Pedang Asmara Jilid 20 karya Kho Ping Hoo - SEJAK kecil Kok Kongcu dididik oleh See thian Mo ong atau See Mo sehingga pemuda ini mewarisi pula watak See Mo yang terkenal amat tinggi hati. Orang yang tinggi hati selalu haus akan penghormatan dan pujaan orang lain.
Maka, menerima surat undangan yang isinya demikian menjunjung dan menyanjungnya, hati Kok Kongcu merasa bangga sekali dan malam itu dia pun datang ke rumah makan itu, sekali ini menunggang keretanya yang istimewa!
Kedatangannya disambut penuh penghormatan. Beberapa orang mengurus kereta dan kudanya dan Kok Kongcu disambut sendiri olen Yu-sian Siang-houw kemudian dipersilakan masuk ke dalam ruman makan. Ruman makan itu tidak dibuka untuk umum malam itu, dan para tamu undangan tokoh tokoh kang-ouw di sekitar daerah Yu-sian yang jumlahnya dua puluh orang lebih.
Dengan langkah yang gagah dan sikap yang angkuh Kok Kongcu masuk dan dipersilakan duduk di kursi kehormatan di kepala meja panjang yang sudah diatur di ruangan tengah. Semua tamu bangkit berdiri untuk menghormati pemuda putera See Mo itu dan semua tamu mengangkat cawan arak untuk menyambutnya dengan ucapan selamat datang.
Kemudian, pesta pun dimulai, dimeriahkan oleh tarian dan nyanyian, dan para tamu dilayani oleh gadis-gadis cantik yang ternyata adalah gadis-gadis panggilan yang sebagian didatangkan dari luar kota. Untuk Kok Kongcu sendiri, empat orang gadis pilihan melayaninya dan pemuda ini yang sudah terbiasa dengan sanjungan seperti itu, menerimanya dengan gembira tanpa sungkan sungkan lagi.
Dalam kesempatan ini, Kok Kongcu diperkenalkan kepada para tokoh yang hadir, dan dia menyambut perkenalan itu dengan sikapi acuh, seperti seorang pangeran yang diperkenalkan kepada sekumpulan orang biasa saja atau orang yang pangkatnya rendah!
Dalam kesempatan itulah Kok Kongcu bertanya kepada Yu-sian Siang-houw tentang keluarga Siangkoan. "Aku mendengar dalam perjalananku menuju ke Yu-sian bahwa di sini terdapat sebuah keluarga yang terkenal sebagai keluarga gagah perkasa yang memiliki ilmu silat yang tinggi. Yaitu keluarga Siangkoan. Benarkah kabar yang kudapatkan itu, dan apakah benar keluarga itu memiliki ilmu silat yang hebat?"
Mendengar ini, para tokoh kang-ouw itu saling pandang lalu mengangguk-angguk. Su Ti Ko, orang ke dua dari Yusian Siang houw itu menjawab dengan suara lirih. "Kongcu, kami semua tidak pernah berurusan dengan keluarga Siangkoan. Kami tidak mengganggu mereka, dan mereka pun jarang mencampuri urusan kami. Dan sebaiknya kalau kita semua tidak mendekati mereka."
Sikap orang yang menjadi wakil ketua para penjahat di Yu-sian itu seperti orang yang jerih sehingga Kok Kongcu merasa penasaran dan semakin tertarik.
"Ceritakan saja keadaan mereka dan bagaimana tingginya ilmu silat mereka kepadaku! Kalian boleh tidak berani berurusan dengan keluarga Siangkoan, akan tetapi aku ingin tahu dan ingin mengenal kelihaian mereka." kata Kok Kongcu tidak sabar.
"Bagaimana kalau dibanding kau dengan kepandaian kalian Yu-sian Siang-houw?"
"Ah, Kongcu!" kata Ci Koan. "Siangkoan Kauwsu (Guru Silat Siangkoan) itu mana bisa dibandingkan dengan kami? Kami berdua pernah mencobanya dan kami berdua tidak mampu menandinginya."
Hati Kok Kongcu semakin tertarik! Memang, bagi dia dua orang pemimpin para penjahat di Yu-sian itu tidak berapa hebat, akan tetapi orang yang sudah mampu mengalahkan pengeroyokan mereka, dapat dibilang lihai juga. "Ceritakan keadaan keluarganya dan bagaimana ilmunya. Jangan takut, aku yang bertanggung-jawab!"
Orang-orang kang-ouw itu lalu menceritakan apa yang mereka ketahui tentang keluarga Siangkoan. Masing-masing memberi keterangan apa yang mereka ketahui sehingga akhirnya Kok Kongcu dapat mengetahui banyak juga tentang keluarga yang agaknya disegani oleh para tokoh penjahat di Yu-sian itu.
Menurut apa yang dikumpulkannya dari keterangan para tokoh kang-ouw itu. Kok Kongcu menjadi semakin tertarik. Kiranya Siangkoan Kauwsu (Guru Silat Siangkoan) adalah seorang pria berusia lima puluh lima tahun yang bernama Siangkoan Kun Hok. Dia membuka perguruan silat dan mengajarkan ilmu silat keluarga Siangkoan. Siangkoan Bu Koan amat terkenal dan muridnya bukan hanya penduduk Yu-sian, bahkan ada yang datang dari kota raja!
Menurut penilaian para tokoh kang-ouw itu, dasar ilmu silat keluarga Siangkoan itu seperti silat Siauw-lim-pai dan ada yang mirip ilmu silat Kun lun pai. Mungkin mengandung dasar kedua ilmu silat itu. Mereka semua mengakui bahwa ilmu silat keluarga Siangkoan memang hebat, dan Siangkoan Kun Hok itu mahir memainkan delapan belas macam senjata.
Muridnya banyak dan murid murid itu pun terkenal pandai. Akan tetapi perguruan ini disegani orang karena semua murid perguruan itu pendiam dan tidak suka berkelahi! Yang membuat para tokoh kang-ouw merasa lebih jerih dan segan. Berurusan dengan keluarga Siangkoan bukan hanya karena keluarga itu lihai dan banyak muridnya, akan tetapi terutama sekali karena Siangkoan Kauw-su itu adalah seorang bekas perwira tinggi kerajaan.
Hal ini tentu saja membuat mereka jerih karena bekas perwira tinggi yang kini menjadi guru silat itu mempunyai hubungan baik dengan para jagoan di kota raja yang sekarang masih memegang jabatan. Lebih baik menjauhi keluarga Siangkoan daripada bertentangan dengan mereka!
Yang lebih menarik hati Kok Kongcu adalah ketika dia mendengar banwa bukan saja Siangkoan Kun Hok yang pandai silat, akan tetapi juga isterinya lihai sekali, dan anak tunggal mereka, seorang gadis yang berusia sembilan belas tahun bernama Siangkoan Leng, telah mewarisi ilmu silat keluarga ayahnya dan terkenal lihai!
"Kalian tidak perlu mencampuri, akan tetapi besok aku akan mengunjungi keluarga itu dan hendak kubuktikan sendiri kebenaran semua keterangan kalian."
Malam itu Kok Kongcu ditemani oleh dua orang di antara empat gadis yang melayaninya dalam pesta itu. Dia diantar pulang ke rumah penginapan dalam ke adaaan setengah mabuk, dan dua orang gadis panggilan yang cantik itu menggandengnya ke dalam kamarnya dan menemaninya sampai pagi.
Setelah merasa cukup kuat dan matang persiapannya, mulailah Jenghis Khan memimpin balatentaranya untuk menyerbu ke selatan, melewati Tembok Besar. Sasaran penyerangannya adalah Kerajaan Cin dengan kota rajanya yang terkenal kuat, yaitu Ibukota Yen-king.
Mulailah tercatat dalam sejarah betapa pemimpin besar bangsa Mongol itu, yang dahulunya hanya seorang pemuda biasa yang oleh "bangsa beradab" di selatan dinamakan bangsa liar dan biadab, Jenghis Khan, dengan balatentaranya menyerang kerajaan yang jauh lebih besar dan lebih kuat.
Dua ratus orang perajurit pelopor dikirim sebagai pembuka jalan dan mereka ini sudah menyusup dengan terpencar ke daerah-daerah yang akan dilalui pasukan Mongol. Kemudian bergeraklah barisan bagian depan dengan tiga puluh ribu orang perajurit pilihan, tiap orang perajurit membawa dua ekor kuda. Pasukan depan ini dipimpin oleh Muhuli seorang pembantu Jenghis Khan yang sudah banyak pengalamannya dalam pertempuran!
Chepe Noyon yang gagah berani dan keras hati dengan semangat berkobar-kobar, juga panglima Subotai yang terkenal memiliki tenaga raksasa dan kebal. Tiga orang panglima ini memang merupakan orang-orang pilihan di antara para pembantu Jenghis Khan, maka mereka ditugaskan memimpin tiga puluh ribu orang perajurit barisan depan.
Jenghis Khan sendiri memimpin induk tentaranya, tidak kurang dari seratus ribu orang tentara. Inti dari pasukan ini adalah orang-orang Yakka Mongol yang setia kepada Jenghis Khan. Induk pasukan ini diapit-apit pasukan sayap kanan dan sayap kiri yang jumlahnya hampir sebesar jumlah induk pasukan, dipimpin oleh para panglima yang lain.
Jenghis Khan sendiri, yang memimpin induk pasukan, selalu mengadakan hubungan yang baik dengan pasukan depan, sayap kiri, dan sayap kanan. Dia sendiri dengan gagahnya menunggang kuda, didampingi putera-puteranya untuk mencari pengalaman. Dan dia dikelilingi pasukan pengawalnya yang terdiri dari seribu orang perajurit berkuda hitam. Kuda-kuda hitam itu diperlengkapi dengan "baju perang" dari kulit sehingga nampak gagah dan berwibawa.
Debu mengepul tinggi ketika balatentara yang besar juga jumlahnya ini lewat melalui dataran-dataran tinggi yang tandus. Tanpa diketahui oleh Kerajaan Cin yang selalu tenggelam dalam kesenangan, bahaya besar mulai mengancam dari utara!
Tanpa banyak mengalami kesukaran, pintu gerbang Tembok Besar terbuka bagi pasukan orang Mongol. Lama sebelum penyerbuan itu, Jenghis Khan sudah mengadakan hubungan baik dengan para kepala suku yang hidup di sekitar daerah Tembok Besar sehingga ketika pasukannya datang, mereka yang telah mendukung gerakannya itu membukakan pintu gerbang untuk pasukannya.
Setelah mereka berada di sebelah dalam Tembok Besar, pasukan Jenghis Khan ini dipecah-pecah dan berpisah-pisah menuju ke daeran-daerah yang sudah ditentukan dan direncanakan sebelumnya. Mereka itu memasuki daerah Shansi dan daerah Ci-li. Panji-panji balatentara Mongol berkibar megah dan semangat mereka berkobar. Setiap orang perajurit yakin akan kebesaran Jenghis Khan dan lebih yakin lagi bahwa bangsa Mongol akan jaya dan akan menggilas setiap rintangan.
Pasukan-pasukan Kerajaan Cin yang bertugas jaga di gugus depan, yang berjaga di perbatasan, mengalami nasib yang buruk sekali, pasukan Kerajaan Cin itu adalah pasukan jalan kaki dan karena daerah yang dijaganya amat luas, maka mereka pun berpencaran dalam kelompok-kelompok yang tidak begitu besar. Ketika pasukan Mongol datang menyerbu, mereka itu terkejut dan melakukan perlawanan sekuat tenaga.
Namun, pasukan Mongol adalah penunggang kuda dan pemanah yang mahir. Sambil menunggang kuda yang berlari cepat, mereka mengelilingi pasukan musuh dan melepas anak panah. Maka, tak dapat dihindarkan lagi, jatuh korban yang amat banyak di antara perajurit Kerajaan Cin.
Segera berita kilat dikirim untuk minta bantuan. Namun, daerah itu merupakan daerah yang sulit, penuh bukit dan jurang, dan bala bantuan yang datang dipimpin oleh panglima yang tidak begitu mengenal daerah, tidak seperti pasukan Mongol yang sudah berpengalaman dan sudah pula mempelajari keadaan daerah itu.
Chepe Noyon sudah mengenal baik setiap daerah yang mereka lalui, maka bala bantuan dari Kerajaan Cin ini pun mengalami kehancuran. Sisa pasukan Cin lari cerai berai dan mereka yang melarikan diri untuk mencari selamat ini tentu saja menimbulkan geger dan panik di antara pasukan Kerajaan Cin yang lain.
Para komandan yang mendengar berita dari para pelarian itu, tentu saja berita yang sudah berlebihan, bahwa pasukan Mongol yang amat besar dan amat kuat sedang menyerbu, menjadi, panik. Mereka yang merasa bahwa kekuatannya tidak seimbang dengan kekuatan pihak musuh seperti digambarkan oleh para perajurit yang melarikan diri itu, segera menarik mundur pasukan masing-masing, memasuki perbentengan atau bahkan terus melarikan diri ke ibuko Yen-king.
Gegerlah Ibukota ketika ada pasukan penjaga perbatasan yang melarikan diri ke sana. Para penduduk menjadi ketakutan seolah-olah musuh yang dikabarkan biadab dan amat kejam itu telah berada di ambang pintu rumah mereka, atau setidaknya sudah berada di ambang pintu gerbang kota raja! Bahkan Kaisar Wai Wang sendiri, yang menganggap diri sendiri, seperti juga kaisar-kaisar terdahulu, sebagai Thian-cu (Putera Tuhan), menjadi panik.
Kalau saja tidak dicegah oleh para menterinya, tentu dia sudah melarikan diri untuk mengungsi. Terutama sekali panglima Yeliu Cutay yang ikut pula menghadap kaisar, menyatakan pendapatnya bahwa bagaimanapun juga, kerajaan mereka masih mempunyai pasukan yang besar dan benteng yang kokoh kuat. Lalu diaturlah oleh para panglimanya untuk menyusun kekuatan pasukan besar dan menahan lajunya penyerbuan pasukan Mongol.
Masih banyak terdapat menteri dan panglima yang setia kepada kaisar dan mereka inilah yang dengan penuh semangat mengumpulkan segala kekuatan untuk menyelamatkan negara. Mereka semua sudah mendengar akan kekejaman orang-orang Mongol yang mereka anggap sebagai bangsa yang biadab itu. Berita-berita telah sampai kepada mereka betapa penduduk kota yang jatuh ke tangan orang Mongol, mengalami neraka!
Orang-orang Mongol itu dengan kejamnya membunuh semua pria, memperkosa semua wanita, merampok, membakar dan menyiksa! Mereka seperti sekelompok srigala yang haus darah. Berita ini menimbulkan perasaan ngeri dan takut, akan tetapi juga menumbuhkan tekad untuk melawan dan menyelamatkan negara yang berarti menyelamatkan keluarga dan diri mereka sendiri.
Semangat perlawanan yang berkobar dari pasukan dan juga rakyat Kerajaan Cin inilah yang berhasil membendung serbuan pasukan Mongol yang bagaikan air bah itu. Pusat pertahanan pasukan Kerajaan Cin berada di dua tempat, yaitu di kota Tal-teng-hu yang merupakan ibukota bagian barat, dan di kota raja Yen-king sendiri.
Menghadapai dua benteng ini, Jenghis Khan kehilangan akal. Berkali-kali Jenghis Khan berdiri sampai berjam-jam di luar perbentengan kedua kota itu, kagum dan takjub menyaksikan perbentengan yang demikian luas dan kuatnya. Bangsanya tidak pernah memiliki benteng, hanya mengandalkan alam terbuka untuk menyusun kekuatan dan menanggulangi musuh.
Jumlah pasukannya terbilang kecil, terlalu kecil untuk mengepung perbentengan yang demikian kokoh kuatnya dan kalau dilanjutkan, pasukannya yang akan mengalami kerugian sendiri. Tidak akan ada gunanya melanjutkan pengepungan kalau pihak musuh tidak mau dipancing untuk mengadakan pertempuran di tempat terbuka. Apalagi kalau musim salju tiba, pasukannya akan terpukul hebat oleh iklim.
Maka setelah musim rontok tiba, Jenghis Khan mengambil keputusan untuk menarik pasukannya mundur dan kembali ke utara, ke Gurun Gobi! Bagaimanapun juga, serbuan pertama itu telah menghasilkan pengalaman baginya, di samping melakukan pukulan yang membuat Kerajaan Cin yang mereka musuhi menjadi panik. Jenghis Khan kembali menyusun kekuatan yang lebih besar dan bersiap-siap menanti datangnya musim semi tahun depan untuk mengulangi penyerbuannya kembali.
Pihak Kerajaan Cin juga tidak menyia-nyiakan waktu itu. Mereka pun mengirim pasukan-pasukan ke kota-kota yang pernah diserbu dan diduduki pasukan Mongol di mana pasukan-pasukan itu membuat perbentengan untuk menghadang majunya pasukan Mongol kalau mereka datang menyerbu lagi.
Sementara itu, begitu perang berkobar, kekacauan pun timbul. Kehidupan manusia, rendah berlindung sepenuhnya kepada hukum-hukum yang dibuat manusia sendiri. Dan setiap hukum yang disahkan, membutuhkan pelaksanaan dan harus ditegakkan oleh alat pemerintah yang menciptakan hukum. Masih banyak hukum dibuat, makin banyak pula yang harus ditegakkan dan kehidupan sepenuhnya berlindung kepada penegakan hukum ini.
Sebaliknya terjadi peristiwa yang membuat penegakan hukum mengendor terjadilah kekacauan dan keamanan kehidupan manusia pun terancam parah. Di bawah penekanan hukum, ketenteraman hanyalah ketenteraman semu yang setiap saat akan berubah sama sekali kalau, hukum tidak ditegakkan lagi karena suatu dan lain hal.
Manusia yang sesungguhnya merupakan mahluk yang paling agung di dunia ini, yang berkebudayaan, beradab dan bersusila, oleh ikatan-ikatan hukum telah menjadi seperti sekumpulan hewan liar yang harus selalu dikendalikan dan dicencang oleh tali-tali dan belenggu hukum. Kalau tali-tali itu mengendur, terjadilah kekacauan, yang kuat ingin menang, yang kalah ingin membalas dendam.
Gerakan yang dilakukan oleh Jenghis Khan boleh jadi merupakan suatu hasil usaha seorang manusia yang dinilai tinggi sekali oleh bangsanya, oleh mereka yang diuntungkan oleh gerakan itu sendiri. Akan tetapi, di pihak lain merupakan kiamat dan neraka bagi mereka yang dikalahkan, mereka yang kotanya diserbu pasukan Mongol.
Agaknya, keberhasilan seseorang selalu harus didasari kesusahan orang lain. Keuntungan seseorang didasari kerugian orang lain. Seperti itulah keadaan kehidupan masyarakat dan hal seperti ini sudah dianggap wajar. Seolah-olah hidup ini bagi kita manusia hanya mempunyai satu tujuan, yaitu: memperebutkan kesenangan! Kalau sudah diperebutkan, maka yang dikejar harus dapat. Tujuan harus tercapai, tidak peduli dengan cara apa pun juga.
Seekor harimau menerkam domba dan membunuhnya, memakannya untuk kebutuhan hidupnya, kebutuhan mutlak pengisi perut, dan kita namakan binatang itu buas dan kejam. Akan tetapi kita menerkam binatang, manusia atau apa saja bukan karena kebutuhan mutlak untuk hidup, melainkan untuk memuaskan hati, untuk kesenangan dan kita namakan ini suatu kepandaian dan kecerdikan!
Manusia saling bunuh dalam perang dan makin banyak manusia yang dibunuh makin besarlah jasanya sebagai pahlawan. Semua ini telah menjadi kebijaksanaan umum di negara manapun juga! Mengagumkan? Atau menyedihkan? Tergantung pula dari mana kita memandang. Pikir kita memang licin dan pandai sekali mencari alasan untuk membenarkan semua itu.
Semenjak terjadinya penyerbuan pertama dari balatentara Mongol itu, kekacauan bermunculan di mana mana, bahkan di daerah yang jauh dari perang. Dunia hitam seperti bergolak dan para penjahat seperti berpesta pora, mempergunakan kesempatan selagi pemerintah mencurahkan seluruh daya kekuatan untuk mempertahankan negara terhadap ancaman musuh dari utara, para penjahat bermunculan untuk menancapkan kuku-kuku mereka di dalam kehidupan masyarakat, untuk memperebutkan kedudukan yang menguntungkan, seolah-olah mereka itu adalah pembeser-pembesar dari suatu pemerintahan bayangan.
Dan di dalam kekalutan itu, Empat Datuk Besar dari empat penjuru, seperti berebut untuk menonjolkan kekuasaan mereka masing-masing. Apalagi setelah kini Pak Ong meninggalkan daerahnya di utara karena gerakan besar balatentara Mongol sehingga dia terpaksa harus mencari tempat yang lebih aman. Pak Ong bersama puterinya, Ji Kui Lan, dan seorang murid baru yang bukan lain adalah Bu Tiong Sin, seperti kita ketahui, telah melakukan perjalanan menuju ke selatan.
"Tidak, aku tidak mau pulang dulu. Aku ingin pergi dulu ke Po-lim-cun di kaki Pegunungan Thian-san!" kata Ang Siang Bwee dengan suara keras dan sikap kukuh.
Mereka berada di bawah sebatang pohon di tepi jalan hutan yang sunyi. Siang itu matahari terik sekali dan enak berteduh di bawah pohon yang besar dan lebat daunnya itu. Mereka duduk di atas batu-batu hitam dan setelah berbantahan, akhirnya Siang Bwee berkeras menyatakan keinginannya untuk pergi ke Po-lim-cun.
"Mau apa kita ke sana, Bwee-moi?" tanya San Hong dengan sabar. Dia sudah melakukan perjalanan berdua dengan gadis ini selama berbulan-bulan dan dia sudah tahu watak gadis ini, walaupun kadang dia masih tercengang dan bengong karena perubahan watak yang dianggapnya lucu dan aneh sekali. Gadis ini ugal-ugalan, cerdik, nyentrik, pandai bicara, ganas. Akan tetapi ada suatu kelembutan yang mengharukan hatinya di balik semua sikap urakan itu.
Kini Siang Bwee memandang kepadanya dengan sinar mata menantang dan kedua pipi kemerahan' karena perjalanan di bawah sinar matahari yang terik tadi. "Mau apa? Engkau masih bertanya lagi, Hong-ko? Tentu saja untuk mencari bukti bahwa ayahku tidak membunuh orang tuamu dan penduduk dusunmu itu!"
San Hong mengerutkan alisnya. Setiap kali dia teringat akan hal itu, hatinya merasa tidak enak sekali. Dia mencinta Siang Bwee, hal ini sudah jelas baginya. Dia mencinta gadis ini setengah mati, akan tetapi dia juga mendendam kepada ayah kandung gadis ini. Suatu keadaan yang amat tidak enak tentu saja. Dan sekarang, Siang Bwee malah mengingatkannya akan hal itu!
Dia sudah mendapat penjelasan dari para penghuni dusun Po lim-cun, sudah jelas sekali mereka yang beruntung lolos dari cengkeraman maut itu mengatakan bahwa yang melakukan pembunuhan keji terhadap banyak orang dusun yang tidak berdosa itu adalah Nam Tok! Mau bukti apa lagi?
Dia menarik napas panjang. "Sudahlah, Bwee-moi. Engkau di sana hanya akan memperoleh bukti yang sebaliknya dan hal itu akan menambah sakitnya hati."
"Hong-ko, engkau memang keras kepala. Mari kita sama lihat saja siapa yang lebih benar antara engkau dan aku. Engkau baru saja mengenal ayah satu kali akan tetapi ingat, aku mengenalnya sejak aku masih bayi! Kau kira aku tidak mengenal watak ayah kandungku sendiri. Kami hidup berdua selalu, hubungan kami amat dekat dan aku mengenal ayah sampai sedalamnya.
"Memang dia memilik watak yang lain daripada orang lain. Kalau tidak aneh bukan ayahku namanya bukan Nam Tok! Aku yakin bahwa di tidak membunuhi orang-orang dusun yang tidak berdaya itu. Tentu ada suatu rahasia di sini. Ayah telah difitnah orang atau dia memang mengakuinya seperti sudah menjadi wataknya.
Dan ingat, engkau sudah berjanji kepadaku untuk melihat hasil penyelidikanku, bukan? Apakah engkau sekarang hendak langsung saja mencari ayahku dan mencoba membunuhnya? Kalau begitu, sekarang saja kita bertanding!" Gadis itu bangkit berdiri dan bertolak pinggang penuh tantangan.
Melihat ini, San Hong menjadi bingung dan gugup. "Maaf, Bwee-moi. Maafkan aku. Bukan maksudku begitu dan.... aih, sudahlah, mari kita ke Po lim-cun kalau memang engkau menghendaki begitu!"
Seketika berubah sikap Siang Bwee. Wajahnya menjadi cerah dan manis sekali dan ia memegang kedua tangan San Hong. "Koko yang baik, aku tahu bahwa engkau memang seorang yang baik sekali, dan cerdik, sama sekali tidak bodoh. Percayalah, engkau akan mendapatkan bukti kebenaran semua omonganku. Hong-ko, aku harus mengakui bahwa ayah memiliki watak yang aneh, bahkan dapat dinamakan ganas dan keras hati terhadap musuhmusuhnya.
Akan tetapi dia harus bersikap begitu, kalau tidak, mana dia dapat menamakan diri sebagai seorang di antara Empat Datuk di empat penjuru? Tapi ayah tidak jahat! Sama sekali tidak! Lihat aku, apakah aku ini seorang jahat, Koko?"
Kalau Siang Bwee sudah bersikap seperti itu, Jenaka manja dan nakal, bagi San Hong nampak lucu dan amat menarik. Dia tersenyum, "Sudah kulihat engkau, dan engkau..... eh, cantik jelita sekali, Bwee-moi!"
"Ihhh! Engkau mulai pandai merayu, Koko! Tidak malukah?"
Keduanya tertawa gembira dan segera mereka melanjutkan perjalanan mereka. Ang Siang Bwee menyamar sebagai seorang pria, menjadi seperti seorang pemuda remaja yang amat tampan. Akan tetapi bagi San Hong, tetap saja ia nampak sebagai seorang gadis yang amat menarik, amat cantik dan amat menyenangkan hatinya.
Dua orang muda ini sudah mendengar akan keributan di perbatasan utara dan barat, mendengar akan penyerbuan bala tentara Mongol ke selatan. Mereka mendengar bahwa telah terjadi perang antar orang Mongol dan Kerajaan Cin, bahkan pasukan Mongol tadinya sudah mendekati kota raja Yen-king yang pernah mereka kunjungi. Akan tetapi mereka tidak peduli.
Mereka tidak tertarik oleh urusan pemerintahan Kerajaan Cin, apalagi setelah mengalami hal hal yang tidak mengenakkan hati di istana Kaisar Wai Wang. Mereka mempunyai kesan buruk sekali terhadap kaisar itu dan para pangerannya. Kalau tidak ada panglima Yeliu Cutay yang menolong mereka, entah bagaimana jadinya dengan mereka kini!
Po-lim-cun adalah sebuah dusun yang kecil saja di kaki Pegunungan Thian-san. Karena dusun ini kecil dan para penghuninya hidup sederhana, juga karena daerah ini jauh dari perang, maka tidak mengalami pergolakan. Tidak ada orang jahat yang tertarik untuk melakukan aksi di tempat sunyi, sederhana dan melarat seperti dusun Po-lim-cun itu. Para penduduknya hanyalah petani-petani miskin yang penghasilannya hanya kerja sehari untuk makan sehari.
Kalau dulu dusun ini pernah mengalami kehancuran karena tempat itu menjadi ajang pertempuran para tokoh penjahat, bahkan pernah diserbu oleh gerombolan perampok, maka gerombolan perampok itu adalah pendatang dari daerah lain yang tidak tahu akan keadaan dusun yang miskin itu. Ketika mereka tiba di daerah Thian-san, dari sebuah bukit mereka dapat melihat genteng rumah-rumah dusun Po-lim-cun.
Melihat ini, keharuan menyelinap di dalam hati San Hong. Betapa rindunya kepada kampung halamannya ini! Terbayang olehnya setiap pelosok di tempat itu yang telah dikenalnya sejak kecil, tempat dia bermain-main, tempat dia bekerja setelah besar. Bahkan bukit di mana dia berdiri bersama Siang Bwee ini pun sama sekali tidak asing baginya.
Dan dari atas ini, dahulu ketika dia masih kecil, bersama teman-teman sedusun mereka suka mencari-cari di mana rumah masing-masing karena dari tempat ini, rumah-rumah di dusun itu nampak kecil-kecil dan hanya gentengnya saja yang sebagian besar kelihatan.
"Itu di sana rumahku, eh, maksudku bekas rumah orang tuaku!" kata San Hong tiba-tiba, seolah-olah dia bicara dengan seorang teman sedusun seperti dahulu ketika dia masih kecil.
"Mana? Yang mana rumahmu, Hong-ko?" Setelah mendengar suara Siang Bwee barulah dia teringat bahwa yang diajak bicara adalah Siang Bwee yang sama sekali tidak mengenal dusun itu.
"Itu, yang di sudut kiri, dekat pohon besar. Mari, Bweemoi, kita pergi ke kuburan orang tuaku!"
Siang Bwee mengangguk dan mereka berdua lari menuruni bukit itu, lalu menuju ke sebuah bukit kecil yang dijadikan tempat kuburan oleh para penduduk dusun Polim-cun. Setelah tiba di depan kuburan ayah ibunya, kuburan yang sederhana sekali dengan bong-pai (batu nisan) kasar, Siang Bwee membuka buntalan pakaianya.
Beberapa hari yang lalu, ketika melewati kota, dara ini sudah membeli perlengkapan sembahyang seperti hio-swa (dupa biting) lilin, dan lain-lain. Mereka lalu bersembahyang di depan dua makam yang berjajar itu dengan sederhana namun khidmat. Hati San Hong merasa girang melihat betapa Siang Bwee ikut bersembahyang, bahkan gadis itu cekatan dan trampil sekali mengatur persembahyangan, tahu akan semua aturannya.
"Bwee-moi, apakah engkau sering melakukan sembahyang?" tanya San Hong' setelah mereka selesai bersembahyang.
"Tentu saja, Hong-ko. Bukankah ibuku juga sudah tidak ada dan aku sering melakukan sembahyang untuknya."
"Ayahmu juga?"
"Tentu saja! Kau kira bagaimana? Ayahku amat sayang kepada ibu, walaupun ibu telah tiada, ayah tidak pernah melupakannya."
Diam-diam hati San Hong merasa semakin girang, akan tetapi juga terheran-heran. Watak para datuk besar itu demikian aneh, bahkan kejam bukan main. Tung Kiam juga berwatak kejam sekali, demikian pula Nam Tok kelihatannya amat kejam ketika melukainya dan hendak membunuhnya.
Akan tetapi sungguh aneh kalau mendengar bahwa seorang datuk besar kaum sesat seperti Nam Tok masih melakukan sembahyang dan dapat demikian setia dalam cintanya terhadap isterinya yang sudah meninggal dunia! Sukar sekali menyelami watak ayah gadis ini, seperti juga sukar mengenal benar watak Siang Bwee.
"Ah, Nam Tok memang iblis Jahat!" Tiba-tiba terdengar suara orang dan dua orang muda itu menengok.
Ketika mereka bersembahyang tadi, tentu saja mereka mencurahkan semua perhatian sehingga tidak tahu bahwa ada orang lain memasuki tanah kuburan itu dan kini orang itu, seorang laki-laki tua, usianya tidak kurang dari tujuh puluhan tahun, dengan tongkat di tangan, berdiri dengan punggung bongkok saking tuanya, bersandar kepada tongkat dan memandang kepada mereka.
Hampir saja Siang Bwee marah mendengar ayahnya dimaki orang sebagai iblis jahat, akan tetapi ia menahan diri dan bahkan tersenyum. Memang ini merupakan satu di antara keanehan sikap Siang Bwee. Apa yang terasa di hatinya sama sekali berbeda, bahkan kadang-kadang berlawanan dengan apa yang nampak pada wajahnya!
"Kakek yang baik, kenapa engkau berkata bahwa Nam Tok memang iblis jahat?"
"Kenapa? Engkau masih bertanya lagi kenapa kukatakan bahwa Nam Tok memang iblis jahat? Dia bukan manusia, dan iblis yang paling jahat dan terkutuklah Nam Tok!"
Kakek itu mengangkat tongkatnya dan memukulkannya pada tanah seolah-olah Nam Tok berada di situ dan diserangnya. "Lihat saja. Kuburan ini tidak akan begini penuh kalau tidak karena kekejaman Nam Tok! Terkutuk! Dia telah membunuh hampir seluruh penduduk dusun Polim-cun, termasuk dua orang anakku laki-laki! Kalau tidak terjadi demikian, tentu kini aku menjadi seorang kakek di antara cucu-cucunya, hidup berbahagia, tidak kesepian seperti ini..... aih, Nam Tok memang iblis jahat, terkutuklah dia!"
San Hong mengenal pria itu. Dia seorang pandai besi yang suka membuat alat-alat pertanian untuk semua orang dusun Po-lim-cun dan sekitarnya. Dia merasa tidak enak juga mendengar betapa orang itu memaki-maki Nam Tok di depan Siang Bwee, maka cepat dia bangkit dan melangkah maju, memberi hormat kepada kakek itu.
"Ciu kong (Kakek Ciu), apa kabar? Lupakah kau kepadaku? Aku San Hong, Kwee San Hong."
Kakek itu memandang kepadanya, lalu tersenyum lebar, memperlihatkan rongga mulut yang sudah tidak bergigi. "Aha, kiranya engkau San Hong si tenaga gajah itu? Pantas engkau bersembahyang di depan kuburan Kwee Cun dan isterinya. Dan orang muda ini, siapakah dia? Kenapa dia merasa heran kalau aku memaki dan mengutuk Nam Tok yang jahat?"
"Ini adalah seorang sahabatku dan karena dia bukan orang sini, maka dia tidak tahu apa yang telah terjadi beberapa tahun yang lalu itu di dusun kita, Ciu-kong."
Siang Bwee melihat kesempatan baik untuk memulai dengan penyelidikannya. Ia tidak patah semangat mendengar ucapan dan melihat sikap kakek itu yang agaknya demikian meyakinkan, membuktikan akan kesalahan ayahnya yang dituduh membunuhi banyak orang dusun yang tak berdaya itu.
"Maaf, Kong-kong (Kakek), aku bukan menyangkal, melainkan merasa heran dan tidak mengerti. Memang sahabatku Kwe San Hong ini sudah menceritakan bahwa hampir seluruh penduduk dusun Po-lim cun dibunuh oleh seorang yang berjuluk Nam Tok. Akan tetapi aku belum mau percaya. Bagaimana mungkin seorang membunuh demikian banyak orang dusun tanpa sebab?
"Kebetulan sekali engkau mengetahui peristiwa itu, Kek. Apakah engkau mau menjadi saksi bahwa engkau mengetahui benar akan peristiwa pembunuhan itu? Sahabatku Kwee San Hong ini tidak melihatnya sendiri terjadinya peristiwa itu, maka keterangannya tidak meyakinkan."
"Jadi saksi? Tentu saja mau. Semua orang yang lolos dari pembunuhan itu menjadi saksi!"
"Apakah engkau melihat sendiri ketika pembunuhan besar-besaran itu terjadi, kakek yang baik?" tanya Siang Bwee dengan sikap lemah lembut. Gadis ini memang memiliki wajah yang manis, dan kalau ia sudah bersikap lemah lembut seperti itu, sukar bagi orang yang diajaknya bicara untuk tidak bersikap manis padanya, walaupun kini ia menyamar sebagai pria.
"Melihat sendiri? Tentu saja tidak, orang muda. Kalau aku melihat sendiri ketika peristiwa itu terjadi, tentu sekarang aku tidak berdiri lagi di sini, melainkan rebah di dalam tanah kuburan ini seperti yang lain."
Siang Bwee tersenyum. "Aih, benar juga. Aku yang bodoh mengajukan pertanyaan seperti itu, Kek. Lalu, ketika peristiwa pembunuhan itu terjadi, engkau berada di mana?"
"Begitu terjadi keributan, dua orang puteraku lebih dulu memaksa aku untuk bersembunyi keluar dusun, dan mereka lalu kembali ke dusun untuk membantu teman-teman menghadapi iblis-iblis itu! Dan.... seperti yang lain-lain, aku hanya melihat mayat mereka di dalam dusun. Mayat-mayat berserakan, bertumpuk, mandi darah dan banjir darah....."
Kakek itu bergidik dan kembali memukul-mukulkan tongkatnya di atas tanah sambil mengutuk, "Terkutuk engkau Nam Tok!"
"Maaf, ya. Kek? Kalau engkau pergi bersembunyi ketika peristiwa itu terjadi, bagaimana engkau tahu bahwa pembunuh itu adalah Nam Tok? Kalau semua orang yang berada di dusun terbunuh, lalu siapa yang melihat bahwa pembunuhan itu dilakukan olehnya? Apakah engkau sendiri melihat pembunuh yang disebut Nam Tok itu, Kek?"
"Bagaimana aku dapat melihatnya. Aku bersembunyi dan mereka yang berhasil lolos pun, tidak ada seorang yang dapat melihatnya."
"Kalau begitu, bagaimana kalian dapat memastikan bahwa pelaku pembunuhan itu adalah Nam Tok? Dan tadi engkau mengatakan bahwa dua orang puteramu membantu penduduk untuk menghadapi iblis-iblis itu. Siapakah iblis-iblis itu Kek? Apakah yang namanya Nam Tok itu lebih dari satu orang?"
"Mula-mula dusun kami diserang oleh banyak orang jahat. Penduduk dipimpin oleh Kwee Cun, yaitu ayah San Hong ini, yang dengan gagah bersama isterinya membangkitkan semangat para pemuda di dalam dusun, melakukan perlawanan, aku sendiri karena sudah tua disuruh bersembunyi oleh dua orang puteraku. Tapi kemudian..... hanya ada beberapa orang saja yang mampulolos dari dalam dusun..... dalam keadaan luka-luka dan..... ketika itu, terdengar teriakan lantang dari dalam dusun bahwa yang melakukan pembunuhan itu adalah Nam Tok! Nah, jelas, bukan? Pembunuh itu sendiri mengaku bernama Nam Tok dan dia yang melakukan pembunuhan atas diri banyak sekali orang itu."
"Sungguh menarik!" kata Siang Bwee dan dia melirik kepada San Hong. "Kakek yang baik, maukah engkau menceritakan semua peristiwa itu? Dari permulaan sampai akhir? Aku ingin sekali mengetahui bagaimana terjadinya peristiwa yang mengerikan itu."
Kakek itu menggeleng kepala. "Sudah kukatakan, siang-siang aku sudah disuruh bersembunyi oleh anak-anakku. Aku menyesal sekali!" Dia memukulkan tongkatnya ke atas tanah.
"Kalau tahu akan begini, tentu aku menolak untuk bersembunyi. Lebih baik mati bersama mereka!"
Siang Bwee merasa kecewa, akan tetapi ia seorang gadis yang cerdik sekali. ''Kakek yang baik, kau tadi mengatakan bahwa di antara para penduduk yang melakukan perlawanan, ada yang berhasil lolos dari maut, walaupun menderita luka-luka. Apakah aku dapat menemui orang di antara mereka? Aku ingin sekali mendengar langsung dari dia."
San Hong membantu penyelidik Siang Bwee. "Benar, Ciu-kong, aku pun ingin mendengar. Dahulu aku tergesa gesa sehingga tidak mendengar cerita orang yang langsung melakukan perlawanan di samping ayah ibuku. Siapakah di antara mereka yang lolos itu, yang kini masih tinggal di dusun kita, Kek?"
"Ada, keponakanku sendiri. Kau ingat A-liok, San Hong? Nah, dia itu lolos dari maut, akan tetapi dia menjadi penderita cacat. Lengan kirinya buntung. Hemmm, iblis Nam Tok itu sungguh jahat!"
Tentu saja San Hong ingat kepada orang yang bernama A-liok, seorang laki-laki yang pernah menjadi temannya bermain walaupun usianya beberapa tahun lebih tua. Dia mengangguk dan menarik tangan Siang Bwee.
"Terima kasih, Kek. Mari kita pergi mencari A-liok!" katanya kepada gadis itu dan mereka pun pergi meninggalkan kakek itu yang masih berdiri bersandarkan tongkat, berdiri dengan tubuh bongkok dan hati bengkok karena duka dan sepi.
A-liok masih mengenal San Hong dengan baik. Karena lengan kirinya buntung sebatas siku, kini dia bekerja menggembala ternak saja. Ketika melihat San Hong, dia segera menyambutnya dengan gembira dan merangkulkan lengan kanannya ke pundak pemuda tinggi besar itu. "San Hong, engkau Tenaga Gajah! Wah, engkau sekarang sudah dewasa, dan semakin gagah saja!"
"Bagaimana kabarnya, A-liok? Aku mendengar dari kakek Ciu tentang dirimu. Maka aku sengaja datang berkunjung. Ini sahabatku dari selatan, namanya Siang. Panggil saja Siang. Dia dan aku ingin sekali mendengar ceritamu tentang peristiwa menyedihkan yang terjadi di dusun ini beberapa tahun yang lalu, peristiwa yang merenggut nyawa ayah ibuku dan juga agaknya merenggut lengan kirimu." kata San Hong setelah mereka dipersilakan duduk di bangku sederhana.
"Benar, saudara A-liok. Kami mendengar bahwa engkau adalah seorang di antara para penduduk yang dengan gagah berani telah melawan para penjahat yang menyerbu dusun ini. Engkau pantas dikagumi dan dihormati, saudara A-liok. Kabarnya yang membunuh semua orang adalah Nam Tok. Apakah Nam Tok pula yang membuat lenganmu menjadi buntung itu? Bagaimana macamnya orang yang disebut Nam Tok itu? Manusiakah dia? Atau iblis seperti yang dikatakan kakek Ciu?" Siang Bwee juga ikut bertanya.
A-liok menarik napas panjang. "Mengerikan kalau mengingat peristiwa itu. Memang, kami semua baru tahu bahwa yang melakukan semua pembunuhan itu bernama Nam Tok setelah terdengar suara pengakuannya yang menyeramkan itu...."
"Saudara A-liok, maukah engkau menceritakan dari semula?" Siang Bwee mendesak.
"Ceritakanlah, A-liok, aku pun ingin sekali mendengarnya, hitung-hitung untuk mengenang kegagahan ayah dan Ibuku." San Hong juga mendesak karena dia mulai tertarik sekali dan baru dia dapat melihat kemungkinan-kemungkinan baru seperti yang sedang diselidiki oleh Siang Bwee.
A-liok mengangguk-angguk. "Ketika itu sayang sekali engkau tidak berada di dusun, San Hong. Kalau engkau ada, setidaknya tentu keadaan kami lebih kuat. Akan tetapi siapa tahu Tuhan memang sudah mengatur sedemikian, sehingga engkau lolos dari ancaman maut. Baiklah, akan kuceritakan kesemuanya. Ketika itu, selagi kami semua hendak mengaso dan tidur, tiba-tiba terdengar sorak-sorai dan mungkin ada tujuh belas orang datang menyerang dusun Po-lim-cun.
"Dalam keadaan panik itu, di waktu para perampok itu mengamuk dan membunuhi orang, mendiang Paman Kwee Cun dan isterinya membangkitkan semangat kami dan kami mengambil senjata apa saja untuk melakukan perlawanan. Para perampok yang dipimpin oleh seorang yang berwajan bengis itu sebetulnya akan dapat kami pukul mundur, bahkan beberapa orang di antaranya telah terluka oleh pengeroyokan orang sedusun.
"Akan tetapi tiba-tiba muncullah dua orang yang seperti iblis itu. Mereka berdua itu muncullah dan mereka mengamuk dan sungguh mengherankan dan mengerikan. Dua orang itu benar-benar seperti bukan manusia. Mereka membunuh siapa saja yang dekat dengan mereka dan setiap kali tangan atau kaki mereka bergerak, tentu ada seorang di antara kami yang tewas atau terluka parah. Mereka itu tidak menggunakan senjata, hanya menggunakan tangan kaki, akan tetapi akibatnya hebat sekali? Ayah dan ibumu kulihat juga tewas di tangan kedua orang itu, San Hong!"
Hampir saja Siang Bwee bersorak mendengar ini, akan tetapi wajahnya tidak memperlihatkan sesuatu dan ia hanya bertanya cepat, menyelinap di antara kata-kata A-liok. "Apakah mereka itu bernama Nam Tok?"
"Aku tidak tahu, saudara Siang."
"Siapakah dua orang pembunuh itu? A-liok, katakanlah, siapa kedua orang itu?" San Hong juga bertanya, wajahnya agak berubah karena baru sekarang dia mendengar cerita yang lengkap. Dahulu, ketika mendengar semua orang yang masih hidup mengatakan tanpa ragu bahwa yang membunuh ayah ibunya adalah seorang bernama Nam Tok, dia tidak ingin mendengar lebih panjang lagi.
A-liok memandang kepada San Hong dan menggeleng kepala. "Aku pun tidak tahu, San Hong. Akan tetapi, mendengar pengakuan suara yang kemudian kami dengar semua itu, tentu seorang di antara mereka itu yang bernama Nam Tok."
"Tolong lanjutkan saja ceritamu, saudara A-liok, agar kami dapat mendengar jalannya peristiwa dengan urut dan baik. Setelah dua orang itu datang dan mengamuk, membunuhi penduduk dusun ini, lalu apa yang terjadi kemudian?"
"Aku tidak dapat menceritakan dengan jelas, saudara Siang. Ketika itu, aku yang juga sudah menjadi marah dan nekat, menyerang seorang di antara mereka dengan pukulan tangan kiri. Akan tetapi, dia menangkap lenganku, dan..... sekali remas saja lengan kiriku hancur di dekat siku dan menjadi buntung! Dia menendang dan aku pun terlempar jauh!
"Aku terbanting jatuh di antara banyak mayat dan aku pura-pura mati. Dalam, keadaan yang amat menderita, amat nyeri, aku menggunakan kesempatan selagi dua orang itu terus mengamuk, untuk perlahan-lahan merangkak dan menjauhi tempat itu..... dan aku tidak melihat apa-apa lagi.
"Aku hanya rebah di tempat yang agak jauh dan tersembunyi, dan hanya melihat dari jauh. Dua orang itu terus mengamuk dan kulihat semua orang roboh! Aku lalu berhasil bangkit, menyelinap di antara rumah-rumah dan lari keluar dusun!"
"Lalu bagaimana? Bagaimana kalian menjadi yakin bahwa yang melakukan pembunuhan itu adalah Nam Tok, dan bukan tujuh belas orang perampok dan dua orang aneh yang lihai itu?" Siang Bwee mendesak.
"Karena tak lama kemudian, selagi aku dan beberapa orang penduduk yang berhasil lolos bersembunyi di luar dusun, terdengar teriakan nyaring yang menyeramkan, teriakan yang mengatakan bahwa yang melakukan semua pembunuhan itu adalah Nam Tok! Begitulah."
"Setelah itu kalian kembali ke dusun?" Siang Bwee masih penasaran dan mengejar terus.
"Setelah beberapa jam lamanya dan keadaan benar-benar sunyi, barulah kami kembali ke dusun. Lenganku yang putus sebelah telah ditolong oleh beberapa orang saudara, diobati dan dibalut. Dan dusun kami telah menjadi tempat yang mengerikan sekali! Mayat-mayat berserakan, bergelimpangan, bertumpuk-tumpuk....." A-liok bergidik.
"Dan barang-barang kalian dirampok?"
A-liok menggeleng kepalanya. "Sama sekali tidak! Para perampok itu, yang tujuh belas orang itu..... mereka..... mereka....." Kembali A-liok bergidik.
"Mereka kenapa?" San Hong mendesak. Dia sendiri tidak sempat mendengar cerita yang lengkap seperti ini ketika itu, karena hatinya sudah dipenuhi dendam dan kemarahan kepada nama seorang saja, yaitu Nam Tok!
"Mereka semuanya pun menjadi mayat dalam keadaan yang amat mengerikan!"
"Ahhh....!!" Seruan ini keluar dari mulut Siang Bwee dan San Hong, hampir berbareng karena keduanya terkejut dan sama sekali tidak menyangka mendengar jawaban itu.
"Mereka semua tewas juga? Siapa yang membunuh mereka?" kini San Hong bertanya.
"Kami tidak melihatnya dan kami tidak tahu. Akan tetapi mengingat kemunculan dua orang itu, siapa lagi kalau bukan mereka yang membunuh para perampok itu? Tentu Nam Tok itu pula, sesuai dengan pengakuannya."
"Dan kalian tidak lagi melihat dua orang itu di dusun ketika kalian akhirnya berani memasuki dusun kembali?" tanya Siang Bwee.
A-liok menggeleng kepala. "Dan seorang di antara dua orang itu adalah Nam Tok?" tanya San Hong yang masih bingung.
"Kami kira begitu, mendengar teriakan itu...."
"Persetan dengan teriakan itu!" kini Siang Bwee berteriak. "Saudara A-liok, cepat ceritakan, bagaimana macamnya dua orang yang amat lihai itu! Cepat, ini penting sekali, ini yang terpenting!"
A-liok memandang dengan mata terbelalak heran kepada Siang Bwee, akan tetapi San Hong memegang pundaknya dengan sikap lembut. "Apa yang dia katakan itu benar, Aliok. Ceritakanlah dengan sejelasnya bagaimana macam dan keadaan dua orang itu."
Dengan jantung berdebar penuh ketegangan, Siang Bwee dan San Hong mendengarkan A-liok dan pandang mata mereka seolah-olah bergantung kepada bibir orang itu.
"Mereka itu dua orang yang usianya pada waktu itu kurang lebih lima puluh tahun. Yang seorang bertubuh pendek berperut gendut dan dia mengamuk sambil tertawa-tawa seperti orang gila. Kepalanya botak dan aku melihat betapa dia menangkap seorang penduduk, mengangkatnya tinggi, lalu membenturkan kepala orang itu dengan kepala botaknya! Kepala penduduk dusun itu pecah berantakan" Dia menggigil dan bergidik membayangkan peristiwa itu.
"Yang seorang lagi bagaimana?" Siang Bwee mendesak.
"Yang seorang lagi bertubuh tinggi kurus matanya seperti terpejam dan mulutnya bersungut-sungut terus seperti orang marah. Orang ini lebih banyak mengamuk dengan kakinya yang panjang, akan tetapi cengkeraman tangannyalah yang membuat lenganku buntung."
"Ahhh.....! Ahhhhh.....!"
San Hong sudah berubah mukanya, agak pucat karena gambaran tentang dua orang itu sama sekali tidak cocok dengan bentuk tubuh Nam Tok yang tinggi besar dan gagah, berusia enam puluh tahun dan selalu membawa tongkat yang mudah dikenal, yaitu tongkat setinggi pundak yang kedua ujungnya berlapis emas dan gagangnya diukir kepala naga! Akan tetapi mendengar Siang Bwee ber-ah-ahah itu dia bertanya.
"Kenapa Siang..... te?" tanyanya, masih ingat untuk tidak menyebut moi-moi kepada gadis itu.
Akan tetapi Siang Bwee tidak mempedulikan San Hong dan gadis itu kini memegang lengan A-liok yang tinggal sebelah. "Saudara A-liok yang baik, cepat katakan, bagaimana pakaian mereka? Ah, katakan, warna pakaian mereka. Apakah hitam-hitam??"
Kini A-liok memandang heran kepada Siang Bwee dan dia mengangguk. "Tepat sekali. Memang dua orang itu mengenakan pakaian serba hitam....."
"Bagus.....! Ho-ho-ho, bagus....." Siang Bwee bersorak sambil melompat bangun, lalu membuat gerakan seperti menari-nari. Kemudian ia merenggut lepas kalungnya yang tersembunyi di balik bajunya, dan memberikan itu kepada A-liok.
"A-liok," katanya tanpa pura-pura lagi, "engkau layak menerima hadiah ini. Juallah kalung ini, uangnya pergunakan untuk membeli kerbau, sedikitnya engkau akan memperoleh sepuluh ekor dan hiduplah berbahagia seperti aku! Cihuii...!" kembali Siang Bwee meloncat ke atas setelah menyerahkan kalung itu kepada A-liok.
A-liok memandang dengan bengong bukan hanya karena mendapatkan hadiah kalung seharga sepuluh ekor kerbau, akan tetapi melihat betapa "pemuda" itu berloncatan dan bukan main loncatannya. Sampai hampir mencapai wuwungan rumahnya!
"Bwee-moi, siapakah mereka? Siapa...." San Hong tidak peduli lagi keheranan A-liok mendengar dia menyebut Bwee-moi kepada pemuda bernama Sian itu.
"Hi-hi-hik, Hong-ko. Bagaimana kini? Mereka itu seorang gendut seorang kurus, berpakaian hitam dan lihai sekali. Siapa lagi kalau bukan Hek I Siang-mo? Jelas bukan Nam Tok! Nam Tok seorang terhormat, selalu mengenakan pakaian yang indah berwarna putih dengan sabuk emas. Selama hidup tidak pernah sudi memakai yang hitam-hitam, dan tubuhnya, engkau tahu sendiri, tinggi besar dan gagah seperti engkau. Bukan dia! Bukan Nam Tok pembunuhnya, melainkan Hek I Siang-mo.....! Cihuiiiii.....! Girangnya hatiku!"
Kini San Hong menubruk dan merangkul pinggang gadis itu, lalu dipanggulnya dan dibawanya lagi keluar dari rumah itu, terus keluar dari dusun. A-liok hanya bengong, lalu memandang kepada kalung yang berada di tangannya. Kalau saja dia masih mempunyai tangan kiri, tentu akan digaruknya kepalanya yang tidak gatal. Mereka itu barangkali sudah gila, pikirnya. Akan tetapi kalung itu emas tulen. Sepuluh ekor kerbau!
"Lepaskan aku! Lepaskan!" Siang Bwee meronta-ronta ketika mereka sudah tiba jauh dari dusun Po-lim-cun dan San Hong melarikan gadis itu memasuki tanah kuburan lagi. Kini kakek Ciu sudah tidak ada lagi dan di situ benar-benar sepi.
"Lepaskan aku! Apa kau sudah gila, Hong-ko?"
"Memang aku sudah gila, gila karena girang, karena bahagia, karena tergila-gila kepadamu! Apa engkau saja yang boleh bersorak dan menari kegirangan? Aku pun berhak untuk bersenang-senang dan menyatakan kegembiraan hatiku!" Dan San Hong lalu melemparkan tubuh gadis itu ke atas, mengerahkan tenaganya sehingga seperti sebutir bola, tubuh Siang Bwee melayang ke atas! Ketika! tubuh itu melayang turun, disambutnya lalu dilemparkan lagi ke atas sampai berkali-kali, sampai Siang Bwee menjerit-jerit.
"Gila kau. Turunkan aku! Gila, kalau tidak kau sambut dan turunkan, aku akan menjerit! Menangis!"
San Hong menyambut tubuh itu, merangkulnya, kemudian melepaskannya! Siang Bwee berdiri dengan muka merah dan pura-pura marah, bertolak pinggang dan siap menampar. Akan tetapi tiba-tiba San Hong menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki gadis itu.
"Bwee-moi, kau..... kau mau mengampuni aku?"
"Eh? Apa-apaan ini? Mengapa aku harus mengampunimu?" tanya Siang Bwee yang juga menjatuhkan diri berlutut di depan San Hong. Keduanya berlutut saling berhadapan, di depan makam ayah ibu San Hong.
"Karena aku telah begitu tolol, begitu bodoh untuk menaruh dendam kepada ayahmu. Nam Tok tidak bersalah, tepat seperti perkiraanmu. Aku yang bodoh. Engkau mau mengampuni aku?"
Siang Bwee tersenyum. Belum diminta pun sudah sejak dulu ia mengampuni pemuda tinggi besar yang ketololan ini. "Nanti dulu, kenapa kau tadi seperti gila karena girang sampai mempermainkan aku seperti sebuah bola? Kenapa engkau begitu girang amat?"
"Betapa tidak, Bwee-moi? Tahukah engkau bahwa selama ini hatiku risau dan penuh duka? Mengingat bahwa ayahmu adalah musuh besarku, sedangkan engkau....."
"Aku mengapa?"
"Engkau.... engkaulah satu-satunya gadis yang kucinta sepenuh jiwaku.....!"
"Hong ko.....!" Siang Bwee menjerit dan gadis ini lalu menangis tersedu-sedu, sesunggukan sambil menutupi muka dengan kedua tangan dan masih berlutut.
San Hong terbelalak, terkejut dan terheran heran. Semenjak dia bertemu dan mengenal gadis ini, dia tahu bahwa Siang Bwee seorang gadis gemblengan yang amat tabah, pemberani, tak kenal takut, apalagi sampai menangis cengeng. Dan sekarang apa yang dilihatnya? Gadis itu menangis sesunggukan seperti seorang anak kecil! Begitu sedih terdengarnya, tangisnya itu mengeluarkan suararintihan panjang berhuhu-hihi, menyedihkan sekali, seolah-olah Siang Bwee menangis dengan hati seperti diremas-remas!
"Bwee-moi..... ah, ampunkan aku..... ah, sungguh mati, aku tidak bermaksud menyakiti hatimu, Bwee-moi. Sungguh mati.... kalau ucapanku tadi menyinggung hatimu, kau maafkanlah aku. Aku memang lancang, aku canggung dan bodoh, aku kasar dan tidak mengenal sopan santun.... sepatutnya aku mengerti bahwa seorang laki-laki kasar bodoh dan miskin macam aku ini sungguh tidak pantas untuk mengaku cinta terhada seorang gadis sepertimu....."
Mendengar ucapan itu, tiba-tiba Sian Bwee menghentikan tangis, mengangkat muka memandang kepada San Hong sambil membelalakkan matanya yang basah kemudian mulutnya mewek-mewek dan ia pun menangis lagi lebih keras, ".....kau.... kau.... uhu-hu-huhuuuhhh....."
Dan ia pun tersedu-sedu, menangis kembali sambil menutupi muka dengan kedua tangan. Dari celah-celah antara jari tangannya mengalir dan menetes air matanya seperti tanggul sungai yang jebol banjir.
San Hong menjadi semakin gugup dan bingung, tidak tahu apa yang harus dilakukan atau diucapkan. "Bwee-moi.... apa..... apa yang harus kulakukan.....?"
Biasanya, gadis itu seperti menjadi pemimpinnya dalam segala hal, memberi petunjuk apa yang harus dia lakukan selama mereka melakukan perjalanan dan selalu petunjuknya tepat. Dia merasa betapa gadis itu jauh lebih pintar dari dia, akan tetapi kini gadis, itu hanya menangis, padahal dia bingung dan membutuhkan sekali petunjuknya.
Mendengar pertanyaan yang dikeluarkan dengan suara yang benar-benar membayangkan kebingungan itu, Siang Bwee mengangkat mukanya yang basah air mata, "Kau peluklah aku..... peluklah aku....."
San Hong terbelalak, menjadi semakin bingung dan salah tingkah, akan tetapi perintah itu dilaksanakannya dengan hati-hati. Dia mendekat dan juga berlutut lalu merangkul Siang Bwee. Ketika merasa betapa kedua lengan pemuda itu, lengan yang kokoh kuat dan panjang, merangkulnya, ia terisak dan menjatuhkan mukanya di dada yang bidang itu, melanjutkan tangisnya.
"Bwee-moi, aku....."
"Ssstt, diam sajalah, rangkul sajalah....." Siang Bwee memotong dengan suara bercampur isak.
San Hong menutup mulutnya rapat-rapat dan dia tidak bicara lagi, melainkan memeluk dengan penuh perasaan sayang. Siang Bwee kembali menyandarkan mukanya di dada pemuda itu, akan tetapi tangisnya makin mereda dan akhirnya terhenti sama sekali. Tanpa disengaja, timbul karena perasaan sayangnya, tangan San Hong mengelus rambut di kepala gadis ini dengan penuh sentuhan mesra.
"Hong koko....." lirih sekali ucapan itu, hanya bisik-bisik saja, namun bagi telinga San Hong suara itu semerdu nyanyian sorga.
"Ya.....?" San Hong memandang wajah yang kini meninggalkan dadanya dan menengadah itu. Wajah yang bukan main manisnya, walaupun rambutnya kusut dan mata itu masih kemerahan, kedua pipi masih basah air mata. Akan tetapi wajah yang tadinya menangis begitu sedih, ternyata nampak cerah berseri, apalagi karena mulut yang manis itu dihias senyum yang membuat lesung pipinya nampak jelas. Sejenak dua pasang mata itu bertemu, bertaut lembut dan melekat.
"Ada apakah, Bwee-moi?"
”Hong ko, ulangi lagi kata-katamu tadi....."
"Kata-kata yang mana, Bwee-moi?"
Siang Bwee menjadi gemas. Bodohnya laki-laki ini, pikirnya. Bodoh akan tetapi menggembirakan hatinya karena kebodohannya itu menjadi bukti bahwa San Hong adalah seorang pemuda yang masih hijau, yang belum tahu bagaimana orang berpacaran! Dari sini saja mudah diketahui bahwa ia adalah wanita pertama yang menjatuhkan hati San Hong, pendekar perkasa ini!
"Kata-katamu tadi, tentang..... engkau cinta....." katanya menahan kegemasan.
"Ah, itu....." Wajah pemuda itu berubah merah sekali seperti udang direbus.
Kalau saja gadis itu tidak menengadah dan menatap wajahnya seperti itu, pasti akan lebih mudah baginya. Akan tetapi sepasang mata gadis itu menatap dan mengamatinya seperti seorang guru mengamati murid menghadapi ujian dan hal ini membuat pemuda perkasa itu menjadi gugup dan bingung, jantungnya berdebar penuh rasa tegang dan malu. Dia harus mengerahkan seluruh kekuatan batinnya untuk membuat pengakuan yang pada waktu biasa tentu akan mudah diucapkannya dengan lidah ringan itu.
"Aku..... aku cinta padamu, Bwee moi, aku cinta padamu.... dengan seluruh jiwa ragaku....." San Hong menahan kata katanya karena dia merasa betapa tubuh dalam rangkulannya itu terguncang dan wajah gadis itu kini penuh dengan tawa!
"Hi-hi-hi-hi-hik.... ohhh, Hong-koko... aduh, lucunya.....!" Dan kalau tadi ia menangis tersedu-sedu, kini ia tertawa terpingkal-pingkal dalam rangkulan San Hong.
Hampir saja San Hong melepaskan rangkulannya. Dia kini memandang kepada gadis itu dengan alis berkerut dan suaranya bernada marah ketika dia bertanya, "Bwee-moi, kenapa engkau mentertawai aku?"
Mendengar pertanyaan ini, Siang Bwee menjadi semakin geli. Akhirnya ia dapat juga menjawab. "Hong-ko, siapa yang tidak geli dan tertawa melihat dan mendengar ucapanmu tadi? Engkau mengingatkan aku akan sebuah adegan di panggung wayang yang pernah kutonton, juga ada seorang tokoh wayang mengaku cinta seperti tadi kepada seorang wanita. Akan tetapi ucapan dan sikapmu tadi begitu canggung, seperti seorang pemain wayang yang baru belajar saja, ah, begitu kaku dan canggung sehingga nampak menggelikan!"
Kini San Hong yang merasa gemas. Dia tahu bahwa gadis itu tidak bermaksud mentertawakan atau menghinanya, melainkan menggodanya! Dia sudah mengenal watak Siang Bwee. Seorang gadis yang aneh, lincah jenaka, juga nakal bukan main, suka menggoda orang! Maka, dengan gemas dia berkata, "Memang aku canggung, tidak pandai bicara. Nah, aku akan menyatakan cintaku tidak dengan kata-kata lagi, melainkan dengan perbuatan!"
Tiba-tiba dia mempererat pelukannya dan dia menciumi kedua pipi gadis itu, lalu menyembunyikan hidung dan bibirnya di leher Siang Bwee, menyusupkan di antara rambut halus itu. Siang Bwee merintih dan kedua lengannya merangkul leher San Hong seperti dua ekor ular merayap. Ia merintih dan menggelinjang.
"Hong-ko..... ah, aku.... aku cinta padamu, Hong-ko...."
Sampai lama mereka saling dekap seperti itu. Akhirnya Siang Bwee melepaskan rangkulannya dan San Hong mengangkat mukanya dari leher yang hangat dan harum itu.
"Bwee-moi? Benarkah engkau juga cinta padaku? Kalau benar, aku ingin bukti!"
Siang Bwee memandang kepada kekasihnya dengan mata terbelalak, salah taksir. "Apa? Apa..... maksudmu?" Ia menuntut, siap untuk marah.
"Aku minta bukti cintamu seperti yang pernah kau lakukan kepada..... Cu See Han itu."
"Ahhh....., itukah maksudmu? Engkau..... engkau cemburu?"
"Tentu saja! Kalau engkau tidak mau mencium Cu See Han, tentu engkau mau menciumku pula, kalau benar engkau cinta padaku." San Hong menuntut.
Siang Bwee masih tersenyum nakal, akan tetapi sinar matanya mesra dan sungguh-sungguh. "Hong-ko, engkau sungguh bodoh, Hong-ko, Bagaimana aku dapat menciummu dengan ciuman pura-pura seperti itu? Nah, inilah ciuman tanda cintaku kepadamu!"
Siang Bwee menggunakan kedua tangannya untuk memegang dan menekan kedua pipi San Hong, kemudian ia menariknya dan mencium pemuda itu dengan mengadu mulut mereka dengan kecupan bibir yang mesra, dengan sepenuh perasaannya.
San Hong memejamkan matanya, terkejut dan heran. Biarpun usianya sudah dua puluh tahun lebih, akan tetapi dia seorang pemuda polos yang sama sekali belum berpengalaman dalam soal pacaran. Bahkan belum pernah dia melihat orang berpacaran dan berciuman, maka dia pun terkejut heran dan malu, akan tetapi juga senang! Dia hanya merangkul gadis itu dan membalas ciuman Siang Bwee dengan kaku tetapi dengan sepenuh perasaan hatinya!
Ketika merasa tubuhnya panas dingin dan jantungnya berdegup seperti akan pecah, San Hong mengangkat mukanya dan melonggarkan pelukannya. Siang Bwee merasakan hal ini dan dengan muka masih tersembunyi dalam dekapan pemuda itu ia berbisik, "Ada apa, Koko...?"