Pedang Asmara Jilid 29

Cerita silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Pedang Asmara Jilid 29
Sonny Ogawa

Pendekar Asmara Jilid 29 karya Kho Ping Hoo - TIBA-TIBA San Hong menjatuhkan diri berlutut di depan nenek dan kakek itu. "Teccu Kwee San Hong bersumpah untuk tidak mempergunakan ilmu yang teecu dapatkan dari Jiwi Lo-cianpwe untuk melakukan kejahatan!"

Novel silat Mandarin karya Kho Ping Hoo

Melihat ini, siang Bwee juga cepat berlutut di sebelah pemuda itu dan berkata. "Aku pun bersumpah!"

"Heh, enci Bwee, engkau bersumpah apa?" tanya Lo Koay. "Bersumpah seperti itu tadi! Seperti yang dikatakan Hong-ko!" Kakek itu tertawa bergelak dan nenek Coa juga tersenyum.

"Aih, sekarang aku mengerti. Untuk mempelajari sin-kang Perisai Diri, orang harus makan Jamur Emas baru akan dapat mempelajari dalam wuktu lebih singkat. Jadi, Jamur Emas itu kau butuhkan untuk San Hong ini?"

"Aku tahu, engkau memang cerdik sekali, Eng Cun." Kata kakek itu memuji sambil menundukkan muka seperti orang merasa malu.

"Dan untuk memaksa agar aku menyerahkan Jamur Emas itu, engkau sengaja membiarkan dirimu dipukul dengan pukulan beracun dari Nam Tok, hemmm, tentu gadis ini yang melakukannya, agar engkau terluka dan kelihatan membutuhkan Jamur Emas itu, bukan?"

"Lihat, enci Bwee. Bukankah Eng Cun cerdik sekali? Mengakulah bahwa engkau masih kalah cerdik! Ia wanita paling cerdik di dunia ini!" Lo Koay bersorak dengan sikap yang gembira sekali.

Siang Bwee tahu bahwa nenek itu memang cerdik, akan tetapi di dalam hatinya mana ia mau mengaku kalah cerdik? Hanya ia masih membutuhkan mereka, maka ia harus pandai pula mengambil hati orang.

''Memang bibi Cou Eng Cun cerdik sekali, dan aku kalah cerdik kecuali dalam hal membuat masakan!" Bagaimana pun, ia masih mengurangi kekalahannya dengan menonjolkan kepandaiannya memasak.

"Baiklah, aku akan ikut menikmati masakan-masakanmu itu dan menonton tarian, dan sebagai upahnya, aku akan menurunkan pula semacam ilmuku kepada kalian," akhirnya nenek Coa Eng Cun berkata.

Bukan main gembiranya San Hong dan Siang Bwee yang segera menjatuhkan diri berlutut lagi menghaturkan terima kasih. Sekali ini, karena ada nenek Coa Eng Cun. Siang Bwee tidak berani main main. la lalu mengajak mereka semua menuju ke tepi laut karena hanya di sanalah ia bisa mendapatkan "daging setan laut" dan "sirip naga laut" untuk masakannya.

Mereka memilih tempat yang sunyi di tepi Lautan Po-hai, di sebelah timur kota raja. Diam diam Siang Bwee membisikkan siasatnya kepada San Hong. Mereka membiarkan kakek dan nenek itu melepas rindu dengan bercakap-cakap, dan Siang Bwee mengajak San Hong mencuri bahan-bahan masakan itu. Juga ia pergi ke kota untuk membeli bumbu bumbu yang dibutuhkan, tidak lupa arak apel yang lezat.

Kakek itu telah memberi Jamur Emas untuk dimakan oleh San Hong dan sampai tiga hari pemuda itu rebah saja dengan tubuh panas keracunan jamur itu. Akan tetapi setelah lewat tiga hari tubuhnya terasa segar dan kuat sekali. Kini dia telah siap untuk menerima latihan sinkang Perisai Diri dari Lo Koay.

Pagi hari itu, Siang Bwee telah pergi dan berpamit kepada mereka semua untuk mempersiapkan masakan masakannya yang akan dapat dinikmati siang nanti sebagai makan siang. Dan pagi itu, Sun Hong mohon dengan sangat kepada Lo Koay dan Coa Eng Cun untuk menguji ilmu-ilmunya. Dia belum menerima latihan sin-kang Perisai Diri karena menurut anjuran nenek Cou, ilmu itu baru diberikan kalau Siang Bwee telah memenuhi janjinya!

Akan tetapi, untuk melayani pemuda itu berlatih, kakek dan nenek yang sedang bergembira pagi itu, memenuhinya, Sun Hong mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, berlatih dan dilayani secara bergantian oleh kakek dan nenek itu. Diam-diam nenek Coa Eng Cun kagum bukan main dan harus diakuinya bahwa Kwee San Hong merupakan seorang pemuda yang berbakat baik sekali. Belum pernah ia bertemu dengan seorang pemuda setangguh itu.

Kalau pemuda itu sudah menguasai ilmu sin kang Perisai Diri, agaknya ia sendiri pun akan sukar untuk mengalahkannya! Begitu banyaknya ilmu silat tinggi telah dikuasai pemuda itu, dan ternyata bakat alamnya membuat dia mampu mengombinasikan ilmu-ilmu itu sehingga kalau dia bertempur, semua unsur ilmu silat bermacam-macam itu keluar dengan penuh daya gunanya!

Karena gembira melayani San Hong yang agaknya tidak mengenal lelah, tahu tahu matahari telah naik tinggi dan kedua orang kakek dan nenek itu yang merasa kelelahan.

"Tok-tok-tok-tokkk!"

Tiba-tiba terdengar bambu dipukul. Mereka semua menoleh ke arah suara itu dan melihat Siang Bwee melambaikan tangan di depan gubuk darurat yang mereka bangun di tepi pantai.

"Makan siang sudah siap!" teriak gadis itu.

Kakek dan nenek itu saling pandang. Tanpa bicara mereka menduga-duga apakah gadis itu benar-benar akan memenuhi janjinya hari ini. Sedangkan San Hong juga memandang dan ketika kedua orang tua itu melangkah menuju ke gubuk, dia mengikuti dari belakang dengan hati tegang. Dia tahu benar bahwa siang inilah hidangan istimewa itu akan dikeluarkan oleh Siang Bwee untuk kakek dan nenek itu dan diam-diam dia berdua semoga usaha gadis ini berhasil.

Jauh sebelum tiba di gubuk itu, hidung Lo Koay sudah berkembang kempis. "Hemmm, sedap, sedaanppp.....!" serunya gembira. Memang dari tempat itu telah tercium bau masakan yang amat sedap, juga nenek itu mengangguk-angguk.

"Hemmm, aku mencium bau bawang dan jahe!" katanya dan mereka mempercepat jalan mereka menuju ke dalam gubuk.

Ketika mereka bertiga memasuki gubuk, di atas sebuah meja kasar telah terdapat tiga panci besar terisi masakan yang masih mengepulkan uap dan baunya memang sedap sekali! Kakek dan nenek itu cepat duduk menghadapi meja makan. Dengan sikap bangga Siang Bwee menunjuk ke arah sebuah panci yang kuahnya berwarna putih kuning dan agak berminyak.

"Inilah sup sirip naga laut!"

Kakek dan nenek itu menyambar sumpit masing-masing, lalu memungut sepotong daging yang putih kemerahan bercampur sirip tipis kuning dan memasukkan ke dalam mulut masing-masing. Mereka mengunyah dan kakek itu mengangguk-angguk.

"Lezat..... lezat......!" Bahkan nenek Coa itu pun harus mengakui bahwa daging dan sirip itu lezat.

"Dan yang itu adalah daging setan laut dimasak saos tomat!" kata pula Siang Bwee.

Di dalam panci ini terdapat masakan yang kuahnya kental, warnanya merah dan nampak lezat sekali dengan daging melingkar yang kuning kemerahan. Dua orang tua itu pun mencicipi dan kembali mereka mengangguk-angguk, akan tetapi diam-diam nenek itu mengenal daging itu yang rasanya kenyal seperti daging udang!

"Dan inilah cacing gemuk goreng kering!"

Kini dua orang kakek dan nenek itu memandang. Di dalam panci itu terdapat potongan daging dengan kulitnya yang kekuningan seperti potongan tubuh cacing besar, atau ular, atau belut. Mereka mencobanya setelah mengambil sepotong dan mencelupkannya ke dalam saosnya, yaitu kecap bercampur bumbu lain. Rasanya memang enak bukan main!

"Hebat, masakan hebat! Pernahkah engkau merasakan seperti ini, Eng Cun?” Kakek itu lalu makan dengan gembul.

Nenek itu pun memuji dan makan dengan enaknya. Diam-diam San Hong merasa lega dan gembira sekali dan dia pun sibuk menyuguhkan arak apel kepada dua orang tua itu. Setelah merasa kenyang, kakek dan nenek itu keluar dari dalam gubuk, memberi kesempatan kepada dua orang muda itu untuk makan minum karena masakan itu cukup banyak.

San Hong kagum bukan main. Memang tiga macam masakan itu lezat sekali, sambil makan, dia bertanya dan berbisik, “Bagaimana engkau dapat masak yang seperti ini, Bwee-moi? Dari mana kau bisa mendapatkan sirip naga laut, daging setan laut dan cacing gemuk...."

"Sssttt, mana ada sirip naga laut? Ini hanyalah hi-sit biasa, sirip hiu, dan setan laut itu adalah udang setan yang bentuknya menakutkan akan tetapi dagingnya enak, dan cacing? Ini adalah belut!"

Hampir San Hong tak dapat menahan tawanya, akan tetapi harus diakuinya bahwa masakan itu memang enak bukan main. Setelah selesai makan dan mereka berdua mencuci mangkok dan panci, mereka lalu keluar menuju ke tempat kakek dan nenek itu duduk berdua di tepi laut. Bagaimanapun juga, San Hong masih merasa tegang, mengingat akan permainan yang dilakukan Siang Bwee dengan masakan-masakan tadi.

"Hebat, masakanmu hebat, enci Bwee! Engkau harus mengajarkan cara memasak seperti itu kepada Cun Cun!" kata kakek itu menyambut mereka.

"Memang, enak, akan tetapi engkau telah membohongi kami, Siang Bwee. Engkau telah mempermainkan kami orang-orang tua!" kata nenek Coa.

Siang Bwee nampak tenang saja, tidak seperti San Hong yang merasa semakin tegang. "Bibi Coa yang baik, kebohongan apakah yang telah kulakukan? Aku tidak pernah merasa mempermainkan kalian yang kuhormati dan apalagi Lo Koay yang kusayangi."

"Benar, Cun Cun, Siang Bwee ini anak baik, mana ia mau membohongi kita dan mempermainkan kita?" Kakek itu membela dengan suara sungguh-sungguh.

"Dasar engkau tolol dan pikun!" Nenek itu membentak Lo Koay yang segera diam dan menunduk dan takut-takut sehingga San Hong merasa kasihan melihatnya.

"Siang Bwee, engkau boleh membohongi dan mengelabui kakek pikun ini akan tetapi mana mungkin engkau dapat menipu aku? Masakanmu tadi memang harus kuakui lezat dan enak sekali, akan tetapi yang kau masak itu sama sekali bukan sup sirip naga laut, bukan pula masak daging setan laut dan goreng cacing gemuk! Kau kira aku tidak tahu? Sirip itu sirip ikan hiu yang dapat dibeli di toko makanan besar, daging saos tomat itu daging udang, dan goreng cacing itu goreng belut atau ular. Benarkah?"

Gadis itu sama sekali tidak memperlihatkan wajah takut, bahkan tersenyum manis sekali dan mengedipkan matanya sebagai isyarat antara wanita kepada nenek itu! "Ihhh, Bibi ini! Kenapa sih membongkar rahasia dapur wanita? Tentu saja. Di mana ada naga laut dan setan laut? Yang kusebutkan itu hanyalah nama masakannya, memang nama masakan itu sup sirip naga laut, hanya namanya saja. Dibuatnya dari apa itu rahasia dapur!

"Demikian pula dengan setan laut dan cacing gemuk! Bibi, justeru di situlah letak seni memasak. Bukankan daging ayam atau daging sapi tidak kita sebut bangkai ayam atau bangkai sapi? Padahal yang dimasak jelas bangkai. Binatang yang mati dinamakan bangkai, bukan? Coba kita katakan bahwa kita akan masak bangkai ayam atau bangkai sapi, siapa akan sudi memakannya?"

Aneh sekali bagi San Hong, akan tetapi juga melegakan hati. Nenek itu tidak marah, bahkan tersenyum dan nampak tertarik sekali. "Hemmm, engkau memang cerdik sekali dan pandai memasak, Siang Bwee."

"Terima kasih atau pujian itu, Bibi. Pujian Bibi jauh lebih kuhargai daripada pujian Hong-ko atau Lo Koay. Aku sudah berjanji kepada Lo Koay untuk mengajarkan seni memasak kepadamu, Bibi. Tentu saja kalau Bibi suka."

"Hemmm, aku akan suka sekali, Siang Bwee."

Mendengar ini, Lo Koay lalu menyambar tangan San Hong. "Hong-ko, mari kita pergi ke balik batu karang sana. Sudah waktunya aku mengajarkan sin-kang Perisai Diri kepadamu!" Dan tanpa menjawab, kakek yang nampak kegirangan mendengar nenek Coa akan belajar seni memasak dari Siang Bwee, sudah menariknya dan keduanya lalu berlari cepat dan lenyap di balik bukit karang.

"Untung sekali engkau dapat bertemu dan saling mencinta dengan seorang pemuda seperti Kwee San Hong itu, Siang Bwee. Dan untung pula engkau bertemu pula dengan Lo Koay. Akan tetapi lebih untung lagi bahwa engkau puteri Nam Tok, yang biarpun jahat dan kejam, kutahu berjiwa pahlawan. Andaikata engkau ini puteri See Mo atau Tung Kiam, tentu aku tidak akan suka mengampunimu. Nah, karena engkau sudah berjanji kepada Lo Koay, cepat kauajarkan aku seni memasak."

"Sesungguhnya tidak ada rahasia yang terlalu sulit dalam seni memasak, Bibi yang baik. Menghidangkan masakan, harus memperhatikan semua hal yang mengenai kesukaan panca indera. Bukan hanya rasanya saja yang penting. Pertama sekali, cara memotong sayur atau daging dan cara memasaknya agar sayur atau daging itu tidak menjadi terlalu lunak atau terlalu keras, sehingga terasa mudah dan enak kalau dipungut dengan sumpit."

"Ihhh! Sampai demikian telitinya?"

"Tentu saja! Coba Bibi bayangkan, bagaimana rasanya kalau kita menyumpit daging yang licin dan keras, atau yang lunak dan lembik sekali. Tidak enak rasanya, bukan? Jadi, cara memotong pun harus disesuaikan, jangan terlampau besar jangan terlalu kecil sehingga enak kalau dijepit dengan sumpit dan tepat sekali besarnya kalau dimasukkan mulut. Harus dapat dimasukkan mulut setiap kali menjemput, tidak perlu digigit sepotong. Setelah ini dipelajari, harus pula diperhatikan selera mata."

"Mata? Apa hubungannya pula dengan masakan? Mata tidak ikut makan!" bantah nenek itu.

"Itu salah besar, Bibi. Justeru sebelum mengambil makanan dengan sumpit, sebelum merasakan rasanya, lebih dulu mata yang akan menilai. Masakan itu harus diatur sedemikian rupa sehingga menyedapkan perasaan mata. Potongannya yang rapi, warnanya yang menarik. Coba bayangkan kalau melihat masakan yang bentuknya jelek, warnanya keruh, warnanya kehitaman seperti warna yang kotor, apakah bisa menimbulkan selera? Berbeda kalau dagingnya nampak segar kemerahan, sayurnya nampak segar kehijauan, dan kuahnya pun nampak bersih kuning berminyak. Dari penglihatan ini saja masakan itu seperti menggapai dan mengundang orang untuk memakannya."

"Hemmm, kau benar juga. Lalu apa lagi?"

"Setelah memperhatikan mata, kita memperhatikan hidung! Ini penting sekali. Masakan yang kita buat harus mengeluarkan aroma yang sedap. Bahkan ini yang lebih dulu harus diperhatikan karena sebelum mata melihat bentuk dan warna, hidung yang lebih dulu disambut bau sedap masakan itu. Kalau hidung sudah dirangsang, maka orangnya tentu akan berlari mencari-cari dari mana datangnya bau yang sedap itu, bahkan cacing perut pun mulai menari-nari kalau hidung sudah mencium bau sedap masakan. Dan tentu Bibi tahu, bau sedap merangsang itu dapat ditimbulkan oleh bumbu-bumbu masakan, terutama sekali bawang putih, telur, pandan, jahe, arak, kecap, dan bumbu-bumbu lain. Kalau bumbu-bumbu itu terbawa uap, akan merangsang hidung dan menimbulkan selera."

Nenek itu mengangguk-angguk, tidak dapat membantah kebenaran-kebenaran "seni" memasak itu. "Kau tadi bilang semua panca indera perlu dirangsang seleranya. Kukira pendengaran telinga tidak membutuhkan rangsangan itu, sama sekali tidak ada hubungannya telinga dengan masakan."

"Siapa bilang? Justeru pendengaran telinga perlu dirangsang secara hebat! Karena itulah maka tadi aku menamakan masakanku itu sup sirip naga laut, daging setan laut saos tomat dan goreng cacing gemuk! Nah, bukanlah nama-nama yang aneh dan menarik itu menimbulkan selera setelah orang mendengarnya? Rumah makan yang dipimpin orang pandai tentu akan memberi nama-nama indah kepada pendengaran telinga itulah! Bukankah Bibi sendiri juga tadinya terangsang setelah mendengar nama masakan-masakanku?”

Nenek itu tertawa. "Heh-heh-heh, benar juga engkau! Sungguh engkau seorang ahli masak yang hebat, Siang Bwee!"

"Nah, sekarang tentang rasa dari masakan itu sendiri. Ini yang tidak mudah, Bibi. Kita harus awas, kita harus penuh perhatian dan cerdik. Kita harus mempelajari dulu bagaimana selera orang yang akan makan masakan kita. Setelah kita mengetahuinya, kita harus menyesuaikan masakan kita dengan seleranya. Akan tetapi pada umumnya, kalau kita belum mengenal seleranya, kita harus berhati-hati.

"Yang penting diperhatikan, jangan terlalu manis dan jangan terlalu asin. Kalau masakan kurang asin, mudah saja ditambah garam atau kecap asin, bukan? Kalau masakan kurang manis, dapat saja ditambah gula atau kecap manis. Akan tetapi bagaimana kalau sudah terlanjur terlalu asin atau terlalu manis? Makanan itu tentu akan ditolak!

"Juga cara memasak itu membutuhkan seni tersendiri, besarnya api untuk masakan apa, lamanya dimasak, apakah suatu masakan itu perlu ditutup atau dibuka, semua itu ada aturannya. Bagaimana untuk menghilangkan bau amis, bagaimana untuk membuat daging ikan yang amis menjadi berbau sedap, bagaimana untuk membuat sayur yang baunya langu menjadi gurih."

Mulailah Siang Bwee mengajarkan cara memasak, bahkan menuliskan beberapa resep dari masakan-masakan aneh dan langka yang dikarangnya sendiri.

"Bibi harus memperhatikan selera dari Lo Koay. Ingat, ia sudah tua, giginya sudah banyak yang ompong. Kalau Bibi membuat goreng kacang yang keras dan menyuguhkannya, tentu sebutir kacang dalam mulutnya tidak akan habis dimakannya setengah hari. Sebutir kacang itu hanya akan bermain kucing-kucingan, dikejar-kejar lidahnya dalam mulut dan tak dapat digigit hancur!"

Nenek itu kini terkekeh-kekeh geli dan mulai merasa suka kepada Siang Bwee. Gadis lincah jenaka ini memang pandai sekali mengambil hati orang.

"Karena itu, goreng cacing gemuk tadi, yang sesungguhnya daging belut, sebelum kugoreng, kurebus dulu sehingga lunak. Juga Lo Koay tidak begitu suka rasa asin, lebih suka rasa manis. Pantas dia mencinta Bibi, karena Bibi juga manis, dulu waktu muda tentu manis sekali."

"Ihhn, genit kau!" Nenek itu memaki, akan tetapi sambil tertawa.

Sementara itu, di balik bukit sana, Lo Koay mengajarkan San Hong menghimpun tenaga sakti, yaitu sin-kang Perisai Diri yang amat hebat. Kalau saja dia belum makan Jamur Emas tentu dia tidak akan kuat menerima latihan sin-kang sehebat itu, karena Lo Koay secara langsung mengoperkan sin-kangnya untuk "membuka" semua jalan darah dalam tubuh San Hong.

Pemuda itu diharuskan duduk bersila, mengadakan latihan pernapasan yang istimewa, kadang latihan itu harus dilakukannya sambil berdiri, telentang, telungkup, bahkan berdiri jungkir balik dengan kepala di bawah.

Latihan yang amat berat ini dilakukan selama satu minggu, siang malam hampir tak pernah berhenti, bahkan selama latihan, San Hong hanya diperbolehkan membasahi tenggorokannya saja, dan harus membiarkan perutnya kosong!

Sementara itu, Siang Bwee mengajarkan seni memasak kepada nenek Coa, dan juga ia menerima latihan gin-kang Menunggang Angin dari Lo Koay. Karena kini merasa suka sekali kepada Siang Bwee, nenek itu pun mengajarkan ilmu langkah ajaib yaitu Langkah Berlingkar. Dengan ilmu langkah ini, dan dengan gin-kang Menunggang Angin, Siang Bwee kini dapat menghadapi serangan yang betapa hebat pun dari lawan tanpa khawatir karena ia pasti dapat menghindarkan diri!

Setelah lewat seminggu, pada pagi hari ketika San Hong yang melakukan latihan bergantung pada batu karang dengan kepala di bawah semalam suntuk turun dari atas, dan Siang Bwee baru saja bangun tidur, mereka tidak melihat lagi adanya kakek dan nenek itu. Mereka pergi begitu saja tanpa pamit! Memang mereka orang-orang aneh, atau mungkin juga mereka tidak ingin dilanda keharuan dan kesedihan karena perpisahan setelah mereka kini merasa suka kepada dua orang muda itu.

"Ihhh, mereka telah pergi tanpa pamit! Sungguh aku bodoh! Semestinya aku sudah dapat menduga ketika malam tadi mereka minta aku memenuhi janjiku, yaitu melakukan Tari Bidadari itu."

"Tarianmu itu indah sekali!" San Hong memuji.

"Ihhh, yang kau pikirkan itu saja. Lihat, mereka telah pergi meninggalkan kita tanpa pamit!" Gadis itu bersungut.

"Sudahlah, Bwee-moi. Bukankah mereka pun sudah memenuhi janji, dan kita sudah diberi pelajaran ilmu-ilmu itu? Kita hanya tinggal mematangkan ilmu-ilmu itu lewat latihan saja. Kita harus berterima kasih kepada mereka." Setelah berkata demikian, San Hong lalu menjatuhkan diri berlutut di atas pasir pantai itu, membelakangi lautan. Suaranya terdengar lantang.

”Teecu berdua Ang Siang Bwee dan Kwee San Hong menghaturkan terima kasih kepada kedua lo-cian-pwe Lo Koay Gu Kiong San dan Coa Eng Cun yang telah berkenan mengajarkan ilmu-ilmu kepada teecu berdua!"

Melihat sikap ini dan mendengar suara San Hong yang bersungguh-sungguh, Siang Bwee merasa tidak enak untuk diam saja dan ia pun menjatuhkan diri berlutut di samping pemuda itu. Sikap ini saja sudah membuktikan akan cinta kasihnya kepada San Hong karena selamanya belum pernah Siang Bwee merendahkan diri dengan berlutut seperti itu!

Setelah mereka bangkit kembali, San Hong memandang gadis itu dan bertanya, "Sekarang apa yang akan kita lakukan?"

Siang Bwee tersenyum senang. Begitu kakek dan nenek itu pergi, ia merasa menjadi pemimpin kembali! Ialah yang menentukan ke mana mereka pergi, dan ia tahu bahwa San Hong hanya akan memenuhi semua keinginannya.

"Ke mana lagi? Kita kembali ke kota raja!" kata Siang Bwee.

Pemuda itu terbelalak memandang kepadanya. "Ke kota raja lagi? Mau apa, Bwee-moi? Kita selalu menemui bahaya kalau berada di sana. Pertama kali ketika dijamu kaisar, kedua kalinya ketika mencari Jamur Emas. Dan sekarang engkau mengajak aku ke sana lagi? Mencari penyakit itu namanya!"

Gadis itu cemberut. "Engkau tidak berani? Takut? Kalau begitu, biarlah aku sendiri yang ke sana, dan engkau tinggal saja bertapa di tepi laut ini, menjadi pertapa sampai tua, sampai menjadi udang kering!"

"Eh? Kenapa jadi udang kering?''

Melihat pemuda itu bertanya sungguh-sungguh, dengan heran, Siang Bwee tertawa. "Kalau sudah tua dan bongkok, setiap hari terkena panas matahari di pantai, menjadi apalagi kalau tidak menjadi udang kering?" Dan ia tertawa lagi, terpingkal-pingkal membayangkan kekasihnya itu menjadi seperti udang kering, tua bongkok dan kurus kering.

"Engkau memang nakal, harus kuhukum dengan ciuman. Sudah seabad lamanya rasanya tidak menciummu, Bwee-moi!"

San Hong hendak menangkap akan tetapi Siang Bwee mengelak. San Hong cepat membalik dan menggunakan kecepatan untuk merangkul gadis itu, namun kembali tiba-tiba saja Siang Bwee terlepas. Dia menyambar lagi, lepas lagi dan akhirnya mereka seperti berlatih. San Hong kagum bukan main. Gadis itu hanya melangkah ke sana-sini dalam bentuk lingkaran-lingkaran, namun anehnya, semua serangannya untuk menangkap gadis itu gagal!

Siang Bwee memang mempraktekkan ilmu yang dipelajarinya dari Lo Koay dan nenek Coa, dan ia girang bukan main karena kekasihnya tidak mampu menangkapnya, dan ia tertawa-tawa girang, mentertawakan San Hong. San Hong sengaja mempercepat gerakan dan berusaha sungguh-sungguh untuk menangkap karena dia pun ingin mereka berlatih bersama, dan sampai puluhan jurus dia keluarkan, belum juga dia berhasil menangkap Siang Bwee.

Akhirnya, dia berhenti dan kedua lengannya dikembangkan, kedua tangan dibuka dan dia membuat gerakan menarik dan Siang Bwee terhuyung kearahnya sehingga jatuh ke dalam pelukannya. San Hong mencium kedua pipinya, baru melepaskannya.

"Ihhh! Engkau menggunakan ilmu siluman!" Gadis itu berseru sambil memandang heran, kedua pipinya menjadi merah sekali karena ciuman tadi, merah karena jengah.

San Hong tertawa bangga. "Itulah sinkang Perisai Diri, Bwee-moi. Dengan sinkang itu, aku mengerahkan tenaga dan menarikmu. Padahal, ilmu ini belum kulatih sampai matang. Dan engkau pun hebat bukan main. Sampai payah aku menyerangmu. Kalau aku tidak memiliki sin-kang Perisai Diri, agaknya sampai tua aku akan selalu mengejarmu dan tidak berhasil!"

Siang Bwee tertawa. "Tak usah mengejar sampai tua aku akan datang sendiri padamu, Hong-ko. Kau kira aku tega membiarkan engkau mengejarku sampai tua? Sudahlah, belum waktunya kita bersenang-senang. Hayo kita ambil pakaian kita dan berangkat ke kota raja."

"Bwee-moi, mau apa sih kita ke sana?"

"Nanti kuceritakan di jalan," kata gadis itu dan mereka lalu memasuki gubuk dan mengambil buntalan pakaian mereka. Begitu keluar dari dalam gubuk, Siangi Bwee lalu mengerahkan tenaganya dan berlari cepat seperti terbang karena ia telah mempraktekkan ilmu yang baru didapatkan dari Lo Koay, yaitu ilmu gin-kang Menunggang Angin!

Tubuhnya meluncur dengan cepatnya sehingga San Hong kagum bukan main. Dia pun terpaksa harus mengerahkan seluruh tenaganya, dan dia pernah mendapat latihan gin-kang yang hebat pula dari seorang di antara Thian-san Ngo-sian, yaitu Bu Eng Sian-jin (Dewa Tanpa Bayangan), akan tetapi harus diakuinya bahwa kalau gadis itu telah menguasai ilmu Menunggang Angin dengan sempurna, akan sukarlah baginya untuk dapat menandingi kecepatan larinya!

Ketika mereka memasuki kota raja, mereka sengaja masuk di waktu senja sehingga cuaca sudah hampir gelap dan para petugas jaga di pintu gerbang tidak mengenal mereka. Dan tentu saja San Hong merasa heran sekali ketika gadis itu langsung mengajaknya menuju ke sebuah bengkel pandai besi yang suka membuat senjata. Bengkel itu terletak di sudut kota.

Tukang pandai besi yang bertubuh gendut dan berkulit hitam, usianya sekitar empat puluh tahun, menyambut mereka. Wajahnya yang jujur dan keras seperti wajah pandai besi pada umumnya, tidak menyembunyikan kekagumannya ketika melihat Siang Bwee. Melihat dandanan kedua orang muda itu tidak menyolok sebagai dandanan orang kangouw, dan mereka juga tidak membawa senjata, si pandai besi itu menyambut mereka seperti orang-orang biasa bukan ahli silat.

”Kong cu (Tuan Muda) dan Siocia (Nona Muda) hendak membeli alat apakah? Atau nendak memesan sesuatu?"

"Apakah engkau tukang besi yang sudah pandai?" tiba-tiba Siang Bwee bertanya.

Aduh, pikir San Hong, kekasihnya ini terlalu jujur, kalau bicara tanpa pakai sungkan-sungkanan lagi. Akan tetapi agaknya sikap seperti itu malah menyenangkan si tukang pandai besi. Dia tersenyum lebar dan mukanya yang sudah hitam menjadi tambah hitam karena setiap hari dekat api itu, kini seperti terbelah dan nampak giginya saja yang putih dan besar-besar.

"Ha-ha-ha, tentu saja, Nona! Aku Su Kong berani mengaku bahwa di seluruh kota raja ini tidak ada yang dapat mengalahkan aku dalam hal pembuatan alat apa saja dari baja. Hanya guruku yang mengalahkan aku, akan tetapi dia telah meninggal dunia. Bahkan seluruh panglima dan perwira, memesan pedang dan golok kepadaku. Aku yang memilihkan bahannya, membuat modelnya, dan anak buahku yang mengerjakannya!"

"Hemmm, aku sudah mendengar akan hal itu. Kalau tidak begitu, tentu aku tidak akan datang ke sini," kata Siang Bwee. "Akan tetapi aku sangsi apakah engkau akan mampu membuat sebatang pedang seperti contoh yang kugambar ini."

"Ha-ha-ha, pedang macam apa pun, bentuk apa pun, sudah pasti aku sanggup membuatnya. Perlihatkan gambar itu kepadaku, Nona," kata Su Kong dengan bangga. Dia mempersilakan dua orang tamunya duduk menghadapi meja yang diterangi oleh lampu gantung besar.

Siang Bwee mengeluarkan sebuah gulungan dari dalam buntalan pakaiannya dan membuka gulungan kertas itu di atas meja. Diam-diam San Hong terkejut melihat gambar pedang itu. Dia segera mengenalnya. Itulah pedang yang dipergunakan oleh Bu Tiong Sin, yang oleh panglima Yeliu Cutay dinamakan Pedang Dewa Hijau atau Pedang Asmara.

Melihat pedang yang bentuknya biasa dan bahkan buatannya kasar itu Su Kong tertawa. "Ha-ha-ha, pedang seperti ini, dalam waktu dua hari saja aku mampu menyelesaikannya, Nona!"

"Hemmm, jangan pandang rendah dulu, Sobat." kata Siang Bwee. "Pedang yang kupesan ini harus dibuat dari baja atau besi yang warnanya kehijauan. Sanggupkah engkau?"

Pandai besi itu nampak tertegun. "Besi hijau? Baja hijau?"

”Maksudku, memberi warna agar pedang itu mempunyai warna kehijauan, seperti hijaunya daun muda, begitu. Bisakah engkau? Atau tidak becus. Bilang saja kalau tidak mampu!" kata Siang Bwee, sengaja mengejek.

"Heiii, Nona, hati-hati sedikit dengan bicaramu. Aku, Su Kong pandai besi terbesar di kota raja, bahkan di seluruh propinsi, tidak mampu membuat pesanan seremeh ini saja? Huh, apa sukarnya membubuhkan warna pada pedang itu? Mau warna merah, kuning, hijau atau hitam, mudah saja!"

"Dan warna itu tidak luntur?"

"Tanggung tidak luntur, asal berani saja membayar biayanya."

"Berapa biayanya untuk membuat pedang ini?"

"Kalau pedang biasa, cukup lima tail, kalau harus diberi warna kehijauan, menjadi sepuluh tail, selesai dalam lima hari."

"Selesaikan dalam dua hari dan kau akan kubayar tiga puluh tail!" kata Siang Bwee.

Tukang besi itu terbelalak, lalu mengangguk-angguk. "Tentu bisa, pasti bisa, akan tetapi harus diberi uang muka....."

Siang Bwee mengeluarkan lima belas tail perak dan memberikannya kepada tukang besi itu. "Dua hari lagi aku datang mengambil pedang itu dan kubayar kekurangannya!"

Ketika meletakkan uang itu ke atas meja, diam-diam Siang Bwee mengerahkan tenaga sin-kangnya dan beberapa potong perak itu masuk ke dalam meja kayu.

Ketika tukang besi itu hendak mengambilnya dan mendapat kenyataan betapa potongan-potongan perak itu menancap di meja dan sukar dicabut, dia terbelalak dan baru dia tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang gadis yang lihai sekali. Perbuatan itu jelas merupakan peringatan bahwa dia tidak boleh main-main dan tidak boleh melanggar janjinya.

"Jangan khawatir, Lihiap, akan saya selesaikan pedang itu dalam dua hari!" katanya dan kini dia menyebut lihiap (pendekar wanita), bukan siocia (nona muda) lagi.

Setelah mereka meninggalkan bengkel pandai besi itu, San Hong tak dapat menahan keheranan dan keinginan tahunya. "Bwee-moi, untuk apa sih engkau membikin pedang seperti itu? Bukankah itu merupakan tiruan dari Pedang Asmara yang diceritakan oleh Yeliu Ciangkun, dan yang pernah kita lihat dipergunakan oleh Bu Tiong Sin itu?"

Gadis itu memandang kepada kekasihnya dan tersenyum. "Wah, ternyata engkau cerdik juga, Hong-koko!"

Dipuji seperti itu, wajah San Hong menjadi kemerahan. "Aih, semua orang juga tahu bahwa yang kau suruh buatkan oleh tukang besi itu adalah tiruan Pedang Asmara. Akan tetapi untuk apa?"

Gadis itu hanya tertawa. "Untuk apa? Aku sendiri belum tahu, akan tetapi aku yakin pasti sekali waktu ada gunanya. Untuk persiapan saja. Hong-ko, lupakah engkau akan pesan Yeliu Ciangkun bahwa kita harus merampas Pedang Asmara itu, bahkan dia telah memberikan pedang itu kepadamu?"

San Hong mengangguk. "Akan tetapi aku tidak melihat hubungannya hal itu dengan pedang palsu itu."

Kembali Siang Bwee hanya tertawa. "Kita lihat sajalah nanti, Hong-koko. Aku sendiri pun belum tahu apa kegunaannya. Mari kita mencari tempat bermalam, yang kecil dan sepi saja agar tidak menarik perhatian orang. Atau..... ah, lebih baik kalau kita bermalam di luar kota raja saja. Di sini terlalu berbahaya. Kita sudah mulai dikenal orang. Mari kita keluar dari pintu gerbang sebelum ditutup."

San Hong seperti biasa, tidak banyak membantah biarpun dia tidak tahu ke mana mereka akan pergi. Dia menyerahkannya saja kepada Siang Bwee karena dia harus mengakui bahwa dalam banyak sekali hal, gadis itu lebih pintar daripada dia dan memang sepantasnya kalau memimpin!


Kaisar Kerajaan Cin Baru, yaitu Wai Wang, adalah seorang kaisar yang tidak bertanggung jawab terhadap pemerintahan, negara dan bangsanya. Dia terlalu mementingkan diri sendiri sehingga segala tindakan yang diambilnya dihidang politik pun, diselaraskan dengan kepentingan pribadinya. Dia tidak malu-malu untuk mengambil hati Jenghis Khan, untuk menyatakan kelemahannya terhadap bangsa Mongol yang menyerbu dari utara itu.

Semua itu dia lakukan saking takutnya akan ancaman terhadap keruntuhan kerajaannya yang berarti berakhirnya kemuliaannya. Setelah dia menyerahkan upeti sebagai pesangon kepada Jenghis Khan dan pasukannya, tanpa mempedulikan perasaan para menteri dan pejabat tinggi yang merasa terhina dan tersinggung, Kaisar Wai Wang kini merasa aman.

Dianggapnya bahwa dia telah berhasil menyogok pemberontak Mongol Jenghis Khan dan berhasil membuat penyerbu dari utara itu tidak melanjutkan ambisinya. Dia, mulai lagi dengan kehidupannya yang penuh keroyalan dan kesenangan. Hampir setiap hari dia berpesta pora, seolah-olah negaranya baru saja bebas dari ancaman bahaya. Kaisar ini memang mempunyai banyak sekali hobi.

Selain berburu binatang di hutan, dia pun terkenal sebagai seorang pemburu wanita cantik! Tak terhitung banyaknya selir dan dayang memenuhi istananya. Dia sendiri sampai tidak ingat lagi berapa banyak wanita cantik dan muda yang mengelilinginya, tidak tahu berapa jumlah selir dan dayangnya. Andaikata ada dua tiga orang lenyap di antara mereka, agaknya dia pun tidak akan tahu!

Dan dia seorang pembosan. Jarang ada selir atau dayang yang menjadi penghibur dekatnya lebih dari setahun lamanya. Baru beberapa bulan saja dia sudah merasa bosan dan mencari penggantinya yang baru! Akan tetapi pada waktu itu, ada seorang selir yang amat disayang oleh Kaisar Wai Wang. Selir ini seorang gadis peranakan suku Hui dari barat yang amat cantik jelita dan manis, puteri seorang kepala suku yang ditalukkan dan menjadi tawanan.

Oleh kaisar, gadis ini segera dijadikan selir dan amat disayangnya, Ia diberi nama Siang Hui oleh kaisar dan dalam waktu beberapa bulan kaisar tak pernah dapat berpisah semalam pun dari selir barunya itu. Biarpun Siang Hui selir yang baru berusia delapan belas tahun itu, selalu kelihatan berduka karena sama sekali tidak senang menjadi selir kaisar itu.

Dan selalu teringat kepada keluarganya yang terpaksa ditinggalkan bahkan ayahnya dan beberapa orang saudara laki-lakinya tewas dalam perang melawan pasukan Kerajaan Cin, namun kecantikannya yang khas itu tak pernah membosankan hati Kaisar Wai Wang.

Pada suatu malam yang dingin dan gelap. Tidak seperti biasanya, istana nampak sunyi malam itu. Sebelum kaisar tergila-gila kepada selirnya yang baru dia selalu mengadakan pesta pora dengan para selir dan dayangnya, makan minum dan menyaksikan tari-tarian dan dihibur oleh para selirnya sampai bangkit gairahnya dan dia akan memilih beberapa orang di antara mereka untuk melayaninya di dalam kamarnya.

Akan tetapi sekarang sore-sore dia sudah berada di kamar bersama Siang Hui dan selir ini, tidak seperti selir lain, dalam keadaan bersedih itu ia sama sekali tidak pernah ada permintaan apa pun, tidak pula ingin dipestakan. Bahkan untuk makan pun, hampir setengah dipaksa oleh para dayang pelayan. Dan kalau pun ia mau melayani gairah kaisar, hal itu dilakukan karena terpaksa, dengan setengah hati bahkan kadang merasa dirinya diperkosa.

Malam itu dingin dan sunyi. Hanya para penjaga dan peronda yang nampak di gardu gardu penjagaan, dan ada yang melakukan perondaan. Mereka pun merasa tenang dan aman. Siapa yang berani mengganggu istana? Selain terjaga oleh pasukan penjaga yang terdiri dari dua losin perajurit, juga masih ada pasukan pengawal yang bertugas di dalam, dan masih ada lagi jagoan-jagoan istana yang berkepandaian tinggi. Hanya orang yang bosan hidup saja akan berani datang memasuki istana dengan niat buruk.

Akan tetapi pada malam yang gelap, dingin dan sunyi itu, para penjaga yang merasa aman sehingga kurang waspada tidak melihat adanya dua sosok bayangan tubuh orang yang berkelebatan dengan amat cepatnya, bagaikan bayangan setan saja. Mereka itu adalah dua orang pemuda yang memiliki gerakan yang luar biasa ringannya dan setiap kali meloncat kaki mereka tidak menimbulkan suara di atas genteng.

Dan mereka itu kadang menyelinap dan bersembunyi di wuwungan bangunan istana sambil mengintai ke bawah. Kalau keadaan sudah aman, yaitu para peronda sudah lewat, baru mereka bergerak lagi ke depan, menuju ke bangunan induk, lalu menyelinap ke atas wuwungan istana bagian puteri.

Siapakah dua orang muda itu? Mereka bukan orang-orang biasa, hal itu mudah diketahui dari gerakan mereka yang luar biasa cepat dan ringannya. Dan memang. mereka adalah Cu See Han dan Kok lay Ki. Seperti kita ketahui, Cu See Han adalah putera Tung hai Kiam-ong Cu Sek Lam atau yang lebih dikenal dengan sebutan Tung kiam (Pedang Timur), datuk besar di wilayah timur.

Cu See Han pemuda berusia dua puluh tiga tahun ini telah mewarisi ilmu ilmu ayahnya. Dia tampan, gagah, pandai sastra dan silat, juga pandai bicara dan lincah, pakaiannya selalu mewah dan sikapnya sopan seperti seorang sastrawan sejati. Namun, di balik semua gemerlapan itu, dia memiliki hati yang angkuh, kejam, dan cabul. Terutama sekali dia amat tinggi hati, tidak pernah menghargai orang lain, kecuali hanya ayahnya sendiri.

Adapun pemuda yang ke dua itu tidak kalah tampannya. Wajannya tampan sekali, gerak geriknya halus dan dia pesolek dengan pakaian yang mewah dan nyentrik, topinya berbulu dan sabuknya dari emas. Namun dia juga tidak kalah kejamnya. Hanya bedanya, kalau Cu See Han seorang mata keranjang yang cabul, Kok Tay Ki atau lebih terkenal dengan sebutan Kok Kongcu ini orangnya angkuh dan sinis terhadap wanita.

Karena dia tahu akan kemampuannya menaklukkan setiap orang wanita melalui ketampanannya, kepandaiannya, maupun kekayaannya. Kalau Cu See Han suka merayu wanita, sebaliknya Kok Kongcu bersikap acuh, dan hal ini bahkan agaknya mempunyai daya tarik yang lebih kuat bagi sebagian kaum wanita.

Mau apakah dua orang pemuda sesat yang amat lihai dan berbahaya itu berkeliaran di istana pada malam gelap seperti itu? Seperti kita ketahui, dua orang itu telah bekerja sama untuk membantu ayah dan guru mereka yang juga sudah bersekutu, yaitu See Mo dan Tung Kiam, untuk membantu gerakan orang-orang Mongol.

Mereka berdua pergi ke kota raja dan berdiam di atas loteng rumah seorang mata-mata Mongol, seorang keturunan Han Mongol yang dijadikan mata-mata oleh Jengnis Khan dan membuka sebuah toko di kota raja itu. Dengan memperlihatkan surat ayahnya, See Mo, Cu See Han dan Kok Kongcu diterima dengan hormat oleh Ci Koan, mata-mata Mongol itu.

Setelah tahu bahwa dua orang pemuda itu adalah putera dan murid See Mo dan Tung Kiam, Ci Koan bersikap hormat sekali dan menyembunyikan mereka di dalam kamar yang mewah di loteng, atas tokonya. Juga dia lalu memberitahu kepada mereka tentang jaringan mata-mata yang membantu Mongol, betapa mereka semua telah siap siaga kalau sewaktu-waktu pasukan Mongol menyerbu.

"Akan tetapi, sementara ini mengapa kita tidak mengadakan gerakan-gerakan untuk melemahkan musuh?" Kok Kongcu bertanya.

"Apakah yang dapat kita lakukan, Kok Taihiap?" tanya Ci Koan. "Kalau kita mengadakan keributan dan pengacauan, hal itu berbahaya sekali karena pemerintah di sini tentu akan mengetahui adanya jaringan mata-mata dan tentu akan mengadakan operasi pembersihan dan gerakan kita menjadi tidak leluasa lagi, bahkan berbahaya. Pekerjaan kita hanyalah mengamati keadaan pemerintah, kekuatan pasukannya dan lain-lain perubahan yang terjadi di istana.

"Bukan membuat kekacauan sebelum terjadi penyerbuan pasukan kita dari utara. Kalau pasukan kita menyerbu, barulah kita mempergunakan kekuatan untuk menyerang penjaga pintu gerbang dan mengadakan kekacauan di dalam kota untuk melemahkan pertahanan musuh dan membantu masuknya pasukan kita dari luar."

Biarpun See Han dan Kok Kongcu merupakan dua orang pemuda gemblengan yang lihai sekali ilmu silatnya, namun mereka bukan ahli siasat perang, tidak mengerti pula tentang tugas mata mata, oleh karena itu mereka pun tidak dapat membantah keterangan Ci Koan yang menjadi rekan mereka. Oleh ayahnya See Han juga hanya dipesan agar membantu Ci Koan yang memimpin jaringan mata-mata di kota raja.

Namun Kok Kongcu adalah seorang yang angkuh. "Apa sih sukarnya menaklukkan pemerintah yang sudah lemah ini? Kaisarnya pun hanya mampu bersenang-senang, begitu kudengar beritanya. Kalau saja kita bunuh kaisar itu tanpa menimbulkan keributan, tentu akan terjadi ke kacauan yang amat melemahkan istana dan hal ini akan amat menguntungkah kita."

Ci Koan mengerutkan alisnya lalu tertawa. "Kenapa tertawa? Apanya yang lucu? Apa kau memandang remeh kemampuanku?" Kok Kongcu menegur.

Dan Ci Koan segera menghentikan tawanya. Dia sudah berpengalaman dan tahu bahwa dia menghadapi orang-orang muda yang lihai, namun yang belum berpengalaman dan hanya mengandalkan keberanian saja.

"Sama sekali tidak memandang remeh, Kok Kongcu. Aku tahu bahwa Ji-wi Kongcu (Tuan Muda Berdua) adalah Taihiap (Pendekar Besar), putera-putera dari dua orang lo-cianpwe (orang tua sakti) yang sudan amat terkenal namanya. Akan tetapi, bagaimana mungkin kita membunuh seorang kaisar? Dia tinggal di istana yang kuatnya seperti benteng! Baru ingin bertemu dan berhadapan muka saja sukarnya sama dengan menemui dewa di langit! Sebelum kita dapat berhadapan dengan kaisar, kita akan dihadapi ratusan orang pasukan, dan banyak jagoan istana yang amat lihai."

"Hemmm, agaknya engkau masih terlalu memandang rendah kepada kami, Ci-toako! Bagi kami, memenggal leher kaisar tua itu, apa sukarnya? Kita mampu membunuh kaisar malam ini juga, bukan begitu, See Han?" kata Kok Kongcu.

See Han juga seorang pemuda yang sombong dan tinggi hati, akan tetapi dia lebih tahu akan keadaan istana dibandingkan Kok Kongcu. Dia tahu bahwa membunuh kaisar bukanlah pekerjaan main-main, dan sama sekali tidak mudah, bahkan hampir tidak mungkin. Akan tetapi tentu saja dia merasa malu kalau kalah congkak, maka mendengar ucapan Kok Kongcu, dia mengangguk.

"Ci-toako. Memang tidak mudah menyusup ke istana dan membunuh kaisar, akan tetapi kalau kami berdua yang berusana melakukannya, kukira ada kemungkinan berhasil. Setidaknya, kami akan dapat mengacau istana tanpa mendatangkan kecurigaan kepada Toako atau kawan kawan lain. Kami dapat bertindak sebagai seorang pencuri di istana, atau pencuri puteri, heh-heh-heh!"

Kok Kongcu mengenal See Han yang gila perempuan, maka untuk menarik hati kawan itu, dia berkata, "Memang kabarnya di istana banyak terdapat puteri yang secantik bidadari. Kalau kita tidak bernasil membunuh kaisar, kita dapat menculik dua orang puteri, dengan demikian istana akan geger dan wibawa kaisar akan menurun banyak."

Ci Koan tidak dapat melarang. Dia tahu bahwa biarpun dia yang memimpin jaringan mata-mata di kota raja, akan tetapi kalau dua orang pemuda ini diperbantukan, dia tidak mungkin dapat mengatur kedua orang itu sekehendak hatinya. Mereka terlalu lihai dan kalau dia memaksakan kehendaknya, jangan-jangan mereka malah akan memusuhinya.

Demikianlah, pada malam yang gelap, dingin dan sunyi itu, Kok Kongcu dan See Han mempergunakan ilmu kepandaian mereka, atas petunjuk mata-mata anak buah Ci Koan yang sudah mempelajari keadaan penjagaan di sekitar tembok pagar istana, masuk melalui bagian tembok yang tidak begitu rapat penjagaannya karena di luar tembok itu terdapat sebuah anak sungai yang cukup lebar.

Akan tetapi di seberang sungai itu tumbuh sebatang pohon yang besar dan inilah yang dijadikan jembatan oleh Kok Kongcu dan See Han. Menyeberangi anak sungai dengan perahu tidak mungkin karena hal itu pasti akan nampak oleh para penjaga. Juga berenang ke arah tembok amat sukar karena air sungai di bagian itu terlampau deras dan arusnya kuat sekali karena menurun.

Dari atas pohon itu, Kok Kongcu meluncurkan anak panah yang ada kaitannya, dan akhirnya anak panah berkaitan yang dipasangi tali itu berhasil mengait tembok. Sebatang tali yang cukup kuat kini direntang dari tembok ke pohon itu. Dan kini kedua orang pemuda itu, seperti para pemain akrobat yang ulung, menggunakan gin-kang mereka, berlari di atas tambang itu dari pohon menuju ke tembok.

Karena malam gelap dan gerakan mereka cepat, maka penyeberangan aneh ini yang sama sekali tidak pernah disangka para penjaga, tidak sampai terlihat siapa pun dan mereka berdua akhirnya dapat melompat ke balik pagar tembok, memasuki lingkungan istana.

Dengan ilmu kepandaian mereka yang tinggi, dua orang muda itu berhasil meloncat ke atas wuwungan istana dan mereka pun mencari-cari di mana tempat tinggal atau lebih tepat lagi, tempat tidur kaisar karena maksud penyusupan mereka ke istana adalah untuk membunuh kaisar!

Akan tetapi, setelah berputar-putar. sampai lebih dari satu jam di atas wuwungan bangunan istana, dengan bahaya setiap saat akan terlihat para penjaga, belum juga mereka dapat menemukan di mana adanya kamar kaisar! Bahkan dari atas tidak ada sedikit lubang pun yang dapat mereka masuki untuk turun ke bawah, kecuali melalui luar bangunan! Wuwungan di sini tidak sama seperti wuwungan dan genteng rumah-rumah biasa.

Tidak mungkin ada penjaga masuk istana melalui genteng yang demikian kuat buatannya dan di bawah genteng masih ada lapisan langit-langit yang kuat pula. Satu-satunya jalan adalah memasuki istana dari bawah, padahal di bawah terdapat banyak penjaga di mana-mana, bahkan selalu ada sepasukan penjaga yang melakukan perondaan.

Sambil mendekam di wuwungan yang paling gelap, keduanya beristirahat, dan berbisik-bisik. "Wah, ternyata sukar juga mencari kamar kaisar," bisik See Han. "Bagaimana kalau kita turun dan mencoba memasuki istana dari luar?"

Kok Kongcu mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. "Tidak kusangka bangunannya begini kokoh kuat. Tidak mungkin masuk dari atas. Dan kalau masuk melalui bawah, andaikata kita mampu menyelinap melalui pintu atau pagar dan sudah masuk ke dalam, kita pun tidak tahu di mana kamarnya? Padahal bangunan ini begini luas! Dan kalau kita terjebak ke dalam sukar pula untuk lolos. Kurasa kurang menguntungkan kalau masuk dari bawah."

"Dari Ci-toako aku hanya mendapat gambaran yang kasar saja, bahwa di sini merupakan bangunan induk tempat tinggal kaisar. Akan tetapi kamarnya amat banyak dan entah yang mana kamar kaisar! Menurut Ci Toako, bangunan di samping kiri dan kanan adalan tempat tinggal para pangeran, sedangkan bangunan di belakang yang lebih rendah dan banyak tamannya itu adalah istana bagian puteri."

Kok Kongcu menarik napas panjang. "Benar juga kata Ci-toako bahwa membunuh kaisar bukan merupakan hal yang mudah."

”Apakah kita harus pergi lagi dengan tangan kosong?"

"Ah, rugi kalau harus pulang dengan tangan kosong. Mari kita lihat di bagian puteri sana. Siapa tahu di sana terdapat lowongan untuk masuk. Kita dapat mencuri harta pusaka, atau puteri."

See Han menyeringai, gembira membayangkan akan dapat memondong seorang puteri yang cantik jelita seperti bidadari. Bagi putera Tung Kiam ini, harta benda tidak mempunyai daya tarik lagi karena sejak kecil dia hidup dalam keadaan yang berlebihan dan mewah. Gadis-gadis biasa pun tidak menarik hatinya karena sejak remaja dia sudah kenyang bergaul dengan wanita cantik.

Akan tetapi, selama hidupnya belum pernah dia berdekatan dengan seorang puteri istana. Melihat pun belum! Maka tidak mengherankan apabila dia mengusulkan untuk mengunjungi istana bagian puteri yang menurut kabar yang pernah didengarnya, di situlah pusat wanita-wanita yang paling hebat di dunia!

Sebaliknya, biarpun sikapnya selalu angkuh terhadap wanita, namun hati Kok Kongcu tertarik pula untuk mendapatkan seorang puteri istana. Ayahnya See Mo mengatakan bahwa dia kelak harus menikah dengan satu di antara dua orang gadis, yaitu puteri Nam Tok atau puteri Pak Ong. Biarpun di dalam hatinya dia tidak setuju, akan tetapi dia tidak membantah.

Dia lebih suka memperisteri seorang puteri istana daripada puteri Nam Tok atau puteri Pak Ong! Kalau dia menikah dengan puteri kaisar, dengan sendirinya derajatnya akan naik tinggi! Karena pikiran begitulah maka dia pun mau saja See Han mengusulkan untuk pergi ke istana bagian puteri di sebelah belakang.

Dan memang cocok seperti keterangan yang mereka dapatkan dari Ci Koan. Ketika tiba di atas wuwungan perumahan yang mungil-mungil dari istana bagian puteri, mereka melihat bahwa penjagaan tidaklah seketat di istana induk tempat tinggal kaisar. Bahkan para perajurit pengawalnya pun terdiri dari thai-kam (laki-laki kebiri) yang sebagian besar berperut gendut. Mereka nampak melakukan penjagaan dengan malas-malasan, tidak seperti para perajurit pengawal yang berada di istana bagian pusat.

Ketika mereka berdua mengintai dari atas wuwungan bangunan terbesar, mereka melihat kesibukan di sebelah barat atau di sekitar taman bunga yang terindah di antara para taman bunga yang banyak terdapat di situ. Taman bunga ini dikelilingi tujuh buah pondok yang indah sekali buatannya.

Dan di tempat itu agaknya sedang diadakan suatu kesibukan karena nampak banyak petugas thai-kam hilir mudik. Mereka cepat mengintai dan melayang turun, mendengarkan percakapan dua orang perajurit thai-kam yang sedang meninggalkan taman itu sambil membawa keranjang-keranjang kosong.

"Aih, tiap kali ada pesta, kita saja yang payah. Pekerjaan banyak, badan payah, kurang tidur, masih banyak dicela lagi...."

Seorang diantara mereka yang perutnya gendut mengomel. Orang ke dua yang kepalanya botak menghela napas panjang. "Perlu apa mengomel? Sekali ini masih mending. Puteri Siauw Cen ini tidak begitu manja, tidak banyak lagak sehingga pesta ulang tahunnya ini dibandingkan dengan pesta ulang tahun para puteri lain dapat dikatakan sederhana."

"Benar juga, tidak seperti pesta ulang tanun Puteri Siauw Kim dua bulan yang lalu, amat mewahnya."

"Tentu saja, ingat ia puteri siapa? ibunya juga...."

"Sssttt, tahan mulutmu. Kau kepingin mampus?" tegur kawannya.

Setelah dua orang perajurit thai-kam itu lewat, Kok Kongcu dan See Han saling pandang. Mereka hanya dapat saling melihat wajah masing-masing seperti bayangan saja namun mereka tahu banwa masing masing tersenyum senang mendengar bahwa ada seorang puteri istana sedang mengadakan pesta.

Tentu para puteri itu berkumpul semua di taman itu. Tinggal pilih! Akan tetapi juga sukar karena dengan berkumpulnya demikian banyak wanita, dan sibuknya para petugas, berarti makin sukarnya pula melakukan niat mereka untuk menculik puteri!

Dengan berindap-indap akhirnya mereka dapat mendekati taman dan keduanya, bagaikan dua ekor kera, meloncat dan bersembunyi ke dalam pohon besar yang daunnya lebat. Dari tempat itu mereka dapat melihat semua kegiatan itu. Benar saja, sedikitnya ada dua puluh orang puteri berkumpul mengelilingi meja besar sedang berpesta! Lebih banyak lagi gadis-gadis dayang berdiri dan hilir mudik di sekeliling meja untuk melayani para puteri itu.

Terdengar suara ketawa mereka dan baru mereka berdua tahu bahwa apabila berada di tempat sendiri, para puteri bangsawan itu tiada bedanya dengan gadis-gadis lain, bergurau dan tertawa-tawa, tidak nampak agung dan membuat orang merasa rendah diri dan takut.

Diterangi lampu-lampu gantung, di antaranya empat terbesar di empat penjuru, digantungkan di tiang bambu, dapat dilihat betapa wajah mereka itu memang cantik-cantik sehingga sukarlah bagi kedua orang pemuda itu untuk menentukan siapa di antara mereka yang paling cantik.

Untung bagi Kok Kongcu dan See Han bahwa para wanita cantik itu, dari para puterinya, para dayang yang melayani, dan para pelayan yang lebih tua dibantu joleh pelayan-pelayan pria thai-kam yang berada paling luar, membuat. gaduh dengan obrolan dan gurauan mereka sehingga dua orang pemuda itu dapat berbisik-bisik mengatur siasat, tanpa khawatir terdengar orang lain.

Mereka mengatur siasat dan karena keduanya memang cerdik dan licik sekali, maka sebentar saja mereka sudah mengatur rencana siasat yang amat cerdik. Bahkan mereka mengatur siasat secermatnya dan membagi pekerjaan, sampai memperhitungkan jalan keluar kalau dikejar musuh.

Setelah rencana mereka matang, kedua orang pemuda itu lalu meloncat turun dari atas pohon dengan gerakan ringan kali, lalu keduanya berpisah, Kok Kongcu menyusup ke kanan dan See Han menyusup ke kiri. Mereka menyusup-nyusup dan menyelinap di antara semak-semak dan tumbuh-tumbuhan bunga di taman itu.

Dua peristiwa itu terjadi dalam waktu yang sama dan memang hal ini sudah diatur. Tiba-tiba saja sebuah di antara pondok-pondok itu, yang pada saat itu kosong karena semua orang berada di taman yang menjadi tempat pesta malam itu, dan tiba-tiba pula empat buah lampu gantung yang paling terang dan tergantung di atas tiang bambu itu padam berturut-turut setelah mengeluarkan suara keras karena disambar batu dari bawah. Keadaan menjadi remang-remang dan para wanita itu menjerit-jerit, apalagi setelah melihat adanya kebakaran di pondok paling sudut.

"Kebakaran! Kebakaran!" Orang-orang berteriak-teriak dan para pengawal thai-kam berlari-larian. Semua orang segera berusaha untuk memadamkan api dan agaknya semua orang lupa akan keanehan pecahnya empat buah lampu gantung itu.

Dalam keadaan remang-remang itu, para puteri menjerit-jerit dan berlari-larian dengan kacau. Dalam keadaan kacau itulah, dua sosok bayangan berkelebat dan dua orang pemuda itu telah berhasil menotok roboh dan memanggul tubuh lemas seorang puteri di pundak masing-masing.

Mereka tidak memilih-milih lagi karena suasana kacau dan keadaan remang remang, akan tetapi mereka yakin bahwa yang mereka culik adalah puteri karena tadi mereka telah mengenal pakaian para gadis bangsawan itu. Apalagi mereka tadi melihat bahwa mereka semua adalah gadis-gadis remaja yang amat cantik jelita.

Seperti yang telah mereka rencanakan semula, kini mereka melarikan dua orang puteri itu ke kamar mereka di loteng rumah mata-mata Mongol bernama Ci Koan itu. Di dalam kamarnya di loteng itu, Cu See Han memperlihatkan watak aselinya yang cabul, kejam dan jahat. Segala kebersihan dan kesopanan yang hanya dipakai sebagai kedok saja itu ditanggalkan. Belum pernah selamanya, dalam petualangannya dengan wanita, dia mendapatkan seorang puteri dari istana!

Maka kini, tanpa membuang waktu lagi, dia pun memperkosa puteri itu dengan rakusnya, seperti seekor anjing kelaparan menemukan seonggok daging segar. Dia tidak mempedulikan ratap dan rintihan gadis itu, sama sekali tidak mengenal kasihan, bahkan ratapan puteri itu memasuki telinganya seperti dendang yang merdu, yang menambah semangat dan gairahnya yang tak kunjung berkurang.

Berbeda sekali dengan Kok Tay Ki. Kok Kongcu ini adalah seorang yang juga amat kejam. Akan tetapi terhadap wanita dia bersikap angkuh. Semua wanita di dunia ini harus tunduk kepadanya, demikian pendiriannya. Dia menganggap diri sendiri yang paling hebat sehingga tidak mungkin wanita tidak suka kepadanya. Dia masih muda, sedang kuat-kuatnya, tampan dan halus, kaya raya, pembawaannya seperti seorang pelajar yang bangsawan saja.

Kesombongan ini bukan tak berdasar karena memang dia tampan memang banyak wanita tertarik dan kagum kepadanya. Tentu saja wanita yang tertarik oleh ketampanan, kehalusan sikap dan kemewahan pakaiannya, wanta yang belum mengenal wataknya! Karena wataknya ini, tidek seperti Cu See Han putera See-thien Mo ong ini tidak langsung memperkosa puteri tawanannya cara kasar begitu saja.

Dia bahkan mengajak puteri itu mengintai ke kamar See Han untuk memperlihatkan kepada puteri tawanannya itu bagaimana saudaranya, puteri yang lain, mengalami perkosaan yang amat mengerikan. Cu Han tentu saja tahu bahwa Kok Tay dan tawanannya mengintai, akan tetapi dia tidak peduli, bahkan merasa bangga!

"Nah, dengar dan lihat baik-baik, kalau engkau bersikap manis kepadaku menyerahkan diri dengan sukarela melayaniku dengan penuh cinta, aku tidak akan menyerahkan engkau kepada kawanku yang kelaparan itu."

Tentu saja puteri itu menjadi gemetar ketakutan melihat apa yang diderita oleh saudaranya. Tidak ada pilihan lain baginya. Dari pada terjatuh ke tangan Cu See Han dan mengalami perkosaan keji seperti apa yang dilihatnya itu, lebih ringan penderitaannya kalau ia menyerah dengan sukarela kepada Kok Tay Ki yang bersikap lembut itu. Kalau saja cara pemuda itu menguasai dirinya bukan dengan jalan menculik, agaknya tidak akan sukar baginya untuk mencinta pemuda yang tampan dan halus ini.

Demikianlah, dengan caranya sendiri Kok Kongcu memaksa puteri itu menyerahkan diri kepadanya, melayaninya dengan sikap manis. Bahkan saking takutnya diserahkan kepada Cu See Han, puteri ini terpaksa bersikap seolah-olah ia suka menyerahkan diri kepada Kok Kongcu dan dapat membalas belaian kasih sayangnya.

Bagaimanapun caranya, penderitaan kedua orang puteri itu sama. Mereka kehilangan kehormatan, dipermainkan seperti benda mainan saja. Kalau saja dua orang penculik mereka itu tidak menjaga ketat, dan selalu menotok mereka kalau di tinggalkan, tentu dua orang puteri itu sudah membunuh diri. Selama dua hari dua malam mereka dipermainkan oleh dua orang pemuda yang tak mengenal kepuasan itu, hanya berhenti kalau mereka mandi atau makan.

Ci Koan merasa khawatir sekali. Biar pun dia mata-mata Mongol dan dia pun membenci kaisar, namun cara yang di lakukan dua orang pemuda perkasa itu sungguh tidak menyenangkan hatinya. Perbuatan itu dianggapnya terlalu ceroboh, terlalu menuruti kesenangan diri sendiri saja tanpa mempedulikan kepentingan perjuangan. Akan tetapi, rasa tidak senang ini hanya dipendam di dalam hatinya. Dia tidak berani berterang menentang perbuatan Cu See Han dan Kok Tan Ki.

Dan kekhawatiran Ci Koan memang beralasan. Peristiwa di istana itu menimbulkan geger, apalagi setelah diketahui bahwa ada dua orang puteri kaisar yang lenyap diculik orang. Kaisar marah sekali Peristiwa itu merupakan penghinaan bagi keluarga kaisar dan kaisar lalu memanggil Yeliu Cutay yang terkenal cerdik dan sudah banyak jasanya terhadap kaisar itu.

"Kami perintahkan engkau untuk turun tangan sendiri melakukan penyelidikan, pengejaran dan penangkapan terhadap penjahat-penjahat itu, menangkap mereka hidup atau mati." perintah Kaisar.

Yeliu Cutay maklum betapa gawatnya keadaan itu, dan betapa marahnya Sribaginda. Dia menyatakan kesanggupannya, kemudian setelah meninggalkan istana, dia mengadakan pertemuan dengan para panglima pasukan penjaga keamanan. Kepada mereka dia menceritakan tentang perintah Sribaginda dan para panglima itu menyatakan kesiap-siagaan mereka untuk membantu Yeliu Cutay yang boleh menggunakan pasukan manapun untuk menyergap penjahat.

"Menurut keterangan para saksi yang hadir pada saat terjadinya peristiwa itu, jelas bahwa mereka yang melakukan pembakaran dan penculikan terhadap dua orang puteri memiliki kepandaian tinggi dan bukan hanya satu orang. Sedikitnya ada dua orang, mengingat bahwa yang diculik ada dua orang puteri pula. Yang penting kita cari sebab dan alasan perbuatan mereka itu agar mudah kita mencari jejaknya."

"Akan tetapi, Yeliu Ciangkun, saya kira sebabnya sudah cukup jelas." kata seorang panglima. "Mereka tentulah dua atau lebih penjahat cabul yang ingin menculik puteri istana...!"

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.