Pedang Asmara Jilid 19 karya Kho Ping Hoo - "SIAPKAN semua teman yang bertugas jaga dan jagalah pintu ini baik baik, jangan perbolehkan siapapun juga keluar malam ini. Siapa saja laki-laki yang malam ini masuk ke bagian ini?"
"Baru saja Pangeran Liok masuk, katanya ada keperluan dengan nona yang menjadi tamu kehormatan....."
"Jaga baik-baik karena ada mata-mata musuh berkeliaran di sekitar istana. Aku hendak minta bantuan pendekar wanita yang menjadi tamu itu karena ia yang mengenal siapa mata-mata yang sudah menyusup ke dalam istana." kata Yeliu Cutay.
Para penjaga mentaati perintah itu dan Yeliu Cutay lalu masuk, diikuti oleh San Hong yang bersikap sebagai seorang pengawal baru yang di-percaya. Setelah melewati tempat penjagaan, dengan cepat Yeliu Cutay mengajak pemuda itu untuk pergi ke bagian ruangan tamu. Istana bagian puteri ini luas sekali, terdiri dari bangunan bangunan mungil dengan taman taman yang indah bagaikan tempat para bidadari dalam dongeng saja.
San Hong kagum bukan main akan tetapi hatinya juga gelisah. Siang Bwee juga terbius dan mungkin sekarang telah pingsan! Dan dari keterangan penjaga tadi dia mendengar bahwa ada Pangeran Liok yang hendak berkunjung ke kamar Siang Bwee!
"Siapakah Pangeran Liok itu, Ciangkun?" tanyanya berbisik.
"Dialah yang paling berbahaya di antara semua pangeran. Dia gila perempuan dan selalu mengganggu para wanita di sini. Agaknya Sribaginda memang memberikan nona Ang kepadanya. Mari cepat jangan sampai terlambat, hati-hati, kalau perlu turun tangan jangan sampai Pangeran Liok melihatmu dan jangan membunuhnya, Tai-hiap."
San Hong mengangguk dan mereka pun berlari cepat menuju ke bangunan di mana terdapat kamar-kamar untuk para tamu wanita. Tak lama kemudian mereka telah mengintai dari sebuah jendela dan San Hong menahan diri agar tidak memaki.
Dia melihat Siang Bwee rebah di atas pembaringan, dan seorang laki-laki sudah berada di kamar itu, duduk di tepi pembaringan dan agaknya sedang mengagumi kecantikan gadis yang sedang tidur itu. Kemudian, laki-laki yang bukan lain ialah Pangeran Liok itu, bergerak merangkul gadis yang terlentang itu.
Dengan petunjuk Yeliu Cutay, San Hong membuka daun jendela dari luar dan di lain saat, dia sudah meloncat ke dalam kamar. Tiba-tiba saja penerangan dalam kamar itu padam dan kamar menjadi gelap ketika San Hong menggunakan kepandaiannya untuk meniup padam lilin lilin yang bernyala di atas meja.
"Ehhh? Apa.... siapa.....?" Pangeran Liok yang suduh mulai merangkul dan menciumi Siang Bwee, terkejut ketika tiba-tiba kamar menjadi gelap. Akan tetapi sebuah tangan mencengkeram tengkuknya dan dua kali totokan membuat dia tidak mampu bergerak, jatuh terkulai di atas lantai dan dia pun tidak mampu mengeluarkan suara karena dia sudah jatuh pingsan!
Lilin di dalam kamar itu dinyalakan kembali dan San Hong cepat mengeluarkan pil pemberian Yeliu Cutay. Dia melihat poci teh dan cangkir di atas meja, maka dengan bantuan air teh, dia memaksa Siang Bwee menelan tiga butir pil, lalu dia mengurut tengkuk dan kedua pundak gadis itu.
"Uhhh...!" Siang Bwee menggeliat dan membuka mata. Ketika ia melihat seorang pria berpakaian pengawal duduk di tepi pembaringan, ia terkejut dan tangannya sudah bergerak hendak memukul. Akan tetapi Sun Hong memegang kedua lengannya.
"Bwee-moi, sadarlah. Ini aku, San Hong," bisiknya.
"Hong-ko .... ah, apa yang kaulakukan di sini? Kau..... kau mau apa.....?"
"Tenanglah," bisik San Hong. "Kita berdua telah dibius, dalam hidangan tadi. Engkau sudah pingsan ketika aku datang dan kuminumkan obat penawarnya. Aku sendiri ditolong Yeliu Ciangkun. Ssttt... kita harus cepat pergi dari sini. Cepat tukar pakaianmu."
Siang Bwee adalah seorang gadis cerdik. Ia sudah dapat menduga apa yang terjadi. Mereka terbius dalam hidangan tadi dan Yeliu Ciangkun, komandan pasukan pengawal yang gagah itu telah menolong mereka! Ia cepat meloncat turun dan menahan pekiknya ketika kakinya hampir menginjak tubuh Pangeran Liok. "Ihhh! Siapa dia?"
"Ssttt, dia Pangeran Liok. Dia sudah di kamar ini dan berniat keji terhadap dirimu ketika aku tiba di sini." Tiba tiba San Hong bergerak ke depan dan menangkap lengan Siang Bwee yang tadi sudah bergerak hendak memukul ke arah kepala pria yang menggeletak di atas lantai.
"Biar kubunuh keparat ini!"
"Sssttttt, jangan! Ingat, kita akan meninggalkan Yeliu Ciangkun yang sudah menyelamatkan kita. Kulau engkau membunuhnya, Yeliu Ciangkun yang sudah menyelamatkan kita. Kalau engkau membunuhnya, Yeliu Ciangkun akan celaka."
Siang Bwee mengangguk dan menarik napas panjang untuk menekan kemarahannya mendengar betapa dalam keadaan terbius dan tidak sadar, hampir ia menjadi korban kekejian seorang pangeran yang kini menggeletak di atas lantai dalam keadaan pingsan. Tentu telah ditotok oleh San Hong. Ia berterima kasih dan bersyukur sekali bahwa San Hong tidak terlambat datang.
Dengan tergesa-gesa Siang Bwee lalu mengambil pakaian lamanya yang disimpannya di balik almari, kemudian ia pun berganti pakaian di belakang tirai. Cepat sekali ia berganti pakaian dan tak lama kemudian mereka sudah keluar dari dalam kamar itu, dan Panglima Yeliu Cutay yang menanti dengan tak sabar segera menghampiri mereka.
"Bagaimana dengan dia?" Yeliu Cutay berbisik.
"Dia tertotok dan pingsan." jawab San Hong. "Dan dia sama sekali tidak melihatku."
"Bagus, mari cepat ikut denganku," kata Yeliu Ciangkun sambil menutupkan daun pintu dan jendela yang tadi terbuka. "Kita berlagak mengejar seseorang yang kita pergoki melompat keluar dari kamar nona Ang!"
San Hong dan Siang Bwee dapat mengerti akal yang dipergunakan oleh panglima itu. Dia ingin memberi kesempatan kepada mereka untuk lolos dari istana dengan dalih mengejar seseorang atau seorang penjahat yang menyelundup ke dalam istana sehingga kepergian mereka tidak akan meninggalkan beban kepadanya. Mengingat bahwa keadaan panglima itu akan terancam bahaya, maka merekapun mentaatinya dan mengikuti di belakangnya dengan patuh.
Dengan sikap mengejar dan mencari cari seseorang, Yeliu Cutay dan dua orang muda itu tiba di pintu gerbang "Heiii, apakah kalian tidak melihat seseorang lewat di sini?" teriak Yeliu Cutay kepada para penjaga. Mereka menggeleng kepala menyatakan tidak.
Yeliu Cutay yang sudah memegang pedang telanjang di tangannya itu menjadi marah. "Wah, kalian sungguh lengah. Ada mata-mata musuh berada di dalam Istana. Kami telah mengejarnya dan dia melarikan diri ke sini. Tentu dia telah keluar dari bagian puteri dan bersembunyi di bagian lain. Buka pintu, kami akan mengejar dan menangkapnya!"
Dengan ketakutan para penjaga membuka pintu gerbang dan Yeliu Cutay bersama San Hong dan Siang Bwee segera berlari keluar dan terus melakukan pengejaran. "Dia tentu masih berada di dalam istana, hayo kita cari sampai dapat!" teriak Yeliu Cutay kepada dua orang muda itu agar terdengar oleh para penjaga.
Dengan lagak mengejar seorang mata-mata yang menyelundup ke dalam istana, akhirnya Yeliu Cutay dapat membawa dua orang muda itu keluar dari pintu gerbang istana. Setelah mereka berada jauh dari istana, Yeliu Cutay lalu berkata kepada mereka berdua.
"Nah, sekarang kalian boleh melanjutkan perjalanan. Sebaiknya kalau malam ini juga kalian dapat keluar dari kotaraja."
"Ciangkun, dengan susah payah menempuh bahaya, Ciangkun telah menyelamatkan kami berdua. Entah bagaimana nasib kami kalau tidak ada Ciangkun yang menolong kami. Kami sungguh berterima kasih sekali kepadamu!" kata San Hong sambil memberi hormat.
Siang Bwee juga memberi hormat kepada panglima itu. "Aku juga berterima kasih sekali Ciangkun, dan selamanya aku tidak aka melupakan ciangkun Yeliu Cutay!"
Yeliu Cutay menarik napas panjang. "Aku bukan menolong kalian, melainkan mencegah Sribaginda Kaisar dan para puteranya melakukan perbuatan yang jahat. Itu merupakan tugas seorang hamba yang baik dan setia."
San Hong kagum. "Bagaimanapun juga aku merasa berhutang budi Ciangkun dan mudah-mudahan kelak aku akan dapat membalas kebaikanmu kali ini."
Tiba-tiba Yeliu Cutay mengangkat muka dan menatap wajah kedua orang muda itu. "Benarkah Ji-wi (kalian) mau melakukan sesuatu untukku? Maukah Ji-wi menolongku?"
"Tentu saja, Ciangkun!" kata Siang Bwee yang juga merasa tidak enak berhutang budi. "Apa yang dapat kami lakukan untukmu?"
"Begini, aku mempunyai seorang murid yang murtad. Tugasku mengikatku di kota raja sehingga aku tidak dapat mencarinya. Kalau kebetulan Ji-wi bertemu dengan dia, awasilah dia dan cegah dia melakukan kejahatan. Kalau perlu, tentang dia, bahkan aku rela kalian membunuhnya kalau dia menjadi penjahat. Ketika dia melarikan diri meninggalkan aku, dia mempunyai kecondongan untuk menjadi seorang jahat. Dan yang terpenting sekali, dia telah melarikan sebuah pedang pusaka milikku yang disebut Pedang Asmara....."
"Pedang Asmara?" Siang Bwee bertanya heran. "Aneh sekali namanya!"
"Pedang itu ampuh bukan main, juga berbahaya kalau terjatuh ke tangan seorang laki-laki yang jahat, seperti muridku itu. Oleh karena itu, aku mohon kepada kalian, kalau bertemu dengan dia kalian rampaslah kembali pedang pusaka itu."
"Dan kalau berhasil pedang itu harus kami serahkan kepadamu, Yeliu-ciangkun?" tanya Siang Bwee.
Panglima itu menggeleng kepala "Tidak, pedang itu tidak kuperlukan. Kalau kalian berhasil, pedang itu kuhadiahkan kepadamu, tai-hiap Kwee Sun Hong. Ditanganmu, pedang itu akan menjadi pusaka yang ampuh, dan tidak akan mendatangkan malapetaka."
San Hong kembali memberi hormat. Terima kasih, Ciangkun. Akan saya perhatikan pesan Ciangkun dan akan saya coba untuk melaksanakan pesan itu."
"Hei, Hong-ko! Engkau ini bagaimana sih? Bagaimana mungkin engkau akan melaksanakan permintaan Yeliu Ciang kalau engkau tidak mengetahui siapa nama muridnya itu dan di mana dia berada?"
Baru San Hong ingat akan hal itu, akan tetapi sebelum dia bertanya, panglima itu sudah mendahuluinya menjawab dan memberi keterangan. "Dia bernama Tiong Sin, sejak bayi kupelihara dan menjadi anak angkatku, juga muridku, lalu dia menggunakan nama keturunanku, yaitu Yeliu. Akan tetapi sekarang mungkin dia menggunakan nama keturunannya sendiri, yaitu she Bu. Karena dia lari dariku, tentu saja aku tidak tahu di mana kini dia berada. Tidak perlu Ji wi bersusah-payah mencarinya. Hanya kalau kebetulan bertemu, harap suka ingat akan permintaanku tadi."
"Bu Tiong Sin? Hemmm, akan kuingat selalu nama itu."
Yeliu Cutay mempersilakan mereka melanjutkan pelarian mereka dan mereka untuk berpisah. Dengan kepandaian mereka yang tinggi, San Hong dan Siang Bwee tidak sukar untuk keluar dari kota raja, akan tetapi Siang Bwee yang nakal mengajak pemuda itu untuk singgah lebih dulu di rumah makan yang menjual bebek panggang.
"Apa? Setelah makan bebek panggang hampir habis seekor di istana, engkau masih ingin makan bebek panggang lagi? Dan pula, sudah jauh malam begini, tentu rumah makan itu sudah ditutup. Juga kita sedang tergesa-gesa melarikan diri bagaimana akan membahayakan diri masuki rumah makan, Bwee-moi?"
Siang Bwee tersenyum. "Bukan untuk dimakan sekarang, Hong-ko, melainkan, untuk bekal di jalan. Setelah meninggalkan kota raja, mana mungkin menemui bebek panggang yang demikian lezat lagi? Justeru karena toko atau rumah makan itu telah tutup, maka aku ingin singgah dulu di sana."
"Aneh, mana bisa membeli bebek panggang kalau sudah tutup?"
"Siapa mau beli? Aku hanya mengambil dua ekor."
"Wah, mencuri.....?"
"Tidak, hanya ambil. Hayolah, Hong-ko, kenapa engkau cerewet amat sih. Kalau tidak mau menemaniku, kau tunggu saja di sini dan aku akan pergi sendiri ke sana."
Tentu saja San Hong tidak membiarkan gadis itu pergi sendiri dan terpaksa dia menemani gadis itu mencuri dua ekor bebek panggang yang tergantung di dalam rumah makan yang sudah kosong dan ditinggal tidur pemiliknya itu. Siang Bwee memilih dua ekor yang paling gemuk. Ia tidak tahu betapa diam-diam, di luar tahunya, San Hong meninggalkan sejumlah uang di bawah tempat kedua ekor bebek panggang itu tergantung tadi untuk membayar harganya!
Dengan membawa dua ekor bebek panggang dalam buntalan, dan sikapnya gembira sekali. Siang Bwee lalu bersama San Hong keluar dari kota raja dengan jalan melompati pagar tembok! Pada keesokan harinya, mereka sudah jauh dari kota raja, makan pagi di tempat sunyi, menggerogoti daging yang melekat pada tulang bebek panggang. Memang lezat!
Sementara itu, pada keesokan harinya, Yeliu Cutay membuat laporan kepada Sribaginda Kaisar bahwa di dalam istana terdapat penjahat atau mungkin mata-mata musuh yang menyelundup. Dia dibantu oleh San Hong dan Siang Bwee melakukan pengejaran sampai ke luar istana, dan kedua orang muda itu terus melakukan pengejaran di dalam istana, kalau-kalau masih ada penjahat yang bersembunyi.
Mendengar ini, Sribaginda Kaisar mengerutkan alisnya. Apalagi ketika datang Pangeran Liok yang melaporkan betapa ketika berada di dalam kamar Siang Bwee, dia dirobohkan orang dalam gelap dan dia tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya, tidak tahu ke mana Siang Bwee pergi.
"Sungguh aneh!" kata Snbaginda dengan nada suara marah dan pandang mata curiga kepada Yeliu Cutay.
"Kalau Pangeran Liok sudah berada di dalam kamar gadis itu, siapa yang menyerangnya, dan apa yang terjadi selanjutnya?! Tentu engkau mengetahui akan peristiwa yang terjadi di dalam kamar itu kalau gadis itu membantumu mengejar penjahat, Yeliu Ciangkun!"
Panglima Itu memberi hormat. "Hamba kira yang menyerang Pangeran Liok tentulah penjahat itu, Sribaginda. Hamba melihat bayangan itu berkelebat keluar dari kamar nona Ang Siang Bwee. Memang kamar itu gelap ketika hamba tiba di sana. Hamba memanggil nona Ang dari luar kamar."
"Hemmm, itulah yang aneh sekali!" kata Sribaginda. "Mereka itu seharusnya tidur nyenyak dan tidak sadar oleh obat bius!"
Tiba-tiba kaisar teringat bahwa hal itu sebetulnya harus dia rahasiakan, maka karena sudah terlanjur, dia pun berterus terang. "Yeliu-ciangkun, kami mengambil keputusan untuk menjadikan nona Ang sebagai selir Pangeran Liok, dan menarik pemuda she Kwee itu menjadi pengawal. Oleh karena itu, kami telah menaruh obat bius pada makanan mereka. Bagaimana mungkin mereka itu dapat sadar dan membantumu mengejar penjahat yang menyusup ke dalam istana?"
"Hamba menemukan ini di dalam kamar Kwee San Hong, Sribaginda. Sudah hamba periksa dan ternyata ini adalah obat-obat pemunah segala macam racun dan obat bius. Sebagai pendekar-pendekar, hamba kira mereka selalu siap dengan obat semacam ini dan obat bius dalam makanan dan minuman itu agaknya tidak lagi mempengaruhi mereka karena mereka telah menggunakan obat pemunah ini."
Yeliu Cutay mengeluarkan buntalan pil putih seperti yang tadi dia berikan kepada San Hong untuk menyadarkan pemuda itu dan Siang Bwee. Dengan akalnya itu, Yeliu Cutay terlepas dari kecurigaan kaisar. Bahkan ketika dua orang pendekar itu tidak kembali ke istana, kaisar tidak mempersoalkannya lagi.
Betapapun juga, kaisar merasa malu kepada dua orang muda yang pernah menyelamatkan nyawanya dari serangan orang-orang Mongol, dan mereka tahu bahwa dia telah mencoba untuk membius mereka. Akan tetapi, sejak saat itu, kaisar agak berkurang kepercayaannya kepada Yeliu Cutay dan panglima ini dipindahkan ke luar istana.
Di lain pihak, juga Yeliu Cutay diam-diam mencela kaisar dan para pangeran yang ingin menguasai seorang wanita dengan cara-cara yang kotor dan rendah seperti yang mereka rencanakan terhadap diri Ang Siang Bwee.
Kereta itu kecil namun mewah sekali, terbuat dari kayu yang paling baik dan besi, rodanya dilapisi karet dan catnya beraneka warna, indah dan mewah. Ditarik oleh dua ekor kuda yang besar, berjalan perlahan dan seenaknya karena kendali kuda dilepaskan begitu saja oleh kusir kereta.
Ternyata kereta itu penumpangnya hanya seorang, yaitu kusir itu sendiri, atau si pemilik kereta yang menjadi kusir sendiri. Dia membiarkan kedua ekor kuda berjalan sendiri di atas jalan raya yang menuju ke pintu gerbang sebelah barat kota Yu-sian. Kusir itu sendiri duduk seenaknya di atas kereta ambil memainkan sebuah yang-kim (semacam siter).
Setiap orang yang berpapasan di jalan tentu menengok dan tersenyum. Pemuda yang menjadi penumpang tunggal kereta kecil itu memang pandai sekali memainkan yang-kim. Suara yang-kim demikian merdu dan lagunya indah dan enak didengar. Pemuda itu sendiri juga menarik perhatian. Dia seorang pemuda berusia dua puluh dua tahun, berwajah tampan dengan kulit yang putih seperti kulit wanita. Halus mulus kemerahan.
Pakaiannya mewah dan serba mahal namun nyentrik karena pakaiannya itu berkembang-kembang dengan warna menyolok. Sepatunya baru mengkilat, kepalanya terlindung sebuah topi bulu yang mahal. Pinggangnya yang kecil dilingkari sabuk emas dan di situ terselip pula sebuah suling dan sebatang hun-cwe (pipa tembakau) yang terbuat perak dan terukir sepasang burung Hong bermain asmara!
Orang-orang yang berlalu lalang luar pintu gerbang barat kota Yu-sian tidak mengenal pemuda ini, namun semua orang merasa kagum dan dapat menduga bahwa dia tentulah seorang pemuda hartawan. Kekayaannya tercermin pada keretanya, kudanya, dan pakaiannya. Akan tetapi, kalau ada tokoh kang-ouw yang melihat pemuda ini, tentu dia akan terkejut karena pemuda ini bukanlah pemuda sembarangan putera bangsawan atau hartawan.
Dia adalah seorang yang amat terkenal, bahkan ditakuti di dunia kang ouw, karena dia adalah putera seorang datuk besar yang sakti. Pemuda ini dunia kang-ouw terkenal dengan sebutan Kok Kongcu (Tuan Muda Kok), nama lengkapnya adalah Kok Tay Ki dan dia merupakan putera angkat, juga murid terkasih dari datuk besar See-thian Mo-ong atau yang lebih terkenal dengan singkatan See Mo!
Siapakah yang tidak mengenal See Mo, seorang di antara empat orang datuk di empat penjuru? See Mo (Iblis Barat) sama terkenalnya dengan Nam Tok (Racun Selatan), Pak Ong (Raja Utara) dan Tung Kiam (Pedang Timur). See Mo tinggal jauh di barat, di luar kota Lan-couw daerah Kan-su, di puncak sebuah bukit yang dinamakan Pek coa-san (Bukit Ular Putih).
Kok Tay Ki atau lebih terkenal dengan sebutan Kok Kongcu adalah putera angkatnya. Tidak ada seorang pun kecuali See Mo sendiri tahu siapakah orang tua sejati pemuda ini karena sejak kecil sekali kurang lebih setahun usianya, dia telah menjadi anak angkat See Mo.
Datuk besar itu mendidik dan menggemblengnya sehingga dia kini menjadi seorang pemuda berusia dua puluh dua tahun yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, telah mewarisi hampir semua ilmu yang dikuasai See Mo, akan tetapi juga mewarisi wataknya yang aneh dan tidak lumrah manusia dengan dasar kekejamannya yang tiada taranya.
Ketika Kok Kongcu menunggang keretanya menuju ke kota Yu-sian itu tentu tak seorang pun menyangka bahwa pemuda yang tampan itu, yang demikian pandai bermain yang-kim sedemikian merdunya, adalah seorang pemuda yang pada dasarnya memiliki watak yang terlalu kejam dan sadis. Bahkan beberapa orang wanita yang kebetulan melakukan perjalanan melalui jalan raya itu, tak dapat menahan debar jantung mereka, karena kagum dan tertarik sekali.
Akan tetapi, Kok Kongcu sedikitpun tidak pernah melirik kepada para wanita itu. Bukan sekali-kali karena dia memiliki watak yang alim dan sopan, melainkan karena dia tahu bahwa wanita-wanita itu hanyalah wanita dusun yang tidak ada harganya untuk dilirik. Bahkan terhadap wanita kota yang cantik, terhadap puteri sekalipun, pemuda ini tak pernah mau memperlihatkan kerendahan hatinya.
Dia menganggap bahwa dirinya adalah pria paling hebat di dunia ini dan semua wanita di seluruh dunia ini harus tunduk kepadanya karena dia yakin bahwa tidak ada seorang wanita yang tidak kagum dan cinta padanya! Suatu kesombongan yang hanya dapat dimiliki putera seorang manusia iblis seperti See-thian Mo-ong atau See Mo!
Biasanya, Kok Kongcu hanya berkeliaran disekitar daerah Kan-su saja karena daerah ini cukup indah, mempunyai cukup banyak wanita cantik, dan di daerah ini dia terkenal sekali sehingga disanjung dan dihormat, ditakuti orang di mana-mana. Akan tetapi sekali ini dia meninggalkan daerah Kan-su sampai jauh, sampat tiba di daerah kota raja! Memang ayahnya, See Mo, yang menyuruhnya.
Pertemuan yang akan diadakan oleh empat orang datuk besar di empat penjuru, akan terjadi setahun lebih lagi. Pertemuannya yang diadakan lima tahun sekali itu merupakan pertaruhan segala-galanya kecuali nyawanya sendiri, bagi keempat orang datuk besar itu.
Dalam pertemuan itu. akan diadakan pertandingan antara mereka dan murid, anak atau wakil mereka dan akhirnya akan diputuskan siapa di antara mereka yang boleh dibilang paling hebat dan paling tangguh, dan siapa pula memiliki murid yang paling pandai.
Murid-murid atau putera atau wakil yang diajukan ini, dipertandingkan dan kalau perlu mereka itu dapat tewas dalam adu laga. Baru kalau mereka berempat yang maju, mereka hanya akan mengadu ilmu tanpa saling bunuh.
Hal ini bukan karena mereka itu saling menyayangi, sama sekali bukan. Melainkan kalau sampai ada yang terbunuh diantara mereka berempat, tentu tidak lucu lagi. Akan berkuranglah lawan dalam adu kesaktian mendatang! Maka, mereka saling menjaga dan saling memelihara agar lawan jangan ada yang mati.
Memang empat orang itu selain jahat dan kejam, juga amat aneh dan jalan pikiran mereka tidak lumrah manusia biasa. Dalam rangka mempersiapkan diri itulah See Mo mengutus putera angkatnya untuk menambah pengalaman dan pengetahuannya ke luar daerah. Dia di bekali uang secukupnya, dan tidak boleh pulang sebelum satu tahun!
Kok Kongcu yang sudah terbiasa sejak kecilnya hidup sebagai seorang yang kaya raya, menganggap kepergiannya itu sebagai pelancongan saja. Maka dia membawa keretanya yang indah, dua ekor kuda terbaik, membawa banyak pakaian, perlengkapan dan uang, dan tidak lupa membawa yang kim dan suling, dua alat musik yang disukainya dan dia memang pandai memainkan dua alat musik itu.
Bahkan sulingnya bukan terbuat dari bambu biasa, melainkan terbuat dari baja yang amat kuat karena sulingnya itu juga menjadi senjatanya yang ampuh di samping hun-cwenya. Di antara segala kebiasaan ayahnya yang juga menjadi gurunya itu dia mewarisi pula kebiasaan menghisap asap tembakau yang dinyalakan di ujung pipanya. Dan seperti See Mo, dia dapat pula membuat huncwenya itu menjadi huncwe maut yang setiap saat siap merenggut nyawa seorang lawan?
Di sepanjang perjalanannya dari daerah Kan-su sampai memasuki daerah Ho-pai, banyak sudah dia mengunjungi perkumpulan-perkumpulan persilatan besar dan untuk menambah pengalaman, dia sengaja menantang para pimpinannya dan merobonkan mereka satu demi satu!
Maka, mulailah nama Kok Kongcu terkenal sebagai seorang jago muda yang lihai bukan main. Dan kini, tujuannya adalah kota raja Kerajaan Cin karena dia mendengar bahwa di sana terdapat banyak jago silat kenamaan. Juga dia mendengar berita angin bahwa kerajaan itu kini mulai terancam olen bangsa biadab dari utara yang kabarnya telah menyusun kekuatan besar, siap untuk menerjang Tembok Besar dan menyerang Kerajaan Cin di selatan Tembok Besar.
Tentu akan terjadi keramaian, pikirnya dan hatinya yang penuh kesadisan itu sudah berdebar gembira membayangkan terjadinya perang dan pertempuran yang besar dan mengorbankan banyak sekali nyawa manusia. Siapa tahu akan mendapatkan keuntungan besar dalam peristiwa perang itu, pikirnya.
Sebelum tiba di kota Yu-sian, dia mendengar bahwa di kota itu terdapat seorang jagoan tua yang terkenal sekali, yang dapat dikatakan sebagai jago nomor satu di Yu-sian. Jagoan itu bahkan telah membentuk suatu perkumpulan keluarga, dan membuka perguruan silat dengan menggunakan nama keluarga mereka pula, yaitu Siangkoan Bu koan (Perguruan Silat Siangkoan).
Siangkoan adalah nama keluarga dari guru silat itu, yang nama lengkapnya adalah Siangkoan Kun Hok. Menurut berita yang diterimanya, Siangkoan Kun Hok adalah bekas perwira tinggi di kerajaan yang sudah mengundurkan diri dan kini membuka perguruan silat itu di Yu-sian. Kabarnya, dia sekeluarganya menguasai ilmu silat keluarga yang tangguh sekali.
Kabar tentang keluarga Siangkoan inilah yang membuat Kok Kongcu ingin berkunjung ke kota Yu sian dan ingin menemui keluarga itu untuk menguji kepandaian mereka! Dia mengikuti petunjuk ayahnya, yaitu bahwa apabila dia mendengar ada orang lihai, dia harus mendatanginya, menantangnya dan mencoba untuk mengalahkannya. Kalau kemudian ternyata dia yang kalah, maka dia harus dapat mempelajari ilmu orang itu untuk menambah kepandaiannya.
Dan seperti biasa, di sepanjang perjalanan pemuda ini menarik perhatian banyak orang, baik karena tampannja dan pakaiannya yang mewah dan nyentrik, atau keretanya yang juga dicat nyentrik, sikapnya yang ramah dan sering tersenyum dengan gerak-gerik yang halus atau karena permainan musik yang dilakukan di sepanjang perjalanan kalau hatinya sedang gembira, baik itu merupakan tiupan sulingnya atau pun petikan yang-kimnya.
Pemuda ini amat dimanjakan ayah angkatnya yang juga menjadi gurunya. See Mo memang amat sayang kepada Kok Kongcu karena pemuda yang sejak kecil diambil menjadi anak angkatnya itu selain tampan dan gagah, pandai main suling dan yang kim, juga bakatnya dalam ilmu silat baik sekali sehingga ayah angkat ini merasa bangga mempunyai seorang putera seperti dia.
Memang See Mo memiliki watak yang luar biasa anehnya, kadang-kadang teramat keras dan segala kehendaknya harus ditaati siapa pun juga termasuk puteranya itu. Akan tetapi segala keinginan Kok Kongcu juga dipenuhinya dan segala perbuatan Kok Kongcu tidak pernah dicelanya. Pernah putera angkatnya itu tergila-gila kepada seorang wanita yang sudah bersuami dan mempunyai anak.
See Mo menggunakan kepandaian dan pengaruhnya untuk merampas wanita itu dan diberikan kepada putera angkatnya, sikapnya tiada bedanya dengan seekor srigala yang menerkam domba dan diberikan kepada anaknya untuk dimakan sepuasnya. Setelah Kok Kongcu yang pembosan itu membuang wanita itu begitu saja, ayah angkatnya juga tidak mencelanya!
Sikap-sikap seperti inilah yang membuat Kok Kongcu menjadi semakin urakan dan manja. Hanya ada satu hal yang membuat hatinya panas dan pikirannya gelap setiap kali dia ingat akan sebuah pesan atau lebih tepat dikatakan perintah ayah itu. Masih terngiang di telinganya perintah itu.
"Tay Ki, satu hal yang tidak boleh kaulanggar atau tentang, yaitu kalau engkau hendak memilih isteri, hanya ada dua orang gadis yang boleh kau pilih seorang di antaranya. Selain seorang di antara mereka, aku tidak sudi mempunyai seorang mantu gadis lain."
"Hemmm, siapakah dua orang gadis pilihan Ayah itu?" tanya Kok Kongcu dengan sikap tenang walaupun hati tak senang.
"Yang seorang adalah puteri Pak Ong dan seorang lagi adalah puteri Nam Tok. Nah, kau boleh pilih seorang di antara mereka."
"Apakah mereka itu gadis-gadis cantik?" tanya Kok Kongcu tanpa sunkan kepada ayahnya.
See Mo menghisap hun-cwenya yang panjang lalu mengepulkan asap tembakau itu ke atas. Dari bibirnya yangdiruncingkan itu keluar gulungan asap seperti gelang yang berputar-putar ke atas dan sampai lama baru membuyar.
"Mana aku tahu? Aku. hanya mendengar bahwa Pak Ong dan Nam Tok mempunyai seorang anak perempuan. Itu sudah cukup!"
Kok Kongcu mengerutkan alisnya. Ayah, aku tidak berani membantah perintahmu, akan tetapi kalau Ayah belum pernah melihat dua orang gadis itu, lalu apa yang menjadi dasar bagimu untuk menentukan bahwa aku harus berjodoh dengan seorang di antara mereka?"
"Dasarnya? Engkau tolol! Di dunia ini, mencari perempuan cantik sama mudahnya dengan membalikkan telapak tangan. Di mana-mana terdapat perempuan cantik, kalau engkau menghendakinya tinggal pilih! Akan tetapi alangkah sukarnya mencari gadis puteri seorang seperti Pak Ong atau Nam Tok! Di dunia ini, orang yang seperti mereka ada empat orang saja, yaitu aku See Mo, Tung Kiam, Nam Tok, dan Pak Ong!
"Hanya puteri seorang di antara mereka yang pantas menjadi mantuku. Mengerti? Pula, kalau engkau menjadi suami puteri seorang di antara mereka, hal itu jelas sudah merupakan kemenangan bagiku. Bayangkan saja! Puteri Pak Ong atau Nam Tok menjadi mantuku, menjadi keluargaku, nama keturunannya ikut nama keturunanku. Dia menjadi nyonya mantu Kok. Ha ha-ha!"
Diam-diam Kok Kongcu menjadi semakin tak senang walaupun dia tidak berani membantah. Dengan hati-hati dia hanya bertanya, "Ayah belum pernah melihat mereka berdua. Bagaimana andaikata mereka itu gadis-gadis yang buruk dan cacat pula? Apakah juga harus kujadikan isteriku?"
"Tolol kau! Tidak peduli cacat atau buruk, bopeng atau buta, gagu dan tuli, kakinya pincang, buntung sebelah, atau gila! Seorang di antara mereka harus menjadi isterimu! Tahu kau! Yang penting bukan cantik tidaknya, sehat sakitnya, melainkan yang terpenting adalah puteri seorang di antara Empat Datuk Besar! Yang penting, ayah gadis yang menjadi isterimu itu dengan sendirinya mengaku kalah padaku tanpa bertanding. Ha ha ha!"
Hati Kok Kongcu semakin mendongkol. Dia merasa dijadikan barang permainan, atau menjadi alat pemuas ketinggian hati dan kesombongan ayahnya! Akan tetapi ia tidak berani membantah, karena dia mengenal benar orang macam apa adanya kakek yang menjadi ayahnya itu. Sekali ayah itu marah, akan lupa bahwa dia puteranya dan bukan tidak mungkin See-thian Mo-ong Kok Bong Ek akan membunuh anak angkatnya sendiri! Maka, dia pun berangkat meninggalkan rumah dengan sikap yang gembira.
Akan tetapi kadang-kadang di dalam perjalanan, kalau dia teringat akan perintah ayahnya itu, hatinya menjadi kacau dan dongkol kembali. Kalau sudah mendongkol begitu, dia menghibur diri dengan meniup sulingnya, atau memainkan yangkim-nya tak peduli sedang berada di mana, atau kalau ada wanita yang menarik hatinya, dia akan mendapatkannya dengan jalan bagaimanapun.
Dan ketika keretanya tiba di luar pintu gerbang kota Yusian, dia kembali teringat akan perintan ayahnya dan untuk menghibur hatinya, dia memainkan yang-kimnya sambil membiarkan dua ekor kuda penarik keretanya berjalan perlahan-lahan seenaknya. Setelah kedongkolan hatinya mereda, dia menghentikan permainan yang-kimnya, lalu memegang kendali kuda dan menyuruh dua ekor kuda itu lari congklang memasuki pintu gerbang kota Yu-sian.
"Aku akan memilih seorang puteri istana kaisar untuk menjadi isteriku demikian” katanya dalam hati dengi geram. "Isteri pilihan ayah itu, kalau tidak berkenan di hatiku akan kujadikan arca saja di rumah. Aku harus mencari seorang puteri kaisar!" Pikiran ini membuatnya menjadi gembira kembali. Dari Yu-sian, dia akan melanjutkan perjalanan ke kota raja Kerajaan Cin dan dia akan berusaha mencari seorang puteri istana kaisar! Entah bagaimana caranya, bagaimana nanti saja kalau dia sudah tiba di kota raja!
Kok Kongcu tidak tahu bahwa beberapa hari setelah dia pergi meninggalkan rumah ayahnya, See Mo menerima dua orang murid dan juga pembantunya yang dipercaya, yaitu Koay-to Heng-te, dua orang saudara kembar Gu Kiat dan Gu Liat. Dua orang saudara kembar ini melaporkan kepada guru dan juga majikan mereka, bahwa mereka telah bertemu dan bentrok dengan puteri Nam Tok yang lihai.
Betapa puteri Nam Tok itu menyamar sebagai seorang pemuda, ditemani seorang pemuda tinggi besar yang juga lihai ilmu silatnya. See Mo memandang kedua orang muridnya itu dengan mata melotot. "Kalian hendak menceritakan bahwa kalian kalah olen puteri Nam Tok dan temannya itu?"
Dua orang saudara kembar itu saling pandang, seperti ciri khas sepasang orang kembar, sekali saling pandang saja sudah dapat kontak di antara mereka dan mereka pun sudah tahu akan isi hati masing-masing. Gu Liat, saudara yang lebih muda akan tetapi selalu menjadi juru bicara mereka karena dia memang lebih pandai bicara, cepat menjawab dengan sikap hormat.
"Lo-cian-pwe," mereka selalu menyebut lo-cian-pwe (orang tua gagah) kepada See Mo yang tidak menghendaki mereka menyebut suhu (guru). "Kami sudah mendengar dari Kok Kongcu bahwa dia akan menikah dengan seorang di antara puteri Nam Tok atau Pak Ong. Setelah kami tahu bahwa puteri Nam Tok itu merupakan seorang di antara dua calon mantu Lo-cian-pwe, bagaimana mungkin kami dapat bersungguh hati melawannya? Biarpun ia lihai, namun kalau tidak ingat bahwa ia adalah seorang calon mantu kami berdua tidak akan kalah, biarpun ia dibantu oleh pemuda tinggi besar yang lihai itu."
Dua orang kembar ini pun menyebut "kongcu" atau tuan muda kepada putera See Mo, padahal pemuda itu masih terhitung sute (adik seperguruan) mereka. Hal ini saja menunjukkan betapa angkuh dan sombongnya, betapa tinggi adanya See-thian Mo-ong Kok Beng Ek sehingga dua orang muridnya sendiri pun diharuskan mengagungkan dia dan puteranya.
Mendengar ucapan Gu Liat, itu agaknya lega hati See Mo. Dia tidak tahu bahwa sebenarnya, dua orang muridnya itu walaupun tidak gentar, menghadapi puteri Nam Tok, namun mereka harus mengakui keunggulan pemuda tinggi besar yang menemani gadis yang menyamar pria itu.
Betapapun juga, mendengar betapa lihainya puteri Nam Tok, timbul ke khawatiran dalam hati See Mo, ia lalu bertanya lebih banyak tentang gadis puteri saingannya itu. Gu Liat lalu menceritakan tentang Ang Siang Bwee. Betapa gadis itu lihai sekali ilmu silatnya, terutama ilmu tongkatnya dan ilmu pukulan tangan kosong yang mengeluarkan awan atau uap hitam.
"Hemmm, agaknya tua bangka selatan itu memperdalam ilmu tongkatnya yang disebut Hwe liong jio-cu (Sepasang Naga Berebut Mustika) itu, dan pukulan tangan kosong yang mengeluarkan uap hitam itu tentulah yang dia sohorkan sebagai pukulan Hek-in Pay-san (Awan Hitam Menolak Bukit). Dan bagaimana dengan wajah dan bentuk tubuh gadis itu? Cantikkah atau buruk? Apakah bentuk tubuhnya indah ataukah cacat?"
"Aih, Lo-cian-pwe. Biarpun ia menyamar sebagai pria, namun kami berdua dapat melihat bahwa ia amat cantik jelita dan memiliki bentuk tubuh sempurna. Jarang kami bertemu dengan seorang gadis secantik puteri Nam Tok itu."
"Itulah, ia calon mantuku!" See Mol berseru girang, akan tetapi kekhawatirannya timbul kembali kalau-kalau puteranya akan menemui kegagalan. "Cepat kalian kembali dan kalian carilah Kok Kongcu sampai dapat, dan bantulah dia mendapatkan puteri Nam Tok sebagai isterinya. Kalau perlu, culik gadis itu dan bawa ke sini. Kalau Nam Tok hendak ribut-ribut, biarlah aku yang menghadapinya, ha-haha!"
Koay-to Heng-te segera berangkat untuk mencari Kok Kongcu dan mereka dapat menduga bahwa tentu pemuda itu melakukan perantauan ke timur.
Gembira bukan main rasa hati Kok kongcu ketika dia memasuki kota Yu-sian. Kota ini besar dan ramai karena dan dekat dengan kota raja. Banyak sekali ruman rumah besar, pula toko toko, rumah penginapan dan rumah makan. Juga kota Yu-sian terkenal dengan gadis gadisnya yang cantik manis, dengan sikap ke-menak-an yang agung.
Hal ini adalah karena dahulu tempat ini terkenal sebagai tempat peristirahatan dan pelesiran kaum bangsawan dari kota raja. Di antara para bangsawan itu, banyak yang nakal dan mereka tak pernah mau melewatkan wanita muda yang cantik di kota Yu-sian. Sebaliknya, para wanita penduduk Yu-sian dan sekitarnya, terutama yang dari dusun, merasa terhormat dan bangga kalau didekati oleh seorang pria bangsawan.
Maka terjadi banyak sekali hubungan antara para wanita daerah Yu-sian dan para bangsawan itu sehingga ketika para bangsawan itu meninggalkan mereka, banyak di antara wanita yang mengandung dan keturunan mereka berbeda dengan keturunan penduduk dusun. Ada "darah bangsawan" pada sebagian penduduk itu sehingga masih nampak kecantikan pada gadis gadisnya! Ciri khas mereka adalah kulit yang putih mulus dan mata yang jeli dan indah, leher yang panjang dan dada yang bidang.
Tentu saja kehadiran Kok Kongcu kota Yu sian juga menarik perhatian banyak orang. Keretanya yang kecil mungil dan indah dengan dua ekor kuda penariknya yang besar dan gagah, sikap pemuda itu yang nyentrik dan royal tentu saja membuat semua orang menjadi tertarik.
Terutama sekali para jago dan tokoh jahat yang seringkali mempergunakan kekerasan untuk memeras atau merampok, semua memperhatikan pemuda itu dan amat tertarik melihat belapa pemuda itu royal sekali dan jelas memiliki banyak uang!
Kok Kongcu memilih sebuah rumah penginapan yang paling besar di kota Yu sian dan memesan kamar yang paling besar dan mahal, minta disediakan air hangat untuk mandi dan bertanya kepada pelayan rumah penginapan di mana dia bisa membeli makanan yang paling enak dan mahal. Dia mencari rumah makan yang termahal di kota itu!
Tidak mengherankan kalau semua cerita tentang pemuda berkereta itu menggerakkan hati tujuh orang jagoan jahat yang biasa memeras. Mereka merasa seperti melihat seekor ikan kakap mendekat dan ketika pemuda itu memasuki sebuah ruman makan besar, mereka pun ikut pula masuk dan duduk di sudut untuk mengamati Kok Kongcu.
Pelayan restoran segera menyambut pemuda yang berpakaian mewah namun yentrik itu, dan mempersilakan dia duduk di sudut. "Aku ingin duduk di meja tengah itu!" kata Kok Kongcu, melihat betapa meja tengah itu paling besar dan ditilami kain putih bersih sehingga kelihatan menyenangkan sekali.
"Akan tetapi, Kongcu. Meja besar itu untuk persediaan kalau ada keluarga besar, lebih dari lima orang yang datang makan di sini. Apakah Kongcu akan menerima tamu lebih dari lima orang?"
Kok Kongcu mengerutkan alisnya. "Apakah harus lima orang yang duduk di meja ini?"
"Bukan orangnya, melainkan hidangannya yang kami hitung, Kongcu. Kalau Kongcu memesan hidangan untuk lima orang ke atas, boleh duduk di sini."
"Bagus! Kalau begitu, keluarkan hidangan yang paling enak dari rumah makan ini untuk lima orang dan atur sebaiknya di atas meja ini!"
Para pelayan segera memenuhi permintaan itu dan mengira bahwa pemuda ini tentu menanti datangnya lima atau empat orang temannya untuk mengadakan pesta di rumah makan itu. Pemuda itu tidak menyebut nama masakan, hanya mengatakan yang paling lezat. Hal ini membuka kesempatan kepada rumah makan itu untuk mengeduk keuntungan sebesar-besarnya dengan menghidangkan masakan-masakan termahal, untuk lima orang!
Akan tetapi, para pelayan itu terkejut dan heran, juga khawatir ketika semua hidangan telah siap, pemuda itu sama sekali tidak menanti datangnya tamu-tamunya, bahkan terus saja mulai makan, memilih hidangan yang banyak tersedia di atas meja! Mereka khawatir karena sudah pasti pemuda itu tidak mungkin dapat menghabiskan semua hidangan itu, dan apakah pemuda ini akan membayar semua itu?
Kok Kongcu tidak peduli dan mulai makan perlahan-lahan, dengan hati-hati memilih masakan itu satu demi satu, mencicipi dan makan, mengangguk-angguk memuji kalau merasa cocok dengan suatu masakan, dan menggeleng kepala mengerutkan alis kalau ada masakan yang tidak cocok dengan seleranya.
Para tamu lain yang berada di rumah makan itu pun ikut memandang dengan terheran-heran. Bagaimana ada seorang tamu memesan masakan begitu banyak, yang termahal pula, dan dimakan sendiri? Betapa royalnya! Tujuh orang penjahat itu pun memandang dengan hati semakin tertarik. Sekali ini mereka pasti akan mendapatkan hasil besar. Pemuda kaya raya yang tolol itu tentu memiliki banyak sekali uang maka berani berlagak seperti itu!
Mereka tidak mengganggu selagi Kok Kongcu makan karena mereka pun bukan berniat membikin ribut, melainkan hendak minta dengan cara paksa atau memeras pemuda yang kelihatan amat kaya itu. Biarkan dia makan sampai kenyang dulu agar jangan terlalu kaget nanti, kata seorang di antara mereka dan kawan-kawannya pun tertawa.
Para pelayan tentu saja tahu siapa tujuh orang itu, akan tetapi karena majikan mereka mengenal kepala para penjahat kota Yu-sian, mereka pun tidak khawatir bahwa tujuh orang itu akan berani membikin ribut di rumah makan mereka. Mereka dapat menduga bahwa tujuh orang penjahat itu tentu mengincar si pemuda royal, dan diam-diam para pelayan hanya dapat merasa kasihan kepada pemuda yang amat royal dan kelihatan tidak berpengalaman sehingga berani memamerkan kekayaannya dengan sikap amat royal itu.
Akhirnya Kok Kongcu merasa kenyang dan puas. Semua masakan telah dicicipinya, dan hanya ada sebagian saja yang dimakannya sampai hampir habis. Akan tetapi, beberapa kali alisnya berkerut kalau dia mengangkat muka dan melihat beberapa orang pengemis berdiri di luar rumah makan. Kebetulan dia duduk menghadap ke luar dan agaknya para pengemis itu pun tertarik dan ikut menonton, seperti mengiler melihat demikian banyaknya masakan yang masih mengepul panas dihadapi satu orang saja.
Melihat para pengemis yang kotor dengan pakaian butut compang-camping ini, sedikit banyak selera makan Kok Kongcu menurun. Beberapa kali dia memandang jijik. Kemudian, sambil mengusap bibirnya dengan kain bersih yang disediakan para pelayan di sudut meja, dia menggapai dua orang pelayan yang berdiri tak jauh dari situ. Mereka bergegas datang.
Kok Kongcu menyalakan tembakau di ujung huncwenya dan terciumlah bau semerbak yang wangi aneh dan keras, memenuhi ruangan rumah makan itu. Sambil mengepulkan asap tembakau ke atas meja, ke arah sisa masakan yang masih banyak itu, dia berkata kepada dua orang pelayan.
"Berikan sisa masakan ini kepada jembel jembel busuk di depan rumah makan itu!"
"Baik, baik, Kongcu!" kata dua orang pelayan itu dan mereka membawa semua sisa masakan yang masih banyak itu bahkan di antaranya hanya dicicipi sedikit saja, keluar dan enam orang pengemis itu segera menyambut dengan girang wajah mereka yang kurus dan kotor itu menjadi cerah dan mereka tertawa tawa ketika dua orang pelayan membagi-bagi kan masakan itu kepada mereka.
Setiap orang menerima cukup banyak dan selama mereka hidup, belum pernah mereka memperoleh masakan yang demikian banyak, dan masakan pilihan yang mahal-mahal pula! Bukan sisa makanan yang campur aduk, melainkan masakan yang masih mengepul panas dan boleh dibilang belum dijamah, baru dicicipi sedikit saja! Sekali ini mereka dapat "makan besar" dan ramailah mereka duduk di tepi jalan raya depan rumah makan itu dan makan dengan gembira.
Sementara itu tujuh orang penjahat kini melihat Kok Kongcu mengeluarkan sebuah kantung kuning dari saku jubahnya. Ketika dia meletakkan kantung kuning itu ke atas meja, mangkok piring di meja itu mengeluarkan suara karena meja itu tergetar tanda bahwa kantung itu berat sekali.
Kok Kongcu membuka kantung itu dan dari tempat mereka duduk, tujuh orang penjahat itu dapat melihat dengan jelas bahwa kantung itu penuh dengan potongan-potongan emas yang berkilauan! Seperti tujuh ekor srigala mencium darah, mereka bangkit dan dengan langkah lebar mereka menghampiri meja di mana Kok Kongcu duduk dan mengepungnya.
Kok Kongcu tidak menutupkan kembali kantungnya, bahkan membukanya lebar-lebar dan dia melirik kepada tujuh orang itu, lalu dengan sikap angkuh dia lalu bertanya, "Apakah kalian pelayan-pelayan rumah makan di sini?"
Seorang di antara mereka yang brewok, kumis dan jenggotnya panjang dan lebat sekali, dengan tubuh tinggi besar dan kekar, yaitu pemimpin mereka dan yang berdiri berhadapan dengan Kok Kongcu, segera menjawab sambil tersenyum, menyeringai di balik kumisnya. "Heh-heh-heh, benar sekali, Kongcu. Kami telah melayanimu dengan menjaga keamananmu ketika engkau makan tadi. Sekarang kami mohon upah darimu, heh-heh-heh!"
Kok Kongcu tersenyum, dan tujuh orang itu ikut tersenyum, tidak tahu bahwa sepasang mata itu mengeluarka sinar mencorong aneh. "Kalian minta upah? Berapa banyak?"
"Tidak usah banyak-banyak, Kongcu. Cukup kau berikan saja kantung itu dengan semua isinya kepada kami dan kami akan pergi dengan perasaan terima kasih kepadamu." Setelah berkata demikian, si brewok itu melangkah maju dan tangannya dijulurkan untuk mengambil kantung berisi emas itu.
Akan tetapi selagi dia menjulurkan tangannya dan tubuhnya agak membungkuk, tiba-tiba Kok Kongcu meniupkan asap dari mulutnya. Asap itu langsung saja mengenai muka si brewok bahkan dengan kuatnya asap itu memasuki hidung dan mulutnya.
"A..... apa..... haeppp..... ugh-ugh-ugh.....!" Si brewok gelagapan dan terbatuk-batuk, dan pada saat itu, tangan Kok Kongcu menyambar ke atas, menjambak rambut kepalanya dan dengan kuatnya dia menarik ke bawah. Muka brewok itu menghantam meja.
"Brakkk!" Meja tergetar dan hidung brewok pecah berdarah! Pada saat itu tangan Kok Kongcu melepaskan rambut lalu berpindah ke muka orang itu, mencengkeram jenggot dan kumis itu jebol. Muka itu berdarah dan begitu Kok Kongcu mendorongnya, tubuh tinggi besar itu terjengkang. Si brewok mengaduh-aduh sambil memegangi mukanya yang berdarah darah yang keluar dari hidung dan dari kulit di bawah hidung dan dagu yang terobek ketika kumis dan jenggot dicabut sampai jebol itu!
Enam orang kawan si brewok terkejut dan marah. Mereka sudah mencabut golok dari pinggang. Akan tetapi, tiba-tiba Kok Kongcu meniup hun-cwenya dan dari tempat tembakau itu menyambar bunga api yang kuat. Beberapa sinar bunga api menyambar dan mengenai muka dua orang di antara mereka. Dua orang itu berteriak kesakitan dan golok mereka terlepas, tangan mereka menutupi muka yang luka terbakar.
Empat orang penjahat lainnya sudah menyerang dengan golok, akan tetapi, huncwe di tangan Kok Kongcu bergerak kembali. Sambil tetap duduk Kok Kongcu memutar huncwe. Terdengar teriakan-teriakan kesakitan dan empat orang itu pun berpelantingan jatuh dengan dahi benjol-benjol karena mereka telah dihantam ujung huncwe sebelum golok mereka mengenai sasaran.
Gerakan huncwe di tangan Kok Kongcu itu cepat bukan main, terlalu cepat bagi para penjahat itu. Barulah mereka tahu bahwa pemuda yang mereka kira kakap itu ternyata adalah seekor ikan hiu yang ganas dan buas! Mereka lalu lari pontang panting keluar dari rumah makan itu sambil masih mengaduh aduh.
Kok Kongcu bangkit berdiri dan mengebut-ngebutkan lengan bajunya dan bersikap tenang seolah-olah tak pernah terjadi sesuatu. Para pelayan memandang dengan mata terbelalak penuh kagum. Kalau tadi mereka merasa kasihan kepada pemuda itu, kini mereka kasihan kepada tujuh orang jahat tadi! Kiranya pemuda itu memiliki ilmu kepandaian yang hebat!
Kok Kongcu membayar harga hidangan, menyimpan kembali kantung emasnya dan dengan lenggang yang tenang sekali dia melangkah keluar dari rumah makan itu. Ketika dia tiba di luar rumah makan, tiba-tiba terdengar ribut-ribut dan ternyata enam orang pengemis yang tadi "makan besar" itu, kini tumpah-tumpah dan menggeliat-geliat di tepi jalan raya. Kok Kongcu melirik ke arah mereka dan melanjutkan perjalanannya sambil tersenyum mengejek.
Rasakan kalian, tadi membikin dia jijik dan kehilangan selera makan! Sisa makanan itu tadi telah dia beri racun melalui tiupan asap hun-cwenya. Kalau para jembel itu tidak sampai mati, setidaknya mereka akan menderita nyeri yang hebat dalam perut mereka. Tak lama kemudian, Kok Kongcu sudah berjalan menuju ke rumah penginapannya. Kereta dan kudanya memang dia tinggalkan di rumah penginapan.
Akan tetapi ketika dia tiba di luar rumah penginapan, perjalanannya dihadang oleh dua orang laki-laki yang usianya kurang lebih lima puluh tahun. Melihat orang-orang yang tadi dihajarnya di rumah makan berada di belakang dua orang itu. Kok Kongcu dapat menduga bahwa tentu dua orang ini merupakan atasan mereka, akan tetapi dia bersikap dingin dan tenang, pura-pura tidak mengenal tujuh orang yang mukanya masih benjol-benjol dan luka terbakar itu.
"Berhenti dulu, orang muda!" seorang di antara dua pria itu membentaknya.
Kok Kongcu berhenti dan memandang kepada mereka. Mereka itu dua orang yang bertubuh tinggi kurus, yang seorang mukanya hitam dan seorang lagi mukanya dihias cacat memanjang dari pipi kanan ke dagu. Di pinggang mereka tergantung pedang dan mereka itu berwajah serem dan berlagak angkuh. Kok Kongcu memandang rendah kepada mereka dan dengan sikap yang lebih angkuh lagi dari mereka, dia bertanya, suaranya jelas memandang rendah sekali.
"Kalian ini dua orang yang tidak kukenal, mau apa menahanku? Minggir kalian kalau tidak ingin kuhajar!"
Dua orang itu adalah pimpinan seluruh penjahat yang menguasai kota Yu sian. Mereka tadi menerima pelaporan anak buah mereka betapa seorang pemuda yang membawa banyak emas telah menghajar mereka di rumah makan. Dua orang pemimpin para penjahat di Yu sian itu amat terkenal di daerah Yu sian sebagai pemimpin para penjahat dan mereka terkenal dengan julukan Yu-sian Siang-houw (Sepasang Harimau Yu-sian).
Yang bermuka hitam itu merupakan pemimpin pertama dan bernama Ci Koan sedangkan orang ke dua yang mukanya cacat bernama Su Ti Ko dan menjadi wakilnya. Mendengar tentang pemuda yang membawa kantung emas, dua orang pemimpin ini tertarik sekali. Mereka, bukan saja ingin menghadapi pemuda yang telah menghajar anak buah mereka, akan tetapi terutama sekali karena mendengar akan sekantung emas, kereta indah dan dua ekor kuda besar milik pemuda itu.
Kini, begitu bertemu dengan Kok Kongcu dan mendengar pemuda itu mengusir mereka dengan ancaman akan menghajar, tentu saja dua orang pemimpin penjahat itu menjadi marah bukan main. Belum pernah ada orang berani memandang rendah seperti itu kepada mereka. Apalagi yang mereka hadapi hanyalah seorang pemuda yang masih hijau!
Su Ti Ko yang bermuka codet itu sudah menjadi marah bukan main. Dia mencabut pedangnya. "Bocah sombong, engkau tidak tahu dengan siapa engkau berhadapan? Kami adalah Yu-sian Siang-houw dan kalau engkau tidak lekas berlutut minta ampun, aku tentu tidak akan membiarkan kau hidup lebih lama lagi!" Dia mengancam dengan pedangnya, dan matanya melotot penuh kemarahan.
Kok Kongcu tersenyum mengejek "Kalian ini Yu-sian Siang-koo (Sepasang Anjing Yu-sian) masih banyak menggonggong?"
Tentu saja Su Ti Ko menjadi semakin marah ketika dia dan sahabatnya di maki. sebagai sepasang anjing. Dengan mengeluarkan suara gerengan seperti suara harimau marah, pedangnya sudah digerakkan menyambar ke arah leher Kok Kongcu!
"Huh, anjing codet masih berani menggigit lagi!" kata Kok Kongcu dan dengan mudah saja dia sudah merendahkan tubuh mengelak sehingga pedang itu menyambar lewat di atas kepalanya. Pada saat pedang lewat Kok Kongcu sudah menggerakkan kakinya menendang ke arah perut lawan.
Su Ti Ko cepat melompat ke belakang sehingga tendangan itu luput dan tahulah Kok Kongcu bahwa yang dihadapinya bukanlah orang-orang lemah seperti tujuh orang di rumah makan tadi,! Walaupun melihat gerakan si muka codet itu Kok Kongcu tetap saja memandang ringan. Dari gerakannya saja dia tahu bahwa dengan mudah dia akan mampu mengalahkan orang itu.
Akan tetapi kini orang ke dua yang bermuka hitam juga sudah maju dan pedangnya menusuk ke arah dadanya. Dan pemuda ini melihat betapa gerakan si muka hitam ini bahkan lebih mantap dibandingkan si muka codet, maka dia pun melompat ke samping sambil mencabut sulingnya.
"Kalian minta dihajar, ya? Baik, bersiaplah!" Dan Kok Kongcu tidak mau membuang banyak waktu lagi dengan main-main. Sulingnya sudah bergerak cepat sekali dan terdengar suara melengking-lengking seolah-olah suling itu ditiup!
Dua orang pengeroyoknya terkejut dan mereka memutar pedang karena melihat betapa pemuda itu memiliki gerakan yang amat cepat dan ringan. Suling itu seperti berubah menjadi gulungan sinar yang melengking-lengking dan sukar diduga ke mana suling itu akan menyambar.
"Trang! Tranggg.....!" Dua kali terdengar suara nyaring dan dua orang itu terkejut bukan main karena pedang mereka terpental dan hampir terlepas dari pegangan.
Mereka masih sempat berloncatan ke belakang untuk menghindarkan diri, akan tetapi pemuda itu tidak mengejar, melainkan berdiri dengan suling di depan dada dan tangan kiri bertolak pinggang.
"Kalau kalian berani maju lagi, aku akan membunuh kalian!" kata Kok Kongcu. Dia memang tadi tidak ingin membunuh mereka karena dia membutuhkan keterangan mereka tentang keluarga Siangkoan yang hendak dikunjunginya.
Ci Koan dan Su Ti Ko saling pandang. Mereka adalah orang-orang yang biasa mempergunakan kekerasan memaksakan kehendak mereka terhadap orang lain. Akan tetapi mereka pun tukang berkelahi yang dapat mengukur kepandaian lawan. Sekali bentrok senjata tadi mereka sudah mengetahui bahwa pemuda ini benar-benar lihai bukan main dan bukan tandingan mereka.
"Maaf, bolehkah kami mengenal siapa namamu, orang muda?" Ci Koan menyembunyikan rasa malu dan bertanya ada suaranya tidak segalak tadi.
"Aku she Kok dari jauh di daerah barat!" kata Kok Kongcu dan mendengar ini, dua orang kepala gerombolan itu saling pandang, terbelalak dan kemudian memandang kembali kepada pemuda itu dengan sinar mata membayangkan perasaan kaget dan takut.
"Kalau begitu.... apakah Kongcu ini..... Kok Kongcu dari..... dari puncak Pek-coan-san.....?"
Kok Kongcu tersenyum bangga. "See-thian Mo-ong Kok Bong Ek adalah ayahku!"
Dua orang itu menjatuhkan diri berlutut dan melihat ini, tujuh orang anak buahnya terkejut dan juga ikut berlutut. Tentu saja peristiwa ini membuat semua orang di jalan raya itu menjadi bengong. Yu-sian Siang-houw, dua orang jagoan yang ditakuti di kota Yu-sian itu, bersama tujuh orang anak buahnya, berlutut di depan pemuda nyentrik itu!
"Ampunkan kami, Kongcu. Karena tidak tahu, maka anak buah kami berani bersikap kurang ajar, dan kami berdua juga telah berani menentang Kongcu Ampunkan kami!"
Dua orang itu ketakutan sekali karena mereka sudah mendengar akan kekejaman Kok Kongcu dan ayahnya, yaitu See Mo. Pantas saja enam orang pengemis itu keracunan dan dua di antaranya tewas. Masih untung bahwa tujuh orang anak buah mereka itu tidak mati konyol.
Kok Kongcu hanya tersenyum dan memandang ke kanan kiri, menikmati penghormatan di tepi jalan raya yang dilakukan oleh kepala-kepala gerombolan penjahat itu. Dia melihat sinar mata heran dan kagum dari para penonton dan tak terasa dadanya makin membusung.
"Sudahlah, kalian menjemukan hatiku Aku mau beristirahat dan jangan ganggu aku lagi." katanya dan dia pun meninggalkan mereka, masuk ke dalam rumah penginapan.
Kini, semua pelayan rumah penginapan memandang kepadanya dengan jerih, dan beberapa orang pelayan cepat-cepat menuju ke pekarangan belakang untuk mencuci bersih kereta milik pemuda itu dan merawat dua ekor kuda itu sebaik-baiknya. Tamu mereka bukan orang sembarangan! Yu-sian Siang-houw baru bangkit berdiri setelah pemuda itu memasuki rumah penginapan, dan pergi bersama tujuh orang anak buah mereka.
Pada sore hari itu, Kok Kongcu menerima sepucuk surat undangan makan malam di rumah makan paling besar di kota itu, dan diharapkan dia sudi datang karena Yu-sian Siang-houw dan kawan-kawannya akan mengadakan pesta untuk menyambut kunjungan Kok Kongcu di kota itu dan pemuda itu akan diperkenalkan dengan semua tokoh sebagai seorang tamu kehormatan...!