Pedang Asmara Jilid 18 karya Kho Ping Hoo - JELAS bahwa dia mengajarkan ilmu itu dengan harapan agar pemuda itu dapat mengalahkan seorang di antara tiga saingan besarnya itu. Biarpun dia menerima pelajaran ilmu yang khas untuk menghadapi Hek-in Pay san, tentu ilmu yang hanya dipelajarinya selama seminggu itu tidak akan banyak gunanya sekiranya di situ tidak ada Siang Bwee yang membantunya.
Gadis itu yang mengajaknya berlatih dan ia menggunakan ilmu Hek-in Pay-san sehingga tentu saja San Hong dapat mempergunakan ilmu yang dipelajarinya dari Tung Kiam itu dengan sebaiknya. Apalagi gadis itu juga membantunya, memberi petunjuk akan bahayanya ilmu Hek-in Pay-san.
Biarpun tingkat gadis itu tentu saja tidak dapat disamakan dengan tingkat ilmu kepandaian ayahnya, namun setidaknya San Hong sudah mengenal ilmu itu dan dapat mengatur cara menghadapinya, tidak akan terkejut lagi kalau kelak Nam Tok menyerangnya dengan ilmu itu.
Setelah merasa puas melihat kemajuan San Hong sehingga pemuda itu dapat menghindarkan diri dari semua jurus ilmu silat Hek-in Pay-san walaupun belum sempurna benar, Siang Bwee menjadi girang dan menghentikan serangannya. Mereka berdua merasa lelah dan mereka duduk beristirahat di bawah pohon besar itu.
"Engkau sudah memperoleh kemajuan, Hong-ko.” Kata Siang Bwee sambil mengusap keringat dari dahi dan lehernya. Gadis ini nampak seperti seorang pemuda remaja yang tampan dan lincah.
Akan tetapi dalam pandangan San Hong, ia tetap seorang gadis yang cantik jelita dan manis sekali, dengan wataknya yang aneh, berani mati, ugal-ugalan dan nyentrik, pandai sekali berdebat, cerdik dan licik bukan main, kadang dapat juga bersikap galak dan ganas, namun di lain saat dapat bersikap lembut penuh kehangatan dan kewanitaan. Melihat gadis itu bermandi peluh, San Hong teringat bahwa semua jerih payah gadis itu dilakukan demi dia!
Gadis ini pula yang telah menyelamatkannya dari ancaman maut ketika dia terluka oleh pukulan ayah gadis. Dengan berani mati, cerdik dan licik, gadis itu telah dapat mengelabui seorang datuk sesat macam Tung Kiam untuk mengobatinya sampai sembuh, bahkan telah melatihnya dengan ilmu silat untuk menghadapi Nam Tok. Bukan itu saja, bahkan gadis itu rela berjanji palsu untuk mau dijodohkan dengan Cu See Han putera Tung Kiam, mau pula menerima ciuman sebagai tanda suka. Padahal, semua itu dilakukannya demi San Hong!
"Bwee moi...."
Gadis itu mengangkat mukanya yang kemerahan karena baru saja digosoknya untuk menghapus keringat. Sepasang pipi itu, tepat di bawah kanan kiri sepasang mata, di bagian tulang pipi yang menonjol, nampak merah sekali seperti buah tomat matang. Pantas wanita kota suka memberi pemerah pada kulit pipi di bagian itu. Kiranya semua itu untuk meniru kemerahan aseli yang terdapat pada pipi gadis yang sehat seperti Siang Bwee. Memang manis sekali!
"Ada apakah, Hong-ko?" tanyanya dengan alis berkerut dan lesung pipit muncul di kanan kiri mulutnya. Makin manis!
"Bwee-moi, kenapa engkau begini baik kepadaku?"
"Eh? Siapa yang baik kepada siapa? Engkau hampir mati karena pukulan ayah ku, dan engkau masih bilang bahwa aku baik?"
San Hong mengamati wajah itu akan tetapi sukar untuk dapat menjenguk isi hati melalui wajah yang mudah berubah itu. "Ayahmu memang memukulku, akan tetapi engkau.... engkau selalu melindungi aku, bahkan engkau telah berkorban untuk menyelamatkan aku. Kenapa, Bwee moi?"
"Habis, bagaimana lagi? Apakah aku harus ikut-ikut ayah, menambahi pukulan maut kepadamu? Hong-ko, ayah telah memukulmu, aku sebagai puterinya hendak menebus dengan menolongmu. Bukankah itu sudah tepat namanya? Aku hanya ingin menebus kesalahan ayah kepadamu."
"Tapi, Bwee-moi, ayahmu memukulku karena aku hendak membunuhnya!"
Gadis itu mengerutkan alisnya, nampak kecewa sekali. "Aih, Koko, kalau saja engkau tidak melakukan hal itu! Kalau saja engkau tidak memusuhinya....."
"Mana mungkin, Bwee-moi? Ayahmu telah membunuh banyak penduduk dusun Po-lim-cun, termasuk ayah ibuku!"
"Aku tidak percaya!" Gadis itu berkeras mengeluarkan isi hatinya. "Aku mengenal ayahku sendiri! Dia tidak akan melakukan hal itu!"
"Tapi..... tapi penduduk Po-lim-cun ada yang memberitahu kepadaku, dan juga ayahmu sendiri tidak menyangkal, bahkan mengaku telah membunuhi semua orang itu!"
"Tentu saja! Memang demikian itu watak ayahku."
San Hong memandang heran. "Bagaimana ini, Bwee-moi? Kau bilang bahwa tidak mungkin ayahmu melakukan pembunuhan pembunuhan itu, dan kau bilang pula bahwa tentu saja ayahmu mengaku telah melakukannya!"
Gadis itu mengangguk-angguk. "Memang demikianlah watak ayahku. Di bukan seorang pengecut, maka tidak mungkin dia sudi membunuhi orang orang dusun yang lemah dan sama sekali bukan lawannya itu. Dia belum pernah membunuh orang yang bukan lawan seimbang dia akan merasa malu untuk membunuh orang yang tingkat kepandaiannya jauh lebih rendah darinya. Apalagi membunuh orang-orang dusun yang bodoh dan lemah. Itu bukan wataknya! Karena itulah aku tetap tidak percaya bahwa dia tela melakukan pembunuhan terhadap ayah ibumu dan penduduk dusun Po-lim cu itu."
"Tapi..... tapi dia mengaku....."
"Tentu saja! Ayah bukan seorang pengecut yang takut mengakui apa saja dan berani menghadapi akibatnya. Dia merasa malu untuk menyangkal! Bahkan dia berani mengakui segala perbuatan yang menggegerkan, walaupun bukan dia yang melakukannya. Kalau ada orang bertanya siapa yang sekarang memimpin orang Mongol yang hendak menyerbu ke selatan, tanpa sangsi lagi ayah tentu akan berani mengakui, bahwa dialah yang menjadi pemimpin pemberontakan.
"Andaikata ada perbuatan yang menggemparkan, misalnya pembunuhan terhadap kaisar, atau pencurian pusaka dari istana, atau pembunuhan kejam terhadap ratusan orang atau perbuatan yang paling kejam dan biadab, tentu ayah akan mengakuinya sebagai perbuatannya! Makin jahat dan makin berbahaya akibatnya, dia akan merasa semakin gembira. Itulah ayahku! Itulah Nam-san Tok-ong!" kata gadis itu dengan nada suara bangga.
Tentu saja San Hong menjadi bengong, terheran-heran dan di dalam hatinya masih tidak percaya ada orang yang memiliki watak seaneh Nam Tok. Benarkah demikian? Atau gadis ini hanya ingin membersihkan nama ayahnya saja?
"Tapi..... tapi mengapa begitu aneh? Kalau bukan ayahmu yang membunuhi orang-orang dusun Po-lim-cun, padahal ayahmu telah mengaku dan ada penduduk yang melihat sendiri, lalu siapa yang melakukannya? Kepada siapa aku harus menuntut pertanggunganjawab terhadap perbuatan yang amat kejam itu, Bwe-moi?. Kalau engkau menjadi aku, lalu apa yang akan kaulakukan?"
Gadis itu tersenyum. "Percayalah kepadaku, Koko. Aku akan membantumu dan aku yakin kelak aku pasti akan dapat membongkar rahasia itu. Aku akan mengakali ayah agar dia membuat pengakuan sebenarnya. Akan tetapi engkau harus bersabar, dan jangan membiarkan hatimu panas dan engkau menantang ayahku! Kalau kau lakukan itu, aku tidak akan membantumu, bahkan aku akan memusuhimu, Koko!
"Bayangkan saja, engkau menantang ayahku dan hendak membunuhnya untuk perbuatan yang aku yakin tidak dia lakukan! Sebelum engkau menantangnya, aku yang akan menantangmu lebih dulu. Sebelum engkau membunuhi ayahku, engkau harus membunuhku lebih dulu. Engkau hanya akan dapat menyerang ayahku kalau melewati mayatku!"
"Bwee-moi.....!" San Hong terkejut bukan main, akan tetapi dia melihar bahwa gadis itu tidak main-main, bahkan kedua mata gadis itu menjadi basah? Siang Bwee mengeluarkan air mata, menangis? sungguh tak masuk akal, gadis yang berhati baja itu! Hatinya menjadi lunak dan dia pun menarik napas panjang berkali-kali.
"Baiklah, Bwee-moi, aku akan bersabar dan akan melihat bagaimana hasil penyelidikanmu."
Begitu mendengar janji ini, tiba-tiba Siang Bwee bersorak girang dan gadis ini lalu meloncat dan merangkul San Hong! Sejenak ia menempelkan mukanya di dada yang bidang itu, akan tetapi hanya sebentar dan ia sudah melepaskan lagi rangkulannya dan mundur ke belakang, memandang kepada San Hong dengan wajah berseri gembira.
"Terima kasih, Hong ko, terima kasih! Aih, engkau tidak tahu betapa janjimu itu seperti melepaskan batu sebesar gunung yang selama ini menekan hatiku! Aih, terima kasih dan percayalah, kelak engkau baru akan tahu bahwa aku benar!"
Melihat kegembiraan dan kebahagiaan hati gadis itu saja sudah merupakan sesuatu yang amat menyenangkan hati San Hong. Jangankan hanya berjanji seperti itu, biar disuruh apa pun yang lebih berat, rasanya dia akan melakukannya untuk membahagiakan hati Siang Bwe seperti itu. Gadis ini memang selalu lincah dan jenaka.
Akan tetapi kebahagiaan yang diperlihatkannya tadi sungguh menyentuh perasaan hati San Hong karena terasa-benar olehnya betapa senang dan bahagia perasaan gadis itu ketika mendengar janjinya tadi. Dia akan memegang janjinya. Bukan berarti dia akan memaafkan Nam Tok, melainkan dia akan bersabar dan menyelidiki lebih teliti sebelum memastikan bahwa Nam tok yang melakukan pembunuhan di dusun Po-lim-cun itu.
"Mari kita lanjutkan perjalanan, Bwee-moi."
”Hong ko, aku ingin sekali mampir dulu di kota raja sebelum pulang ke selatan. Maukah engkau, Hong ko? Aku ingin sekali makan bebek panggang yang dijual oleh rumah makan di sudut timur kota raja. Pernah ayah mengajak aku ke sana dan kami makan bebek panggang di sana. Wah, lezatnya bukan main, Hong-ko. Di tempat lain, belum pernah aku dapat menemukan masakan selezat itu! Aku ingin sekali, Hong-ko!"
San Hong mengerutkan alisnya. "Bwee-moi, kalau kita singgah dulu di kota raja, tentu akan makan waktu lama."
"Tidak! Paling lama hanya bertambah satu bulan saja. Aku ingin sekali, Hong-ko. Kalau tidak dituruti, tentu dalam perjalanan pulang, aku akan mengiler di sepanjang jalan!"
Mau tidak mau San Hong tertawa membayangkan gadis itu akan mengiler sepanjang jalan! Bukan main! Untuk makan bebek panggang saja harus membuang waktu sebulan! Mana ada gadis lain seaneh ini? Akan tetapi, lebih aneh lagi, dia tidak sampai hati untuk menolaknya.
"Baiklah, Bwee-moi, kita ke kota raja lebih dulu." Siang Bwee bersorak girang dan sejenak ia memegang lengan San Hong.
"Terima kasih, Hong-koko. Memang sejak semula aku sudah tahu bahwa engkau seorang yang amat baik."
Mereka melakukan perjalanan cepat dan kurang lebih sepuluh hari kemudian mereka tiba di sebuah hutan yang lebat di sebelah selatan kota raja Yen-cin Kota raja sudah dekat, tinggal setengah hari perjalanan dengan kuda saja. Ketika mereka memasuki hutan itu, matahari telah naik tinggi sehingga legalah hati mereka.
Tidak enak melakukan perjalanan di bawah terik matahari yang sedang panaspanasnya, dapat membakar kulit dan Siang Bwee tidak suka kalau sampai kulit mukanya menjadi hitam terbakar panas matahari. Melakukan perjalanan melalui hutan yang penuh dengan pohon di tengah hari itu nyaman dan sejuk.
"Perutku lapar, Koko. Bekal kita tinggal roti kering dan daging dendeng asin. Hutan ini besar dan lebat, tentu mudah mencari kijang atau kelinci, setidaknya burung. Kita cari daging, kita panggang dan makan bersama roti kering di bawah pohon yang sejuk hawanya, tentu lezat."
San Hong tersenyum. "Apakah tidak lebih baik cepat-cepat melanjutkan perjalanan agar segera sampai ke kota raja lalu menikmati bebek panggang di sana?"
"Wah, masih jauh. Kalau dilanjutkan, telah malam gelap baru kita akan sampai ke sana. Perutku sudah lapar sekali."
"Makin lapar makin baik, Bwee-moi. Bukankah lapar merupakan lauk paling lezat?" San Hong menggoda.
"Ihhh, engkau pandai berpura-pura. Ketika kita berjalan tadi, beberapa kali aku mendengar ayam jantan berkokok dari dalam perutmu!"
"Kau juga!"
Keduanya tertawa dan mereka lalu mulai berindap-indap mencari binatang buruan untuk disantap. Tak lama kemudian, mereka melihat sekor kijang berloncatan dan lari ketakutan. Akan tetapi larinya tidak kencang lagi, bahkan terhuyung-huyung. Tanpa menanti lebih lama lagi, Siang Bwee mengayun tangannya dan sebuah batu sebesar kepalan tangan, batu yang runcing dan sejak tadi dibawanya, meluncur ke arah kepala kijang itu. Tepat sekali batu itu mengenai kepala dan kijang itu pun rebah, berkelojotan sebentar dan tewas dengan kepala retak retak!
Dengan berloncatan gembira seperti seorang anak kecil Siang Bwee lari menghampiri tempat robohnya kijang itu, di ikuti San Hong yang juga merasa gembira. Dengan beberapa loncatan saja mereka tiba didekat bangkai kijang itu. Kijang itu rebah dan mati, akan tetapi yang membuat mereka tertegun adalah ketika mereka melihat betapa ada sebatang anak panah menancap di tubuh kijang, tidak tepat benar kenanya maka kijang itu tidak mati dan masih mampu berlari dan meloncat tadi.
"Wah, kijang ini sudah terluka!" kata Siang Bwee dan karena heran dan penasaran, ia merenggut lepas kain penutup kepalanya sehingga rambutnya yang panjang dan agak berikal itu terlepas dai terurai ke bawah. Ia tidak peduli, karena di dalam hutan itu ia tidak perlu terlalu menjaga penyamarannya. Binatang hutan tidak akan tahu, atau kalau tahu pun tidak akan peduli apakah ia laki-laki atau perempuan!
Siang Bwee menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan San Hong memandang dengan hati geli. Pakaiannya pakaian pria, akan tetapi rambutnya yang terurai itu jelas rambut wanita. Dalam keadaan setengah-setengah itu mengapa Siang Bwee tetap saja nampak begitu menarik?
Tiba-tiba mereka berdua membalikkan tubuh karena mendengar suara jejak kaki orang dan pada saat itu terdengar bentakan nyaring, "Siapa berani mengganggu buruan kami?" Dan muncullah empat orang mengiringkan seorang laki-laki yang pakaiannya mewah dan gagah. Lima orang itu semua memegang busur dan di punggung mereka terdapat tempat anak panah.
Akan tetapi, biarpun mereka membawa busur dan anak panah, tidak mungkin mereka itu pemburu-pemburu miskin karena pakaian mereka itu mewah dan gagah, terutama sekali pria yang berada di depan. Pria ini tubuhnya jangkung jenggotnya panjang dan sikapnya berwibawa sekali.
Biarpun lima orang itu kelihatan gagah, berusia antara empat puluh dan lima puluh tahun, dan kelihatan bengis berwibawa. Siang Bwee tidak menjadi takut. Sambil bertolak pinggang, ia melangkah maju, tidak peduli akan rambutnya yang terurai karena memang sudah terlanjur begitu. Ia pun tidak mengubah suaranya, suara wanita yang nyaring melengking.
"Siapa mengganggu buruan siapa? Kita berada di rimba raya! Semua binatang buruan adalah milik rimba, binatang liar. Siapa yang berhasil merobohkan seekor binatang hutan, dialah yang berhak memilikinya.”
Pria jangkung itu memandang dengan sinar mata kagum. Ketika empat orang yang berada di belakangnya hendak marah, dia mengangkat tangan menyuruh mereka diam, lalu dia berkata kepada Siang Bwee. "Nona yang gagah perkasa dan cantik jelita, tentu engkau melihat bahwa kijang ini sudah terluka oleh anak panah kami dan kami sedang memburunya."
"Hemmm, siapa tidak pandai berburu lebih baik tinggal di rumah. Sebatang anak panah telah diluncurkan, akan tetapi binatang buruan tidak juga roboh sebaliknya masih mampu lari cepat. Akulah yang telah merobohkannya dengan sambitan batu yang mengenai kepalanya. Binatang kijang ini milikku, dan kalian boleh mengambil anak panah yang tidak berguna itu!"
Sementara itu, San Hong cepat memberi hormat dan berkata dengan suara penuh hormat, "Harap Cu-wi (Anda kalian) sudi memaafkan kami yang tidak tahu bahwa binatang buruan ini sedang Cu-wi kejar. Kalau Cu-wi menghendakinya, silakan ambil, kami akan mencari yang lain....."
"Tidak bisa begitu!" tiba-tiba Sia Bwee memotong ucapan San Hong dengan marah. "Hong-ko, kenapa engkau mendadak menjadi begini penakut? Aku tidak takut kepada mereka, dan kalau mereka hendak memaksa dan mengambil kijang ini mereka harus lebih dulu mengalahkan aku."
Mendengar ini, kembali empat orang yang berada di belakang si jangkung itu kelihatan marah, akan tetapi pria jangkung itu sebaliknya malah tertawa bergelak, lalu menoleh kepada mereka sambil berkata, "Pernahkah kalian melihat seorang wanita begini hebat? Cantik jelita, gagah perkasa, pemberani, sungguh mengagumkan! Kalau saja kami dapat mempunyai seorang selir seperti dia! Akan amanlah rasanya."
Lalu dia memandang kepada Siang Bwee sambil berkata dengan sikap sungguh-sungguh, "Nona, maukah engkau menjadi selir kami? Atau, kalau engkau suka menjadi selir seorang di antara para pangeran muda, juga hal itu sudah cukup menyenangkan hati kami....."
Wajah itu menjadi pucat, lalu merah sekali, matanya melotot dan hampir Siang Bwee tak mampu mengeluarkan kata-kata saking marahnya mendengar ucapan yang dianggap teramat sangat menghinanya itu. "Apa kamu bilang? Heiii, hati-hati menjaga itu mulut! Siapa sudi menjadi selir. Enak saja bicara....."
"Bwee-moi, tahan.....!" Tiba-tiba San Hong memegang lengannya dan menariknya ke belakang ketika melihat gadis itu hendak bergerak menyerang si jangkung yang hanya tersenyum dengan pandang mata semakin kagum.
"Koko, lepaskan, biar kuhajar dia.....!"
"Ssttttt..... lihat, itu hiasan rambut berbentuk liong (naga) dan lihat sulaman pada baju, juga naga.... jangan-jangan beliau adalah Sribaginda.....!" bisik San Hong.
"Sri..... Sribaginda raja.....?" Mata Siang Bwee terbelalak dan ia mengamati wajah pria yang masih tersenyum berdiri di depannya itu.
"Benar, kalian berhadapan dengan kami, Wai Wang Kaisar Kerajaan Cin Kami bermaksud baik, Nona, bukan bermaksud menghinamu." kata Raja Wai Wang. Raja atau Kaisar Kerajaan Cin yang baru ini memang suka sekali berburu binatang hutan, di samping suka pula mengumpulkan wanita cantik!
Selagi Siang Bwee bengong, tak mampu menjawab atau bergerak saking kagetnya mendengar bahwa pria yang dimaki-maki dan dimarahinya itu adalah seorang kaisar, tiba-tiba terdengar suara banyak orang dan bermunculanlah belasan orang yang mengepung tempat itu. Seorang di antara mereka, yang bertubuh pendek gendut, tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, Sri baginda Wai Wang. Kami telah berhasil memancing Paduka berpisah dari pasukan dan hanya dikawal empat orang di tempat ini. Paduka telah dikurung. Menyerahlah untuk menjadi tawanan kami, atau terpaksa kami mempergunakan kekerasan!"
Kaisar Wai Wang terkejut dan nampak ketakutan. Empat orang pengawalnya segera melindunginya dan sambil bersembunyi di belakang mereka, kaisar itu membentak untuk mengembalikan wibawanya. "Siapakah kamu, berani memberontak di depan kami?"
Si pendek gendut itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, Sribaginda Wai Wang lihatlah baik-baik. Kami bukanlah rakyatmu! Kami bekerja untuk Sang Maha Raja Jenghis Khan dan kami hendak menawan Paduka untuk kami hadapkan kepada raja kami!"
Bukan main kagetnya Kaisar Wai Wang mendengar ini dan tubuhnya gemeter. Empat orang pengawalnya sudah mencabut pedang masing-masing. Akan tetapi pada saat itu, San Hong dan Siang Bwee sudah meloncat ke depan menghadapi si gendut pendek itu.
"Harap kalian lindungi kaisar!" kata Siang Bwee kepada empat orang pengawal kaisar itu dan ia sendiri sudah menyamber sebatang kayu ranting pohon lalu menudingkan tongkat itu ke arah muka si pendek gendut. "Engkau ini kura-kura menjemukan, jangan menjual lagak di sini!"
Akan tetapi pada saat itu, seorang di antara para pengepung sudah melontarkan tombaknya ke arah Siang Bwee. Tombak meluncur cepat ke arah lambung gadis itu.
"Bwee-moi, awas.....!!" Seru San Hong namun terlambat. Dengan kecepatan kilat, tombak yang dilontarkan itu telah mengenai lambung gadis itu.
"Tranggg.....!" Tombak itu terpental seperti mengenai lambung yang terbuat dari baja saja! Dan gadis itu tersenyum senyum nakal memandang kepada San Hong.
"Hong-ko, kau kaget? Tombak tumpul itu mana dapat melukai aku? Mari kita hajar anjing-anjing ini, Hong-ko.!" Berkata demikian, Siang Bwee sudah menggerakkan senjatanya dengan dahsyat dan terkejutlah si gendut pendek yang menangkis dengan pedangnya karena pedangnya hampir terpental dari tangannya!
San Hong juga cepat mencabut pedangnya yang mengeluarkan sinar kilat. Pek-lui-kiam (Pedang Kilat) di tangannya menyambar-nyambar dan melihat kelihaian dua orang ini, belasan orang anak buah si gendut pendek yang bekerja untuk Jenghis Khan itu segera mengepung dan mengeroyok.
Kaisar Wai Wang menonton di belakang empat orang pengawal yang melindunginya. Hebat bukan main sepak terjang Siang Bwee dan San Hong. Mereka berdua yang maklum bahwa Raja Cin terancam bahaya, sudah mengamuk dan para pengepung menjadi kocar-kacir.
Ketika pasukan pengawal kaisar datang, tiga orang pengepung tewas termasuk si pendek gendut yang tewas di ujung pedang Pek-lui-kiam, empat orang luka parah dan sisanya melarikan diri. Tiga puluh orang pengawal itu dipimpin oleh seorang panglima setengah tua yang nampak gagah perkasa Panglima ini bukan lain adalah Yeli Cutay yang pada waktu itu telah berusia empat puluh lima tahun lebih.
Seperti telah diceritakan di bagi depan, Yeliu Cutay yang berasal da suku Liao-tung, mengabdi kepada Kerajaan Cin atau yang terkenal dengan sebutan negara Khatay, karena sejak dia masih kecil, ayahnya telah menjadi seorang pejabat tinggi Kerajaan Cin. Karena dia pandai ilmu silat dan ayahnya seorang pejabat yang setia, maka oleh Kaisar Wai Wang, Yeliu Cutay diangkat menjadi seorang panglima pengawal yang biasa menemaninya berburu binatang di hutan.
Pada hari itu, Kaisar Wai Wang pergi berburu, dikawal oleh Yeliu Cutay yang membawa tiga puluh orang perajurit pengawal, dan kaisar juga dikawal oleh empat orang pengawal pribadinya. Ketika kaisar berhasil memanah seekor kijang akan tetapi karena tidak tepat kenanya sehingga kijang itu masih dapat berlari cepat, kaisar yang merasa gembira mengadakan pengejaran sendiri, tanpa menghiraukan peringatan Yeliu Cutay.
Dengan hanya empat orang pengawalnya kaisar melakukan pengejaran, melarang pasukan untuk ikut mengejar karena hal itu akan mendatangkan suara berisik. Dia ingin menangkap sendiri kijang yang sudah dilukainya itu. Yeliu Cutay dan pasukannya terpaksa hanya membayangi dari jauh. Akan tetapi hutan itu demikian lebat sehingga sebentar saja, kaisar dan empat orang pengawalnya itu lenyap di telan pohon-pohon raksasa dan semak-semak belukar.
Dengan hati khawatir, Yeliu Cutay mencari-cari dan akhirnya dia menemukan kaisar itu dalam keadaan baru saja terlepas dari ancaman bahaya maut di tangan sekumpulan orang yang ternyata adalah kaki tangan Kerajaan Mongol yang baru muncul. Akan tetapi, Kaisar Wai Wang yang merasa kagum sekali kepada para penolongnya, terutama sekali kepada Siang Bwee, tertawa dan berkata kepada panglimanya.
"Yeliu Ciang-kun, lihat betapa gagah perkasanya pemuda dan gadis ini. Mereka berdua menggagalkan gerombolan Mongol yang hendak menawan kami! Persiapkan kuda untuk mereka berdua yang kami undang sebagai tamu ke istana!"
Diam-diam Siang Bwee mengerutkah alisnya, akan tetapi melihat sikap gadis itu, Sin Hong memberi isyarat kedipan mata. Yang mengundang adalah seorang kaisar dan mereka berdua berada di wilayah kekuasaan Kerajaan Cin. Menolak undangan seorang kaisar dapat dianggap sebagai suatu penghinaan atau setidaknya kurang hormat dan sekali kaisar itu memberi tanda, mereka berdua dapat saja ditangkap sebagai pemberontak.
Pula, San Hong juga ingin sekali melihat bagaimana keadaaan sebuah istana kaisar dilihat dari dalam karena dia belum pernah melihatnya. Juga, bukankah mereka berdua memang bermaksud pergi ke kota raja Yen-cing untuk menikmati bebek panggang? Siang Bwee mengangguk akan tetapi wajahnya tidak begitu cerah. Masih teringat ucapan kaisar itu yang ingin mengambilnya sebagai selir, atau ingin memberikannya kepada seorang pangeran untuk menjadi selir!
Akan tetapi, sifatnya yang gembira dan jenaka itu timbul kembali ketika siang Bwee menunggang kuda di samping San Hong dan Yeliu Cutay karena panglima itu ternyata ramah sekali. Ia sudah menutupi pula rambutnya yang digelung ke atas sehingga kini ia merupakan seorang pemuda tampan yang wajahnya cerah dan riang. Sambil menunggang kuda mengiringkan kereta kaisar, Yeliu Cutay mengajak kedua orang muda itu bercakap-cakap dan berkenalan.
"Kami juga merasa beruntung bahwa Sribaginda selamat dari ancaman malapetaka karena pertolongan kalian berdua Kalau tidak ada kalian dan sampai terjadi apa-apa kepada Sribaginda, tentu aku sendiri akan mempertanggung-jawabkan sebagai seorang panglima pengawal. Kalau boleh aku mengetahui, siapakah kalian dua orang muda yang gagah ini dan dari mana kalian datang? Ketahui bahwa namaku Yeliu Cutay dan aku seorang panglima pasukan pengawal dari Sribaginda Kaisar."
"Namaku Kwee San Hong....."
"Dan aku Ang Siang Bwee!" Siang Bwee sudah melanjutkan karena ia tidak ingin pemuda itu membuat pengakuan tentang dirinya sebagal puteri Nam Tok. "Kami. adalah sahabat baik yang melakukan perjalanan ke empat penjuru dunia untuk menambah pengetahuan dan memperluas pengalaman. Kami baru datang dari kota Siyang di timur, dan kami kebetulan lewat di sini maka kami bermaksud pergi ke kota raja Yen-cing. Karena lapar kami tadi berburu di hutan sama sekali tidak tahu bahwa akan bertemu dengan Sribaginda di sana....."
Akan tetapi, San Hong adalah seorang muda yang polos dan jujur dan watak ni membuat dia nampak kurang cerdik, mendengar ucapan gadis itu, dia merasa tidak enak dan merasa tidak perlu berbohong terhadap seorang panglima pengawal kaisar. Maka, dia pun menyambung sebagai keterangan tambahan.
"Nona Ang Siang Bwee ini berasal dari selatan, sedangkan saya berasal dari gunungan Thian-san. Kami memang kebetulan bertemu dalam perjalanan dan Nona ini sudah banyak menolong saya. Kami baru saja pulang dari kota Si-yang, tempat tinggal Tung Kiam yang mengobati saya dan....."
"Hong-ko.....! Urusan pribadi tidak perlu diceritakan kepada Yeliu Ciang-kun!" tegur Siang Bwee dengan alis berkerut.
Sementara itu, diam-diam Yeliu Cutay terkejut bukan main mendengar nama Tung Kiam, seorang datuk sesat yang ditakuti. "Nona Ang, sebaiknya kalau kepada Sribaginda engkau tidak mengatakan bahwa engkau adalah rakyat Kerajaan Sung diselatan. Dan engkau orang muda, jangan sebut-sebut nama Tung Kiam di depan Sribaginda. Katakan saja bahwa kalian adalah rakyat Kerajaan Cin yang sedang mengembara."
Bisikan ini saja membuat San Hong dan Siang Bwee merasa suka kepada panglima itu. Jelas bahwa panglima mempunyai iktikad baik terhadap mereka. Setelah tiba di kota raja, Siang Bwee berkata kepada San Hong, "Hong-koko lihat, itulah rumah makan yang kumaksudkan!" San Hong memandang, dan memang di depan restoran itu tergantung banyak bebek panggang yang gemuk dan berminyak, dapat memancing keluarnya air liur.
"Hemmm, memang kelihatannya lezat!" katanya memuji.
"Kalau sudah selesai dengan Sribaginda, aku akan segera pergi ke rumah makan itu," kata pula Siang Bwee.
Akan tetapi ketika mereka tiba di istana, Siang Bwee juga merasa gembira sekali. Mereka disambut seperti dua orang bangsawan tinggi. Beberapa orang dayang yang cantik menyambut mereka dan mereka terpaksa harus berpisah karena kalau San Hong dibawa ke bangunan untuk tamu agung pria, sebaliknya Siang Bwee oleh beberapa orang dayang dibawa ke bagian puteri, sebelah dalam istana agak ke belakang. Siang Bwee hendak memprotes, akan tetapi Yeliu Cutay belum berpisah berkata kepadanya dengan lembut.
"Nona, di sini semua harus menurut peraturan. Untuk tamu wanita, terdapat tempat di bagian puteri, tidak boleh bercampur dengan bangunan untuk tamu pria, akan tetapi tentu kalian akan dapat bertemu kalau nanti diminta menghadap Sribaginda, atau kalau diajak makan malam. Harap Nona jangan khawatir."
Mendengar ini, barulah Siang Bwee menurut dibawa ke dalam oleh para dayang. Bagaimanapun juga, berada di dalam bangunan yang luar biasa besar, luas dan segalanya serba indah dan mewah itu, ia merasa dirinya kecil. Yang membuat Siang Bwee girang bukan main adalah ketika para dayang menyediakan air hangat yang harum untuk mandi, dengan bak mandi besar di mana ia dapat merendam tubuhnya.
Terasa segar dan hangat, dan biarpun ia merasa rikuh, tetap saja dua orang dayang memandikannya dan menggosok punggungnya dengan akar lunak yang wangi! Dan ia pun terpesona ketika para dayang sudah menyediakan pakaian wanita yang amat indah, pakaian para puteri istana untuknya! Bagaikan seorang anak kecil mendapatkan mainan baru, Siang Bwee mencoba beberapa stel pakaian dan akhirnya ia memilih satu stel pakaian sutera yang berwarna merah muda dengan kembang-kembang biru dan kuning.
Ia bahkan membiarkan rambutnya digelung seperti gelung para puteri oleh dayang-dayang itu yang merasa gembira pula melihat nona yang cantik jelita itu begitu lucu, dan akhirnya, dengan pakaian lengkap, sebagai seorang puteri, para dayang itu menyediakan cermin untuknya. Siang Bwee berkali-kali mengeluarkan seruan kagum, memuji dirinya sendiri!
"Nona memang cantik sekali, tidak kalah oleh para puteri di sini!" kata seorang dayang.
"Para pangeran akan berebutan untuk mengambil hatimu, Nona." kata dayang ke dua dan ucapan itu membuat Siang Bwee mengerutkan alisnya.
Teringat ia akan ucapan Sribaginda dan hatinya menjadi kesal. "Sudahlah, antarkan aku kepada sahabatku Kwee San Hong. Aku mau bertemu dan bicara dengan dia!" Di dalam hatinya, sebetulnya dara ini ingin memamerkan keindahan pakaiannya kepada pemuda itu.
"Maaf, nona Ang. Hal itu tidak diperkenankan sama sekali. Kita harus menanti sampai ada panggilan dari paduka yang mulia Sribaginda. Sebelum itu, Nona diharap menunggu dan tidak boleh sembarangan keluar dari bagian puteri ini."
Siang Bwee mengerutkan alisnya dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat. "Akan tetapi.... aku bukan seorang tawanan!" katanya mulai marah.
"Memang benar, Nona. Nona seorang tamu agung, tamu yang diundang oleh paduka, yang mulia sendiri, akan tetapi di sini segalanya harus menurut peraturan Nona."
"Hemmm, peraturan tinggal peraturan! Harus menyenangkan tamu! Aku ingin bicara dengan sahabatku, dan..... perutku sudah lapar sekali! Mana Yeliu Ciangkun? Biarkan aku bicara dengan dia!"
"Yeliu Ciangkun adalah seorang panglima pengawal yang bertugas menjaga Istana, akan tetapi dia pun tidak diperkenankan memasuki bagian puteri ini. Komandan pengawal dibagian puteri ini ada sendiri, karena semua pengawal di bagian puteri ini adalah pengawal thaikam (laki-laki kebiri)."
"Kalau aku nekat keluar untuk mencari sendiri sahabatku itu?"
"Jangan, Nona. Nona akan berhadapan dengan puluhan orang pengawal dan Nona tentu akan dilarang karena itu menyalahi peraturan."
Para dayang membujuk dan mereka mulai merasa khawatir sekali. Mereka semua sudah mendengar bahwa nona ini ialah seorang pendekar yang memiliki kepandaian tinggi, bahkan telah menyelamatkan kaisar dari sergapan musuh. Mereka khawatir kalau nona yang mulai galak ini akan mengamuk dan memaksa keluar dari bagian puteri.
Untung bagi mereka pada saat itu, dua orang pengawal thai-kam datang dan memberitahu bahwa tamu agung itu, nona Ang Siang Bwee, diharapkan kehadirannya di ruangan makan besar di mana biasanya kaisar menjamu para tamu agung yang dihormatinya.
Legalah hati para dayang, lega pula rasa hati Siang Bwee karena selain ia akan bertemu dengan San Hong, ia pun akan dapat mengisi perutnya yang sudah mulai lapar. Ia teringat lagi akan pakaiannya yang indah, maka ia pun membereskan pakaian dan rambutnya, lalu mengikuti dua orang pengawal thaikam itu.
Kembali ia harus mengagumi keindahan istana itu. Kini, berbeda dengan tadi, semua lorong diterangi lampu warna warni sehingga nampak semakin indah. Lantainya dari marmar, beberapa bagian ditilami permadani tebal dan lembut sehingga kaki tidak akan mengeluarku suara sedikit pun kalau berjalan di atasnya.
Dinding dari bangunan yang tinggi itu dihias sajak-sajak dalam tulisan indah, lukisan-lukisan, kain sutera beraneka warna bergantungan. Siang Bwee merasa seperti seorang anak kecil memasuki tempat permainan baru yang indah, atau seperti seorang dusun masuk kota. melangkah sambil memandang ke kanan kiri dan beberapa kali terdengar pujiannya.
Akhirnya, setelah melewati lorong lorong dan ruangan-ruangan indah dan berliku-liku, tibalah mereka di ruang makan yang luas itu. Ruangan makan pun indah sekali, dindingnya dihiasi lukisan-lukisan bunga, dan di situ terdapat pula pot-pot kembang sehingga suasananya segar dan sejuk, seperti di dalam taman saja. Ditengah ruangan terdapat sebuah meja lonjong yang besar, dengan kursi-kursi mengelilinginya.
Meja itu tentu cukup untuk tempat makan lima puluh orang! Ketika ia masuk, belasan kepala bergerak menengok dan belasan pasang mata memandangnya penuh kagum. Bukan hanya kaisar yang memandangnya dengan kagum, akan tetapi juga belasan pria muda yang duduk di situ, semua memandang kagum.
Siang Bwee tidak mempedulikan mereka semua. Matanya mencari-cari dan akhirnya mata itu bersinar dan wajahnya berseri ketika ia melihat Sang Hong duduk di antara mereka. Segera ia menghampiri San Hong dan berkata, "Aih, Hong-ko, aku sudah menanti sejak tadi..."
"Sssttt, Bwee-moi. Sribaginda berada sini, engkau lupa memberi hormat pada beliau."
Siang Bwee mengikuti kerling mata San Hong dan ia pun kini melihat bahwa kaisar memang berada di situ, duduk dan juga memandang kepadanya dengan kagum. Ia lupa bahwa kini ia berpakaian seorang puteri istana, bukan lagi berpakian pria seperti tadi, maka ia merasa heran mengapa kaisar yang tadi sudah melihatnya, kini memandangnya seperti itu.
Akan tetapi mengingat bahwa pria itu seorang kaisar dan harus dihormati, maka ia pun melangkah maju ke depan kaisar dan mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai pemberian hormat. Pemberian hormat biasa saja seolah-olah kaisar itu baginya hanya seorang laki-laki yang lebih tua dan patut dihormati! Padahal, wanita lainnja tentu akan menjatuhkan diri berlutut!
Akan tetapi, Kaisar Wai Wang tidak marah. Dia tahu bahwa gadis yang cantik jelita itu adalah seorang gadis kang-ouw yang tidak begitu mengenal peraturan apalagi peraturan istana. "Ha-ha-ha, nona Ang Siang Bwee hampir saja kami tak mengenalmu. Sekarang engkau telah menjadi seorang gadis yang cantik jelita seperti bidadari tidak seperti tadi lagi, setengah pria setengah wanita. Nah, para pangeran lihatlah baik-baik, bukankah nona Ang ini hebat dan menarik?"
Belasan orang yang hadir itu adalah orang-orang muda yang usianya antara dua puluh sampai tiga puluh tahun. Mereka adalah para pangeran, putera kaisar yang oleh kaisar sengaja diundang untuk diperkenalkan kepada Siang Bwee! Kini mereka yang memang sejak tadi mengagumi Siang Bwee mengeluarkan seruan memuji.
"Hebat sekali!"
"Cantik manis!"
"Begitu lembut, akan tetapi begitu lihai!"
Menghadapi pujian-pujian dan melihat betapa belasan pasang mata itu seperti hendak menelannya, bahkan ada yang seperti membelainya, Siang Bwee merasa rikuh sekali. Hampir ia marah dan mukanya sudah berubah merah.
Melihat ini, San Hong cepat bangkit berdiri dan berkata kepadanya, "Bwee-moi, duduklah. Yang Mulia telah berkenan menjamu kita dan lihatlah, kesukaanmu tersedia pula di sini!"
Siang Bwee memandang ke arah yang dituding San Hong dan wajahnya berseri kembali ketika ia melihat beberapa ekor bebek panggang "duduk" dengan anggunnya, menanti ia seorang. Ia lalu duduk di atas bangku yang dekat dengan bebek-bebek itu, tak peduli bahwa ia duduk di antara dua orang pangeran muda, karena matanya kini hanya memandang ke arah bebek bebek itu.
Kaisar tertawa girang. Tadi panglima Yeliu yang memesan kepala koki di dapur agar untuk tamu agung itu dibelikan bebek panggang yang dijual restoran sudut timur kota raja! Mulailah mereka makan minum baik San Hong maupun Siang Bwee mengalami makan yang luar biasa. Belum pernah selama hidup mereka itu mereka menghadapi makanan sebanyak dan semewah itu.
Tiada hentinya para dayang hilir mudik untuk membawa makanan baru yang masih mengepul. Hampir segala macam ikan laut tersedia, juga segala macam daging binatang, segela macam sayur dan buah-buahan. Sungguh makan malam yang teramat berlebihan berlimpah dan banyak yang tidak dimakan!
Biarpun yang makan di situ hanya ada tujuh belas orang, akan tetapi makanan yang dihidangkan itu kiranya cukup untuk dimakan dua ratus orang. San Hong memang seorang pemuda sederhana, sejak kecil dia hidup sebagai seorang dusun yang sederhana, maka tentu saja makan seperti itu belum pernah dihadapinya, dalam mimpi sekali pun! Bahkan Siang Bwee, puteri datuk yang dimanja, minta apa pun akan terpenuhi, tetap saja belum pernah dara ini makan semewah itu.
Ia mendapatkan bebek panggang seekor untuk ia sendiri! Dipilihnya bagian-bagian yang paling disukainya. Masakan-masakan yang serba lezat dan mahal itu memasuki perut diantar oleh anggur yang harum dan manis, tidak terasa keras sehingga Siang Bwee dan San Hong suka meminumnya. Akhirnya, Siang Bwee tidak kuat lagi. Perutnya yang kecil sudah penuh sesak dan ia meletakkan sumpitnya, agak terengah karena perutnya terlalu kenyang, dan ia menghela napas lega dan puas.
"Bagaimana, nona Ang Siang Bwee? Sedapkah makannya?" Sribaginda bertanya sambil tersenyum gembira.
"Wah, lezat sekali! Sedap bukan main dan selama hidup, hamba belum pernah makan sehebat ini!"
San Hong juga tersenyum girang bahwa kini Siang Bwee sudah mulai dapat menyesuaikan diri, menyebut hamba untuk diri sendiri, tidak saya atau aku. "Paduka yang mulia sungguh amat bijaksana, dan baik kepada hamba berdua dan hamba berdua menghaturkan banyak terima kasih, Sribaginda." kata San Hong.
Akan tetapi, kaisar itu tidak mempedulikannya, bahkan dia yang sejak tadi memandang kepada Siang Bwee, kini berkata, "Nona Ang Siang Bwee, seperti pernah kukatakan kepadamu, kami ingin sekali mengangkat engkau menjadi puteri istana. Engkau boleh memilih sendiri menjadi selir kami ataukah menjadi selir seorang di antara para pangeran ini. Pilihlah salah satu. Lihat, mereka semua tampan-tampan, ha-ha-ha!"
Seketika wajah Siang Bwee yang tadinya cerah dan berseri itu, berubah pucat! lalu merah sekali. Ia memandang kepada para pangeran itu dan baru sekarang teringat ia betapa para pangeran itu sejak tadi bersikap manis dan berebutan untuk melayani ketika ia makan tadi. Tadinya ia hanya menganggap mereka itu memang menjadi keluarga tuan rumah yang ramah, akan tetapi kini ia maklum bahwa benar seperti apa yang dikatakan dayang yang melayaninya, mereka itu memperebutkannya!
"Tidak! Aku tidak suka menjadi selir siapapun juga!" katanya dengan ketus dan nyaring sambil bangkit berdiri.
San Hong juga terkejut dan tidak senang mendengar ucapan kaisar tadi, akan tetapi, dia lebih terkejut mendengar ucapan dan melihat sikap Siang Bwee. Gadis itu sungguh kurang berhati-hati. Di depan kaisar dan para pangeran memperlihatkan sikap yang demikian keras. Mengapa tidak ditolaknya secara halus saja? Para pangeran juga saling pandang dan dia melihat betapa kaisar mengerutkan alisnya, tanda bahwa hatinya tersinggung, cepat San Hong menjura dengan hormat dan berkata dengan suara lantang.
"Mohon Paduka yang mulia sudi mengampuni sikap Bwee-moi. Akan tetapi sungguh ia tidak mungkin dapat menerima kehormatan yang diberikan oleh Paduka sebagai anugerah itu, karena sesungguhnya ia telah bertunangan, dan calon suaminya adalah hamba sendiri."
Hampir saja Siang Bwee berteriak saking kaget dan... girangnya mendengar pengakuan San Hong itu. Akan tetap Kaisar Wai Wang memandang dengan muka keruh, dan para pangeran pun terdiam.
Kaisar mengangguk-angguk dan lalu berkata, "Baiklah, besok saja kita lanjutkan percakapan. Sekarang kalian boleh beristirahat!" Kaisar memberi isyarat dan para dayang, bagaikan meluncur saja, datang dan memberi hormat kepada kaisar sambil berlutut.
"Bawa dua orang tamu kami ke kamar masing-masing dan layani mereka sebaiknya!"
Biarpun San Hong dan Siang Bwee akan merasa lebin suka kalau pada saat itu juga mereka diperbolehkan meninggalkan istana, namun mereka tidak berani mengatakan hal itu. Biarlah, malam ini mereka bermalam di istana dan besok pagi-pagi mereka akan berpamit dan melanjutkan perjalanan.
San Hong memasuki kamarnya yang indah. Selama hidupnya, belum pernah dia tidur di dalam sebuah kamar seperti itu! Kamar itu berukuran lima kali sepuluh meter, dindingnya dicat hijau muda dan dihias lukisan wanita cantik dalam keadaan setengah telanjang, di sana-sini terdapat sutera aneka warna, pot-pot bunga dengan bunga segar, lantainya diberi permadani merah.
Ada sebuah meja dan empat buah kursi yang lunak berkasur, dan sebuah tempat tidur yeng besar dan kasurnya lunak sekali, dengan kelambu yang berwarna merah jambu. Ada guci-guci antik, patung-patung indah. Pendeknya, sebuah kamar yang hebat dan membuat dia gelisah. Bagaimana dia akan dapat tidur nyenyak didalam kamar seindah itu?
Kasur pembaringan itu terlalu lunak baginya, dia merasa seperti mengambang di atas air saja! Di segalanya terlalu bersih sehingga seringkali dia merasa takut untuk menyentuhnya, takut kalau mengotorinya.
Dia masih duduk termangu, belum melepas pakaiannya, di atas sebuah antara kursi itu, seperti tidak tahu apa yang harus dilakukannya, ketika daun pintu diketuk perlahan. Dia meloncat bangkit dengan jantung berdebar girang karena mengharapkan Siang Bwee yang mengetuknya.
Akan tetapi hatinya membantah sendiri. Tak mungkin Siang Bwee dapat ke sini, pikirnya. Ketika dia membuka daun pintu, dua orang dayang yag tadi melayaninya muncul bersama seorang wanita yang amat cantik jelita.
Pakaiannya mewah sekali dan begitu wanita itu masuk, tercium bau harum sekali. Wanita itu berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, wajahnya nampak cantik manis karena dibantu oleh goresan goresan hitam dan merah alat kecantikan dan begitu memasuki kamar, ia tersenyun senyum dan mengerling penuh daya pikat dan kegenitan.
Sebelum San Hong sempat bertanya, dua orang dayang itu berkata sambil tertawa genit. "Hi-hi-hik, Kongcu, yang mulia Sribaginda mengirimkan gadis cantik ini untuk menemanimu malam ini!" Setelah berkata demikian, dua orang dayang itu cepat menutupkan daun pintu dan mereka pun sudah berada di luar kamar, meninggalkan San Hong berdua saja dengan wanita itu.
Melihat betapa pemuda itu nampak keheranan, rikuh dan malu-malu, si cantik sudah menggandeng tangannya dan ditariknya San Hong ke tempat tidur. Karena masih belum mengerti benar, dan tidak ingin bersikap kasar terhadap wanita yang belum diketahuinya siapa, San Hong menurut saja ketika dia ditarik ke tempat tidur. Wanita itu lalu mendorong San Hong duduk di tepi pembaringan, dan ia sendiri pun duduk di sampingnya, merapat.
"Kongcu (Tuan Muda), mengapa engkau termenung saja? Lepaskan pakaian dan sepatumu dan mari mengaso. Akan kupijiti seluruh tubuhmu agar terasa nyaman dan hilang semua rasa lelahmu."
Barulah San Hong terkejut ketika mendengar ucapan itu. Dia bangkit dan menjauh dua langkah, lalu memandang wanita itu dengan sinar mata tajam menyelidik. "Siapa engkau? Dan apa artinya engkau datang ke kamar ini?"
Gadis itu tersenyum geli, seperti melihat sesuatu yang lucu. "Aih, Kongcu. Bukankah Kongcu ini Kwee San Hong tamu agung di istana? Seperti yang telah dikatakan para dayang tadi, aku diutus yang mulia kaisar untuk menemanim malam ini. Aku adalah seorang di antara penari dan penyanyi istana, Kongcu, dan selain menari dan menyanyi, aku pun pandai sekali memijit tubuh yang lelah mengusir duka dari dalam hati, mendatangkan suka dan gembira dalam kalbu dan masih banyak sekait kepandaian kumiliki."
"Tidak, aku tidak membutuhkan semua itu! Aku tidak membutuhkan engkau! Keluarlah dan kembalilah kepada paduka yang mulia kaisar, dan sampaikan hormat dan terima kasihku!"
Wanita itu tidak nampak terkejut, atau terhina. Ia tetap tersenyum. "Aihhh, Kongcu, mengapa begitu? Apakah Kongcu tidak ingin dipijit lebih dulu dan ingin langsung saja main-main. Nah, mari kubantu engkau melepaskan pakaian dan sepatumu, Kongcu!" Wanita itu mendekat dan tangannya sudah digerakkan untuk melepas kancing baju San Hong. Kembali San Hong mengelak dan mundur.
"Jangan! Tidak, aku tidak mau, engkau pergilah!" katanya, masih tidak berani bersikap kasar karena mengingat bahwa wanita ini adalah utusan kaisar dan bahwa dia berada di dalam istana, bukan di tempat bebas, dan bersikap kasar akan dapat menimbulkan keributan yang amat membahayakan keselamatan dirinya dan Siang Bwee.
"Aih, apa Kongcu takut? Hi-hi-hik, apakah Kongcu masih perjaka dan belum ada pengalaman sama sekali dengan wanita? Ah, aku tidak percaya itu! Kongcu seorang pemuda perkasa dan pengembara, tentu banyak pengalaman. Atau Kongcu malu-malu. Kalau begitu, biarlah aku yang lebih dulu.....!"
Berkata demikian dengan sikap yang memikat, perlahan lahan dan seperti orang menari saja wanita itu mulai melepaskan pakaiannya Dimulainya dengan melepas bajunya perlahan-lahan.
"Tidak! Tahan, jangan engkau lakukan itu!" bentak San Hong. "Kalau engkau memaksa, aku yang akan keluar dari kamar ini dan tinggal di luar kamar!"
Wanita itu terbelalak heran dan mengenakan lagi bajunya yang sudah mulai lepas sehingga nampak pakaian dalamnya dari sutera tipis dan tembus pandang itu. Ia nampak bersungguh-sungguh dan ia tahu bahwa mempergunakan daya pikat kecantikan, agaknya tidak cukup kuat untuk meruntuhkan hati pemuda perkasa ini.
Ia lalu melangkah menghampiri dan berdiri di depan San Hong, tidak lagi genit seperti tadi, melainkan mengambil sikap lembut dan halus, seperti seorang puteri saja.
"Kongcu Kwee San Hong, dengarlah baik-baik. Engkau adalah seorang pemuda yang telah menyenangkan hati Sribaginda, dan beliau ingin pula menyenangkan hatimu. Karena itu, aku dikirim ke sini untuk menemanimu dan menyenangkan hatimu.
"Kalau aku gagal melakukan tugas ini, tentu beliau akan marah dan akan menyangka bahwa aku tidak sungguh sungguh dalam melakukan tugasku. Aku akan dihukum, mungkin hukum cambuk. Apakah Kongcu tidak kasihan melihat kulit punggung dan pinggulku pecah-pecah berdarah?
"Sribaginda amat kejam terhadap kami, Kongcu. Salah sedikit saja kami dihukum. Dahulu, karena keliru dalam bernyanyi aku telah dihukum cambuk sepuluh kali dan sampai sekarang masih ada bekasnya. Kalau Kongcu tidak percaya, lihatlah....." Dan ia akan melepaskan celananya untuk memperlihatkan luka di pinggulnya.
"Tidak usah melihat! Aku percaya" kata San Hong gugup. Wanita itu tiba tiba menangis, air matanya membasahi pipinya dan diserapnya air mata itu dengan sapu tangannya, hati-hati sekali. ia nampak sedih bukan main.
”Kwee kongcu, kalau engkau tidak mau berbaik hati kepadaku malam ini, tentu besok aku akan celaka....."
"Sudahlah, tidak perlu banyak membujuk. Ketahuilah bahwa aku adalah seorang laki-laki sejati yang tidak mudah ditundukkan oleh bujukan seperti itu, sampai bagaimanapun, aku tidak mau ditemani oleh engkau atau wanita lainnya siapapun dan harap engkau suka keluar dengan baik-baik dari sini."
"Jadi... jadi Kongcu mengusir aku? Aku utusan kaisar... dan kalau aku melapor bahwa Kongcu mengusirku....."
San Hong menjadi bingung juga. Dia seorang yang polos dan jujur, tidak tahu bahwa wanita itu seorang yang amat cerdik dan lihai, seperti seorang pemain panggung saja mampu mengubah sikap dan kata-kata dari merayu, membujuk sambil menangis, dan mengancam!
"Hemmm, sungguh aku merasa heran. Mengapa yang mulia mengirim wanita sepertimu untukku? Aku tidak butuh wanita. Aku tidak pernah melakukan hal itu dan aku pun tidak suka melakukannya!"
"Eh, agaknya Kongcu ingin bersikap setia sampai mati, ya? Aku telah mendengar, Kongcu, bahwa engkau telah bertunangan dengan gadis yang menginap pula di istana itu. Kongcu, mengapa Kongcu bersusah payah harus setia? Kalau kita tidur bersama malam ini, siapa yang akan tahu? Jelas gadis itu tidak akan tahu. Pula, mana ada wanita yang dapat dipercaya penuh kesetiaannya. Sedikit saja yang pria lengah, ia akan main mata dengan pria lain! Dan kalau diberi kesempatan bertindak serong, ia bagaikan semut didekatkan gula....."
"Cukup! Aku tidak mengusirmu, akulah yang akan keluar dari kamar ini!" berkata dengan nada marah, San Hon lalu melangkah menuju ke pintu.
"Nanti dulu, Kongcu. Sribaginda juga menitipkan pesan kepadaku untukmu. Apakah engkau juga tidak sudi mendengar pesan yang dititipkan yang mulia untukmu?"
Tentu saja San Hong tidak berani menolak dan dia pun berhenti, lalu membalikkan tubuh memandang wanita itu dengan alis berkerut. "Pesan apakah? Katakan cepat lalu kau pergi dari sini atau aku yang akan berada di luar kamar."
"Kwee-kongcu, Sribaginda memesan agar kusampaikan kepadamu bahwa kalau engkau suka, engkau boleh menikah dengan aku atau dengan seorang di antara puteri di istana ini, dan engkau boleh memilih beberapa orang selir yang kau suka, dan engkau akan diberi kedudukan sebagai komandan pasukan pengawal dengan pangkat tinggi dan gaji besar.
Juga perumahan, pakaian, kereta dan kuda. Engkau akan menjadi seorang bangsawan dalam semalam saja, Kongcu. Juga nona itu akan mendapatkan kedudukan mulia, mungkin sebagai selir Sribaginda sendiri, atau para pangeran....."
"Cukup, aku akan keluar!" seru San Hong dengan hati muak.
"Kwee San Hong, kalau engkau keluar, aku akan menjerit-jerit dan melaporkan bahwa engkau telah memukuli dan menyiksa aku!"
San Hong menahan langkahnya. Di membayangkan bahwa kalau wanita itu benar-benar menjerit-jerit, tentu akan terjadi keributan. Dia akan dituduh tidak berterima kasih, bahkan memberontak dan dia akan dikeroyok oleh banyak sekali perajurit pengawal istana.
Dia seperti seekor kelinci yang sudah tersesat masuk ke dalam gua harimau dan tidak dapat keluar lagi! Biarpun jujur dan polos, namun San Hong cukup berhati-hati dan dia pun tidak jadi keluar, kini mendekati wanita itu sambil menundukkan mukanya.
Wanita itu tersenyum merasa menang. Dengan bujukan tidak berhasil, akan tetapi dengan ancaman, mungkin ia akan berhasil menundukkan pemuda gagah perkasa yang tinggi besar itu. Dan kalau akhirnya ia berhasil membuat perjaka ini jatuh ke dalam pelukannya, tentu akan terasa berlipat ganda lebih nikmat setelah mendapatkan kesukaran menundukkannya.
"Nah, begini lebih baik, bukan?" Wanita itu menyambut San Hong dengan uluran kedua tangannya yang siap untuk merangkul.
San Hong membiarkan saja wanita itu merangkulkan kedua lengan di atas pundaknya, akan tetapi pada saat itu, tangannya bergerak dan wanita itu pun sudah roboh dengan lemas, terkulai bagaikan sehelai kain. San Hong tidak membiarkan ia roboh ke atas lantai, lalu mengangkatnya dan melemparkannya ke atas pembaringan.
Ia menotok wanita itu sehingga tidak mampu bergerak, menjadi lemas dan juga tidak mampu mengeluarkan suara. Hanya mata wanita itu saja yang dapat bergerak ke sana sini dan nampak mata itu mengeluarkan rasa takut yang hebat. San Hong melihat di bawah sinar lampu kamar itu betapa bagian bawah wanita yang terlentang itu menjadi basah. Wanita itu agaknya demikian ketakutan sampai terkencing-kencing!
Akan tetapi dia tidak peduli lagi. Disambarnya pedangnya, kemudian dia teringat akan pakaiannya. Ditanggalkan pakaian indah yang tadi dipakainya, pakaian yang dihadiahkan kaisar, dan dia mengenakan pakaiannya sendiri yang tadi dilepas dan diletakkan di bawah tempat tidur. Juga sepatu baru itu ditukarnya dengan sepatu lama miliknya sendiri.
Setelah itu, dia pun melangkah keluar membuka daun pintu dan berdiri saja di luar kamar. Bagaimanapun juga, dia menjadi bingung membayangkan apa yang akan terjadi besok kalau kaisar mengetahui bahwa dia tidak menerima anugerah berupa wanita cantik dan janji pangkat itu. Dia harapkan saja kaisar mau memakluminya dan membiarkan dia pergi bersama Siang Bwee. Kalau saja Sian Bwee bermalam di dekat tempat itu tentu akan dibangunkannya dan diajaknya melarikan diri saja!
Pada saat itu, tiba-tiba penglihatannya yang tajam terlatih melihat sesosok bayangan berkelebat. Dia mengira Siang Bwee, maka cepat dia meloncat ke bawah pohon di taman depan kamar itu, ketika melihat bayangan itu turun ke bawah pohon. Dan dia berhadapan dengan Yeliu Cutay, panglima pasukan pengawal istana yang telah dikenalnya siang tadi!
San Hong terkejut bukan main dan sudah siap siaga menghadapi segala kemungkinan ! Akan tetapi, Yeliu Ciangkun (Panglima Yeliu) menghampirinya dan berkata dengan suara berbisik.
"Sssttttt..... ke sinilah, Kwee-taihiap (pendekar Kwee)....."
Biarpun dia tetap bersikap waspada dan tidak mau mempercayai panglima itu begitu saja, namun San Hong meloncat menyelinap ke balik dinding yang gelap di mana panglima itu sudah menunggunya. Melihat pemuda itu meraba gagang pedangnya, Yeliu Cutay berbisik sambil tersenyum.
"Jangan sekali-kali mencabut dan mempergunakan pedang di sini, Taihiap. Engkau dan nona Ang harus dapat lolos dari sini malam ini juga, tanpa menimbulkan keributan dan sama sekali tidak boleh menyerang para pengawal dan penjaga."
"Bagaimana caranya dan di mana sekarang Bwee-moi berada?" San Hong balas berbisik dengan hati gelisah. Dia tahu betapa sukarnya lolos dari istana yang luas ini, yang dijaga ketat oleh banyak pengawal.
"Ssttt....., dengar baik-baik," Panglima itu berbisik-bisik didekat telinga Sin Hong. "Ketika dijamu makan tadi, kalian telah minum obat bius yang halus bekerjanya namun amat kuat. Dalam waktu empat jam setelah minum obat yang dicampurkan arak tadi, kalian akan terbius dan pingsan. Sekarang mungkin sudah hampir empat jam....."
Tiba-tiba San Hong memegang dahinya dengan tangan kanan karena di merasa pening dan pandang matanya berkunang. "Celaka....." serunya lirih, "aku...aku mulai merasakan....."
"Tenanglah! Sudah kubawakan obat pemunahnya. Nah, cepat kautelan tiga butir pil ini, Taihiap. Cepat sebelum engkau pingsan!"
San Hong kini percaya kepada Yeliu Cutay dan dia pun menerima tiga butir pil putih kecil itu dan menelannya. Rasanya pahit sekali, akan tetapi setelah dia menelannya, perutnya berbunyi seperi kelaparan dan rasa pening di kepalanya pun berangsur menghilang.
"Bagaimana sekarang baiknya, Ciangkun?" tanyanya pasrah karena dia bingung sekali membayangkan bahwa Siang Bwee tentu juga terbius.
"Tidak ada waktu banyak bicara. Mari ikuti aku mengeluarkan dulu nona Ang dari bagian puteri! Cepat kau pergunakan bedak coklat ini dan kumis palsu, dan pakaian ini. Cepat!" Yeliu Cutay membantu San Hong melakukan penyamaran dan setelah membisikkan bagaimana dia harus bersikap.
San Hong dengan langkah gagah lalu mengikuti Yeliu Cutay menuju kebagian puteri yang merupakan kompleks tersendiri di lingkungan istana itu. Bagian ini dikurung pagar tembok tinggi dan dijaga ketat di bagian luar oleh para pengawal, sedangkan di bagian dalam dijaga oleh para pengawal thai-kam (laki-laki kebiri). Karena malam telah larut, pintu besar bagian puteri yang menghubungkan dengan istana induk itu telah ditutup.
Kalau siang pintu ini dibuka dan dijaga ketat. Hanya wanita saja yang boleh keluar masuk. Bagi pria, hanya yang berwenang saja dan mereka yang membawa surat kuasa dari kaisar. Yeliu Cutay mengetuk pintu gerbang yang tertutup itu. Sebuah lubang dibuka dan sepasang mata penjaga pintu mengintai keluar.
Ketika dia mengenal Yeliu Ciangkun, tentu saja dia cepat membuka pintu dan memberi hormat. "Ada perintah apakah maka Ciangkun malam-malam begini datang...?"