ahli pengobatan untuk kaum wanita.
Dengan cerdik Maimi menceritakan kepada nenek dukun itu bahwa ada seorang puteri keluarga ayahnya yang terjatuh ketika naik kuda dan ia mengalami pendarahan. "Ia khawatir kalau kelak di waktu ia menikah, suaminya akan mengira bahwa ia bukan perawan lagi, Nek. Oleh karena itu, ia minta tolong kepadaku agar suka berusaha mencarikan obat dan cara agar kelak ia tidak dicurigai suaminya."
"Siapakah gadis itu, Nona Puteri?" tanya si nenek.
Maimi mengerutkan alisnya. "Sahabat dan juga masih keluargaku itu tidak menghendaki dirinya dikenal orang. Nek, apakah engkau tidak percaya kepada aku?"
Pertanyaan ini agak ketus dan tentu saja nenek itu menjadi ketakutan. "Ah, tentu saja saya percaya, Nona. Saya hanya ingin tahu berapa usianya, agar saya dapat memberi obat yang tepat...."
"Hemmm, usianya sebaya dengan aku, Nek. Dan ingatlah. Kalau engkau suka memberi obatnya, engkau tidak boleh menceritakan hal ini kepada siapa pun juga? Kalau engkau membocorkan rahasia sahabatku ini, awas kau, aku tidak akan mengampunimu, karena saudaraku itu tentu akan marah sekali kepadaku."
"Saya mengerti, Nona, saya mengerti bahwa semua ini harus dirahasiakan. Saya akan memberi ramuan obat, sebanyak tiga bungkus. Setiap bungkus dimasak dengan air dua mangkok, dibiarkan mendidih sampai tinggal setengah mangkok lalu diminum. Untuk tiga hari berturut-turut. Selain ini, kelak kalau saudaramu itu menikah, usahakan agar malam pengantin itu tepat pada waktu ia datang bulan. Dengan demikian, suaminya tentu tidak akan merasa curiga."
Betapa cerdiknya wanita kalau menghadapi pria, dan betapa bodohnya pria, apalagi kalau dia sudah tergila-gila kepada seorang wanita. Segala akal dan muslihat wanita untuk menarik perhatian pria, dan bagaikan seekor laba-laba, kalau sudah berhasil menangkap korban, tentu akan dibelit agar korban itu melekat dan jangan lepas lagi!
"Brukkk.....!!" Tiong Sin menahan keluhannya walaupun dia merasa nyeri sekali ketika tubuhnya dilemparkan begitu saja ke atas tanah oleh kakek tinggi kurus yang tadi memondongnya dan membawanya lari atas desakan gadis manis berpakaian serba hitam yang mewah itu.
"Ihhh, Ayah! Dia terluka kenapa Ayah banting?"
"Huh, merepotkan saja dia!" Kakek itu bersungut-sungut.
"Ayah, dia dimusuhi orang-orang Mongol dan dia orang Han, sudah sepatutnya kita menolongnya. Pula, tidakkah Ayah melihat betapa ilmu pedangnya tadi cukup lihai?"
"Huh, permainan kanak-kanak!"
Bukan main mendongkol rasa hati Tiong Sin terhadap kakek itu. Begitu sombongnya, begitu dingin seperti bukan seorang manusia. Akan tetapi, puterinya itu sungguh manis. Pakaian sutera hitam itu membuat kulit muka, leher dan tangan nampak begitu halus mulus dan putih. Dan gadis itu demikian baik kepadanya.
"Tentu saja kalau dibandingkan denganmu, ilmunya seperti permainan kanak-kanak, Ayah. Sudahlah, tolong obati dulu luka di pahanya itu. Lihat, anak panah itu masih menancap di pahanya!"
Gadis itu lalu berlutut dekat Tiong Sin dan memeriksa paha yang terluka. Dengan cekatan, ia memegang kain celana di bagian paha dan sekali renggut, celanaitu pun robek di bagian yang terluka. Melihat betapa mudahnya jari-jari tangan itu merobek celananya yang terbuat dari kain yang kuat, Tiong Sin maklum bahwa gadis ini memiliki tenaga yang hebat.
"Ayah, keluarkan obatmu, aku yang akan mencabut anak panah ini!" kata pula gadis itu kepada kakek yang nampak ogah-ogahan itu. Dengan cekatan pula, jari-jari tangan gadis itu bergerak bagaikan ular mematuk.
Dan tiba-tiba Tiong Sin merasa betapa kaki kirinya, dari pinggul sampai ke bawah, menjadi lumpuh dan bahkan tidak merasakan apa-apa! Dia kagum sekali karena maklum bahwa gadis itu telah melakukan penotokan pada jalan darahnya, membuat dia kehilangan perasaan pada kaki kirinya, ini merupakan suatu ilmu tiam-hiat-hoat (ilmu menotok jalan darah) yang amat tinggi.
Setelah menotok dua jalan darah di pangkal paha Tiong Sin, membuat kaki itu lumpuh dan tidak merasakan apa-apa, gadis itu lalu mematahkan ujung anak panah yang menembus, ujung yang ada kaitannya. Cara ia mematahkan ujung anak panah itu pun menunjukkan bahwa di dalam jari-jari tangan yang halus kecil panjang meruncing itu tersembunyi tenaga yang dahsyat.
Kemudian, sekali tarik pada gagang anak panah, maki senjata itu pun tercabut dan Tiong Sin tidak merasakan nyeri, seolah-olah kakinya telah mati. Kakek tinggi kurus itu mengeluarkan obat bubuk dalam bungkusan kertas, obat bubuk warna putih, dan dua butir pil hitam.
Gadis itu menerimanya dan menyerahkan dua butir pil kepada Tiong Sin. "Telanlah dua butir pil ini dan kau akan bebas dari keracunan."
"Terima kasih....." kata Tiong Sin dan tanpa ragu-ragu lagi dia pun memasukkan dua butir pil itu ke mulutnya. Tercium bau yang amat tidak enak, seperti bau kotoran kerbau, akan tetapi dia menelannya dengan cepat tanpa mengeluh.
"Sekarang bersiaplah. Aku akan membebaskan totokan dan akan terasa nyeri, apalagi kalau sudah kutaruhkan obat ini pada lukanya." kata pula gadis manis itu dan kembali tangannya bergerak cepat. Jari-Jarinya sudah menotok ke arah pangkal paha dan tiba-tiba terasalah oleh Tiong Sin betapa darahnya mengalir kembali, akan tetapi berbareng dengan itu, timbul rata nyeri yang amat hebat.
Akan tetapi, maklum bahwa dia berhadapan dengan ayah dan anak yang aneh dan memiliki kepandaian tinggi, Tiong Sin mengeraskan hatinya, mematikan perasaannya dan sedikit pun dia tidak mengeluh. Sejak tadi, ayah dan anak itu memperhatikan wajahnya, walaupun dengan sikap acuh.
"Nyeri?" Gadis itu bertanya sambil memandang tajam.
"Sedikit, tapi tidak mengapa," jawab Tiong Sin, juga acuh seolah-olah rasa nyeri itu tidak ada artinya baginya, padahal, rasa nyeri itu menusuk-nusuk dari paha sampai ke dalam perut!
Gadis itu tiba-tiba tersenyum dan melirik ke arah ayahnya, kemudian berkata, "Akan kuberi obat bubuk ini pada luka di pahamu dan akan terasa luar biasa nyerinya. Bersiaplah!"
Ia lalu mengambil obat bubuk putih dari bungkusan dan menaburkannya pada kedua luka di paha yang ditembusi anak panah tadi. Tiong Sin merana seolah-olah pahanya dibakar atau ditusuk besi panas. Terata panas, perih, dan nyeri yang menusuk-nusuk sampai ke seluruh tubuh. Keringat besar-besar keluar dari dahinya yang berkerut-kerut. Hampir aaja dia pingsan saking nyerinya.
Kaki kirinya terasa seperti dipanggang ke atas api. Namun, dengan berkeras hati dia menahan diri, edikit pun dia tidak mengeluarkan suara keluhan. Gadis itu memperlebar senyumnya ketika ia memandang wajah Tiong Sin dan ia berkata, "Nyeri sekali, bukan? Nah, kau boleh mengeluh kalau memang terasa nyeri!"
Tiong Sin tidak mau mengeluh, bahkan dia lalu tertawa. "Ha-ha-ha-ha-ha...!"
Gadis itu memandang kepadanya dengan mata terbelalak, bahkan kakek itu pun kini memandang penuh perhatian. "Kenapa kau tertawa seperti orang gila? Saking nyerinya?" tanya gadis itu.
Aneh, gadis itu sudah meraba gagang goloknya! Tiong Sin masih tertawa, lalu berkata, "Ha-ha-ha, nyeri seperti ini saja untuk apa mengeluh? Memalukan saja! Yang nyeri adalan paha, bukan aku, ha-ha-ha!"
"Hemmm, bocah sombong!" tiba-tiba kakek itu berkata, akan tetapi sungguh aneh, dia tidak marah dan bahkan pandang matanya terhadap Tiong Sin tidaklah sedingin tadi. "Siapakah engkau sesungguhnya?"
Tiong Sin terkejut dan juga merasa heran melihat sikap yang tiba-tiba berubah itu. Sungguh seorang kakek yang aneh dah menyeramkan. "Namaku Bu Tiong Sin, seorang yang hidup sebatang kara dan tidak mempunyai tempat tinggal, seorang kelana yang tidak memiliki apa-apa."
"Ceritakan mengapa engkau tadi dikeroyok oleh orang-orang Mongol itu!" kata pula kakek itu, kini suaranya tidak sekaku tadi, bahkan nampak sinar yang membayangkan hati tertarik.
Dalam benak Tiong Sin yang cerdik sudah terancang cerita yang masuk akal. Dia tidak mau sembarang membohong karena maklum bahwa orang sakti seperti kakek ini tidak mudah menerima kebohongan. Dia bercerita bahwa dalam perantauannya ke utara, dia bertemu dengan seorang pemuda gagah bernama Yuci yang memperkenalkannya kepada Jenghis Khan.
"Karena saya tidak tahu siapa mereka, saya lalu menerima ketika diberi pekerjaan sebagai pembantu Yuci. Akan tetapi ketika kami diutus ke Pangeran Pang Sun, kepala suku Liao-tung untuk mengadakan persekutuan dan bersama suku itu hendak menyerbu ke selatan untuk menundukkan Kerajaan Cin, saya terkejut. Tentu saja saya tidak mau kalau disuruh berkhianat kepada bangsa sendiri.
"Saya lalu menyatakan mundur. Ternyata Yuci tidak mau melepaskan saya, bahkan hendak membunuh saya karena dia takut kalau saya akan membantu Kerajaan Cin dan menjadi mata-mata yang membocorkan semua keadaan pasukan Jenghis Khan."
Tiong Sin memang cerdik sakali. Tadi dia sudah melihat betapa ayah dan anak ini tidak suka kepada orang Mongol. Hal Ini hanya mempunyai sebab yang sudah jelas, yaitu bahwa sebagai orang-orang Han, ayah dan anak ini tidak suka melihat orang Mongol hendak menyerbu ke selatan. Oleh karena itu, dia pun mengarang cerita yang sejalan.
"Nah, apa kataku, Ayah? Orang ini ternyata ada pula gunanya. Dia berjiwa patriot, membenci orang Mongol. Dia gagah berani dan juga tabah, tahan uji dan tidak cengeng. Kurasa dia pantas untuk menjadi pembantu kita."
Sepasang alis itu berkerut dan sepasang mata itu mengamati dengan tajam, lalu hidungnya mendengus dengan sikap menghina. "Dia ini menjadi pembantuku? Huh, tentu akan mengecewakan saja. Dengan kemampuannya yang rendah itu....."
Kembali Tiong Sin merasa perutnya panas. Kakek ini terlalu memandang rendah dan menghinanya. Bagaimanapun juga dia tidak menganggap kepandaiannya terlalu rendah! Bahkan kalau dia mempergunakan Pedang Asmara dia tidak gentar melawan kakek ini sekali pun! Akan tetapi, mereka ini adalah penolongnya, dan pula, pahanya masih terluka sehingga melawan mereka tidak akan ada gunanya. Bahkan tentu dia akan dibunuh oleh kakek yang nampaknya kejam sekali ini.
Gadis itu membalut pahanya dengan sobekan kain bersih. Setelah selesai, ia mengamati wajah Tiong Sin yang tampan, lalu ia berkata kepada ayahnya. "Boleh jadi ilmu kepandaiannya masih rendah, Ayah. Akan tetapi apa sukarnya membuat dia menjadi lihai? Kalau Ayah mau menerimanya sebagai murid....."
"Huh! Murid?"
"Ayah adalah seorang datuk besar. Siapa tidak mengenal Pak-ong? Ayah adalah raja datuk di utara, akan tetapi segala ilmu kepandaian Ayah hanya diturunkan kepada aku seorang. Aku seorang wanita dan aku juga malas, mana mampu menampung semua ilmu Ayah? dan kulihat dia ini seorang pemuda yang cukup berbakat, ulet dan tabah, juga tahu diri. Kalau dia suka menjadi murid Ayah, apa salahnya? Dia dapat menjad murid dan pembantu yang baik sekali!"
Bukan main kagetnya rasa hati Tiong Sin mendengar bahwa kakek jang kurus kering dan dingin itu adalah Pak ong! Dia pernah mendengar bahwa di dunia persilatan, terdapat empat orang datuk besar yang amat terkenal, yang rnenguasai empat penjuru, masing-masing mendapat julukan sesuai dengan daerah yang mereka kuasai. Pak-ong berkuasa di utara, Tung-hai Kiam-ong atau Tung kiam berkuasa di tirnur, Nam-san Tok siang atau Nam Tok berkuasa di selatan dan di barat terdapat See-thian Mo-ong atau See Mo.
Kiranya yang berada hadapannya ini adalah Pak-ong (Raja Utara] yang terkenal sebagai seorang di antara empat datuk sakti dari empat penjuru! Dia tidak ragu lagi akan kesaktian datuk ini, maka mendengar ucapan gadis itu yang mengandung anjuran kepadanya, serta merta dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.
"Kalau Lo-cianpwe sudi menerima teecu sebagal murid, teecu akan berterima kasih sekali dan akan melakukan segala perintah Lo-clan-pwe dengan patuh dan dengan taruhan nyawa!"
Perhitungannya memang tepat. Biarpun wataknya aneh sekali, tadi Pak-ong yang bernama Ji Hiat itu telah mulai tertarik, apalagi dia melihat betapa puterinya yang amat disayangnya itu kelihatan suka kepada pemuda itu. Kalau dia berpura-pura bersikap dingin adalah untuk melihat bagaimana sikap pemuda itu. Dia tahu bahwa pemuda itu tabah, cerdik, tampan dan memiliki bakat yang baik.
Hal ini dapat dilihatnya ketika pemuda ini tadi dikeroyok oleh orang-orang Mongol. Kalau digembleng, pemuda ini akan menjadi seorang murid yang dapat dibanggakan. Kini, melihat pemuda itu berlutut, dia pun meninggalkan sikap dingin dan kakunya.
"Bu Tiong Sin, dengar baik-baik. Selain tidak mudah untuk dapat mempelajari ilmu ilmuku, harus berani lelah dan harus rajin berlatih, juga menjadi muridku berarti akan menghadapi lawan-lawan tangguh. Ketahuilah bahwa kalau diadakan pertemuan antara Empat Datuk Besar untuk menentukan siapa di antara kami yang paling tangguh, sebelum kami sendiri saling uji kepandaian, harus masing-masing mengajukan seorang murid. Kalau engkau menjadi muridku, berarti engkaul kelak akan menghadapi murid-murid tiga orang datuk lain dan engkau harus mampu mengalahkan mereka. Kalau engkau kalah, mungkin akan tewas atau terluka. parah karena pihak lawan adalah orang orang tangguh. Masihkah engkau tertarik untuk menjadi muridku?"
Tiong Sin masih berlutut dan dia menjawab tanpa ragu. "Teecu sanggup menghadapi segala bahaya, teecu bersedia mempertaruhkan nyawa sebagai murid Suhu." Dia sudah berani menyebu suhu (guru).
"Bagus! Kalau begitu, mulai saat ini engkau menjadi muridku, dan mengingat engkau lebih tua, biarpun kini kepandaianmu masih di bawah tingkat anakku Ji Kui Lan, engkau juga menjadi suhengnya (kakak seperguruan)."
"Terima kasih, Suhu!" Dia memberi hormat berkali-kali, kemudian dia bangkit dan memberi hormat kepada gadis itu sambil berkata dengan sikap sopan dan menarik. "Sumoi (adik seperguruan), terima kasih atas kebaikanmu." Pahanya tidak begitu nyeri lagi.
Kui Lan tersenyum dan deretan giginya yang rapi dan putih nampak, membuat wajahnya itu kini nampak berseri dan penuh semangat, tidak seperti tadi yang nampak dingin. "Hi-hi-hik, Suheng. Hampir saja tadi engkau kubunuh. Kalau saja engkau tadi merintih atau mengeluh ketika kuobati, golokku tentu sudah membunuhmu!"
Diam-diam Tiong Sin terkejut, akan tetapi dia dapat menahan perasaannya dan bertanya, "Akan tetapi, mengapa engkau akan membunuhku, Sumoi?"
"Karena aku paling benci dan muak melinat seorang pria yang cengeng dan tak tahan menderita!" jawabnya acuh.
Diam-diam Tiong Sin bergidik. Gadis ini memang manis sekali, dengan bentuk tubuh yang menggairahkan, dan kalau tersenyum seperti itu, nampak kehangatannya. Akan tetapi, di balik itu memiliki watak aneh, dingin dan juga luar biasa kejamnya!
"Huh, kalau tadi dia tidak jadi ingin menjadi muridku setelah mendengar kesukaran yang kuceritakan, dia pun tentu sudan kubunuh!" kata kakek itu menirukan puterinya.
"Aku paling benci melihat orang muda yang bicaranya tak menentu."
Diam-diam Tiong Sin memuji diri sendiri. Untung dia cerdik. Kiranya berdekatan dengan ayah dan puterinya ini merupakan hal yang amat berbahaya dan sejak sekarang, biarpun sudah menjadi murid Pak-ong, dia narus tetap berhati-hati dan dapat menyenangkan hati mereka.
Siapa tahu, kesalahan sedikit saja sudah cukup membuat kumat gila mereka dan dia akan dibunuh begitu saja tanpa banyak alasan lagi. Ternyata obat luka itu manjur bukan main. Ketika diajak berjalan kaki, Tiong Sin sudah dapat berjalan tanpa pincang, dan hanya terasa nyeri sedikit saja. Mereka melakukan perjalanan ke selatan, memasuki daeran Kerajaan Cin.
Setelah melakukan perjalanan sepekan lamanya, luka di paha Tiong Sin sudah sembuh sama sekali. Hari itu, mereka bertiga tiba di lereng sebuah bukit yang sunyi dan tiba-tiba Pak-ong mengajak mereka berhenti. Dia lalu menghadap ke utara, melihat dari lereng bukit itu.
Nampak daeran yang luas di utara karena di kaki bukit itu, di sebelan utara, terdapat tanah datar yang luas. Jauh di sana, samar amar, nampak jajaran gunung-gunung dan di balik gunung-gunung itulah tempat di mana dia dan puterinya tadinya tinggal. Gerakan orang-orang Mongol memaksa dia meninggalkan tempat itu karena dia tidak sudi memperhambakan dirinya kepada orang Mongol. Untuk menentang mereka, tentu saja dia tidak mampu.
Apa artinya kekuatan seorang dua orang menghadapi pasukan yang puluhan bahkan ratusan ribu orang jumlahnya? Dia mempunyai banyak kenalan di selatan, bahkan beberapa orang pangeran di Kerajaan Cin dikenalnya. Maka, dia pun mengambil keputusan, mengajak puterinya untuk mengungsi ke kota raja Cin, yaitu kota raja Yen-cing (sekarang Peking).
Dan dalam perjalanan itulah dia dan puterinya melihat Tiong Sin dikeroyok pasukan Mongol lalu turun tangan menolongnya. Melihat kakek itu berdiri seperti patung dan wajan kakek itu nampak keruh dan muram, Tiong Sin merasa heran.
Akan tetapi sebelum dia bertanya, lengannya disentun oleh Kui Lan dan gadis ini berkata, "Jangan kau ganggu Ayah, Suheng. Ayah sedang memandang ke utara dan terkenang kepada tempat tinggal kami di sana. Gerakan orang-orang Mongol itu memaksa kami meninggalkan tempat itu dan pergi ke selatan."
Tiong Sin mengangguk, mengerti. Selama sepekan ini, dia dan kedua orang ayah dan anak itu hanya melakukan perjalanan saja, hanya berhenti untuk makan atau untuk melewatkan malam di mana saja. Kakek itu bersikap pendiam dan dingin. Sedangkan sikap Kui Lan masih tetap aneh baginya. Kadang-kadang, gadis ini bersikap ramah sekali kepadanya, hangat dan bergembira, akan tetapi ada kalanya gadis itu pun bersikap seperti ayahnya, diam dan dingin.
Kalau sedang seperti itu, Tiong Sin sama sekali tidak berani mengganggunya dan dia pun diam. Belum pernah dia menerima pelajaran ilmu silat, baik teori maupun prakteknya. Namun, dia tetap bersabar, apalagi pahanya juga harus sembuh dulu sama sekali.
"Suheng, bagaimana dengan pahamu?" tiba-tiba gadis itu bertanya. Tiong Sin memandang ke arah paha kirinya. Dia kini mengenakan sebuah celana baru, pemberian Kui Lan yang membelikan pakaian untuknya ketika mereka melewati sebuah dusun di mana terdapat orang menjual pakaian. Pakaian sederhana namun kainnya tebal dan kuat, dan Tiong Sin berterima kasih sekali untuk perhatian itu.
"Sudan sembuh, Sumoi."
"Sembuh sama sekali? Tidak terasa nyeri sama sekali kalau dipakai bergerak dan mengerahkan tenaga?"
"Tidak, semalam sudah kucoba untuk berlatih silat dan ternyata tidak terasa nyeri sama sekali."
"Bagus, kalau begitu, sudah tiba saatnya untuk menguji kepandaianmu, Suheng. Bangkit dan bersiaplah, mari kita bertanding agar Ayah dapat melihat sampai di mana tingkat kepandaianmu."
Tentu saja Tiong Sin merasa girang bukan main. Kiranya diam-diam ayah dan anak itu menaruh perhatian kepadanya dan kalau selama sepekan ini dia didiamkan saja adalah karena pahanya belum sembuh. Kini, Kui Lan hendak mengujinya. Dia harus memperlihatkan siapa dirinya yang sesungguhnya! Sudah terlalu lama ayah dan anak ini memandang rendah kepadanya! Akan dia perlihatkan bahwa dia bukanlah seorang pemuda lemah yang berkepandaian rendah.
Dia merasa yakin bahwa dia akan mampu menandingi Kui Lan. Berapa sih kehebetan seorang gadis yang usianya baru delapan belas tahun, masih belum dewasa benar itu? Akan tetapi, dia masih agak ragu karena yang mengajaknya bertanding adalah sumoinya, bukan atas perintah suhunya, maka dia pun menoleh dan memandang kepada kakek itu.
Kiranya Pak-ong Ji Hiat kini telah duduk bersila di atas batu dan menghadapi mereka. Kakek itu mengangguk kepadanya. "Engkau boleh menandingi Kui Lan, hendak kulihat sampai di mana dasar ilmu silatmu."
"Mari Suheng, dan jangan ragu-ragu, keluarkan semua kepandaianmu. Kita bertanding dengan tangan kosong!" tantang gadis itu yang sudah memasang kuda-kuda.
Hampir saja Tiong Sin tak dapat menahan ketawanya melihat cara gadis itu memasang kuda-kuda. Kedua kakinya terpentang, lutut ditekuk, kedua tangan di pinggang. Kuda-kuda ini biasa saja, akan tetapi yang lucu adalah pinggulnya! Pinggul gadis itu yang nampak menonjol besar ke belakang, bergoyang-goyang ke kanan kiri!
Belum pernah selama hidupnya Tiong Sin melihat kuda kuda seperti itu, dengan pinggul bergoyang-goyang seperti seorang penari yang genit, atau seperti seekor kuda betina yang sedang berahi! Kalau saja dipasangi ekor tentu akan nampak semakin lucu! Betapapun juga, melihat pinggul besar itu bergoyang, hati Tiong Sin ikut pula bergoyang.
Begitu Tiong Sin memasang kuda-kuda yang kokoh dari ilmu silat Thay-san Kun-hoat yang dipelajarinya dari gurunya, yaitu Yeliu Cutay, dengan kedua kaki terpentang dan lutut ditekuk seperti yang dilakukan gadis itu, akan tetapi tanpa goyang pinggul, melainkan kokoh kuat seperti gunung Thay-san, tiba-tiba gadis itu berseru.
"Suheng, lihat seranganku!" Dan tiba-tiba saja gadis itu sudah menyerang dengan dahsyatnya, dengan kaki melangkah meju, langkah kecil-kecil namun cepat, dan kedua tangan yang menyerang dengan pukulan bertubi-tubi itu sungguh cepat sekali gerakannya dan mengandung angin pukulan yang dahsyat! Ketika meyerang, pinggulnya masih membusung kebelakang.
Menghadapi serangan yang demikian cepat dan mendatangkan angin, Tiong Sin bersikap hati-hati dan dia pun meloncat ke samping untuk mengelak sambil mencari kesempatan untuk membalas. Akan tetapi, mendadak tubuh gadis iu membuat gerakan aneh, meloncat dan tahu-tahu, tubuh itu berputar dan kaki kanan sudah melayang dengan gerakan seperti menendang ke belakang! Gerakannya sungguh mirip seekor kuda yang menendang, kaki kanan disusul kaki kiri dengan tendangan yang amat kuat, sedangkan kedua tangannya menjadi kaki depan, menekan tanah.
"Ahhh.....!" Hampir saja Tiong Sin terkena tendangan yang tak tersangka-sangka dan amat kuat itu. Dia tidak sempat lagi mengelak, dan terpaksa menangkis sambil miringkan tubuhnya.
"Dukkk...!" Tendangan kedua kaki itu demikian kuatnya sehingga ketika Tiong Sin menangkis, walaupun dia sudah mengerahkan tenaga, tetap saja tubuhnya terhuyung ke belakang dan dia hampir roboh!
Akan tetapi, Tiong Sin biarpun terkejut sekali, cepat meloncat dan berjungkir balik untuk mengatur keseimbangan tubuhnya, lalu mengnadapi gadis itu yang telah berdiri tegak dengan kedua tangan bertolak pinggang dan memandang kepadanya dengan senyum manis. Senyum yang bagi Tiong Sin seperti ejekan dan membuat hatinya panas juga. Bagaimana mungkin dalam segebrakan saja dia hampir robon? Kuda-kuda yang aneh itulah yang membuat dia lengah.
Atau lebih tepat, pinggul yang indah itu yang membuat dia kurang waspada. Kiranya memang ilmu tendangan gadis itu seperti gerakan kuda! Dia harus lebih berhati-hati. Dia tidak tanu bahwa memang dari ayannya, gadis ini telah mewarisi ilmu silat yang disebut Kui-ma-kun (Silat Kuda Iblis) yang mempunyai banyak gerakan aneh, di antaranya tendangan yang dilakukan seperti sepakan seekor kuda marah.
Kini Tiong Sin yang mendahului dengan serangannya dan dia kini mengeluarkan semua ilmunya, juga mengerahkan seluruh tenaganya karena maklum bahwa gadis itu lihai bukan main. Namun, semua serangannya dengan ilmu silat Thay-san-kun dapat dielakkan atau ditangkis dengan amat baiknya oleh gadis itu dan kalau ia membalas, baik dengan pukulan kedua tangannya yang mirip dengan hantaman kedua kaki depan kuda yang marah.
Atau dengan sepakan kedua kakinya, selalu Tiong Sin kewalahan dan terhuyung ke belakang. Jelaslah bahwa dalam ilmu silat tangan kosong, kalau dilanjutkan Tiong Sin pasti akan kalah. Dia selalu terdesak dan setiap serangannya tidak ada artinya, sebaliknya kalau gadis itu menyerang, dia kewalahan dan beberapa kali hampir terpelanting.
"Cukup, kini pergunakan senjata!" kata Pak-ong Ji Hiat yang merasa gembira karena ternyata tingkat kepandaian muridnya itu cukup untuk menjadi dasar mempelajari ilmu silatnya yang lebih tinggi. Dengan dasar seperti itu, tidak akan makan waktu terlalu lama bagi Tiong Sin untuk dapat menguasai ilmu ilmu yang diajarkannya. Namun, dia ingin melihat juga bagaimana tingkat pemuda itu kalau bersenjata.
Diam-diam Tiong Sin merasa girang Dengan ilmu silat tangan kosong, dia memang kewalahan menghadapi ilmu silat kuda goyang itu, akan tetapi kalau dengan senjata, apalagi dengan Pedang Asmara, pedang pusakanya yang ampuh dia akan memperlihatkan kebolehannya. Rasakan engkau sekarang, gadis sombong Kalau bukan ilmu pedangku, tentu pedang pusakaku akan membuat engkau tunduk!
"Singgg...." Nampak sinar berkelebat ketika gadis itu mencabut senjatanya dan ternyata di tangan kanannya telah memegang sebatang golok yang tipis dan ringan. Ketika tangan kirinya bergerak nampak pula sinar keemasan dan tangan kiri itu telah melolos sebatang sabuk emas dari pinggangnya. Kiranya, sabuk yang tadi menghias pinggangnya yang ramping itu merupakan senjatanya pula.
"Suheng, perlihatkan senjatamu!" kata gadis itu sambil tersenyum manis sekali.
"Srattt.....!" Nampak sinar hijau dan hawa dingin sejuk terasa sekali ketika Pedang Asmara tercabut dari sarangnya.
"Uhhn...! Pedang yang luar biasa!" Pak-ong Ji Hiat berseru dan tiba-tiba saja tangannya bergerak.
Tiong Sin terkejut dan hendak mengelak, namun gerakan tangan itu luar biasa sekali. Tiba-tiba ada jari menyentuh siku dan pergelangan tangannya, sedemikian cepatnya sehingga tahu-tahu tangannya lumpuh dan pedang itu terlepas dari pegangannya, dan sudah berpindah ke tangan gurunya!
Pak-ong Ji Hiat mengamati pedang itu, tidak mempedulikan muridnya dan berkali-kali dia mengeluarkan seruan kagum dan heran. "Huh... pedang hebat... mungkinkah ini? Benarkah ini Batu Dewa Hijau?" Dia menggerak-gerakkan pedang dan nampak gulungan sinar hijau yang mengeluarkan bunyi nyaring merdu, dan terasa hawa sejuk nyaman! "Dari mana kau memperoleh pedang pusaka ini, Tiong Sin?"
Ditanya demikian, Tiong Sin terkejut. Akan tetapi nada suara gurunya ramah dan dia pun menjawab sejujurnya, "Tecu menerimanya sebagai hadiah dari guru teecu yang pertama."
"Siapakah gurumu itu?"
"Namanya... Yeliu Cutay...."
Kakek itu menggeleng kepala, tidak mengenal nama itu. "Sungguh heran pernah aku mendengar berita angin dari para kepala suku di utara bahwa yang memiliki pedang yang dibuat dari Batu Dewa Hijau adalah Jenghis Khan yang kini menjadi raja besar orang Mongol. Tidak tahunya sekarang berada di tanganmu! Engkau sungguh beruntung sekali Tiong Sin, mendapatkan pedang seperti ini dan guru seperti aku." Dia mengembalikan pedang itu kepada muridnya. "Nah, kalian bertandinglah!"
Dengan hati besar karena mengandalkan pedangnya, Tiong Sin melintangkan pedang di depan dadanya, lalu berkata kepada Kui Lan, "Sumoi, silakan engkau mulai menyerang, aku telah siap!"
Dia tersenyum melihat betapa gadis itu seperti terpesona, memandang kepadanya dengan mata terbelalak penuh kagum dengan mulut setengah terbuka, setengah senyum yang aneh, dan seperti orang kaget ketika dia mengeluarkan ucapan itu, seolah-olah baru sadar dari lamunan.
"Eh, ohhh... baiklah. Kau sambut serangan ini, Suheng!" katanya, dan goloknya menyambar.
Ketika Tiong Sin menangkis, terdengar bunyi nyaring dan golok itu terpental! Diam-diam Tiong Sin merasa girang. Kalau tadi ketika mereka bertanding dengan tangan kosong, jelas dia kalah kuat dalam hal tenaga sin-kang, kini golok itu terpental, tanda bahwa gadis itu dalam penyerangannya tidak mempergunakan seluruh tenaganya! Ini berarti mengalah, dan melihat pandang matanya tadi, jelas bahwa gadis itu sudah dapat dia talukkan melalui pengaruh Pedang Asmara!
"Kui Lan, serang yang betul untuk mengujinya. Hayo!" bentak Pak-ong Ji Hiat.
Dan kembali gadis itu seperti baru sadar dan mulailah ia menyerang dengan golok, dibantu oleh sabuk emasnya. Namun, tetap saja gerakannya ragu-ragu, seolah-olah ia merasa khawatir kalau kalau senjatanya akan melukai pemuda yang tiba-tiba saja nampak begitu menarik dan telah membangkitkan gairah yang menggelora dalam hatinya. Tiba-tiba saja ia tahu bahwa ia telah jatuh cinta kepada pemuda yang kini menjadi suhengnya itu, maka ia khawatir kalau sampai ia melukai pemuda itu!
Karena Kui Lan tidak menyerang dengan sungguh-sungguh, gerakannya serba kurang, kurang cepat dan kurang kuat, maka tidak sukar bagi Tiong Sin untuk mengimbanginya, untuk mengelak, menangkis dan balas menyerang. Namun, dia sendiri bukan orang bodoh. Dia tidak mau melukai sumoinya.
Bukan saja karena takut akan akibatnya, melainkan juga karena dia yang mata keranjang tentu saja merasa sayang kalau sampai kulit halus mulus itu terluka, kulit yang sepantasnya dibelainya! Terjadilah pertandingan yang berjalan lambat karena keduanya menjaga agar jangan sampai melukai lawan!
Diam-diam Pak-ong Ji Hiat merasa heran, akan tetapi juga girang. Jelas bahwa puterinya telah jatuh cinta kepada Bu Tiong Sin! Padahal biasanya, Kui Lan selalu menolak dengan marah-marah kalau dia bicara soal perjodohan. Dan pilihan puterinya ini tidak terlalu mengecewakan. Seorang pemuda yang tampan dan gagah, dan lebih dari itu, menjadi muridnya malah!
Puterinya pernah berkata kepadanya dengan tegas bahwa ia hanya mau menjadi isteri seorang pria yang mampu mengalahkannya dalam ilmu silat. Dan tentu saja sekarang pun Kui Lan dapat kalah kalau memang ia mengalah! Andaikata Kui Lan menghendaki agar Tiong Sin benar-benar lebih lihai darinya, tidak sukar. Kalau dia menggembleng pemuda itu yang nampaknya berbakat, tentu pemuda itu akan memperoleh kemajuan dan dapat melewati Kui Lan, setidaknya mampu menandinginya.
Melihat betapa "pertandingan" itu lebih tepat dinamakan adu hati-hati agar jangan melukai lawan daripada adu tenaga dan kepandaian, sambil tersenyum Pak-ong berseru, "Sudah! Cukup, berhentilah kalian!"
Kedua orang itu meloncat ke belakang dan Tiong Sin segera menyimpan pedangnya. Kui Lan nampak tersipu ketika memandang kepada ayahnya, karena melihat ayahnya tersenyum senyum itu ia pun mengerti bahwa ayahnya dapat menduga akan isi hatinya.
"Ayah, engkau gemblenglah Suheng baik-baik, dan aku percaya kelak dia akan dapat mengungguli aku!" katanya dengan terus terang.
Mendengar ini, Pak-ong yang biasanya berwajah muram itu tersenyum lebar. "Ha, engkau dengar itu, Tiong Sin? Kalau engkau tidak berlatih dengan rajin sehingga dapat mengungguli Kui Lan, jangan harap engkau akan dapat memetik bunga bukit-bukit Utara!"
Tentu saja Tiong Sin maklum yang dimaksudkan, dan sambil tersenyum dia pun menjawab dengan suara sungguh sungguh, "Teecu akan belajar dengan rajin dan mentaati semua perintah dan pesan Suhu. Juga kuharap Sumoi yang sudah lebih dahulu belajar, suka memberi petunjuk."
"Suheng, jangan terlalu merendah. Engkau cukup hebat, terutama ilmu pedangmu." kata Kui Lan sambil mengerling tajam dan mulutnya menghadiahkan senyum manis sekali.
Demikianlah, mulai hari itu, Tiong Sin menerima gemblengan dari Pak-ong, seorang di antara empat datuk empat penjuru yang sakti. Dia memang telah memiliki dasar yang baik, yaitu ilmu-ilmu kilat yang dipelajarinya dari Yeliu Cutay. Selain itu, dia memiliki bakat yang baik pula, maka ditambah kerajinannya, maka dia memperoleh kemajuan cepat sekali ketika menerima gemblengan dari Pak-ong.
Lebih lagi karena dia mempunyai teman berlatih yang juga lihai, yaitu sumoinya sendiri, Ji Kui Lan. Hal ini membantunya banyak sekali dan dia cepat menguasai ilmu-ilmu yang diajarkan datuk itu kepadanya. Dan dia pun mengikuti gurunya bersama sumoinya yang meninggalkan daerah Mongol memasuki daerah kekuasaan Kerajaan Cin.
"Hayo kita berlatih lagi, Hong-ko jurus-jurusmu itu masih kaku. Kalau menghadapi aku saja masih belum sempurna benar, mana mungkin engkau dapat bertahan menghadapi jurus-jurus yang dimainkan ayah? Hayo, kausambut seranganku ini!"
Setelah berkata demikian Ang Siang Bwee sudah menyerang Kwe San Hong dengan ilmu silat tangan kosong yang menjadi andalan ayahnya, yaitu Hek-In Pay-san (Awan Hitam Mendorong Bukit). Dari kedua telapak tangannya mengepul uap hitam dan pukulan-pukulan yang dilancarkan sungguh dahsyat bukan main, selain cepat sekali juga mendatangkan angin dahsyat dan pukulan itu mengandung racun!
Terpaksa San Hong mengelak dengan cepat. Biarpun gadis itu hanya bermaksud memaksanya berlatih, namun serangannya sungguh-sungguh dan kalau dia lengah bisa berbahaya! Pukulan Hek-in Pay-san kalau mengenai bagian tubuh secara tepat, dapat membahayakan dan sukar sekali dicari obatnya. Dia sendiri sudah mengalaminya. Pukulan Hek-in Pay-san yang dilakukan Nam Tok, ayah gadis itu, pada dirinya membuat dia berada dalam cengkeraman maut.
Dan hanya berkat bantuan Siang Bwee saja dia dapat di sembuhkan oleh Tung Kiam, datuk di timur itu. Dan untuk dapat menahan serangkaian serangan Siang Bwee yang menggunakan ilmu dahsyat itu, terpaksa dia memainkan ilmu-ilmu yang dipelajarinya secara singkat dari Tung Kiam. Ilmu-Ilmu ini memang sengaja diciptakan oleh Tung Kiam untuk menghadap Hek-in Pay-san dari Nam Tok.
Hubungan antara empat orang datuk besar itu memang aneh sekali. Sejak muda mereka itu saling bersaingan, saling tidak mau kalah dalam hal apa saja. Kalau yang seorang mendengar bahwa di antara mereka ada yang menciptakan suatu ilmu baru yang lihai, tentu dia akan menyelidiki dan akan menciptakan ilmu lain yang sengaja dibuat untuk menghadapi ilmu baru dari saingan itu.
Oleh karena itu, seperti juga dengan tiga orang tokoh lainnya, diam-diam Tung Kiam menyelidiki ilmu-ilmu baru dari tiga orang saingannya dan dia pun menciptakan ilmu-ilmu untuk menghadapi semua ilmu lawan itu!
Maka, ketika mendengar bahwa Kwe San Hong dimusuhi oleh Nam Tok hendak mengadu ilmu dengan datuk selatan itu, tanpa ragu-ragu lagi dia lalu mengajarkan ilmu yang khas diciptakannya untuk melawan Hek-in Pay-san dari Nam Tok. Padahal San Hong bukan muridnya, juga tidak ada rasa suka dalam hatinya kepada pemuda tinggi besar itu...