Pedang Asmara Jilid 30

Cerita silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Pedang Asmara Jilid 30
Sonny Ogawa

Pedang Asmara Jilid 30 karya Kho Ping Hoo - YELIU CUTAY menggeleng kepala. "Kurasa tidak sesederhana itu! Coba bayangkan secara mendalam. Pria mana yang begitu gila memasuki istana yang terjaga ketat mempertaruhkan nyawanya kalau hanya untuk menculik dua orang gadis istana? Penjahat cabul dapat saja memilih para korbannya di luar istana, yang lebih mudah dan juga tidak berbahaya bagi mereka. Tidak, tentu ada alasan yang lebih kuat lagi. Saya lebih condong menduga bahwa orang-orang itu adalah golongan musuh yang mungkin tadinya bermaksud membunuh Sribaginda, atau setidaknya sengaja hendak mengacaukan kota raja dengan menculik puteri istana."

Novel silat Mandarin karya Kho Ping Hoo

"Musuh? Dari utara atau selatan?" tanya seorang panglima lain.

"Itulah yang harus kita selidiki. Akan tetapi, orang yang sudah berani mengacau istana, tentu mempunyai petunjuk tentang keadaan istana, dan hal ini tentu mungkin dilakukan oleh orang yang tinggal di kota raja. Saya berpendapat bahwa para penjahat itu masih berada di kota raja, bersembunyi di suatu tempat. Maka, mulai saat ini, perintahkan untuk menjaga ketat semua pintu gerbang kota raja, periksa semua orang yang keluar dari kota raja. Aku sendiri akan memimpin pasukan istimewa untuk melakukan penggeledahan dari rumah ke rumah, dimulai secara serentak kepada rumah-rumah yang dicurigai."

Yeliu Cutay adalah seorang yang cerdik dan banyak pengalaman. Dia mengenal baik keadaan di kota raja dan di mana-mana dia telah menyebar penyelidik sehingga dia tahu siapa-siapa yang patut dicurigai. Toko kelontong milik Ci Koan tidak luput dari incarannya. Dari para penyelidiknya dia tahu bahwa Ci Koan seringkah keluar masuk kota raja, dengan dalih berdagang. Seringkali Ci Koan membawa kereta keluar masuk kota raja, membawa barang dagangan.

Menurut perhitungan, yaitu melihat keadaan tokonya yang tidak begitu ramai dikunjungi pembeli, maka agak janggal kalau begitu sering dia berbelanja keluar kota raja. Hal ini mencurigakan, akan tetapi karena belum pernah terbukti Ci Koan melakukan sesuatu yang melanggar hukum, dia pun tidak ditindak, hanya dimasukkan dalam daftar orang-orang yang dicurigai.

Apalagi ketika diketahui bahwa Ci Koan yang kaya dan baru berusia empat puluh tahun itu tidak pernah berkeluarga, dan beberapa orang pembantunya juga bukan penduduk pribumi kota raja, melainkan didatangkan dari luar dan asing bagi penduduk kota raja. Oleh karena itulah, pada hari diadakan penggeledahan secara serentak terhadap orang-orang yang masuk daftar hitam, toko dan rumah Ci Koan mendapat giliran lebih dulu, bahkan Yeliu Cutay sendiri yang memimpin penggeledahan itu.

Tentu saja Ci Koan dan lima orang pembantunya, kesemuanya adalah anggauta organisasi mata-mata yang membantu Mongol, terkejut bukan main ketika pada pagi-pagi sekali itu, Yeliu Cutay diiringkan belasan orang perajurit memasuki tokonya. Bahkan di belakang pasukan yang tinggal di luar dalam keadaan siap siaga, terdapat puluhan orang pasukan lagi.

Ci Koan menyambut dengan sikap hormat, akan tetapi mukanya pucat. "Apa.... apa yang dapat saya lakukan untuk Ciangkun.....!" tanya Ci Koan setelah memberi hormat.

"Kami mendapat tugas untuk melakukan penggeledahan di sini." kala Yeli Cutay tegas sambil menatap tajam wajah Ci Koan dengan penuh selidik.

"Tapi..... tapi....."

"Tidak ada tapi! Ini perintah! Pula kalau engkau memang tidak mempunyai kesalahan, kenapa mesti takut?" bentak perwira itu dan Ci Koan tidak dapat membantah lagi.

Dia lalu memberi komando kepada anak buahnya yang segera melakukan penggeledahan. Yeliu Cutay sendiri dengan lima orang perajurit segera memasuki toko dan terus menuju ke bagian belakang, yang merupakan tempat inggal Ci Koan. Dia melihat betapa rumah itu cukup besar dan ada lotengnya. Ketika Yeliu Cutay mendaki tangga loteng bersama para perajuritnya, tiba-tiba saja dari atas loteng nampak dua sosok bayangan yang menerjang turun!

"Heiii! Berhenti.....!" Para perajurit berseru, akan tetapi mereka yang menghadang dua sosok bayangan itu jatuh berpelantingan ke kanan kiri.

Yeliu Cutay berteriak memanggil para perajurit lainnya dan sebentar saja, dua puluh orang lebih perajurit berlarian masuk dan dua orang pemuda itu dikepung! Mereka adalah Cu See Han dan Kok Tay Ki yang tadi masih tidur dan terkejut mendengar ribut-ribut di bawah. Mereka terbangun dan ketika menjenguk ke bawah dan melihat betapa rumah itu diserbu banyak perajurit, mereka terkejut bukan main. Mereka hanya sempat berpakaian dan menyambar senjata mereka, lalu mereka berlari turun.

"Celaka, kita harus lari!" kata Kok Tay Ki kepada Cu See Han, maklum bahwa rahasia Ci Koan agaknya telah diketahui pemerintah. Dan mereka mengamuk ketika ada pasukan mencoba untuk menghalangi mereka melarikan diri.

Yeliu Cutay sendiri terkejut melihat kelihaian dua orang pemuda itu. Dia telah mencabut pedangnya dan ikut pula menyerang, namun ketika seorang di antara dua pemuda itu menangkis dengan sebatang suling, dia merasakan getaran hebat dan hampir saja pedangnya terlepas dari tangannya, sedangkan tubuhnya terdorong sampai terhuyung. Tahulah dia bahwa dua orang pemuda itu memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka dia pun membunyikan sempritan dan makin banyaklah perajurit memasuki tempat itu.

Ci Koan juga maklum bahwa rahasianya tentu akan pecah akibat ulah dua orang pemuda yang telah menculik dan menyembunyikan dua orang puteri istana di loteng rumahnya. Dia maklum bahwa perbuatan itu tentu merupakan dosa yang besar dan dia tidak mungkin dapat melepaskan diri, maka bersama lima orang pembantunya, dia pun mengamuk dan melakukan perlawanan setelah dia melihat dua orang pemuda itu dikeroyok banyak perajurit.

Terjadilah perkelahian yang hebat. Pasukan yang dibawa Yeliu Cutay merupakan pasukan istimewa dan rata-rata para perajurit itu memiliki kepandaian yang cukup tangguh. Maka, biarpun melawan mati-matian dan berhasil merobohkan beberapa orang, akhirnya Ci Koan dan lima orang pembantunya roboh dan tewas di bawah bacokan dan tusukan senjata tajam.

Cu See Han dan Kok Tay Ki sendiri mengamuk dan sukarlah merobohkan dua orang muda ini. Sudah belasan orang perajurit tewas di tangan mereka, bahkan Yeliu Cutay sendiri terluka pundaknya. Namun, Yeliu Cutay yang kini merasa bahwa dua orang pemuda inilah yang dicarinya, berulangkali meniup sempritannya dan kini datang bala bantuan sehingga rumah itu dikepung oleh tidak kurang dari seratus orang perajurit.

"Jangan sampai mereka lolos!" berkali-kali Yeliu Cutay memberi aba-aba dan bersama beberapa orang perwira yang jagoan dia pun mengepung dengan ketat.

Kok Tay Ki dan Cu See Han adalah dua. orang putera datuk sesat yang selain berkepandaian tinggi, juga cerdik. Mereka tidak takut menghadapi pengeroyokan, akan tetapi mereka pun maklum bahwa tidak mungkin mereka melawan seluruh pasukan pemerintah. Akhirnya mereka akan roboh juga.

Maka, sebelum bala bantuan terus membanjir datang, Kok Tay Ki berseru, "Mari kita pergi!"

Kok Tay Ki meloncat ke atas, kemudian disusul oleh Cu See Hen dan bagaikan dua ekor burung saja, dua orang pemuda ini telah melayang ke atas genteng.

"Kejar mereka!" teriak Yeliu Cutay dengan marah. Dia sendiri bersama belasan orang perwira dan perajurit yang memiliki kemampuan untuk meloncat ke atas genteng, segera melakukan pengejaran. Namun, dua orang pemuda itu terlampau lihai dan sekejap mata saja mereka sudah lenyap entah ke mana.

Yeliu Cutay memerintahkan anak buahnya untuk terus mengejar dan mereka menemukan dua orang puteri istana itu dalam keadaan menyedihkan. Keduanya telah tewas menggantung diri di dalam kamar itu, menggunakan ikat pinggang mereka sendiri bergantungan pada tiang pembaringan!

Agaknya, daripada menanggung aib dan malu, dua orang puteri istana itu melakukan bunuh diri, hal yang sebetulnya tentu sudah mereka lakukan sebelumnya kalau saja mereka tidak dibuat tidak berdaya oleh dua orang penculik mereka.

Yeliu Cutay segera menyuruh anak buahnya mengurus dua jenazah itu dan dia sendiri cepat membuat laporan kepada kaisar tentang hasil operasinya.

Kaisar menjadi marah sekali mendengar akan nasib dua orang puterinya yang diculik penjahat, diperkosa kemudian membunuh diri. "Dan engkau tidak mampu menangkap dua orang penjahat itu? Yeliu Cutay, sungguh engkau mengecewakan kami!" kata kaisar yang merasa penasaran sekali.

"Mohon ampun, Sribaginda. Hamba telah berusaha sekuat tenaga dan berhasil membunuh Ci Koan dan lima orang anak buahnya yang ternyata merupakan mata-mata orang Mongol, melihat surat-surat yang ada di dalam kamarnya. Dan hamba juga sudah mengerahkan tenaga pasukan mengepung dua orang pemuda itu. Akan tetapi kepandaian mereka amat tinggi sehingga hamba tidak berhasil. Akan tetapi hamba sudah menyuruh seluruh pasukan untuk melakukan penjagaan ketat dan mencari mereka sampai dapat."

"Cepat engkau kerahkan pasukan. Cari sampai dapat dua orang jahanam itu. Jangan lapor ke sini sebelum engkau berhasil membekuk batang leher mereka, hidup atau mati!" Kaisar yang marah-marah itu membentak.

Yeliu Cutay memberi hormat lalu mengundurkan diri. Di dalam hatinya dia merasa penasaran sekali. Kaisar tahunya hanya marah-marah saja, pikirnya. Tidak pandai menghargai jerih payah dan jasa bawahan. Maunya segala terjadi sesuai kehendaknya, tidak mempedulikan betapa besar jerih payah yang dihadapi para pelaksananya.

Karena merasa penasaran, dia tidak langsung pulang, melainkan pergi ke kantornya dan memeriksa semua hasil penyitaan dari rumah Ci Koan. Setelah mempelajari semua surat-surat yang disita, dia terkejut sekali menemukan surat-surat yang menyatakan bahwa dua orang pemuda yang lihai itu adalah putera-putera dari See-thian Mo-ong atau See Mo dan Tung-hai Kiam-ong atau Tung Kiam!

Mengertilah dia bahwa dua orang datuk besar golongan sesat itu telah terseret dan terlihat dalam pengkhianatan, membantu orang-orang Mongol yang merupakan musuh besar kerajaan pada waktu itu. Pantas saja mereka begitu lihai, pikirnya.

Dari surat-surat itu dia mengetahui bahwa mereka bernama Kok Tay Ki dan Cu See Han, dan bertugas untuk membantu Ci Koan dan mengacaukan kota raja. Dia sudah memerintahkan para penjaga pintu gerbang untuk memperkuat penjagaan, memeriksa dengan teliti semua orang yang keluar masuk, terutama yang keluar, dan melakukan perondaan dengan ketat siang malam.


Malam yang menyeramkan. Hawa udara amat dinginnya walaupun musim salju belum tiba, dingin menyusup dalam tulang. Udara yang dingin membuat orang malas keluar rumah, lebih enak berada di dalam rumah di mana terdapat perapian yang menghangatkan badan. Tanpa baju tebal yang menutup seluruh tubuh, orang tidak akan tahan berdiam di luar terlalu lama.

Malam itu suasana di kota raja sunyi. Namun, karena perintah keras dari Yeliu Cutay melalui para komandan pasukan penjagaan tetap diperketat dan para perajurit yang bertugas jaga, mengenakan baju tebal dan mereka itu tiada hentinya berjalan-jalan dan menghentak-hentakkan kaki atau berlari-lari kecil untuk membuat tubuh mereka tetap hangat.

Mereka yang berjaga di gardu penjagaan, membuat api unggun. Langit penuh bintang karena tidak ada sinar bulan yang menyaingi sinar mereka sehingga Nampak indah cemerlang, bagaikan berlian berserakan di atas beludu hitam yang bersih.

Seperti juga para penghuni lain dari rumah-rumah penduduk di kota raja, keluarga Yeliu Cutay juga sudah memasuki kamar tidur semenjak hari mulai gelap tadi. Setelah ditinggalkan anak angkatnya, juga muridnya, yaitu Yeliu Tiong Sin yang kini mengingkarinya dan bahkan menggunakan she (nama keluarga) aselinya, yaitu Bu, Yeliu Cutay merasa amat kecewa.

Dia ingin sekali mempunyai anak sebagai pengganti Tiong Sin, maka ia pun mengambil keputusan untuk menikah dan dari pernikahan itu dia mendapatkan dua orang anak, seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan, yang pada waktu itu masih kecil-kecil berusia empat tahun dan satu tahun.

Sejak sore tadi, Yeliu Cutay sudah memasuki kamar tidur. Dia merasa lelah sekali karena selama dua hari dua malam ini, sejak penyerbuan di rumah Ci Koan boleh dibilang dia hampir tidak pernah mengaso, tidak pernah tidur. Dia sendiri melakukan perondaan untuk memeriksa para perajurit yang berjaga, ikut pula melakukan penyelidikan dan pencarian. Dia merasa yakin bahwa dua orang pemuda yang dicarinya itu tentu masih berada di kota raja. Malam ini, dia tidak tahan lagi dan dia pulang untuk mengaso dan tidur.

Menjelang tengah malam. Sunyi bukan main. Lolong anjing terdengar bagaikan ratapan yang memilukan hati, juga mendatangkan perasaan seram, membuat orang membayangkan hal-hal yang mengerikan. Banyak orang beranggapan, dan ini datang dari dongeng turun-temurun, bahwa anjing memiliki suatu kepekaan yang tidak dimiliki manusia, yaitu bahwa binatang itu dapat "melihat" setan!

Lolong anjing yang memilukan itu katanya merupakan tanda bahwa ada mahluk halus yang lewat. Tentu saja bagi mereka yang mempercayai dongeng ini, mendengar lolong anjing di malam buta, menimbulkan suatu keseraman tersendiri, membuat bulu tengkuk meremang karena dia membayangkan bahwa pada saat itu ada sesuatu yang tidak dapat dilihatnya, sesuatu yang biasa disebut setan atau iblis, sedang lewat di dekatnya!

Seorang yang benar-benar percaya akan hal itu, tentu akan menggigil ketakutan kalau pada saat itu melihat dua bayangan hitam yang berkelebat cepat sekali di atas wuwungan rumah perwira Yeliu Cutay! Para penjaga yang berjaga di luar sama sekali tidak melihat. Dua sosok bayangan itu memang pantas disebut setan karena gerakan mereka cepat sekali, tidak lumrah manusia biasa.

Dua sosok bayangan itu tentu saja bukan setan. Mereka adalah Kok Tay Ki dan Cu See Han! Dua orang pemuda ini merasa sakit hati sekali dengan terjadinya peristiwa penyerbuan yang menyebabkan kematian Ci Koan dan lima orang pembantunya. Mereka berdua dapat lolos dan bersembunyi, akan tetapi mereka merasa bersalah. Karena ulah mereka menculik dua orang puteri istana maka terjadi penyerbuan itu.

Dan mereka ingin menebus kesalahan itu sehingga mereka tidak segera keluar dari kota raja. Kalau mereka menghendaki, dengan kepandaian mereka yang tinggi, tentu tidak sukar untuk menerobos keluar dari kota raja betapapun ketatnya penjagaan. Akan tetapi mereka tidak mau keluar dulu. Mereka ingin menebus kesalahan mereka agar tidak dimarahi orang tua mereka dan tidak mengecewakan Jenghis Khan. Mereka ingin membuat kekacauan di kota raja.

Selama dua hari mereka hanya bersembunyi, menanti keadaan agar agak mereda. Dan malam ini mereka mulai bergerak. Pertama-tama mereka harus membuat perhitungan dengan Yeliu Cutay, perwira tinggi yang memimpin penyerbuan. Dan malam itu mereka keluar dari tempat persembunyian, menempuh udara yang amat dingin dan dengan kepandaian mereka, para penjaga di luar rumah gedung itu tidak tahu betapa ada bahaya maut mengancam keluarga Yeliu Cuta, di malam itu.

Dengan mudah saja mereka membongkar genteng mengintai ke dalam. Setelah mengetahui letak kamar Yeliu Cutay yang tidur bersama isteri dan dua orang anaknya dalam satu kamar, dua orang pemuda itu lalu melayang turun dan membongkar jendela, berhasil memasuki ruangan belakang.

Akan tetapi mereka tidak memperhitungkan bahwa Yeliu Cutay cukup cerdik dan telah menjaga diri dengan pengerahan para perajurit pengawal yang bukan hanya berjaga di luar, akan tetapi juga di sebelah dalam gedungnya.

Maka, begitu dua orang pemuda itu berkelebat memasuki ruangan yang nampaknya sunyi itu, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan nyaring dan dari tempat-tempat persembunyian mereka muncul lima orang laki-laki yang memegang pedang dan langsung saja lima orang itu menyerang Kok Kongcu dan Cu See Han!

Dua orang pemuda ini terkejut, akan tetapi tentu saja terjangan lima orang itu tidak membuat mereka gugup. Dengan mudah mereka mengelak dan Kok Tay Ki mencabut sulingnya, sedangkan Cu See Han sudah mencabut pedangnya. Dan dalam beberapa gebrakan saja, dua di antara lima orang penyerang itu roboh mandi darah. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.

"Penjahat dari mana datang mengacau?" Dan muncullah Yeliu Cutay yang diikuti oleh belasan orang perajurit pengawal. Yeliu Cutay tadi mendengar suara gaduh di ruangan belakang. Dia lalu memanggil para penjaga di luar dan cepat memasuki ruangan itu.

Melihat seorang laki-laki setengah tua yang gagah perkasa, Cu See Han membentak. "Apakah engkau yang bernama Yeliu Cutay?"

"Benar, siapa kalian?"

Akan tetapi, Cu See Han tidak menjawab melainkan menyerang dengan pedangnya.

"Trang-trang-tranggg.....!"

Tiga kali Yeliu Cutay menangkis dan dia terhuyung ke belakang. Melihat ini, para perajuritnya menolongnya dan mereka serentak menyerang See Han dan Kok Kongcu. Dua orang pemuda ini memutar senjata mengamuk.

"Kau hajar dia, aku akan mencari ke dalam!" kata Kok Kongcu kepada temannya. Memang tadi mereka sudah bersepakat untuk membunuh Yeliu Cutay sekeluarga! Melihat seorang di antara mereka, yang memegang suling, meloncat ke dalam rumah, Yeliu Cutay khawatir sekali dan dia hendak mengejar. Akan tetapi, See Han sudah menghadangnya dan pemuda ini sama sekali tidak memberi kesempatan kepadanya.

Biarpun dibantu belasan orang pengawal, tetap saja Yeliu Cutay tidak berhasil meninggalkan See Han yang amat lihai dan yang selalu mencegah dia mengejar pemuda yang ke dua dan yang memegang suling. Bahkan dalam waktu singkat, See Han bukan saja dapat mendesak Yeliu Cutay, bahkan juga merobohkan dua orang pengeroyok lagi.

Sementara itu, Kok Kongcu menerjang ke dalam dan melihat seorang gadis pembantu hendak lari ketakutan, sekali sambar tangan kirinya menjambak rambut wanita itu. Rambut yang panjang itu terlepas dari sanggulnya dan gadis pembantu itu menjerit. Akan tetapi, suling di tangan kanan Kok Kongcu menekan lehernya sehingga ia tercekik dan jeritannya tertelan kembali.

"Cepat katakan, di mana kamar keluarga Yeliu Cutay. Kalau engkau membangkang, akan kubunuh kau!"

Gadis itu ketakutan, mengangguk-angguk setelah penekanan pada lehernya dilepas. Dengan rambut masih di jambak dan tubuhnya diseret, gadis pelayan itu lalu menjadi penunjuk jalan, mengantar Kok Kongcu ke kamar Yeliu Cutay. Dan gadis pelayan yang ketakutan setengah mati sampai terkencing-kencing di celana itu, Kok Tay mendengar bahwa keluarga Yeliu Cutay hanya terdiri dari seorang isteri dan dua orang anak yang tidur sekamar.

Ketika mereka tiba di depan kamar dua orang penjaga yang bertugas menjaga kamar itu, menyerangnya dengan golok di tangan. Kok Kongcu menggerakkan tangan kirinya menampar kepala gadis itu yang terpelanting dan tewas seketika. Serangan dua batang golok itu dapat dihindarkannya dengan loncatan ke belakang, kemudian sulingnya diputar cepat dan dalam waktu lima jurus saja, dua orang pengawal itu roboh dan tewas.

"Brakkkkk....!" Sekali terjang saja, daun pintu kamar itu jebol dan Kok Kongcu melihat seorang wanita dan dua orang anak-anak berada di tempat tidur. Wanita itu pucat terbelalak, merangkul kedua orang anaknya, Kok Kongcu meloncat ke dekat pembaringan.

"Apakah engkau isteri Yeliu Cutay dan kedua orang anak ini anaknya?"

Wanita itu memang Nyonya Yeliu Cutay. Ia tidak tahu siapa pemuda ini dan apa maksudnya menanyakan hal itu. Ia hanya mengangguk. Anggukan yang mengundang maut karena begitu ia mengangguk, Kok Kongcu menggerakkan sulingnya tiga kali dan ibu dengan dua orang anaknya itu roboh di atas pembaringan, tidak bergerak lagi karena mereka bertiga itu telah tewas seketika.

Kok Kongcu meloncat keluar dan dia mengerutkan alisnya ketika melihat betapa See Han masih dikeroyok oleh banyak perajurit, dan Yeliu Cutay sendiri masih belum roboh. Ternyata perwira itupun cukup tangguh. Dan memang, biarpun kepandaiannya kalah jauh dibandingkan putera Tung Kiam itu, namun dengan ilmu pedang Thay-san Kiam-sut, perwira ini masih dapat membela diri dengan baik, apalagi masih banyak anak buahnya yang membantu dan melindunginya.

"Bagianku sudah beres! Engkau masih belum juga dapat merobohkan jahanam ini?" teriak Kok Kongcu dan dia pun melompat masuk dan menerjang roboh dua orang pengeroyok, kemudian langsung saja sulingnya diputar menyerang Yeliu Cutay!

Dengan munculnya Kok Kongcu tentu saja See Han menjadi semakin ganas. Berturut-turut empat orang pengeroyok roboh oleh pedangnya dan diapun menerjang Yeliu Cutay yang sudah repot menghadapi gelombang serangan suling Kok Kongcu. Yeliu Cutay mencoba untuk menangkis sambaran pedang See Han, akan tetapi ketika pedangnya menangkis pedang See Han, ujung suling itu meluncur ke arah tenggorokannya.

Yeliu Cutay terkejut dan cepat dia membuang diri ke samping, akan tetapi tetap saja ujung suling mengenai pundaknya. Dia terhuyung, kemudian sebuah tendangan kaki See Han mengenai pahanya dan dia pun terpelanting roboh! See Han dan Kok Kongcu merobohkan empat orang perajurit yang menghalang di depan, kemudian mereka seperti berlumba untuk membunuh perwira yang sudah roboh itu.

Mereka memang datang untuk membasmi Yeliu Cutay sekeluarga, untuk membalas dendam atas kematian Ci Koan dan lima orang pembantunya. Suling dan pedang menyambar ke arah Yeliu Cutay yang tidak mampu melindungi dirinya lagi. Tiba-tiba, sinar emas yang amat terang menyambar, dibarengi berkelebatnya bayangan merah.

"Trang.....! Tranggg.....!"

Suling di tangan Kok Kongcu dan pedang di tangan Cu See Han terpental. Tentu saja dua orang pemuda itu terkejut bukan main melihat adanya orang yang menangkis senjata mereka dengan sebuah tongkat emas dengan tenaga yang demikian dahsyatnya sehingga senjata mereka terpental. Ketika mereka mengangkat muka memandang, mereka menjadi lebih kaget lagi.

"Paman Ang Leng Ki.....!"

"Paman Nam Tok.....!"

"Hemmm, bagus! Kalian ini dua ekor buaya kecil masih mengenal aku!" kata Nam Tok sambil memegang tongkatnya kepala naga yang berlapis emas.

"Tapi..... sejak kapan Paman Nam Tok menjadi pelindung pembesar kerajaan?" Cu See Han yang berlidah tajam itu menyerang dengan suara mengandung ejekan.

Sepasang mata Nam Tok mencorong marah. "Sejak Tung Kiam dan See Mo menjadi pengkhianat dan anjing pengekor orang Mongol! Kalian ini tentu tidak jauh bedanya dengan ayah-ayah kalian, patut dihajar!"

Dan kini tongkatnya sudah membentuk lingkaran emas dan menyambar ke arah dua orang pemuda itu. See Han dan Kok Kongcu tentu saja cepat menghindarkan diri dan mencoba untuk melawan.

Sementara itu, Yeliu Cutay yang mengkhawatirkan keadaan keluarganya, melihat kakek penolongnya itu bertanding melawan dua orang pemuda lihai, segera bangkit dan lari ke dalam. Tak lama kemudian, dia sudah memeluki mayat isteri dan dua orang anaknya dengan hati hancur lebur.

Kemudian dia berubah beringas. Dia meloncat turun dari pembaringan, mencabut pedangnya dan berlari keluar, menuju ke belakang di mana tadi terjadi perkelahian. Dia harus membunuh dua orang pemuda itu yang telah membunuh isteri dan dua orang anaknya, atau dia yang terbunuh.

Akan tetapi ketika dia tiba di situ, dia melihat betapa dua orang pemuda itu terhuyung ke belakang oleh kakek jubah merah yang datang menolongnya tadi. Dan sebelum ada yang mampu mencegahnya, dua orang pemuda itu berloncatan ke atas genteng dan menghilang. Kakek jubah merah itu hanya tertawa bergelak, mentertawakan dua orang pemuda yang melarikan diri.

Dengan hati sedih Yeliu Cutay lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek, itu. Dia tadi mendengar bahwa kakek ini berjuluk Nam Tok, julukan seorang datuk sesat yang pernah didengarnya dan dia tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang datuk sesat yang jahat. Baru julukannya saja Nam Tok (Racun Selatan), maka dapat diduga bahwa kakek ini tentulah bukan orang baik-baik. Bagaimanapun juga, tanpa adanya kakek ini tadi, dia tentu sudah tewas di tangan dua orang pemuda yang lihai itu, seperti halnya isterinya dan dua orang anaknya.

"Lo-cianpwe, saya menghaturkan terima kasih atas pertolongan Lo-cian-pwe....." katanya dengan suara pilu karena dia masih membayangkan kematian isteri dan dua orang anaknya, dan terlepasnya dua orang pembunuh itu. "Sudilah Lo-cianpwe menolong saya untuk menangkap dua orang pembunuh itu? Mereka telah membunuh isteri dan dua orang anak saya..."

Kakek itu berhenti tertawa dan memandang kepada Yeliu Cutay dengan sinar mata menyelidik. "Siapakah engkau? Yang mana bernama Yeliu Cutay?"

"Sayalah Yeliu Cutay, Lo-cianpwe."

"Hemmm.....!" Nam Tok memandang kearah pedang ditangan Yeliu Cutay dan sekali tongkatnya bergerak, pedang itu terlepas dari pegangan tangan perwira itu dan melayang ke atas, lalu disambar oleh tangan kiri Nam Tok. Kakek ini menyandarkan tongkatnya di pundak dan dengan kedua tangan dia memeriksa pedang itu, alisnya berkerut dan wajahnya nampak kecewa.

"Hemmm, bukan ini.....!" katanya dan sekali kedua tangannya menekuk, pedang itu pun patah dua dan dilemparkannya ke atas lantai.

"Lo-cianpwe, apa artinya ini.....?" Yeliu Cutay bertanya dengan kaget dan heran. Tadi kakek ini menyelamatkan nyawanya, sekarang menghinanya dengan mematahkan pedangnya.

"Aku datang bukan untuk menolongmu. Aku datang untuk minta agar engkau menyerahkan Pedang Dewa Hijau atau Pedang Asmara. Cepat serahkan kepadaku atau serahkan nyawamu!"

Yeliu Cutay tersenyum pahit. Tidak salah dugaannya. Kakek ini seorang datuk sesat yang amat jahat. Tentu orang seperti ini tidak mengenal tolong menolong. Yang dikenalnya hanyalah tindakan demi keuntungan diri sendiri.

"Maaf, Lo-cianpwe, Pedang Asmara sudah lama tidak berada di tangan saya." katanya terus terang, perasaannya tertekan sekali karena baru saja dia kematian isteri dan dua anaknya yang dibunuh orang, kini dia diancam dan dihina oleh kakek ini.

Nam Tok tahu bahwa Yeliu Cutay tidak berbohong. Kalau memang orang ini memiliki pedang pusaka, tentu tadi sudah dipergunakan untuk membela diri terhadap serangan putera See Mo dan putera Tung Kiam. Orang ini melindungi diri yang terancam bahaya maut dengan pedang biasa, hal ini berarti bahwa dia memang tidak mempunyai pedang lain yang lebih baik. Bagaimanapun juga, Yeliu Cutay tahu tentang Pedang Asmara.

"Kalau begitu, berada di tangan siapa?" bentaknya.

"Sudah lama sekali pedang pusaka milik saya itu dicuri oleh murid saya sendiri yang bernama Bu Tiong Sin, Lo-cianpwe. Saya sendiri tidak berhasil mencari murid yang murtad itu dan saya tidak tahu dia berada di mana sekarang."

"Yeliu Cutay, aku percaya keteranganmu. Sekarang, ceritakan bagaimana macamnya Bu Tiong Sin, berapa usianya dan apa ciri-cirinya. Aku hendak mencarinya!"

Yeliu Cutay yakin bahwa kalau datuk sesat sakti ini yang mencarinya, tentu akan dapat ditemukan dan Pedang Asmara tentu akan terjatuh ke tangan datuk ini. Sama saja, bahkan lebih parah. Akan tetapi, dia mendapatkan akal agar dia tidak terlalu dirugikan.

"Lo-cianpwe, saya mohon Lo-cianpwe memberitahu dulu kepada saya siapa adanya dua orang pemuda yang telah membunuh keluarga saya tadi, baru saya akan memberi gambaran tentang Bu Tiong Sin."

"Hemmm? Engkau berani menuntut sesuatu dari Nam Tok? Apakah engkau sudah bosan hidup?"

"Lo-cianpwe, baru saja isteri dan dua orang anak saya dibunuh orang. Hidup pun tidak ada artinya lagi bagi saya. Kalau Lo-cianpwe membunuh saya, itu berarti saya akan dapat berkumpul dengan orang-orang yang saya cinta. Kalau Lo-cianpwe tidak mau memberitahu siapa dua orang pemuda tadi, terpaksa saya pun tidak akan dapat memberitahu...."

"Ha-ha-ha, mau apa engkau menanyakan mereka? Mau membalas dendam keji pada mereka atas kematian keluargamu? Mana mungkin? Biar ada seratus orang sepertimu, belum tentu akan mampu membunuh mereka. Mereka itu adalah! Kok Tay Ki putera See Mo, dan Cu See Han putera Tung Kiam."

"Ahhh.....!" Yeliu Cutay terkejut bukan main. "Kiranya mereka? Pantas kalau begitu, tentu ini ada hubungannya dengan pengkhianatan dua orang datuk itu yang membantu orang-orang Mongol'.'

"Ehhh Apa kau bilang? See Mo dan Tung Kiam....."

"Mereka bersekongkol dengan Jenghis Khan dan mereka akan membantu gerakan pemberontak Mongol itu untuk menguasai Kerajaan Cin. Hal ini diketahui oleh para penyelidik, karena para penyelidik kami yang menyelundup ke utara pernah melihat dua orang datuk itu mengadakan pertemuan dengan Jenghis Khan. Mula-mula See Mo yang bersekongkol dengan Jenghis Khan, kemudian agaknya See Mo dapat membujuk Tung Kiam pula. Dan kini, putera-putera mereka menculik puteri istana, memperkosa dan membunuh mereka. Ketika kami mengadakan penyerbuan ke tempat para mata-mata Mongol itu, mereka berdua lolos dan malam ini mereka membunuh keluarga saya."

Nam Tok mengerutkan alisnya. See Mo dan Tung Kiam bersekongkol! Ini berbahaya sekali! Bukan hanya terhadap Kerajaan Cin, juga terhadap kedudukan dia dan Pak Ong. Kalau dalam pertemuan puncak mereka berdua itu bersekongkol, tentu dia dan Pak Ong terancam bahaya.

"Hemmm, aku sendiri yang akan menentang mereka kalau benar mereka itu berkhianat. Sekarang ceritakan bagai mana macamnya Bu Tiong Sin itu!"

Dengan senang hati Yeliu Cutay menceritakan keadaan bekas muridnya dan bahkan anak angkatnya itu. Setelah mendengar jelas, Nam Tok menggerakkan tongkatnya dan hanya nampak berkelebatnya bayangan merah melayang naik ke atas genteng dan dalam sekejap mata dia pun lenyap. Yeliu Cutay tak dapat berbuat lain kecuali mengurus jenazah isteri dan dua orang anaknya, juga menyuruh para perajurit pengawal untuk merawat perajurit yang luka dan mengurus mereka yang tewas.


Sungguh merupakan pertemuan yang amat aneh. Biasanya, hanya beberapa tahun sekali sesuai perjanjian dua orang kakek ini saling bertemu di puncak Thai san, bersama kakek-kakek yang lain yang kesemuanya berjumlah empat orang. Empat Datuk Besar. Akan tetapi sekali ini, menyimpang dari kebiasaan yang sudah puluhan tahun berjalan, Nam Tok berhadapan dengan Pak Ong, bukan di puncak Thai-san, melainkan di ruangan belakang sebuah rumah di sudut kota Shu-nyi yang terletak di sebelah timur laut Peking.

Ketika tadi Nam Tok berkelebat memasuki rumah itu, dia disambut oleh suara ketawa dan ejekan tuan rumah. Mereka berdiri berhadapan saling pandang dengan sinar mata penuh selidik.

"Ha-ha-ha, Nam Tok tua bangka yang tak tahu malu. Belum tiba saatnya kita saling bertemu. Bulan sepuluh masih lama dan di sini bukan puncak Kabut Putih di Thai-san, kenapa engkau tidak tahu malu berani datang menggangguku?" demikian sambutan Pak Ong.

"Pak Ong tua bangka tolol!" Nam Tok balas memaki. "Kurasa engkau bukan anak kecil lagi. Tentu engkau dapat menduga bahwa kalau sampai aku, Nam Tok, hari ini datang mengunjungi Pak Ong, sudah dapat dipastikan ada urusan yang teramat penting. Akan tetapi engkau menyambutku dengan tawa mengejek. Adakah yang lebih tolol?"

"Duduklah, Nam Tok. Tidak ada orang lain di sini, hanya kita berdua. Duduk dan bicaralah!" kata Pak Ong yang tentu saja maklum bahwa rekannya itu tentu membawa berita yang amat penting.

Nam Tok lalu duduk di atas kursi, berhadapan dengan Pak Ong dalam jarak empat meter, dan sejenak mereka saling pandang. Mereka berdua terkenang betapa sudah puluhan kali mereka itu saling mengadu ilmu dan hasilnya selalu sama kuat. Seperti dua orang datuk lain, yaitu See Mo dan Tung Kiam, mereka masin-masing memiliki kelebihan sendiri dan kalau dinilai, maka tingkat mereka memang seimbang.

"Pak Ong, katakan, kenapa engkau meninggalkan utara dan melarikan diri ke tempat ini? Engkau takut kepada Jenghis Khan?" Dalam pertanyaan ini, terkandung ejekan.

Wajah Pak Ong menjadi agak merah dan tubuhnya yang tinggi kurus itu kini duduk tegak di atas kursinya, dadanya diangkat, muka ditegakkan. "Nam Tok, jangan sembarangan saja mengejek orang. Kalau hanya Jenghis Khan seorang saja, biar ditambah beberapa orang lagi, aku tidak takut melawannya. Akan tetapi kalau Jenghis Khan diikuti oleh ratusan ribu orang pasukan, apakah engkau juga berani menentangnya secara terbuka? Dengarlah dan buka telingamu baik-baik. Aku memang lari dari utara ke sini, akan tetapi bukan lari karena takut kepada Jenghis Khan, melainkan lari karena tidak sudi diperhamba orang Mongol."

Nam Tok memandang dengan wajah berseri. "Bagus sekali! Jadi sampai sekarang engkau masih berwatak pahlawan yang tidak akan sudi mengkhianati negara dan tanah air, bukan?"

"Nam Tok! Apakah engkau datang hendak menantangku maka berani mengeluarkan ucapan seperti itu?" Pak Ong bangkit berdiri dan tubuhnya yang tinggi kurus nampak semakin tinggi, tangan kanannya meraba gagang pedangnya.

Akan tetapi Nam Tok tetap tersenyum dan tidak bangkit dari duduknya. "Jangan tergesa-gesa, Sobat. Aku maksudkan bahwa engkau tidak seperti anjing-anjing penjilat See Mo dan Tung Kiam yang tidak malu menjilati telapak kaki Jenghis Khan!"

Pak Ong membelalakkan matanya. "Apa kau bilang? See Mo dan Tung Kiam Mereka... mereka....."

"Mereka menjadi antek dari orang Mongol. Mereka hendak menjual negara dan bangsa, hendak membantu Jengis Khan. Bahkan keduanya bersekongkol dan putera-putera mereka telah mengacau kota raja, menculik dua orang puteri istana yang mereka perkosa dan bunuh."

"Keparat!" Pak Ong mengerutkan alis nya dan matanya memandang marah. "Kalau begitu, di puncak Kabut Putih Thai-san nanti....."

"Itulah maka aku datang menemuimu. Setelah mereka bersekongkol dan menjadi antek orang Mongol, aku yakin bahwa mereka pun akan bersekongkol untuk memperebutkan kekuasaan pada pertemuan puncak nanti. Engkau dan aku tentu akan menghadapi bahaya, kecuali kalau kita berdua juga bersatu untuk menghadapi mereka. Buruk-buruk begini, aku bukan seorang pengkhianat dan akan kubasmi semua pengkhianat dari muka bumi!"

"Bagus! Aku setuju sekali, Nam Tok. Memang, kalau mereka bersekutu, mereka dapat berbahaya sekali, apalagi kalau mereka dibantu oleh orang-orang Mongol yang kabarnya mempunyai banyak jagoan yang lihai. Kalau kita berdua bersatu, biar mereka menggunakan akal apa pun juga, kita berdua pasti akan mampu menandingi dan menumpas mereka!"

"Ha-ha-ha, sudah kuduga. Engkau tentu menerima uluran tanganku." Nam Tok menahan ucapannya karena pada saat itu mereka berdua mendengar suara kaki melangkah datang ke arah ruangan itu. Mereka berdua menengok dan muncullah dua orang muda di pintu, seorang gadis cantik dan seorang pemuda tampan.

"Ayah.....!" kata gadis itu sambil memasuki ruangan.

Ketika ia melihat Nam Tok, gadis itu tertegun. "Ehhh.... kiranya..... paman Nam Tok!" Gadis itu bukan lain adalah Ji Kui Lan, puteri Pak Ong dan ia segera memberi hormat kepada Nam Tok.

Nam Tok mengangguk-angguk dan tersenyum. Cantik sekali gadis puteri Pak Ong ini, pikirnya. Lalu dia melihat pemuda tampan yang datang bersama Kui Lan. "Kui Lan, engkau sekarang sudah dewasa dan semakin cantik saja. Siapa pemuda itu?"

Pak Ong tersenyum bangga. "Nam Tok, dia adalah muridku yang baru. Kau tahu bahwa muridku hanyalah puteriku sendiri, akan tetapi sekarang aku mempunyai jago muda yang baru, yaitu muridku ini. Tiong Sin, cepat beri hormat kepada pamanmu Nam Tok. Engkau sudah sering mendengar dari aku dan Kui Lan tentang Nam Tok ini, bukan?"

Bu Tiong Sin cepat memberi hormat kepada Nam Tok dan diam-diam dia kagum. Kakek ini sungguh menyeramkan, demikian angkuh dan gagah, pikirnya. "Lo-cianpwe, terimalah hormat saya." katanya.

"Ha-ha-ha, Tiong Sin. Sebut saja Paman kepada Nam Tok karena dialah sahabat paling baik dariku!” kata Pak Ong.

Nam Tok memperhatikan Tiong Sin. Pemuda yang bertubuh jangkung dan berwajah tampan, pembawaannya gagah pula. "Namamu Tiong Sin? Apakah engkau she Bu?" Mudah saja dia menduga karena selain namanya sama, juga dia telah mengenal wajah dan keadaan Tiong Sin melalui penggambaran Yeliu Cutay.

"Paman telah mengenal saya?" Tiong Sin terkejut.

Juga Pak Ong dan puterinya memandang heran. "Nam Tok, bagaimana engkau mengetahui nama dan marga muridku?"

Nam Tok tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, andaikata dia seorang pemuda yang belum terkenal sekalipun, kalau dia memiliki Pedang Dewa Hijau, dia tentu akan segera dikenal semua orang. Pak Ong, engkau sungguh beruntung mempunyai seorang murid pria yang begini tampan dan gagah, apalagi dia memiliki Pedang Dewa Hijau atau Pedang Asmara. Hebat! Orang muda, aku ingin melihat pedangmu sebentar!"

Tentu saja Bu Tiong Sin terkejut dan tidak rela menyerahkan pedangnya dilihat oleh seorang di antara empat datuk sesat itu. Bagaimana kalau pedang itu tidak dikembalikan kepadanya? Akan tetapi karena tidak berani menolak begitu saja dia lalu menoleh kepada gurunya.

Melihat sikap muridnya, Pak Ong tertawa bergelak "Ha-ha-ha, Tiong Sin. Nam Tok suka padamu dan ingin melihat pedangmu. Berikan saja, dialah satu di antara orang orang yang boleh kau percaya sepenuhnya di dunia ini, ha-ha-ha!"

Tiong Sin cepat melepaskan ikatan sarung pedangnya dan mengambil pedang berikut sarungnya, diserahkan kepada Nam Tok dengan kedua tangan dan dengan sikap hormat sekali. Nam Tok girang, akan tetapi juga merasa tak berdaya oleh ucapan Pak Ong tadi. Kalau saja Tiong Sin tidak menyerahkan pedangnya, dan dia sampai mengambilnya dengan kekerasan.

Maka boleh jadi pedang itu tidak akan dikembalikannya lagi. Akan tetapi karena Pak Ong sudah "menghadangnya" dengan ucapan seperti itu dan Tiong Sin menyerahkan dengan rela dan hormat, tidak ada jalan lain baginya kecuali benar-benar hanya ingin melihat pedang pusaka itu.

Nam Tok menerimanya dengan sikap sambil lalu, kemudian mencabut pedang itu. Begitu tercabut, kedua matanya bersinar sinar penuh kekaguman dan dia mendekatkan pedang itu depan hidungnya, dan mengangguk-angguk. "Pedang Batu Dewa Hijau aseli, pedang yang baik sekali mempunyai pedang pusaka seperti ini, dan engkau Pak Ong, engkau sungguh beruntung mempunyai murid seperti Bu Tiong Sin!"

"Nam Tok, engkau lebih beruntung lagi kalau mempunyai mantu seperti dia!"

Mendengar ini, Nam Tok menoleh, memandang Pak Ong dengan sinar mata tajam dan alis berkerut, "Pak Ong, apa maksud ucapanmu itu?"

"Nam Tok, bukankah anakmu Ang Siang Bwee itu sudah dewasa? Nah, bagaimana kalau ia dijodohkan dengan muridku. Bu Tiong Sin ini? Kukira akan sukar bagimu untuk mendapatkan mantu yang lebih baik dari dia, apalagi dia memiliki Pedang Asmara!"

Kerut-merut di antara kedua alis Nam Tok makin mendalam dan sinar matanya semakin tajam. "Pak Ong, apa artinya pelamaran tiba-tiba ini? Mantuku harus mampu mengalahkan aku!"

Tiong Sin terkejut sekali. Tak disangkanya bahwa gurunya melamarkan anak orang begitu saja tanpa bertanya kepadanya lebih dulu. Akan tetapi dia pernah berjumpa dengan Ang Siang Bwee dan... hemmm, tentu saja dia tidak akan menolak kalau dijodohkan dengan gadis yang manis sekali itu! Tadinya dia tertarik kepada Ji Kui Lan puteri gurunya.

Akan tetapi setelah dia berhasil menggauli Kui Lan, daya tarik gadis ini menjadi hambar dan dia tidak merasa mencinta lagi. Yang amat mengejutkan hatinya adalah mendengar syarat yang diajukan Nam Tok. Dia harus mengalahkan Nam Tok? Wahhh, berat! Gurunya sendiri pun hanya setingkat dengan Nam Tok dan belum tentu dapat mengalahkannya.

"Ha ha ha, Nam Tok. Apakah engkau ingin puterimu menjadi seorang perawan yang selamanya tidak akan menikah? Mana ada pemuda yang mampu mengalahkan engkau? Syaratmu itu tidak adil. Sepantasnya, mantumu harus mengalahkan puterimu, dan untuk menandingimu, mantumu boleh mewakilkan kepada gurunya. Jadi muda sama muda, tua lawan tua. Nah, bagaimana jawabanmu atas lamaranku tadi? Diterima atau tidak?"

Nam Tok masih mengerutkan alisnya, ragu-ragu. Dia teringat akan puterinya yang sudah mempunyai pilihan seorang pemuda, yaitu Kwee San Hong. Akan tetapi, San Hong tidak punya apa-apa. Sedangkan Tiong Sin selain mempunyai Pedang Asmara, juga menjadi murid yang disayangi Pak Ong!

"Nam Tok, kenapa engkau ragu-ragu? Usulku ini amat tepat. Setelah kini See Mo dan Tung Kiam bersekutu, kita dihadapkan lawan yang tangguh dan berbahaya. Kita harus juga bersatu menyusun tenaga. Kalau puterimu menjadi isteri muridku, berarti di antara kita terdapat ikatan yang kokoh kuat. Apalagi kalau engkau berkenan mengajarkan ilmu kepada muridku sebagai mantumu, dan aku mengajarkan ilmu kepada puterimu sebagai mantu murid, bukankah mereka berdua akan dapat mewakili kita untuk menghadapi persekutuan jahat itu? Maka akan dapat dikatakan bahwa Pak (Utara) telah bertemu dan bersatu dengan Nam (Selatan), maka siapa yang akan mampu menandingi kita? Ha-ha-ha!"

Nam Tok mengangguk-angguk dan dia pun tersenyum, tanda bahwa dia setuju sekali dengan pendapat rekannya itu. Akan tetapi, Nam Tok adalah seorang datuk besar yang amat cerdik, juga memiliki perhitungan yang matang sehingga tidak mau dirugikan. Biarpun dia setuju dengan pendapat Pak Ong akan tetapi dia merasa dikalahkan dalam hal martabat dan derajat. Dia menyerahkan anaknya perempuan, sedangkan Pak Ong hanya "mengeluarkan" seorang murid.

Jadi, dalam persekutuan ini, dia mengeluarkan modal atau saham yang jauh lebih berharga dari Pak Ong. Dia rugi. Persekutuan itu dinikmati hasilnya oleh kedua pihak, akan tetapi dia mengeluarkan modal berupa puterinya, sedangkan Pak Ong hanya muridnya. Dia sudah membuat pertimbangan dan perhitungan, lalu mengangguk-angguk tersenyum dengan wajah cerah.

"Bagus sekali usulmu itu, Pak Ong. Aku dapat menerima usulmu itu, dapat menerima lamaranmu, akan tetapi dengan dua syarat."

"Ha-ha-ha, pakai syarat segala! Baik, apa syarat-syaratnya itu? Asal dapat terjangkau olehku, dapat kulakukan dan tidak bertentangan dengan isi hatiku."

"Tentu saja dapat kau lakukan dan dapat kau setujui, kalau memang benar engkau ingin memperkuat persatuan antara kita, Pak Ong. Syarat pertama adalah tanda ikatan perjodohan antara puteriku dan muridmu ini. Aku minta tanda ikatan perjodohan itu berupa Pedang Asmara ini! Dan syarat ke dua, aku pun melamar puterimu ini untuk dijodohkan dengan seorang muridku!"

Pak Ong mengerutkan alisnya. Syarat pertama tidak berat. Sudah sepatut Tiong Sin menyerahkan pedang pusakanya sebagai tanda ikatan jodoh karena sebagai gantinya dia akan menerima seorang isteri yang cantik manis dan pandai seperti Ang Siang Bwee! Akan tetapi syarat ke dua itulah yang berat. Dia belum tahu seperti apa murid laki-laki Nam Tok itu! Bagaimana dia dapat menerimanya kalau dia belum melihat pemuda macam apa yang akan menjadi suami puterinya?

Nam Tok memandang sambil tersenyum puas. Kini keadaan menjadi terbalik sama sekali. Dalam waktu singkat dia telah dapat mencari akal sehingga kini "transaksi" itu menguntungkan dia! Dia menyerahkan puterinya menjadi isteri Bu Tiong Sin bukan hal merugikan karena pemuda itu dia lihat cukup baik. Akan tetapi dia memperoleh banyak. Pertama, dia memperoleh Pedang Asmara. Kedua, dia akan dapat memisahkan puterinya dari San Hong karena San Hong inilah yang akan dijadikan "murid" dan dikawinkan dengan Kui Lan!

"Nanti dulu, Nam Tok. Sebelum aku mengambil keputusan, aku ingin bertanya dulu, sejak kapan engkau mempunyai murid laki-laki? Dan siapakah muridmu yang akan menjadi mantuku itu? Aku harus tahu lebih dulu siapa calon suami Kui Lan!"

"Ayah, aku tidak mau menikah dengan murid Paman Nam Tok yang belum kukenal bagaimana orangnya! Bagaimana kalau dia sudah tua, buruk dan kasar? Aku tidak sudi!" Kui Lan berkata dengan sikap marah dan manja, membanting-banting kaki dan gerakan itu membuat pinggulnya bergoyang-goyang karena gadis ini sudah terbiasa menggoyang pinggul dalam latihan silat sejak kecil.

"Nah, kau dengar sendiri, Nam Tok. Kami harus tahu lebih dulu siapa muridmu itu. Engkau sendiri sudah melihat calon suami puterimu, maka sudah sepantasnya kalau kami melihat dulu muridmu sebelum kami mengambil keputusan tentang lamaranmu itu."

Nam Tok melotot. "Tua bangka Pak Ong! Kau kira hanya engkau saja yang mampu mendapatkan murid seorang pemuda yang tampan dan gagah? Huh muridku tidak kalah tampan dan tidak kalah gagah dibandingkan muridmu ini. Namanya adalah Kwee San Hong dan....."

"Ahhh....!"

"Ehhh.....?"

"Hemmm.....!" Nam Tok menahan ucapannya dan memandang kepada mereka bertiga dengan heran. "Kalian sudah mengenal San Hong?"

Tentu saja mereka bertiga sudah mengenalnya. Wajah Pak Ong berseri karena bagaimanapun juga, harus diakuinya bahwa San Hong seorang pemuda yang berbakat baik sekali, bahkan boleh dibilang pernah menjadi muridnya karena dia pernah menurunkan ilmunya kepada pemuda ini! Juga Kui Lan kini tersenyum dengan wajah cerah. Memang begitu bertemu dengan San Hong dan melihat kepandaian pemuda itu, dia sudah merasa tertarik dan kagum sekali.

Dia merasa betapa San Hong lebih jantan daripada suhengnya, Bu Tiong Sin. Tentu saja hal ini pun timbul karena dia sudah merasa digauli suhengnya itu. Segala macam nafsu memang selalu mendatangkan bosan. Apapun juga. kalau belum didapatkan, nampak amat indah menarik. Akan tetapi sekali didapatkan, kebosanan menyelinap sehingga yang tadinya menarik itu nampak buruk dibandingkan yang baru dan yang belum pernah didapatkan.

Demikian pula dengan perasaan Kui Lan. Andaikata ia belum digauli Tiong Sin, belum tentu ia lebih suka memilih San Hong daripada Tiong Sin. Sedangkan Tiong Sin sendiri bersikap acuh, karena bukankah dia telah memperoleh pengganti Kui Lan yang lebih menarik, yaitu Ang Siang Bwee?

"Tentu saja kami sudah mengenal Kwee San Hong! Ha-ha-ha, kiranya dia itu muridmu? Akan tetapi mengapa dia mengaku murid Tung Kiam? Aih, dia malah sudah menerima latihan ilmu golok dariku!"

"Ehnh? Kenapa bisa begitu?" Nam Tok tertegun.

"Dia datang ke sini bersama puterimu, Nam Tok. Dan puterimu yang menceritakan keadaan San Hong bahwa dia murid Tung Kiam. Aku malah mengajarkan ilmu It-sin-ci kepada Siang Bwee, dan ilmu golok Swat-sin-to kepada San Hong."

Nam Tok amat cerdik. Mendengar itu, otaknya bekerja dan dia pun sudah tahu apa yang telah terjadi. Tentu puterinya yang cerdik seperti setan itu yang membuat ulah. Dan dia pun tertawa tergelak, "Ha-ha-ha-ha-ha! Sekali ini datuk besar yang namanya Pak Ong kena diakali oleh seorang anak kecil. Siang Bwee telah mengakalimu sehingga engkau dapat diperas dan keluarlah ilmu-ilmumu. Ha-ha-ha-ha-ha! Kwee San Hong adalah muridku, dan aku melamar puterimu untuk dijodohkan dengan muridku itu, bagaimana?"

Pak Ong juga merupakan seorang datuk besar yang selain berilmu tinggi, juga licik dan cerdik bukan main. Dia sudah membuat perhitungan dan tahu bahwa kini dia yang rugi. Dia dapat menarik puteri Nam Tok menjadi mantu muridnya, akan tetapi kini dia "kehilangan" puterinya dan juga pedang pusaka. Maka, dia sudah mendapat suatu gagasan yang baik sekali dan dia tertawa.

"Ha, engkau memang tua bangka yang pintar sekali, Nam Tok! Kami sudah melihat muridmu itu, bahkan dia dapat kukatakan sebagai murid pula karena dia telah menerima pelajaran ilmu golok dariku. Heiii, Kui Lan, bagaimana pendapatmu. Maukah engkau kujodohkan dengan Kwee San Hong?" Pak Ong berpendapat lebih baik bertanya kepada puterinya karena dia tahu benar watak Kui Lan. Kalau gadis itu tidak mau, biar sampai mati pun dia tidak mungkin dapat memaksanya.

Kui Lan tersenyum kecil dan menundukkan muka. "Terserah kepada Ayah sajalah!"

"Kwee San Hong memang pantas sekali menjadi suami dari Sumoi!" kata Bu Tiong Sin yang diam-diam mendorong.

"Ha-ha-ha, nah, engkau mendengar sendiri, Nam Tok. Akan tetapi engkau dan aku adalah dua orang datuk besar yang mempunyai kedudukan yang samai tinggi. Oleh karena itu, aku yakin bahwa engkau tentu tidak mau kalah olehku. Aku telah menyerahkan puteriku untuk menjadi mantu muridmu, dan engkau juga menyerahkan puterimu untuk menjadi mantu muridku. Aku telah menyetujui muridku memberi ikatan jodoh berupa Pedang Asmara yang tak ternilai harganya.

"Maka, aku pun yakin bahwa muridmu akan memberi tanda ikatan jodoh yang takkan kalah tinggi nilainya. Karena muridmu tidak hadir di sini, tentu engkau yang akan mewakili memberikan tanda ikatan jodoh itu. Dan aku melihat bahwa tidak ada benda lain yang lebih bernilai dibandingkan Pedang Asmara daripada Tongkat Nagamu itu!

Nam Tok terbelalak, memandang Pedang Asmara yang masih dipegang di tangan kiri dan Tongkat Naga yang di pegang di tangan kanan. Akhirnya dia tertawa. "Ha-ha-ha, engkau tua bangka memang cerdik dan licik sekali, Pak Ong. Sukarlah orang mengakui seorang tua bangka seperti kamu. Nah, terimalah tanda ikatan jodoh antara puterimu Ji Kui Lan dengan muridku Kwee San Hong!"

Dia melemparkan tongkat naga itu ke arah Pak Ong. Tongkat itu merupakan sebuah senjata pusaka yang ampuh dan berat sekali. Orang biasa tentu tidak akan mampu mengangkatnya, apalagi menerima tongkat berat itu ketika dilemparkan oleh seorang datuk besar yang amat kuat seperti Nam Tok. Tertimpa lontaran tongkat ini saja sudah cukup untuk membunuh orang! Akan tetapi, sambil tersenyum gembira Pak Ong menyambut tongkat itu dengan tangan kanannya.

Dia merasa gembira bukan main. Bukan karena tongkat itu bermanfaat baginya karena dia lebih suka mempergunakan golok saljunya daripada senjata lain, apalagi tongkat yang berat itu. Dia gembira karena dengan memberikan tongkat naganya, berarti bahwa Nam Tok benar-benar percaya kepadanya dan telah menerimanya sebagai seorang sekutu. Bahkan juga mereka berbesan ganda!

"Bagus sekali! Dengan begini, maka sudah sah kita menjadi besan, Nam Tok. Mari, kupersilakan untuk menerima hidangan kami sebagai tanda penghormatan kami, juga untuk merayakan peristiwa yang amat menggembirakan ini!" Pak Ong lalu menghampiri Nam Tok, menggandeng tangan rekan itu dan diajaknya menuju ke ruangan lain di mana telah dipersiapkan meja penuh hidangan yang masih mengepul panas dan arak harum yang baik.

Tiong Sin dan Kui Lan mengikuti dari belakang dan lak lama kemudian, mereka berempat sudah makan minum dan Nam Tok merasa gembira sekali. Ini merupakan pengalaman baru yang menarik. Biasanya, dia menghadap Pak Ong sebagai seorang saingan, seorang lawan bertanding yang patut diperhatikan karena cukup berbahaya. Kini mereka duduk makan minum bersama sebagai dua orang sahabat. Lebih erat malah, sebagal besan!

Setelah selesai makan minum, Pa Ong menyuruh puterinya dan muridnya keluar sedangkan dia sendiri mengadakan perundingan dengan Nam Tok, membagi tugas untuk membantu pemerintah menghadapi gelombang mata-mata yang disebar oleh pihak Mongol.

Nam Tok bertugas untuk pergi ke kota raja, menghambakan diri kepada kaisar untuk melindungi kaisar yang dapat saja sewaktu-waktu terancam keselamatannya oleh mata-mata musuh yang menyelundup, seperti yang pernah dilakukan oleh putera See Mo dan putera Tung Kiam. Juga membantu pemerintah melalui panglima Yeliu Cutay untuk membersihkan kota raja dari mata-mata Mongol.

Adapun Pak Ong bertugas untuk menghubungi dan mengumpulkan para patriot di kalangan dunia persilatan, agar mereka itu suka membantu pasukan pemerintah menghadang gerakan orang Mongol dari utara. Dia memesan kepada Kui Lan dan Tiong Sin untuk bersiap-siap di rumah dan memperdalam semua ilmu yang mereka pelajari.


Para panglima yang dikumpulkan dan diundang Yeliu Cutay itu diperkenalkan kepada kakek itu dan mereka semua merasa kagum. Mereka sudah mendengar akan nama besar Empat Datuk Besar dan kini kakek itu diperkenalkan kepada, mereka sebagai Nam-san Tok ong Ang Leng Ki atau lebih terkenal dengan sebutan Nam Tok (Racun Selatan). Dan memang kakek yang usianya sudah lebih dari enam puluh tahun itu nampak gagah perkasa.

Tubuhnya tinggi besar, geraki geriknya gagah dan sikapnya berwibawa dengan pakaian sutera putih bersih, sabuk emas dan jubahnya yang lebar itu ber warna merah. Hiasan rambutnya yang sudah banyak uban itu merupakan seekor naga melingkari mustika terbuat dari batu giok dan emas.

Dua puluh orang panglima dari berbagai tingkatan itu semakin heran ketika Yeliu Cutay mengatakan bahwa Nam Tok datang ke kota raja karena ingin melindungi kaisar! Seorang datuk besar yang disegani kawan ditakuti lawan di dunia kang-ouw, hendak melindungi kaisar. Melihat semua orang yang hadir memandang kepadanya dengan keheranan, Nam Tok lalu bangkit berdiri, mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil menghadap ke sekeliling.

"Cu wi (Anda sekalian) harap jangan merasa heran. Bagaimanapun juga, aku adalah seorang rakyat. Melihat betapa negara terancam gelombang orang Mongol, aku ingin menghambakan diri kepada pemerintah. Orang Mongol mempunyai banyak orang pandai, maka dalam keadaan gawat ini, keselamatan Sribaginda Kaisar akan selalu terancam bahaya. Juga kota raja penuh dengan mata-mata yang lihai. Aku bukan seorang ahli perang, maka tidak mungkin aku membantu pemerintah dalam berperang. Namun, untuk menghadapi para penyelundup yang berkepandaian tinggi, aku sanggup untuk membasmi mereka!"

Semua panglima yang mendengar ini mengangguk-angguk. Mereka masih ingat akan peristiwa menggegerkan di istana, ketika dua orang puteri kaisar diculik orang lalu ditemukan telah tewas di rumah mata-mata Mongol. Kalau sudah ada mata-mata berhasil menculik puteri kaisar dari istana, untuk membunuh kaisar hanya merupakan langkah berikutnya.

Yeliu Cutay bangkit berdiri setelah Nam Tok duduk kembali, "Cu-wi tentu masih ingat betapa isteri dan dua orang anakku tewas dibunuh mata-mata Mongol yang amat lihai. Mereka itu hendak membasmi keluargaku karena aku telah menghancurkan jaringan mata-mata di toko kelontong milik Ci Koan itu. Kalau tidak ada Lo-cianpwe Nam Tok ini, tentu aku pun sudah tewas.

"Maka, aku percaya sepenuhnya kepada Lo-cianpwe ini, dan ketika dia datang menyatakan keinginannya, aku lalu mengundang Cu-wi untuk bersama-sama mempertimbangkan hal ini. Kalau Cu-wi setuju, marilah kita menghadap Sribaginda dan menawarkan bantuan Lo-cianpwe Nam Tok.

"Dengan adanya Lo-cian-pwe ini di kota raja, kita tidak perlu mengkhawatirkan keselamatan Sribaginda lagi. Juga dengan bantuannya kita dapat membersihkan kota raja dari gangguan para mata-mata musuh."

Semua panglima menyatakan persetujuan mereka. Demikianlah, Yeliu Cutay dan beberapa orang panglima yang dekat dengan Sribaginda pada suatu hari menghadap Sribaginda dan mengajak Nam Tok. Ketika kaisar mendengar laporan mereka dan usul mereka, Kaisar Wai Wang menyatakan kegembiraannya. Akan tetapi, melihat bahwa jagoan yang diajukan oleh para panglima itu, biarpun nampak gagah, sudah tua, timbul keraguan hatinya.

"Nam-san Tok-ong Ang Leng Ki ini sudah tua, bagaimana hati kami akan dapat yakin dan menjadi tenang kalau belum menyaksikan kemampuannya?" Demikian Sribaginda Kaisar berkata.

Mendengar ini, Yeliu Cutay lalu mengusulkan agar Sribaginda menguji kemampuan Nam Tok dengan mengajukan jagoan istana untuk menandinginya. Sribaginda Kaisar memandang kepada Nam Tok dengan sinar mata penuh keraguan, akan tetapi memberi isyarat kepada kepala pengawal pribadinya untuk memanggil para jagoan istana yang sedang bertugas saat itu.

Kepala pengawal keluar dan tak lama kemudian dia datang kembali menghadap, diikuti oleh lima orang laki-laki gagah yang usianya antara tiga puluh sampai empat puluh tahun. Mereka berpakaian ringkas dan nampak gagah dengan tubuh yang kokoh kuat, dan mereka menjatuhkan diri berlutut menghadap kaisar, menanti perintah.

Kaisar memandang kepada Nam Tok lalu berkata, "Nah, sekarang agar kami dapat yakin, engkau boleh memilih seorang di antara mereka untuk membuktikan kemampuanmu."

Nam Tok tersenyum. "Paduka dapat memerintahkan mereka berlima untuk maju semua melawan hamba."

Kaisar terbelalak, akan tetapi wajahnya berseri gembira. "Ang Leng Ki, ketahuilah bahwa lima orang ini merupakan jagoan-jagoan nomor satu di sini. Kalau engkau benar-benar mampu menandingi mereka berlima yang maju berbareng sungguh kami akan menjadi yakin sekali.'' Dia lalu memberi isyarat kepada lima orang itu untuk menguji kepandaian Nam Tok.

Lima orang itu pernah mendengar nama Nam Tok, akan tetapi tidak tahu bahwa kakek yang berjubah merah ini adalah Nam Tok, datuk besar itu, karena kaisar menyebut namanya, Ang Leng Ki dan nama ini tidak mereka kenal. Mendengar bahwa kakek itu menantang mereka berlima maju bersama, mereka saling pandang. Agaknya kakek ini orang yang gila atau orang yang amat sombong, pikir mereka.

Mereka merupakan jagoan-jagoan yang lihai dan menjadi jagoan nomor satu di istana. Bagaimana sekarang kakek itu menantang mereka maju berbareng? Melawan seorang di antara mereka pun tidak mungkin menang.

Nam Tok sudah bangkit dan memberi hormat kepada kaisar, lalu mundur ke tempat yang luas di ruangan itu. Lima orang jagoan yang telah menerima perintah kaisar juga memberi hormat, kemudian dengan gerakan yang lincah, mereka berlima sudah berloncatan ke depan Nam Tok yang tadi hanya berjalan dengan langkah yang tenang. Agaknya mereka berlima itu hendak memamerkan kepandaian mereka dan membuat kakek itu menjadi jerih.

Akan tetapi, Nam Tok berdiri tegak di depan mereka, memandang kepada mereka seperti seorang kanak-kanak, atau seperti orang memandang ke bawah dari tempat yang lebih tinggi, sikapnya tenang sekali. Bahkan dia sekali lagi menghadap kaisar dan memberi hormat dengan membungkuk sambil berkata dengan suara lantang...

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.