Pedang Asmara Jilid 27 karya Kho Ping Hoo - "KEPARAT....!" Siangkoan Leng memaki dan tidak dapat menahan kemarahannya lagi, ia menerjang maju dan menyerang suaminya dengan pukulan tangan kanannya.
"Plakkk.....!" Pukulan itu bukan saja tertangkis, bahkan sekali Kong Kongcu mendorong, tubuh wanita itu terjengkang dan jatuh ke atas lantai!
"Hemmm! Selamat tinggal!" kata Kok Kongcu yang menyambar buntalan kuning dan keluar dari kamar itu.
"Jahanam busuk, jangan lari!" bentak Siangkoan Leng, kini tidak peduli lagi menimbulkan gaduh dan ia sudah berlari keluar sambil membawa pedang yang sudah terhunus. Baru ia tahu bahwa suaminya itu seorang manusia iblis yang berhati keji, maka ia mengambil keputusan untuk membalas semua penghinaan itu dengan membunuhnya.
"Keparat, kau harus mati di tanganku!" bentaknya sambil meloncat ke luar dan tanpa banyak cakap lagi, Ia sudah menerjang dari belakang dengan pedangnya, menusuk sekuat tenaga karena terdorong sakit hati dan kemarahan. Tentu saja ia menggunakan jurus ilmu pedang Ngo-heng Kiam-sut.
Akan tetapi, andaikata Kok Kuncu belum mempelajari ilmu pedang pun Siangkoan Leng sama sekali bukan tandingannya, apalagi sekarang setelah dia menguasai ilmu pedang itu, tentu saja serangan dahsyat itu tidak ada artinya bagi Kok Kongcu. Dia membalik mengelak ke samping. Siangkoan Leng yang sudah dikuasai kemarahan yang berkobar, tidak menghentikan serangannya dan menyerang lagi semakin hebat. Pedangnya mengeluarkan suara berdesing ketika menyambar-nyambar.
Melihat betapa wanita yang pernah menjadi isterinya selama tiga bulan itu menyerang dengan sungguh-sungguh untuk membunuhnya, Kok Kongcu menjadi marah sekali, tangannya bergerak, dia telah mencabut huncwenya. Senjata aneh ini tak pernah berpisah darinya, akan tetapi dia sembunyikan dan baru sekarang dia keluarkan.
"Trang-trang-cringgg.....!" Huncwe itu diputarnya sedemikian rupa sehingga bukan hanya menangkis, akan tetapi juga mengait dan akhirnya dengan sentakan yang kuat, pedang di tangan Siangkoan leng itu terlepas dari pegangan tangan wanita itu dan terlempar!
"Ohhh.....!" Siangkoan Leng berseru kaget, akan tetapi kemarahannya membuat ia nekat, Ia menyerang lagi dengan tendangan Ngo-heng-kwi, ilmu tendangan keluarga Siangkoan yang amat hebat.
Kok Kongcu sudah menguasai pula ilmu tendangan ini, maka begitu kaki isterinya menyambar, dia mengelak ke samping dan melangkah maju, huncwenya berkelebat dan tubuh Siangkoan Leng terjengkang, wanita itu meringis kesakitan karena dadanya telah disodok huncwe hingga sebatang tulang iganya patah.
"Huhhh!" Kok Kongcu mendengus marah lalu membalikkan tubuhnya.
"Heiii! Apa yang terjadi?" Tiba-tiba dia menghentikan langkahnya dan di depannya telah berdiri Siangkoan Kun Hok ayah mertuanya! Guru silat ini terkejut dan heran bukan main melihat mantunya memukul roboh Siangkoan Leng, lebih heran lagi melihat kini Kok Kongcu yang biasainya amat hormat dan ramah kepadanya, kini berdiri dengan sikap angkuh memandang kepadanya dan tersenyum mengejek.
Sambil mendekap dada dengan tangan kirinya dan menahan rasa nyeri, Siangkoan Leng bangkit berdiri. "Ayah... dia... dia jahat sekali.... dia mengawini aku hanya untuk mempelajari ilmu silat kita, kini dia... dia mau pergi begitu saja....."
Mendengar ini, Siangkoan Kun Hu mengerutkan alisnya. Dia lebih merasa terkejut dan heran daripada marah karena dia hampir tidak percaya akan kebenaran kata-kata puterinya itu. Di sangkanya puterinya berkata demikian karena mereka habis bercekcok. "Kok Tay Ki, apa artinya ini? Benarkah apa yang dikatakan isterimu itu?" tanyanya.
Kok Kongcu sudah menanggalkan semua kedoknya. Dia berdiri dengan sikap acuh, bahkan tersenyum mengejek memandang Siangkoan Kun Hok. Kemudian, dengan suara yang masih lembut seperti biasanya, dia berkata, "Siangkoan Kun Hok, di antara kita telah terjadi pertukaran yang cukup adil. Aku memperoleh dua macam ilmu keluargamu, dan engkau memperoleh aku sebagai mantumu. Telah seratus hari aku mempelajari ilmu-ilmu itu, dan telah seratus hari puterimu disenangkan hatinya dan tubuhnya olehku. Sekarang, aku sudah bosan dengan puterimu dan ilmu-ilmu itu, maka aku akan pergi. Puterimu menyerangku, maka terpaksa aku merobohkannya."
Wajah Siangkoan Kun Hok berubah pucat, kemudian merah sekali ketika dia mendengar ucapan itu. Sungguh ucapan yang membayangkan watak manusia yang amat keji! Dia telah tertipu. Anaknya menjadi korban. Kiranya Kok Tay Ki hanyalah seekor harimau berkedok domba, seorang iblis dalam tubuh seorang pemuda yang tampan, gagah dan ramah!
"Jahanam busuk! Engkau berani menghina keluarga kami?" bentaknya marah.
Kok Kongcu tertawa mengejek. "Siangkoan Kun Hok, engkau juga hendak marah-marah? Pertukaran sudah terjadi dengan adil, lalu engkau mau apa? Aku hendak pergi dan tak seorang pun boleh menghalangiku!"
"Keparat!" Siangkoan Kun Hok tidak banyak bicara lagi, lalu menerjang dengan tendangan Ngo-heng-twi yang amat dahsyat itu.
Namun, Kok Kongcu memang memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi, apa lagi dia sudah menguasai tendangan Ngo-heng-twi dengan baik maka dia pun mengejek. "Jangan coba pamerkan Ngo-heng-twi padaku!"
Dan dia pun mengelak lalu tangan kirinya menghantam ke arah dada lawan. Tangan itu berubah merah seperti darah dan melihat ini, Siangkoan Kun Hok terkejut bukan main. Dia menangkis dan mengerahkan seluruh tenaganya.
"Plakkk!" Siangkoan Kun Hok terpelanting dan ketika dia meloncat bangun, lengan yang menangkis tangan merah itu terasa nyeri dan panas dan ada tanda jari merah di sana.
"Iblis keji!" Siangkoan Kun Hok membentak lagi dan kini dia sudah mencabut pedangnya. Begitu dia menggerakkan pedang, nampak sinar kilat bergulung-gulung dan angin mendesir keras dibarengi bentakan-bentakan nyaring. Itulah ilmu pedang Ngo-heng Kiam-sut yang dimainkan oleh ahlinya!
Namun, Kok Kongcu juga sudah menguasai ilmu pedang ini. Bahkan mengingat akan tingkatnya yang lebih tinggi, sin-kangnya yang lebih kuat, dia dapat memainkan Ngo-heng Kiam-sut lebih dahsyat lagi dibandingkan bekas ayah mertua dan juga gurunya itu. Akan tetapi dia masih memegang huncwenya dan dia pun mengggerakkan huncwe untuk menangkis dan balas menyerang.
Terjadi perkelahian seru di situ. Akan tetapi gerakan huncwe di tangan Kok Kongcu terlalu aneh dan terlalu kuat bagi Siangkoan Kun Hok. Sebaliknya, semua serangan guru silat itu sudah di kenal Kok Kongcu, maka kenyataan ini saja sudah amat menguntungkan dia. Dan Siangkoan Leng juga tidak berdaya, tidak dapat membantu ayahnya karena kalau ia bergerak, dadanya terasa nyeri.
Baru belasan jurus saja, ujung huncwe di tangan Kok Kongcu sudah dapat memukul pundak kiri Siangkoan Kun Hok Guru silat itu terpelanting dan tulang pundaknya remuk. Kok Kongcu tersenyum mengejek.
"Mengingat akan kebaikan kalian keluarga Siangkoan, biarlah aku tidak melakukan pembunuhan hari ini. Selamat tinggal!" Dan dia pun meninggalkan rumah itu dengan langkah lebar.
"Ayah.....!” Siangkoan Leng menghampiri ayahnya dan mereka berangkulan. Wanita muda itu menangis, ayahnya hanya menghela napas panjang berkali-kali.
Tang Hu, murid utama Siangkoan Kun Hok yang baru saja masuk, berlari-lari dan segera berlutut di dekat gurunya. "Suhu, apa yang telah terjadi? Sumoi, kulihat tadi Kok suheng tergesa-gesa ke luar? Apa yang terjadi?"
Dengan suara terputus-putus bercampur isak, Siangkoan Leng menceritakan apa yang dilakukan oleh suaminya itu. Siangkoan Kun Hok menyambung, "Kami telah salah pilih..... ah, kami telah tertipu. Dia bukan manusia baik-baik. Dia iblis.... hanya ingin menguasai ilmu kita..."
"Akan kukejar dia!" teriak Tang Hu dan pemuda ini sudah meloncat keluar. Teriakan gurunya dan sumoinya tidak dia hiraukan. Tang Hu berhasil menyusul Kok Kongcu setelah orang yang dikejarnya telah tiba di luar kota Yu-sian, melalui pintu gerbang timur. Di tempat sunyi itu mereka berhadapan.
Tang Hu adalah seorang pemuda berusia dua puluh tahun lebih yang menjadi murid utama Siangkoan Kun Hok. Dia berrwatak gagah dan keras, kasar dan berani, akan tetapi adil dan pembela kebenaran. Begitu dapat menyusul, dia segera berteriak memanggil, "Kok-suheng, berhenti dulu...." Dia menyebut suheng (kakak seperguruan) kepada Kok Kongcu karena suami sumoinya itu telah lebih tua, dan pula mengingat bahwa Kok Kongcu memiliki kepandaian lebih tinggi.
Kok Kongcu menghentikan langkahnya dan membalik. Kini mereka berdiri saling berhadapan. Kok Kongcu tersenyum simpul. Tang Hu melotot marah. "Tang Hu, engkau mau apakah mengejarku?" tanya Kok Kongcu, kini tidak berpura-pura lagi maka dia menyebut nama orang yang pernah menjadi saudara seperguruannya itu begitu saja, tidak menyebut sute lagi. Sikap ini saja sudah menunjukkan bahwa dia tidak mengakui pemuda tinggi kurus ini sebagai saudara seperguruan lagi.
Melihat sikap ini dan mendengar ucapan Kok Kongcu, apalagi mengingat betapa orang ini telah melukai sumoinya juga menghina dan melukai suhunya Tang Hu juga meninggalkan sikap hormatnya. "Orang tidak mengenal budi! Engkau telah diambil mantu dan diberi pelajaran ilmu silat keluarga Siangkoan, akan tetapi engkau malah melakukan pengkhianatan. Engkau manusia jahat yang tidak layak dibiarkan hidup. Engkau akan mati di tanganku!"
Kok Kongcu tertawa mengejek. "Ha ha, kita lihat saja siapa yang mati!"
Tang Hu yang sudah memuncak kemarahannya, segera menyerang dengan ganasnya. Hanya Tang Hu seoranglah yang bukan keluarga Siangkoan namun mendapatkan kepercayaan gurunya untuk mempelajari ilmu Ngo-heng kun, yaitu ilmu keluarga Siangkoan yang biasanya hanya dipelajari anggauta keluarga saja. Ini saja menunjukkan bahwa Siangkoan Kun Hok amat percaya kepada murid utama ini.
Bahkan dahulu sebelum muncul Kok Kongcu, pemuda inilah calon mantu guru silat itu. Maka, begitu menyerang, Tang Hu sudah mempergunakan ilmu silat Ngo-heng-kun, terutama sekali ilmu tendangan Ngo-heng-twi yang dahsyat!
Melihat serangan dengan ilmu Ngo-heng-kun itu, Kok Kongcu tertawa mengejek. "Ha-ha-ha, engkau mau melihat ilmu Ngo-heng-kun yang sesungguhnya! Nah, lihat ini!"
Dia pun cepat bergerak memainkan ilmu silat yang sama. Kalau ada orang yang menjadi penonton perkelahian itu, tentu akan mengira bahwa mereka itu berlatih saja karena gerakan mereka sama! Akan tetapi, sebenarnya mereka saling serang mati-matian, dan terutama sekali Tang Hu memang bernafsu besar untuk membunuh laki-laki yang sejak pertama telah dibencinya itu.
Akan tetapi, segera dia mendapat kenyataan bahwa dia kalah cepat dan kalah tenaga. Setiap kali lengan mereka bertemu, atau kakinya bertemu dengan lengan atau kaki Kok Kongcu, dia merasa lengan atau kakinya nyeri, seperti patah tulangnya dan tubuhnya tergetar hebat.
"Ha-ha-ha, Ngo-heng-kun belum kau kuasai dengan baik, Tang Hu. Engkau perlu berlatih sepuluh tahun lagi baru mungkin dapat mengimbangiku, akan tetapi engkau takkan mempunyai waktu lagi. Ha-ha-ha!"
Menggunakan kesempatan selagi Kok Kongcu bicara itu, tiba-tiba Tang Hu menyerang dengan tendangan Ngo-heng-twi amat dahsyatnya! Dimulai dengan tendangan kecil kaki kiri, disusul tendangan dahsyat kaki kanan. Tendangan kilat ini sukar sekali dihindarkan lawan, selain cepat juga mengandung tenaga sepenuhnya.
Namun, Kok Kongcu memang menang segala-galanya, maka menghadapi tendangan yang sudah dikenalnya ini, dia bersikap tenang saja. Setelah menangkis kaki kiri, dia membiarkan kaki kanan lawan menyambar. Setelah dekat, barulah dengan tiba-tiba dia mencondongkan tubuh ke kanan, tangannya bergerak cepat dan tangan kirinya sudah dapat menangkap pergelangan kaki yang menyambar lewat.
Kemudian dia menggunakan tenaga sakti mendorong kaki itu ke atas dan ke depan Tak dapat dicegah lagi, tubuh Tang Hu terangkat dan terlempar sampai tujuh meter jauhnya, terbanting ke atas tanah. Kalau bukan seorang pemuda yang gemblengan, tentu akan celakalah terjatuh seperti itu. Akan tetapi biarpun terkejut sekali, Tang Hu dapat menggulingkan dirinya sehingga ketika terjatuh itu dia tidak menderita luka parah.
"Ha-ha-ha-ha-ha!" Kok Kongcu berdiri bertolak pinggang sambil tertawa-tawa, "Untung aku mengubah pikiranku, Tang Hu. Engkau tidak kubunuh karena aku kasihan kepada Siangkoan Leng. Kasihan ia menjadi seorang janda muda. Pulanglah dan kawinilah ia! Engkau sejak dulu tergila-gila kepadanya, bukan? ha-ha!"
Kemarahan dan kebencian membubung ke atas, memasuki kepala Tang Hu dan membuat kepala itu terasa puyeng dan mukanya menjadi merah sekali. "Singgg.....!" Dia mencabut pedangnya dan hal ini membuat Kok Kongcu semakin geli, suara ketawanya semakin keras.
"Ha-ha-ha, engkau mencabut pedang hendak memamerkan Ngo-heng Kiam-sut kepadaku? Buang pedangmu dan pulanglah, kawinilah Siangkoan Leng. Kalau tidak, engkau akan mampus oleh pedangmu sendiri!"
"Keparat jahanam.....!!" Dengan kemarahan meluap-luap, Tang Hu sudah berlari ke depan dan menerjang dengan pedangnya. Dia bukan seorang bodoh. Dia tahu bahwa dia bukan lawan pemuda tampan halus yang sudah mengalahkan sumoinya dan suhunya itu. Akan tetapi dia tidak peduli. Dia rela mati untuk membela kehormatan sumoinya dan gurunya. Maka, dengan mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya kini dia menyerang Kok Kongcu dengan pedangnya.
Sekali ini, Kok Kongcu tidak main-main lagi. Dia tentu saja mengenal gerakan pedang itu, akan tetapi ia tidak mau menggunakan huncwe mautnya. Menghadapi Tang Hu baginya merupakan lawan yang ringan. Dan sekali ini dia menggunakan ilmu silatnya sendiri, ilmu silat dari ayahnya, See-thian Mo-ong Kok Bong Ek atau lebih terkenal dengan julukan singkat See Mo (Iblis Barat) mempunyai banyak macam ilmu silat yang aneh-aneh dan tinggi.
Memang yang amat terkenal dan ditakuti hanyalah ilmu silat menggunakan ruyung atau huncwe mautnya, dan juga ilmu pukulan Ang-see ciang (Tangan Pasir Merah) yang sekali pukul dapat menewaskan seorang lawan tangguh. Akan tetapi di samping itu masih banyak ilmu silat yang dikuasainya dan sudah diturunkan kepada Kok Kongcu.
Menghadapi permainan pedang Ngo-heng Kiam-sut, yang sesungguhnya merupakan ilmu pedang yang cukup berbahaya bagi Kok Kongcu kalau saja tidak menguasai ilmu pedang itu, Kok Kongocu mempergunakan kelincahan tubuhnya yang didasari gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang tinggi. Tubuhnya berkelebatan di antara sambaran sinar pedang. Tiba-tiba dia mengeluarkan lengkingan panjang dan dengan tangan berubah merah dia memukul ke arah lengan kanan Tang Hu.
"Aughhh.....!" Tang Hu berteriak. Lengannya terasa panas seperti dibakar. Pegangannya mengendur dan tahu-tahu pedangnya telah berpindah tangan. Ketika dia masih terhuyung, tiba-tiba nampak sinar meluncur dan pedangnya sendiri tanpa dapat dihindarkannya menusuk dadanya sampai tembus! Tepat seperti dikatakan oleh Kok Kongcu dalam ancamannya tadi. Tang Hu tewas oleh pedangnya sendiri dalam membela kehormatan sumoinya yang dicintanya dan suhunya yang dihormatinya.
Kiranya di antara segala mahluk di dunia ini, hanya manusia sajalah yang suka membunuh bukan karena kebutuhan hidup, melainkan karena kebencian! Seekor binatang yang paling buas, sekalipun seperti harimau yang dianggap paling buas di antara semua binatang darat, hanya membunuh untuk kebutuhan hidupnya, membunuh untuk menjadi makanannya.
Seekor burung rajawali, raja di antara binatang udara, juga hanya membunuh untuk mengisi perutnya yang lapar. Demikian pula ikan hiu, raja di antara binatang air, membunuh untuk keperluan makan. Dan binatang-binatang itu oleh manusia dikatakan buas dan kejam! Sekarang kita tengok keadaan kita sendiri. Manusia yang katanya merupakan mahluk yang paling utama, yang paling pandai, yang paling agung dan paling segalanya.
Apakah ini juga berarti paling jahat dan paling kejam? Kita membunuh bukan hanya untuk kepentingan makan, akan tetapi juga kita membunuh untuk kesenangan hati kita! Kita membunuh untuk main-main. Bahkan kita membunuh sesama manusia karena kebencian, yang tidak pernah dilakukan oleh mahluk lain, oleh binatang apa pun. Kita lebih kejam daripada binatang apa pun di dunia ini!
Inilah kenyataannya dan kita tidak perlu mengelak dari kenyataan Hanya kita sendiri yang mampu melihat kenyataan ini, hanya kita sendiri yang mampu mengubah tindakan kita yang jelas menyimpang daripada kebenaran ini. Saling mengiri, saling bersaing, saling membenci, saling bermusuhan dan saling membunuh! Dapatkah kita menyadari akan penyelewengan ini dan menghentikannya sekarang juga? Dapatkah kita MELIHAT ini?
Seni hidup yang paling hakiki adalah kemampuan melihat. kesalahan diri sendiri, di samping penyerahan diri kepada Tuhan agar kekuasaan Tuhan yang akan membimbing dan mengembalikan kekuatan nafsu daya rendah di tempat masing-masing sebagaimana mestinya, yaitu sebagai pelayan dalam kenidupan manusia.
Sambil tersenyum simpul Kok Kongcu meninggalkan Tang Hu yang sudah tewas itu. Pengakuannya bahwa dia kasihan kepada Siangkoan Leng tadi pun sesungguhnya hanya merupakan ucapan untuk merendahkan dan menghina saja, bukan timbul dari dalam hatinya. Hati Kok Kongcu amat angkuh terhadap wanita, bahkan dia selalu menganggap wanita bukan sebagai manusia yang sejajar kedudukannya dengan dia, melainkan sebagai penghiburnya!
Dalam hati yang seperti ini, mana mungkin terdapat perasaan iba? Perasaan iba hanya terdapat dalam hati yang masih peka, yang masih tersentuh sinar cinta kasih. Kalau kita tidak pernah merasa iba lagi kepada siapapun, perlu kita mawas diri, perlu kita menyelidiki dan meneliti keadaan batin sendiri, karena hal itu merupakan tanda bahwa batin kita pun kosong dari sinar cinta kasih.
Dan untuk membuka hati agar sinar cinta kasih dapat memasuki batin, hanya ada satu jalan saja, yaitu menyerahkan segalanya kepada Tuhan. Hanya kekuasaan Tuhan sajalah yang akan mampu membetulkan keadaan batin yang sudah "rusak" kehilangan kepekaan dan sudah buntu, tertutup oleh nafsu daya rendah.
Belum dua li jauhnya Kok Kongcu meninggalkan mayat Tang Hu, tiba-tiba terdengar seruan nyaring, "Sobat, tunggu dulu...!!"
Kok Kongcu menahan langkahnya, la membalikkan tubuhnya. Dia terkejut melihat bayangan yang datang bagaikan terbang. Bayangan itu masih jauh jaraknya, akan tetapi suaranya tadi terdengar seperti di belakangnya saja! Melihat gerakan orang itu berlari, dan mendengar suara yang dikirim dari jauh dengan kekuatan khi-kang tadi, tahulah Kok Kongcu bahwa dia dikejar orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Dia tidak merasa gentar, hanya merasa heran ingin tahu siapa orang itu dan mengapa pula mengejarnya. Dia tahu bahwa Siangkoan Bu-koan (Perguruan Silat Siangkoan) tidak ada orang yang lebih lihai daripada Siangkoan Kun Hok, dan orang yang datang ini jelas jauh lebih pandai dari guru silat itu.
Ketika orang itu tiba di depannya, Kok Kongcu memandang dengan penuh perhatian. Seorang pemuda yang usianya sebaya dengan dia, mungkin lebih tua setahun, berwajah tampan dan gagah. Pakaiannya seperti seorang sastrawan, terbuat dari kain sutera yang mahal, termasuk mewah dan pesolek. Seperti juga dia, pemuda itu menggendong sebuah buntalan yang agak panjang dan dia pun dapat menduga bahwa di dalam buntalan itu tentu tersimpan senjata, mungkin pedang.
Pemuda yang baru datang itu tersenyum dan dia merasa seperti pernah mengenalnya. Pemuda itu memperlebar senyumnya ketika melihat Kok Kongcu mengamatinya dengan ragu. Dia lalu memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan di depan dada, dengan sikap sopan seorang terpelajar sejati.
"Sobat, engkau meninggalkan mayat itu menggeletak begitu saja di tepi jalan....."
"Hemmm, habis engkau mau apa?" Kok Kongcu menantang, menduga bahwa orang ini memang mengejarnya karena kematian Tang Hu tadi. Tentu dia seorang jagoan yang dikirim keluar Siangkoan untuk menghadapinya.
Akan tetapi, pemuda tampan itu tersenyum, sama sekali tidak kelihatan marah. "Aku hanya mau mengatakan bahwa bodoh sekali membiarkan mayat itu di sana, kelihatan oleh semua orang dan menimbulkan keributan. Maka aku telah mewakilimu melemparkan mayat itu jauh dari jalan raya....."
"Peduli apa denganmu?" Kok Kongcu berkata.
"Ha-ha-ha, begitu hebatkah ilmu yang kau dapatkan dari keluarga Siangkoan maka engkau menjadi secongkak ini?"
"Hemmm, dengar baik-baik. Tanpa menggunakan sedikit pun ilmu dari keluarga Siangkoan, aku sanggup merobohkanmu!"
"Ha-ha-ha, Kok Tay Ki! Benarkah engkau telah lupa kepadaku?" Pemuda itu tertawa.
Kok Kongcu mengerutkan alisnya dan memandang lebih teliti. Dia memang rasa pernah bertemu dengan orang ini, akan tetapi lupa lagi kapan dan di mana. "Aku..... aku lupa. Siapa engkau?" Kok Kongcu berkata ragu.
"Hemmm, agaknya kehidupan yang penuh madu di rumah keluarga Siangkoan membuat engkau menjadi pelupa. Aku she Cu....."
"Ahhh! Cu See Han! Engkau putera Tung Kiam! Mau apa kau mengejar aku? Saat bagi kita untuk bertanding masih belum tiba." Kok Kongcu mengerutkan alisnya, maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan yang amat tangguh.
Dalam pertandingan terakhir antara murid-murid Empat Datuk Besar, pernah dia berhadapan dengan Cu See Han dan mereka telah saling serang sampai kedua lengan mereka bengkak-bengkak, namun belum juga ada di antara mereka yang menang atau kalah sampai pertandingan itu dihentikan guru-guru atau ayah-ayah mereka.
Pemuda itu memang Cu See Han, putera Tung Kiam. Setelah Tung Kiam mengadakan pertemuan dengan See Mo yang biasanya menjadi seorang di antara saingannya, akan tetapi yang kini menjadi sekutunya untuk membantu gerakan pasukan Mongol, maka Tung Kiam memberi tahu kepada puteranya, Cu See Han untuk segera pergi menemui Kok Tay Ki putera See Mo dan bekerja sama dengan pemuda itu.
Juga dia menyerahkan tugas yang diberikan kepadanya oleh Jenghis Khan, yaitu untuk menyelidiki keadaan Kaisar Wai Wang dari Kerajaan Cin. Bahkan kalau mungkin menimbulkan kekacauan di kota raja untuk melemahkan kedudukan kaisar itu. See Mo mewakilkan tugas itu kepada puteranya yang dianjurkan untuk mencari Kok Kongcu dan diajak bekerja sama.
Ketika melakukan penyelidikan, Cu See Han mendengar bahwa Kok Tay Ki atau Kok Kongcu berada di kota Yu-sian, di sebelah barat kota raja. Dia cepat menyusul ke sana dan ternyata baru saja Kok Kongcu meninggalkan Siangkoan Bu-koan dan keluar dari kota. Dia cepat melakukan pengejaran dan dia melihat Kok Kongcu merobohkan dan membunuh Tang Hu, kemudian meninggalkan mayat itu begitu saja di tepi jalan raya.
Untuk membantu calon sekutunya itu, See Han lalu menyeret mayat itu ke tempat yang tersembunyi di balik semak belukar agak jauh dari jalan raya, kemudian dia melakukan pengejaran dengan cepat dan berhasil menyusul Kok Tay Ki.
"Kok Tay Ki, aku khawatir kalau aku bicara, engkau tidak akan percaya, olen karena itu sebaiknya kalau aku menyerahkan surat ini lebih dulu kepadamu. Inilah surat titipan ayahmu kepada ayahku, untuk diserahkan kepadamu agar engkau mengetahui duduknya perkara." See Han lalu mengeluarkan sebuah sampul surat dan menyerahkannya kepada Tay Ki.
Tay Ki tahu siapa pemuda di depannya ini. Putera Tung Kiam seorang di antara Empat Datuk Besar yang amat berbahaya. Oleh karena itu, dia tidak mau lengah dan menderita malapetaka. Dia tidak mau menerima surat itu, melainkan hanya memandang. Ketika dia melihat tulisan di atas sampul, dia mengenal tulisan ayahnya. Barulah dia menerima surat dalam sampul itu. Dia mengeluarkan suratnya dan makin percayalah dia melihat cap dari ayahnya di sudut bawah surat itu. Baru dia membaca tulisan ayahnya.
Setelah membacanya, wajahnya berseri. Kiranya ayahnya memberi tahu kepadanya bahwa ayahnya kini telah bersekutu dengan Tung Kiam untuk membantu gerakan "Khan Yang Besar" dari bangsa Mongol! Dan ayahnya menyuruh dia untuk bekerja sama dengan Han yang telah diserahi tugas oleh Jenghis Khan melalui See Mo, membantu See Han dengan pekerjaannya itu.
Tay Ki memandang wajah See Han dan dia tersenyum, wajahnya berseri "Hemmm, jadi mulai sekarang kita menjadi sahabat?"
"Lebih dari sahabat! Kita rekan seperjuangan! Kau tahu, Tay Ki, ayah bukan hanya menjadi sekutu dalam membantu Jenghis Khan. Akan tetapi juga kita bersekutu untuk kelak merebut kedudukan pada saat diadakan pertandingan antara Empat Datuk Besar. Kalau ayah kita bersekutu, pasti Nam Tok dan Pak Ong takkan mampu menang, dan murid murid mereka pun bukan lawan kita berdua kalau kita bersekutu."
"Tapi, pekerjaan apakah yang harus kita lakukan? Ayah menyuruh aku membantumu melaksanakan tugas. Tugas apakah itu, See Han?"
See Han menengok ke kanan kiri. Sudah mulai ada orang berlalu lalang di jalan itu, maka dia lalu menggandeng tangan Tay Ki. "Mari kita cari tempat sepi agar leluasa bicara."
Mereka lalu memasuki sebuah lorong kecil yang menyimpang ke persawahan yang sunyi. Mereka lalu duduk di tepi sawah dan dari tempat itu mereka dapat melihat jauh ke sekeliling yang terbuka sehingga mereka tidak khawatir percakapan mereka akan didengarkan orang lain.
"Perkerjaan yang diserahkan kepada kita berdua merupakan pekerjaan yang amat menyenangkan, akan tetapi amat berbahaya, Tay Ki."
"Ha, semakin berbahaya semakin mengasyikkan, See Han. Itu pekerjaan laki-laki namanya, kalau mengandung bahaya. Akan tetapi, tugas apakah itu? Membunuh orang?"
See Han tersenyum, senang melihat kegembiraan kawannya. Seorang kawan seperti ini, boleh diandalkan dan kalau dibantu Tay Ki, dia yakin tugasnya akan berhasil dengan baik. "Kalau perlu mungkin membunuh. Begini, Tay Ki. Orang-orang Mongol tidak dapat bergerak leluasa di kota raja. Bahkan orang dari suku bukan Mori kalau mempunyai wajah seperti orang Mongol pun akan ditangkap, disiksa dan dibunuh. Karena itu, Jenghis Khan membutuhkan bantuan orang-orang seperti kita untuk bergerak di kota raja."
"Bergerak untuk apa?"
"Untuk melakukan penyelidikan dan membuat laporan tentang keadaan kota raja, keadaan istana, keadaan pasukannya kepada mata-mata dari utara. Dan kita juga bertugas untuk mengadakan pengacauan, kalau perlu membunuh, mengadu domba, pendeknya apa saja untuk melemahkan keadaan di kota raja."
"Siapakah mata-mata itu?"
"Mari kita cari. Dia seorang pedagang keliling yang suka membawa barang dagangan ke luar kota raja. Dia yang akan memberi tempat pemondokan untuk kita dan mencukupi semua kebutuhan kita. Hayo kita berangkat."
"Hayo!" Tay Ki gembira bukan main. Ini merupakan petualangan baru baginya. Dengan seorang kawan seperti See Han, tentu dia akan dapat banyak bersenang senang di kota raja. Pekerjaan membuat kekacauan merupakan pekerjaan yang cocok dan menyenangkan baginya!
Dan dua orang sekawan itu bergandeng tangan, melanjutkan perjalanan menuju kota raja dengan wajah gembira. Orang-orang yang bertemu dengan mereka berdua di jalan raya, tentu akan menganggap bahwa mereka adalah dua orang pemuda pelajar yang tampan dan menyenangkan.
"Hyaaattt..... ehhh, haittt.....!"
Lo Koay menggunakan tongkat bututnya menghadapi pengeroyokan San Hong dan Siang Bwee. Sudah empat bulan dua orang muda itu hidup berkeliaran dengan kakek jembel itu di dalam hutan-hutan dan lembah-lembah gunung. Pekerjaan mereka setiap hari berulang-ulang kembali, yaitu San Hong mencari daging binatang apa saja yang dipesan dan di butuhkan Siang Bwee, gadis itu sendiri pergi ke dusun atau kota untuk mencari bumbu-bumbu masakan yang aneh-aneh dan mahal, dicurinya dari rumah-rumah makan.
Kemudian mereka menemani Lo Koay makan minum hasil masakan Siang Bwee yang memang pandai sekali memasak itu. Lo Koay selalu memuji-muji masakan itu dan makan dengan gembira sampai perutnya menjadi gendut. Kalau sudah kenyang, dia duduk di bawah pohon dan Siang Bwee menari-nari dan bernyanyi di depan kakek itu yang membuat irama dengan tepuk tangan.
Setelah membiarkan kakek itu tidur barang satu jam, Siang Bwee lalu menggoyang-goyangkan kakinya, membangunkannya dan mulai merengek minta dilatih silat, terutama sekali kepada San Hong. dan kakek itu pun tidak berani menolak. Walaupun dia bersungut-sungut, namun dia tidak dapat menolak. Siang Bwee selalu mengingatkannya akan budinya yang telah membuat masakan "hidangan kaisar" dan telah menari dan menyanyi, dan mengancam tidak akan masak dan menari lagi untuk kakek itu kalau tidak mau mengajar silat.
Kalau bujukan pertamanya gagal, ancamannya itu selalu berhasil. Dan hari pun ditutup dengan latihan silat yang aneh-aneh. Agaknya Lo Koay hendak membalas budi dan mengimbangi keroyalan Siang Bwee dalam hal pemberian. Gadis itu secara royal memberikan masakan lezat dan menari dengan sungguh-sungguh, maka dia pun mengeluarkan ilmu-ilmu yang aneh, simpanan-simpanan rahasianya, diajarkan kepada San Hong atas permintaan Siang Bwee.
Pada saat dia sedang bergembira, Lo Koay sengaja mengajak mereka berlatih. Dia sendiri memainkan tongkat bututnya dikeroyok oleh San Hong dan Siang Bwee Dua orang muda ini, terutama San Hong telah memperoleh kemajuan pesat sekali walaupun hanya beberapa bulan digembleng oleh kakek sakti itu. Kalau pada pertemuan pertama kali San Hong dan Siang Bwee sudah tertotok roboh dalam pertandingan selama belasan jurus saja kini mereka dapat bertahan sampai hampir lima puluh jurus.
"Whuuuuuhhh... sudah... cukup... napasku bisa putus!" Kakek itu tiba-tiba saja lenyap dari depan dua orang yang mengeroyoknya itu.
Tentu saja keduanya terkejut dan ketika melihat ke atas, kakek itu sudah nongkrong, berjongkok di atas dahan pohon. Gerakannya tadi demikian cepatnya seperti menghilang saja! Dua orang itu memandang kagum dan diam-diam Siang Bwee maklum bahwa tingkat kepandaian kakek ini jauh di atas tingkat ayahnya sendiri. Dan ia tahu bahwa kakek itu masih menyimpan ilmu silat yang dirahasiakan sekali, maka diam-diam merasa penasaran. Ilmu ilmu silat yang dirahasiakan itu harus dapat ia "kuras"! Dengan tekad ini Siang Bwee lalu cerita kepada kakek itu.
"Hei, Siauw-koay, sudah berapa banyak engkau makan masakanku dan melihat tarianku, mendengar nyanyianku?"
"Wah, sudah banyak. Semuanya hebat rasanya sudah cukup aku menikmati semua itu, heh-heh-heh!"
Timbul kekhawatiran di hati gadis itu mendengar ucapan si kakek yang wataknya seperti kanak-kanak itu. ”Siauw-koay, pernahkah engkau makan sup sirip naga laut, daging setan laut dimasak saus tomat, cacing goreng kering?"
"Hahhh?" Sepasang mata kakek itu terbelalak dan air liurnya sudah membasahi mulutnya. "Hebat! Tapi..... gorengan cacing?"
"Hemmm, engkau belum banyak pengalaman dalam menikmati masakan untuk raja-raja, Siauw-koay. Cacing digoreng kering sekali sungguh lezat untuk dimakan dengan ditemani arak wangi dari Su-couw! Pernah engkau minum arak dari buah apel buatan Su-couw?"
"Belum.....! Belum....!" Kini ada liur menetes dari bibir itu.
"Dan pernah engkau melihat tari bidadari? Untuk menarikan tarian bidadari ini, aku harus bersamadhi dulu, harus mengenakan pakaian yang khas dari sutera putih. Tarian ini akan membuat engkau tak mampu bernapas, Siauw koay! Pernah engkau melihatnya?"
"Belum.....! Belum.....!"
"Apakah engkau ingin makan tiga macam masakan itu, kemudian sambil makan menikmati tarian bidadari?"
"Tentu saja! Aihhh, enci yang baik. Cepat kau buatkan masakan itu dan engkau menari tarian bidadari untukku.” Kakek itu merengek, sudah memuncak keinginannya untuk menikmati itu semua.
Gadis itu cemberut. "Enaknya! Engkau mau yang enak saja, Siauw koay. Engkau mau enak-enak dan kami berdua yang susah payah."
"Wah wah-wah! Siapa bilang aku enak-enakan saja? Baru saja aku melatih kalian sampai napasku hampir putus!" bantah Lo Koay.
"Ih! Ilmu silat rendahan saja yang kauberikan kepada kami! Siauw Koay, kalau memang engkau menikmati masakan dan tarianku, kenapa engkau tidak membolehkan kami menikmati dua ilmumu yang pernah kau perlihatkan akan tetapi tidak pernah kau ajarken kepada kami itu?"
"Heh? Ilmu apa?" Kakek itu berlagak bodoh.
"Sudahlah, engkau memang tidak suka kepadaku!" Siang Bwee pura-pura marah. "Dalam latihan yang lalu, engkau mempergunakan ilmu yang membuat semua pukulan kami meleset sebelum menyentuh tubuhmu. Ilmu apa itu dan mengapa tidak kau ajarkan kepada Hong-koko? Dan tadi, semua seranganku gagal karena engkau tiba-tiba saja lenyap dan tahu-tahu telah nongkrong di atas pohon. Ilmu gin-kang (meringankan tubuh) apa ini pula dan kenapa tidak kau ajarkan kepada kami?"
"Wah, dua ilmu itu adalah ciptaanku sendiri, dan kuciptakan untuk melindungi diriku yang lemah ini. Yang pertama adalah ilmu sinkang (tenaga sakti) Perisai Diri, dan yang ke dua adalah ilmu gin-kang. Menunggang Angin. Dua ilmu abadi ini bagaimana dapat kuajarkan pada orang lain? Kalau kalian menguasai ilmu-ilmu itu, bukankah berarti aku tidak akan mampu menyelamatkan diri kalau kalian serang?"
"Ihhh, Siauw Koay. Siapa yang akan menyerangmu? Kami hanya berlatih denganmu, siapa yang mau benar-benar mencelakaimu? Kami amat sayang kepadamu. Akan tetapi engkau tidak sayang kepadaku. Sudahlah, kami mau pergi saja kalau begitu!" Siang Bwee lalu menggandeng tangan San Hong dan diajak pergi.
"Heiii, nanti dulu! Pergi ya pergi akan tetapi masakkan dulu dong sup sirip naga laut, daging setan laut saos tomat dan cacing goreng kering itu! Dun perlihatkan tarian bidadarimu!"
"Boleh, akan tetapi sebagai gantinya dan imbalannya engkau harus mengajarkan sinkang Perisai Diri dan ginkang Menunggang Angin kepada Hong-koko!"
"Enak saja! Kau kira mudah menguasai Ilmu-ilmu itu, terutama sinkang Perisai diri? Sedikitnya harus bertapa selama tiga tahun, atau waktu itu dapat dipersingkat menjadi tiga bulan saja kalau orang seperti engkau atau Hong-ko ini dapat makan jamur emas!"
"Jamur emas! Apa itu? Di mana bisa kita dapatkan jamur emas?" Siang Bwee bertanya.
Kakek itu menyeringai. "Huh, bukan di kahyangan tempat para bidadari dan dikawal oleh siluman-siluman, melainkan di tempat yang tidak kalah sukarnya! Yang mempunyai jamur emas itu hanyalah Kaisar Wai Wang. Jamur Emas itu tersimpan di dalam gudang pusaka istana, dan dijaga oleh seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi!"
Siang Bwee lalu memegang kedua tangan kakek itu. "Siauw Koay, sekarang aku mau bicara terus terang kepadamu. Mari kita saling berbaik hati. Engkau mengajarkan kedua ilmu itu kepada Hong-ko dan membantu kami memperoleh jamur emas itu, dan aku akan memasakkan tiga masakan langka itu, dan aku akan menarikan tarian bidadari. Kalau engkau setuju, kita sekarang juga berangkat ke kota raja mengambil jamur emas, lalu kau ajarkan ilmu-ilmu itu. Baru aku mau masak dan menari. Kalau engkau suka, kita berangkat sekarang. Kalau tidak, aku pun tidak memaksamu dan kami akan pergi. Akan tetapi selamanya engkau akan mengiler memikirkan tiga masakan itu dan biarpun engkau memaksa koki istana kaisar, dia tidak akan mampu memasaknya. Masakan itu adalah ciptaanku sendiri! Bagaimana?"
"Waaaaahhh....! Ditambah lagi dengan Jamur Emas? Ini..... ini....." Lo Koay menggeleng-geleng kepala dan nampaknya susah.
"Kalau begitu, selamat tinggal, Lo Koay! Dan engkau boleh mengiler sampai tua!" kata Siang Bwee yang segera menarik tangan San Hong dan memaksa pemuda itu pergi dari situ dengan langkah cepat. Setelah pergi sejauh beberapa li diam-diam Siang Bwee merasa menyesal bukan main karena agaknya Lo Koay tidak mengejarnya. Ia dan San Hong akan rugi besar kalau kakek itu benar-benar mogok! Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu kakek itu telah berdiri di depan mereka!
"Mau apa engkau mengejar kami, Siauw Koay. Sampai mati pun aku tidak mau masak dan menari untukmu kalau engkau tidak memenuhi permintaanku tadi."
Kakek itu menarik napas dan menggeleng-geleng kepalanya, "Waaahhh, aku mulai merasa menyesal sekali mengapa aku bertemu dengan engkau, enci Bwee. Engkau sungguh berbahaya, jauh lebih berbahaya lagi dibandingkan Empat Datuk Besar. Huuuhhh!" Kakek itu bergidik dan nampak seperti orang yang merasa ngeri.
Siang Bwee tersenyum. Manis bukan main. "Jadi engkau ingin aku pergi dan tidak mau lagi melihat tarianku dan merasakan masakanku?"
"Tidak begitu..... ahhh, marilah. Mari kita berangkat ke kota raja dan mencuri Jamur Emas!" kata kakek itu dengan sikap apa boleh buat karena dia sungguh merasa tidak berdaya menghadapi Siang Bwee.
"Nah, begitu baru Siauw Koay yang baik dan pantas kusayang!" kata gadis itu. "Jangan khawatir, sebelum memasakkan tiga macam masakan istimewa itu setiap hari aku akan membuatkanmu masakan lezat!"
Berangkatlah mereka, ke kota raja dan di sepanjang perjalanan, setiap kali merasa lapar, tentu Siang Bwee membuatkan masakan yang sedap. Dan setiap malam, kalau mereka tidak melakukan perjalanan, gadis itu mendesak San Hong untuk melatih ilmu-ilmu yang telah di pelajarinya dari Lo Koay dan membujuk agar Lo Koay memberi petunjuk kalau gerakan San Hong ada yang kurang tepat.
Malam itu langit gelap. Tiada bulan tiada bintang karena langit di kota raja tertutup awan hitam. Karena gelapnya malam, lampu-lampu penerangan di istana nampak lebih cerah dan indah daripada biasanya. Memang, terang dan gelap tak terpisahkan. Tanpa adanya gelap, takkan ada terang dan sebaliknya tanpa adanya terang, takkan ada gelap. Keduanya saling menunjang, saling menghidupkan.
Udara amat dinginnya malam itu biarpun musim salju belum tiba. Masih musim semi, akan tetapi dinginnya musim salju yang lalu masih tertinggal walau sudah tidak ada lagi salju turun. Hawa yang dingin, cuaca yang gelap, membuat para petugas, yang mendapat giliran jaga di pintu gerbang dan di sekitar tembok tinggi yang mengelilingi kompleks istana menjadi lengah dan mengantuk.
Andaikata mereka tidak mengantuk dan tidak lengah sekalipun, belum tentu mereka akan mampu melihat berkelebatnya tiga sosok bayangan yang gerakannya amat cepat seperti burung terbang saja ketika mereka melewati pagar tembok istana. Bagaikan bayangan setan, tiga sosok itu menyelinap ke sebelah dalam tembok dan menyusup ke dalam taman.
Mereka adalah Lo Koay, San Hong dan Siang Bwee. Pemuda dan gadis itu kagum bukan main kepada Lo Koay. Kakek yang kekanak-kanakan ini ternyata hafal akan keadaan dan jalan di dalam kompleks istana! Tanpa ragu-ragu di menjadi penunjuk jalan, berada di depi dan menyusup-nyusup dengan cekatan. Jelas bahwa dia memang sudah mengenal baik tempat itu!
Mereka melewati beberapa lapis penjagaan tanpa diketahui para penjaga, belum memasuki istana, Lo Koay memesan kepada dua orang muda itu agar selalu mengikutinya dan jangan membuat gaduh karena sekali mereka ketahuan mereka akan dikepung oleh pasukan pengawal dan sukar untuk dapat meloloskan diri dari istana!
Setelah dekat dengan tempat yang mereka tuju, yaitu bangunan di mana terdapat gudang pusaka, kakek itu berbisik kepada Siang Bwee. "Sekarang, cepat pukul dadaku dengan Hek-in-ciang dari Nam Tok!"
"lhhh.....?" Siang Bwee berseru kaget.
Pukulan Hek-in-ciang (Tangan Awan Hitam) merupakan pukulan beracun yang amat hebat dari ayahnya. Bahkan pernah ayahnya menggunakan jurus Hek-in-pay san memukul San Hong dan kalau tidak ditolong oleh pengobatan tusuk jarum dari Tung Kiam, tentu nyawa kekasihnya itu tak dapat diselamatkan lagi. Kini Lo Koay minta agar ia memukul dadanya dengan Hek-in-ciang!
"Apakah engkau telah gila, Siauw Koay? Aku tidak mau mencelakaimu!"
Lo Koay menyeringai. "Kau kira dapat mencelakai aku? Kalau engkau tidak mau memukulku dengan Hek-in-ciang, kita tidak mungkin bisa mendapatkan jamur emas itu. Jamur emas itu merupakan obat mujarab yang akan menyembuhkan akibat pukulan beracun ayahmu itu!"
"Tapi.... tapi....."
"Ssttt.....! Sebentar lagi kedatangan kita akan diketahui orang. Cepat pukul atau kita akan gagal sama sekali!"
"Jangan pukul dia, Bwee-moi!" San Hong sama sekali tidak setuju kali kakek itu dipukul dengan ilmu pukul beracun yang amat jahat itu. Akan tetapi Siang Bwee percaya sepenuhnya kepada Lo Koay.
"Dia yang minta, Koko, dan tentu ada alasannya. Siauw Koay, terimalah pukulanku!" Dan tangan Siang Bwee menyambar dengan pengerahan tenaga dari ilmu Hek-in-ciang.
"Plakkk!" San Hong menangkis dari samping.
"Tidak boleh, Bwee-moi!" katanya. Akan tetapi pada saat itu, kaki Lo Koay menyambar dari samping dan serangan yang tak disangka-sangka ini membuat kedua kaki San Hong terkena sabetan dan tubuh pemuda itu pun terpelanting.
"Cepat pukul!" kata Lo Koay.
Siang Bwee mengerti maksudnya dan ia pun memukul lagi. "Plakkk.....!"
"Bwee-moi.....!" San Hong berseru akan tetapi terlambat. Tubuh kakek ini terjengkang dan ketika dia bangkit, dia terengah-engah.
"Siapa itu.....?" Tiba-tiba terdengar bentakan suara wanita yang nyaring dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang wanita yang membuat Siang Bwee dan San Hong terkejut bukan main. Wanita itu dapat bergerak demikian cepatnya. Ia orang wanita yang usianya sudah setengah abad lebih, namun masih nampak cantik dan tubuhnya ramping dengan pakaian ringkas. Tangan kirinya memegang sebuah hud-tim, yaitu semacam kebutan dari bulu dan sikapnya angkuh.
"Hemmm, kalian berani sekali datang ke sini tanpa ijin?" Kebutan itu sudah bergerak cepat bukan main, menyambar ke arah dada San Hong. Pemuda ini cepat melempar tubuh ke belakang dan dapat terhindar dari sambaran kebutan. Akan tetapi, kebutan itu bergerak lagi, kini bulu-bulunya menjadi kaku dan menusuk ke arah muka Siang Bwee. Gadis ini cepat mengelak ke samping dan menggerakkan tangan untuk menangkis.
"Plakkk!" Tubuh Siang Bwee terhuyung dan ia merasa lengannya tergetar. Bukan main hebatnya tenaga yang terkandung dalam kebutan itu.
"Cun Cun, jangan menyerang.....!" Tiba-tiba Lo Koay berkata, tangan kiri masih memegangi dadanya yang tadi terpukul oleh Siang Bwee.
"Gu Kiong San.....! Engkaukah ini.....?" Nenek cantik itu berseru, "Apa artinya ini? Kenapa engkau datang lagi dan mengapa pula membawa pemuda dan gadis ini?" Kini Lo Koay berdiri di bawah sinar lampu maka nenek itu dapat melihatnya. "Dan kau..... kau..... kenapa menjadi seperti ini.....?" Di dalam suara ini terkandung keharuan yang membuat Siang Bwee dan San Hong terheran heran.
"Panjang ceritanya, tapi.... tapi aku datang untuk mohon pertolonganmu, Cun Cun.....!"
"Mari, masuklah ke dalam. Kalau ketahuan pengawal, kalian membuat aku repot sekali!" Wanita tua itu lalu mendahului mereka, memasuki sebuah pintu kecil yang menembus kegelapan. Lo Koay, Siang Bwee dan San Hong mengikutinya dan tak lama kemudian, setelah melalui sebuah lorong, mereka diajak masuk ke sebuah kamar, kamar tidur wanita itu.
Kini mereka saling pandang di bawah sinar lampu yang cukup terang dan nenek cantik itu nampak terkejut ketika memandang kepada San Hong dan Siang Bwee. Sepasang alis yang kecil hitam melengkung panjang itu berkerut.
"Bukankah kalian ini dua orang muda yang pernah dijamu oleh Sribaginda Kaisar sebagai tamu setelah menyelamatkan Sribaginda dari sergapan musuh di hutan?"
San Hong dan Siang Bwee cepat memberi hormat kepada wanita yang amat lihai itu. "Benar sekali, Bibi yang mulia," kata Siang Bwee dengan sikap gembira.
"Hemmm, lalu bagaimana kalian dapat bersama dia datang ke sini?" Tanpa menanti jawaban, ia menyambung sambil memandang kepada Lo Koay. "Dan mengapa engkau sekarang menjadi seperti jembel begini? Dan kau..... ah, engkau terluka parah.....!" Wanita itu nampak terkejut.
Lo Koay mengeluh dan Siang Bwee melihat dengan heran betapa kini sifat kekanak-kanakan kakek itu jauh berkurang. "Aku memang terluka dan kalau engkau, tidak mau menolongku, aku akan segera mati, Cun Cun."
"Coba kuperiksa lukamu!" Wanita itu tanpa banyak cakap lagi lalu membuka baju Lo Koay dan meraba dadanya. Melihat ada tanda menghitam di dada itu. dan setelah meraba-raba, wanita itu berseru kaget sekali. "Engkau menderita luka beracun yang hebat!"
"Memang! Aku terkena pukulan Hek in-ciang dari Nam Tok dan kalau engkau tidak memberikan Jamur Emas kepadaku aku tentu mati!"
Wanita itu bernama Coa Eng Cun dan dahulu, di waktu mudanya, pernah ia menjadi kekasih Lo Koay yang ketika itu bernama Gu Kiong San. Akan tetapi, Coa Eng Cun bertemu dengan Kaisar Wai Wang yang ketika itu masih seorang pangeran. Eng Cun tertarik oleh kedudukan tinggi dan ia pun rela menjadi selir Wai Wang, meninggalkan Kiong San yang menjadi patah hati!
Akan tetapi, ketika Kaisar Wai Wang mulai tidak mempedulikannya karena di situ terdapat banyak saingan para selir muda, dan Eng Cun mendapat kenyataan bahwa kedudukan tinggi ternyata juga tidak mendatangkan kebahagiaan melainkan hanya kesenangan sementara, ia lalu minta diberi tugas yang sesuai dengan kemampuannya. Kaisar Wai Wang lalu menugaskan ia sebagai penjaga gudang pusaka karena kaisar tahu akan kemampuan bekas selir itu.
"Gu Kiong San, bagaimana engkau dapat mengharapkan aku memberikan Jamur Emas kepadamu? Kau menyuruh aku berkhianat kepada Sribaginda?"
Lo Koay menarik napas panjang. "Aku sudah menduga. Engkau tentu tidak peduli dan akan tega melihat aku mati, dan aku pun sudah tidak peduli akan nyawaku. Akan tetapi dua orang ini yang membujuk dan memaksaku. Aihhhhh, ternyata perjalanan kami yang susah payah hanya sia-sia belaka!"
Jelaslah bahwa Lo Koay minta bantuan Siang Bwee yang cerdik untuk menghadapi nenek cantik yang nampaknya keras hati itu. Siang Bwee memang cerdik. Biarpun ia tidak pernah mendengar akan hubungan kedua orang tua itu, namun melihat sikap mereka, cara mereka saling memanggil nama masing-masing, dapat menduga bahwa dahulu terdapat hubungan dekat antara Lo Koay dan wanita itu.
Maka, ia pun membantu Koay mendapatkan Jamur Emas, bukan semata-mata untuk keperluan San Hong melatih ilmu silat aneh dari Lo Koay akan tetapi yang lebih ia pentingkan untuk mengobati Lo Koay yang membiarkan diri terluka oleh pukulan Hek-in ciang.
"Bibi yang baik, kuharap Bibi suka menaruh kasihan kepada Siauw Koay ini. Dia seorang yang baik sekali, dan nyawanya terancam maut. Sebaliknya, Sribaginda Kaisar mempunyai banyak pusaka dan benda aneh, kehilangan sebuah Jamur Emas pun tidak ada artinya bagi beliau. Pula, dibandingkan dengan Sribaginda Kaisar, Siauw Koay ini jauh lebih baik, lebih bijaksana dan lebih pantas untuk di tolong!"
"Siauw Koay.....?" Coa Eng Cun bertanya heran sambil memandang kepada bekas kekasihnya itu.
Lo Koay tersenyum malu-malu. "Aih, Cun Cun. Di luaran aku disebut Lo Koay, akan tetapi Enci Bwee dan Hong-ko ini lebih suka menyebutku Siauw Koay!"
Diam-diam Coa Eng Cun merasa terharu sekali. Bekas kekasihnya ini, yang memiliki ilmu yang hebat, yang pernah menjadi orang yang dikaguminya, kini telah menjadi seorang kakek yang pikun dan kekanak-kanakan! Dan di sudut hatinya, ia merasa bertanggung jawab. Karena patah hatilah Gu Kiong San menjadi seperti ini!
"Jelaskan, mengapa engkau mengatakan bahwa dia ini lebih bijaksana dan lebih pantas ditolong daripada Sribaginda Kaisar!" katanya sambil memandang kepada Siang Bwee.
"Bibi sudah mengenal bahwa aku dan Hong-ko pernah menyelamatkan kaisar bankan kemudian diundang menjadi tamu di istana ini. Akan tetapi tahukah Bibi kenapa kami berdua pada keesokan harinya pagi-pagi menghilang dari istana tanpa pamit?"
Wanita itu mengerutkan alisnya. "Aku sudah mendengar bahwa kalian diam-diam minggat, akan tetapi aku tidak tahu mengapa. Kalian begitu kurang ajar sudah diundang sebagai tamu kehormatan lalu pergi tanpa pamit."
"Biarlah sekarang kuceritakan kepada Bibi agar Bibi mengetahui bahwa Siauw Koay ini jauh lebih bijaksana daripada Sribaginda Kaisar. Malam itu ketika kami dijamu oleh Sribaginda, diam-diam aku dibius oleh beliau dalam hidangan itu. Kemudian, malam itu Sribaginda mengatakan agar aku suka memilih, menjadi selir beliau atau selir seorang di antara para pangeran! Aku menolaknya dan karena itu maka beliau menggunakan bius! Untung Hong-koko dapat mencegah seorang pangeran yang hampir saja memperkosa aku yang dalam keadaan terbius. Kami lalu melarikan diri malam itu juga keluar istana."
Coa Eng Cun yang mendengarkan keterangan ini menarik napas panjang. Ia tahu akan kerakusan Sribaginda dan para pangeran terhadap wanita cantik dan itulah sebabnya mengapa ia minta keluar dari istana bagian puteri dan lebih suka menjadi pengawal gudang pusaka.
"Nah, apakah seorang penguasa seperti itu patut untuk dijunjung dan di bela dengan setia? Belum lagi berita tentang sikap Sribaginda terhadap pasukan Mongol! Memalukan sekali! Beliau membawa bangsa kita menjadi rendah dan hina, mau saja dipermainkan dan diperhina oleh bangsa biadab dari utara."
"Enci Bwee, cukup.....!" kata Lo Koay yang merasa kasihan kepada bekas kekasihnya itu. Hanya dia yang tahu bahwa Coa Eng Cun pernah menjadi selir Sri baginda, dan kini Sribaginda dijelek-jelekkan oleh Siang Bwee.
Nenek cantik itu menundukkan mukanya. Semua yang dikatakan gadis itu memang benar, la sendiri merasa muak ketika melihat betapa kaisar demikian merendahkan diri, seperti menyerah tanpa perlawanan kepada pasukan Mongol ketika pasukan itu mengepung kota raja. Padahal, kalau kaisar bersikap gagah mengerahkan seluruh tenaga pasukan untuk melawan, belum tentu akan kalah. Sribaginda yang setiap hari hanya bersenang senang saja itu telah menjadi seorang yang bersikap pengecut.
Kini, selagi nenek itu termenung ragu, terdengar suara Lo Koay, suaranya tidak kekanak kanakan lagi, melainkan lembut dan mengandung getaran keharuan. "Eng Cun, kita sudah tua sekarang. Apakah sisa usia yang tinggal sedikit ini hendak kau gantungkan kepada tugasmu di sini? Tidakkah engkau ingin menikmati kebebasan dunia luar istana? Cun Cun kebebasan di luar istana jauh lebih indah daripada segala gemerlapan yang berada di sini.
"Cun Cun, maukah engkau meninggalkan tempat ini dan menghabiskan sisa hidup kita bersamaku di alam bebas? Kita bersama dapat mengarungi samudera luas, dapat menjelajah gunung gunung, bagaikan dua ekor rajawali tua melayang-layang di angkasa. Bagaimana, Cun Cun?| Masihkah ada harapan bagiku menjelang akhir hidupku ini mengecap kebahagiaan yang telah lama meninggalkan aku?"
Siang Bwee menundukkan mukanya. Hatinya terharu sekali. Ingin rasanya ia menangis. Betapa seorang seperti Lo Koay dapat mengeluarkan kata-kata seindah itu, sesedih itu! Juga San Hong menundukkan mukanya. Dan nenek itu agaknya tidak mempedulikan bahwa di situ terdapat dua orang muda itu. ia mengangkat mukanya, memandang kepada Lo Koay dan perlahan-lahan sepasang mata yang masih jeli itu menjadi basah, dan runtuhlan dua titik air mata ke atas pipinya.
"Gu Kiong San, setelah apa yang kulakukan selama ini.., engkau.... masih mengharapkan itu..? Aku yang telah menyakiti hatimu, dan engkau..... masih mengharapkan kehadiranku disampingmu...?"
Lo Koay tertawa dan suara ketawanya juga berbeda dari biasanya. Suara ketawa seorang laki-laki yang dalam dan tenang. "Tidak tahukah engkau, Cun Cun? Tak pernah sehari pun aku tidak mengharapkan kembalimu di sampingku. Aku ingin... kalau aku mati..... ada engkau di sampingku.... aku ingin menggunakan sisa tenagaku untuk membahagiakanmu, memenuhi segala keinginanmu, mengusir semua duka nestapa dari hatimu."
"Kiong San.....!" Dan kini nenek cantik itu menangis, seolah menangisi sesuatu yang telah bertanun-tahun hilang dan baru kini ia menemukannya kembali. Akan tetapi ia seorang wanita yang kuat. Hanya sebentar saja terseret oleh keharuan hatinya, lalu ia berhenti menangis.
"Pergilah engkau, Kiong San dan ajak dua orang muda ini keluar dari sini. Tunggulah aku di luar pintu gerbang selatan. Besok pagi-pagi aku akan berada di sana membawa Jamur Emas."
"Cun Cun.....! Ah, terima kasih Tuhan terima kasih atas berkah ini.....! Hayo enci Bwee dan Hong-ko, kita pergi!" Di lalu bangkit dan menangkap tangan Siang Bwee dan San Hong, diajaknya mereka pergi dari situ dengan sikap yang gembira sekali.
Siang Bwee dan San Hong tidak membantah walaupun di dalam hatinya, Siang Bwee merasa kecewa dan ragu-ragu. Namun, karena perjalanan keluar istana bukan merupakan pekerjaan mudah, bahkan amat berbahaya, maka ia pun tidak berani mengeluarkan suara, hanya bersama San Hong mengikuti Lo Koay yang menjadi petunjuk jalan. Akhirnya, mereka berhasil keluar dari tembok istana dengan selamat dan Lo Koay mengajak mereka memutar dan menanti di luar pintu gerbang selatan.
Malam telah larut akan tetapi mereka tidak berani membuat api unggun karena hal itu akan menarik perhatian para penjaga di pintu gerbang dan akan membangkitkan kecurigaan mereka. Mereka hanya duduk saja di balik pohon-pohon yang tumbuh tak jauh dari pintu gerbang, dan jarak mereka cukup jauh dari pintu gerbang sehingga mereka dapat bercakap cakap dengan leluasa tanpa khawatir terdengar orang lain. Setelah berada di situ, barulan Siang Bwee berani bicara untuk melampiaskan perasaan tidak puas dan penasaran di hatinya.
"Siauw Koay, bagaimana sih engkau ini? Engkau membiarkan dirimu menerima pukulan Hek-in-ciang, engkau terluka dan berada dalam bahaya. Menurut keteranganmu, hanya Jamur Emas yang dapat, menyelamatkanmu. Kita sudah bersusah payah menyelundup ke dalam istana dam tiba di gudang pusaka. Akan tetapi, engkau menerima janji bibi itu begitu saja! Kenapa tidak kau minta malam tadi juga obat itu? Bagaimana kalau ia tidak memenuhi janjinya?"
Lo Koay tersenyum dan kini sifat kanak-kanaknya hilang sama sekali. Akan tetapi dia masih bersikap biasa. "Enci Siang Bwee, jangan khawatir. Eng Cu bukan seorang yang suka melanggar janji. Ia pasti akan muncul. Pasti! Dan jamur emas itu akan dibawanya ke sini Percayalah!"
"Siauw Koay, kalau boleh aku mengetahui, siapakah sesungguhnya bibi yang lihai itu?" San Hong ikut bertanya karena dia merasa tertarik dan kagum sekail kepada nenek cantik yang amat lihai itu.
"Aku pun ingin tahu sekali, Siau Koay. Ceritakanlah, siapakah bibi itu? Agaknya engkau amat mencintanya!" kata biang Bwee tanpa sungkan lagi.
Lo Koay tertawa. Dia memang paling suka kepada Siang Bwee karena sikapnya yang terbuka itu. "Ha ha ha, dugaanmu benar, enci Bwee. Aku mencinta Coa Eng Cun, sejak kami berusia dua puluh tahun sampai sekarang dan selamanya. Dahulu kami pernah menjadi kekasih, akan tetapi sebelum kami menikah, ia dipilih oleh pangeran yang kini menjadi Kaisar Wai Wang. Ia dibawa ke istana sebagai selir pangeran....."
"Ihhh! Dan engkau diam saja, Siauw Koay?" Siang Bwee berseru penasaran.
"Ha ha-ha, enci Bwee. Habis, aku disuruh bagaimana? Eng Cun masih amat muda, dan bagaimana mungkin menyalahkan seorang gadis muda yang silau oleh gemerlapnya kemuliaan di istana pangeran? Aku mengalah, ia menjadi selir pangeran."
"Hemmm, dan sejak muda ia sudah lihai sekali?"
Kakek itu mengangguk. "Tingkat ilmu kepandaiannya hanya berselisih sedikit dengan aku. Sebetulnya ia masih terhitung sumoiku. Ketika ia berada di istana, ia memperdalam ilmunya dan belajar dari para jagoan istana sehingga ia semakin lihai saja."
"Akan tetapi, ketika pangeran itu menjadi kaisar, berarti ia seorang selir kaisar, Siauw Koay! Lalu bagaimana kini ia menjadi penjaga gudang pusaka?"
"Biarpun kami sudah saling berpisah jauh, aku tidak pernah melupakannya begitu saja dan aku selalu menyelidiki keadaannya, maka aku tahu apa yang terjadi dengan dirinya. Segala yang gemerlapan itu hanya nampak indah bagi yang belum memilikinya saja. Sekali yang gemerlapan itu sudah dimilikinya, maka akan hambarlah, akan pudarlah keindahannya. Wai Wang lupa diri. Setelah menjadi kaisar, dia membiarkan diri tenggelam dalam kesenangan.
"Eng Cun merasa ditinggalkan dan ia pun merasa kecelik. Sudah sepuluh tahun yang lalu ia mengundurkan diri dari kumpulan selir kaisar, dan minta tugas sebagai penjaga gudang pusaka. Nah, demikianlah, sampai malam ini kami saling bertemu karena.... karena ingin makan masakanmu dan melihat tarianmu, enci Bwee. Ha-ha-ha.....!"
Siang Bwee juga tertawa. Kakek ini sudah kembali menjadi seorang kakek yang gembira namun berwibawa, tidak lagi kekanak-kanakan walaupun masih jenaka. "Siauw Koay, katakan saja bahwa engkau rindu kepada Bibi Coa Eng Cun, jangan pakai alasan ingin merasakan masakanku segala!"
"Sungguh, enci Bwe. Kalau tidak karena masakan dan tarianmu, kalau tidak ingin menukarnya dengan ilmuku, aku tidak akan berani datang menemuinya. Aku... aku takut kalau kalau menderita kekecewaan dan kedukaan yang kedua kalinya. Aku takkan kuat menahan derita itu. Dan sekarang, terima kasih kepada Tuhan! Agaknya Tuhan menaruh iba kepada kami dan kami akan dipersatukan kembali, menghabiskan sisa hidup berdekatan selalu!"
San Hong merasa terharu sekali dan dia pun cepat memberi hormat kepada kakek itu dan berkata, "Lo-cianpwe, saya menghaturkan kionghi (selamat) atas berkumpulnya kembali ji-wi lo-cianpwe (dua orang tua gagah)...!"