Pedang Asmara Jilid 25 karya Kho Ping Hoo - Tung-kiam mengangguk-angguk. "Cara yang bagus, dan kita tentu dapat melaksanakannya. Akan tetapi ingat, di sana terdapat Nam Tok dan Pak Ong, dan kurasa dua ekor anjing tua itu tidak mau diajak membantu orang Mongol. Mereka itu setia sampai ke tulang sumsum mereka terhadap pemerintah Han dan membenci suku asing."
Kembali terdengar suara ketawa yang menyeramkan itu, mengakak seperti suara burung gagak atau suara ular besar atau katak besar."Itulah yang perlu kubicarakan denganmu, Tung-kiam. Engkau tentu ingat bahwa tahun depan pada bulan kesepuluh dimalam bulan purnama, di puncak Kabut Putih di Thay-san, kurang sebelas bulan lagi kita berempat akan mengadakan pertemuan dan pertandingan di sana, bukan?"
"Tentu saja aku ingat, dan aku sudah mengambil keputusan bahwa sekali ini, akulah yang akan keluar sebagai pemenang dan menjadi datuk besar nomor satu di antara kita berempat, dengan sendirinya menjadi datuk nomor satu di selurun permukaan langit!" kata Tung-kiam dengan nada suara yang angkuh dan tinggi hati.
See Mo tertawa lagi, pendek saja namun San Hong yang bersembunyi mengintai bersama Siang Bwee harus mengerahkan sin-kangnya karena dia merasa betapa suara ketawa itu mengandung getaran yang amat kuat, yang mengguncang isi perut dan dadanya!
"Jangan sombong, Tung Kiam. Engkau lupa banwa masih ada aku di sini. Kalau diadakan pertandingan, tentu See Mo yang akan menjadi nomor satu! Akan tetapi sekali ini, bukan Tung Kiam atau See Mo yang harus menjadi nomor satu, melainkan kita berdua! Bukan hanya menjadi nomor satu untuk sekali ini, melainkan untuk selamanya."
"Eh, apa maksudmu, See Mo?"
"Sudah kubicarakan dengan Jenghis Khan dan beliau juga sudah menyetujui cara yang akan kupergunakan. Dia berjanji akan membantu dengan pasukan panah terdiri dari seratus orang. Mereka itu pemanah-pemanah ulung. Pada saat itu di puncak Kabut Putih, yang menang adalah Tung Kiam dan See Mo, dan mereka berdua itu akan tewas! Mereka akan mati konyol!"
Tung Kiam memandang dengan mata terbelalak. "Nam Tok dan Pak Ong akan dibunuh?"
"Tentu saja! Mereka dan murid-murid mereka. Bukan kita yang membunuh mereka! Dunia kang-ouw akan tahu bahwu mereka terbunuh oleh pasukan Mongol. Kita hanya menandingi mereka dan kalau kita berdua bersatu, baik Nam Tok maupun Pak Ong tak mungkin dapat menandingi kita. Mereka berdua itu tentu tidak sudi untuk bersatu atau bekerja sama. Satu lawan satu saja kita berimbang. Kalau kita berdua lawan satu, tentu kita menang."
Tung Kiam mengangguk-angguk. "Bagus kalau begitu, bagus sekali!"
"Curang sekali.....!" San Hong sendiri terkejut. Tanpa disengaja, ketika mendengar persekutuan itu, hatinya merasa terkejut dan begitu penasaran sehingga dalam kemarahannya, dia lupa diri dan rasa penasaran itu tersalurkan keluar lewat suaranya.
Juga Siang Bwee terkejut bukan main, akan tetapi semua sudah terlambat karena dua orang kakek yang tadinya duduk bersila, tanpa bangkit lagi tiba-tiba saja mereka sudah melayang ke arah semak belukar di balik mana San Hong dan Siang Bwee bersembunyi. Dan dua orang kakek yang menyambar bagaikan dua ekor burung elang raksasa menyambar anak ayam itu, sudah menyerang mereka selagi tubuh mereka masih di udara.
Tung Kiam sudah menyerang San Hong sedangkan See Mo menyerang Siang Bwee. Dua orang muda ini cepat melempar diri ke belakang lalu bergulingan menjauh dan menghindarkan diri dari serangan maut kedua orang datuk besar itu. Dua orang datuk besar itu terkejut. Jarang di dunia kang-ouw ada orang yang mampu menghindarkan diri dari serangan mereka tadi.
Akan tetapi ketika mereka turun ke atas tanah dan memandang, lenyaplah rasa keheranan mereka, terganti kemarahan ketika Tung Kiam mengenal San Hong yang pernah diobatinya bahkan pernah diberi pelajaran ilmu ciptaannya. Sedangkan See Mo juga mengenal Siang Bwee puteri Nam Tok yang dia tahu amat lincah, pandai dan juga cerdik seperti setan itu.
Siang Bwee sudah dapat menguasai kembali hatinya yang kaget tadi, dan ia memandang kepada dua orang itu dengan mulut cemberut. "Aih, kiranya paman Cu Sek Lam dan paman Kok Bong Ek yang berada di sini. Hemmm, kenapa tiada hujan tiada angin seperti kilat menyambar-nyambar, kedua paman yang terhormat menyerang kami orang-orang muda? Paman Kok Bong Ek, tidak malukah Paman menyerangku? Lawanmu kelak adalah ayahku, bukan aku? Dan paman Cu Sek Lam, apakah sudah lupa kepada Kwee San Hong? Kenapa Paman menyerangnya pula?"
Akan tetapi, kini dua orang datuk besar itu tidak mudah begitu saja dikelabui oleh kecerdikan Siang Bwee. Mereka saling pandang dan mereka telah terbuka. Dua orang muda ini tadi telah mengintai dan mendengarkan percakapan mereka. Dan hal ini berbahaya sekali!
"Siang Bwee, hayo katakan, apa yang telah kau dengar dari percakapan kami tadi?" tanya Tung Kiam dengan sikap mengancam.
Sementara itu, melihat keadaannya, Siang Bwee maklum bahwa dua orang kakek itu khawatir sekali, bahwa rahasia mereka telah ia ketahui. Maka, otaknya yang amat cerdik sudah cepat bekerja dan mendengar pertanyaan itu, ia pun segera berkata dengan sikap terheran-heran.
"Paman Cu, kami baru saja datang dan melihat paman berdua, kami takut kalau kalau paman berdua mengira kami mengintai. Maka kami segera bersembunyi dan yang terdengar oleh kami hanyalah beberapa ucapan Paman Kok dan jawaban dari Paman Cu sendiri."
Terdengar See Mo mengeluarkan suara gerengan parau. "Heeekkk, cepat katakan apa yang telah kau dengar tadi!"
"Ih, kenapa paman berdua kelihatan begini bengis? Ingat, waktunya untuk kita berhadapan sebagai lawan masih terlalu jauh. Harap paman berdua memandang muka ayah dan tidak bersikap kejam dan kasar kepadaku....."
"Tidak perlu banyak cakap, Siang Bwee. Jawablah pertanyaan See Mo tadi. Apa yang telah kaudengar dikatakan See Mo dan dijawab olehku tadi?"
"Nanti dulu kuingat ingat," kata gadis itu sambil meraba mulutnya yang dibungkamkan, lalu dahinya. Ketika ia meraba mulut, saat itu ia melihat bahwa San Hong memandang kepadanya, maka ia harapkan pemuda itu mengerti akan isyaratnya, yaitu membungkam dan tidak bicara! Lalu ia melanjutkan!
"Aku mendengar Paman Kok berkata begini... kita hanya menandingi mereka dan kalau kita berdua bersatu, baik Nam Tok maupun Pak Ong tak mungkin dapat menandingi kita. Mereka berdua itu tentu tidak sudi untuk bersatu atau bekerja sama. Satu lawan satu saja kita berimbang. Kalau kita berdua lawan satu, tentu kita menang. Kemudian aku mendengar jawaban Paman sendiri begini: 'Bagus kalau begitu, bagus sekali!' Nah, itulah yang telah kudengar tadi. Bukankah begitu, Hong-ko?"
Kini San Hong dapat melihat pula akal bulus yang dilakukan gadis itu, maka dia pun mengangguk tanpa mengeluarkan kata-kata. Dua orang kakek itu saling pandang dan jelas bahwa mereka masih belum merasa puas. Kecurigaan mereka terhadap dua orang muda itu membuat mereka khawatir sekali.
Tiba-tiba Tung Kiam berkata kepada Siang Bwee. "Siang Bwee, engkau adalah calon mantuku. See Han puteraku adalah calon suamimu, maka aku dapat memaafkanmu. Akan tetapi mulai saat ini engkau harus ikut denganku, menjadi isteri See Han. Tentang ayahmu kelak, biar aku yang akan menghadapinya. Dia tentu akan bangga berbesan denganku....."
"Tidak, Paman Cu! Harus ayah yang lebih dulu memberi ketentuan! Siapa tahu ayah lebih suka berbesan dengan paman Kok Bong Ek. Pernah ayah memuji-muji Putera See-thian Mo-ong. Eh, Paman Kok, bagaimana kabarnya dengan puteramu itu? Bukankah namanya Kok Tay Ki dan dia tampan, halus dan lihai sekali?"
Memang cerdik bukan main otak Siang Bwee. la merasa tersudut oleh Tung Kiam dan melihat betapa ia terancam bahaya. Ditahan oleh Tung Kiam, maka ia mencari jalan untuk meloloskan diri dan jalan yang dianggap terbaik adalah menimbulkan minat kepada See Mo untuk menjadi saingan Tung Kiam!
Di luar dugaan Siang Bwee sendiri, memang siasatnya ini tepat sekali. Ia tidak tahu bahwa See Mo memang berhasrat untuk mengambilnya sebagai mantu! Dari dua orang murid dan pembantunya, Koay-to Heng-te, See Mo mendengar bahwa putera angkatnya, yaitu Kok Tay Ki atau Kok Kongcu (Tuan Muda Kok) ingin menikah dengan puteri Nam Tok.
Bahkan See Mo telah memberi perintah kepada dua orang murid dan pembantunya itu untuk membantu Kok Kongcu mencari Siang Bwee, dan mau tidak mau Siang Bwee harus menjadi isteri puteranya itu. Dan sekarang, dia sendiri bertemu dengan puteri Nam Tok, dan gadis yang cantik manis, jelita dan lincah jenaka ini memuji-muji puteranya, dan memberi harapan pula!
Tentu saja dia menjadi girang dan dia pikir bahwa kalau gadis ini menjadi mantunya, maka tidak ada halangannya kalau andaikata tadi sudah mendengar percakapannya dengan Tung Kiam. "Hoh-hoh, khek-khek-khek.....!" See Mo tertawa, suara ketawanya yang aneh seperti suara katak besar. "Bagus sekali! Memang engkau pantas menjadi mantuku,! Ang Siang Bwee! Engkau sekarang juga ikut bersamaku dan kukawinkan dengan Tay Ki puteraku, hoh-hoh-hoh! Dan bocah lancang ini harus mampus!"
"Aih, See Mo, nanti dulu!" Tiba-tiba Tung Kiam berseru, nadanya tinggi dari sepasang matanya berkilat. "Enak saja engkau bicara! Ketahuilah, puteri Nam Tok ini sudah kujodohkan dengan puteraku dan mereka sudah bertunangan! Apakah engkau begitu nekat hendak merampas calon mantuku?"
See Mo terbelalak, "Ehhh? Sudah ditunangkan?" Suaranya mengandung kekecewaan. Biarpun dia seorang di antara empat datuk besar yang kemauannya harus ditaati dan dipenuhi, namun dia tidak begitu bodoh dan nekat untuk menentang Tung Kiam yang diharapkan menjadi sekutunya dalam membantu Jenghis Khan, apalagi kalau sampai merampas mantunya!
Tidak ada yang melihat betapa sepasang mata Siang Bwee bersinar-sinar penuh kemenangan. Gadis ini girang bukan main melihat umpannya berhasil memancing ketegangan di antara dua orang datuk besar yang sudah mengancam ia dan San Hong itu. Dua ekor ikan kakap itu telah menyambar umpan pancingnya, pikirnya dengan cerdik.
"Tidak, Paman Kok! Jangan percaya omongan Paman Cu. Memang dia puteranya menginginkan aku menjadi keluarganya, akan tetapi hal itu baru usul sepihak. Pihakku belum menyetujui. Bahkan ayah belum tahu dan aku sendiri pun belum sepenuhnya menerima Cu See Han sebagai calon suami. Pinangan belum dilakukan, bagaimana dapat di katakan resmi? Hemmm, kalau kubanding-bandingkan, kiranya Kok Tay Ki lebih menang segala-galanya dari Cu See Han! Akan tetapi, aku sudah mengambi keputusan akan menjadi isteri seorang yang mampu mengalahkan ayahku. Tentu saja orang itu boleh diwakili ayahnya atau gurunya!"
Mendengar ini, See Mo merasa mendapat hati dan dia pun tertawa bergelak sampai terbatuk-batuk. ”Hoh-hoh hoh, Tung Kiam, ternyata gadis ini masih bebas! Dan ia memang pantas menjadi mantu See-thian Mo-ong, heh heh-heh!"
Wajah Tung Kiam berubah kemerahan. Dia seorang yang tinggi hati dan sombong, tidak mau kalah menghadapi siapa-pun juga. Tidak mau kalah bukan dalam hal ilmu kepandaian saja, akan tetapi juga tidak mau kalah dalam memperebutkan apa pun juga. "Dia lebih pantas menjadi mantuku, mantu Tung-hai Kiam-ong! Dan puteraku mencintanya!"
"O-ho-ho, puteraku juga mencintanya!" See Mo tidak mau kalah dan mereka itu, dua orang datuk besar itu, seperti lagak dua orang anak kecil bertengkar, sudah berhadapan dengan muka merah dan matu melotot.
Melihat ini, Siang Bwee menambah minyak pada api yang sudah mulai berkobar, "Kedua paman memang sama-sama kaya, mempunyai putera yang sama-sama hebat dan tampan, sehingga sukar bagiku untuk memilih. Akan tetapi, aku lebih suka menjadi mantu orang yang paling sakti. Agaknya, dalam hal ilmu kepandaian, Tung Kiam masih bukan tandingan See Mo, maka agaknya aku lebih suka menjadi mantu See Mo kalau dia mampu mengalahkan Tung Kiam!"
Gadis itu memang cerdik bukan main. Ia mengenal kedua orang datuk itu. Sama-sama kaya, sama-sama sombong dan tinggi hati, akan tetapi Tung Kiam lebih pemarah dan brangasan. Oleh karena itu, ia sengaja memanaskan hati Tung Kiam dengan mengatakan bahwa Tung Kiam bukan tandingan See Mo. Ini saja sudah cukup untuk membuat Tung Kiam menjadi marah seperti gila!
"See Mo, mari kita lihat siapa di antara kita lebih pantas menjadi mertua gadis ini!" Tung Kiam berteriak dan dia mencabut pedangnya!
See Mo juga marah, akan tetapi dia masih ragu. "Tapi..... ini belum waktunya...."
Siang Bwee segera berkata, "Memang belum waktunya bagi empat orang datuk besar untuk mengadu ilmu, Paman Kok. Akan tetapi sudah tepat waktunya bagi See Mo dan Tung Kiam untuk menentukan, siapa yang lebih patut menjadi ayah mertuaku! Tentu saja yang takut kuanggap kalah!"
"Siapa takut?" See Mo berteriak karena ucapan terakhir Siang Bwee itu seperti menampar mukanya. "Hayo, Tung Kiam, ingin kulihat sampai di mana kemajuanmu!" dan dia pun sudah mencabut keluar senjatanya yang istimewa, yaitu sebatang hun-cwe (pipa tembakau).
Itulah Huncwe Maut yang membuat nama See Mo ditakuti oleh seluruh dunia kang-ouw dan yang membuat dia menjadi seorang datuk besar. Biasanya dia bersenjata sebatang ruyung, akan tetapi kalau menghadapi lawan tangguh, dia lebih lihai kalau mempergunakan huncwenya.
"Bagus! Kaukira aku takut kepadamu, See Mo? Sambut pedangku!" teriak Tung Kiam dan sinar pedangnya berkelebat menyambar, disambut hun-cwe sehingga terdengar suara nyaring disusul berpijarnya bunga api yang menyilaukan mata.
Segera kedua orang datuk besar itu sudah saling serang dengan hebatnya. Suara senjata mereka bercuitan, sinar menyambar-nyambar dan bergulung-gulung, angin bertiup dari arah gerakan senjata mereka. Itulah yang dikehendaki Siang Bwee. Setelah berhasil mengadu domba, atau lebih tepat lagi mengadu singa, gadis ini cepat menyambar tangan San Hong di ditariknya pemuda itu, diajak lari secepatnya meninggalkan tempat itu!
San Hong yang juga agak gentar menghadapi dua orang datuk besar yang sakti itu, maklum dan dia pun menggerakkan kedua kakinya, lari secepat mungkin meninggalkan dua orang kakek yang sedang mati matian saling serang.
"Mari, Koko, cepat...!" Siang Bwee berbisik dan mereka berlari secepatnya menuruni puncak bukit itu, memasuki hutan. Setelah merasa jauh meninggalkan dua orang datuk itu, dan berada di tengah hutan yang lebat, barulah mereka berhenti, terengah-engah, bukan saja karena berlari secepatnya, akan tetapi juga karena tegang.
"Untung..... untung kita dapat melarikan diri....." kata Siang Bwee sambil duduk di atas sebuah batu di bawah pohon.
San Hong memandang kepada gadis itu dan tersenyum "Bwee-moi, engkau sungguh cerdik, dan juga nakal!"
Ucapan itu merupakan pujian yang menyenangkan hati Siang Bwee dan teringat akan apa yang dilakukannya tadi hingga ia berhasil mengadu kedua orang datuk sakti, ia pun terkekeh geli. Akan tetapi, tiba-tiba mulut gadis yang sedang terbuka sedikit karena tertawa itu, berhenti mendadak dalam keadaan terbuka, matanya terbelalak memandang ke depan dan otomatis ia pun merosot turun dari atas batu yang didudukinya.
Juga San Hong memandang dengan mata terbelalak, akan tetapi dia sudah mengepal tinju dan siap siaga. Kiranya dua orang datuk sesat yang tadi mereka tinggalkan dalam keadaan saling serang itu kini telah berdiri di depan mereka dengan senyum mengejek!
"Eh..... ohhh..... kedua paman mengapa berada di sini? Sudah selesaikah pertandingan itu dan siapa yang unggul? Siapa yang pantas menjadi ayah mertuaku?" Siang Bwee cepat bertanya sambil melangkah ke depan melindungi San Hong seperti tidak disengaja.
Dua orang kakek itu saling pandang, lalu keduanya tertawa bergelak. Suara ketawa Tung Kiam meninggi sampai semakin kecil seperti suling, sedangkan suara ketawa See Mo mengakak parau dan dalam. Keduanya memiliki suara ketawa yang berlawanan, akan tetapi mengandung tenaga getaran yang sama kuatnya.
"Tung Kiam, lihat betapa cerdiknya puteri Nam Tok ini. Wah, akan puaslah kita kalau mempunyai mantu seperti ini."
"Biarlah untuk sementara ini kita tahan ia, kelak mudah ditentukan siapa di antara putera kita yang lebih pantas menjadi suaminya." kata Tung Kiam.
"Benar, dan pemuda tolol ini harus cepat kita bunuh. Dia sudah mengetahui rahasia kita. Yang betina kita tahan yang jantan kita bunuh, dan selamatlah kita, selamatlah rahasia kita." kata See Mo.
"Tung Kiam dan See Mo!" Siang Bwee kini meloncat mundur, berdekatan dengan San Hong, maklum bahwa segala bujuk rayu dan akalnya tidak akan ada gunanya. "Kalian ini orang-orang tua harus dapat memegang janji. Ini belum waktunya kalian memperlihatkan kepandaian kepada kami. Masih beberapa bulan lagi. Kalian tidak boleh ganggu kami!"
"Heh-heh-heh, Siang Bwee. Kami harus bunuh pemuda ini, dan kami akan menahanmu sampai saat pertandingan tiba." kata See Mo.
"Hong-koko, kita lawan mereka!" tiba-tiba Siang Bwee berseru dan sikapnya berubah, tidak lagi mengandalkan akal bulusnya, melainkan kini setelah tahu bahwa dua orang kakek itu akan menggunakan kekerasan, ia akan mempertahankan diri mati-matian, terutama untuk mencegah mereka itu membunuh kekasihnya. San Hong juga sudah siap siaga.
Dengan gerakan yang amat gesitnya, Siang Bwee yang memang sejak tadi sudah mencari-cari dengan pandang matanya, meloncat ke kiri dan menyambar sebatang ranting pohon yang agak rendah. Ia mematahkan ranting itu dan semua daun-daunnya ia buang sehingga kini ia telah mendapatkan sebatang tongkat sebesar lengan kirinya, sepanjang satu setengah meter dan ia sudah siap dengan senjata sederhana yang merupakan senjata ampuh dari ayahnya, yaitu sebatang tongkat.
"Orang muda tolol, mampuslah engkau!" tiba-tiba See Mo menubruk ke depan dan mengirim hantaman dengan tangan kirinya ke arah dada San Hong.
Melihat betapa telapak tangan yang menghantam ke arah dadanya itu berwarna merah, tahulah San Hong bahwa Iblis Barat itu mempergunakan pukulan kejinya, yaitu Ang-see-ciang! Untung dia sudah pernah mendengar ilmu ini dari Pak Ong, bahkan dari Pak Ong dia mempelajari ilmu It-sin-ci melalui Siang Bwee.
Maka melihat tangan bertelapak merah itu meluncur ke arah dada, dia pun menyambut dengan totokan jari telunjuk kanan, menotok ke arah permukaan telapak tangan itu dekat pertemuan antara telunjuk dan ibu jari.
"Ehhh...?" See Mo terkejut sekali dan biarpun dia sudah menarik tangan kirinya tetap saja telunjuk pemuda itu masih menyerempet telapak tangannya dan dia merasa betapa tangan kirinya tergetar dan kesemutan! Marahlah See Mo dan dia pun memperhebat serangan-serangannya dengan kedua tangan berwarna merah.
San Hong menghadapi semua serangan Ang-see-ciang (Tangan Pasir Merah) itu dengan pengerahan semua tenaga dan kepandaiannya, dan terutama sekali mempergunakan It-sin-ci. Terjadilah perkelahian yang seru dan hebat antara See Mo dan San Hong. Pemuda ini maklum bahwa lawannya adalah seorang datuk sakti yang amat tinggi tingkat kepandaiannya.
Maka dia pun melawan mati-matian, maklum bahwa kakek yang gendut itu berusaha sungguh-sungguh untuk membunuhnya. Dia pun tidak sungkan-sungkan lagi dan membalas serangan kakek itu dengan serangan yang cukup hebat untuk menyelamatkan dirinya dari ancaman maut.
Sementara itu, tanpa banyak cakap lagi, Tung Kiam sudah menubruk untuk menangkap Siang Bwee. Akan tetapi, lincah bagaikan seekor burung walet, gadis itu menyelinap dan mengelak sehingga tubrukan itu luput. Ketika Tung Kiam mengulangi usahanya menangkap dengan serangan yang lebih cepat dan kuat, Siang Bwee menjadi marah.
"Awas, Tung Kiam! Ayahku akan marah sekali padamu!" Dan ia pun menyambut tubrukan Pedang Timur itu dengan totokan ujung tongkatnya ke arah ubun-ubun kakek itu! Tung Kiam mendengus dan tangan kirinya menyambar untuk menangkis dan sekaligus mencengkeram tongkat, namun gadis itu sudah menarik kembali tongkatnya.
Tung Kiam tidak ingin membunuh Siang Bwee. Tadi ketika dia dan See Mo saling serang mati-matian, dialah yang lebih dulu sadar betapa mereka berdua diadu oleh puteri Nam Tok. Ketika dia melirik dan melihat betapa gadis dan pemuda itu sudah lenyap, dia pun mengerti maka dia pun membentak agar See Mo menghentikan perkelahian itu.
Mereka berdua sadar bahwa mereka telah dipermainkan, maka mereka lalu mengambil keputusan untuk menangkap Siang Bwee dan membunuh San Hong. Kalau tidak demikian, maka rahasia percakapan mereka tadi tentu akan bocor. Demikianlah, melihat betapa See Mo sudah menyerang untuk membunuh San Hong, dia percaya bahwa tentu See Mo akan berhasil karena bagaimanapun juga, dia tahu bahwa San Hong yang menguasai berbagai ilmu itu masih mentah.
Maka dia pun segera menggerakkan tubuh untuk menangkap Siang Bwee tanpa melukainya. Akan tetapi, yang dihadapinya adalah Siang Bwee puteri Nam Tok, seorang gadis yang bukan saja cerdik dan banyak siasatnya, akan tetapi juga pemberani dan memiliki ilmu silat yang cukup tinggi. Maka, usahanya menangkap itu sama sekali tidak mudah, apalagi Siang Bwee menggunakan sebatang tongkat dan membalas dengan totokan-totokan maut!
Perkelahian antara See Mo dan San Hong berat sebelah. Begitu kakek itu mengerahkan tenaga dari perutnya, memainkan ilmu silat dengan tubuh merendah seperti berjongkok, kadang berloncatan seperti gaya seekor katak, San Hong kewalahan. Beberapa kali, kalau kedua lengannya bertemu dengan lengan kakek gendut itu, dia terhuyung dan hampir terjungkal!
Maklum bahwa dengan tangan kosong dia tidak akan mampu menang, San Hong lalu mencabut pedangnya. Pedang Pek-lui-kiam (Pedang Kilat) mengeluarkan sinar berkilauan ketika tercabut dan melihat ini See Mo tertawa girang.
”Ha-ha-khek-khek-heh-heh, bagus sekali! Pergunakan senjatamu dan keluarkan semua kemampuanmu, orang muda agar engkau tidak mati penasaran.” Tentu saja datuk ini merasa girang karena dia sendiri akan merasa tidak enak juga kalau sebagai seorang datuk besar, dia membunuh lawan seorang pemuda yang tidak memegang senjata.
Akan tetapi, rasa girangnya berubah menjadi kaget bukan main ketika San Hong sudah menggerakkan pedang itu untuk menyerangnya. Pedang itu menyambar dengan cepat bagaikan kilat dan sungguh merupakan serangan yang amat berbahaya. See Mo berloncatan menghindari sambil membalas dengan dorongan pukulan Ang-see-ciang, ditambah tenaga gaya katak.
Namun, tetap saja dia terdesak dan sinar pedang ditangan pemuda itu seolah menjadi bayangannya sendiri yang mengejar terus kemanapun dia menghindarkan diri. Dari kaget, See Mo menjadi marah dan penasaran. Tiba-tiba dia mengeluarkan bentakan parau dan tangannya kini sudah memegang huncwenya.
Huncwe Maut, pikir San Hong dan dia pun siap siaga, karena dia maklum bahwa kakek ini akan menjadi lawan yang amat berbahaya kalau menggunakan senjata istimewa itu. Dia pun teringat akan ilmu Swat-sin-to (Golok Salju) yang dipelajarinya dari Pak Ong, ilmu yang menurut Pak Ong diciptakan untuk mengatasi ilmu Huncwe Maut dari See Mo!
Dia segera mainkan ilmu itu dengan pedangnya. Kembali See Mo terkejut. Gerakan pedang pemuda itu seolah-olah merupakan tandingan ilmu huncwenya sehingga untuk belasan jurus, semua serangan huncwenya bukan saja dapat ditangkis pemuda itu, bahkan pedang yang berkilauan itu beberapa kali nyaris merobek ujung bajunya!
Betapapun juga, semua ilmu dari para datuk besar yang dipelajari San Hong belumlah matang. Maka, kini berhadapan sendiri dengan See Mo, tentu saja dia kalah pengalaman. Setelah See Mo benar-benar mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, San Hong mulai terdesak hebat dan dia hanya dapat lebih banyak menangkis daripada menyerang.
Di lain pihak, Siang Bwee kini juga terdesak. Biarpun Tung Kiam tidak ingin melukainya, namun kini Tung Kiam yang juga sudah mempergunakan pedangnya mengurung gadis itu dengan gulungan sinar pedangnya. Gerakan tongkat di tangan gadis itu makin lama semakii menyempit, sedangkan sinar pedang makin bergulung-gulung bagaikan naga bermain di angkasa.
Karena tidak ingin melukai Siang Bwee apalagi membunuhnya, Tung Kiam hanya mengurung dengan gulungan sinar pedang dan mencari kesempatan untuk merobohkan gadis itu tanpa melukainya dengan tangan kiri Akan tetapi, Siang Bwee amat cerdik. Ia sudah dapat menduga akan hal ini, maka ia menjaga diri dengan ketat agar jangan sampai terkena pukulan atau totokan tangan kiri datuk itu.
Sedangkan ancaman pedang itu sama sekali tidak dihiraukannya karena ia merasa yakin bahwa Tung Kiam tidak akan merobohkannya dengan bacokan atau tusukan pedang! Selagi kedua orang muda itu terdesak hebat dan setiap saat pasti akan roboh, tiba-tiba terdengar suara orang memaki-maki.
"Huh, katak buduk See-thian Mo-ong dan srigala kudisan Tung-hai Kiam-ong, sungguh kalian bermuka tebal!"
Tentu saja makian ini membuat See Mo dan Tung Kiam terkejut dan marah bukan main. Mereka adalah datuk-datuk besar. Jangankan memaki, baru membicarakan mereka saja jarang ada yang berani, karena membicarakan mereka saja kalau tidak menyenangkan, sudah menjadi alasan cukup bagi mereka untuk membunuh orang yang membicarakan mereka. Dan kini, See Mo dimaki katak buduk, dan Tung Kiam dimaki srigala kudisan!
Bahkan Siang Bwee dan San Hong juga terkejut. Kalau saja yang muncul dan memaki-maki itu Nam Tok atau Pak Ong, masih tidak aneh. Akan tetapi ketika mereka berdua mendapat kesempatan untuk melompat mundur karena dua orang kakek itu juga menghentikan serangan mereka untuk melihati siapa yang memaki, dua orang muda itu melihat bahwa yang muncul adalah seorang kakek jembel yang amat kotor dan buruk!
Akan tetapi, kalau Siang Bwee dani San Hong merasa heran melihat ada seorang jembel pengemis tua berani memaki-maki dua orang datuk besar itu, sebaliknya See Mo dan Tung Kiam terkejut melihatnya. Mereka jarang bertemu dengan jembel busuk itu, baru beberapa kali saja, dan jalan hidup mereka bersimpangan. Akan tetapi mereka cukup tahu. siapa dia!
Kakek jembel kotor itu nampaknya saja seorang pengemis jembel yang kotor. Usianya tentu mendekati tujuh puluh tahun. Rambutnya gembel dan pakaiannya butut compang-camping. Akan tetapi muka dan kulit tubuhnya bersih! Tubuhnya tinggi kurus dan mukanya yang dipenuhi tawa itu menunjukkan bahwa dia orang yang miring otaknya. Tangannya memegang sebatang tongkat butut semeter panjangnya.
"Lo-kwi.....!" kata See Mo dan Tung Kiam hampir berbareng. Lalu Tung Kiam yang berwatak tinggi hati itu membentak marah teringat akan makian tadi.
"Lo-kwi, selamanya aku tidak pernah menghalangi jalan hidupmu, dan engkau pun tidak pernah mempunyai urusan dengan aku. Kenapa kini datang-datang engkau memaki aku? Apakah engkau sudah bosan hidup?"
Lo Kwi (Setan Tua) yang sesungguhnya dikenal sebagai Lo Koay (Kakek Aneh) memandang kepada Tung Kiam dan dia pun tertawa geli sampai memegangi ke arah perutnya dengan tangan kiri, dan tongkatnya dia pukul-pukulkan ke tanah dengan tangan kanan.
"He-heh-heh-heh-ha-ha.....! Bosan hidup? Ha-ha-ha, kalau orang bosan hidup dia pun akan bosan mati, Tung Kiam kalau aku bosan hidup, apa engkau dapat mematikan aku? Heh-neh-heh, kau sendiri tidak kuasa atas nyawamu, bagaimana engkau berkuasa atas nyawaku?"
"Lo Kwi, pergilah jangan mengganggu kami, dan kami pun tidak akan mencampuri urusanmu!" kata See Mo dengan suara lebih ramah karena dia sudah mendengar berita tentang kakek yang kabarnya aneh sekali dan memiliki ilmu ilmu aneh yang menggiriskan.
Kini Lo Koay atau Lo Kwi menudingkan tongkatnya ke arah perut gendut See Mo, ketawanya masih menerangi wajahnya yang kekanak-kanakan. "Katak buduk See Mo, siapa mengganggu siapa? Aku hanya kebetulan lewat dan melihat kalian dua orang badut tua bermain-main dengan dua orang muda yang sepatutnya menjadi cucu kalian. Nah, itulah yang membuat aku tertawa geli, juga penasaran karena kalian ini sungguh bermuka tebal."
"Lo Kwi, kau kira kami takut kepadamu? Pergilah, atau terpaksa kami akan menyingkirkanmu!” bentak Tung Kiam kini marah sekali.
"Lo-cianpwe, dua orang ini memang tak tahu malu!" kini Siang Bwee berkata, dengan cepat ia dapat menduga bahwa tentu kakek yang disebut Lo Kwi ini lihai sekali dan bahwa dua orang datuk itu pun agaknya segan bermusuh dengan dia. Kalau tidak demikian halnya tentu sudah sejak tadi See Mo dan Tung Kiam turun tangan membunuh kakek jembel itu. "Memang mereka ini dua orang badut tua bangka yang bermuka tebal!"
Mendengar suara gadis yang nyaring sekali itu, Lo Kwi menengok dan memandang kepada Siang Bwee. Wajahnya berseri, berubah seperti seorang anak kecil bertemu kawan yang menyenangkan hatinya. "Eh, enci yang baik!" katanya dan sikapnya tiada ubahnya seperti anak kecil, bahkan dia menyebut "enci" kepada gadis itu, seolah dia adalah seorang anak kecil yang jauh lebih muda daripada Siang Bwee. "Kenapa engkau mengatakan dua orang badut tua bangka ini bermuka tebal? Apakah engkau sudah meraba kulit muka mereka? Tebal mana dengan kulit muka buaya?"
"Biarpun aku belum merabanya, akan tetapi aku yakin lebih tebal daripada kulit badak atau buaya," kata Siang Bwee, girang karena ia merasa yakin akan dapat "mendekati" kakek jembel yang agaknya disegani dua orang datuk itu. "Bayangkan saja! Mereka itu mengaku dua orang datuk besar. Mereka sudah bersepakat dengan dua orang datuk besar lainnya untuk mengadakan pertemuan mengadu ilmu pada tahun ini bulan sepuluh dan berjanji untuk tidak saling serang sebelum pertemuan itu. Eh, sekarang mereka hendak menyerang aku dan Hong-koko ini. Itu namanya selain menyalahi janji, juga penghinaan dari yang tua kepada yang muda."
"Heh-heh heh, tentu dua yang lain itu Nam Tok dan Pak Ong, bukan? Eh, enci yang baik, siapa engkau? Siapa she dan namamu, dan Hong-koko mu itu bernama siapa?" Cara Lo Koay membuat perkenalan juga seperti sikap seorang berusia di bawah sepuluh tahun!
"Lo-cianpwe....."
"Hushhh, kau kira aku ini sudah tua bangka dekat mati? Orang menyebut aku Lo Koay (Kakek Aneh), akan tetapi engkau boleh menyebut aku Siauw Koay (Bocah Aneh). Hayo jawablah, Enci!"
Bukan karena siasat lagi, akan tetapi timbul rasa kasihan dan suka di hati Siang Bwee terhadap kakek jembel itu. Sikapnya begitu kekanak-kanakan akan tetapi wajar, tidak dibuat-buat, seolah-olah alam pikirannya kembali kepada alam pikiran kanak-kanak. Akan tetapi kadang-kadang berpikiran dewasa bahkan tua seperti ketika tadi menegur dua orang datuk besar itu.
"Baiklah, Siauw Koay. Namaku Ang Siang Bwee, dan Hong-koko ini bernama Kwee San Hong."
Lo Koay menyeringai dan biarpun wajahnya masih seperti kanak-kanak, namun kini matanya mengeluarkan sinar kecerdikan. "Aha, engkau she Ang? Tentu engkau puteri Nam-san Tok-ong Ang Leng Ki!"
"Benar sekali! Engkau ternyata amat cerdik, Siauw Koay."
Dipuji cerdik oleh Siang Bwee, wajah kekanakan itu menjadi merah padarn. Sungguh luar biasa sekali kakek ini. "Aih, enci Bwee terlalu memujiku. Dan Kwee San Hong ini..... hemm, she Kwee? Padahal Pak-ong adalah she Ji, jelas bukan putera Pak Ong. Lalu siapa Hong koko-mu ini dan apa hubungannya dengan Empat Datuk Besar?"
"Siauw Koay, aku adalah puteri Nam Tok, sedangkan koko Kwee San Hong ini adalah murid Pak Ong. Di antara Empat Datuk Besar telah terdapat perjanjian bahwa sebelum tiba hari pertandingan yang telah ditentukan itu, mereka tidak akan saling serang, juga murid-murid mereka tidak boleh saling serang. Akan tetapi sekarang, dua orang badut tua bangka ini hendak menangkap aku puteri Nam Tok dan hendak membunuh Hong koko murid Pak Ong! Coba pikir, apakah mereka ini tidak layak dipukul?"
"Layak dipukul, pantas dihajar!" kata Lo Koay mencak-mencak.
"Lo Kwi, engkau dibohongi gadis itu. Siang Bwee memang puteri Nam Tok, akan tetapi bocah ini bukan murid Pak Ong! Kami harus membunuhnya karena dia berani mengintai kami bercakap-cakap!" kata Tung Kiam yang kini sudah merasa menyesal bahwa oleh siasat dan bujukan Siang Bwee dia pernah mengajarkan ilmu-ilmu kepada San Hong setelah dia menyelamatkan nyawa pemuda itu dari pukulan beracun Nam Tok.
"Aku tidak bohong!" kata Siang Bwee lantang. "Yang dahulu itu aku bohong, akan tetapi sekarang tidak, Kwee San Hong ini memang murid Pak Ong."
"Apa buktinya?" tanya Tung Kiam.
"Heh-neh-hoh-hoh-hoh, buktinya mudah saja." kata Lo Koay. "Kalian ini dua orang tua, bangka tentu tahu apa ilmu silat yang paling hebat dari Pak Ong? Nah, kalau dia murid Pak Ong, tentu dia akan mampu memainkan ilmu silat Pak Ong. Heh-heh-heh!"
"Wah, Siauw Koay, engkau memang pandai dan cerdas bukan main! Kecil-kecil begini sudah amat cerdik, sungguh mengagumkan!" kata Siang Bwee yang sudah tahu akan "penyakit" kakek aneh itu dan sengaja memuji-muji karena hatinya senang sekali. Tentu saja ia sudah masuk hitungan dalam benaknya! Ia berani mengaku bahwa San Hong murid Pak Ong, tentu agar dibuktikan dan diuji dengan ilmu silat Pak Ong!
Dipuji-puji oleh Siang Bwee, kembali muka kakek itu menjadi kemerahan dan dia tersenyum malu-malu kucing! "Iiihh enci Bwee, jangan terlalu memujiku bikin malu saja ah!"
Sementara itu, mendengar usul Lo Koay, dua orang datuk besar itu merasa girang. "Bagus sekali, Lo Kwi.....!"
"Heiii, See Mo!" Siang Bwee menegur galak. "Julukan adik tua ini adalah Lo Koay atau Siauw Koay, akan tetapi engkau sengaja memanggil Lo Kwi! Apakah engkau ingin menghinanya?"
Lo Koay girang bukan main melihat "pembelaan" Siang Bwee, dan See Mo tersipu. Di depan puteri Nam Tok ini dia sungguh mati kutu dan kalah bicara Akal bulus gadis ini untuk menarik hati orang atau untuk membikin marah orang sungguh beribu macam dan tak terduga.
"Baiklah, Lo Koay. Usulmu tadi memang tepat. Kalau orang muda ini pandai memainkan dua macam ilmu dari Pak Ong, berarti dia muridnya dan kami tidak akan mau mengganggunya sebelum tiba saat pertandingan. Akan tetapi kalau dia tidak mampu dan bukan murid Pak Ong, kami akan membunuhnya dan engkau tidak boleh mencampuri."
"Tentu saja dia murid Pak Ong!" Siang Bwee mendahului. "Akan tetapi, kalau kalian menyuruh dia memainkan ilmu-ilmu simpanan Pak Ong yang belum diajarkan kepadanya, tentu dia tidak bisa memainkannya. Suruh dia memainkan ilmu-ilmu yang biasa saja!"
"Ah, segala macam ilmu kuda goyang yang menjadi inti ilmu Pak Ong, sudah terlalu dikenal luas dan semua orang pun dapat menirukannya!" kata Tung Kiam. "Tidak, kalau memang dia murid Pak Ong, dia harus dapat memainkan ilmu It sin-ci, ilmu ciptaan baru Pak Ong yang kabarnya amat hebat."
"Juga kabarnya dia telah menyempurnakan ilmu goloknya dengan Swat-sin-to (Golok Salju Sakti). Nah, kalau dia murid Pak Ong, dia harus pandai memainkan Swat-sin-to itu!" sambung See Mo.
Kalau saja ia bukan gadis yang luar biasa cerdiknya, tentu Siang Bwee sudah bersorak girang melihat hasil pancingannya yang mengena tepat pada sasarannya itu. Ia tadi memang sengaja bicara seolah-olah ia khawatir kalau San Hong tidak mampu memainkan ilmu simpanan Pak Ong, padahal, justeru dua macan ilmu simpanan itu yang diajarkan Pak Ong kepada San Hong dan ia sendiri. Kalau San Hong disuruh memainkan ilmu silat yang biasa dari Pak Ong, malah tidak akan bisa! Akan tetapi, gadis yang cerdik ini cemberut dan kelihatan gelisah dan marah.
"Ihhh! Kalian memang benar dua orang tua yang jahat sekali!"
"Ha-ha-ha, bicaramu seperti bukan puteri Nam Tok saja, Siang Bwee!" kata Tung Kiam mengejek. "Hayo, Kwee San Hong, perlihatkan buktinya bahwa engkau murid Pak Ong dengan memainkan It-sin-ci, dan Swat-sin-to. Kalau engkau tidak mampu, kami akan membunuhmu!"
San Hong melangkah maju. "Baik, akan kucoba memainkan." Setelah berkata demikian, dia pun menggerakkan kaki tangannya dan mulailah dia memainku jurus-jurus dari ilmu menotok jalan darah dengan satu jari. Gerakannya tidak kaku lagi karena selama ini dia berlatih siang malam tanpa mengenal lelah berkat dorongan Siang Bwee.
Dan tentu saja karena ilmu silat ini diajarkan oleh Pak Ong, maka goyang kuda yang menjadi dasar ilmu-ilmu silat Pak Ong, tetap saja nampak. Bahkan kalau sedang latihan dan pinggulnya kurang bergoyang, Siang Bwee lalu memperingatkannya. Melihat permainan ilmu It-sin-ci itu, See Mo dan Tung Kiam terbelalak keheranan. Itulah It sin-ci dari Pak Ong! Dan goyang-goyang pinggul itu jelas merupakan dasar ilmu silat Raja Utara, merupakan ciri khasnya.
Melihat gaya silat yang diperlihatkan San Hong, Lo Koay nampak gembira bukan main. "Ho-ho-ha-ha-ha, benar.... itu ilmu silat khas dari Pak Ong. Lihat pinggulnya itu.....! Cihuiiiii.....!"
Dan kakek ini pun lalu menari berputar-putar sambil menggoyang-goyang pinggulnya yang kurus gepeng itu ke kanan kiri. Melihat ini, Siang Bwee juga menjadi gembira bukan main. Ia telah berhasil, San Hong telah berhasil. Bukan saja meyakinkan bahwa San Hong memang murid Pak Ong dan karenanya tidak boleh diserang, juga ia berhasil menarik Lo Koay berpihak kepadanya.
Biarpun ia sendiri belum mengenal Lo Koay, belum tahu sampai di mana kesaktian kakek jembel ini, namun melihat sikap dua orang datuk besar itu yang nampak segan dan jerih, maka dapat berkawan dengan Lo Koay sungguh membesarkan hati. Maka, melihat Lo Koay menari dengan pinggul bergoyang, ia pun terseret ke dalam kegembiraan itu dan Sian Bwee juga mulai menari!
"Ha-ha-ho-ho-ho! Tarianmu indah sekali, enci Bwee. Dan pinggulmu... aduh goyangmu hebat.....!" Lo Koay seperti anak kecil tertawa-tawa melihat goyang pinggul Siang Bwee.
Gadis ini memang memiliki tubuh indah, juga Siang Bwee memang pandai menari. Ia pernah mempelajari seni tari dan pandai menarikan bermacam tarian rakyat, maka kini ketika ia menari sambil menggoyang pinggul dengan gaya silat khas Pak Ong, tentu saja tariannya indah menarik. Dan menggoyang pinggul gaya silat khas Pak Ong tidak sukar baginya, karena ia sudah mempelajarinya dari Pak Ong!
Dua orang datuk besar itu selain terkejut dan heran, juga marah sekali, "Cukup, coba mainkan Golok Salju!" bentak Tung Kiam.
San Hong mencabut pedangnya, "Karena aku tidak mempunyai golok, biar kucoba memainkan Swat-sin-to menjadi Swat-sin-kiam (Pedang Salju Sakti). Dan ia pun mulai memainkan pedangnya. Begitu dia mulai memainkan pedang, maka hawa dingin menyambar-nyambar dan kembali dua orang datuk besar itu terkejut. Baru hawa dingin itu saja sudah membuktikan bahwa yang dimainkan pemuda itu memang benar Swat-sin-to, walaupun dimainkan dengan pedang.
Dan Lo Koay kembali menari-nari saking girangnya. Akan tetapi Siang Bwee sudah menghentikan tariannya sejak San Hong mulai bersilat pedang. Ia tahu akan kelicikan dan kecurangan See Mo dan Tung Kiam, maka ia telah siap siaga untuk melindungi San Hong kalau-kalau mereka melakukan tindakan curang.
Kekhawatiran Siang Bwee segera terbukti. Ketika Tung Kiam dan See Mo melihat betapa pemuda tinggi besar dan gagah perkasa itu ternyata mahir memainkan ilmu dari Pak Ong, tentu saja mereka menjadi semakin khawatir. Mereka tahu betapa Pak Ong membenci pemberontak, apalagi kalau yang menentang pemerintah itu orang Mongol.
Betapa Pak Ong yang terkenal sebagai seorang di antara Empat Datuk Besar itu berjiwa patriot. Dan kini muridnya telah mendengarkan percakapan mereka berdua tadi, maka kalau pemuda ini membocorkan rahasia mereka, berbahayalah!
"Dia bukan murid Pak Ong, dia ngawur, harus dibunuh!" bentak See Mo dan dia sudah menggerakkan huncwe mautnya menyerang San Hong. Serangan maut! Huncwe itu menyambar dengan ganasnya ke arah kepala San Hong.
"Trakkk!" Huncwe itu tertahan dan tertangkis oleh ranting di tangan Siang Bwee yang sudah siap siaga dan melindungi San Hong. Biarpun Siang Bwee merasa betapa lengannya yang memegang ranting itu tergetar hebat ketika bertemu huncwe, namun ia telah menyelamatkan San Hong yang sama sekali tidak mengira dirinya akan diserang secara mendadak oleh See Mo.
"See Mo, kau sungguh tak tahu malu, melanggar janjimu sendiri! Berani engkau menyerang murid Pak Ong sebelum waktu bertanding?" bentak Siang Bwee dan agar jangan sampai Iblis Barat ini menyerang lagi, ia sudah mendahuluinya dan dengan nekat ia menyerang kakek itu dengan tongkatnya, seperti seekor naga betina melindungi anaknya!
See Mo tidak menjawab cacian itu dan menangkis dengan huncwenya, karena sudah terlanjur, dia pun balas menyerang. Dan dia ingin merobohkan gadis itu lebih dulu, tidak membunuhnya melainkan menawannya, lalu membunuh San Hong dan biarpun di situ ada Lo Koay, dia tidak takut karena Tung Kiam tentu akan membantunya.
Memang perhitungannya tepat. Melihat betapa See Mo tadi gagal menyerang San Hong dan kini bertanding dan melawan Siang Bwee, dia pun cepat menggerakkan pedangnya menyerang San Hong tanpa bicara apa-apa lagi. Tentu saja San Hong cepat menangkis dengan Pek-lui-kiam.
"Tranggg.....!" Pertemuan kedua pedang itu amat hebatnya dan biarpun San Hong sudah mengerahkan seluruh tenaganya, tidak urung dia terdorong sampai tiga langkah dan terhuyung.
Sementara itu, melihat betapa dua orang kakek itu telah menyerang dua orang muda yang disenanginya, Lo Koay menghentikan tariannya dan dia memandang dengan cemberut. Dan ketika San Hong mencabut Pek-lui-kiam, dia segera berteriak-teriak.
"Ho-ha-ho-ha.....! berhenti semua. Bukankah itu Pek-lui-kiam yang kau pegang, Hong-ko?" Berkata demikian, tubuhnya tiba-tiba melayang ke arah San Hong dan biarpun pemuda itu mencoba untuk mengelak, tetap saja dia merasa tangan kanannya lumpuh dan tahu-tahu pedang Pek-lui-kiam telah berpindah ke tangan Lo Koay! Lo Koay sudah memegang pedang itu dan mengamatinya, lalu mencium pedang itu.
"Heh-heh-heh, benar Engkau Pek lui-kiam! Ah, betapa rinduku kepadamu, pedang baik sahabat lama!"
Mendengar ini, tentu saja San Hong terkejut dan terheran. Kakek jembel itu bukan saja mampu merampas pedang dari tangannya sedemikian mudahnya, akan tetapi juga mengenal pedang Pek-lui kiam dan bahkan mengatakan bahwa. pedang itu sahabat lamanya! Timbul kekhawatirannya bahwa kakek yang amat lihai itu akan merampas pedangnya, maka dengan suara membujuk seperti kepada anak kecil, mengingat akan sikap kakek itu dan sikap Siang Bwee, dia lalu mendekat dan berkata lembut.
'Siauw Koay, kembalikanlah, itu adalah pedang milikku."
"Singgg.....!" San Hong terkejut bukan main melihat sinar kilat itu dan sebagai seorang ahli silat yang sudah mencapai tingkat tinggi, dia tahu bahwa dirinya diserang secara hebat dengan pedang itu maka dia pun otomatis meloncat ke belakang. Akan tetapi, biarpun dia sudah berjungkir balik ke belakang, sinar pedang kilat itu masih membayanginya dan ketika dia menginjakkan kembali kedua kakinya di atas tanah, pedang itu tahu-tahu sudah menempel di kulit lehernya. Tentu saja San Hong terbelalak kaget dan maklum bahwa dia tidak mungkin dapat menghindarkan dirinya lagi.
"Siauw Koay, jangan bunuh dia!" Siang Bwee membentak, akan tetapi gadis ini pun tidak berani bergerak karena sedikit saja kakek aneh itu menggerakkan tangan, leher kekasihnya itu tentu akan tergorok pedang!
Akan tetapi sekali ini, agaknya Lo Koay menjadi seorang tua kembali dan lenyap sifat kekanak-kanakkannya. Dengan sinar mata mencorong dia menempelkan pedang di kulit leher San Hong dan berkata dengan suara tegas. "Engkau murid Pak Ong bagaimana dapat memiliki Pek-lui-kiam? Hayo mengaku Engkau mencurinya, ya?"
"Tidak, sama sekali tidak.....!" San Hong cepat berseru. "Aku..... aku menerima pedang itu dari guruku....."
"Huh! Jadi Pak Ong yang mencuri pedang itu, ya?"
"Bukan Pak Ong!" Kini San Hong tidak berani membohong lagi. "Guruku bukan Pak Ong....."
"Nah. dia berbohong, dia harus dibunuh!" kata Tung Kiam.
"Diam kau, Tung Kiam!" Lo Koay membentak dan aneh, suaranya amat berwibawa sehingga Tung Kiam sendiri segera terdiam walaupun mukanya berubah merah sekali karena marah. "Kwee San Hong, hayo katakan siapa gurumu yang memberikan pedang itu kepadamu!"
"Yang memberikan pedang itu adalah suhu Lui-kong Kiam-sian."
"Hah.....?" Lo Koay terbelalak. "Jadi gurumu adalah Lui-kong Kiam-sian di Thian-san?"
Kini terpaksa San Hong berterus terang. "Beliau adalah seorang di antara guru-guruku. Guru-guruku adalah Thian san Ngo-sian."
Sepasang mata kakek itu makin melebar dan kini dia tertawa bergelak-gelak lalu terkekeh-kekeh. "Ha-ha-ha-heh-heh. Engkau murid Thian-sian Ngo-sian dan menerima pedang ini dari Lui-kong Kiam sian? Dan Lui-kong Kiam-sian menerima pedang ini dariku, ha-ha-ha! Kau tahu dia itu muridku, dan empat orang yang lain dari Thian-san Ngo-sian adalah murid-murid keponakanku!"
Tentu saja San Hong merasa terkejut girang akan tetapi juga heran. Guru gurunya itu usianya tidak lebih muda dari kakek aneh ini yang mengaku sebagai sukong (kakek gurunya)! Guru-gurunya belum pernah bercerita tentang Koay. Akan tetapi, maklum bahwa kakek aneh ini amat lihai, dia pun tidak berani menyatakan keheranan dan kesangsiannya itu.
Siang Bwee yang sejak tadi mendengarkan saja, cepat mengerjakan otaknya. San Hong sudah terlanjur membuka rahasia, tentu dua orang datuk besar itu bertekad akan membunuhnya. Dan ia melihat sendiri betapa lihainya Koay dan agaknya hanya Lo Koay yang akan mampu melindunginya dari ancaman dua orang datuk besar, maka cepat ia berseru girang sekali.
"Aduh senangnya engkau, Hong-koko! Kau ternyata cucu murid dari Siauw Koay yang sakti seperti dewa, Hong-Ko bertemu dengan kakek guru, kenapa tidak cepat memberi hormat?"
San Hong sadar dan dia cepat menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. "Sukong.....!" katanya sambil memberi hormat dengan berlutut.
Kakek itu membalikkan tubuhnya membelakangi San Hong dan cemberut, sifat kekanak-kanakkannya muncul kembali! "Huh, menjemukan! Aku tidak pernah mau disembah seperti toapek-kong (arca pujaan dalam kuil). Muridku pun tidak kuperkenankan menyembah berlutut, apalagi engkau!"
Kesempatan ini dipergunakan oleh Tung Kiam untuk menyerang San Hong. "Bocah ini memang layak dibunuh!"
Melihat Lo Koay marah-marah dan membelakangi pemuda itu, Tung Kiam menganggap kesempatan terbaik untuk menyerang pemuda itu. Pemuda itu ternyata murid Thian-san Ngo-sian, bukan murid Pak Ong dan tidak ada hubungannya dengan Empat Datuk Besar. Dia sudah mencuri beberapa ilmu darinya, bahka sudah mencuri dengar persekutuannya dengan See Mo untuk membantu orang Mongol, maka harus dibunuh! Dengan pedangnya, dia menyerang dari belakang.
"Trakkk!" Kembali Siang Bwee menyelamatkan kekasihnya. Gadis ini memang selalu siap siaga dan waspada maka begitu melihat Tung Kiam menyerang, ia sudah melompat ke depan dan menangkis serangan pedang itu. San Hong juga meloncat bangun dan pada saat itu, See Mo sudah menyerangnya dari samping, menggunakan huncwe mautnya!
San Hong terpaksa melempar diri untuk mengelak, namun See Mo terus mendesak sehingga pemuda ini menjadi repot juga. Untung dia memiliki kelincahan sehingga masih mampu mengelak dan berloncatan.
Akan tetapi sampai berapa lama dia bertahan? Siang Bwee sendiri mati-matian menghadapi desakan pedang Tung Kiam dengan rantingnya. Kini Lo Koay sudah membalik dan dia menonton pertandingan itu sambil menyeringai senang, seolah-olah dia sedang menonton pertunjukkan yang menarik!
"Siauw Koay, bantulah kami!" berulang kali Siang Bwee berteriak namun kakek aneh itu hanya tersenyum simpul saja.
"Singgg.... crakkk!" Ranting ditangan Sing Bwee patah menjadi dua ketika bertemu untuk kesekian kalinya dengan pedang di tangan Tung Kiam. Melihat ini, Siang Bwee meloncat mundur, dikejar oleh Tung Kiam. Gadis itu lalu lari ke belakang tubuh Lo Koay. Ketika Tung Kiam mengejar, ia berputar-putar mengitari tubuh Lo Koay yang dijadikan perisai.
Tentu saja Tung Kiam tidak mau mencari penyakit, tidak mau menyerang sampai mengenai diri kakek aneh itu. Dia hanya mengejar dan mencoba untuk menangkap gadis itu sehingga mereka berputaran di sekeliling tubuh Lo-Koay seperti dua orang anak-anak bermain-main kucing dan tikus.
"Siauw Koay, bantulah aku! Bukankah aku ini enci Bwee yang kau senangi? Bantulah aku, aku diancam oleh tua bangka busuk ini!" Siang Bwee berseru, penuh rasa gelisah, bukan untuk diri sendiri karena ia yakin bahwa Tung Kiam tidak akan berani membunuhnya, melainkan gelisah memikirkan nasib San Hong yang kini sudah makin dihimpit oleh See Mo.
"Heh-heh-heh, enci Bwee, jangan khawatir, Tung Kiam jelas tidak akan membunuhmu, tidak akan menyakitimu."
"Wuuuttt!" Hampir saja pundak Siauw Bwee dapat dicengkeram Tung Kiam akan tetapi gadis itu menyelinap di balik pinggul Lo Koay yang tanpa disengaja agak ditonjolkan, maka cengkeraman itu luput.
"Siauw Koay, tolonglah Hong-koko. Tolonglah, bukankah dia itu cucu muridmu?"
"Heh-heh-heh, aku tidak biasa menolong atau ditolong."
"Tolonglah, Siauw Koay, sekali ini saja, pandang mukaku....." Siang Bwee meratap, bingung dan gelisah.
Sambil menyeringai dan menggoda seperti anak nakal, Lo Koay bertanya, "Kalau aku membantu, kau mau memberi apa? Hayo katakan, engkau mau memberi apa, enci yang manis?"
Diam-diam Siang Bwee terkejut. Celaka, pikirnya. Jangan-jangan kakek setengah gila ini selain lihai sekali juga mempunyai penyakit cabul! Hal ini tak pernah disangka-sangkanya, maka ia menjadi gugup, hampir saja lengan kirinya tertangkap Tung Kiam, akan tetapi kini, kakek aneh itu menggerakkan lengan ke depan sehingga menghalangi tangan Tung Kiam yang sudah hampir dapat menangkap lengan gadis itu.
"Apa.... apa yang kau minta.....?" tanya Siang Bwee, suaranya gugup.
"Ada dua....."
"Ya..... apa itu...?"
"Pertama, engkau harus memberi upah tarian kepadaku!"
"Menari.....? Ya, ya, aku mau.... " Siang Bwee kembali menyelinap karena Tung Kiam nampaknya menjadi semakin penasaran. Akan tetapi hati gadis itu masih belum lega karena belum tahu apa permintaan ke dua. Jangan-jangan permintaan ke dua itu yang cabul!
"Yang ke dua....." Kakek itu menjulurkan lidahnya dan menjilat-jilat bibirnya, membuat Siang Bwee bergidik. Lidah itu begitu panjang dan kemerahan!
"Yang ke dua apakah, Siauw Koay?" desaknya tak sabar.
"Yang ke dua, kau harus..... hemm, membikinkan masakan yang lezat untukku!"
Plong rasa hati Siang Bwee dan tiba-tiba ia pun tertawa cekikikan saking lega dan geli hatinya. Orang tua ini sudah benar-benar kembali seperti kanak-kanak dan ia tadi mengkhawatirkan yang bukan bukan. "Baik, kuterima permintaanmu. Nah, bantulah kami!"
"Singgg.....!" Pedang Pek-lui-kiam ditangan Lo Koay bergerak dan nampak sinar bergulung-gulung menghadapi Tung Kiam yang menjadi terkejut sekali dan ia meloncat mundur sampai jauh. Lo Koay tidak mempedulikannya lagi, lalu kini tubuhnya berkelebat, dia sudah tiba di dekat tempat San Hong didesak See Mo.
"Tranggg......" Nampak bunga api berpijar menyilaukan mata ketika huncwe di tangan See Mo tertangkis Pek-lui-kiam, Iblis Barat itu pun agak terhuyung melangkah mundur.
Siang Bwee sudah menarik tangan San Hong, diajak mundur. Kini Lo Koay dengan pedang di tangan menghadapi See Mo dan Tung Kiam.
"See Mo dan Tung Kiam! Kalian ini tua bangka hendak menghina orang-orang muda. Hayo pergi tinggalkan mereka atau terpaksa aku akan melupakan bahwa kalian adalah dua orang di antara empat Datuk Besar!"
See Mo dan Tung Kiam saling pandang. Mereka maklum akan kesaktian kakek aneh itu dan walaupun mereka tidak takut, akan tetapi dua orang muda itu tentu akan membantu Lo Koay dan mereka juga bukan lawan yang lunak terutama San Hong. Dan andaikata mereka sampai membunuh San Hong, tentu Thian-san Ngo-sian takkan tinggal diam Kalau sampai mereka bermusuhan dengan Thian-san Ngo-sian, hal itu sungguh tidak menguntungkan mereka berdua.
Juga mereka tidak berani membunuh Siang Bwee, puteri Nam Tok. Mereka membayangkan betapa akan malunya mereka, kalau sampai tidak mampu menandingi Lo Koay, kakek gila itu. Maka, yang paling menguntungkan hanya mengundurkan diri dan tidak mencari penyakit. Akan tetapi, rahasia persekutuan mereka telah didengarkan dua orang muda tadi!
"Lo Koay, kami pun bukan orang-orang yang biasa menghina yang muda juga kami tidak ingin bermusuhan denganmu. Akan tetapi, dua orang muda ini telah mendengarkan percakapan rahasia kami, oleh karena itu, mereka harus berjanji dulu bahwa mereka tidak akan membocorkan rahasia kami, baru kami mau melepaskan mereka," kata Tung Kiam hati-hati.
"Tung Kiam dan See Mo, memang kalian adalah dua orang tua yang tidak layak dihormati. Biasanya aku bersikap hormat dan menyebut paman kepada kalian, akan tetapi sekarang aku tidak sudi lagi! Kalian tidak suka memegang janji, dan kalian curang! Kalian berdua membuat persekutuan untuk membantu orang Mongol, apa hubungannya hal itu dengan aku dan Hong-ko? Tanpa berjanji pun, kalian tidak usah khawatir. Kami tidak akan sudi mencampuri urusan kotor kalian!" kata Siang Bwee.
Gadis ini memang cerdik bukan main. Ia menyatakan tidak mau membocorkan rahasia mereka, akan tetapi dengan suara lantangnya ia seperti juga memberi tahu akan persekongkolan itu kepada Lo Koay! Ia dan San Hong tidak akan membocorkan, akan tapi Lo Koay kini juga mengetahui dan apa yang dapat melarang kakek miring otaknya ini untuk tidak bicara kepada oranng lain?
"Heh-heh-hoh-hoh, benar sekali kau enci Bwee. Hayo kalian dua ekor anjing buduk tua ini pergi dari sini!" kata Lo Koay sambil menyeringai.
Dua orang datuk besar itu tentu saja menjadi marah dan penasaran bukan main. Selama puluhan tahun ini mereka diakui di dunia kang-ouw sebagai tokoh-tokoh besar yang disegani dan ditakuti. Biasanya merekalah yang membentak dan memerintah, biasanya mereka yang memaksakan kehendak mereka dan hampir tidak pernah ada orang berani menenti mereka. Menentang mereka berarti mati.
Akan tetapi, hari ini mereka dibentak-bentak, dicaci-maki oleh gadis putri Nam Tok dan oleh seorang kakek jembel. Biarpun mereka berdua tidak ingin menderita malu kalau sampai kalah oleh Lo Koay yang mungkin akan dibantu orang muda itu, namun untuk pergi begitu saja seperti dua ekor anjing diusir dengan makian, mereka juga enggan.
"Lo Koay, kalau engkau dapat menerima serangan kami ini, baru kami mau pergi!" bentak Tung Kiam dan tanpa berunding.
See Mo sudah mengerti dan menyetujui niat hati rekannya itu. Dengan berbareng, keduanya lalu mengerahkan tenaga sepenuhnya dan menerjang ke depan. Tung Kiam menggerakkan pedangnya dan See Mo menggerakkan huncwenya. Dua buah senjata ampuh itu menyambar dahsyat seperti kilat menyambar, merupakan serangan maut yang mengancam nyawa Lo Koay.
San Hong dan Siang Bwee yang melihat ini menjadi khawatir sekali. Akan tetapi serangan itu terlampau dahsyat, dan mereka berdiri di belakang Lo Koay sehingga mereka tidak sempat lagi untuk membantu, hanya memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak.
"Tranggg..... cringgggg.....!"
Mata menjadi silau karena muncratnya bunga api juga dua orang muda itu merasakan getaran hebat sekali ketika pedang Pek-lui kiam di tangan Lo Koay bertemu dengan pedang di tangan Tung Kiam dan huncwe di tangan See Mo. Pertemuan senjata itu mewakili pertemuan tenaga mereka dan akibatnya memang hebat.
Kedua orang datuk besar itu terdorong mundur sampai lima langkah dengan muka pucat, sedangkan Lo Koay sendiri pun tubuhnya bergoyang-goyang biarpun kakinya tidak sampai melangkah ke belakang. Dua orang datuk besar itu terkejut bukan main dan tanpa banyak cakap mereka lalu berlompatan pergi, meninggalkan Lo Koay yang masih berdiri seperti patung.
Setelah kedua orang datuk besar itu lenyap dan tidak nampak bayangannya lagi, barulah terdengar Koay mengeluh, kemudian dia menjatuhkan diri bersila di atas tanah lalu mengatur pernapasan. San Hong dan Siang Bwee maklum bahwa kakek itu tadi mengalami gempuran tenaga sakti yang amat dahsyat.
Dan kini sedang menghimpun hawa murni untuk memulihkan tenaga dan melindungi tubuh sebelah dalam dari luka yang mungkin diakibatkan oleh tenaga dahsyat tadi. Sepuluh menit kemudian, Lo Koay mengeluarkan tarikan napas panjang, terdengar dia bergumam.
"Hemmm, bukan nama kosong saja See Mo dan Tung Kiam. Melawan seorang demi seorang, mungkin aku masih menang sedikit, akan tetapi menghadapi mereka berdua, sungguh berat dan berbahaya....."
"Siauw Koay, engkau telah menyelamatkan kami berdua! Sungguh engkau hebat sekali dapat mengundurkan dua orang datuk besar itu. Kami amat berterima kasih kepadamu!"
"Aku juga menghaturkan terima kasih kepadamu, Siauw Koay." kata San Hong menirukan Siang Bwee walaupun sesungguhnya di dalam hatinya dia amat kagum dan hormat kepada kakek itu, akan tetapi biar terasa kikuk, dia memaksa diri menyebutnya Siauw Koay.
Kakek itu bangkit berdiri dan menyerahkan Pek-lui-kiam kepada San Hong. "Simpanlah pedangmu ini dan berhati-hatilah menjaganya."
Setelah San Hong menerima pedang itu dengan hormat dan menyimpannya, tiba-tiba kakek itu tertawa dan dia kembali bersikap seperti kanak-kanak, "Heh-heh-heh, sekarang aku menagih janji. Hayo kau menari yang indah untukku, enci Bwee!"
Siang Bwee tersenyum, manis sekali. Ia merasa bukan saja amat gembira karena ia dan San Hong telah terhindar dari ancaman malapetaka, akan tetapi juga ia girang bertemu dengan kakek yang ternyata amat lihai itu....