Pedang Asmara Jilid 32 karya Kho Ping Hoo - "Ceritakan hasil penyelidikan kalian." kata Nam Tok singkat.
Akan tetapi sebelum dua orang itu menjawab, tiba-tiba saja ada bayangan berkelebat dan San Hong telah berdiri di depan mereka dengan mata berkilat.
"Kiranya kalian ini yang berjuluk Hek I Siang-mo. Kalian yang enam tahun lalu membunuh penduduk dusun Po-lim-cun di kaki Pegunungan Thian san.”
Dua orang datuk sesat itu saling pandang, lalu Thian-te mo si gendut pendek yang selalu menjadi juru bicara mereka berdua, mengamati Sun Hong dan bertanya, "Orang muda, siapakah engkau? Kami tidak mengenalmu."
"Namaku Kwee San Hong. Orang tuaku tinggal di dusun Po-lim-cun dan menjadi korban pembunuhan yang kalian lakukan terhadap penduduk dusun itu."
Thian-te mo menyeringai lebar. "Hemmm kami sudah lupa lagi, lalu kalau benar begitu, engkau mau apa, orang muda?"
"Bersiaplan kalian untuk menebus dosa. Aku akan membunuh kalian!" kata San Hong marah.
Thian-te-mo terkekeh. "Engkau? Mau membunuh kami? ha-ha-ha, jangan melawak di sini....."
"Jahanam, lihat seranganku!" bentak San Hong dan dia sudah menyerang dengan tamparan kedua tangannya secara bertubi-tubi ke arah Thian-te-mo dan Im-yang-mo. Dua orang datuk sesat itu tadinya memandang rendah kepada San Hong, maka mereka sambil mendengus mengangkat lengan menangkis dengan pengerahan tenaga untuk mematahkan tulang kedua lengan pemuda yang mereka anggap lancang itu.
"Dukkk! Dukkk!"
Dua orang itu terpelanting ke kanan kiri! Mereka terkejut bukan main. Kiranya pemuda itu memiliki tenaga yang amat kuat sehingga bukan tulang kedua lengan pemuda itu yang patah-patah, melainkan tulang lengan mereka yang rasanya remuk! Mereka cepat bergulingan lalu meloncat berdiri, sekali ini dengan marah mereka siap melawan pemuda itu.
"Hong ko.....!" Siang Bwee hendak meloncat maju, akan tetapi lengannya dipegang oleh ayahnya. Ketika ia menoleh, ayahnya tersenyum menggeleng kepala.
"Biarkan dulu mereka berlatih. Aku ingin melinat kemajuan San Hong."
Siang Bwee mengenal watak ayahnya yang aneh, maka ia pun diam saja, hanya siap membantu kalau San Hong terancam bahaya, juga ia tidak ingin San Hong membunuh dua orang itu sebelum mereka itu mengaku telah membunuhi orang tua San Hong dan penduduk dusun Po-lim-cun. Sementara itu, Pak Ong, puterinya dan muridnya hanya diam saja karena menganggap bahwa keributan itu tidak ada sangkut pautnya dengan mereka.
San Hong mengamuk dan menyerang bagaikan seeekor naga marah. Dua orang datuk itu kini terdesak dan mereka semakin terkejut. Baru mereka tahu bahwa mereka berhadapan dengan seorang pemuda yang amat linai. Yang membuat mereka semakin gentar adalah ketika melihat betapa Nam Tok dan puterinya hanya diam saja.
Ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara pemuda lihai ini dengan mereka, maka tentu saja hal ini amat menggelisahkan hati. Mereka mencoba untuk bertahan dan balas menyerang, namun gerakan San Hong terlalu cepat dan kuat sehingga mereka terus terdesak.
Tiba-tiba San Hong mendesak Thian-te-mo dengan tamparan tamparan yang amat kuat. Si gendut pendek itu kehilangan senyumnya dan dia bertahan dengan tangkisan-tangkisan kedua lengannya. Pada saat itu, Im yang mo menyerang dari belakang, memukulkan tangan kanannya ke arah punggung San Hong. Pemuda ini tidak menghentikan desakannya terhadap Thian-te-mo, seolah tidak melihat datangnya pukulan itu.
"Dukkk! Desss.....!"
Dua orang Hek I Siang mo itu terpelanting roboh! Thian-te-mo roboh oleh tamparan tangan kanan San Hong yang biarpun sudah ditangkis tetap saja masih mengenai pundaknya, sedangkan Im-yang-mo roboh setelah pukulannya mengenai punggung San Hong. Pukulan itu membalik dan hawa pukulannya menghantam dirinya sendiri.
Kiranya diam-diam San Hong telah mengerahkan tenaga sin-kang Perisai Diri yang dipelajarinya dari Lo Koay sehingga ketika hantaman tiba, maka tubuhnya bagaikan perisai kokoh kuat yang membuat hawa pukulan itu membalik menyerang si pemukul sendiri!
San Hong hendak melompat untuk menghabisi dua orang musuhnya itu, akan tetapi Siang Bwee meloncat dan merangkul pinggang San Hong dari belakang. "Suheng, jangan! Engkau belum yakin benar bahwa mereka yang melakukan pembunuhan itu!"
Karena pinggangnya dirangkul kekasihnya, San Hong tidak berani meronta dan dia pun hanya memandang kepada dua orang yang mulai merangkak bangun itu dengan sinar mata berkilat.
"Mereka telah membunuh ayah ibuku! Mereka telah membunuh penduduk dusun kami, aku harus membalas kematian semua orang itu!" kata San Hong dengan marah.
Siang Bwee tetap melingkarkan lengannya di pinggang San Hong dan kini gadis itu berkata kepada Hek I Siang-mo, "Siang-mo, kami sudah melakukan penyelidikan ke dusun Po-lim-cun dan ada saksi yang mengatakan bahwa yang membunuh orang-orang dusun itu bukanlah ayahku, melainkan perampok-perampok dan juga kalian. Nah, sekarang saatnya kalian bicara terus terang. Kalau tidak, aku akan membiarkan Suheng membunuh kalian!"
Sepasang Iblis Baju Hitam itu memandang ke arah Nam Tok, wajah mereka gelisah. Mereka memang serba salah. Kalau hendak mengaku, mereka takut kepada Nam Tok. Kalau tidak, mereka takut kepada San Hong dan Siang Bwee.
"Hah, dalam keadaan seperti ini, mengapa ribut-ribut urusan pribadi? Kalian ceritakan saja sebenarnya apa yang terjadi." kata Nam Tok dengan sikap acuh.
Thian-te-mo menarik napas lega, kemudian dia memandang kepada San Hong dan berkata, "Terus terang saja, ketika malam itu kami berdua tiba di dalam dusun yang sedang dirampok, kami melihat penduduk melawan para perampok yang dipimpin oleh Tiat-liong Mo-ko. Perlawanan yang sia-sia. Banyak sudah orang dusun yang tewas, diantaranya suami isteri yang agaknya memimpin penduduk dusun yang gagah perkasa."
"Ceritakan bagaimana rupanya suami isteri itu!" San Hong berkata dan suaranya terdengar dingin dan penuh ancaman.
"Yang pria berusia sekitar lima puluh tahun, isterinya beberapa tahun lebih muda. Orang itu bertubuh tinggi besar, memegang sebatang tombak. Isterinya tidak pandai berkelahi akan tetapi penuh semangat memberi dorongan kepada penduduk....."
"Siapa membunuh suami isteri itu?"
"Mereka pun roboh oleh Tiat-liong Mo-ko. Kami adalah dua orang yang suka berkelahi. Melihat perkelahian yang berat sebelah itu, kami lalu terjun ke dalam medan pertempuran dan mengamuk. Mula-mula Tiat-liong Mo-ko kami bunuh, lalu seluruh anak buahnya yang belasan orang, tidak ada satu pun yang lepas. Ha-ha-ha!"
"Dan ada pula penduduk dusun yang kalian bunuh?" tanya Siang Bwee.
Im-yang-mo hanya cemberut saja. Akan tetapi Thian-te-mo menyeringai ketika, berkata. "Kami mana tahu? Kami tidak dapat membedakan mana perampok mana penduduk. Kami hanya main sikat saja!"
"Hong-ko, eh, Suheng. Hek I Siang-mo ini memang haus darah. Mereka membunuh siapa saja tanpa pandang bulu. Kalau dihitung, mereka ini bahkan telah berjasa membunuh semua perampok berikut kepala mereka yang sudah membunuhi orang tuamu. Kurasa hal ini tidak perlu diperpanjang. Pembunuh orang tuamu telah terbunuh dan urusan ini sudah habis. Bukankah begitu, suheng?"
San Hong termenung. Dari Thian-san Ngo-sian dia sudah mendengar banyak tentang kehidupan para datuk sesat yang sama sekali tidak pernah memakai aturan. Siapa membunuh siapa, dengan alasan apa pun, agaknya bukan hal yang aneh bagi mereka. Lebih aneh lagi sikap Nam Tok, ayah Siang Bwee.
Kakek itu sama sekali tidak melakukan pembunuhan terhadap penduduk dusun, kenapa dia mengakui semua pembunuhan itu? Kalau mencari nama besar dengan mengaku menjadi pembunuh keji, sungguh cara mencari nama yang aneh sekali. Bukan nama besar yang diperoleh, melainkan nama busuk, tersohor busuk.
"Sudahlah, cukup semua urusan pribadi ini. San Hong, sebagai muridku engkau harus tunduk kepada perintahku. Sekarang kita harus pergi ke puncak, lihat, bulan purnama mulai naik, Siang-mo, ceritakan laporanmu."
"Kami melihat kedua lo-cianpwe Tung Kiam dan See Mo berada di puncak. Ada banyak sekali orang, puluhan mungkin sampai seratus orang Mongol bersembunyi di sekitar puncak, di utara, timur dan barat. Sikap mereka mencurigakan sekali. Juga kami melihat banyak bayangan berkelebat di hutan sebelah selatan puncak."
"Nah, yang di utara timur dan barat itu adalah orang-orang Mongol yang membuat baris pendam. Sedangkan yang di hutan sebelah selatan adalah kawan-kawan kita," kata Pak Ong.
"Bagus, kalau begitu jalan satu-satunya untuk mendaki puncak dengan aman dan tidak terjebak adalah melalui selatan. Mari kita berangkat!" kata Nam Tok.
"Nanti dulu, Ayah!" Tiba-tiba Siang Bwee berseru.
"Eh, ada apa lagi, Siang Bwee?" tanya Nam Tok.
"Ada dua hal penting yang perlu kita pertimbangkan. Pertama, pertemuan puncak adalah pertemuan antara Empat Datuk Besar secara pribadi dan menyendiri. Biarpun kita semua sudah tahu bahwa Tung Kiam dan See Mo bersekongkol, akan tetapi sebaiknya kalau kita pura-pura tidak tahu akan hal itu agar mengurangi kewaspadaan mereka. Maka, sebaiknya diatur agar Ayah dan Paman Ji tidak melakukan pendakian berbareng. Hal itu akan menimbulkan kesan bahwa sudah ada apa-apa di antara Ayah dan Paman Ji sehingga pihak lawan akan berhati-hati."
"Aih, hebat sekali kecerdikan puterimu, Nam Tok. Aku setuju sepenuhnya. Mengapa kita sampai melupakan hal itu? Benar, kita memang harus pergi sendiri-sendiri agar tidak sampai menimbulkan kecurigaan mereka. Kalau begitu, biarlah rombonganku berangkat lebih dulu!" kata Pak Ong.
"Ada satu lagi!" kata Siang Bwee. "Ayah akan menghadapi lawan-lawan tangguh, bagaimana mungkin Ayah tidak memegang Tongkat Naga? Hal itu akan menimbulkan dua macam kerugian. Pertama, Ayah akan menjadi bahan tertawaan karena sungguh janggal melihat Nam-san Tok-ong Ang Leng Ki maju ke medan laga tanpa tongkat saktinya!
"Ke dua, hal itu akan mengurangi wibawa Ayah dan juga membuat Ayah canggung kalau menghadapi lawan tangguh. Biarpun pertukaran senjata itu merupakan tanda ikatan jodoh, mengapa untuk sementara tidak ditukar saja dulu untuk keperluan pertemuan puncak ini?"
Biarpun dia seorang yang membenci penjajah Mongol, akan tetapi tetap saja Pak Ong adalah seorang datuk besar yang sesat yang selalu mempunyai watak yang licik seperti para datuk besar lainnya. Mendengar usul ini, diam-diam dia merasa khawatir. Dalam menghadapi Tung Kiam dan See Mo yang sudah bersekutu dan bersekongkol dengan orang Mongol dia memang membutuhkan kerja sama dengan Nam Tok.
Akan tetapi setelah Tung Kiam dan See Mo dapat dikalahkan, dia harus dapat mengalahkan Nam Tok agar dia yang diakui menjadi datuk besar nomor satu di dunia! Kalau Nam Tok tidak memegang Tongkat Naga, tentu dia akan mampu menundukkan Nam Tok. Akan rugilah dia kalau Nam Tok memegang lagi tongkatnya.
"Ha-ha-ha! Nam Tok, jangan engkau kena bujukan puterimu yang cerdik luar biasa ini. Tongkat pusaka telah ditukar dengan pedang pusaka sebagai tanda ikatan jodoh. Tanda ikatan jodoh itu mana dapat ditukar-tukar lagi begitu saja? Seperti juga jodoh, mana bisa ditukar-tukar begitu saja? Nam Tok, engkau sendiri sudah menentukan pertukaran pusaka untuk tanda ikatan jodoh!"
Nam Tok tertegun dan tidak mampu menjawab. Di dalam hatinya, tentu saja dia akan lebih mantap dan kepercayaan pada diri sendiri akan menebal kalau dia memegang Tongkat Naga. Akan tetapi ucapan Pak Ong itu membuat dia tidak mampu membenarkan usul Siang Bwee.
Kembali Siang Bwee yang membantah. "Paman Ji Hiat, apakah Paman hendak memandang rendah kepada Ayah?"
Nam Tok merasa tidak enak. "Siang Bwee, Pak Ong bukan memandang rendah, akan tetapi apa yang dikatakannya itu benar."
"Ayah, sudah puluhan tahun Tongkat Naga menjadi senjata pusaka Ayah, ikut suka duka Ayah dan ikut pula mengangkat nama besar Ayah. Kalau Ayah memegang Tongkat Naga, Ayah bagaikan harimau yang tumbuh sayap. Akan tetapi Ayah menukarnya dengan pedang. Namanya saja Pedang Asmara, mana bisa untuk bertanding! Paling-paling untuk bermain asmara. Aku masih belum percaya akan keampuhan pedang itu."
"Sudahlah, Nam Tok. Aku tidak ingin berbantah dengan putrimu, calon isteri muridku. Aku akan berangkat lebih dulu!"
"Nanti dulu!" Siang Bwee berseru dan sekali kakinya bergerak, ia sudah menghadang di depan Pak Ong.
Datuk besar ini lihai sekali, akan tetapi sekali ini dia terkejut menyaksikan gerakan itu, gerakan yang luar biasa cepatnya. Dia tidak tahu bahwa gadis itu menggunakan ilmu Langkah Berlingkar yang dipelajarinya dari nenek Coa Eng Cun. Berkerut alis Pak Ong ketika dia menatap wajah gadis itu dan suaranya terdengar penuh teguran. "Ang Siang Bwee, engkau calon isteri muridku, berani engkau menghalangi langkahku?"
"Aku sama sekali tidak ingin menghalangi, Paman Ji. Aku hanya ingin engkau mendengar dulu kata-kataku. Kita semua tahu belaka bahwa Tung Kiam dan See Mo telah bersekongkol dan bersekutu dengan orang Mongol dan bahwa kita harus membasmi anjing-anjing pengkhianat. Ayah dan Paman keduanya adalah patriot-patriot sejati, tentu akan bekerja sama menentang para pengkhianat.
"Tentu saja Paman menghendaki agar Ayah dapat turun tangan dengan kekuatan sepenuhnya agar kita dapat membasmi musuh. Akan tetapi, mengapa Paman tidak mengembalikan tongkat Ayah untuk sementara? Apakah Paman tidak percaya kepada Ayah? Ketahuilah, Paman. Bagi Ayah, janjinya jauh lebih berharga daripada segala macam senjata pusaka! Itulah sebabnya maka aku minta agar tongkat itu dikembalikan dulu kepada Ayah, dan pedang itu akan dikembalikan kepada pemiliknya?"
Siang Bwee mengerling ke arah Tiong Sin yang memegang tongkat itu dan ia melihat betapa wajah pemuda itu membayangkan kegembiraan. Memang, Tiong Sin merasa canggung memegang tongkat naga itu yang baginya terlalu panjang dan terlampau berat. Juga, dia agak gelisah harus berpisah dari Pedang Asmara yang amat diandalkannya itu. Dia ingin mendapatkan Siang Bwee, akan tetapi juga tanpa mengorbankan pedangnya.
Maka, usul yang diajukan Siang Bwee itu sungguh menyenangkan sekali baginya. "Maaf, Suhu," katanya. ”Teecu (murid) kira apa yang dikatakan nona Ang Siang Bwee itu memang tepat sekali. Kita menghadapi musuh-musuh yang tangguh, maka perlu mempersiapkan diri sekuat mungkin. Bukan hanya Ang Lo-cianpwe yang akan merasa kurang mantap kalau tidak memegang Tongkat Naga, akan tetapi teecu sendiri juga merasa canggung kalau tidak menggunakan pedang teecu. Untuk menghadapi peristiwa penting ini, tidak ada salahnya kalau untuk sementara kedua pusaka ditukar dan dikembalikan kepada pemilik masing-masing."
Pak Ong bukan orang bodoh dan dia memang dapat melihat kebenaran ucapan muridnya itu. Kalau tadi dia bersikap menolak adalah karena dia ingin mempertahankan gengsinya. "Bagaimana pendapatmu, Nam Tok?" Dia bertanya kepada rekannya itu.
Nam Tok balas memandang. "Hemmm, tergantung kepadamu. Pak Ong, apakah engkau percaya kepadaku ataukah tidak."
Jawaban ini saja sudah cukup. Kalau dia menyatakan tidak percaya, tentu Nam Tok akan merasa terhina dan mereka akan bentrok sendiri! Dia sudah mengenal benar watak Nam Tok yang tidak banyak bedanya dengan wataknya sendiri. Kini dia harus mengakui kecerdikan Siang Bwee.
Gadis itu dengan segala macam sikap dan kata-katanya ternyata telah mengatur siasat yang sedemikian rapi dan halusnya sehingga dia dan Nam Tok seolah-olah "terpaksa" dan tidak mungkin lagi untuk tidak menukar senjata pusaka Itu! Dan memang penukaran itu akan amat menguntungkan. Setidaknya, Nam Tok dan juga Tiong Sin akan dapat menjadi tenaga bantuan yang lebih kuat dibandingkan kalau mereka menukar pusaka.
"Tiong Sin, serahkan kembali Tongkat Naga kepada calon mertuamu, dan kau-terima kembali untuk sementara pedang pusakamu itu." katanya memerintah.
Tiong Sin melangkah maju dengan wajah riang, memberi hormat kepada Nam Tok dan menyerahkan tongkat itu dengan kedua tangannya. "Harap Lo-cianpwe suka menerima kembali Tongkat Naga ini untuk sementara."
Kalau menurunkan wataknya, Nam Tok merasa enggan untuk mengembalikan Pedang Asmara. Biasanya, sekali dia menginginkan sebuah benda, siapapun tidak akan mampu merampasnya kembali dan dia pun tidak ingin mengembalikan pedang itu.
Akan tetapi, dia memang membutuhkan Tongkat Naga sekali ini, dan dia merasa ngeri membayangkan apa yang dikatakan puterinya tadi, yaitu dia ditertawakan oleh Tung Kiam dan See Mo, bahkan lebih celaka lagi, tanpa Tongkat Naga dia akan kalah oleh mereka!
Maka, terpaksa dia pun menerima tongkatnya dan melolos pedang bersama sarungnya dari punggung dan melemparkan kepada Tiong Sin. Pemuda ini menyambutnya dengan girang bukan main dan cepat menalikan pedang itu di punggungnya. Sekarang Tiong Sin merasa dirinya baru lengkap dan besar hati!
Sejak tadi San Hong mengikuti semua aksi yang dilakukan Siang Bwee dengan jantung berdebar. Tentu saja dia khawatir kalau-kalau pedang yang dipertukarkan itu dicabut dan ketahuan bahwa pedang itu palsu. Sedangkan pedang aselinya berada di balik jubahnya! Akan tetapi hatinya lega karena Tiong Sin langsung saja menyimpan pedang itu tanpa melihat isinya.
Pemuda yang jujur ini sama sekali tidak tahu bahwa hal itu memang sudah diperhitungkan masak-masak oleh Siang Bwee. Gadis ini sama sekali tidak merasa khawatir kalau-kalau Tiong Sin memeriksa pedangnya. Murid Pak Ong itu pasti tidak berani melakukan hal itu, karena bukankah perbuatan itu sama saja dengan memperlihatkan ketidak-percayaan kepada Nam Tok? Itu dapat diterima oleh Nam Tok sebagai penghinaan dan tentu ayahnya akan marah sekali.
Andaikata hal itu terjadi, yaitu andaikata Tiong Sin mencabut dan memeriksa pedangnya, Siang Bwee sudah mempersiapkan akal yang lebih cerdik lagi. Kalau Tiong Sin mengetahui bahwa pedang itu palsu, maka ia bahkan akan menuduh pemuda itu menipu ayahnya dan memberikan sebatang pedang palsu kepada ayahnya! Kiranya tak seorang berani menuduh ayahnya memalsukan dan mencuri pedang!
Karena kalau ada yang berani, tentu Nam Tok takkan mau sudah sebelum menghancurkan kepala orang yang menuduhkan melakukan kecurangan itu. Biarpun hatinya meresa tidak nyaman dengan penukaran pusaka itu, namun Pak Ong menutupinya dengan suara ketawanya.
"Ha-ha-ha, aku percaya sepenuhnya bahwa Nam Tok takkan pernah mau melanggar janjinya. Kita kini menjadi satu keluarga untuk menghadapi musuh-musuh yang harus kita basmi. Nam Tok, kita adalah besan ganda. Puteriku dan muridku menjadi mantu-mantumu, sedangkan puterimu dan muridmu menjadi mantu mantuku. Nah, mari kita sekeluarga berangkat dan menang!"
Sambil berkata demikian, Pak Ong mendahului mereka melangkah maju untuk mendaki puncak itu melalui arah selatan. Nam Tok tidak menjawab, hanya melangkah lebar menyusul dan berjalan di samping Pak Ong.
Siang Bwee yang bertemu pandang dengan San Hong, mengedipkan matanya dengan lucu dan ia pun tanpa ragu atau sungkan lagi menggandeng tangan San Hong dan diajaknya pemuda itu berjalan cepat mengikuti dua orang kakek itu.
Biarpun hati mereka merasa tidak senang melihat tunangan masing-masing itu saling bergandeng tangan, namun Kui Lan dan Tiong Sin tidak berani berbuat sesuatu dan mereka pun mengikuti dari belakang dengan bersungut-sungut.
Sementara itu, keadaan di kota raja Yen-king masih tetap kacau balau berhubung dengan kepergian Kaisar Wai Wang yang lari mengungsi ke selatan. Perbuatan Kaisar Wai Wang ini yang membuat Nam Tok menjadi muak dan dia meninggalkan Istana dan kota raja.
Bukan hanya Nam Tok yang merasa muak melihat sifat yang pengecut dan kaisar itu. Banyak menteri dan panglima juga merasa penasaran dan marah. Kaisar Wai Wang memang masih berusaha mempertahankan kekuasaannya dengan meninggalkan putera mahkota.
Para ponggawa dan pangeran berjiwa patriot segera berkumpul dan mereka ini yang mengambil keputusan untuk mempertahankan negara dari tangan orang Mongol dan bersumpah setia terhadap kerajaan, walaupun rajanya telah mengecewakan hati mereka!
Akan tetapi banyak pula yang merasa tidak puas dan merasa tidak perlu lagi setia terhadap kaisar pengecut dan mereka inilah yang meninggalkan kota raja bahkan banyak pula yang menyeberang dan menyerah kepada pasukan Mongol, membantu musuh!
Para panglima dan pangeran yang masih setia terhadap Kerajaan Cin, mengerahkan segenap pasukan yang ada dan mereka itu membuat gerakan pembalasan ke utara. Mereka itu bertempur dengan penuh semangat karena merasa sakit hati, terutama didorong oleh perasaan kecewa melihat sikap kaisar mereka.
Dan serbuan-serbuan ke utara ini di luar dugaan berhasil dengan baik. Mereka memperoleh kemenangan dan berhasil merobohkan benteng-benteng ke pos-pos penjagaan pasukan Mongol yang tersebar di banyak tempat itu.
Berita yang mengejutkan ini terdengar oleh Jenghis Khan dan dia menjadi marah. Jenghis Khan mengirim pasukan besar yang paling baik untuk melakukan gerakan ke selatan dan mengejar Kaisar Wai Wang yang melarikan diri.
Pada waktu itu musim dingin telah tiba, namun pasukan Mongol ini terus maju dengan pesatnya dan memaksa rombongan kaisar yang melarikan diri untuk terpaksa memasuki daerah Kerajaan Sung yang dahulu menjadi musuh lama Kerajaan Cin. Namun, pasukan Jenghis Khan itu mengejar terus sehingga akhirnya terpaksa sekali kaisar yang melarikan diri itu tanpa malu-malu minta tolong kepada Raja Sung.
Hanya oleh perintah dari Jenghis Khan yang mengirim kurir untuk memanggil kembali pasukan itu saja yang memaksa pasukan Mongol yang gagah berani itu untuk meninggalkan daerah Sung, menyeberangi Sungai Kuning yang sedang beku, kembali ke utara.
Pengejaran oleh pasukan Mongol ini amat mengejutkan hati dan menggelisahkan perasaan Kaisar Wai Wang. Dia lalu mengirim utusan untuk memanggil putera mahkota agar menyusul keluarga kaisar lari ke selatan. Para ponggawa dan menteri setia merasa tidak setuju dan membujuk putera mahkota agar jangan pergi.
Akan tetapi karena Kaisar Wai Wang, berkeras, akhirnya putera mahkota terpaksa memenuhi perintah itu dan meninggalkan istana, lari mengungsi ke selatan! Kini kosonglah istana. Hanya beberapa orang wanita dari keluarga kaisar yang tinggal dan di kota raja yang masih sunyi karena banyak penduduk lari mengungsi itu hanya tinggal para pejabat yang setia, orang-orang kebiri, dan pasukan penjaga yang masih dipimpin para perwira yang setia.
Di antara mereka ini termasuk pula Yeliu Cutay. Dari yang menggantikan pimpinan di kota raja, menggantikan pangeran mahkota, adalah Pangeran Wang Yen yang menjadi panglima. Pangeran Wang Yen adalah adik misan dari Kaisar Wai Wang dan dari darah ibunya dia adalah keturunan mendiang Pangeran Wang-yen Si Kan yang terkenal sebagai seorang jenderal yang amat gagah perkasa dan seorang pahlawan.
Pangeran Wang-yen atau lengkapnya Wang-yen Ki Bu inilah yang memimpin para ponggawa dan panglima yang masih setia terhadap Kerajaan Cin dan dialah yang dengan mati-matian hendak mempertahankan kedaulatan Kerajaan Cin walaupun pasukan Mongol sudah mengepung dengan setengah lingkaran dari utara, barat dan timur? Di bawan pimpinan Pangeran Wang-yen yang patriotik inilah semangat para pasukan masih berkobar dan pantang menyerah.
Kini Jengnis Khan menyusun kekuatan sepenuhnya untuk menyerang kota raja Yen-king. Dianggapnya saat yang paling baik telah tiba, kesempatan terbuka luas dengan larinya kaisar dari kota raja. Dia pun mendapat laporan tentang kacaunya kota raja, dan banyak pasukan yang menyerah dan bergabung dengan pasukan Mongol.
Jengnis Khan sendiri kini telah berusia lima puluh lima tahun. Tidak lagi dia memimpin sendiri pasukannya, apalagi karena kini tubuhnya mulai lemah akibat luka-luka yang pernah dideritanya dalam pertempuran. Namun otaknya masih bekerja dengan baik dan dia yang mengatur siasat penyerbuan ke Yen-king itu.
Jengnis Khan menunjuk Panglima Muhuli yang berpengalaman untuk memimpin pasukan inti yang hanya terdiri dari lima ribu orang perajurit pilihan. Panglima Muhuli ini dibantu oleh Pangeran Ming-an, seorang pangeran dari Liao-tung. Dan sebagai perwira pendobraknya adalah Sabotai yang sudah seringkali memperlihatkan kegagahannya dalam semua aksi gerakan pasukan Mongol.
Sesuai dengan petunjuk Jenghis Khan, ketika pasukannya bergerak ke arah timur melalui Go-bi, Panglima Muhuli menerima para perajurit pelarian Yen-king. Mereka ini adalah perajurit-perajurit Cin yang tentu saja sudah hafal akan keadaan kota raja Yen-king dan dapat menjadi penunjuk jalan yang baik sekali. Setelan tiba di luar benteng Yen-king, pasukan Mongol itu mendirikan perkemahan di dekat tembok benteng.
Dengan bayaran tinggi dan janji muluk, para perajurit pelarian ini dijadikan mata-mata dan mereka menyusup dengan mudah ke dalam kota raja sebagai rakyat biasa. Dan mereka inilah yang bergerak di dalam, membuat kekacauan, menyebar berita bahwa kota raja telah dikepung oleh ratusan ribu orang tentara Mongol. Gegerlah kota raja setelah mendengar berita ini.
Pangeran Wang-yen Ki Bu yang menjadi panglima, segera mengumpulkan seluruh pasukan dan menyerbu keluar. Terjadilah pertempuran pertempuran di luar benteng kota raja. Sementara itu, di kota raja menjadi geger dan kacau balau. Banyak perwira yang menjadi kecut hatinya dan diam-diam mereka melarikan diri dari kota raja, membawa harta benda dan keluarga mereka.
Para mata-mata Mongol yang bertugas mengacaukan keadaan, bersama para penjahat yang hendak mengambil kesempatan dalam kesempitan, mengail di air keruh, melakukan pembakaran dan perampokan-perampokan! Belum juga pasukan musuh memasuki kota, para penjahat telah lebih dahulu melakukan perampokan, pembakaran, pembunuhan dan perkosaan. Nafsu setan merajalela karena tidak ada pengekangan sama sekali, tidak ada pasukan keamanan karena semua pertahanan ditujukan untuk melawan pasukan Mongol.
Para wanita dan pelayan, orang-orang kebiri, pengawal-pengawal istana juga melarikan diri dari istana, tidak lupa untuk membawa barang-barang berharga dari Istana itu. Bukan itu saja, bahkan banyak perajurit mulai meninggalkan pasukan, bersama para penjahat ikut pula merampok.
Dalam keadaan negara aman dan tenteram, di mana pasukan penjaga keamanan masih bertugas, banyak sekali orang memakai kedok kepura-puraan di muka mereka banyak orang munafik berkeliaran. Akan tetapi, kalau negara dalam keadaan kacau dan tidak ada petugas keamanan yang mengatur.
Maka semua kedok ditanggalkan dan nampaklah belang dari setiap orang. Kita akan terkejut nelihat kenyataan betapa orang-orang yang tadinya kita anggap sebagai orang baik-baik, tiba-tiba saja berubah menjadi hamba setan penuh kemurkaan, dendam kebencian dan kekejaman yang mengerikan.
Pasukan pemerintah yang bertempur melawan pasukan Mongol di luar kota raja, mengalami pukulan hebat dan banyak di antara mereka yang roboh dan lebih banyak pula yang melarikan diri. Dengan latar belakang pemerintah yang sudah rapuh itu, mana dapat menimbulkan semangat juang yang besar dalam pasukan?
Kekalahan demi kekalahan mereka derita dan Panglima atau Pangeran Wang-yen Ki Bu kekurangan tenaga dalam pasukan pertahanan yang menjadi semakin lemah dan semakin kecil jumlahnya di samping semakin mengendur semangatnya. Kejatuhan kota raja hanya tinggal menanti saat saja rupanya.
Pangeran Wang-yen mencoba usaha yang terakhir. Dia mengumumkan bahwa semua penjahat yang melakukan perampokan, semua tawanan yang dipenjara diampuni dosanya kalau mereka mau menjadi perajurit, dan dia pun menjanjikan upah besar bagi para perajurit. Kalau perlu dia akan menghabiskan seluruh harta kekayaannya untuk membayar para perajurit.
Namun, agaknya semua usahanya ini sia-sia saja belaka. Para perajurit dan rakyat sudah ketakutan dan semakin banyak saja yang melarikan diri mengungsi ke luar kota raja Yen-king. Kini pasukan Mongol yang dibantu oleh perajurit perajurit Cin sendiri yang berkhianat, sudah mulai mendesak sampai ke pintu gerbang kota raja!
Melihat bahwa semua usahanya untuk membela negara sia-sia belaka, pada sore hari itu Pangeran Wang-yen mengumpulkan seluruh keluarganya yang terdiri dari seorang isteri, tiga orang selir dan dua orang anaknya. Pangeran ini mempunyai lima orang anak akan tetapi tiga orang yang tertua, semua pria, telah gugur ketika memimpin pasukan melawan musuh.
Kini tinggal dua orang anaknya yang ikut berkumpul di ruangan dalam gedung mereka. Seorang gadis berusia delapan belas tahun bernama Wang-yen Lin, puteri dari Isteri pertama dan adiknya Wang-yen Kong, laki-laki berusia enam belas tahun, putera dari selir.
Ketika tiga orang steri dan dua orang anak itu menghadap, Sang Pangeran sedang duduk menuliskan surat pada baju kebesarannya. Seorang perajurit yang usianya sudah lima puluh tahun, berdiri di situ dengan sikap hormat. Perajurit tua ini adalah Tang Gun, yang sejak muda telah menjadi pengawal dan sahabat baik Pangeran Wang-yen Ki Bu.
Melihat betapa suami mereka itu duduk menulis dengan muka pucat dan dengan pakaian serba putih, tiga orang wanita yang menjadi isterinya menghampiri, berlutut dan menangis. Wang-yen Lin dan Wang-yen Kong sudah cukup dewasa untuk mengerti apa yang sedang terjadi, dan mereka pun menjatuhkan diri dekat ibu mereka, ikut pula menangis.
Keluarga itu maklum bahwa dalam keadaan putus asa, Pangeran Wang-yen Ki Bu akan mengorbankan nyawanya demi kesetiaannya. Pangeran Wang-yen Ki Bu membiarkan keluarganya menangis tanpa menghentikan tulisannya. Setelah selesai, barulah dia melempar alat tulis itu ke atas meja dan dia berkata dengan suara yang penuh wibawa.
"Diamlah kalian semua. Hentikan tangis kalian itu!"
Tiga orang isterinya dan dua orang anaknya menghentikan tangis mereka, yaitu suara tangis mereka, akan tetapi mereka tidak mampu membendung mengalirnya air mata. Setelah menarik napas panjang beberapa kali, pangeran itu berkata dengan suara yang lantang.
"Agaknya kalian sudah tahu bahwa inilah saat terakhir bagi kita untuk saling bertemu. Dengarkan pesanku yang terakhir ini dan jangan membantah. Pertama kepada isteriku."
Dia memandang isteri pertama yang kini maju dan menangis di atas lutut suaminya. "Setelah aku keluar memimpin pasukan, engkau boleh atur agar seluruh harta milik kita dibagi-bagikan kepada seluruh penghuni rumah ini termasuk para pelayan. Setelah membagi harta, mereka itu boleh dibebaskan dan boleh meninggalkan rumah ini. Engkau sendiri, bersama dua orang madumu, sebaiknya cepat lari mengungsi melalui pintu gerbang selatan yang masih aman, menggunakan kereta. Biar Tang Gun yang mencarikan pasukan pengawal untuk kalian bertiga."
"Tidak... tidak....! Aku tidak mau pergi tanpa engkau, suamiku.....!" Isteri pangeran itu menangis dan merangkul kaki suaminya.
"Kami juga tidak mau pergi. Ke mana kami wanita-wanita lemah akan pergi? Di mana-mana tidak aman, tentu kami hanya akan menjadi korban kejahatan saja. Lebih baik kami tinggal disini, menanti Paduka dan kalau perlu..... kalau perlu... kami siap untuk mati bersama....." kata dua orang selir itu sambil bertangisan.
Pangeran Wang-yen menarik napas panjang. Dia sudah menduga bahwa tiga orang isterinya tidak akan mau meninggalkannya. Dia lalu memandang kepada Wang-yen Lin dan Wang-yen Kong. "Lin Lin dan Akong, sekarang giliran kalian! Dengar baik-baik. Kalian harus pergi sekarang juga bersama paman kalian! Tang Gun ini. Dia akan menyelamatkan kalian keluar dari kota raja dan...."
"Ayah.....!" Wang-yen Lin maju mendekati ayahnya dan menangis. "Aku pun akan tinggal di sini bersama Ayah dam Ibu. Aku tidak takut mati"
"Aku pun tidak takut mati! Aku akan melawan musuh bersama Ayah!" kata pula Wang-yen Kong dengan gagah.
Sejenak ada kebanggaan bersinar di mata pangeran itu. Akan tetapi dia menghardik, "Jangan banyak membantah. Ini perintah!"
Dua orang anaknya itu terkejut dan menunduk. "Dengar baik-baik. Kalian masih muda dan tidak perlu mengorbankan nyawa. Pergilah kalian bersama Tang Gun, ke selatan dan serahkan baju Ayah ini kepada Sribaginda Kaisar! Kemudian, kalian harus membuat nama baik, belajar dengan tekun, dan menjadi orang-orang yang berguna bagi negara dan bangsa. Mengerti?"
"Mengerti, Ayah. Akan tetapi....." Gadis yang cantik jelita itu hendak membantah.
"Cukup" bentak ayahnya dan dia menoleh kepada Tang Gun. "Tang Gun, Lin Lin harus menyamar sebagai pria kalau lari dari kota raja, dan mereka berdua harus mengenakan pakaian biasa seperti rakyat jelata agar tidak banyak mengalami gangguan. Nah, ini sepasang pedangku, untuk kalian berdua seorang satu. Kalian harus memperdalam ilmu pedang yang pernah kuajarkan kepada kalian. Sudah, hentikan tangis kalian semua. Tidak pantas keluarga kita bertangis-tangisan menunjukkan kelemahan. Aku rela dan kerelaan tidak boleh diantar tangis! Tang Gun, ajaklah mereka berdua pergi."
Tang Gun melangkah maju dan memegang tangan Wang-yen Lin dan Wang yen Kong. "Sio-cia, Kongcu (Tuan Muda) mari kita pergi selagi keadaan masih memungkinkan."
"Tang Gun, mulai saat ini, jangan sebut siocia (nona) dan kongcu (tuan muda) lagi kepada mereka. Sebut nama mereka saja dan akuilah mereka sebaga keponakanmu. Nah, berangkatlah!"
Tang Gun menarik dua orang muda itu berdiri. Mereka bangkit, memandang kepada ayah mereka dan tiba-tiba mereka berdua menubruk kaki orang tua itu.
"Ayah...." Keduanya menangis lagi.
Sejenak hampir saja Pangeran Wang yen dilanda keharuan. Dia mengatupkan gigi, mengeraskan hati. "Cukup semua kecengengan ini! Bangkit dan pergilah sebelum aku marah! Dan jangan lupa bawa baju terisi tulisanku untuk Sribaginda ini, Tang Gun!"
Dua orang anak itu bangkit, dan kini mereka menubruk ibu masing-masing sambil berlutut dan menangis.
"Ibu.....!" Wang-yen Lin menubruk ibunya.
"Ibu.....!" Wang-yen Kong juga merangkul ibunya.
"Sudahlah, anakku. Tuhan agaknya menghendaki begini. Kita menerima nasib. Tabahkan hatimu dan semoga Tuhan selalu melindungi kalian." kata isteri pangeran.
Karena tidak ingin menambah beban batin ayah mereka, biarpun dengan hujan tangis, akhirnya Wang-yen Lin dan Wang-yen Kong meninggalkan ruangan itu bersama Tang Gun yang mengajak mereka untuk membawa bekal, dan menyuruh Wang-yen Lin menyamar sebagai seorang pemuda petani, juga Wang-yen Kong disuruh mengenakan pakaian pemuda petani yang sudah dia persiapkan sebelumnya.
Setelah kedua orang anaknya pergi, legalah hati Pangeran Wang-yen Ki Bu. Dia berpamit dari tiga orang isterinya lalu memimpin sisa pasukan untuk menyambut penyerbuan pasukan Mongol. Biarpun pasukan kecil itu hanya berjumlah seratus orang lebih, akan tetapi mereka semua adalah perajurit-perajurlt yang berjiwa pahlawan.
Terbakar semangat mereka oleh sepak terjang yang gagah perkasa dari Pangeran Wang-yen yang mengenakan pakaian serba putih, mereka mengamuk. Akan tetapi, apa artinya seratus orang lebih itu menghadapi pasukan Mongol yang selain lebih banyak, juga merupakan pasukan yang banyak pengalaman, buas dan liar itu? Seorang demi seorang roboh dan gugur.
Mendengar betapa suami mereka tewas dalam pertempuran, tiga orang isteri pangeran itu pun melakukan bunuh diri karena sudah tidak mempunyai harapan lagi. Mereka maklum bahwa kalau sampai mereka terjatuh ke tangan orang Mongol, nasib mereka akan jauh lebih buruk dan penderitaan mereka akan lebih mengerikan lagi.
Akhirnya, diiringi sorak-sorai yang bergemuruh, pasukan Mongol yang dipimpin oleh Muhuli, dibantu Pangeran Ming-san dan Panglim Sabotai menyerbu ke dalam kota raja Yen-king yang sedang dilanda kekacauan itu. Api berkobar di mana-mana, perampokan, pembunuhan dan perkosaan terjadi di mana-mana.
Jerit tangis, keluh rintih dibarengi tawa dan sorak kemenangan. Mayat manusia berserakan dan setan iblis berpesta pora dalam diri manusia. Prikemanusiaan tidak nampak bayangannya lagi. Manusia-manusia berubah seperti binatang-binatang yang haus darah!
Muhuli yang menjadi panglima pasukan Mongol, tidak mempedulikan keadaan Kerajaan Cin yang sedang runtuh itu dan dia memerintahkan anak buahnya untuk merampas dan mengumpulkan seluruh harta kekayaan di kota raja itu. Istana diporak-porandakan, barang-barang yang berharga diangkuti ke luar, juga senjata-senjata.
Wanita-wanita yang masih tinggal di istana, ditangkapi bersama para bangsawan yang tidak dapat melawan lagi. Juga setiap ada wanita muda yang cantik, tidak peduli ia bangsawan atau rakyat biasa, ditangkap untuk dijadikan tawanan perang.
Semua benda berharga dan semua tawanan itu dikirim ke utara untuk dihadapkan kepada Jenghis Khan sebagal tanda berhasilnya pasukan penyerbu yang dipimpin oieh Panglima Mu-huli itu. Hancurlah kemegahan suatu kerajaan yang dibangun puluhan tahun lamanya. Hancur dalam sehari saja!
Bangsawan yang biasanya hidup penuh kemuliaan bersenang di dalam kemewahan dan kesenangan selama beberapa generasi, dalam satu hari saja berubah menjadi tawanan perang yang tidak mempunyai apa-apa lagi, dihina dan disiksa, bahkan nyawanya terancam setiap saat!
Tidak ada yang kekal di dalam kehidupan ini! Jangankan milik kita yang berada di luar badan seperti harta benda, kekuasaan, kedudukan, keluarga, nama besar, dan sebagainya, bahkan tubuh kita sendiri ini pun tidak kekal adanya. Setiap saat dapat saja kematian menjemput kita dan habislah semua yang biasanya amat mengikat kita dan yang kita anggap sangat penting dan menyenangkan itu.
Kita dipermainkan nafsu daya rendah yang sudah menyelubungi hati dan akal pikiran sehingga kini menjadi silau oleh kecemerlangan lahirah. Kita terpukau oleh permainan nafsu kita sendiri. Biasanya kita baru menyadari hal ini kalau sudah terhempas keras, bahkan kalau sudah terlambat! Tidak ada kekuasaan yang akan mampu melindungi kita dari ketidakkekalan ini, dari keadaan terombang-ambing nafsu ini, kecuali kekuasaan Tuhan!
Tidak ada tempat kita berlindung dari godaan setan dan iblis yang amat licik, kecuali di bawah bimbingan Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Kasih! Berbahagialah orang yang selalu ingat kepada Tuhan, yang selalu menyerahkan diri lahir batin ke dalam bimbingan kekuasaanNya karena dia akan selalu terbimbing, dan kalau sudah begitu, dia tidak akan mabuk dalam kesenangan dan tidak akan putus asa dalam kesusahan.
Orang yang selalu menyerah kepada kekuasaan Tuhan, berada dalam keadaan bagaimanapun juga, menghadapi peristiwa bagaimanapun juga, akan selalu menyerahkannya kepada Tuhan, dan selalu bersyukur karena yakin bahwa semua yang terjadi itu atas kehendak Tuhan dan kalau Tuhan menghendaki, pasti terjadi dan pasti ada hikmatnya karena Tuhan Maha Pengasih!
Yeliu Cutay menjadi seorang di antara para bangsawan yang menjadi tawanan perang dan dihadapkan kepada Jenghis Khan. Bangsawan yang bertubuh tinggi tegap dan gagah, dengan jenggot panjang dan sikap yang tegak dan anggun ini segera menarik perhatian Jenghis Khan.
Tentu saja Yeliu Cutay masih ingat kepada Jenghis Khan yang pernah ditemuinya ketika mereka masih muda dahulu, bahkan dia pernah menjadi tamu dan sahabat baik dari Temucin, yaitu Jenghia Khan di waktu muda. Bukan itu saja, dia Juga menerima hadiah Pedang Asmara dari penguasa Mongol yang kini menjadi seorang raja besar yang berhasil menalukkan Kerajaan Cin!
Akan tetapi Jenghis Khan sudah lupa lagi. Kini Yeliu Cutay telah berusia hampir lima puluh tujuh tahun. Kalau sekarang Jenghis Khan tertarik, hal itu adalah karena sikap yang tenang dan penuh wibawa dan kegagahan dari bangsawan keturunan Liao-tung itu, sungguh berbeda sekali dengan sikap para tawanan lain yang ketakutan dan menangis, meratap minta ampun darinya.
Orang ini sama sekali tidak menangis, sama sekali tidak meratap minta ampun, dan caranya memberi hormat kepadanya pun wajar, tidak menjilat-jilat. Orang seperti ini akan menghadapi ancaman hukuman mati dengan tak berkedip!
"Menurut catatan, engkau adalah seorang keturunan bangsa Liao-tung, benarkah itu?" tanya Jenghis Khan sambil mengamati wajah yang tampan gagah dengan jenggot panjang itu.
"Benar sekali Khan yang mulia!" jawab Yeliu Cutay dan suaranya pun lantang dan sama sekali tidak gemetar, sama sekali tidak membayangkan ketakutan, walaupun halus dan sopan.
Sekarang sepasang mata Jenghis Khan memandang tajam seperti orang marah dan jarang ada yang berani menentang pandang mata ini tanpa perasaan takut. "Hemmm, sejak dahulu Liao-tung menjadi musuh Kerajaan Cin! Bagaimana engkau dapat menjadi ponggawa Kerajaan Cin? Engkau pengkhianat dari bangsamu sendiri?"
Yeliu Cutay menentang pandang mata raja besar itu tanpa rasa takut sedikitpun, bahkan dia merasa penasaran dan mendongkol disebut pengkhianat. "Tidak ada pengkhianat apa pun di sini, Yang Mulia! Sejak ayah saya semua keluarga kami bekerja kepada Kerajaan Cin. Bukankah itu sudah sepatutnya dan seharusnya kalau saya juga mengabdi kepada Kerajaan Cin? Saya hanya melanjutkan pengabdian ayah untuk menjaga nama baik keluarga kami sebagai orang-orang yang setia kepada atasan!"
Semua orang yang melihat sikap ini dan mendengar ucapan yang berani dari Yeliu Cutay terkejut. Orang ini pasti akan dihukum mati atau bahkan disiksa dulu, pikir mereka. Akan tetapi ternyata sama sekali tidak begitu.
Jenghis Kha tersenyum dan memandang kagum. Jawaban itu bahkan menyenangkan hatinya. Tadi sudah banyak dia menanyai para tawanan. Beberapa orang tawanan yang meratap minta ampun segera disuruhnya bunuh, juga mereka yang pura-pura ingkar dan menyangkal, bahwa mereka pernah bekerja membantu Kerajaan Cin. Dia kagum kepada orang ini seorang yang setia kepada tugasnya dan atasannya!
"Hemmm, aku suka kepadamu. Siapakah namamu?" tanyanya.
Yeliu Cutay membungkuk dengan sikap hormat, lalu berkata sambil tersenyum. "Paduka sudah mengenal hamba. Nama hamba Yeliu Cutay."
"Yeliu... Yeliu Cutay.....? Aihhh, saudaraku yang baik, kenapa tidak sejak tadi engkau memperkenalkan diri?" kata Jenghis Khan dan dia pun bangkit dari tempat duduknya, menghampiri tawanan itu dan memeluknya dengan hangat.
"Tentu Paduka ingat bahwa hamba hanyalah seorang tawanan perang."
Jenghis Khan tertawa dan membubarkan persidangan itu untuk dilanjutkan besok, lalu dia menggandeng lengan Yeliu Cutay, diajaknya ke dalam dan mengajaknya bercakap-cakap. Mulai saat itu, Yeliu Cutay diterima oleh Jenghis Khan dan diangkat menjadi seorang pembantunya, seorang penasihat.
Dan ternyata kemudian bahwa tenaga dan pikiran Yeliu Cutay merupakan satu di antara penunjang keberhasilan tokoh Mongol ini. Bahkan pada hari pertama itu juga, Yeliu Cutay membujuk kepada Jenghis Khan agar tidak membunuhi begitu saja para tawanan itu. Mereka yang pengecut dan penjilat memang sudah sepatutnya dihukum mati.
Akan tetapi di antara para tawanan itu terdapat banyak orang pandai, sarjana dan para cendekiawan yang memiliki keahlian dalam berbagai bidang. Tenaga dan pikiran mereka itu amat penting dan amat menguntungkan kalau mereka diberi kesempatan membantu, Jenghis Khan menyetujui dan kelak dia berterima kasih sekali atas nasihat pertama itu.
"Hendaknya Yang Mulia menyadari bahwa keadaan di selatan tak dapat di samakan dengan daerah Mongol. Di sana padat dengan penduduk, dan tanahnyapun subur. Kalau daerah selatan itu hendak dijadikan daerah perumputan dan kehidupan rakyatnya akan Paduka ubah menjadi kehidupan kelompok yang berpindah-pindah, Paduka akan gagal dan bahkan rugi. Tanah subur dan kepadatan penduduk itu dapat Paduka manfaatkan demi kebesaran pimpinan Paduka sehingga Paduka akan dapat membangun suatu dinasti baru yang kokoh kuat!"
Banyak nasihat diberikan oleh Yeliu Cutay. Jenghis Khan tidak paham akan urusan pemerintahan, maka setelah dapat mempertimbangkan kebenaran semua nasihat Yeliu Cutay, dia mengubah niatnya semula. Biasanya, tempat yang diduduki pasukan Mongol tentu akan dijadikan padang rumput yang subur agar mereka dapat memelihara ternak mereka.
Kehidupan mereka tergantung dari peternakan, maka bagi mereka yang terpenting adalah kesuburan ternak mereka. Kini, oleh Yeliu Cutay raja itu mulai disadarkan bahwa hasil pertanian jauh lebih penting dan lebih menjamin kehidupan manusia daripada hasil peternakan.
Memenuhi harapan Yeliu Cutay, Jenghis Khan mengangkat gubernur-gubernur untuk memerintah daerah Cin yang sudah didudukinya dan dia memilih kaum bangsawan keluarga Liao-tung untuk menjadi pejabat pejabat.
Pada saat kota raja Yen-king diserbu pasukan Mongol. di puncak Kabut Putih di Pegunungan Thai-san, terjadi pertemuan yang menegangkan. Pada malam bulan purnama itu, Empat Datuk Besar mengadakan pertemuan seperti di masa-masa lalu.
Mula-mula muncul Pak Ong yang di ikuti oleh Ji Kui Lan dan Bu Tiong Sin di puncak Kabut Putih itu, muncul dari arah selatan. Puncak itu merupakan sebuah tanah datar yang cukup luas, penuh dengan rumput halus. Ketika Pak Ong bersama gadis dan pemuda itu tiba di situ, mereka disambut oleh Tung Kiam dan See Mo yang sudah lebih dulu berada tempat itu.
"Ah, kiranya Pak Ong baru muncul!" See Mo menyambut dengan suara bernada mengejek.
"Kusangka tidak akan berani muncul!" sambung Tung Kiam, juga mengejek.
Dibandingkan dua orang datuk besar itu, Pak Ong tidak kalah sombongnya. Sejak tadi dia meneliti keadaan di puncak itu dengan pandang matanya sambil menghampiri dua orang datuk besar itu, diikuti oleh puterinya dan muridnya. Dia melihat bahwa dua orang datuk besar itu telah siap pula dengan pertemuan yang akan dijadikan arena pertandingan mengadu ilmu itu.
Di belakang Tung Kiam berdiri puteranya, Cu See Han yang tampan dan gagah. Dan di belakang See Mo berdiri puteranya, Kok Tay Ki atau Kok Kongcu yang lagaknya amat angkuh. Juga Koay-to Heng-te, yaitu Si Kembar Gu berdiri di belakang See Mo.
"Hemmm, dua orang tua bangka sudah menanti di sini. Mari kita mulai saja untuk membuktikan bahwa aku sama sekali tidak takut kepada kalian!" kata Pak Ong dengan lagak angkuh pula.
"Ha-ha-ha, Pak Ong, jangan berlagak gagah. Engkau lari terbirit-birit meninggalkan utara, terlunta-lunta seperti gelandangan, seperti pengemis. Apakah belum waktunya julukan Pak Ong (Raja Utara) diubah menjadi Pak Kay (Pengemis Utara)?" See Mo mengejek.
"Nanti dulu, kita menanti munculnya Nam Tok, yaitu kalau dia berani keluar! Biasanya anjing tidak berani muncul kalau majikannya telah pergi melarikan diri." kata Tung Kiam.
"Aku berada di sini!" Tiba-tiba Nam Tok muncul, diikuti Siang Bwee dan San Hong. "Kau bilang aku anjing yang ditinggalkan majikan, Tung Kiam? Engkau dan See Mo yang tidak tahu malu dan lebih pantas disebut anjing-anjing pengkhianat."
Siang Bwee mengerutkan alisnya dan cepat ia meloncat ke depan, lalu sambil tertawa berkata, "Aih, kenapa Empat Datuk Besar yang sekarang mengadakan pertemuan besar hanya saling maki? Pertemuan ini untuk mengadu ilmu, untuk menentukan siapa yang paling besar di antara yang besar, ataukah pertemuan saling maki seperti empat orang nenek bawel? Waahhh, kalau didengar dunia kang-ouw, tentu akan menjadi bahan tertawaan!'
Nam Tok dan Pak Ong adalah orang-orang yang cerdik, maka mereka segera dapat menangkap apa maksud gadis itu cela mereka. Memang Siang Bwee benar. Untuk sementara ini mereka tidak boleh membuka rahasia bahwa mereka sudah tahu akan persekongkolan yang terjadi antara Tung Kiam dan See Mo. Lebih baik pura-pura tidak tahu dulu dan melihat perkembangannya nanti.
Kalau dua orang datuk yang curang itu menggunakan pasukan Mongol untuk mengepung dan mengeroyok, barulah mereka akan memberi isyarat kepada rombongan pendekar yang juga sudah siap untuk menandinginya sehingga di situ yang terjadi bukan adu kepandaian antara empat datuk besar, melainkan pertempuran mati-matian antara pasukan Mongol melawan pasukan pendekar!
Akan tetapi mereka pun dapat menduga bahwa Tung Kiam dan See Mo yang berwatak angkuh itu pasti tidak puas, tentu akan memperlihatkan dulu keunggulan, ilmu mereka seperti yang sudah berkali-kali terjadi di antara mereka untuk meraih gelar datuk nomor satu di antara mereka.
Di antara para pendekar yang dikumpulkan Pak Ong, terdapat orang-orang gagah campuran. Ada bangsa selatan yaitu bangsa Sung atau Han, ada pula bangsa Cin atau Kim yang pemerintahannya baru saja jatuh oleh kekuatan Mongol. Baik bangsa Kim maupun bangsa Sung keduanya pada waktu itu menjadi musuh bangsa Mongol yang sedang mengadakan penyerbuan ke selatan.
Siasat Siang Bwee memang tepat sekali. Mendengar ucapan gadis itu yang dikeluarkan dengan suara yang nadanya mengejek sekali, baik Tung Kiam maupun See Mo menjadi marah dan muka mereka berubah merah.
"Ha-ha-ha, puteri Nam Tok selalu ingin mencari kemenangan dengan ketajaman mulutnya! Sekali ini pertandingan antara murid harus disertai taruhan! Kalau puteraku, Kok Tay Ki, mampu mengalahkan Ang Siang Bwee, gadis itu harus menjadi mantuku, menjadi isteri Kok Tay Ki! Ha-ha-ha!" See-thian Mo-ong berseru.
Siang Bwee mencibirkan bibirnya yang merah dan manis sambil melirik ke arah Kok Kongcu. "Itu kalau dia menang. bagaimana kalau dia kalah, olehku?"
Kok Kongcu tertawa, "Kalau engkau kalah olehku, engkau menjadi isteriku. Kalau aku yang kalah olehmu, tentu saja aku bersedia menjadi suamimu."
Siang Bwee melerok dan cemberut. "Enak sendiri saja kalau ngomong! Siapa sih yang kesudian menjadi isteri mu?"
"Ha-ha-ha, See Mo, jangan tergesa-gesa dulu!" kata Tung Kiam. "Aku sendiri sudah mencalonkan See Han menjadi mantu Pak Ong atau Nam Tok, akan tetapi aku juga lebih suka kepada puteri Nam Tok. Dara ini akan membuat rumah kami menjadi cerah karena gembira! Ha-ha-ha!"
Mendengar ucapan dua orang yang tidak disukainya itu. Pak Ong mengerutkan alisnya. "Kalian ini dua orang tua tidak tahu diri. seenak perutnya saja menentukan pilihan mantu. Apa kalian berdua tidak tahu bahwa baik puteriku. Kui Lan maupun puteri Nam Tok, Ang Siang Bwee sudah mempunyai calon suami. Puteriku Ji Kui Lan telah bertunangan dengan Kwee San Hong murid Nam Tok sedangkan puteri Nam Tok, Ang Sian Bwee telah bertunangan dengan muridku Bu Tiong Sin! Maka kalian jangan bicara sembarangan dan bermimpi di tengah hari!"
"Ha-ha-ha, apa yang dikatakan Pai Ong memang benar!" kata Nam Tok untuk memberi pukulan kepada dua orang datuk yang bersekongkol dengan orang Mongol itu. "Maka jangan kalian mengandung maksud yang bukan-bukan!"
"Aku tidak sudi!" tiba-tiba Siang Bwe berseru sambil bertolak pinggang. ”Tidak mau menjadi isteri sembarang orang. Aku hanya mau menjadi isteri dari pemuda yang paling gagah di antara semua ini, yang keluar menjadi juara!"
"Aku juga hanya mau menjadi isteri pemuda juara!" kata pula Ji Kui Lan tidak mau kalah, sambil, menggoyang-goyang pinggulnya yang besar seperti seekor kuda berlagak.
"Bagus!" Siang Bwee berteriak lagi, tanpa memberi kesempatan kepada orang lain untuk bicara. "Sekarang bukan saja diadakan pertandingan adu kelihaian, akan tetapi juga pemilihan calon suami! Kebetulan empat orang datuk besar masing-masing mempunyai seorang anak atau murid. Ada empat orang pemuda di sini yang dapat mewakili guru atau ayah masing-masing. Biarkan mereka itu mengadu kepandaian, yang keluar sebagai juara dialah yang berhak menjadi calon suami pilihan. Kalau sudah begitu, baru aku dan kuda betina ini saling memperebutkan sang juara! Bukankah ini peraturan yang adil sekali dan patut disetujui empat orang datuk besar yang terkenal karena kegagahan dan keadilannya?" Lalu gadis itu menyambung, "Yang tidak setuju berarti mempunyai pikiran curang dan jiwa pengecut!"
Empat orang datuk itu saling pandang dengan alis berkerut. Nam Tok sendiri mengepal tinju, marah, akan tetapi tidak berdaya terhadap puterinya yang dapat melepaskan kata-kata yang demikian mengandung kebenaran yang tak dapat dibantah lagi. Harus diakuinya bahwa dalam hal kecerdikan dan kepandaian bicara, dia sendiri seringkali dipecundangi puterinya! Sekarang pun dia tidak mungkin dan tidak mempunyai alasan yang kuat untuk membantah tanpa menimbulkan kesan bahwa dia tidak adil.
Sementara itu, empat orang pemuda yaitu Kok Tay Ki, Cu See Han, Bu Tiong Sin, dan Kwee San Hong sudah saling pandang dengan sinar mata penuh pertentangan. Tentu saja mereka semua tidak mau saling mengalah, bukan hanya untuk mewakili guru atau ayah masing-masing memperebutkan kemenangan juara, akan tetapi sekali ini terutama sekali karena ada hadiahnya, ada taruhannya.
Yaitu seorang gadis jelita, Ji Kui Lan atau Ang Siang Bwee! Dan mereka berempat melirik semua ke arah Ang Siang Bwee karena mereka lebih suka kalau dapat memperisteri Ang Siang Bwee daripada Ji Kui Lan yang walaupun cantik jelita dan seksi, akan tetapi jelas bukan gadis pingitan itu!
Karena merasa terpukul dan juga tak berdaya oleh ucapan puterinya sendiri, terpaksa Nam Tok tertawa dan berkata lantang, "Bagaimana pendapat Pak Ong, Tung Kiam dan See Mo tentang usul puteriku tadi?"
Pak Ong mengerutkan alisnya. "Hemm... bukankah di antara anak dan murid kita sudah ada ikatan perjodohan?"
"Paman Ji Hiat apakah tidak malu kalau mau menang sendiri saja? Lalu apa artinya diadakan pertandingan adu kejuaraan kalau sang juara tidak memperoleh hadiah apa-apa? Sang juara pria sudah sepantasnya mendapatkan isteri terbaik, juga sang juara puteri sepantasnya mendapatkan suami pilihan! Kalau sudah ditentukan lebih dulu tentang perjodohan, lebih baik tidak diadakan pertandingan adu kepandaian saja, dan sebaiknya Paman Ji Hiat dan ayah Nam Tok mengaku kalah saja kepada Paman Tung Kiam dan Paman See Mo!" kata Siang Bwee.
"Gila! Aku tidak sudi mengalah begitu saja tanpa bertanding"' teriak Nam Tok marah.
"Aku pun tidak sudi!" teriak pula Pak Ong.
Siang Bwee bertepuk tangan gembira. "Itu baru namanya dua orang tua yang gagah perkasa dan menghargai kegagahan. Nah, sekarang semua perjanjian perjodohan dibatalkan, dan diganti dengan sayembara pertandingan untuk menentukan jodoh. Siapa setuju boleh ikut bertanding yang tidak setuju boleh pergi dan menggulung ekornya!"
Tentu saja tak seorang di antara mereka yang sudi menggulung ekor seperti anjing ketakutan. "Aku mau melawan siapa saja! Hayo, boleh maju kalau ingin berkenalan dengan huncwe mautku!" Kok Kongcu atau Kok Tay Ki yang berwatak angkuh dan tinggi hati itu melangkah maju dan meraba huncwe yang terselip di pinggangnya.
Pemuda putera See Mo ini memang lihai sekali dan boleh dibilang merupakan lawan paling berat bagi yang lain. Selain dia pandai memainkan senjata huncwe maut dan suling, juga dia kejam luar biasa. Dan di samping ilmu-ilmu aneh dari ayahnya. Penggunaan senjata-senjata yang luar biasa itu, juga pukulan Ang-see-ciang (Tangan Pasir Merah) darinya merupakan pukulan maut yang dapat mudah merenggut nyawa lawan dengan sekali pukul.
Melihat sikap Kok Kongcu, Cu See Han putera Tung Kiam yang juga tidak kalah sombongnya dan terlalu percaya kepada diri sendiri sebagai seorang ahli pedang, juga melangkah maju. Seperti Kok Kongcu, dia pun tampan dan gagah, apalagi pedangnya memiliki sarung yang terukir indah, gagangnya juga terukir kepala naga dan ronce-roncenya benang mas. Pakaiannya mewah seperti pakaian seorang sastrawan bangsawan yang kaya.
Pemuda ini meraba gagang pedangnya dan sambil mengangkat dada dia pun berkata, "Aku pun sudah siap melawan siapa saja yang berani!"
Jl Kui Lan mengerutkan alisnya menoleh kepada suhengnya, dan dengan pandang matanya dara ini mendorong suhengnya untuk maju. Sebetulnya biarpun dia tidak takut, akan tetapi Bu Tiong Sin tidaklah seberani mereka karena di merasa bahwa dia hanya seorang murid dan juga belum lama menjadi murid Pa Ong. Lalu dia teringat akan Pedang Asmara di punggungnya. Besarlah hatinya karena dia maklum bahwa tidak ada pedang yang akan mampu menandingi Pedang Asmara, maka dia pun maju dan menjura kepada semua orang.
"Saya Bu Tiong Sin mewakili suhu Pak Ong Ji Hiat untuk melawan siapa saja dalam pertandingan ini!"
Melihat tiga orang pemuda itu semua sudah maju, tinggal San Hong sendiri yang masih diam saja, Nam Tok mengerutkan alisnya. Apalagi ketika itu Kok Kongcu tertawa bergelak.
"Kami tiga orang pemuda perkasa sudah menantang maju, akan tetapi kenapa murid Paman Nam Tok masih bersembunyi saja di balik baju adik Siang Bwee? Heiii, siapa namamu? Kwee San Hong, bukan? Apakah engkau takut? Kalau begitu, cepat kau menggulung ekormu dan menggelinding pergi dari tempat ini!" Ucapan itu diiringi suara ketawa See Han dan juga Tiong Sin.
Siang Bwee terbelalak dan mukanya menjadi merah sekali, ketika ia memandang kepada Kok Tay Ki. Ia melangkah maju dan telunjuk kirinya menuding ke arah hidung Kok Kongcu, lalu ia bicara dengan lantang. "Heiii, engkau budak she Kok! Kalau engkau bicara, mulutmu bau busuk sekali seperti bangkai! Agaknya sudah berbulan-bulan engkau tidak pernah membersihkan mulutmu, ya?"
Dimaki sehebat itu, Kok Kong-cu terbelalak, mukanya pucat sekali dan dia marah, malu pula.
"Jangan sembarang engkau bicara menghina suhengku! Kalau Suheng diam saja itu bukan berarti dia takut, akan tetapi karena dia tidak sombong seperti kalian ini kepala-kepala udang! Kalau suhengku Kwee San Hong maju, biar kalian bertiga maju bersama, kalian semua akan roboh dan kalah!"
Hebat memang penghinaan ini memang Siang Bwee ahli kalau harus bertengkar dan memaki!
"Bagus! Kalau begitu, biarkan dia maju melawan kami bertiga!" teriak Kok Kongcu yang memang cerdik sekali dan dia hendak menangkap omongan gadis itu demi keuntungan dirinya. Akan tetapi, Siang Bwee bukan gadis yang mudah diakali begitu saja...