Pedang Asmara Jilid 26 karya Kho Ping Hoo - SEORANG diri mampu mengundurkan See Mo dan Tung Kiam! Bukan main! Ayahnya sendiri, Nam Tok, ia yakin tidak akan mampu menandingi pengeroyokan dua orang datuk besar itu. Maka, kalau saja San Hong dapat menerima petunjuk dan gemblengan kakek itu, tentu dia akan memperoleh kemajuan pesat dan akan berhasil mengalahkan semua wakil para datuk besar!
Demikian besar perasaan kasih sayangnya kepada San Hong sehingga yang diutamakan hanyalah pemuda itu. Dan kini benaknya yang amat cerdik itu sudah mengatur siasat lagi bagaimana untuk dapat memaksa kakek aneh ini menurunkan ilmu-ilmunya kepada San Hong!
"Tentu saja aku akan menari untukmu, Siauw Koay. Akan tetapi, karena aku lelah sekali, aku hanya akan menarikan sebuah tarian pendek saja untukmu ini. Lain kali aku akan menarikan tari yang lebih panjang dan lebih indah, Hong-koko, kau bantulah aku dengan tepuk tangan untuk mengatur irama nyanyian dan tarianku!"
Siang Bwee lalu mulai bernyanyi sambil bertepuk tangan mengatur irama, San Hong membantunya dan ikut pula bertepuk tangan, dan mulailah gadis itu menari, mengikuti irama tepukan tangan sambil masih terus bernyanyi. Siang Bwee memang pandai menari dan pandai pula bernyanyi dengan suaranya yang nyaring dan merdu.
Akan tetapi dengan penuh perhitungan, ia hanya menarikan sebuah tarian pendek saja, padahal kakek Koay sudah mulai gembira bukan main menirukan gerakan tari gadis itu sambil tertawa-tawa gembira terseret oleh irama nyanyian dan tarian.
"Ihhh! Kenapa berhenti? Menarilah lagi, enci Bwee yang baik!" Dia merengek seperti anak kecil.
"Untuk saat ini cukup sudah. Nanti lain kali akan kunyanyikan sebuah nyanyian rakyat suku Hui berikut tariannya yang amat panas dan gembira!" Siang Bwee memancing.
"Aduh, ingin sekali aku melihat dan mendengarnya, Enci! Sekarang saja!" kakek itu kembali merengek.
"Aku lelah, Siauw Koay," Siang Bwee menghibur seperti kepada seorang anak kecil yang rewel. "Aku sudah memenuhi janjiku yang pertama, dan kini janji kedua. Aku akan masak yang enak untukmu."
"Masak? Wahhh, perutku lapar bukan main!"
"Akan tetapi karena aku lelah, maka harus engkau yang mencarikan bumbu-bumbu yang kubutuhkan, dan engkau Hong-ko, yang mencarikan dagingnya di hutan."
Kakek itu menjulurkan lidah dan menjilati bibirnya. "Aih, perutku sudah lapar sekali. Bumbu apa yang kau butuhkan? Ke mana aku harus mencarinya?"
"Siauw Koay, kenapa engkau begini bodoh? Mencari bumbu tentu saja di dusun, di bawah bukit sana itu. Aku butuh garam, gula, minyak goreng. Jahe, tepung dan kecap. Nah, pergi carilah ke sana."
"Baik, enci Bwee aku cari bumbu!” Suaranya masih bergema akan tetapi orangnya sudah lenyap, demikian cepatnya kakek itu bergerak pergi, seperti menghilang saja.
San Hong memandang kagum sekali. "Dia..... dia sakti, hebat seperti dewa saja." katanya kagum.
"Karena itu kita harus dapat memanfaatkannya, Koko. Engkau turuti sajalah siasatku, pasti dia akan menurunkan ilmu-ilmunya kepadamu. Nah, sekarang engkau pergi mencari binatang hutan."
"Apa? Kijang? Kelinci?"
"Jangan. Tangkap saja seekor dua ekor burung atau ayam hutan, yang kurus saja."
"Ehhh? Kenapa tidak memberikan masakan yang paling lezat? Kenapa hanya burung atau ayam kurus?"
"Sudahlah, kataku tadi, turuti saja siasatku. Seleranya harus dibangkitkan perlahan-lahan agar dia selalu menginginkan lebih! Cepat pergi lakukanlah permintaanku itu, Koko dan jangan banyak membantah."
Biarpun hutan itu hanya dekat, karena mereka pun sudah berada di tengah hutan di puncak dan hutan yang banyak binatangnya berada di lereng, dan menangkap dua ekor ayam hutan itu pun bukan pekerjaan sulit bagi San Hong, cukup dengan melemparkan dua buah batu kecil saja, namun ketika dia kembali ke puncak membawa dua ekor bangkai ayam hutan, kakek itu pun sudah kembali dengan membawa bumbu-bumbu yang di pesan Siang Bwee. Padahal dusun itu letaknya di kaki bukit!
"Mana panci dan prabot dapur untuk masak, Siauw Koay?"
"Wah, bagaimana engkau ini, enci Bwee. Tadi engkau tidak memesan semua prabot itu!"
"Ih, Siauw Koay, bagaimana engkau begini bodoh? Biarpun tidak kupesan, sepatutnya engkau tahu sendiri kebutuhan itu. Tanpa alat masak, bagaimana aku dapat memasakkan engkau? Ingat, siang hari ini aku akan memasakkan masakan Ca Burung Hong untukmu. Pernahkah engkau merasakan masakan Ca Burung Hong?"
Kakek itu membelalakkan matanya dan kini tak dapat ditahan lagi, dan ujung bibir menetes air liur! "Ca Burung Hong? Waduh, enci Bwee, alangkah enaknya!"
"Sedap dan lezat, maka cepat kau cari prabot itu....." belum habis Siang Bwee bicara, kakek itu sudah lenyap dari situ.
"Ah, Bwee-moi, kenapa engkau bohong dan mempermainkan dia? Mana ada burung Hong? ini hanya ayam hutan....."
"Ssstt, tutup mulut dan bantu saja aku. Cepat kau cabuti semua bulu kedua ayam hutan itu, buang ususnya dan cuci di sumber air itu sampai bersih. Aku hendak mencari daun penyedap....." Gadis itu lalu berlari memasuki hutan.
San Hong menggeleng kepalanya, namun dia percaya penuh akan kecerdikan gadis itu. Gadis yang hebat, dia memuji dengan hati bangga. Dan amat mencintanya! Dan juga amat dicintanya!
Siang Bwee bekerja dengan cekatan sekali. Daging kedua ayam hutan itu dipotong-potong dengan cepat namun hati-hati, melintang sehingga serabut daging itu terpotong, kemudian diremasinya potongan daging itu dengan dua macam pucuk daun tertentu yang mendatangkan kesedapan yang khas.
Daging itu bukan saja kini mempunyai aroma yang khas, akan tetapi juga warnanya menjadi putih kemerahan segar! Dan khasiat daun-daun itu bukan saja mendatangkan kesedapan aroma, akan tetapi juga dapat membuat daging itu menjadi lunak kalau dimasak.
Ketika kakek itu datang, membawa segala macam panci, senduk besar, mangkuk sumpit dan segala macam keperluan masak dan makan, San Hong sudah membuat api unggun yang besar, sesuai dengan permintaan Siang Bwee. Gadis itu lalu memasukkan daging yang sudah dipotong-potong itu ke dalam panci memberinya bumbu dan air, dan mulailah ia memasak dengan sikap sungguh-sungguh, kadang menggigit bibir sendiri, dan gerakan tangannya amat cekatan.
Panci itu ia tutup rapat dan api diperbesar sampai terdengar suara air mendidih. Ia membiarkan air mendidih sampai beberapa lamanya, barulah dibukanya penutup panci. Uap mengepul tebal dari dalam panci menyergap ke mana-mana, juga ke hidung San Hong dan Lo Koay. Kakek iti mendengus-dengus dan kembali air liurnya menetes.
"Waaahhhhh, sedaaappp.... aduh, baru baunya saja sudah begini lezat. Hebat sekali! Daging burung Hong sungguhankah yang kau masak itu, enci Bwee?"
Siang Bwee melirik girang dan tersenyum. "Tentu saja! Kau kira apa? Ayam tetangga? Huh, aku tidak akan masak binatang sembarangan saja!"
Setelah masakan itu matang, Siang Bwee menurunkan pancinya dari atas api unggun dan belum juga dipersilakan, Lo Koay sudah mendahului, menggunakan senduk besar mengambil daging dan kuah ke dalam mangkoknya. Kemudian, dengan lahapnya dia makan daging, menggunakan sumpit, kadang kadang menyelingi dengan meminum kuahnya dari bibir mangkok.
"Nyam-nyammm..... waduh enaknya! Lezatnya! Dagingnya harum, sedap, gurih..... hemmm, dan kuahnya juga enak. Bukan main......!" Cepat sekali makannya hingga kalau Siang Bwee dan San Hong baru mengambil semangkok, kakek itu sudah mengambil lima kali mangkok penuh! Dan ketika dua orang muda itu mengambil untuk ke dua kalinya, isi panci sudah kosong!
"Aduh, enak..... enak.....! Enci Bwee, kau hebat. Ahli tari, ahli nyanyi, ahli masak! Uwah, kalau aku hidup dekat denganmu, setahun saja, tentu tubuhku akan menjadi gendut gemuk seperti babi. Heh-heh-heh. Sayang, tadi tidak ada nasinya. Tapi cukuplah..... wah, enaknya di mulut dan di perut!"
Siang Bwee tersenyum dan mengerling penuh arti kepada San Hong. "Siauw Koay, aku sudah memenuhi janjiku tadi. Aku sudah menari untukmu, dan aku sudah memasak untukmu. Akan tetapi karena aku lelah, seperti kukatakan tadi, apa yang kuberikan ini bukan apa-apa, belum ada artinya, belum ada seperseratus semua ilmuku menari dan memasak. Siauw Koay, apa yang kutarikan tadi biasa saja. Coba kalau engkau melihat aku menarikan tarian-tarian rakyat dari suku-suku di empat penjuru.
"Dan tentang masakan? Hemmm, kalau saja engkau dapat merasakan masakanku yang istimewa, ribuan macam banyaknya. Pernahkah engkau makan sop lidah harimau? Bestik kaki biruang? Atau masakan Ca Jamur Telinga Harimau dicampur hati naga? Atau panggang anak singa? Masih banyak lagi...."
Sepasang mata kakek itu terbelalak lebar. Selama hidupnya yang sudah enam puluh tahun lebih itu, belum pernah dia mendengar nama-nama masakan seperti itu, jangankan merasakannya. Lidahnya sudah bergoyang mendengarnya dan mulutnya basah air liur. Dia hanya menggeleng kepala dan sampai lama tak mampu mengeluarkan suara. Matanya membayangkan tarian-tarian indah seperti tarian bidadari kahyangan, dan mulutnya merasakan semua masakan istimewa itu.
"Aduh, enci Bwee yang baik. Kasihanilah aku, perlihatkanlah semua tarian itu dan beri aku masakan yang istimewa itu. Jangan kau siksa aku, Enci."
"Enaknya! Engkau mau enak sendiri saja, ya? Aku yang disuruh susah payah, dan engkau yang enak-enak nonton dan makan!"
"Habis, aku disuruh apa? Katakanlah, enci yang baik. Disuruh apa pun aku mau asal engkau suka menari dan memasak untukku."
"Hemmm, engkau punya apa untuk diberikan kepadaku sebagai imbalannya?"
Kakek itu memandang bingung. "Punya apa? Aku tidak punya apa-apa, aku seorang yang miskin. Apa yang bisa kuberikan kepadamu?"
"Banyak yang dapat kau berikan, asal engkau tidak kikir dan tidak mau enak sendiri. Aku memberi hiburan tarian dan makanan lezat yang hanya pantas dinikmati para raja, maka sudah sepatutnya kalau engkau pun memberikan apa yang kau miliki kepadaku."
"Yang kumiliki? Aku hanya punya tongkat butut, pakaian butut, apa lagi..."
"Siauw Koay, begitu bodohkah engkau? Engkau memiliki banyak macam ilmu silat. Nah, kau berikan ilmu-ilmumu yang paling tinggi, dan aku akan memberikan tarianku yang paling indah membuat masakan yang paling lezat. Setiap kali aku menari dan memasak engkau menukarnya dengan satu jurus ilmu silatmu yang paling ampuh. Bagaimana?"
Lo Koay mengangguk-angguk. "Bagus, bagus, aku mau! Tarian dan nyanyianmu dapat kunikmati, juga masakanmu. Akan tetapi untuk apa ilmu-ilmu itu bagimu! Hanya merepotkan saja!"
"Biarlah, Siauw Koay. Aku memang orangnya suka repot. Pula, yang melatih ilmu-ilmu darimu itu bukan aku, melainkan Hong-ko. Setiap kali engkau membayar dengan ilmu-ilmu itu, agar kau berikan kepada Hong-koko untuk di latih."
"Ehhh? Engkau yang menari dan memasak, kenapa harus Hong-ko yang menerima upahnya?"
"Karena dia itu masih cucu muridmu hingga lebih berhak mempelajari ilmumu, karena aku dilarang oleh ayahku mempelajari ilmu silat orang lain....."
”Uwah! Jangan sebut-sebut dia cucu muridku. Cucu murid atau buyut murid, tidak ada hubungannya dengan penukaran ilmu ini. Ilmu menari dan memasak di tukar ilmu silat. Dan tentang ayahmu yang melarang engkau menerima ilmu itu, akan kutangkap dia, kutelungkupkan di atas kedua pahaku, dan akan kuhajar pinggulnya sampai matang biru dan bengkak sehingga seminggu lamanya dia tidak dapat duduk!"
Akan tetapi mendengar ini, Siang Bwee tidak tertawa, bahkan ia cemberut. "Kalau kau tidak mau mengajarkan ilmu silatmu kepada Hong-ko, aku pun tidak sudi menari dan memasak untukmu, Siauw Koay. Dia lebih berbakat daripada aku. Apa engkau ingin keadaannya diputar balik, Hong-koko yang menari dan memasak untukmu, dan upah ilmu silat itu kau berikan kepadaku?"
Kakek Itu terbelalak dan dia memandang kepada San Hong sambil menggeleng-geleng kepala. "Apa? Paling-paling hanya bisa goyang pinggul seperti Pak Ong dan suaranya tentu sumbang, tentang masakan, jangan-jangan yang disuguhkan masakan yang angus dan hambar. Uh, aku tidak mau diputar balik!"
"Jadi engkau menerima syaratku?"
"Nanti dulu. Enci Bwee, engkau yang bersusah payah, kenapa harus Hong-ko yang menerima upahnya?" tanya pula kakek itu, penasaran.
Mendengar pertanyaan ini, dengan wajah berubah kemerahan Siang Bwe memandang kepada kakek itu dan mengerling ke arah San Hong, lalu membuat pengakuan lantang, "Karena aku cinta padanya, Siauw Koay."
"Ehhh? Ohhh? Cinta? Kalau begitu kalian akan menjadi suami isteri?"
Siang Bwee mengangguk. "Akan tetapi dia harus mampu mengalahkan murid murid para datuk besar dulu."
Kakek itu tertawa terkekeh-kekeh. ”Heh-heh heh, kalau mempelajari ilmuku, jangankan murid para datuk besar, biar para datuk itu sendiri akan dapat dikalahkan Hong-ko. Baik, aku terima syaratmu. Kau menari dan memasak untukku, dan aku mengajarkan ilmu kepada Hong-kokomu itu!"
Kembali gadis yang cerdik itu berhasil dan sekali ini, kegirangan hatinya tidak disembunyikan. Ia bersorak lalu langsung saja ia menari-nari di depan Siauw Koay yang menjadi gembira sekali, bertepuk-tepuk tangan membuat irama.
Demikianlah, mulai hari itu, mereka bertiga tinggal di puncak bukit dan setiap hari Siang Bwee menari dan memasak untuk Lo Koay, dan sebagai upahnya, San Hong menerima pelajaran ilmu ilmu silat yang tinggi dan aneh dari Lo Koay.
Tiong Sin nampak uring-uringan, akan tetapi karena Kui Lan membalapkan kudanya sejak tadi, dia pun tidak sempat bicara, hanya menahan perasaan kecewa dan dongkolnya di dalam hati. Setelah mereka menghentikan kuda mereka di luar. sebuah hutan untuk membiarkan binatang tunggangan mereka beristirahat, barulah dia memperoleh kesempatan untuk melontarkan kedongkolan hatinya melalui mulut.
"Sumoi, sungguh aku tidak mengerti akan sikapmu. Kenapa engkau membiarkan saja mereka itu pergi? Mereka telah menghina kita dan mereka itu layak dibunuh."
Kui Lan menggeleng kepalanya. "Aku pun tidak suka kepada puteri Nam Tok yang sombong itu, Suheng. Betapa inginku membunuhnya! Akan tetapi, kita harus memegang teguh janji antara ayahku dan para datuk besar lainnya."
"Janji akan mengadakan pertemuan dan pertandingan di puncak Thay-san itu Sumoi? Ihhh, apa artinya sebuah janji. Justeru kalau kita membunuh mereka sekarang, nanti pada saat pertemuan lawan kita berkurang dan tidak begitu berat lagi!"
Kui Lan melompat seperti dipagut ular dan sepasang matanya mencorong penuh kemarahan. "Suheng!" suaranya membentak marah. "Jangan engkau sekali-kali mengeluarkan ucapan seperti itu lagi! Kau tahu, andaikata ucapanmu tadi terdengar ayah, jangan harap engkau masih dapat hidup. Engkau akan dibunuhnya seperti aku akan membunuhmu kalau engkau berkata seperti itu lagi di depanku!"
Tentu saja Tiong Sin menjadi terkejut bukan main sehingga wajahnya berubah pucat. "Eh, apa..... apa salahku, Sumoi?"
"Apa salahmu? Ucapanmu tadi! Ketahuilah bahwa kami adalah orang-orang yang mempertaruhkan kehormatan lebih tinggi daripada nyawa. Janji merupakan ikatan kehormatan dan sekali kami berjanji, sampai mati pun akan kami pegang teguh! Sudahlah, mari kita lanjutkan perjalanan kita."
Tiong Sin tidak berani banyak bicara lagi. Memang dia telah berhasil memikat hati Kui Lan, bahkan telah berhasil memiliki tubuh gadis itu berkat pengaruh Pedang Asmara. Akan tetapi dia tahu bahwa gadis ini dan ayahnya adalah orang orang yang aneh. Sudah jelas Pak Ong merupakan seorang di antara empat datuk besar, seperti raja golongan sesat akan tetapi puterinya masih bicara tentang kehormatan dan memegang janji seperti itu! Sungguh dia tidak mengerti.
Mereka melanjutkan perjalanan dengan cepat dan akhirnya tibalah mereka di tempat yang mereka tuju, yaitu Pegunungan Butai-san di Propinsi Shansi sebelah timur laut. Kui Lan yang pernah berkunjung ke tempat itu menjadi penunjuk jalan. Setelah tiba di lereng yang terjal, Kui Lan menyuruh Tiong Sin menambatkan kuda mereka di sebatang pohon, dan mengajak suhengnya melanjutkan perjalanan ke puncak dengan jalan kaki.
"Kenapa harus jalan kaki, Sumoi. Kulihat jalannya masih cukup lebar dan dapat dilalui dengan menunggang kuda."
"Engkau belum mengenal siapa bibi guru kita itu, Suheng." kata Kui Lan sambil tersenyum manis, "la adalah seorang ahli ilmu silat beracun yang paling hebat di dunia ini! Siapapun yang belum mengenal tempat ini, jangan harap akan mampu naik ke puncak. Dia akan mati keracunan sebelum tiba di puncak. Apalagi berkuda! Berjalan kaki pun berbahaya sekali. Kau tahu, di setiap tempat sepanjang pendakian ke puncak, terkandung jebakan dan racun yang akan mematikan tiap orang tamu, betapapun lihainya, kalau dia belum mengenal rahasia jalan pendakian itu. Karena itu, engkau baik-baik berjalan di belakangku, dan langkahmu harus selalu tepat menginjak jejak kakiku."
Tiong Sin bergidik. Demikian lihainya bibi guru yang akan mereka kunjungi itu lebih menyeramkan daripada Pak Ong sendiri! Dia tidak berani banyak cakap lagi, lalu mengikuti jejak Kui Lan, mulai mendaki bukit yang nampak sunyi itu. Dan cara Kui Lan mendaki memang aneh. Ada jalan lurus, gadis itu memilih jalan memutar-mutar, kadang-kadang mengelilingi sebatang pohon besar!
Ia membaca tanda-tanda yang hanya dapat dibaca oleh mereka yang sudah mengenal rahasia tempat itu. Sekali saja salah langkah menginjak alat rahasia, maka dia akan terperangkap dan diserang bermacam senjata beracun yang amat berbahaya!
Ketika mereka tiba di puncak, Kui Lan berhenti di luar pagar pekarangan di depan sebuah bangunan putih yang besar. Nampak sunyi saja di pekarangan yang dihias bermacam pohon dan bunga itu. Kemudian, Kui Lan mengerahkan tenaga khi-kang dari dalam perutnya, dan suaranya menggetar melayang ke arah rumah putih itu.
"Su-kouw (Bibi Guru)..... keponakanmu Ji Kui Lan datang mohon menghadap.....!"
Suara yang tinggi nyaring itu bergema di empat penjuru. Setelah gema suara itu menghilang, suasana menjadi sunyi sekali, sunyi menegangkan. Tak lama kemudian pintu depan rumah putih besar itu terbuka dari dalam dan nampak dua orang wanita membuka dan menggelar gulungan babut merah dari pintu itu menuju keluar.
Gulungan babut yang lebarnya hanya satu meter itu ternyata panjang sekali dan setelah gulungan itu habis digelar, ujungnya tiba di depan kaki Tiong Sin dan Kui Lan? Dua orang wanita itu itu berdiri di kedua sisi, di luar pintu pagar, membungkuk dan seorang di antara mereka berkata.
"Silakan masuk, Siocia dan Kongcu (Nona dan Tuan Muda)!"
Dengan lagak angkuh Kui Lan mengangguk lalu melangkah ke dalam pekarangan melalui atas babut merah yang digelar itu. Tiong Sin selangkah di sampingnya.
"Bukan main, suatu kehormatan besar." bisik Tiong Sin ketika mereka melangkah menuju ke pintu depan rumah besar putih itu.
"Kehormatan basar apanya?" jawab Kui Lan. "Di atas babut inilah satu-satunya jalan masuk. Tanpa babut, sebelum tiba di pintu itu engkau akan roboh tak bernyawa. Jalan ini penuh racun!"
Wajah Tiong Sin berubah dan dia bergidik. Sungguh berbahaya bagi seorang asing, atau lawan yang mencoba-coba untuk mengganggu pemilik rumah ini, pikirnya. Setibanya di pintu, mereka disambut seorang pelayan wanita lagi, yang usianya kurang lebih empat puluh tahun dan nampak gesit dan kuat.
"Selamat datang, Ji Siocia (Nona Ji)!" kata pelayan itu ramah. "Toanio (Nyonya Besar) menunggu Ji-wi (Kalian) di ruang tamu. Silakan."
Mereka lalu memasuki rumah itu tak lama kemudian mereka tiba di sebuah ruangan tamu yang amat luas dan indah, penuh dengan lukisan dan tulisan yang tergantung di dinding putih. Ketika Tiong Sin memandang ke dalam, menjadi semakin kagum. Ruangan itu demikian luasnya sehingga selain dapat menjadi tempat duduk atau ruangan tamu yang berhawa sejuk, juga dapat pula orang bermain atau berlatih silat dengan enaknya di situ, karena lantainya ditilami permadani berwarna merah muda yang tebal.
Di sebelah kiri terdapat jendela jendela berbentuk bulat, dan dari jendela itu orang dapat melihat bunga-bunga taman yang sedang mekar dengan indahnya. Sebuan kolam ikan dengan air mancur, selain mendatangkan kesejukan dan penglihatan yang indah, juga mengeluarkan bunyi air gemercik yang mengasyikkan pendengaran.
Akan tetapi kini pandang mata Tiong Sin terikat kepada sesosok tubuh yang sedang duduk di atas sebuah kursi gading. Kursi itu indah dan pantasnya hanya terdapat di dalam istana kaisar. Sebuah kursi terbuat dari gading yang diukir kepala naga dan kepala burung Hong, amat halus dan indah. Dan yang duduk di atas kursi itu amat menarik perhatian Tiong Sin.
Ia seorang wanita yang usianya sudah lima puluh tahun. Rambutnya sudah putih seluruhnya, putih mengkilap panjang terurai sampai ke pinggang. Melihat rambut yang sudah putih semuanya itu, seolah-olah rambut yang sudah menjadi uban semua. Akan tetapi rambut itu gemuk mengkilap, panjang dan nampak sehat! Dan wajah itu! Tidak pantas wajah seorang wanita yang usianya sudah setengah abad. Seperti berusia tiga puluh tahun lebih saja! Dapat dibayangkan bahwa ketika mudanya, wanita ini cantik luar biasa.
Dan memang Pek-mo Kui-bo Gan Cin Nio seorang wanita yang cantik. Julukannya Pek-mo Kui-bo (Biang Hantu Rambut Putih) jelas didapatkannya karena rambutnya yang putih semua. Dan ia memang pantas pula disebut Biang Hantu karena sepak terjangnya yang mengerikan kalau ia berhadapan dengan musuh, la seorang ahli racun yang amat berbahaya bagi lawan, di samping ilmu silatnya yang tinggi.
Sudah bertahun-tahun ia bertapa di lereng Pegunungan Bu-tai-san ini, menjauhkan diri dari dunia kang ouw karena ia sudah merasa jenuh. Akan tetapi ia hidup di situ sebagai seorang datuk yang kaya raya dan ditakuti, memiliki tanah yang amat luas, yang dipagari keliling di lereng itu. Tidak ada seorang pun dari luar berani memasuki daerah ini.
Apalagi dengan niat buruk, mencuri dan sebagainya setelah beberapa kali terjadi orang yang memasuki daerah itu tahu-tahu tewas oleh racun. Selain itu, juga Pek-mo Kui-bo mempunyai belasan orang pelayan wanita yang semua pandai ilmu silat, pandai pula menggunakan racun!
Pek-mo Kui-bo Gan Cin Nio tidak mau menikah. Karena ia masih seorang gadis, ia pernah saling mencinta dengan suhengnya sendiri, yaitu Ji Hiat yang kini berjuluk Pak Ong. Ia menjadi kekasih suhengnya ini sampai bertahun-tahun. Akan tetapi kemudian Ji Hiat memilih gadis lain menjadi isterinya. Pek-mo Kui-bo merasa patah hati dan ia pun meninggalkan suhengnya, bertualang, bermain cinta dengan setiap orang pria yang tampan dan yang disukainya.
Ia malang melintang di dunja kang ouw sebagai seorang tokoh sesat yang ditakuti. Putihnya rambut kepalanya itu bukan karena suatu kewajaran usia tua. Ketika ia berusia tiga puluh tahun lebih rambutnya sudah berubah putih. Hal ini terjadi karena suatu ilmu beracun yang dilatihnya. Rambutnya menjadi putih walaupun masih tebal, panjang dan mengkilap. Namun akibat latihan yang memutihkan rambutnya, ia pun mendapat keuntungan, yaitu wajahnya menjadi awet muda.
Setelan merasa jemu dengan petualangannya di dunia kang-ouw, ia mengundurkan diri, memilih lereng bu-tai-san sebagai tempat tinggal dan hidup di situ dengan tenteram. Pek-mo Kui-bo adalah seorang wanita yang angkuh, tinggi hati dan tidak mau kalah. Watak inilah yang membuat suhengnya, Ji Hiat dahulu tidak mau mengawininya. Sumoi itu selalu menentang pendapat suhengnya yang juga menjadi kekasihnya.
Apalagi setelah Pek-mo Kui-bo berpisah dari suhengnya dan ia memperdalam ilmu-ilmunya dengan mempelajari racun secara hebat, ia merasa tidak kalah oleh suhengnya! Dan watak ini pula yang membuat ia tidak mau mengambil murid. Ia tidak ingin membagi ilmu-ilmunya sehingga akhirnya ia akan dikalahkan muridnya sendiri yang lebih muda dan tentu saja lebih kuat. la ingin membawa ilmu-ilmunya mati bersamanya!
Sebagai seorang yang selama belasan tahun bertualang di dunia persilatan, ia tentu saja mempunyai banyak musuh, oleh karena itu ia memilih lereng bukit itu yang dipasangi banyak rahasia, perangkap dan racun-racun mematikan. Masih ditambah pula dengan ketelitian para pembantunya menjaga keamanan tempat tinggal itu.
Maka, kiranya memasuki rumah Pek-mo Kui-bo ini lebih sukar daripada menyusup ke dalam benteng yang terjaga ketat. Lebih berbahaya. Salah langkah sedikit saja, orang akan dapat tewas secara mengerikan karena racun! Penjagaan ketat ini pula yang membuat Pek-mo Kui-bo tahu akan kedatangan Kui Lan dan Tiong Sin pada saat dua orang muda itu mendaki lereng bukit.
Akan tetapi ketika ia mengetahui bahwa yang datang adalah Kui Lan, puteri suhengnya, ia pun siap menanti di ruangan tamu. Ia mengenal Kui Lan, bahkan menyayang murid keponakan itu karena watak Kui Lan mirip ayahnya, mirip suheng dan bekas kekasihnya. Dan ia tahu bahwa Pak Ong Ji Hiat telah menjadi duda. isterinya telah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu.
Diam-diam Pak-mo Kui-bo yang masih mencinta Pak Ong mengharapkan suhengnya itu mau tinggal bersamanya, menghabiskan sisa usia tua di rumah itu dengan tenang dan bahagia. Akan tetapi Pak Ong selalu menolak, maklum akan watak sumoinya yang selalu tidak mau kalah. Dia lebih senang tinggal di utara, menjadi Datuk Besar Utara, sesuai dengan julukannya Pak Ong (Raja Utara).
Ketika terjadi pergolakan di utara karena pergerakan orang Mongol, Pek-mo Kui-bo yang mengenal watak suhengnya yang pasti tidak sudi tunduk kepada orang Mongol, mengharapkan suheng itu akan suka mengungsi dan tinggal di rumahnya di mana mereka akan menjalin lagi hubungan mereka yang terputus belasan atau bahkan dua puluh tiga puluh tahun yang lalu!
Dan kini Kui Lan datang kepadanya! Adakah harapan ayah anak itu akan suka datang mengungsi dan tinggal di rumahnya? Akan ada suatu kepuasan lain kalau sampai suhengnya itu mau tinggal di rumahnya. Hal itu berarti suatu macam kemenangan baginya! Runtuhlah keangkuhan suhengnya ia akan dapat berkuasa dalam sikap terhadap suhengnya yang juga sama keras kepalanya seperti ia sendiri!
Maka, ia menyambut kedatangan murid keponakannya itu dengan senyum ramah, membuat wajahnya nampak sermakin cantik dan Tiong Sin memandang dengan kagum.
"Kiranya engkau, Kui Lan? Masuklah, anak manis!" katanya menyambut dengan ramah dan ketika senyumnya melebar, Tiong Sin melihat betapa gigi wanita itu masih rapi dan putih. Kui Lan memasuki ruangan itu dan menjatuhkan diri berlutut memberi hormat, diikuti pula oleh Tiong Sin.
"Sukouw, teecu Bu Tiong Sin rnenghaturkan hormat." katanya.
Mendengar pemuda tampan itu menyebut bibi guru kepadanya, Pek-mo Kui bo mengerutkan alisnya dan sepasang matanya mencorong tajam ketika ia menatap wajah pemuda yang datang bersama murid keponakannya itu. "Hemmm, Kui Lan, siapa pemuda ini?"
"Dia Bu Tiong Sin, murid ayah yang baru, Sukouw."
Sejenak pandang mata Pek-mo Kui bo menjelajahi wajah dan seluruh tubuh pemuda itu. Matanya yang berpengalaman dapat menangkap sifat pemuda itu yang tidak dapat diketahui orang biasa. Dia tahu bahwa pemuda itu adalah seorang yang suka mengumbar nafsu berahinya, seorang pemuda yang romantis dan memiliki bentuk tubuh yang menggairahkan.
"Murid ayahmu? Hemmm, agaknya ayahmu belum puas mempunyai murid anaknya sendiri. Kalian bangkitlah dan duduk di bangku-bangku itu." katanya tetap ramah karena ia masih mengharapkan bahwa kedatangan dua orang muda itu sebagai utusan Pak Ong yang ingin mengungsi ke rumahnya.
"Terima kasih, Sukouw." dua orang muda itu berkata lalu bangkit dan mengambil tempat duduk di atas bangku merah, berhadapan dengan wanita berambut putih itu.
"Kui Lan, ada kepentingan apakah ayahmu menyuruh engkau dan muridnya datang menghadapku tanpa kuundang?"
Keangkuhannya sudah muncul kembali mengusir keramahannya tadi dan selain suaranya terdengar dingin, juga senyumnya menghilang dari wajahnya yang cantik. Diam-diam Tiong Sin menjadi gentar. Wanita ini sungguh berwibawa dan menyeramkan, walaupun kecantikannya sempat membangkitkan gairahnya.
"Su-kouw, ayah mengirim salam untukmu dan mengharapkan Sukouw dalam keadaan sehat dan gembira selalu."
Sepasang bibir yang masih merah itu agak cemberut. "Katakan kepada ayahmu bahwa aku selamanya sehat dan gembira, jauh lebih gembira daripada ayahmu yang sekarang aku kira sedang pusing memikirkan penyerbuan orang-orang Mongol ke selatan!"
Kui Lan mengangguk-angguk. Gadis ini pernah mendengar pengakuan ayahnya bahwa di antara ayahnya dan bibi gurunya ini dahulu pernah terjalin cinta kasih yang mendalam dan mereka berpisah karena ayahnya menikah dengan ibunya.
"Memang benar, Su-kouw. Ayah sedang bingung dan marah melihat bangsa biadab itu menyerbu ke selatan dengan kekuatan yang amat besar. Karena ayah tidak sudi bekerja sama dengan orang-orang Mongol, terpaksa ayah meninggalkan segalanya di utara dan mengungsi ke selatan....."
"Kenapa ayahmu tidak langsung saja ke sini?" Pek-mo Kui-bo memotong.
"Tidak, Su-kouw, ayah mengungsi ke kota Shu-nyi dan sekarang kami tinggal di sana."
"Hemmm, dan kini dia menyuruh kalian kesini untuk minta persetujuanku agar dia boleh tinggal di sini?" Pertanyaan ini penuh harap.
Kui Lan menggeleng kepalanya dan wajah Pek-mo Kui-bo menjadi muram lagi. "Tidak, Sukouw. Ayah mengutus kami berdua datang ke sini menghadap Sukouw untuk mohon kemurahan hati Su-kouw, agar Sukouw suka mengajarkan satu dua macam ilmu pukulan ampuh kepada kami berdua....."
"Huh! Mengapa aku mesti mengajarkan ilmuku kepada kalian?" tanya Pek mo Kui-bo dengan wajah dingin dan mata tajam penuh selidik mengamati wajah Kui Lan, "Apakah ayahmu masih kurang lihai? Kalian bukan muridku, bagaimana kalian minta belajar ilmu dariku?"
"Su-kouw, tidak sampai setahun lagi. Empat Datuk Besar akan mengadakan pertemuan di puncak Kabut Putih di Thai-san, dimana seperti biasa, selain Empat Datuk Besar mengadu ilmu untuk menentukan siapa Datuk Nomor Satu di antara mereka, juga masing-masing mengangkat seorang murid sebagai wakil. Empat orang wakil masing-masing ini yang akan mengadu ilmu melalui perkelahian atau pertandingan.
"Oleh karena Su-kouw memiliki ilmu-ilmu ampuh, pukulan-pukulan beracun, maka ayah menyuruh kami untuk menghadap Su-kouw dan mohon kemurahan hati Su-kouw untuk mengajarkan kepada kami agar kami kelak dapat memenangkan pertandingan itu."
Wanita itu mengerutkan alisnya, mukanya semakin muram dan mulutnya semakin cemberut. "Kui Lan, engkau dengar baik-baik dan sampaikan kepada ayahmu. Ada dua hal yang membuat aku terpaksa harus menolak permintaan ayahmu untuk mengajarkan ilmu kepada kalian. Pertama, aku tidak ingin mengambi murid dan tidak ingin mengajarkan ilmu ilmuku kepada siapapun juga. Ke dua, aku tidak ingin mencampuri urusan ayahmu yang seperti kanak-kanak itu, bersaing dengan para datuk lain. Nah, jelas bukan? Kalian boleh bermalam di sini semalam dan besok pagi, sebelum mata hari timbul, kalian harus sudah meninggalkan tempat ini. Mengerti?"
Kui Lan juga berwatak keras dan aneh seperti ayahnya. Kalau saja yang bersikap seangkuh itu bukan bibi gurunya tentu ia sudah menyerang untuk membunuhnya. Mukanya sudah berubah merah sekali dan matanya bersinar-sinar. Melihat ini. Tiong Sin yang cerdik mendahului sumoinya, memberi hormat kepada wanita berambut putih itu.
"Terima kasih atas kebaikan Su-kouw. Teecu hendak menyampaikan pesan Sukouw kepada suhu. Sumoi, marilah kita mengaso. Kita telah lelah sekali melakukan perjalanan jauh."
Pek-mo Kui-bo bertepuk tangan tiga kali dan seorang pelayan wanita muncul. Tunjukkan dua buah kamar untuk dua orang murid keponakanku ini. Mereka bermalam di sini dan besok pagi-pagi antar mereka keluar. Layani mereka dengan baik!"
Pelayan itu memberi hormat. Kui Lan cemberut dan tanpa bicara lagi, dengan sikap marah, ia meninggalkan ruangan itu mengikuti si pelayan. Akan tetapi Tiong Sin memberi hormat dengan berlutut kepada Pek-mo Kui-bo. Wanita ini memandang kepadanya dengan alis berkerut, merasa heran bagaimana suhengnya dapat mempunyai seorang murid yang sikapnya demikian sopan! Lalu ia memberi isyarat dengan tangan agar Tiong Sin keluar dari ruangan itu.
Tiong Sin hendak menempati sebuah kamar lain, akan tetapi Kui Lan dengan sikap tidak peduli menariknya masuk ke dalam kamarnya. "Kami menggunakan sebuah kamar saja!" katanya kepada pelayan wanita yang hanya mengangguk dan wajahnya tidak memperlihatkan keheranan sedikit pun.
Setelah melempar buntalan pakaian di atas meja, Kui Lan duduk di atas pembaringan dan mengomel panjang pendek. "Dasar orang tua bawel, pelit! Jauh-jauh kita datang dan ia sama sekali tidak mau mengajarkan apa-apa! Sialan!"
Tiong Sin melirik ke arah sumoi yang menjadi kekasihnya pula itu. Sumoi, tenanglah. Aku ingin kepastian darimu apakah perlu benar kita mempelajari ilmu silat dari su-kouw!"
"Tentu saja!" Kui Lan bersungut-sungut. "Kita membutuhkan ilmu-ilmu pukulan beracun dari su-kouw untuk mengimbangi ilmu pukulan beracun dari Nam Tok. Hanya su-kouw yang mampu menandingi Nam Tok dalam hal penggunaan racun!"
"Sesudah ia menolaknya, lalu apa yang akan kau lakukan sekarang?"
"Apa lagi? Kita tidak mungkin dapat memaksa su-kouw, juga merengek dan memohon percuma. Hati su-kouw sekeras baja, sekali bilang tidak, sampai mati pun tidak. Tidak ada jalan lain kecuali pulang dan melaporkan penolakan ini kepada ayah. Mudah-mudahan ayah marah dan menghajarnya!"
"Kalau begitu, penting sekali bagi kita untuk belajar ilmu dari su-kouw?"
"Kenapa engkau begini bodoh, Suheng?" Kui Lan semakin mendongkol. "Masih perlu kautanyakan lagi itu?"
"Memaksa tidak mungkin, memohon juga percuma. Lalu bagaimana caranya? Kurasa hanya ada satu cara, Sumoi."
Gadis itu memandang kekasihnya dengan sinar mata penuh selidik, juga penuh harapan. "Ada satu cara? Apa itu, Suheng?"
"Merayunya!"
"Hemmm, sudah kukatakan hatinya sekeras baja, memohon tidak ada gunanya."
"Memohon dan merayu tidaklah sama Sumoi. Hati yang bagaimana keras pun dapat luluh oleh rayuan."
"Akan tetapi ia sudah tua, ia dingin dan, keras kepala!"
Tiong Sin menggeleng kepalanya dan tersenyum. "Tidak, Sumoi. Aku seorang laki-laki, maka aku lebih tahu daripada engkau dalam menilai seorang wanita. Biarpun usianya sudah setengah abad akan tetapi ia masih kelihatan muda dan masih cantik, la pesolek, dan dari pandang matanya, dari gerak bibirnya aku tahu bahwa ia masih memilik gairah yang besar. Wanita seperti itu mudah dirayu, Sumoi."
"Jadi engkau hendak merayunya?" Gadis itu bertanya.
"Kalau engkau memang menganggap bahwa penting sekali bagi kita untuk mempelajari ilmu silat darinya, dan tentu saja kalau engkau menyetujui siasat itu. Kalau tidak, tentu saja aku tidak berani...."
Gadis itu mengerling ke arah Pedang Asmara yang masih bergantung di pinggang pemuda itu. "Hemmm, kau mengandalkan pedang pusakamu itu?" tanyanya tersenyum.
Tiong Sin mengangguk, menepuk-nepuk pedangnya dengan bangga. Kekasihnya itu, seperti juga gurunya, sudah tahu akan khasiat Pedang Asmara itu.
"Hemmm, terhadap diriku mungkin pedang itu manjur karena memang aku suka kepadamu. Akan tetapi sukouw.....?"
"Kita lihat saja nanti. Engkau setuju?"
Kui Lan masih tersenyum, dan mengangguk, lalu dari pembaringan di mana ia kini menelentangkan diri, kedua lengannya berkembang dan tangannya menggapai Suhengnya dengan gairah. Akan tetapi sekali ini, tidak seperti biasanya, Tong Sin menggeleng kepala dan mengerutkan alisnya. Lalu dia berkata dengan suara sungguh-sungguh.
"Sumoi, kalau memang engkau menyetujui siasat itu, biarkan aku bebas malam ini. Kalau aku sudah menghabiskan tenagaku denganmu di sini, bagaimana aku akan dapat melayaninya dengan baik? Siasat kita bisa gagal!"
"Eeemmm.....!" Kui Lan menggeliat manja sambil cemberut akan tetapi bangkit duduk dan berkata, ”Baik, akan tetapi kalau engkau sampai gagal dan diancam bunuh oleh sukouw jangan kau bawa-bawa namaku!"
Diam-diam Tiong Sin mendapat kenyataan lagi betapa licik dan kejamnya sumoinya yang telah menjadi kekasihnya ini. Kalau mengingat akan watak sumoinya ini, diam-diam timbul penyesalannya karena dia dapat membayangkan betapa sengsara hatinya kelak kalau mempunyai seorang isteri seperti ini. Sama sekali tidak setia, memikirkan kepentingannya sendiri saja dan tega melihat dia terancam bahkan merelakan kematiannya asal ia sendiri selamat!
Dia pun dapat melihat dengan jelas bahwa gadis ini menyerahkan tubuhnya kepadanya bukan karena cinta, melainkan karena berahi semata. Dia dapat melihat ini karena sejak kecil dia telah menerima pendidikan dari Yeliu Cutay, sungguhpun hasil pendidikan itu tidak mampu menekan watak dasarnya yang memang buruk.
Hidup merupakan suatu masa di mana kita diuji. Tuhan Yang Maha Kasih melimpahkan kasih sayang dengan berkah yang melimpah-limpah. Setiap orang manusia, tidak peduli bangsa apa, kaya atau pun miskin, pintar atau pun bodoh, telah dilimpahi berkah sehingga setiap orang dapat menikmati segala apa yang terdapat di alam mayapada ini melalui panca indera dan perasaannya.
Bulan dan jutaan bintang di langit akan nampak tetap indah di mata siapa saja, baik di mata seorang raja maupun di mata seorang pengemis. Bunga mawar akan tetap semerbak harum, baik bagi penciuman seorang pendeta maupun seorang penjahat yang penuh dosa. Setiap orang manusia sudah sepatutnya merasa bahagia, bersyukur setiap saat akan berkah yang berlimpahan ini dan memuji nama Tuhan.
Setiap orang manusia sudah sepatutnya kembali kepada sumbernya, yaitu cinta kasih yang menguasai seluruh alam mayapada, membiarkan diri terbuka sehingga sinar cinta kasih akan memeranginya. Kalau ada sinar cinta kasih di dalam dirinya lahir batin, maka segala macam tindakan yang dilakukannya sudah pasti benar.
Tanpa adanya sinar cinta kasih, yaitu kekuasaan Tuhan, maka apa pun yang kita lakukan hanya merupakan hasil daripada hati dan akal pikiran yang dibimbing oleh nafsu-nafsu. Kalau sudah begini, panca indera kita menjadi tumpul dan hilang kepekaannya, menjadi seperti buta dan menurut saja dituntun oleh nafsu yang arahnya hanya satu, yaitu mengejar kesenangan. Kalau sudah begitu malapetaka kehidupan berdatangan!
Setelah mendapatkan persetujuan Kui Lan, Tiong Sin lalu mempersiapkan diri. Dia mandi membersihkan dirinya, mengharumkan badannya dengan minyak milik Kui lan, menyisir rambutnya, berganti pakaian bersih, kemudian dengan wajah berseri dia meninggalkan Kui Lan, pergi menuju ke kamar Pek-mo Kui-bo. Tidak lupa dia membawa pedangnya, Pedang Asmara!
Berindap-indap dia menghampiri pintu kamar Pek-mo Kui-bo. Dari Kui Lan dia sudah tahu di mana kamar itu, dan gadis itu pula yang menjamin bahwa dari kamar mereka menuju ke kamar sukouw mereka itu tidak ada ranjau atau perangkap yang menghalang.
"Ambil saja jalan lorong biasa, dan hampiri kamar melalui pintunya, jangan sekali-kali mencoba untuk masuk melalui genteng atau jendela karena di sanalah dipasangi alat perangkap. Ketuk saja daun pintunya seperti biasa dan setelah bertemu, terserah bagaimana engkau akan merayunya," demikian pesan Kui Lan.
Bagaimanapun juga, setelah dia berdiri di depan pintu kamar itu, Tiong Sin merasa betapa jantungnya berdebar penuh ketegangan, dan kaki tangannya gemetar sungguh berbahaya permainannya sekali ini. Sekali salah langkah, sekali gagal, nyawa taruhannya. Kalau dia gagal merayu nenek cantik itu, tentu dia akan dibunuhnya dan tak mungkin dia dapat menyelamatkan diri dari tangan nenek beracun itu!
Akan tetapi dia percaya akan keampuhan Pedang Asmara. Tidak mungkin gagal, pikirnya. Pula, dia sudah melihat tanda-tanda pada diri Pek-mo Kui-bo bahwa nenek itu masih berhati muda, masih berdarah panas! Tiong Sin menoleh ke kanan kiri. Sunyi saja di sekeliling kamar itu. Di depan pintu kamar yang tertutup itu terdapat ruangan duduk yang luas.
Di luar itu terdapat taman bunga, yaitu taman yang menembus kamar tamu. Bau semerbak harum bunga-bunga yang sedang mekar menusuk hidungnya, agak menenteramkan hatinya yang terguncang karena tegang dan takut. Dia menelan ludah beberapa kali, menenangkan hatinya dan mengetuk pintu kamar itu tiga kali, per lahan saja.
"Tok-tok-tok.....!"
Tidak ada jawaban. Dia menanti sampai beberapa menit. Dia mengulang lagi, disusul panggilan lirih.
"Tok-tok-tok.....! Su-kouw.....!"
Hening sejenak dan tiba-tiba terdengar suara yang lembut namun dingin berwibawa, "Mau apa kau malam-malam begini mengetuk pintu kamarku?"
Tiong Sin terkejut bukan main karena jawaban itu bukan terdengar dari balik pintu kamar di depannya, melainkan terdengar dari belakangnya! Cepat dia memutar tubuh dan ternyata Pek-mo Kui bo sudah berdiri di tengah ruangan duduk yang tadinya dia tahu benar kosong karena ruangan ini dilewatinya.
Wanita itu mengenakan pakaian tidur dari sutera tipis dan karena lampu gantung berada di belakangnya maka sinar lampu itu mencetak bentuk tubuhnya di dalam pakaian tidur yang tipis itu dan Tiong Sin kagum. Nenek setengah abad ini benar benar masih memiliki tubuh yang denok!
Akan tetapi pemuda yang cerdik ini tidak membiarkan dirinya hanyut dalam kekaguman. Dia sudah cepat melangkah maju dan memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada, membungkuk akan tetapi tidak berlutut.
"Maafkan kalau saya mengganggu, Sukouw. Saya ingin bicara dengan Sukouw."
Sepasang alis yang ditambah dengan celak sehingga menjadi panjang melengkung hitam itu berkerut, dan sinar mata mencorong marah. Kalau ia tidak ingat bahwa pemuda ini adalah murid suhengnya, tentu sudah dihantamnya roboh dan mungkin dibunuhnya pada saat itu juga.
"Bocah lancang! Engkau mau bicara apa lagi?" Berkata demikian, Pek-mo Kui-bo lalu duduk di atas kursi dan memandang wajah pemuda itu dengan sikap angkuh.
Tiong Sin merasa dirinya kecil sekali, akan tetapi dia sudah mengambil langkah pertama, harus disusul dengan langkah selanjutnya yang sudah direncanakan. "Su-kouw, saya belum begitu lama menjadi murid suhu, oleh karena itu selain baru sekarang saya bertemu dengan Su-kouw, juga saya tidak tahu sampai di mana kehebatan ilmu kepandaian Su-kouw."
Kerut alis itu semakin mendalam dan sepasang mata itu kini memandang penuh selidik, lebih heran daripada marah, heran melihat sikap pemuda itu demikian beraninya. "Katakan saja apa maksud dan kehendakmu, tidak perlu bicara berputar-putar"
"Su-kouw menolak untuk mengajarkan Ilmu kepada kami dua orang murid keponakan Su-kouw. Hal ini membuat saya yang belum mengenal Su-kouw merasa heran sekali. Karena itu, saya ingin menemui Su-kouw dan bertanya, sesungguhnya sampai di mana kemampuan Sukouw? Apakah karena ilmu kepandaian Su-kouw tidak ada yang melebihi kepandaian suhu maka Su-kouw merasa malu untuk mengajarkan kepada kami? Ingin sekali saya mengetahui dan mengukur sampai di mana tingginya ilmu kepandaian Su-kouw."
Wajah yang cantik itu sebentar pucat sebentar merah. Sinar mata itu pun berubah-ubah, kadang heran kadang marah bukan main. Anak ini berani menantangnya! "Bocah lancang! Apakah nyawamu rangkap maka engkau berani lancang dengan mulutmu? Engkau berani menantangku?"
Tiong Sin sudah membayangkan kemarahan ini, maka dia pun cepat memberi hormat kepada wanita itu. "Sama sekali tidak, Sukouw. Apakah Sukouw lebih senang melihat saya diam-diam mengira Su-kouw tidak memiliki kepandaian tinggi untuk mengajar kami daripada melihat saya secara jujur menanyakan dan menguji Sukouw?"
"Bocah yang bosan hidup! Apakah engkau tidak tahu bahwa menantang aku berarti mati? Engkau akan mampus di tanganku!"
"Saya kira tidak, Sukouw. Sukouw tidak akan membunuh saya....."
"Keparat sombong! Kau kira aku takut membunuhmu karena engkau murid Pak Ong?"
"Bukan karena itu, Sukouw. Kalau Sukouw membunuh saya, tidak ada artinya sama sekali. Kalau Sukouw tidak mau memperlihatkan ilmu kepandaian Sukouw kepada saya, bagaimana saya bisa tahu bahwa Sukouw memang lihai sekali? Dan kalau Sukouw memperlihatkan kepandaian lalu membunuh saya, bagaimana pula, saya dapat mengabarkan bahwa Sukouw memang pandai dan sakti!
"Sukouw tahu, saya telah mewarisi ilmu golok Swat-sin-to dari suhu, yang saya mainkan dengan pedang saya. Di dunia ini, jarang yang mampu menandingi ilmu pedangku yang berdasarkan Swat-sin-to. Kalau Sukouw mampu mengalahkan ilmu pedang saya, barulah saya mengakui bahwa Sukouw memang sakti, dan saya tidak berani banyak bicara lagi.''
Diam-diam Pek-mo Kui-bo tertegun. Pemuda ini memang luar biasa, pikirnya. Pemberani dan juga amat cerdik. Jelas bahwa keinginannya untuk melihat ilmunya bukan terdorong oleh pandang rendah atau ingin menantangnya, melainkan ingin membuktikan kesaktiannya sehingga kalau pemuda itu dapat membanggakan kepandaian bibi gurunya kepada orang lain.
Dan bagaimanapun juga, tentu saja ia pun tidak ingin membunuh murid suhengnya, apalagi karena urusan yang amat kecil itu. Dan pemuda ini memiliki wajah yang tampan, tubuh yang kuat, dan nyali besar, penuh keberanian sehingga diam-diam ia sudah merasa kagum dan suka. Jarang menemukan pemuda yang sikapnya demikian berani, terhadap dirinya!
Wanita itu tersenyum mengejek. "Huh-huh-huh, engkau membanggakan Swat sin-to dari gurumu? Orang lain boleh jadi gentar menghadapinya, akan tetapi aku tidak! Nah, coba kauperlihatkan ilmu itu dan engkau akan melihat betapa mudahnya aku mengalahkannya."
"Terima kasih sebelumnya atas petunjukmu Sukouw!" kata Tiong Sin dengan wajah girang. Bukan kegirangan yang dibuat-buat lagi karena memang hatinya merasa girang melihat bahwa siasatnya berjalan dengan baik dan pancingannya mengena. Dia lalu mundur ke tengah ruangan di depan kamar itu dan mencabut pedangnya.
Tadi sebelum berangkat, dia telah melumuri pedang pusaka itu dengan bubuk pupur yang dibasahi, sehingga kini pupur itu menutup Pedang Asmara. Hal ini dia lakukan agar Pek-mo Kui-bo tidak segera mengenal pedang itu dan menjadi curiga.
"Su-kouw, harap suka mengeluarkah senjata. Sukouw, karena menghadapi pedang saya ini dengan tangan kosong saja sungguh terlalu berbahaya bagi Sukouw. Saya takut kalau-kalau pedangku akan melukaimu." Ucapan ini pun merupakan bagian dari siasatnya dan benar seperti diharapkannya, wanita itu menjadi marah.
"Orang muda, demikian rendahkah engkau menilai diriku? Hemmm, biar engkau keluarkan semua kepandaianmu dan menggunakan seribu macam senjata, dengan kedua tangan kosong aku masih sanggup mengalahkanmu. Nah, kau majulah dengan pedangmu itu!" bentak Pek-mo Kui-bo dengan suara nyaring sehingga Tiong Sin khawatir kalau kalau suara sukouwnya itu akan memanggil datang para pelayan.
Siasatnya akan terganggu bahkan mungkin gagal kalau di situ terdapat orang lain, karena sukouwnya tentu akan menjadi malu. Akan tetapi kekhawatirannya ini tidak berdasar. Mana ada pelayan berani muncul di depan Pek-mo Kui-bo tanpa dipanggil?
"Saya..... saya..... tidak tega menyerang Sukouw yang bertangan kosong! Khawatir pedangku... akan melukaimu...!" katanya sambil menggerak-gerakkan pedangnya. Hawa aneh yang tidak wajar dari pedang itu bertiup ke arah Pak mo Kui-bo dan wanita ini mengerut alisnya. Kini matanya menatap wajah Tiong sin dengan heran. Pemuda demikian tampan dan menarik! Jantungnya mulai berdebar aneh.
"Bu Tiong Sin, tidak usah banyak cakap. Maju dan seranglah!" katanya, akan tetapi kini suaranya tidak segalak tadi, bankan ketika ia bicara, ada senyum genit mengiringi kata-kata itu.
Tiong Sin merasa girang bukan main merasa seolah hasilnya sudah berada telapak tangannya. "Sukouw, sambut seranganku!" katanya dan dia pun mulai memasang kuda-kuda, dengan pinggul digoyang-goyang dan sambil tersenyum, memasang diri setampan dan semenarik mungkin. Pedangnya dia putar-putar di atas kepala lalu pedang itu meluncur dan mulailah dia menyerang wanita itu.
Pek mo Kui-bo terpesona. Dalam pandang matanya, pemuda itu demikian tampan dan gagahnya, demikian menariknya. Ia cepat mengelak membalas dengan tamparan dari samping. Namun, ternyata pemuda itu pun bukan seorang lemah karena dengan mudah dia dapat mengelak dari tamparan itu dan menyerang lagi dengan pedangnya.
Pedang itu berkelebatan dan mengeluarkan angin menyambar-nyambar. Memang ilmu pedang yang berdasarkan Swat-sin to itu merupakan ilmu yang dahsyat. Bukan saja sangat cepat dan mengandung tenaga yang hebat, akan tetapi juga membawa hawa dingin.
Pek-mo Kui-bo semakin kagum. Pemuda ini merupakan murid yang baik dari suhengnya. Beberapa kali ia membalas dengan tamparan atau tendangan, namun pemuda itu dapat menghindarkan diri dengan baik, bahkan beberapa kali desakan pedang membuat wanita itu terpaksa harus mengerahkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) untuk bergerak cepat sekali sehingga dapat lolos dari desakan pedang, la pun mulai merasa gembira, dan sungguh aneh sekali, makin lama, rasa suka dan gairah yang timbul di hatinya terhadap pemuda itu menjadi semakin menggelora.
Di samping mempergunakan siasat dengan bantuan pengaruh Pedang Asmara untuk merayu dan menjatuhkan hati wanita itu, juga diam-diam Tiong Sin ingin menguji benar-benar sampai di mana kelihaian bibi guru yang diharapkan dapat mengajarkan beberapa macam ilmu yang dahsyat kepadanya itu. Maka, kini dia pun menggerakkan pedangnya dengan pengerahan tenaga dan mengeluarkan semua ilmu kepandaiannya untuk menyerang dengan sungguh-sungguh.
Pedang Asmara berubah menjadi gulungan sinar terang kehijauan karena kini bedak yang melekat pada pedang itu sudah terbang semua dan nampaklah warna aseli pedang itu, warna kehijauan yang cerah sehingga ketika digerakkan dengan cepat, yang nampak hanya gulungan sinar kehijauan.
"Pedang Batu Dewa Hijau.....!!" Kini Pek-mo Kui-bo mengenal pedang yang dibuat dari Batu Dewa Hijau itu. Pada saat itu, Tiong Sin menusukkan pedangnya ke dada lawan. Pek-mo Kui-bo memiringkan tubuh ke samping dan mengangkat lengan kiri. Pedang itu meluncur di bawah ketiak kirinya dan ketika menurunkan lengan dengan cepatnya, maka ketiaknya telah mengempit dan menjepit pedang itu, tangannya juga sudah menangkap pergelangan tangan kanan Tiong Sin.
Pemuda itu merasa betapa lengannya seketika lumpuh dan kalau saat itu lawan merampas pedang, tentu dia tidak akan mampu mempertahankan lagi. Akan tetapi dia sengaja tidak mau merampas, bahkan memuji lawan yang berdiri dekat sekali itu dan dengan pergelangan tangan kanannya masih ditangkap oleh tangan kiri Pek-mo Kui-bo.
"Sukouw... engkau sungguh hebat... engkau... lihai sekali dan amat cantik..."
Sepasang mata itu terbelalak, akan tetapi lalu meredup dan tangan kanan Pek mo Kui-bo tadinya bergerak terangkat hendak memukul, akan tetapi tidak jadi dan tangan itu bahkan kini memegang dahi sendiri, dan ia pun menjadi lemas terhuyung-huyung.
"Eh, Sukouw, engkau kenapakah..... Tiong Sin pura-pura berseru karena wanita itu melepaskan kempitan pada pedangnya, lalu terhuyung ke belakang. Tiong Sin cepat merangkul pundak wanita itu, dan gerakan ini membuat pedangnya yang masih terpegang menekan punggung dan muka mereka dekat sekali.
"Aku... kepalaku pening... ahhh...!" Wanita itu tentu roboh kalau saja Tiong Sin tidak cepat merangkulnya! Tentu saja Tiong Sin tidak merasa heran bahkan girang bukan main melihat bahwa siasatnya sudah berhasil, wanita itu telah dikuasai melalui pengaruh Pedang Asmara!
"Tiong Sin... bawa aku... ke kamarku..."
Tiong Sin lalu memondong tubuh sukouwnya itu dan membawanya ke kamar. Dengan kakinya dia mendorong pintu kamar itu terbuka, menutupkan kembali dari dalam dan dia merebahkan tubuh Pek-mo Kui-bo ke atas pembaringan. Akan tetapi, Tiong Sin tidak sempat mengagumi keindahan kamar itu karena bagaikan orang yang kemasukan setan Pek-mo Kui-bo masih merangkulnya.
Bahkan lalu menariknya, ke atas pembaringan, menggeluti dan menciumi dengan napas terengah-engah. Tentu saja Tiong Sin melayaninya dengan penuh semangat, apalagi ketika dia mendapat kenyataan bahwa bibi gurunya ini memang memiliki tubuh seperti yang telah dia bayangkan, seperti tubuh seorang wanita muda.
Demikianlah, siasat yang dilakukan Tiong Sin berhasil dengan baik. Dan mulai keesokan harinya, dengan senang hati Pek-mo Kui-bo mulai mengajarkan ilmu-ilmu pukulan beracun yang amat dahsyat kepada Tiong Sin dan Kui Lan. Demikian rusaknya sudah akhlak orang-orang yang hidup di dunia hitam itu sehingga Pek-mo Kui-bo sama sekali tidak merasa canggung.
Sama sekali ia tidak merasa malu terhadap para pelayannya atau terhadap Kui Lan. Hubungannya dengan Tiong Sin tidak ia rahasiakan, bankan di depan mereka ia tidak canggung untuk membelai dan memperlihatkan kesayangannya kepada pemuda yang pandai menyenangkan hatinya itu. Dan Kui Lan juga sedikit pun tidak merasa cemburu!
Apalagi karena ia sendiri memperoleh untung dari hasil siasat suhengnya itu. Ia kini dapat pula mempelajari ilmu pukulan yang beracun dari sukouwnya. Mereka berdua berlatih dengan rajin dan penuh semangat, dan dengan penuh semangat pula untuk menyenangkan hati Pek-mo Kui-bo, setiap saat Tiong Sin bersedia untuk melayani wanita yang besar nafsunya itu.
"Tapi... tapi aku ini isterimu, engkau suamiku...!" Siangkoan Leng berseru sambil menahan suaranya agar jangan terlampau keras karena khawatir kalau pertengkaran mereka akan terdengar oleh ayah ibunya atau orang lain dalam rumah itu.
Suaminya, Kok Tay Ki atau Kok Kongcu, tersenyum mengejek dan melanjutkan pekerjaannya mengumpulkan pakaian untuk disatukan dalam sebuah buntalan kain kuning. "Memang, akan tetapi semua itu sudah berakhir. Selama seratus hari aku mempelajari dua macam ilmu silat keluargamu, dan selama seratus hari pula aku menjadi suamimu. Sudah lunas, bukan? Sudahlah, jangan rewel. Mari kita berpisah secara baik-baik....."
Wajah Siangkoan Leng menjadi pucat dan matanya terbelalak. Selama kurang lebih tiga bulan ia menjadi isteri pria ini, dan harus diakuinya bahwa sikap suaminya amat baik, amat ramah dan lembut, juga kelihatan amat mencintanya. Karena sikap yang amat baik dan penuh kasih sayang itu, maka ia pun benar-benar telah jatuh cinta pada suaminya ini. Siapa kira, pagi ini suaminya tiba-tiba saja membenahi pakaiannya dan menyatakan bahwa hari ini dia akan pergi meninggalkannya.
"Tapi, aku ini isterimu! Kita saling mencinta, bukan? Aku isterimu, aku berhak untuk mengetahui ke mana engkau akan pergi, bahkan berhak untuk mengikutimu ke manapun engkau pergi! Aku tidak mau kau tinggalkan!" Ia mulai menangis dengan hati bingung dan khawatir sekali.
"Leng-moi, ingat baik-baik. Ketika aku ingin belajar ilmu silat di sini, ayahmu sendiri yang mengatakan bahwa aku baru boleh mempelajari dua macam ilmu silat itu kalau aku mau menjadi suamimu! Nah, aku sudah menjadi suamimu dan selama aku mempelajari ilmu-ilmu silat itu, apakah aku kurang memuaskan menjadi suamimu? Sekarang, aku telah berhenti belajar, maka berhenti pula menjadi suamimu dan aku harus pergi."
Sepasang mata yang basah itu semakin terbelalak. Tak disangkanya sama sekali bahwa suaminya yang biasanya begitu lembut dan halus tutur sapanya kini dapat mengeluarkan kata-kata yang biarpun halus namun amat keji! "Koko... kau... kau... bagaimana dapat berkata begitu? Selama ini kita saling mencinta.... engkau begitu mencintaku! Apa yang terjadi denganmu? Kenapa mendadak engkau begini berubah...?"
Siangkoan Leng menangis dan menubruk suaminya, merangkul dan menangis di pundaknya. Biasanya, kalau ia bersikap manja, suaminya lalu merangkulnya dan menciumnya, memanjakannya. Akan tetapi sungguh aneh. Sekali ini suaminya bahkan mendorongnya, walaupun lembut namun dorongan itu kuat sekali dan ia sampai terjengkang, terjatuh ke atas pembaringan!
Bukan seperti kalau mereka yang bergurau, karena suaminya tidak menubruknya di atas pembaringan, melainkan berdiri dengan alis berkerut, wajah yang biasanya cerah dan ramah itu kini nampak dingin sekali. Demikian jauh bedanya dari biasanya, seperti seekor harimau yang menanggalkan kedok dombanya!
"Sudah! Aku sudah cukup bosan denganmu. Selama seratus hari kutahan tahan kejemuan itu. Dan aku bosan pada ilmu silat keluargamu yang tidak ada nilainya!"
Kini sepasang mata yang terbelalak itu menjadi tajam bersinar penuh kemarahan. Siangkoan Leng bangkit dari tempat tidur, perlahan-lahan ia turun dan berdiri, matanya tak pernah melepaskan wajah suaminya.
"Kau....! Jadi engkau menikah dengan aku hanya agar dapat mempelajari Ngo-heng-kun kami?"
Kok Kongcu tersenyum sehingga nampak giginya yang berderet rapi dan putih satu di antara daya tarik pria itu. "Habis, apa lagi? Kalau bukan untuk menimba ilmu, aku tidak sudi berjodoh denganmu! Engkau tidak pantas menjadi isteriku. Yang pantas menjadi isteriku hanyalah seorang puteri istana kaisar...!"