Pedang Asmara Jilid 21 karya Kho Ping Hoo - "Bwee-moi, aku..... aku takut.... aku takut kalau sampai lupa diri...."
Siang Bwee menarik napas panjang dan ia pun melepaskan rangkulannya, bahkan lalu menjauhkan diri. Mereka duduk di atas rumput, dalam jarak dua meter, saling pandang dengan sinar mata penuh kasih sayang dan kemesraan. Wajah mereka cerah dan kemerahan, sinar mata mereka sayu penuh berahi.
Daya tarik antara pria dan wanita adalah hal yang wajar dan alami. Daya tarik ini amat penting bagi perkembangbiakan manusia, karena tanpa daya tarik, tidak akan ada pendekatan dan penyatuan antara pria dan wanita. Cinta kasih antara pria dan wanita selalu mengandung berahi.
Nafsu berahi pun merupakan suatu alat yang kita bawa sejak lahir, alat untuk mendorong pria dan wanita untuk saling mendekati dan saling menumpahkan rasa berahi itu lewat persatuan tubuh sehingga terlahirlah manusia manusia baru sebagai penyambung keturunan.
Namun, nafsu berahi yang hanya merupakan alat pelengkap itu tidak boleh sekali-kali dibiarkan liar dan binal, karena kalau demikian halnya, maka nafsu berahi yang sebetulnya hanya alat pelengkap atau pelayan, berubah kedudukannya menjadi penguasa. Dan kalau sudah demikian halnya, maka kita menjadi hamba nafsu berahi! Celakalah kalau sudan demikian.
Nafsu berahi, seperti nafsu akan hal lainnya atau kesenangan lainnya, selalu mendesak pelampiasan dan pemuasan. Nafsu hanya ingin dipuaskan, terus menerus, berkali kali. Bahkan makin dilampiaskan semakin haus menuntut lebih, tiada hentinya dan tiada habisnya, menyeret kita ke dalam jurang kesengsaraan sebagai akibat kemudian.
Hanya kekuasaan Tuhan yang akan memperkokoh batin kita sehingga selalu sadar akan muslihat nafsu dan mampu mengatasi gelora yang dibangkitkan nafsu-nafsu, mampu mengendalikan nafsu yang seperti kuda kuda liar itu sehingga nafsu menempati kedudukan semula menurut kodratnya, yaitu sebagai pelayan atau prabot bagi manusia dalam hidupnya di dunia ini.
”Hong ko, engkau benar. Kita harus mengenal batas, kita harus berhati-hati, jangan sampai kita terseret melakukan pelanggaran sebelum kita menikah!” kata Siang Bwee dan ia pun memegang tangan San Hong dan menariknya berdiri. Wajah gadis ini menjadi cerah sekali, bagaikan sekuntum mawar yang mekar indah setelah disiram embun dan dimandikan sinar matahari pagi. "Aku berbahagia sekali, Koko."
"Aku juga, Bwee-moi."
"Terutama sekali karena kejujuranmu, dan kebersihan hatimu. Kau tahu, andaikata kita terseret, melakukan pelanggaran karena kita tidak mampu mempertahankan diri dari godaan nafsu, aku pasti akan amat membenci diri sendiri dan juga amat membenci engkau."
"Tidak mungkin, Bwee-moi. Aku mencintaimu, karenanya aku pun menghargaimu dan menghormatimu sebagai seorang gadis."
"Terimakasih, Hong-ko! Keadaan kita sungguh aneh, bukan? Pertemuan kita memang aneh. Begitu kita berkenalan, kita sudah tidak ragu ragu lagi untuk mengaku bahwa kita berjodoh. Di depan ayah aku mengaku bahwa engkau adalah pilihan hatiku, dan di depan Kaisar engkau mengaku bahwa aku adalah calon isterimu."
"Akan tetapi engkau melakukannya untuk menyelamatkan aku dari ancaman ayahmu yang hendak membunuhku."
"Hemmm, dan engkau pun mengaku kepada Kaisar hanya untuk menghindarkan aku dari kehendak Kaisar yang hendak menjadikan aku sebagai selirnya atau selir pangeran."
"Tidak itu saja, Bwee-moi. Memang di dalam hatiku, sudah timbul rasa cinta padamu sejak pertemuan awal kita. dan kalau aku mengatakan hal itu kepada Kaisar, maka sesungguhnya memang demikianlah harapan hatiku. Aku cinta padamu sejak kita pertama kali berjumpa."
Siang Bwee tersenyum mengejek dan matanya mengerling penuh kenakalan. "Dan kau kira aku bagaimana? Apa kau kira aku hanya iseng saja ketika di depan ayahku mengatakan bahwa engkau adalah calon jodohku menurut pilihan hatiku? Hanya untuk menyelamatkanmu? Bagaimana aku demikian bersusun payah untuk menyelamatkan dirimu, bukan saja dari ancaman ayah, akan tetapi juga untuk mencarikan obat kepada Tung Kiam?
"Apakah semua itu kulakukan hanya karena aku kasihan kepadamu, orang yang baru saja kukenal? Hong ko, sebodoh bodohnya orang, tentu akan mengerti bahwa semua itu tidak mungkin kulakukan kalau aku tidak cinta kepadamu sejak awal pertemuan kita."
San Hong menggenggam tangan gadis itu penuh kemesraan dan dengan hati yang mekar bahagia. "Bwee-moi, aku dapat merasakan dan aku pun mengerti, hanya saja, aku tidak pernah mau percaya akan dugaanku, bahkan sampai sekarang pun aku masih terheran heran dan hampir tidak dapat percaya bahwa; seorang gadis seperti engkau dapat jatuh cinta kepada seorang laki-laki macam aku.
"Bwee-moi, engkau puteri tunggal seorang tokoh besar, seorang datuk persilatan yang terkenal di seluruh dunia, engkau cantik jelita, engkau lihai dan engkau kaya raya. Sedangkan aku? Aku seorang pemuda dusun yang yatim piatu dan miskin, dari keluarga sederhana, petani miskin...."
"Itulah, Koko, sikapmu itulah, kerendahan hatimu itulah yang amat menarik hatiku. Seorang bodoh yang mengakui kebodohannya adalah seorang jujur yang bijaksana. Sebaliknya, seorang pintar yang menyombongkan kepintarannya adalah seorang goblok, seperti kura-kura dalam batoknya. Sikapmu yang jujur, polos, rendah hati, gagah dan adil, di balik mana tersembunyi kepandaian tinggi, itulah yang menarik hatiku dan membuat aku jatuh cinta padamu."
Wajah San Hong menjadi merah. "Sudah, sudah, Bwee-moi. Bisa-bisa kepalaku menjadi mekar dan membengkak, seperti gelembung yang ditiup terus akhirnya meledak kalau engkau selalu memujiku. Sekarang, ke mana kita akan pergi. Terus pulang ke rumah ayahmu? Aku ingin sekali tahu tempat tinggalmu, Bwee-moi."
"Dan membiarkan engkau dihajar oleh ayahku? Tidak! Sebelum aku melihat bahwa engkau akan mampu menahan semua serangan ayah, aku tidak akan mengajakmu pulang."
"Kalau begitu, selamanya pun kita tidak akan dapat minta persetujuan ayahmu untuk menjadi suami isteri. Aku takkan dapat mengalahkan dia!"
"Engkau harus berlatih, Hong-ko. Sekarang engkau telah mendapatkan ilmu dari Tung Kiam. Nah, engkau harus melatih ilmu itu baik-baik karena itu merupakan satu di antara bekalmu untuk menghadapi ayah kelak."
"Mengapa aku harus melawan ayahmu? Setelah kini aku tahu bahwa pembunuh jahat di dusun Po-lim-cun itu bukan ayahmu, aku tidak ingin bermusuhan dengan ayahmu. Apalagi, dia adalah ayahmu! Dan aku tidak berani melawannya."
"Hong-koko, engkau belum mengenal betul watak ayahku. Dia seorang ayah yang baik, juga seorang datuk yang menjunjung tinggi kegagahan, akan tetapi juga amat keras kepala mempertahankan namanya! Dia tidak mau kalah oleh orang lain. Oleh karena itulah, maka ketika dia melihat pembunuhan masal yang dilakukan Hek I Siangmo itu, dia mengakuinya sebagai perbuatannya.
"Hal itu hanya untuk menunjukkan bahwa dia tidak kalah oleh Hek I Siangmo. Mungkin saja dia telah menghajar pula Hek I Siangmo itu. Juga menghadapi engkau atau siapa saja yang menyatakan ingin menjadi mantunya, dia tentu akan mencari mantu yang dianggapnya pantas menjadi mantunya, dan tentu dia akan menentukan pilihannya itu dengan jalan menguji ilmunya."
"Maksudmu, kalau aku menghadapnya dan meminangmu, dia akan mengujiku pula?"
"Bukan hanya engkau, siapa saja! Dan karena di dunia ini sukar mencari orang muda yang akan mampu menandinginya, maka kalau dia menghendaki, tentu semua yang datang melamar akan dikalankan dan selama hidup aku tidak akan dapat memperoleh jodoh."
"Wah, kalau begitu bagaimana baiknya?"
"Akan tetapi, dia seorang ayah yang baik kataku tadi. Dia amat sayang kepadaku, maka tentu dia sekali waktu akan mengalah, membiarkan orang yang dia suka lulus ujian dan dapat menjadi suamiku. Akan tetapi kalau orang itu tidak dia suka, tentu orang itu akan dikalahkan dan dinyatakan gagal ujian dan tidak boleh menikah dengan aku."
"Aduh, kalau begitu tentu akan gagal, bagaimana mungkin aku dapat lulus ujian? Lo-cianpwe Nam Tok pasti takkan mau meluluskan, karena dia membenci aku. Aku telah menuduhnya menjadi pembunuh penduduk dusun Po lim-cun termasuk orang tuaku."
Gadis itu menggeleng kepala. "Aku sendiri tidak dapat menentukan, Hong koko. Sukar sekali menelusuri jalan pikiran ayahku, mungkin dia suka kepadamu dan mungkin pula benci. Kalau dia suka menerimamu sebagai mantunya, hal itu mudah sekali, tentu dia akan mengalah. Akan tetapi kalau dia membenci...."
"Aku tentu akan mampus! Dan memang lebih baik mati daripada gagal menjadi jodohmu, Bwee-moi."
'Ihhh! Omongan macam apa itu? Bukan ucapan seorang laki-laki yang jantan, begitu mudah putus asa! Pendeknya, ayah suka atau benci padamu, engkau harus mampu menandinginya. Ilmu silatmu cukup hebat, dan kalau engkau mau mempelajari ilmu-ilmu dari para datuk lainnya, aku yakin engkau akan dapat menanggulangi ayah dan akan mampu bertahan sampai ayah merasa kewalahan dan tidak ada pilihan lain kecuali menerimamu sebagai calon mantu dan juga sebagai wakilnya menghadapi para murid tiga orang datuk lainnya."
"Menghadapi para murid tiga orang datuk lainnya? Apa maksudmu, Bwee-moi?"
"Mari kita duduk dan dengarkan ceritaku, Hong-ko." kata gadis itu dan mereka lalu duduk di atas rumput, saling berhadapan dan masih saling berpegang tangan. Gadis itu lalu bercerita tentang empat Datuk Besar yang seorang di antaranya adalah ayahnya itu.
Empat orang datuk besar itu sudah dikenal oleh seluruh orang kang-ouw (dunia sungai telaga, dunia persilatan) Sebagai empat orang sakti yang menguasai dunia persilatan di empat penjuru. Di Utara terdapat Pak-ong (Raja Utara) Ji Hiat, di timur ada Tung-hai Kiam-ong Cu Sek Lam atau lebih dikenal sebagai Tung Kiam (Pedang Timur). Di Selatan terdapat Nam-san Tok-ong Ang Lek Ki yang lebih dikenal dengan julukan singkat Nam Tok (Racun Selatan), dan di barat terdapat See-thian Mo-ong Kok Bong Ek yang terkenal dengan sebutan See Mo (Iblis Barat).
Karena masing-masing dikenal sebagai datuk besar, maka terjadilah persaingan di antara mereka dan karena masing-masing memiliki watak yang amat aneh, sesuai dengan kedudukan mereka sebagai datuk besar, maka mereka tidak mau saling mengalah. Mereka lalu membuat perjanjian untuk berkumpul dan bertemu setiap tiga tahun sekali, dan dalam pertemuan inilah mereka lalu mengadu ilmu masing masing untuk menentukan siapa di antara mereka yang paling hebat!
Anehnya, mereka tidak mau saling membunuh, paling banyak hanya mencoba mengalahkan lawan dengan melukai saja. Mereka bukan tidak mau saling bunuh karena sayang atau karena tidak tega sama sekali, bukan! Keempat datuk besar itu tidak segan-segan untuk membunuh siapa saja dengan darah dingin. Akan tetapi, mereka tidak mau saling bunuh karena kalau demikian halnya, maka mereka tidak akan memiliki tandingan lagi.
Kecuali kalau di empat penjuru iu muncul datuk baru yang mengalahkan datuk besar yang lama, maka tentu saja datuk baru yang lebih unggul itu yang menjadi saingan mereka. Karena mereka merasa kurang puas juga kalau tidak unggul mutlak dalam pertempuran, maka akhirnya mereka menentukan bahwa dalam setiap pertemuan dan pertandingan.
Masing-masing akan mengajukan murid sebagai jago dan murid-murid inilah yang diadu sampai kalau perlu mempertaruhkan nyawa! Jadi Empat Datuk Besar itu hanya mengadu ilmu melalui murid-murid mereka. Kalau perlu mereka maju sendiri, akan tetapi tetap menjaga agar jangan sampai saling bunuh.
"Demikianlah, Koko. Mereka itu memang orang-orang aneh, sampai mereka sudah tua, tetap saja pertandingan tiga tahun sekali itu dilaksanakan terus! Sudah berganti-ganti mereka itu saling mengalahkan, juga sudah banyak murid yang tewas dalam setiap pertandingan. Sukar dikatakan siapa yang akhirnya menjadi datuk yang nomor satu! Dan setahun lagi, mereka kembali akan mengadakan pertemuan.
"Dan dalam kesempatan itu, masing-masing akan mengeluarkan jago muda, yaitu murid atau anak sendiri, untuk mewakili mereka memperebutkan kemenangan antar murid! Nah, kalau engkau bisa menjadi wakilnya dan merenggut kemenangan untuk ayah, tentu ayah akan sayang sekali kepadamu dan tidak ragu-ragu lagi menerimamu sebagai mantu."
"Hemm, hanya itu saja syaratnya?"
”Tentu saja tidak begitu mudah, kalau mudah namanya tentu bukan watak ayah. Mungkin engkau masih harus menghadapinya sendiri, dapat bertahan terhadap serangan-serangannya."
San Hong mengerutkan alisnya. "Hemmm, mana mungkin?"
"Mengapa tidak? Engkau masih muda dan ayah sudah tua."
"Jadi aku harus belajar dulu sampai tua sebelum boleh berharap untuk dapat menjadi suamimu?"
Siang Bwee tertawa dan mencubit lengan kekasihnya. "Hi-hi-hik, kalau engkau belajar sampai tua, aku pun menjadi nenek-nenek ompong yang selalu menunggu pinanganmu! Jangan kau khawatir, Koko. Kalau ayah suka kepadamu, dia akan mengalah. Biarpun demikian, mulai sekarang engkau harus belajar dengan baik. Dan aku akan mengusahakan agar engkau dapat menerima pula ilmu-ilmu dari para datuk lainnya."
"Hemmm, menurut ceritamu tadi, datuk-datuk yang lain adalah See-thian Mo-ong dan Pak-ong. Bagaimana aku bisa mendapatkan itu dari mereka?"
"Serahkan saja kepadaku! See Mo dan Pak Ong boleh jadi jahat sekali, paling jahat di antara Empat Datuk Besar. Akan tetapi kalau kita mempergunakan akal, tentu akan berhasil. Tidak selalu kita harus mempergunakan tenaga otot dan kekuatan tubuh, bukan? Kalau tenaga dan kekuatan sudah tidak mampu menolong kita, kita harus mengandalkan kecerdikan akal pikiran."
"Sesukamulah, Bwee-moi. Aku hanya menurut saja. Sekarang, ke mana kita narus pergi?"
"Kita sudah berada di kota raja, mencari Pak Ong lebih mudah dan lebih dekat daripada mencari See Mo. Akan tetapi, aku ingin engkau berlatih ilmu-ilmu dari Tung Kiam itu, lebih dahulu, Koko. Tempat ini sepi, lekaslah engkau berlatih. Mari kutemani, aku akan menyerangmu dengan ilmu tongkat Hwe-liong-jio-cu dan ilmu pukulan Hek-in Pay-san. Mari!" Gadis itu menariknya berdiri dan Siang Bwee sudah mengambil sebatang tongkat.
"Baik, Bwee-moi, kau mulailah dengan seranganmu!" kata San Hong sambil siap dengan pedangnya, yaitu Pek-lui-kiam. Kalau menghadapi tongkat di tangan Siang Bwee, dia harus mempergunakan pedang. Dengan pedang pun, ketika pertama kali mereka berlatih, dia selalu kewalahan. Ilmu tongkat gadis itu memang hebat bukan main.
"Akan tetapi setelah dia menerima petunjuk dari Tung Kiam bagaimana harus menghadapi ilmu tongkat itu, dan dari Siang Bwe dia pun menerima petunjuk tentang rahasia dan kehebatan ilmu tongkat Hwe-liong Jio-cu, maka dia mampu menandinginya dan melindungi dirinya dengan pedang. Bahkan dia mampu mencari lowongan pada ilmu tongkat itu untuk membalas.
"Awas, Koko, sekali ini aku akan menyerang secepatnya!" kata Siang Bwee dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat, tongkatnya sudah meluncur dalam serangan yang amat kuat dan cepat.
Namun San Hong sudah siap siaga dan dia sudah tahu ke mana arah serangan tongkat itu. Gerakan tongkat itu memang aneh dan perubahannya tidak tersangka-sangka, namun San Hong sudah mempelajarinya dari Siang Bwee dan mengenal ciri-ciri khas gerakan tongkat itu, maka dia pun cepat menggerakkan pedangnya dan nampak sinar pedang berkilat ketika dia menangkis.
Siang Bwee benar-benar membuktikan kata-katanya, ia menyerang bertubi-tubi dengan amat cepatnya. Dengan dahsyat, tongkat di tangannya menyerang dengan jurus-jurus pilihan dan ia bahkan berusaha keras untuk memperoleh kemenangan dalam serangannya. Kalau ia tidak yakin bahwa kekasihnya sudah menguasai pertahanan dengan sebaiknya terhadap ilmu tongkatnya ini, tentu dara ini tidak berani menyerang seperti itu.
Ilmu tongkat itu terlalu berbahaya untuk main-main. Namun, ia sudah yakin bahwa San Hong akan mampu bertahan. Hal ini perlu dibuktikan sehingga kelak kekasihnya tidak akan mudah dikalahkan oleh ayahnya kalau ayahnya menyerang dengan ilmu tongkat itu.
Setelah dapat menghalau semua jurus serangan Siang Bwee dengan baik sekali, mulailah San Hong membalas dengan jurus ilmu pedang yang pernah dia pelajari dari Tung Kiam. Walaupun ilmu yang diterimanya dari Tung Kiam hanya selama satu minggu, namun jurus-jurus itu merupakan jurus pilihan yang khusus diciptakan datuk besar itu untuk melawan ilmu tongkat Hwe-liong Jio-cu!
Dan Siang Bwee segera merasakan tekanan yang hebat. Terpaksa ia mengerahkan seluruh tenaga dan kecepatan tubuhnya untuk melindungi dirinya dan diam diam ia terkejut. Ilmu yang diajarkan oleh Tung Kiam itu memang dapat menjadi bahaya bagi ayahnya! Hanya dengan pemusatan ilmu tongkat itu menjadi pertahanan sajalah ia mampu menahan semua desakan. Sampai habis jurus-jurus dari Tung Kiam dipergunakan San Hong, ia dapat bertahan dengan selamat walaupun amat terdesak.
"Cukup, Koko. Sekarang, mari kau hadapi Hek-in Pay-san!" kata gadis itu sambil melempar tongkatnya ke samping. San Hong juga melepaskan pedangnya dan begitu gadis itu menerjangnya dengan pukulan tangan kosong, dia pun mengelak dan segera memainkan ilmu yang dipelajarinya dari Tung Kiam, yang khusus diciptakan untuk menghadapi ilmu pukulan dari Nam Tok itu.
Hek-in Pay-san merupakan ilmu pukulan yang mengandung tenaga sinkang yang amat hebat, bahkan mengandung hawa beracun sehingga amat berbahaya. Ang Leng Ki dikenal dengan sebutan Nam-san Tok-ong (Raja Racun Gunung Selatan) atau disingkat Nam Tok (Racun Selatan), akan tetapi dia tidak pernah mempergunakan racun secara kasar seperti para tokoh lain yang menggunakan julukan Racun.
Bahkan senjatanya berupa tongkat itu tidak diberi racun, bahkan gagangnya terbuat dari emas yang bersih dan terukir indah. Bagi seorang yang setinggi Nam Tok kedudukannya, penggunaan racun secara kasar itu sungguh merendahkan martabatnya! Akan tetapi, tidak percuma dia memiliki julukan Raja Racun, karena memang dia ahli mempergunakan.
Keahliannya ini sudah sedemikian mendalam sehingga dia mampu mempergunakan hawa beracun dalam pukulannya, seolah-olah racun sudah mengalir di tubuhnya dan setiap saat dapat dia pergunakan tanpa mempergunakan racun dari luar. Demikian pula dengan pukulan Hek-in Pay-san.
Pukulan ini sendiri sudah mengandung hawa beracun yang amat berbahaya! Besar kecilnya bahaya dalam pukulan itu tergantung dari besar kecilnya tenaga yang dipergunakan ketika memukul. Biarpun belum sehebat ayahnya, namun Siang Bwee juga sudah mempelajari ilmu ini dari ayahnya, maka serangan-serangannya juga amat kuat dan berbahaya. Namun, San Hong yang sudah mengenal pula ilmu pukulan itu, dapat menghindarkan diri dengan baik.
Sebetulnya, dengan semua ilmu yang dia pelajari dari Thay-san Ngo-sian, dia pun akan mampu menghadapi ilmu pukulan dari Nam Tok itu. Lima orang gurunya adalah orang-orang yang berilmu tinggi pula, dan penggabungan dari ilmu mereka membuat San Hong telah menjadi seorang pemuda gemblengan yang lihai. Namun, ilmu pukulan Hek-in Pay-san amat rumit dan aneh sehingga kalau dia belum mengenal ilmu itu atas petunjuk Siang Bwee.
Akan berbahaya pula karena sekali terkena pukulan yang mengandung hawa beracun itu, akan celakalah dia. Kini, setelah dia peroleh petunjuk Siang Bwee sehingga mengenal benar ciri-ciri gerakan ilmu pukulan itu, dia dapat menghindarkan diri lebih mudah lagi, bahkan kini dia mulai membalas dengan serangan pukulan yang dia pelajari dari Tung Kiam. Dan Siang Bwee mulai terdesak!
"Cukup, Hong-ko.....!" Siang Bwee berseru sambil melompat mundur dan San Hong menahan pukulannya. Gadis itu memandang dengan wajah berseri, "Ah, tadinya kusangka bahwa engkau tidak sungguh-sungguh berlatih diri selama ini, Hong-ko. Kiranya engkau telah memperoleh kemajuan pesat sekali!"
"Semua ini berkat kebaikanmu, Bwee-moi. Bagaimana, apakah dengan bekal ilmu ini aku akan dapat bertahan menghadapi ayahmu?"
"Aih, masih jauh sekali, Koko! Engkau masih harus belajar banyak, dan mari kita lanjutkan perjalanan. Kita cari Pak-ong! Akan tetapi sebelum kita dapat bertemu dengan dia, engkau harus berhati-hati karena ada suatu hal yang membuatku khawatir bukan main."
"Apakah itu? Apakah karena datuk utara itu jahat sekali dan amat berbahaya?"
"Kalau menghadapi dia, serahkan saja kepadaku. Akan tetapi yang kukhawatirkan adalah anaknya!"
"Wah, apakah anaknya itu amat jahat?"
"Aku tidak tahu benar apakah ia jahat atau tidak, bagaimanapun juga, anak Pak Ong mana tidak jahat? Akan tetapi, ia amat berbahaya."
"Kau maksudkan ia amat lihai?"
"Tentang kelihaiannya, tidak banyak selisihnya dengan kepandaianku walaupun tiga tahun yang lalu aku pernah kewalahan melawannya. Akan tetapi yang kukhawatirkan adalah bahaya karena ia amat cantik! Aku khawatir engkau akan terpikat oleh kecantikannya, Koko."
"Hushhh, kaukira aku ini laki-laki mata keranjang? Bwee-moi, di dunia ini bagiku hanya ada engkau satu-satunya wanita yang kucinta, dan bagiku tidak mungkin ada wanita yang lebih cantik darimu."
Siang Bwee kelihatan senang mendengar ini. "Koko, aku hanya berkelakar. Tentu saja aku percaya kepadamu dan aku sudah mengenal watakmu, kalau tidak, mana mungkin aku dapat jatuh cinta padamu? Akan tetapi, aku bicara sebenarnya kalau kukatakan bahwa Ji Kui Lan itu amat berbahaya. Selain cantik, juga ia lihai, telah mewarisi ilmu-ilmu ayahnya, dan hatinya kejam. Karena itu, engkau harus berhati-nati berhadapan dengannya."
"Aku akan berhati-hati, Bwee-moi, jangan khawatir."
Mereka lalu pergi sambil bergandeng tangan, menuju ke arah utara untuk mencari Pak Ong! Tentu saja San Hong hanya dapat percaya secara membuta kepada kekasihnya walaupun diam-diam dia merasa ngeri untuk bertemu dengan datuk besar utara itu yang menurut kekasihnya memiliki kepandaian setingkat Nam Tok akan tetapi jauh lebih kejam lagi!
Siangkoan Kun Hok berusia lima puluh lima tahun, namun karena tubuhnya yang tegap dan kokoh kuat, wajahnya yang peramah, dia nampak jauh lebih muda dari usia yang sebenarnya. Siangkoan Kun Hok adalah seorang bekas perwira kerajaan, banyak membuat jasa ketika dia bertugas dalam pasukan karena dia seorang pemberani dan berilmu tinggi.
Namun, melihat betapa atasannya banyak melakukan korupsi yang sama sekali berlawanan dengan jiwa kepahlawanannya, dia mengundurkan diri dan pulang ke tempat asalnya, yaitu di kota Yu-sian, bersama keluarganya. Di kota ini dia lalu membuka sebuah perguruan silat yang diberi nama Siangkoan Bu-koan, mengajarkan ilmu silat keluarganya kepada murid-murid dengan imbalan uang untuk menyambung biaya kehidupan keluarganya.
Namun dia selalu memilih murid, bukan asal dapat membayar saja, karena selain dia hanya mau menurunkan ilmu kepada murid yang berbakat, juga dia tidak ingin ilmunya diterima oleh orang yang berwatak jahat. Biarpun ilmu silat yang dikuasai Siangkoan Kun Hok merupakan ilmu silat keluarga Siangkoan, namun dasarnya adalah Ilmu silat dari Siauw-lim-pai yang bercampur dengan ilmu silat Kun-lun-pai.
Memang kakek Siangkoan Kun Hok adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai, sedangkan nenek buyutnya adalah murid wanita yang pandai dari Kun-lun-pai. Suami isteri inilah yang dalam hal ilmu silat, saling belajar, saling meminta dan memberi, dan keduanya inilah yang telah dapat menggabungkan kedua aliran dan menciptakan ilmu silat yang mereka namakan ilmu silat keluarga Siangkoan!
Kokoh kuat merupakan dasar dari Siauw lim-pai, dan gagah dan indah ilmu silat itu seperti ilmu silat dari Kun-lun-pai, Kemudian, ilmu ini pun turun temurun dan akhirnya dikuasai oleh Siangkoan Kun Hok. Siangkoan Kun Hok hidup bersama seorang isterinya dan seorang puterinya, yaitu seorang anak perempuan bernama Siangkoan Leng.
Siangkoan Kun Hok mengajarkan ilmunya kepada isterinya yang kini juga menjadi seorang ahli yang lihai, dan kepada puterinya yang berusia sembilan belas tahun itu. Seperti juga suaminya, isteri Siangkoan Kun Hok yang berusia empat puluh tahun itu nampak segar dan jauh lebih muda dari usianya, karena tubuhnya yang sehat dan hatinya penuh dengan kebajikan.
Siangkoan Leng sendiri sejak kecil digembleng oleh ayah ibunya, dan kini ia menjadi seorang gadis berusia sembilan belas tahun yang amat menarik. Wataknya pendiam dan halus, manis budi. Tubuhnya ramping dan mungil, wajahnya manis sekali. Rambutnya yang panjang itu agak ikal, dan di dagu kirinya terdapat sebuah tahi lalat yang membuatnya menjadi semakin manis. Kulitnya putih halus kemerahan.
Keluarga ini tinggal di tepi jalan raya di kota Yu-sian dan nama mereka terkenal sebagai keluarga yang sopan, baik, dermawan, dan juga disegani. Rumah itu sederhana saja, akan tetapi di bagian belakangnya terdapat lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) yang luas, dindingnya terbuka dikelilingi taman yang segar. Di Kinilah para murid berlatih silat.
Pada suatu pagi yang cerah, dari dalam lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) di rumah keluarga Siangkoan itu sudah terdengar bentakan-bentakan berirama dari belasan orang anak murid yang sedang berlatih silat.
"Haiiittt-hah, naiiittt-hah, haiiittt... ciaaaaattt!'” Berulang-ulang teriakan berirama ini terdengar sampai keluar rumah. Bagi penduduk kota Yu-sian, teriakan-teriakan di pagi hari itu tidak asing lagi. Mereka tahu bahwa di dalam rumah itu serombongan murid sedang berlatih silat.
Dari teriakan-teriakan itupun dapat di ketahui bahwa yang sedang berlatih silat adalah murid murid yang masih remaja. Dan memang benar demikian. Mereka iti adalah anak-anak berusia antara sepuluh sampai tiga belas tahun, para pelajar tingkat permulaan.
Untuk melatih anak anak yang baru mulai belajar ini, Siang koan Kun Hok menyerahkannya kepada murid-muridnya yang sudah pandai. Murid-murid pertengahan dilatih di bawah bimbingan Siangkoan Leng, puterinya, dan hanya murid-murid tingkat teratas saja dia latih sendiri, dibantu oleh isterinya. Seperti biasa, pagi-pagi sekali murid-murid tingkat terendah ini sudah berlatih, dipimpin oleh seorang murid tingkat tertinggi yang bernama Tang Hu.
Pemuda berusia dua puluh lima tahun ini bertubuh tinggi kurus dan dia merupakan seorang di antara lima orang murid utama yang tingkatnya hanya berada di bawah tingkat Siangkoan Leng, bahkan Tang Hu ini paling pandai di antara para murid utama. Dia pendiam dan rajin, sikapnya serius dan agak keras ataupun dia juga gagah dan selalu membela kebenaran dan keadilan.
Pada waktu itu, Siangkoan Kun Hok, isterinya dan puterinya sedang berada di ruangan belakang, menikmati hidangan makan pagi sebelum mereka memulai dengan pekerjaan hari itu. Baru saja mereka selesai makan pagi, tiba-tiba keorang murid kecil memasuki ruangan itu dan memberi hormat kepada Siangkoan Kun Hok.
"Suhu, di lian-bu-thia muncul seorang tamu tak diundang yang sekarang sedang cekcok dengan Tang-suheng."
Mendengar laporan ini, Siangkoan Kun Hok mengerutkan alisnya. Dengan sikap tenang dia pun bangkit dan berjalan menuju ke lian-bu-thia, diikuti isterinya dan puterinya yang juga merasa tertarik mendengar laporan murid kecil itu. Ketika mereka tiba di pintu lian-bu-thia, mereka mendengar Tang Hu itu sedang berbantahan dengan seorang pemuda lain dan Siangkoan Kun Hok memberi isyarat kepada isteri dan puterinya untuk berhenti di luar pintu dan mendengarkan perbantahan itu.
"Tidak perlu banyak cakap lagi, aku sedang sibuk!" terdengar Tang Hu berkata dengan nada kesal. "Pendeknya, di sini tidak ada aturan seorang yang ingin belajar silat diperbolehkan menguji dulu kepandaian para pengajarnya. Tinggal engkau pilih saja. Kalau memang ingini belajar, narus mendaftarkan, memperkenalkan diri kepada suhu dan mentaati semua peraturan di bu-koan (perguruan silat) ini. Atau kalau engkau tidak suka dan merasa sudah pandai, tidak perlu lagi belajar kepada kami!"
Tamu yang masih muda itu berkata dengan suara yang halus namun tegas dan mengandung ejekan, "Sobat yang baik, membeli barang bagaimana bisa tahu akan mutunya kalau tidak diuji lebih dulu? Betapa banyaknya di dunia ini terdapat perguruan-perguruan silat, akan tetapi ternyata hanya dibuka oleh orang-orang yang mengaku pandai akan tetapi sebetulnya tidak ada artinya dan mereka membuka perguruan silat hanya untuk mengelabui orang dan mencari uang mudah saja. Nah, aku tidak mau kecelik seperti itu.
"Maka, kalau aku tidak diperbolehkan menguji guru dari bu koan ini, yaitu Siangkoan Lo-enghiong (orang tua gagah Siangkoan) sendiri, biarlah aku menguji saja kepandaian muridnya yang terpandai. Kalau memang ilmu silat yang diajarkan di sini hebat seperti yang disohorkan orang, aku mau belajar dan mau membayar berapa saja! Akan tetapi kalau ternyata hanya nama kosong, aku pun tidak akan mengganggu lebih lama lagi."
"Hemmm, engkau datang ke sini untuk belajar silat ataukah untuk menantang pi-bu (mengadu ilmu silat)? Sudahlah, kalau hendak menantang suhu, tidak ada gunanya. Selain engkau pasti kalah, Juga suhu tidak akan sudi melayani tantangan seorang pemuda sombong. Pergilah, sobat, aku sedang sibuk bekerja melatih adik-adik kecil ini!" kata Tang Hu, suaranya juga sudah keras karena dia kehabisan kesabaran lagi.
Pada saat itulah Siangkoan Kun Hok melangkah masuk ke dalam lian-bu-thia. Tadi dia memandang kepada pemuda itu dan mendengarkan ucapannya. Seorang pemuda yang usianya sedikit lebih tua daripada Tang Hu, berpakaian mewah dan pesolek seperti putera seorang bangsawan atau seorang hartawan besar.
Wajahnya tampan dan sikapnya halus, tubuhnya sedang dengan kulit yang putih. Dia mengenakan pakaian mewah dan sebuah topi bulu yang indah, dengan sabuk emas. Jelas bahwa pemuda ini bukan pemuda kota Yu-sian, dan bukan pemuda biasa. Kata-katanya juga lancar dan halus, bahkan memiliki dasar yang kuat.
"Tang Hu, apakah yang terjadi? Siapakah, orang muda ini?" kata Siangkoa Kun Hok yang masuk ke lian-bu thia diikuti isterinya dan puterinya.
Kok Tay Ki, atau Kok Kongcu, pemuda itu, cepat memandang. Sinar matanya yang tajam mencorong itu sebentar menyapu wajah Siangkoan Kun Hok, lalu isteri guru silat itu, dan paling akhir menatap wajah Siangkoan Leng. Sinar mata kagum muncul dalam pandang matanya, akan tetapi hanya sebentar karena kembali sudah memandang kepada Siangkoan Kun Hok. Sementara itu, melihat gurunya muncul, hati Tang Hu menjadi besar dan dia pun cepat melapor.
"Suhu, orang sombong ini menantang pibu kepada teecu untuk membuktikan apakah ilmu silat Siangkoan Bu-koan cukup berharga untuk dia pelajari. Tentu saja teecu menolak dan....."
"Mengapa menolak, Tang Hu? Permintaan orang muda ini cukup pantas. Nah, layanilah dia selama beberapa jurus dan perlihatkan semua jurus pilihan yang pernah kaupelajari di sini."
Ucapan Siangkoan Kun Hok itu membuktikan betapa tajamnya pandang mata guru silat yang bekas perwira ini. Sekali lihat saja dia sudah dapat menduga bahwa pemuda tampan yang datang ini bukan orang sembarangan, bukan pemuda biasa yang ingin belajar silat, melainkan mungkin seorang pemuda yang sudah pandai dan yang hendak menguji kepandaiannya sendiri.
Dia pun tertarik dan ingin melihat bagaimana perkembangan selanjutnya, ingin dia mengenal pemuda ini lebih lanjut. Perlu diketahui bahwa sudah sejak satu tahun ini Siangkoan Kun Hok dan isterinya merasa gelisah dan prihatin. Puteri mereka, Siangkoan Leng, sejak usia tujuh belas tahun, sudah menimbulkan keinginan dalam hati mereka untuk melihat puteri dan anak tunggal mereka itu berumah tangga, menikah dan mempunyai keturunan.
Akan tetapi, Siang-koan Leng yang sudah dilamar banyak pemuda itu selalu menolak, mengatakan bahwa ia belum melihat seorang pemuda yang menarik hatinya, dan belum berniat untuk berumah tangga. Siangkoan Kun Hok dan isterinya mengenal watak anak mereka yang pendiam itu. Tentu Siangkoan Leng mendambakan seorang pemuda yang gagah perkasa dan yang mampu mengalahkan ilmu silatnya sendiri, dan tentu saja yang tampan dan terpelajar!
Ingat akan hal ini, begitu melihat pemuda yang pada pagi hari itu muncul, entah bagaimana sudah tiba di lian-bu-thia, Siangkoan Kun Hok lalu membuat penilaian. Seorang pemuda yang tampan sekali, juga dari ucapannya itu mudah diduga bahwa dia seorang yang cerdik dan agaknya terpelajar, melihat pakaiannya tentu dia berharta.
Hanya tinggal melihat bagaimana ilmu kepandaiannya. Siapa tahu, pemuda ini lihai dan mampu menandingi Siangkoan Leng, dan terutama sekali, siapa tahu pemuda ini kemudian suka menjadi jodoh puterinya! Inilah sebab rahasia yang tersembunyi dalam hati Siangkoan Kun Hok dan yang mendorong dia bersikap sabar, bahkan melayani pemuda itu yang ingin menguji kepandaian Tang Hu!
Tang Hu nampak terheran-heran mendengar perintah suhunya yang menyuruh dia melayani pemuda sombong itu beberapa jurus dengan mempergunakan jurus-jurus pilihan! Akan tetapi, dia pun melihat terbukanya kesempatan untuk memberi sekedar hajaran kepada pemuda ini yang ingin belajar silat saja mesti pakai menguji segala!
Apalagi Siangkoan Leng, yang disebutnya sumoi (adik seperguruan) walaupun sumoinya itu lebih lihai dari dia karena dia lebih tua, hadir di situ menyaksikan. Sudah sejak lama diam-diam dia jatuh cinta kepada sumoi-nya ini. Tang Hu lalu menyuruh semua adik-adik seperguruan untuk keluar dari lian-bu-thia. Mereka adalah murid-murid baru, tidak semestinya kalau menyaksikan apa yang akan terjadi.
Hal ini dibenarkan olen Siangkoan Kun Hok yang menyuruh mereka semua itu pulang dan mengatakan bahwa sore nanti saja diadakan latihan lagi. Murid-murid itu pun berhamburan keluar dari lian-bu-thia. Isteri Siangkoan Kun Hok menutupkan daun pintu lian-bu-thia itu. Hanya jendela-jendelanya saja yang terbuka, jendela yang menembus ke kebun dan taman di belakang dan sebelah kiri.
Diam-diam Kok Kongcu girang bukan main. Tak disangkanya akan demikian mudahnya baginya untuk mencoba ilmu keluarga Siangkoan yang terkenal itu. Dari Yu-sian Siang-houw dan para tokoh sesat yang semalam menjamunya, dia mendapat keterangan bahwa Siangkoan Kun Hok, isterinya dan puterinya memang amat lihai.
Bukan hanya lihai ilmu silatnya saja yang membuat keluarga Ini disegani dan ditakuti, akan tetapi juga terutama sekali karena sebagai seorang bekas perwira di kota raja, Siangkoan Kun Hok mempunyai hubungan yang luas dan erat dengan para pejabat tinggi sehingga dia mempunyai pengaruh besar dan amat dihormati. Kini, setelah melihat Siangkoan Leng, dia menjadi semakin kagum dan girang.
Gadis itu sungguh manis dan mungil. Akan tetapi bukan wataknya untuk mengagumi wanita secara berterang, maka dia pun bersikap acuh saja, seolah-olah dia sama sekali tidak tertarik. Dia pun maklum bahwa kalau ternyata ilmu silat keluarga ini memang hebat, dia harus mempelajarinya dan untuk keperluan itu.
Sungguh tidak baik kalau begitu bertemu dia menanam permusuhan atau menimbulkan kebencian kepada mereka. Maka, biarpun kini Tang Hu sudah berdiri di depannya, dia pura-pura belum siap dan dia menjura dengan sikap hormat ke arah Siangkoan Kun Hok, dan berkata dengan lembut.
"Harap Lo-cian-pwe suka memaafkan saya, akan tetapi benarkah dugaan saya bahwa Lo-cianpwe yang bernama Siangkoan Kun Hok?"
Guru silat itu tersenyum dan mengangguk, mengelus jenggotnya yang dipelihara pendek. "Benar, orang muda, aku adalah Siangkoan Kun Hok."
Sekali lagi Kok Kongcu memberi hormat. "Ah, kalau begitu harap maafkan saya sekali lagi. Sudah banyak saya mendengar akan nama besar Lo-cian-pwe dan nama besar keluarga Siangkoan dengan ilmu silatnya yang hebat. Saya ingin sekali ikut mempelajari ilmu silat di Siangkoan Bu-koan, akan tetapi agar dapat yakin, saya ingin mencobanya dan membuktikannya sendiri."
"Baiklah, kami sudah mengerti. Murid kami Tang Hu sudah siap untuk melayanimu, orang muda." Kata Siangkoan Kun Hok dengan sikap ramah.
"Maaf, Lo-cian-pwe," Pemuda tampan itu membantah dengan sikap tetap sopan. "Rasanya tidak akan puas hati saya kalau tidak mencoba kehebatan ilmu silat keluarga Siangkoan ini dari Lo-cian-pwe sendiri, agar saya dapat mengenal benar kehebatannya, bukan hanya dari seorang murid."
Ucapan ini membuat Tang Hu menjadi merah mukanya karena marah. Dia merasa dipandang rendah. Kalau tidak ada gurunya di situ, tentu dia sudah marah dan menerjang pemuda itu. "Jangan khawatir, orang muda. Tang Hu adalah seorang di antara murid utama kami, dia sudah menguasai semua dasar ilmu silat keluarga Siangkoan. Dari dia pun engkau sudah akan melihat bagaimana mutu dari ilmu silat kami." kata Siangkoan Kun Hok yang tidak bicara bohong karena memang Tang Hu merupakan seorang murid kepala dan dalam hal ilmu silat, agaknya hanya sedikit di bawah tingkat Siangkoan Leng saja.
"Sobat, engkau ini datang hendak memperlihatkan ilmumu ataukah hendak menjual omongan? Engkau belum pantas untuk menguji kepandaian Suhu. Aku pun sudah cukup! Nah, bersiaplah!" tantang Tang Hu kepada pemuda tampan itu.
Kok Kongcu adalah seorang pemuda yang amat tinggi hati, walaupun keangkuhan ini hanya berada di dalam hatinya karena di luarnya dia mampu bersikat ramah dan halus. Ketinggian hatinya bukanlah kosong belaka karena memang jarang di dunia persilatan mendapatkan seorang pemuda yang mampu menandinginya. Tingkat ilmu silatnya sudah sedemikian tingginya sehingga dia merasa dirinya sudah tidak ada lagi tandingannya! Kini, mendengar ucapan Tang Hu, dia tersenyum.
"Bukan begitu, kawan. Aku hanya merasa sangsi apakah gerakanmu akan tepat sehingga tidak menonjolkan kehebatan ilmu silat keluarga Siangkoan yang amat terkenal itu."
"Manusia sombong! Katakan saja kalau engkau tidak berani! Kalau berani, bersiaplah!" Tang Hun sudah menjadi marah sekali.
"Kenapa tidak berani? Aku hanya ingin melihat sampai di mana kehebatan ilmu silat keluarga Siangkoan, bukan untuk berkelahi. Nah, aku sudah siap sejak tadi, mulailah!"
Tang Hu ragu-ragu karena melihat betapa pemuda itu sama sekali tidak memasang kuda-kuda, melainkan berdiri biasa saja, bukan sikap seorang ahli silat. Jangan-jangan pemuda ini sama sekali tidak pandai silat, pikirnya. Kalau begitu, tentu otaknya agak miring, hendak menguji ilmu silat perguruan Siangkoan! Dia orang yang sejak kecil digembleng oleh gurunya menjadi seorang pendekar, tentu saja tidak mau menyerang orang yang sama sekali tidak mengerti ilmu silat.
"Akan tetapi, pendapat Siangkoan Kun Hok lain lagi. Melihat betapa pemuda tampan itu menghadapi Tang Hu tanpa memasang kuda-kuda, hal ini bahkan menimbulkan dugaan keras bahwa pemuda itu sudah memiliki tingkat tinggi sehingga memandang rendah lawan. Biarpun tidak memasang kuda-kuda, namun dia melihat betapa kedua kaki pemuda tampan itu agak berjingkat.
"Tang Hu, mulailah menyerang dan jangan ragu-ragu!" Dia berseru kepada muridnya.
Mendengar ucapan suhunya, barulah Tang Hu berbergerak. Namun, dia tidak bergerak terlalu cepat atau terlalui kuat. Dia khawatir kalau sampai dia merobohkan lawan dengan luka yang berat, tentu suhunya akan marah kepadanya.
"Lihat seranganku!" bentaknya mendahului serangannya, yaitu pukulan tangan kiri sebagai tonjokan ke arah dada, disusul sambaran tangan kanan dari samping yang menampar ke arah pinggir kepala.
"Wuuut... wuuuuuttt...!" Dua serangan itu mengenai angin kosong saja karena dengan amat mudahnya, Kok Kongcu mengelak dengan geseran kaki, nampaknya bukan seperti gerak silat, namun nyatanya, serangan itu luput.
Tang Hu melanjutkan serangannya, kini tubuhnya agak merendah, kedua tangan menyodok ke arah perut. Ketika lawan mundur mengelak, kakinya menyambar dengan tendangan yang cukup dahsyat. Namun, sekali lagi serangan ini pun hanya mengenai udara hampa saja. Tahu-tahu Kok Kongcu sudah menghindar dengan gerakan biasa, tidak seperti gerakan silat.
Siangkoan Kun Hok mengerutkan alisnya. Pemuda itu seorang yang sombong, atau seorang yang memang ahli dan berilmu tinggi! "Tang Hun, lakukan serangan yang benar dan perlihatkan kekuatan ilmu silat kita, jangan membikin malu kami!" teriaknya.
Tang Hun memang menunggu perintah ini. Kini, dia membuang semua kekhawatiran dan dia mengerahkan tenaganya sehingga gerakannya mendatangkan angin, tanda bahwa kaki tangannya terisi tenaga sin-kang yang cukup kuat. Kemudian, mulailah dia menyerang dengan dahsyat, bukan saja menggunakan jurus pilihan, melainkan juga mengerahkan seluruh tenaganya!
Namun, tetap saja Kok Kongcu bersikap sembarangan dan biarpun dia tidak melakukan gerak silat, namun semua serangan itu dapat dielakkannya dengan amat mudah! Padahal, Tang Hu menyerang bertubi-tubi dan sebentar saja, belasan jurus lewat dengan cepatnya tanpa sebuah pun pukulan atau tendangan menyentuh ujung baju Kok Kongcu!
Sian koan Kun Hok terbelalak kagum! Dia tadi melihat betapa serangan muridnya itu, cukup baik dan cukup kuat. Akan tetapi, bagaimana mungkin semua serangan itu gagal hanya disambut elakan elakan biasa yang digerakkan bukan dengan ilmu silat? Seolah-olah pemuda itu hanya main-main saja, menggeser kaki ke sana-sini, memutar tubuh dan terhuyung dan akibatnya, semua serangan muridnya gagal. Demikian hebatkah ilmu silat pemuda tampan itu?
Kok Kongcu hanya mengelak terus tanpa membalas memang disengaja. Dia datang untuk mempelajari ilmu silat keluarga Siangkoan, maka dia hanya mengelak sambil memperhatikan dan menilai jurus-jurus yang dimainkan Tan Hu. Dan dia mengenal dasar-dasar ilm silat Sieuw-lim-pai dan Kun-lun-pai! Maka, dia pun dapat menebak bahwa ilmu silat keluarga Siangkoan ini adalah ilmu silat campuran antara Siauw-lim-pai da Kun-lun-pai.
Tang Hu sendiri tadinya merasa penasaran, kemudian terkejut karena betapapun dia mengerahkan tenaga dan kecepatan, namun pukulannya selalu luput! seolah-olah tubuh lawan itu demikian ringannya sehingga sebelum serangannya tiba, tubuh itu sudah terdorong menghindar oleh angin pukulan itu sendiri. Mulailah dia ragu-ragu apakah lawannya itu hanya kebetulan saja, ataukah ilmu silatnya sendiri yang tidak beres, ataukah memang lawan itu berilmu tinggi! Dia merasa penasaran sekali dan membentak.
"Sobat, kalau engkau memang berkepandaian, balaslah seranganku dan jangan lari-lari menghindar saja!"
Kembali sebuah serangan Tang Hu datang menyambar. Namun, kembali Kok Kongcu menghindar dengan tarikan bagian atas tubuhnya ke belakang lalu kakinya bergeser ke kiri. "Aku hanya ingin menguji ilmu, bukan untuk menjatuhkanmu, sobat!" jawab Kok kongcu.
Tang Hu merasa dipermainkan. "Kalau begitu engkau pengecut! Kalau engkau tidak mau membalas, engkau seorang pengecat besar!"
Baru saja Tang Hu mengeluarkan teriakan ini, tiba-tiba tubuhnya terpelanting dan dia terbanting keras. Dia bahkan tidak melihat jelas bagaimana hal itu dapat terjadi. Akan tetapi Siangkoan Kun Hok dan anak isterinya melihat betapa pemuda tampan itu menggunakan kedua lengan untuk mendorong dari samping dengan gerakan yang tiba-tiba dan kuat bukan main sehingga tubuh Tang Hu terpelanting.
Melihat ini, keluarga itu terkejut dan diam-diam Siangkoan Leng menjadi marah. Ia menganggap pemuda tampan itu keterlaluan, sombong dan memandang rendah suhengnya. Memandang rendah Tan Hu sama saja dengan memandang rendah ilmu silat keluarga Siangkoan dan tiba tiba sebelum ayah dan ibunya mencegah, ia sudah meloncat ke tengah ruangan itu sambil berseru nyaring, "Tang-suheng, kau mundurlah!"
Melihat sumoinya maju, dan karena dia tahu bahwa sumoinya memang lebih lihai darinya, Tang Hu segera mundur. Kini dara itu berdiri berhadapan dengan Kok Kongcu dan wajahnya menjadi merah kali karena marah. Matanya yang indah dan jeli itu mengeluarkan sinar berkilat ketika ia berkata,
"Tang-suheng agaknya kurang latihan maka kalah olehmu. Sekarang biar aku mewakili keluarga Siangkoan untuk mengadu ilmu. Awas, lihat seranganku!"
Tanpa memberi kesempatan lagi kepada lawan untuk menjawab ia lalu menyerang dengan dahsyat sekali. Ia menggunakan kedua kakinya menendang susul menyusul dengan gencar dan setiap tendangan selain cepat datangnya, juga mengandung tenaga yang kuat, bertubi-ubi datangnya. Kedua kakinya itu seolah-olah menjadi kitiran angin yang menyambar-nyambar bergantian.
Melihat puterinya maju dengan marah itu, nyonya Siangkoan hendak menegur dan mencegah, akan tetapi lengannya disentuh suaminya dan ketika ia menengok, suaminya memberi isyarat dan mengangguk. Siangkoan Kun Hok kini tertarik sekali, dan kagum kepada pemuda itu yang biarpun tidak memperlihatkan gerak silat, namun ternyata amat lihainya sehingga mampu mempermainkan Tang Hu seperti itu!
Mulai dia, menduga bahwa tentu pemuda ini seorang pendekar yang berkepandaian tinggi dan yang datang ke Siangkoan Gu koan bukan untuk mencari permusuhan atau membuat keributan, melainkan karena tertarik akan nama keluarga Siangkoan dan ingin menguji! Dan kalau benar dugaannya dan sampai puterinya tidak mampu mengalahkan pemuda itu, alangkah baiknya kalau pemuda itu dapat menjadi jodoh puterinya! Agaknya isterinya dapat menduga akan isi hatinya maka wanita itu pun kini memandang arah pertandingan itu dengan penuh perhatian.
"Ilmu tendang yang hebat.....!" Kok Kongcu berseru, bukan memuji kosong belaka, melainkan dia kagum akan ilmu tendangan yang dilakukan gadis itu untuk menyerangnya. Kalau disertai tenaganya maka ilmu tendangan itu akan menjai hebat sekali! Ingin dia dapat mempelajari ilmu tendangan ini, maka ketika gadis itu menyerangnya dengan tendangan bertubi-tubi, dia pun selalu mengelak sambil memperhatikan gerakan itu.
Tendangan itu memang indah dan hebat, cepat sekali dan karena dimainkan oleh seorang gadis yang manis, yang bentuk tubuhnya indah, maka selain memperhatikan gerakan itu, juga Kok Kongcu menikmati penglihatan yang mendebarkan hatinya. Gadis ini manis, dan ilmu tendangannya hebat, pikirnya.
Akan tetapi, pujian itu bagi Siangkoan leng seperti ejekan, maka ia merasa semakin penasaran dan juga marah, la tadi tidak melihat pemuda itu bersilat, gerakannya seperti gerakan biasa yang kebetulan saja dapat mengelakkan semua serangan Tang Hu. Bahkan kini pun, ketika ia menggunakan ilmu tendangan Ngo-heng-twi yang merupakan satu di antara ilmu andalan dari keluarga Siang-Koan, pemuda itu pun mengelak dengan gerakan biasa saja.
Namun anehnya, semua tendangan Ngo-heng-twi merupakan satu di antara ilmu yang amat diandalkan oleh keluarganya dan juga tidak mudah mempelajarinya. Bahkan para murid tingkat pertama seperti Tang Hu sekalipun, belum dapat menguasainya secara sempurna, tidak sebaik yang telah ia kuasai. Dan pemuda ini menghadap tendangan-tendangannya dengan tenang saja, bahkan masih sempat tersenyum senyum.
Sementara itu, Siangkoan Kun Hok kini merasa yakin bahwa pemuda tampan itu memang hebat! Kini dia pun mengerti mengapa pemuda itu tidak pernah membalas, hanya mengelak saja dan tidak menangkis. Tentu pemuda yang aneh itu benar-benar mengagumi ilmu tendangan Ngo-heng-twi dan ingin mempelajarinya maka dia hanya mengelak dan tidak menangkis karena kalau ditangkis, gerakan ilmu tendangan itu tentu akan menjadi kacau.
"Haiiiiittt.....!!"
Siangkoan Kun Hok terkejut bukai main melihat puterinya kini mempergunakan tendangan yang paling hebat di antara jurus-jurus tendangan Ngo-heng-twi yaitu tendangan dengan kedua kaki yang menggunting dari kanan kiri, dilakukan sambil melompat ke udara. Tendangan terbang ini berbahaya bukan main, sukar untuk dielakkan karena kedua kaki membuat gerakan dari kanan kiri seperti gunting!
"Bagus sekali!" Kok Kongcu memuji dengan kagum dan dia pun tahu bahwa untuk menghadapi serangan tendangan seperti itu, terpaksa dia harus menangkis. Dia tidak menangkis, melainkan kedua tangannya menyambar dan kedua kaki itu telah dapat ditangkapnya dan sekali Kok Kongcu membuat gerakan mendorong ke atas, tubuh Siangkoan Leng melayang ke atas!
Namun, gadis ini memiliki ilmu meringankan tubuh yang baik, maka ketika tubuhnya terlempar ke atas, ia tidak menjadi gugup, bahkan ketika tubuhnya meluncur turun, ia membuat kedua kakinya meluncur di bawah dan kedua kaki itu bagaikan dua batang tombak menghujam dari atas ke arah kepala Kok Kongcu!
Tentu saja serangan ini hebat bukan main dan merupakan serangan maut, membuat Kok Kongcu terkejut juga dan kagum akan tetapi, dia tidak gugup menghadapi ancaman serangan yang tiba-tiba datangnya dari atas itu. Kembali kedua tangannya bergerak cepat dan sebelum kedua kaki itu menginjak kepalanya, kedua tangannya telah menyambut telapak kedua kaki itu dan kini Siangkoan Leng berdiri di atas kedua tangan Kok Kongcu yang berada di dekat pundak!
Siangkoan Leng menjadi girang. Pemuda itu menggunakan kedua tangan menyangga tubuunya dan dengan posisinya berada di atas itu, terbukalah kesempatan baginya untuk menyerang tanpa pemuda itu akan mampu mengelak atau menangkis. Ia pun membungkuk dan hendak menampar kepala pemuda itu. Akan tetapi tiba-tiba ia tidak tahan untuk tidak tertawa geli dan tubuhnya menggeliat-geliat sehingga ayah ibunya yang menonton, juga Tang Hu, terbelalak heran.
Mereka tidak tahu betapa gadis itu tiba tiba merasa kedua telapak kakinya seperti digelitik! Dan pada saat ia tertawa dan menggeliat itu, Kok Kongu mendorongkan kedua tangannya. Tak dapat ditahan lagi, tubuh Siangkoan Leng terlempar ke depan dan dengan berpoksai (bersalto) tiga kali, gadis itu dapat tiba di atas tanah dengan kaki lebih dulu, dengan luncuran yang indah.
Akan tetapi, wajahnya berubah kemerahan karena ketika kedua kakinya menginjak tanah, ia merasa betapa kedua kakinya itu tidak bersepatu lagi! Ia mengangkat muka dan melihat betapa kedua sepatunya itu telah "tertinggal" di kedua tangan pemuda tampan itu.
Kok Kongcu tersenyum mengejek dan sekali menggerakkan tangan, kedua buah sepatu itu melayang dan tiba tepat di depan kedua kaki Siangkoan Leng, membelakangi gadis itu seolah-olah diletakkan oleh seorang pelayan, siap pakai sehingga memudahkan gadis itu untuk mengenakannya kembali.
Perbuatan ini saja sudah membuktikan betapa lihainya pemuda itu yang menguasai tenaga lontarannya sedemikian rupa sehingga sepasang sepatu itu seolah tidak dilemparkan, melainkan ditaruh dengan hati hati. Siangkoan Leng menjadi merah padam mukanya. Bermacam perasaan mengaduk hatinya. Ada rasa takjub, kagum, akan tetapi juga penasaran dan hal ini membuatnya malu dan marah. Tangannya meraba punggung dan "singgg" nampak sinar berkelebat dan gadis itu sudah mencabut pedangnya.
"Leng Leng, tahan dulu" Tiba-tiba ayahnya berseru dan ketika dia itu menengok, Siangkoan Kun Hok sudah melompat ke depan dan memberi isyarat kepada Siangkoan Leng untuk mundur. Gadis itu masih penasaran, akan tetapi tidak membantah, lalu menyarungkan kembali pedangnya dan ia lari ke arah ibunya, duduk di dekat ibunya sambil menundukkan mukanya.
Sementara itu, Siangkoan Kun Hok sudah berdiri berhadapan dengan Kok Kongcu yang masih tetap tenang saja. Pemuda yang sudah bertanding berturut-turut ini nampak biasa saja, sama sekali tidak berpeluh dan pernapasannya pun biasa. Hal ini tidak terlepas dari pandang mata Siangkoan Kun Hok dan guru silat ini menjadi semakin kagum. Mereka saling pandang sejenak, kemudian sambil tersenyum guru silat itu berkata.
"Orang muda, sesungguhnya siapakah engkau? Harap suka memperkenalkan diri siapa namamu dan dari mana asalmu."
Kok Kongcu memberi hormat sambil tersenyum. Dia telah menemukan sesuatu, yaitu ilmu tendangan itu. Perlu dia mempelajarinya dan menguasainya dengan baik, tentu besar manfaatnya untuk menambah bekalnya menghadapi wakil para datuk besar lawan ayahnya kelak.
"Maafkan aku, Lo-cian-pwe. Aku hanyalah seorang pemuda kelana yang sudah yatim piatu. Namaku Kok Tay Ki tidak memiliki tempat tinggal tetap."
Pemuda ini memang amat terkenal julukannya, yaitu Kok Kongcu putera See Mo, akan tetapi nama lengkapnya jarang ada yang mengenalnya. Oleh karena itu, Kok Kongcu tidak ragu-ragu untuk memperkenalkan namanya. Akan tetapi dia sengaja mengaku yatim piatu. Karena kalau sampai guru silat ini mengetahui bahwa dia adalah putera See Mo, belum tentu dia mau mengajarkan ilmu ilmunya, selain hal itu akan mendatangkan kecurigaan saja.
"Kok Tay Ki.....?" Siangkoan Kun Hok mengingat-ingat akan tetapi tidak merasa kenal nama itu. "Hemmm, sekarang katakanlah terus terang, apa yang mendorongmu berkunjung ke tempat kami?"
''Sudah kukatakan tadi, Lo-cian-pwe. Saya datang untuk mempelajari ilmu silat karena saya mendengar betapa lihainya ilmu silat keluarga Siangkoan."
"Hemmm, begitukah? Akan tetapi, orang muda, engkau telah memiliki ilmu kepandaian yang demikian tinggi. Kalau boleh kami mengetahui, siapakah gurumu?" Siangkoan Kun Hok merasa curiga juga kalau kalau pemuda ini murid seorang yang pernah menjadi musuhnya.
"Ah, Lo-cian-pwe, saya hanya mempelajari ilmu silat begitu saja, tidak dari seorang guru tertentu. Saya merantau dan selalu ingin mempelajari suatu ilmu yang baik. Jadi, guru saya banyak sekali akan tetapi saya hanya mempelajari sambil lalu saja."
Siangkoan Kun Hok mengangguk-angguk. Kalau benar demikian, sungguh luar biasa sekali pemuda ini! "Dan bagaimana pendapatmu dengan ilmu-ilmu kami yang di mainkan oleh Tang Hu dan juga oleh Siangkoan Leng tadi?"
"Saya amat kagum melihat ilmu tendangan yang dimainkan olen nona itu tadi. Kalau boleh.... saya mohon Lo-cianpwe sudi mengajarkan ilmu itu kepada saya. Saya bersedia membayar berapa saja yang Lo-cian-pwe kehendaki."
Siangkoan Kun Hok tentu akan tersinggung sekali kalau saja bukan pemuda itu yang mengatakan demikian. Akan tetapi, dia tahu bahwa pemuda itu bukan sengaja hendak menyinggungnya, melainkan bersungguh-sungguh untuk mempelajari ilmu tendangan Ngo-heng-twi.
"Akan tetapi, orang muda. Tadi Ngo heng twi yang dimainkan anakku ternyata tidak mampu mengalahkanmu. Untuk apa engkau memmpelajari ilmu tendangan yang tidak mampu menandingimu?"
"Ilmu tendangan itu hebat, Lo-cianpwe. Sayang nona Siangkoan masih belum menguasainya secara sempurna. Kalau ia sudah menguasainya dengan sempurna, tentu saja akan repot sekali menghadapinya. Saya ingin sekali mempelajari. Namanya Ngo-heng-twi? Sungguh tepat. Kalau saya tidak keliru menilai, tendangan ini diciptakan dengan dasar ilmu tendangan Siauw-lim-pai dan Kun lun-pai. Benarkah itu, Lo-cian-pwe?"
Siangkoan Kun Hok terkejut. Pemuda ini benar hebat, penglihatannya demikian tajam dan agaknya dia seorang yang ahli benar tentang ilmu-ilmu silat sehingga nampu mengenal dasar Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai dalam tendangan Ngo-heng-twi tadi!
"Memang ilmu silat keluarga kami memiliki dasar kedua aliran persilatan itu. Akan tetapi, selain ilmu tendangan Ngo-heng-twi, kami masih mempunyai suatu ilmu yang menjadi andalan kami, yaitu ilmu pedang Ngo-heng-kiamsut. apakah engkau ingin pula mencobanya untuk melihat apakah ilmu pedang kami itu cukup bagus untuk kau pelajari?" dalam pertanyaan ini terkandung tantangan halus yang dapat dirasakan Kok Kongcu.
Dia pun tertarik. Siapa tahu, ilmu pedang itu pun berguna baginya, maka dia pun mengangguk. "Baik sekali, Lo-cian-pwe. Tadi pun puterimu sudah hendak memperlihatkan ilmu pedang itu, sayang dicegah. Kalau sekarang Lo-cian-pwe sendiri hendak memperlihatkannya, itu tentu lebih baik lagi, dapat membuka kedua mataku."
Diam-diam Siangkoan Kun Hok merasa girang. Dia memancing dan menantang, dan pemuda ini menyambut. Hal ini lebih meyakinkan hatinya bahwa memang dugaannya tidak keliru. Dia berhadapan dengan seorang pemuda hebat. "Bagus, kalau begitu, silakan kau mengeluarkan senjatamu, atau kalau tidak bersenjata, boleh engkau meminjam sebuah di antara senjata kami di sudut sana itu."
Kok Kongcu memang sengaja tidak membawa senjata. Dia meninggalkan huncwe, suling dan yangkim di dalam kamar hotel. Kini dia menghampiri rak senjata di sudut dan memilih sebatang tombak biasa bergagang bambu yang agaknya biasa dipergunakan oleh murid-murid kecil perguruan itu untuk berlatih silat tombak! Dengan tombak bergagang bambu ini dia menghampiri Siangkoan Kun Hok yang menanti di tengah ruangan.
Melihat pemuda itu memegang tombak yang amat sederhana itu, diberi gagang bambu agar cukup ringan untuk para murid kecil, wajah Siangkoan Kun Hok berubah kemerahan. Pedangnya yang ampuh dan ilmu pedang Ngo-heng-kiam-sut hendak dihadapi dengan tombak kanak-kanak itu?
"Orang muda, harap jangan main-main. Itu adalah tombak untuk kanak-kanak, pilihlah senjata lain. Tombak yang jauh lebih baik juga tersedia di sana, yang bergagang besi." katanya penuh teguran karena pilihan itu dianggap keterlaluan sekali.
Kok Kongcu mengangkat tombaknya ke atas. "Tombak ini baik sekali, Lo-cianpwe, ringan dan enak dipakai. Aku lebih senang menggunakan ini daripada senjata yang lain itu. Pula, Lo-cianpwe hendak memperlihatkan Ngo-heng kiamsut dari keluarga Siangkoan kepadaku, bukan hendak menyerangku untuk membunuh...!"