Pedang Asmara Jilid 33

Cerita silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Pedang Asmara Jilid 33
Sonny Ogawa

Pedang Asmara Jilid 33 karya Kho Ping Hoo - "NAH... nah... nah, kelihatan belangnya semua sekarang. Kiranya hanya domba berkedok harimau! Nampaknya saja gagah berani, tidak tahunya pengecut tulen bermuka tebal! Mau mengeroyok Suheng dengan tiga orang? Heh-heh-heh, budak Kok, mau kau taruh kemana mukamu itu, nah? Kau taruh di pantat?"

Novel silat Mandarin karya Kho Ping Hoo

Kok Tay Ki marah sekali dan dia sudah mencabut huncwe mautnya dan siap menyerang Siang Bwee. Gadis ini pun tidak takut. Tongkatnya sudah dipalangkan depan dada.

"Engkau lebih suka melawan aku dan jerih melawan suheng? Tidak apa, aku pun cukup untuk menggebukimu dengan tongkat sampai engkau berkuik-kuik minta ampun, hayo maju!" Siang Bwee menantang.

"Siang Bwee, mundur!" bentak Nam Tok. "Engkau sendiri yang mengatur agar diadakan sayembara, kenapa kini malah engkau hendak menandingi Kok Tay Ki?"

"Benar," kata Pak Ong. ”Sebaiknya empat orang pemuda itu dibiarkan mewakili kita orang tua untuk menentukan siapa yang paling pandai. Aku usulkan agar putera See Mo bertanding dulu melawan putera Tung Kiam, baru nanti disusul muridku melawan murid Nam Tok dan selanjutnya ditukar lawan."

Jelas bahwa Pak Ong dan Nam Tok memang sudah sepakat untuk membiarkan dua pihak yang bersekongkol dengan orang Mongol itu untuk saling serang dulu, agar mereka lebih mudah menentukan sikap. Kalau mereka dulu yang saling serang hal ini hanya akan menguntungkan dua orang datuk yang bersekongkol dengan orang Mongol itu.

Akan tetapi Tung Kiam dan See Mo juga bukan orang bodoh. Jalan pikiran mereka sama dengan dua orang tokoh datuk besar itu dan mereka pun tidak mau dirugikan kalau anak anak mereka harus bertanding lebin dulu, berarti melemahkan keadaan sendiri.

"Kepandaian puteraku Cu See Han semua orang sudah tahu, juga kepandaian Kok Tay Ki putera See Mo semua orang sudah tahu pula. hanya kepandaian dua orang murid Nam Tok dan Pak Ong merupakan orang-orang baru. Maka sudah sepantasnyalah kalau kedua orang murid yang belum kita kenal kepandaiannya itu saling bertanding lebih dulu agar kita juga dapat melihat sampai di mana tingkat mereka, apakah sudah pantas untuk dipertandingkan dengan putera putera kami!" kata Tung Kiam yang cerdik. See Mo mengangguk-angguk membenarkan.

Kembali Siang Bwee yang menolong. Biarpun Pak Ong merupakan sekutu ayahnya, akan tetapi ia paling benci kepada Bu Tiong Sin karena pemuda ini dijodohkan dengannya. Maka ia lalu berkata dengan lantangnya. "Kembali empat orang datuk besar rebutan bicara seperti empat nenek bawel. Siapa yang bertanding dulu apa sih bedanya? Nanti tidak urung semua kebagian bertanding. Paman Tung Kiam terkenal dengan ilmu pedangnya yang hebat yaitu Tung-hai Liong-kiam, dan ilmu pukulan Tung-hai Mo-kun yang sukar ditandingi.

"Akan tetapi Paman Pak Ong juga memiliki Swat-in Sin-to dan lt-sin-ci di samping Kui-ma Sin-tui yang sudah mengguncang dunia persilatan.! Kalau sekarang ini Cu See Han dipertandingkan dulu melawan Bu Tiong Sin tentu akan terjadi pertempuran yang amat menarik hati untuk dikagumi!"

Akan tetapi, ayahnya segera mencegah. Nam Tok sudah melihat kehebatan ilmu dari San Hong, maka tentu saja setelah kini Kwee San Hong mewakilinya sebagai murid, dia ingin melihat muridnya itu memperoleh sebuah kemenangan dulu untuk membesarkan hatinya.

"Tidak! Aku tantang putera See Mo Kok Tay Ki yang ahli huncwe maut itu untuk menandingi muridku, Kwee San Hong. San Hong, kuperintahkan engkau untuk menandingi Kok Tay Ki!"

Tentu saja San Hong tidak berani membantah. Dia melangkah maju dan memberi hormat kepada gurunya. "Baik Suhu. Teecu siap!" Dia tadi sudah menitipkan Pedang Asmara kepada Siang Bwee, sedangkan yang berada di punggungnya adalah Pedang Pek lui-kiam.

Melihat siasat rekannya ini, Pak Ong juga cepat memberi perintah kepada muridnya, "Tiong Sin, cepat engkau hadapi putera Tung Kiam!"

Akan tetapi, baik Tung Kiam maupun See Mo sudah merasa khawatir melihat San Hong. Terutama sekali Tung Kiam yang kini baru tahu bahwa dia telah kena diakali Siang Bwee sehingga dia telah mengajarkan ilmu-ilmunya kepada San Hong dan Siang Bwee.

"Nanti dulu," katanya cepat. "Pertandingan harus diadakan satu lawan satu agar kita semua dapat menjadi saksi dan juri untuk menentukan siapa yang lebih unggul. Sebaiknya murid Nam Tok kini bertanding lawan putera See Mo, baru tepat."

Kok Tay Ki atau Kok Kongcu adalah seorang pemuda yang kejam luar biasa, akan tetapi juga lihai, cerdik dan sombongnya setengah mati. Dia memandang rendah Kwee San Hong yang dianggapnya serba canggung itu. Dia merasa bahwa dua buah ilmunya, yaitu tangan kosong Ang-see-ciang dan huncwe mautnya merupakan ilmu pilinan yang sukar dicari lawannya, maka kini dia hendak mempergunakan keduanya.

"Ini merupakan adu ilmu, bukan perkelahian saling bunuh. Bagaimana kalau kita menggunakan ilmu tangan kosong lebih dulu agar dapat dilihat dengan jelas siapa yang lebih lihai kaki tangannya tanpa bantuan senjata tajam?" kata Kok Kongcu dengan sikap yang jumawa sekali Dia memang tampan dan halus, juga gagah, maka ketika bicara dia nampak anggun, pakaiannya indah, topi bulunya berkibar, sabuk emasnya mengkilat.

Siang Bwee mendekati San Hong dnn berbisik dengan suara lirih sekali sehingga hanya terdengar oleh pemuda itu. "Kau ingat. Ang-see-ciang dapat kau lawan dengan It-sin-ci."

Bisikan itu di terima oleh San Hong dengan anggukan kepala. Memang dia pernah diberi pelajaran It-sin-ci (Totokan Satu Jari Sakti) oleh Pak Ong untuk memecahkan kehebatan Ang-see-ciang dari See Mo! Selain itu, juga San Hong telah mempelajari Ilmu pukulan tangan kosong Hek-in Pay-san dari Nam Tok melalui Siang Bwee. Apalagi dia pun sudah digembleng dengan ilmu yang hebat, yaitu ilmu sin-kang Perisai Diri dari Lo Koay dan tubuhnya juga amat kuat, sinkangnya menjadi luar biasa setelah dia makan jamur emas!

Kok Kongcu yang angkuh dan selalu. memandang rendah orang lain itu telah menanggalkan jubah luarnya yang indah, dilipatnya jubah itu dengan hati-hati dan dia lemparkan kepada Koay-to Heng-te, yaitu Si Kembar Gu yang sudah hadir pula di situ. Dua orang kembar ini merupakan murid dan pembantu-pembantu setia dari See Mo dan tingkat kepandaian mereka pun sudah tinggi, tidak banyak selisihnya dibandingkan Kok Kongcu sendiri. Namun, Kok Kongcu menganggap mereka itu orang bawahan dan pembantu, bukan para suhengnya.

"Kwee San Hong, aku mendengar engkau adalah seorang pemuda gunung, pemuda petani yang dusun dan kampungan. Akan tetapi sekarang mendapat bintang terang, bisa diterima sebagai murid Paman Nam Tok. Sungguh baik sekali nasibmu. Sayang, nasibmu hanya sampai di sini saja karena sekarang engkau akan habis di tanganku, ha-ha-ha!" Kok Kongcu tertawa sinis sambil memandang dengan sinar mata mengejek sekali.

San Hong adalah seorang pemuda jujur yang polos dan karenanya nampak seperti bodoh, tidak pandai bicara dan mendengar ucapan itu dia hanya mengangguk dan berkata polos, "Memang aku seorang pemuda dusun, dari dusun Po lim-cun di kaki Pegunungan Thian-san Apa salahnya dengan aku?"

Jawaban ini membuat Nam Tok menarik napas panjang. Sungguh murid yang tidak pandai mengangkat nama besar gurunya! Akan tetapi Siang Bwee menjadi merah mukanya dan ia cepat berkata dengan mata melotot memandang Kok Kongcu.

"Benar, apa salahnya kalau Suheng Kwee San Hong berasal dari dusun? Apa engkau ini orang she Kok merasa sebagai seorang bangsawan aseli dari kota besar? Dari mana sih asal nenek moyangmu? Dari barat, dari daerah bangsa biadab, di Bukit Pek-coa-san tempat ular (Pek-coa-san berarti Bukit Ular Putih). Karena orang tuamu kaya raya, maka engkau berlagak sebagai bangsawan kota yang hebat.

Aduh, hanya gayanya saja, tapi kosong tidak ada isinya! Lihat saja mukamu itu di bayangan air, namanya saja pakai kongcu (tuan muda), akan tetapi mukamu pucat kurang darah, seperti orang berpenyakitan, pesolek seperti seorang banci, sama sekali tidak jantan, sama sekali tidak gagah. Dan engkau masih berani menghina Suheng Kwee San Hong? Sungguh tolol, kaulah yang akan bertekuk lutut di depan Suheng, tahu?"

Semua orang terbelalak mendengar ucapan yang nadanya demikian keras menghina, bahkan Nam Tok sendiri merasa tidak enak karena dia anggap puterinya keterlaluan. Kok Kongcu sendiri sampai pucat mukanya saking marah dan wajah See Mo menjadi kemerahan dan dia menganggap puteranya mencari gara-gara saja.

"Tay Ki, perlu apa banyak cakap lagi? Hayo hajar murid Nam Tok itu! Kalau engkau tidak becus mengalahkannya, engkau tidak pantas menjadi putera See-thian Mo-ong Kok Bong Ek!"

Diam-diam Kok Kongcu terkejut dan dia tahu bahwa sekali ini ayahnya marah sekali. Akan tetapi dia pun tidak khawatir. Andaikata Kwee San Hong memang tangguh sekali, di situ masih ada dua orang pembantunya, Koay-to Heng-te Gu Kiat dan Gu Liat, masih ada ayahnya, masih ada sekutu ayahnya yaitu Tung Kiam dengan puteranya Cu See Han.

Dan terutama sekali masih ada seratus lebih pasukan Mongol yang siap dengan senjata panah mereka. Pasukan itu adalah barisan panah yang lihai! Takut apa lagi? Maka, dengan gagah dia pun melangkah ke depan, menghadapi San Hong dengan senyum mengejek.

"Nah, petani busuk, bersiaplah untuk roboh di tanganku. Lihat serangan!" Kok Kongcu membentak untuk memamerkan bahwa dia cukup "gagah" untuk memberi peringatan dulu sebelum menyerang. Serangannya memang hebat. Dia adalah putera See Mo yang sudah mewarisi ilmu kepandaian ayahnya, maka begitu menyerang, tangannya yang kanan meluncur seperti seekor ular mencengkeram ke arah muka lawan sedangkan tangan kirinya menyambar ke arah pusar. Itulah suatu jurus ilmu Pek-coa-sin-kun yang amat hebat dari See Mo.

Namun Kwee San Hong sekarang sama sekali tidak boleh disamakan dengan Kwee San Hong beberapa tahun yang lalu. Semenjak bergaul dengan Siang Bwee, selain pemuda ini dapat dicurikan ilmu-ilmu aneh dari para datuk, juga gadis yang mencintanya itu memaksanya berlatih hampir setiap saat, bahkan yang terakhir, dengan kepandaiannya memikat hati, Siang Bwee berhasil membuat dua Orang sakti, yaitu Lo Koay dan nenek Coa Eng Cun berkenan menurunkan ilmu simpanan mereka berdua kepada San Hong dan Siang Bwee.

Kini San Hong telah menjadi seorang pemuda yang sikapnya amat tenang, namun penuh kewaspadaan dan ilmu-ilmu yang telah dipelajari dan dilatihnya setiap saat itu telah mendarah daging dengan dirinya. Inilah keuntungannya. Kalau dia mengandalkan kecepatan otak, agaknya dia tidak akan mampu menandingi Kok Kongcu yang cerdik.

Akan tetapi karena ilmu-ilmu itu sudah mendarah daging, sudah menyatu dengan semua syaraf di tubuhnya, maka gerakannya otomatis dan tidak melalui ingatan lagi sehingga tentu saja jauh lebih cepat daripada kalau dibandingkan dengan ilmu yang dilakukan melalui ingatan. Gerakannya merupakan gerakan reaksi tubuh dan refleks!

Menghadapi serangan cengkeraman ke arah muka dan pusar, San Hong sama sekali tidak menjadi gugup. Dia sudah memiliki penglihatan yang cukup waspada dan dia tahu bahwa dua serangan itu walaupun nampaknya ganas, akan tetapi hanya merupakan gertakan atau pancingan belaka agar mengendurkan atau mengalihkan perhatiannya akan ancaman berikutnya yang lebih hebat.

Oleh karena itu, dia hanya miringkan tubuh dan melangkah mundur selangkah untuk menghindarkan dua cengkeraman itu sambil menanti kelanjutan serangan itu dan dia tahu pasti datang dengan cepat. Dan dugaannya memang tepat sekali. Dengan bentakan melengking, kedua kaki Kok Kongcu menyambar bergantian dengan tendangan maut ke arah bawah pusar dan ke arah lambungnya!

Ini pun merupakan gempuran yang mengejutkan saja dan dapat ditangkis oleh kedua lengan San Hong yang tetap waspada. Inti serangan yang dinanti-nantinya kini tiba, yaitu pukulan Ang-see-ciang dengan kedua tangan Kok Kongcu.

Kedua telapak tangan itu berubah kemerahan dan ada hawa panas menyambar dahsyat ke arah leher dan dada San Hong ketika Kok Kongcu mempergunakan Ang-see-ciang sebagai serangan inti ke arah tubuh lawan.

Menghadapi serangan inti ini, San Hong tidak mau memperlihatkan kelemahan atau rasa jerihnya. Secara otomatis kedua tangannya bergerak dan secara otomatis pula tangannya sudah dilindungi dengan sin-kang Perisai Diri yang telah dipelajarinya dari Lo Koay.

Tubuh Kok Kongcu terhuyung akan tetapi dia tersenyum karena mengira bahwa tentu kedua lengan San Hong kini keracunan oleh Ang-see-clang. Akan tetapi ketika dia melihat pemuda itu berdiri tegak, dan kedua tangannya sama sekali tidak memperlihatkan keracunan dan tidak ada warna merah, barulah di terkejut bukan main.

Kembali dia menerjang dan kini dia mengirim pukulan Ang see-ciang secara bertubi-tubi. Ang-see ciang bukan saja merupakan pukulan yang mengandung hawa racun pasir merah akan tetapi juga gerakannya seperti dua ekor ular yang amat lincah dan cepat.

Sejenak San Hong seperti terdesak karena dia harus mengelak dan menangkis sambil mundur. Namun, gerakan otomatisnya ketika dia berlatih dengan Siang Bwee segera keluar dan kini tiba-tiba kedua tangannya mengeluarkan telunjuk dan kedua telunjuk itu yang menyambar telapak tangan merah dari Kok Kongcu.

"Tuk.....! Tukkk.....!!" Kok Kongcu berseru kaget dan meloncat kebelakang, kedua tangan terasa nyeri.

"It-sin-ci.....!" teriak See Mo marah. "Heiii, tua bangka Pak Ong, kiranya engkau bersekongkol dan membantu mengajarkan ilmu kepada murid Nam Tok, ya?"

"Ha ha ha, See Mo. Siapa yang bersekongkol dan siapa yang tidak akan dapat diketahui nanti. Aku tidak pernah terikat janji dengan siapapun, maka bagiku mengajarkan ilmu kepada siapapun tidak perlu minta ijin siapa pun. Kalau It-sin-ci sudah mampu membuyarkan Ang-see-ciang, itu bukan salahku, heh-heh-heh!"

See-thian Mo-ong marah dan mendongkol bukan main, akan tetapi tentu saja dia tidak dapat berbuat sesuatu. Memang sebagai empat orang datuk besar, mereka itu tidak berada di bawah pengaruh siapapun dan apa pun yang mereka lakukan, tak seorang pun di dunia ini boleh mencampuri!

Sementara itu, Kok Kongcu sudah dapat menenangkan dirinya. Walaupun tusukan jari It-sin-ci yang mengenai kedua telapak tangannya tadi membuyarkan kekuatan Ang-see-ciang dan mendatangkan rasa nyeri, namun tidak melukainya. Memang dapat dikata bahwa Ang-see ciang menjadi lumpuh dan hilang daya gunanya menghadapi totokan satu jari tangan itu.

Maka dengan marah dia pun kini sudah mencabut senjatanya yang istimewa, yaitu huncwe mautnya. Huncwe itu panjang seperti sebatang pedang atau suling, terbuat dari baja pilihan yang diselaput emas sehingga nampaknya mewah dan mahal. Ada lubang-lubang rahasa di situ, bukan hanya lubang untuk menyimpan tembakau.

Akan tetapi juga lubang-lubang untuk menghembuskan asap dan lubang rahasia untuk menyerang lawan dengan asap beracun! Semua ini masih ditambah keampuhan huncwe (pipa tembakau) itu sendiri yang dapat dipergunakan untuk menotok jalan darah atau memukul pecah kepala orang atau meremukkan tulang orang!

"Petani busuk makan nih huncwe mautku!" Kini Kok Kongcu menghardik dan tidak seperti tadi, kini dengan curangnya, tanpa menanti lawan siap mengeluarkan senjata, tangannya bergerak dan huncwe itu sudah berubah menjadi sinar emas menyambar dahsyat kearah kepala San Hong.

Terdengar suara berdesing nyaring didahului kepulan asap kehijauan yang menyambar ke arah muka San Hong sebelum huncwe itu sendiri menghantam kepala. Namun, biar dia jujur dan sama sekali tidak pernah mau menggunakan kecurangan, San Hong sudah dapat jejalan banyak peringatan dari Siang Bwee sehingga dia cukup berhati-hati untuk menjaga diri, juga dia memiliki bawaan yang amat tenang.

Ketenangannya inilah yang mendatangkan ketabahan yang luar biasa, juga kewaspadaan sehingga menghadapi ancaman apa pun dia selalu dapat bersikap tenang dan tidak menjadi gugup. Melihat menyambarnya sinar emas didahului kepulan asap dibarengi suara yang mendesing itu, dia tahu bahwa lawan menggunakan senjata yang amat ampuh dan berbahaya, akan tetapi yang lebih berbahaya adalah kepulan asap itu.

Oleh karena itu, San Hong sudah menahan napas lalu sambil melempar tubuh ke samping untuk mengelak, mulutnya meniup dengan pengerahan sin-kang ke arah asap yang mengepul itu, sedangkan tangan kanannya, dilindungi sin-kang Perisai Diri, sudah diputar ke kanan dalam usahanya menangkap atau menangkis ujung huncwe maut.

Kini Kok Kongcu yang kaget karena asap beracun itu tiba-tiba membalik ke arah mukanya sendiri, tertiup angin yang kuat. Dan ketika ujung huncwenya akan ditangkis, dia sudah menarik dengan gerakan pergelangan tangannya, huncwe tidak jadi menghantam kepala melainkan menotok dengan tusukan ke arah leher San Hong. Hebat bukan main gerakan ini selain cepat juga tidak tersangka sangka.

Namun, San Hong juga sudah melihat perubahan gerakan yang amat berbahaya ini, maka kedua kakinya membuat gerakan langkah mundur dua kali sehingga tusukan ke arah lehernya itu pun luput dan di lain saat, begitu tangan kanannya meraba bagian punggungnya, nampak sinar terang berkilat seperti ada halilintar menyambar.

Dan tangan kanannya sudah mencabut Pek-lui-kiam (Pedang Kilat) pemberian seorang di antara lima orang gurunya, yaitu Lui-kong Kiam-sian. Pedang ini merupakan pusaka yang amat ampuh, terbuat dari baja yang mengeluarkan sinar seperti kilat dan biarpun tidak memiliki pengaruh ajaib seperti Pedang Asmara, namun merupakan senjata ampuh yang kuat sekali.

"Sing-trang-trang tranggg.....!"

Nampak bunga api menyilaukan mata ketika huncwe maut itu yang dipergunakan oleh Kok Kongcu menyerang bertubi-tubi ditahan dan ditangkis oleh pedang Pek lui-kiam. Kembali Kok Kongcu terkejut karena dia merasa betapa tangan yang memegang huncwe menjadi panas, tergetar dan nyeri, tanda bahwa lawannya memiliki tenaga yang amat kuat, lebih kuat daripada tenaganya sendiri.

Dan San Hong juga tidak mau bersikap mengalah. Begitu serangkaian serangan huncwe itu dapat dia gagalkan dengan tangkisan pedangnya dia pun kini membalas serangan lawan dengan Pek lui-kiam, dan karena dia maklum bahwa tingkat ilmu kepandaian lawan ini amat tinggi, maka dia pun tidak segan-segan lagi dan langsung saja dia memainkan pedangnya dengan ilmu pedang Tung hai Liong-kiam yang digabung dengan ilmu pedang Pek lui-kiam.

Bahkan dia pun memasukkan unsur-unsur gerakan dari Swat-sin-to (Golok Sakti Salju) yang pernah dipelajarinya dari Pak Ong. Karena ilmu pedang Pek-lui-kiam dia pelajari dari seorang gurunya, seorang di antara Thian-san Ngo-sian dan dia sudah menerima petunjuk petunjuk sakti dari Lo Koay yang menjadi supek dari mereka, maka kini ilmu pedang Pek-lui-kiam itu sendiri saja sudah tidak kalah tingkatnya dibandingkan ilmu pedang dari Tung Kiam atau ilmu golok dari Pak Ong!

Melihat gerakan pedang Pek-lui-kiam yang menyambar-nyambar, lenyap bentuk pedangnya berubah menjadi gulungan sinar seperti halilintar, bukan hanya mengeluarkan desingan yang melengking akan tetapi juga bahkan kadang mengeluarkan bunyi seperti ledakan petir, tentu saja semua orang terkejut bukan main.

Yang paling kaget adalah Kok Kongcu. Dia merasa seperti dikeroyok oleh banyak orang dengan bermacam ilmu pedang. Membuat dia bingung dan memutar huncwe mautnya sambil berloncatan terus ke sana-sini dan terdesak mundur terus!

"Wah-wah-wah, apa ini.....?" Terdengar See Mo berseru. "Murid siapakah dia ini? Apakah Tung Kiam dan Pak Ong juga mengajarnya ilmu senjata? Hei, Nam Tok, muridmu ini tidak aseli, engkau licik!"

Nam Tok mendengus saja, akan tetapi Siang Bwee yang merasa gembira itu mewakili ayahnya berseru, "Paman See Mo, engkau ini kenapa jadi nenek bawel sih? Kalau anakmu tidak becus dan tidak menang, tidak perlu kau ribut. Kalah menang sudah sepantasnya, dan giliranmu nantilah. Jangan banyak susah, nanti gendutmu hilang dan engkau menjadi kurus!"

See Mo cemberut. Kalau bukan Siang Bwee yang bicara seperti itu, tentu sekali menggerakkan tubuh dia sudah membunuh pembicaranya. Namun, pertandingan antara puteranya dan San Hong terlalu menegangkan sehingga kembali dia mengikuti dua orang muda itu dengan seksama juga dengan hati yang merasa kecut kini puteranya sungguh terdesak hebat oleh pedang kilat itu.

Pertandingan itu memang hebat bukan main. Untung bahwa San Hong bertemu dan bergaul dengan Siang Bwee sehingga dia memperoleh kemajuan yang luar biasa. Andaikata tidak demikian, andaikata dia hanya mewarisi ilmu-ilmu dari kelima orang gurunya, yaitu Thian-san Ngo-sian jangan harap dia akan mampu menandingi Kok Kongcu. Dia kalah pengalaman, kalah cerdik dan kalah siasat.

Akan tetapi setelah San Hong dalam keadaannya yang sekarang, menerima gemblengan di bawah dorongan dan siasat Siang Bwee yang mengakali para datuk untuk mewariskan ilmu-ilmunya kepada pemuda yang dikasihinya itu, maka keadaan San Hong kini bagaikan sebongkah batu karang besar yang teramat kokoh kuat, tidak goyah oleh hantaman gelombang samudera tidak runtuh oleh tiupan badai.

San Hong menjadi kuat dan sukar dikalahkan, dan sungguhpun dia masih kekurangan sifat ganas dalam penyerangannya, namun setiap kali dia membalas, maka gerakan balasannya itu mengandung kekuatan yang amat hebat. Ini berkat sinkang Perisai Diri yang telah dilatihnya dengan tekun. Pertandingan itu sudah berlangsung lima puluh jurus dan kini Kok Kongcu sudah nampak berubah sama sekali.

Lenyaplah kecongkakannya. Lenyap sikap sombongnya dan bahkan ketampanannya berkurang banyak. Mukanya yang biasanya halus tampan itu kini berkerut-kerut penuh keringat dan agak pucat, matanya yang biasanya tabah dan mengejek, kini nampak takut. Rambutnya yang biasanya halus licin kini awut-awutan, dan gerakannya yang biasanya tenang itu kini kacau balau. Terutama sekali sepasang matanya membayangkan bahwa dia mulai takut sekali.

Betapa tidak? Setiap kali huncwenya bertemu pedang, dia merasa seolah-olah seluruh tubuhnya terguncang dan roboh. Semua orang tahu belaka bahwa dalam waktu singkat saja Kok Kongcu yang angkuh itu tentu akan roboh, kalau bukan roboh karena serangan pedang lawan, mungkin roboh karena kehabisan tenaga!

See Mo maklum akan hal ini. Dia belum ingin melihat puteranya tewas atau celaka, maka sekali dia melompat dia telah berhasil mencengkeram baju punggung Kok Kongcu dan membawanya keluar dari arena pertandingan, lalu mendorong puteranya itu sehingga jatuh berlutut.

”Huh, anak tidak ada gunanya!" bentaknya marah dan Kok Kongcu tidak menjawab, melainkan duduk bersila dan memejamkan mata, mengatur pernapasan agar jangan sampai dia menderita luka dalam yang parah. Di ujung bibirnya nampak darah, tanda bahwa dia telah mengeluarkan tenaga lebih daripada ukuran ketika bertahan tadi.

Sementara itu Siang Bwee dengan girang menghampiri San Hong yang masih nampak segar hanya dahinya saja berkeringat sedikit. Tanpa sungkan atau malu Siang Bwee mengeluarkan saputangan harum dari balik baju dadanya, dan menghapus sedikit keringat dari dahi San Hong secara demonstratip sekali, tanpa mempedulikan pandangan semua orang, bahkan juga tidak peduli betapa ayahnya mengerutkan alis memandang perbuatan puterinya itu. Malah ia lalu menoleh kepada ayahnya.

"Lihat, Ayah. Bukankah Ayah bangga mempunyai murid seperti Suheng Kwee San Hong? Kalau dia mau, dalam waktu lebih pendek lagi, tadi dia sudah mampu membuat bocah she Kok itu tak mampu hidup lagi!"

Terdengar suara keras dan kini Koay-to Heng-te, Gu Kiat dan Gu Liat si kembar yang menjadi murid dan pembantu See Mo, sudah berlompatan ke depan. Di tangan mereka telah nampak sepasang golok dan mereka itu marah sekali. Dua orang kembar yang usianya empat puluh tahun lebih itu, marah sekali karena tadi putera guru mereka telah dikalahkan, juga menerima penghinaan hebat dari puteri Nam Tok.

"Kami Koay-to Heng-te siap mengorbankan nyawa untuk membela nama dan kehormatan guru dan majikan kami yang kami muliakan!" kata Gu Kiat dengan marah sekali. "Kami, menantang murid Nam Tok!"

San Hong sudah menoleh ke arah mereka akan tetapi Siang Bwee yang cerdik itu segera meloncat ke depan mereka, sejenak matanya yang jeli dan indah itu mengamati mereka seolah-olah mereka itu adalah dua ekor binatang yang menjijikkan baginya.

"Aduh-aduh, inikah Koay-to Heng-te yang mengaku murid dan anjing penjaga dari Paman See Mo, yang menganggap diri gagah perkasa akan tetapi sebenarnya hanya merupakan pengecut-pengecut hina tak bermalu ini? Kalian berdua, menantang suhengku? Katakan saja kalian mau mengeroyok dan ingin menang dengan keroyokan? Kenapa mesti bicara memutar-mutar dan tidak terus terang saja? Katakan kalian tidak berani maju satu lawan satu, inginnya hanya main keroyokan sesuai dengan watak kalian yang licik. Bukankah begitu?"

Dua orang itu marah bukan main. Kalau menurutkan hati mereka, ingin mereka sekali terjang membunuh gadis itu. Akan tetapi mereka tahu, gadis itu adalah puteri tunggal Nam Tok! Maka, Gu Liat, orang ke dua yang lebih tenang pada kakaknya berkata.

"Nona Ang, bukan maksud kami hendak mengeroyok. Kalau ayahmu mempunyai dua orang murid atau wakil, boleh saja maju bersama agar dua lawan dua. Engkau tahu bahwa kami dilahirkan kembar dan hanya dapat bertanding kalau berbareng."

"Bagus! Katakan saja kalian menantang Suheng dan aku, tidak perlu bicara plintat-plintut! Memang kalian pikir akan mampu mengalahkan Suheng dan aku? Huh, aku sendiri saja sudah cukup untuk melelahkan kalian. Akan tetapi aku jijik kalau harus maju sendiri dan tidak akan tahan bau keringat kalian. Mari, Suheng, kita hajar pemegang golok pemotong babi itu!" kata Siang Bwee dengan sikap mengejek sambil memalangkan tongkat di depan dadanya.

Koay-to Heng-te bukanlah orang bodoh atau nekat. Mereka cukup maklum bahwa ilmu kepandaian San Hong yang telah mengalahkan kongcu mereka itu amat lihai, juga mereka tahu siapa nona Ang Siang Bwee. Akan tetapi mereka tidak mungkin diam saja melihat kekalahan Kok Kongcu dan mereka harus membuktikan kesetiaan mereka terhadap See Mo Maka, kini mereka maju berdua dan sudah mencabut golok mereka.

Melihat yang maju hanyalah murid-murid Nam Tok yang menandingi murid See Mo, hati Pak Ong merasa tidak enak. Dia sendiri mempunyai dua orang wakil yaitu puterinya sendiri dan muridnya Tiong Sin. Maka, dia pun segera berkata dengan suara lantang.

"Pertandingan antara wakil Nam Tok dan wakil See Mo sudah berlangsung. Yang masih belum bertanding adalah wakilku dan wakil Tung Kiam. Tiong Sin atau engkau Kui Lan, kalian wakili aku untuk melawan wakil dari Tung Kiam!"

Sengaja Pak Ong tidak menyuruh puterinya saja maupun muridnya saja. Dia tahu bahwa dalam hal mewarisi ilmu kepandaiannya, tentu saja puterinya lebih mahir karena lebih lama, akan tetapi muridnya, Tiong Sin, dapat menutup kekurangannya dari Kui Lan karena dia memiliki Pedang Asmara, sebatang pedang yang ampuh sekali.

Tentu saja sebagai seorang pria, Tiong Sin juga tidak menghendaki sumoinya yang maju. Dia tidak takut melawan putera Tung Kiam yang bernama Cu See Han yang sombong itu. Dia mendengar bahwa Tung Kiam merupakan satu di antara empat datuk besar yang paling ahli bermain pedang, maka julukannya juga Tung Kiam (Pedang Timur). Akan tetapi dia sendiri adalah seorang ahli pedang.

Bukan saja dia penah mempelajari ilmu pedang Yeliu Cutay, yaitu Thai-ean Kiam-sut, akan tetapi juga dia telah memperdalam ilmunya dari gurunya, yaitu Pak Ong dengan ilmu golok istimewa yang disebut Swat-im Sin-to, yaitu semacam ilmu golok yang amat hebat. Dan menurut petunjuk gurunya, dia telah mampu mengawinkan ilmu pedangnya dengan ilmu golok itu.

Apalagi ada Pedang Asmara di tangannya, sebatang pedang yang amat ampuh dan yang menjadi kebanggaan dan andalannya Dia merasa girang bahwa atas usul Siangi Bwee, untuk sementara pedang yang tadinya sudah ditukar dengan tongkat naga oleh calon mertuanya, yaitu Nam Tok, kini dikembalikan kepadanya.

Dan tidak tahu apakah dia akan berani menghadapi Cu See Han kalau dia harus mempergunakan tongkat naga yang berat itu sebagai senjatanya. Kini dia meloncat ke depan mendahului sumoinya dan dia sudah menghadapi Cu See Han dengan sikap menantang.

"Aku Bu Tiong Sin siap mewakili suhu Pak Ong untuk menghadapi wakil di Tung Kiam!" tantangnya.

Cu See Han bangkit dan sekali tangannya bergerak, nampak sinar terang di tangannya sudah mencabut sebatang pedang yang bentuknya seperti tubuh naga. Itulah pedang pusaka milik keluarga mereka yang disebut Liong-kiam (Pedang Naga) yang agak kehitaman.

"Bocah sombong, tahukah engkau apa yang kupegang ini?" Cu See Han berkata kepada Tiong Sin dengan suara mengejek. ”Lihat baik-baik. Inilah pedang pusaka kami, Tung-hai Liong-kiam! Pedang naga kami ini akan minum darahmu sampai habis! Ha-ha-ha!" Cu See Han sengaja mengeluarkan ucapan mengancam untuk mengecilkan nyali calon lawannya.

Akan tetapi Tiong Sin tidak mau kalah gertak. Dia tertawa mengejek. "Ha-ha-ha, apa sih artinya pedang macam itu? Sama sekali tidak ada arti dan tidak ada harganya kalau dibandingkan dengan pedang pusakaku yang tiada keduanya di seluruh dunia ini!" Dengan bangga dia meraba gagang pedang dipunggungnya.

"Sombong, mana ada pedang yang lebih baik daripada Tung-hai Liong-kiam kami? Jangan membual kau. keluarkan pedang busukmu!" kata Cu See Han tidak percaya.

Dengan lagak sombong Tiong Sin mencabut pedangnya perlahan-lahan sambil berkata, "Buka matamu baik-baik dan lihatlah. Pusaka mana yang lebih hebat daripada pedang pusakaku ini? Lihatlah!”

Dengan mulut cemberut meruncing Siang Bwee mendekati ayahnya. "Ayah nanti kalau aku melawan si genit Kui Lan itu, aku tidak sudi memakai Pedang Asmara di tangan Tiong Sin itu!"

Ayahnya menoleh dan memandang heran kepada puterinya. "Aeh, apa maksudmu, Siang Bwee? Bukankah kemarin engkau sudah meminjamnya dan berlatih dengan pedang itu dan kaubilang cocok sekali?"

Siang Bwee cemberut. "Justeru karena sudah kupakai maka aku sama sekali tidak suka, bahkan curiga, Ayah."

"Curiga?"

"Memang kemarin aku belum heran bicara kepada Ayah, takut kalau Ayah marah padahal kita menghadapi peristiwa penting hari ini. Akan tetapi, Ayah, tak curiga bahwa Ayah telah kena diakal dan ditipu orang."

"Apa? Apa maksudmu?"

"Pedang Asmara itu, Ayah. Aku hampir yakin bahwa pedang itu bukanlah Pedang Asmara, artinya, bukan pusaka aseli."

"Pedang Batu Dewa Hijau atau Pedang Asmara!"

Kini pedang itu telah tercabut dan berada di tangan Tiong Sin. Mendengar nama pedang itu, bahkan See Mo dan Tung Kiam terbelalak memandang dan keduanya segera berseru kagum.

"Pedang Batu Dewa Hijau.....!" seru See Mo.

"Pedang Asmara.....!!" seru pula Tung Kiam.

Nam Tok senang sekali mendengar betapa dua orang saingannya itu tertegun dan mengeluarkan seruan kagum.

"Ha-ha-ha!" Dia tertawa. "Memang benar itulah Pedang Asmara!" katanya. "Dan ingat, pusaka itu telah menjadi milikku sebagai tanda ikatan jodoh antara murid Pak Ong dan puteriku. Ha-ha-ha!"

Jelaslah bahwa ucapan Nam Tok ini bukan untuk memamerkan calon mantunya, melainkan untuk pamer dan membanggakan bahwa Pedang Asmara yang tentu saja amat diinginkan setiap orang tokoh persilatan itu kini telah menjadi miliknya!

"Kau gila? Aku melihatnya sendiri Pedang itu aseli!" bantah Nam Tok.

"Hemmm, Ayah terlalu percaya. Lupakah Ayah bahwa pedang itu disebut Pedang Asmara? Mengapa disebut Pedang Asmara? Tentu Ayah pernah mendengar ceritanya, seperti aku juga pernah. Kabarnya, pedang itu disebut Pedang Asmara karena terbuat dari Batu Dewa Hijau yang mengandung daya membuat orang jatuh cinta! Nah, kalau memang pedang itu benar Pedang Asmara, kenapa ketika dekat dengan Bu Tiong Sin aku sama sekali tidak jatuh cinta kepadanya, melainkan bahkan jatuh benci? Itu saja membuktikan bahwa itu bukan Pedang Asmara.”

Nam Tok nampak bingung. "Akan tetapi... ah, biar kita lihat saja. Kalau pedang itu mampu mengalahkan Tung-hai Liong-kiam, berarti pedang itu memang aseli dan engkau yang salah sangka.”

"Pendapat yang baik sekali, Ayah," kata Siang Bwee.

Ayahnya menengok dan memandang kepadanya penuh perhatian. Siang Bwee diam saja dan pura-pura tidak tahu. Ia tidak boleh terlalu mendesak ayahnya yang amat cerdik karena ayahnya tentu akan curiga.

Sementara itu, ketika mendengar ayahnya dan See Mo terkejut menyebut pedang pusaka yang berada di tangan Bu Tiong Sin, diam-diam Cu See Han juga terkejut sekali. Biarpun dia sendiri belum banyak mendengar tentang Pedang Asmara, namun melihat betapa ayahnya dan See Mo terkejut, maka dia pun dapat menduga bahwa pedang di tangan lawan itu benar-benar pedang ampuh bukan main.

Maka dia pun tidak berani memandang rendah. Pedang di tangannya, Tung-hai Liong-kiam, merupakan pedang pusaka keluarga ayahnya. Kalau dia kini meminjamkannya, maka dia harus berhati-hati dan jangan sampai membikin rusak pedang itu. Ayahnya yang kejam dan galak itu bisa saja membunuhnya kalau sampai dia merusakkannya.

Oleh karena itu, ketika Bu Tiong Sin mengeluarkan suara melengking dan mulai menyerang dengan "Pedang Asmara" itu, dia tidak berani menangkis, takut kalau Tung-hai Liong-kiam di tangannya sampai rusak. See Han yang diserang hebat itu hanya meloncat ke belakang, lalu tubuhnya meliuk ke kiri dan sambil mendoyongkan tubuh, dia menyerang dari bawah samping, menusuk lambung.

Tiong Sin mengelak dengan goyang pinggulnya yang khas lalu menyerang lagi dengan bacokan dari belakang tubuh lawan. Goyang pinggul itu memang merupakan gerakan khas ilmu silat Pak Ong yang dapat membuat ke dudukan tubuhnya berpindah dengan cepat, terdorong oleh ayunan gerak pinggul yang diikuti langkah kaki.

Terjadilah perkelahian yang seru dan mati-matian. Untung bagi Tiong Sin bahwa agaknya keterkejutan ayahnya dan See Mo ketika melihat Pedang Asmara membuat See Han benar-benar menjadi jerih untuk mengadu pedang, takut kalau pedang pusaka ayahnya rusak, maka sampai puluhan jurus, dia tidak pernah mau mengadu ketajaman pedang secara langsung hanya mengadu pinggir saja.

Dan untuk ini, pedang yang berada di tangan Tiong Sin, biarpun hanya Pedang Asmara palsu namun Siang Bwee yang cerdik telah membuatkan pedang itu oleh ahli pedang pandai yang mempergunakan baja cukup baik sehingga diadu pinggirnya seperti itu, biar bertemu pedang pusaka pun tidak akan mudah patah.

Bagaimanapun juga, diam-diam Siang Bwee selalu merasa khawatir kalau sampai pedang di tangan Tiong Sin yang palsu itu kemudian diketahui telah ia tukar, sedangkan pertandingannya bersama San Hong melawan Si Kembar Gu digagalkan karena Tiong Sin sudah saling serang dengan See Han. Maka ia pun sekali meloncat sudah berada di depan Kui Lan.

"Ji Kui Lan, engkau dan aku sama sama puteri datuk besar. Jangan kau kira dirimu terlalu bagus untuk dapat menikah dengan suhengku. Pinggulmu terlalu besar, bedakmu terlalu tebal dan mulutmu terlalu lebar. Aku tidak suka mempunyai enci ipar seperguruan seperti mu. Hayo maju, kita tentukan siapa di antara kita lebih pantas!"

Kui Lan marah sekali. "Siang Bwee, mulutmu selalu busuk. Kubunuh kau!" bentak Kui Lan dan gadis ini sudah menggerakkan golok tipisnya dengan gerak ganas sekali.

Namun, Siang Bwee yang sudah siap dengan tongkatnya, menangkis sambil menggeser kakinya dan tahu-tahu dari samping, tongkatnya menyodok k arah buah dada Kui Lan.

"Wuuuttt... ehhh?" Kui Lan cepat melempar tubuh ke belakang untuk menghindarkan diri dari serangan tiba-tiba itu dan ia terkejut setengah mati.

Ia sama sekali tidak tahu bahwa Siang Bwee telah menguasai Ilmu ajaib Langkah Berlingkar dari Nenek Coa Eng Cun sehingga ketika tadi ia mengelak sambil menangkis, ia telah menggunakan langkah melingkar itu sehingga hampir saja ujung tongkatnya menyentuh buah dada lawan!

"Keparat!" Kui Lan marah sekali karena Siang Bwee tertawa cekikikan mentertawakannya dan kini Kui Lan memainkan Swat-sin-to (Golok Sakti Salju) yang amat hebat itu.

Karena maklum betapa lihainya golok ini yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan, Siang Bwee kembali mengandalkan langkah ajaibnya, bahkan kini mengerahkan gin-kang Menunggang Angin yang dipelajarinya dari Lo Koay sehingga gerakannya selain mengandung langkah aneh, juga ringan dan cepatnya bukan main!

Kembali Kui Lan terkejut dan ia pun mengimbangi kehebatan Siang Bwee dengan tamparan tangan kirinya, yaitu pukulan beracun yang ia pelajari dari Pek-mo Kui-bo. Siang Bwee mengenal pukulan beracun, akan tetapi ia tidak khawatir. Ia adalah putera Nam Tok (Racun Selatan), rajanya datuk yang mengenal tentang racun, maka segala macam pukulan beracun dianggapnya seperti main-main saja! Dan terjadilah perkelahian yang juga mati-matian antara dua orang gadis itu.

Sebetulnya, melihat betapa puteri mereka saling hantam sendiri, baik Pak Ong maupun Nam Tok merasa tak senang karena hal itu berarti melemahkan persekutuan antara mereka untuk menghadapi See Mo dan Tung Kiam. Akan tetapi karena keduanya sudah mengenal watak puteri masing-masing yang amat keras.

Maka kalau mereka sudah bertanding seperti itu, sukar dilerai dan mereka hanya dapat menjaga jangan sampai puteri mereka itu terluka parah atau tewas. Di samping itu sebagai datuk-datuk besar, tentu saja masih tersisa perasaan bangga dan ingin melihat puteri masing-masing keluar sebagai pemenang.

Pertandingan antara Cu See Han dan Bu Hong Sin juga berjalan amat serunya. Melihat betapa Cu See Han nampak terdesak karena takut beradu pedang, diam-diam See Mo yang ingin membantu sekutunya, memberi isyarat kepada sepasang Koay-to Heng-te untuk membantu putera Tung Kiam itu.

Mengertilah Si Kembar Gu bahwa saatnya untuk turun tangan telah tiba, apalagi karena mereka melihat See Mo mengeluarkan anak panah dari pinggangnya, yaitu anak panah api yang akan menjadi tanda bagi orang-orang Mongol untuk bergerak. Tanpa banyak cakap lagi, Koay-to Heng-te, dua orang murid See Mo, sudah meloncat ke dalam kalangan pertempuran dan menyerang Bu Tiong Sin!

Tentu saja Tiong Sin yang merasa menang karena lawan tidak berani mengadu pedang, terkejut ketika melihat dua orang murid See Mo tiba-tiba menyerangnya dan membantu See Han. Dia pun cepat mengelebatkan Pedang Asmara untuk menangkis dan membikin patah golok dua orang saudara kembar itu.

"Tranggg.....! Trakkkkk!!"

Bukan dua batang golok di tangan Koay-to Heng-te itu yang patah-patah, melainkan "Pedang Asmara" di tangan Tiong Sin yang patah menjadi tiga potong! Tentu saja pemuda itu terkejut, matanya terbelalak dan pada saat itu, untung baginya bahwa San Hong yang tadi melihat pemuda ini dikeroyok dan tahu bahwa murid Pak Ong merupakan sekutu gurunya, sudah meloncat dekat.

Dan pada saat pedang itu patah dan Tung hai Liong-kiam di tangan Cu See Han menyambar ke arah leher Tiong Sin, San Hong sudah menggunakan Pek-lui-kiam menangkis sambil mengerahkan tenaga sin-kang Perisai Diri dan menggunakan pinggulnya, dengan gaya silat Kuda Setan yang dipelajarinya dari Pak Ong, dia menendang pinggul Cu See Han dengan pinggulnya sendiri, mengakibatkan See Han terlempar seperti ditendang kuda!

Tiong Sin tertolong, namun dia meloncat jauh ke belakang dengan muka pucat sambil memandang gagang pedang nya, "Pedang Asmara" yang tinggal gagang dan rusak!

"Ah, Pedang Asmara itu palsu!" Terdengar Nam Tok berseru.

Siang Bwee yang sedang berkelahi melawan Ji Kui Lan, mendengar seruan ayahnya. Memang ia sudah menanti saat yang menegangkan itu, maka ia pun cepat meninggalkan Kuil Lan dan sekali meloncat, menggunakan gin-kang Menunggang Angin, tiba-tiba tubuhnya sudah berada di dekat ayahnya!

"Benar tidak kataku, Ayah! Pedang itu palsu, Ayah telah ditipu!" katanya sambil menuding kepada Bu Tiong Sin.

"Tidak! Tidak sama sekali! Pedang Asmara ku aseli, bagaimana sekarang bisa menjadi palsu? Pedang ini dari Jenghis Khan! Tak mungkin palsu dan....."

"Nah, kau dengar, Ayah? Pemuda bosan hidup itu malah menuduh Ayah telah memalsukan pedangnya. Cih, sungguh tak pantas dibiarkan hidup!"

Nam Tok marah sekali. Dia meloncat dan tongkat naga di tangannya bergerak ke arah Tiong Sin. "Anak setan! Berani kau menipu aku!"

"Takkk!" Tongkat Naga itu tertangkis oleh golok di tangan Pak Ong. "Nam Tok, gilakan kau? Kita sekutu, lupakah?" tegurnya dan pada saat itu tampak cahaya terang.

Kiranya See Mo sudah melepaskan anak panah berapi ke atas. Segera terdengar sorak sorai dan dari segala jurusan, datanglah anak panah menyambar-nyambar ke arah Nam Tok, Pak Ong, Tiong Sin, Kui Lan, San Hong, dan Siang Bwee. Enam orang ini terpaksa memutar senjata mereka dengan cepat untuk melindungi tubuh mereka dari hujan anak panah yang dilepas oleh pasukan Mongol. Melihat ini, See Mo dan Tung Kiam tertawa bergelak.

"Ha ha-ha, Nam Tok. Ajalmu sudah dekat!" teriak See Mo.

"Pak Ong, bersiaplah untuk mampus!" Tung Kiam juga berseru gembira.

Pak Ong mengeluarkan suara melengking nyaring, suara melengking yang mengandung khi-kang yang kuat sekali, dan itulah isyarat baginya untuk para pendekar. Dan muncullah Hek I Siang mo, dua orang pembantu Nam Tok yang juga memimpin anak buah mereka. Para pendekar bermunculan dan terjadilah pertempuran hebat.

Pasukan anak panah orang Mongol diserang oleh pasukan pendekar sehingga mereka tidak sempat lagi mempergunakan anak panah. Terjadilah pertempuran di puncak Kabut Putih di Thai-san itu, antara seratus lebih orang Mongol dan hampir seratus orang pendekar.

Setelah kedua pihak mengetahui bahwa keduanya memang telah siap siaga dengan pasukan masing-masing, maka tahulah mereka apa yang harus mereka lakukan. Dengan sendirinya, Nam Tok sudah menyerang orang yang paling dibencinya yaitu See Mo. Sedangkan Pak Ong juga sudah menyerang Tung Kiam.

Terjadilah pertandingan yang amat dahsyat. Tidak ada orang berani mendekati empat orang datuk besar yang sedang bertanding itu karena dari gerakan senjata mereka, hawa pukulan menyambar-nyambar dengan dahsyatnya, sampai membikin patah dahan pohon, merontokkan daun-daun dan membuat pasir dan tanah berhamburan! Pertandingan antara mereka itu kini sungguh sama sekali berbeda dengan pertandingan pertandingan yang pernah mereka lakukan selama belasan tahun ini di puncak Kabut Putih itu.

Dahulu, biasa mereka itu bertanding ilmu hanya dengan satu tujuan, yaitu membuktikan siapa di antara mereka yang paling lihai dan pantas disebut juara atau yang paling pandai. Mereka tidak ingin saling melukai secara hebat, apalagi saling membunuh. Akan tetapi saat ini mereka bertanding dengan tujuan saling bunuh!

Nam Tok memang amat benci kepada See Mo yang dianggapnya seorang pengkhianat bangsa, memutar-mutar tongkat naganya dengan hebat. Terdengar suara angin seperti badai yang merontokkan daun-daun pohon. Jangankan ujung tongkatnya, baru angin pukulannya saja sudah cukup untuk merobohkan dan membunuh orang! Karena itu, ketika dia bertanding melawan See Mo, tidak ada seorang pun anak buah kedua pihak berani mendekat.

See Mo juga mengamuk karena dia maklum bahwa sekali ini tidak ada maaf lagi bagi dia dan Nam Tok. Mereka harus saling bunuh kalau mau selamat. Se-thian Mo-ong Kok Bong Ek juga seorang datuk besar yang amat lihai. Tingkat kepandaiannya sudah mencapai puncak. Senjata ruyung di tangan kanannya menyambar-nyambar seperti halilintar, sedangkan huncwe maut di tangan kirinya tidak kalah berbahayanya.

Api dari huncwe itu pun menyambar-nyambar merupakan bunga-bunga api yang menyerang ke arah mata dan bagian muka lawan untuk mengacaukan pertahanan lawan. Biarpun tubuhnya pendek dan perutnya gendut namun See Mo dapat mengimbangi kecepatan gerakan lawan dan setiap kali ruyung bertemu tongkat, terasa getaran oleh para anggauta pasukan yang saling serang.

Perkelahian antara Pak Ong dan Tung Kiam juga sama hebatnya. Memang kedua orang ini pun merupakan dua di antara empat datuk besar dan tingkat kepandaian mereka pun seimbang dengan tingkat kepandaian Nam Tok maupun See I Mo. Pak Ong Ji Hiat yang tinggi kurus itu memiliki sin-kang yang mengandung hawa dingin sekali sehingga terasa oleh mereka yang tidak begitu jauh dari tempat pertempuran itu.

Gerakannya lucu dan aneh karena pinggulnya tak pernah berhenti bergerak, seperti pinggul kuda jantan dalam berahi. Namun justeru dari gerakan pinggul inilah datangnya tenaga sin-kang yang amat hebat dari Raja Utara itu! Kekuatan yang keluar dari bawah pusar agaknya sebelum berpencar, terlebih dahulu berpusat di pinggul, membuat pinggul itu bergoyang-goyang, namun keseluruhan pinggul itu berubah amat kuat, kebal dan juga mengeluarkan tenaga yang amat dahsyat.

Di samping itu, juga gerakan goloknya yang mengandung hawa amat dingin bisa berbahaya sekali bagi Tung Kiam. Namun Pedang Timur ini memang amat lihai dalam bermain pedang. Pedangnya berubah menjadi gulungan sinar yang kemilauan merupakan benteng sinar yang sukar ditembus, sedangkan dari dalam gulungsn sinar itu kadang mencuat halilintar menyambar yang amat dahsyatnya.

Sukarlah untuk mengatakan siapa antara empat orang datuk besar itu yang akan kalah atau menang. Agaknya, sebelum ada yang kalah, yang menang harus lebih dahulu menghabiskan tenaganya dan tentu akan makan waktu yang lama sekali. Dan bukan tidak mungkin kalau akibatnya mereka berempat akan roboh terluka semua, atau setidaknya kehabisan tenaga, atau terluka dalam.

Sementara itu, pertempuran antara pasukan Mongol melawan para pendekar juga terjadi dengan serunya. Akan tetapi tiba-tiba saja terdengar bunyi ledakan-ledakan keras dan di sekeliling puncak itu nampak asap mengepul tebal, kemudian terdengar terompet dan tambur, di susul derap kaki banyak orang.

Semua orang, termasuk empat orang datuk terkejut bukan main karena mereka adalah orang-orang yang berpengalaman. Mereka tahu bahwa pada saat itu, ada pasukan yang amat besar mengepung tempat itu. Tentu ada ribuan orang yang telah mengepung tempat itu dan mereka itu bahkan memiliki alat-alat peledak yang tentu saja amat berbahaya!

Sebetulnya, Siang Bwee sudah mulai mendesak Kui Lan dengan kecepatan gerakannya, sedangkan San Hong yang tadi membantu Tiong Sin juga sudah menahan gerakan Koay-to Heng-te, Cu See Han dan Kok Kongcu yang ikut mengeroyoknya.

Akan tetapi kini mereka semua juga berlompatan ke belakang dan terbelalak memandang ke sekeliling, seperti juga empat orang datuk besar yang otomatis menghentikan perkelahian mereka. Bahkan pasukan Mongol dan para pendekar yang tadinya bertempur kini juga berhenti dan memandang kebingungan, tidak tahu apa yang akan terjadi.

Tiba-tiba terdengar suara terompet dan muncullah pasukan pengawal berkuda yang amat gagah dan berwibawa. Pasukan itu dikawal oleh masing-masing tiga puluh orang di kanan dan tiga puluh orang di kiri, kesemuanya siap dengan busur dan anak panah, kemudian di belakang masih ada puluhan orang pengawal yang siap melemparkan alat peledak. Sungguh keadaan mereka itu amat berwibawa dan di sekitar tempat itu telah dikepung oleh ratusan, mungkin juga seribuan orang perajurit yang bersenjata lengkap. Perajurit Mongol!

Ketika Siang Bwee dan San Hong melihat siapa panglima berkuda yang memimpin pasukan itu, mereka terkejut dan girang, dan Siang Bwee yang khawatir bahwa ayahnya akan melawan mati-matian dengan nekat kepada pasukan Mongol itu segera mendekati ayahnya. "Ayah, panglimanya adalah Yeliu Ciangkun yang sudah kukenal baik!" bisiknya.

Nam Tok tersenyum dingin. Dia mengenal Yeliu Cutay. Dia maklum bahwa melawan pun berarti mati konyol, hanya menyesal bahwa puterinya terkepung, akan tetapi dia sendiri tidak takut.

"Haiii, Pak Ong. Agaknya dua ekor anjing dari barat dan timur itu sekali memang berhasil menjadi anjing penjilat yang teramat baik. Kita telah terjebak?"

Pak Ong juga maklum bahwa mereka telah terkepung oleh pasukan Mongol yang amat kuat dan tak mungkin melawan pasukan yang ribuan jumlahnya dan bersenjata lengkap itu. Akan tetapi sejak tadi dia memperhatikan sikap See Mo dan Tung Kiam dan diam-diam dia merasa heran karena dua orang lawan itu pun agaknya tidak bergembira, bahkan terheran dan terkejut.

Bahkan perwira Mongol yang memimpin pasukan Mongol juga sudah menjatuhkan diri berlutut menghadap panglima Mongol yang datang dan mereka kelihatan ketakutan dan kebingungan.

Kini para panglima yang menunggang kuda sudah datang semakin dekat. Kiranya ada tiga orang panglima. Yang tengah, berusia kurang lebih lima puluh tahun dan bersikap tenang sekali adalah Yeliu Cutay. Dua orang panglima bangsa Mongol yang bertubuh tinggi tegap berusia tiga puluhan tahun adalah jagoan-jagoan Mongol yang terkenal. Yang seorang adalah Tuli, putera Temucin sendiri, yang ke dua bernama Yebilai, seorang panglima yang berjasa besar.

Seorang juru bicara yang menggunakan corong berteriak. "Semua orang yang bertempur di puncak Kabut Putih, diperintahkan untuk menyerah dan menjadi tawanan kami untuk diadili!"

Sebelum ada yang membantah, terdengar lagi teriakan lebih lantang, "Atas nama Jenghis Khan yang besar, diminta agar semua mentaati perintah!"

Mendengar ini, See Mo dan Tung Kiam saling pandang dan mereka berdua merasa penasaran sekali. See Mo mengenal dua orang panglima Mongol itu, maka dia pun cepat berkata dengan suara lantang.

"Ji-wi Ciangkun (Kedua Panglima) apakah lupa kepada kami? Saya adalah See-thian Mo-ong Kok Bong Ek yang bersama Tung-hai Kiam-ong Cu Sek Lam telah membantu Mongol dan kami sedang berusaha menangkap segerombolan pemberontak ini!"

Akan tetapi, dua orang panglima itu tidak menjawab melainkan memandang kepada Yeliu Cutay dan panglima bangsa Kim inilah yang menjawab dengan suara yang jelas. "See-thlan Mo-ong dan Tung-hai Kiam-ong sama sekali tidak membantu pasukan Mongol, melainkan bahkan mempergunakan kekuatan pasukan Mongol demi kepentingan sendiri. Kami sudah tahu bahwa Empat Datuk Besar mengadu kekuatan di sini dan kalian hanya mempergunakan pasukan Mongol untuk mencari kemenangan. Khan Yang Mulia marah sekali dan memerintahkan agar kalian semua menghadap. Beliau yang akan memberi keputusan nanti!"

Suasana menjadi mencekam dan menegangkan sekali. Empat orang datuk besar itu adalah orang-orang luar biasa. Biarpun dikepung ribuan tentara Mongol, kalau mereka itu bersama para murid mereka mengamuk, tentu akan ada ratusan orang anggauta pasukan Mongol yang akan tewas!

Siang Bwee yang menyadari watak ayahnya yang sama sekali tidak sudi tunduk kepada orang Mongol, cepat memegang tangan ayahnya. "Ayah tentu masih ingat kepada Panglima Yeliu Cutay itu. Dia seorang yang bijaksana dan kalau sampai dia melakukan ini, sudah pasti ada sesuatu yang amat penting tersembunyi di baliknya. Kalau keadaan tidak baik untuk kita, nanti pun belum terlambat bagi kita untuk melawan, Ayah!"

Nam Tok mengangguk. Dia pun tahu bahwa melawan secara konyol begitu amat bodoh. Dan asal Raja Mongol tidak menuntut sesuatu yang menghina, usulnya boleh juga didengarkan. Apalagi dia pun sudah mendengar bahwa Jenghis Khan sama sekali tidak boleh disamakan dengan segala macan raja kecil seperti raja Kerajaan Cin (Kim) yang pengecut itu.

Sementara itu, Pak Ong yang melihai sikap Nam Tok, juga mengerutkan alisnya. Dia sendiri seorang yang membenci penjajah Mongol, akan tetapi juga maklumi bahwa dia tidak mungkin dapat melawan pasukan sebesar itu.

"Kami berempat adalah Empat Datuk Besar dunia persilatan yang sesungguhnya tidak mempunyai urusan apa pun dengan Jenghis Khan!" katanya lantang dan berani sehingga mengagumkan hati Nam Tok. "Kami berempat mengadakan pertemuan di sini untuk mengadu kepandaian, adalah Tung Kiam dan See Mo yang diam-diam bersekutu dengan pasukan Mongol untuk menjebak kami berdua, Nam Tok dan Pak Ong! Kami tidak mencampuri urusan perang, dan harap agar para pimpinan Mongol tidak pula mencampuri urusan para datuk besar dunia persilatan!"

"Bagus!" demikian Nam Tok berseru dengan girang. "Itulah baru suara seorang gagah! Pak Ong, aku semakin kagum padamu dan tidak kecewa menjadi sahabat baikmu!"

Kini Panglima Yeliu Cutay menmajukan kudanya. Melihat panglima ini, sejak tadi Bu Tiong Sin sudah terkejut dan ketakutan, dan dia sudah mencoba untuk menyembunyikan dirinya, akan tetapi pandang mata Yeliu Cutay amat tajam dan selain itu, memang sebelumnya para penyehdiknya sudah melaporkan siapa siapa saja yang mengadakan pertempuran dan pertandingan di puncak itu.

"Empat orang Lo-cianpwe harap jangan salah sangka atau salah terima. Ketahuilah bahwa Khan kami yang mulia amat menghargai orang-orang pandai. Apalagi kami mengetahui bahwa Cu-wi (anda sekalian) bukan orang peperangan. Adanya kami mencampuri urusan pertemuan puncak antara empat Lo-cianpwe, adalah karena tiga hal. Harap para Lo-cianpwe suka mempertimbangkan dan suka memenuhi undangan kami dengan damai dan baik."

Tung Kiam dan See Mo memang mengharapkan kerja sama dengan pihak Mongol, maka tentu saja mereka diam saja. Akan tetapi Pak Ong dan Nam Tok yang masih mengambil sikap "jual mahal".

"Ha-ha-ha!" Nam Tok tertawa bergelak, suara ketawanya yang penuh dengan tenaga khi-kang itu bergema di seluruh permukaan puncak itu. "Kami hanyalah orang-orang tua bangsa Han yang bodoh! Ada tiga urusan apakah maka Jenghis Khan yang besar dan sedang cemerlang bintangnya itu mengundang kami?"

Yeliu Cutay memberi hormat kepada Nam Tok. "Saya sendiri mengenal Ang Lo-cianpwe sebagai seorang tua yang sakti dan gagah perkasa. Kalau memang tidak ada kepantasan dalam undangan ini, mana saya berani menjadi utusan menyampaikannya kepada Cu-wi? Percayalah, saya, Yeliu Cutay, juga orang yang dapat menghargai kegagahan!"

"Yeliu Cutay, tidak perlu menggunakan bahasa madu yang hanya manis saja! Siapa tidak tahu bahwa engkau adalah seorang panglima besar yang amat berkuasa dan setia kepada Kerajaan Kim? Akan tetapi apa yang kulihat sekarang? Engkau menjadi panglima kepercayaan Jenghis Khan. Kesetiaan macam apa ini?" Nam Tok yang berwatak gagah dan jujur itu menyerang secara terbuka begitu saja sehingga puterinya menggeleng kepala dan diam-diam menyalahkan ayahnya sebagai seorang yang kasar dan ceroboh!

Akan tetapi Yeliu Cutay tersenyum dan menjura dari atas kudanya. "Apa yang diucapkan Nam-san Tok-ong Ang Leng Ki memang tidak salah dan sepintas lalu memang Yeliu Cutay dapat dianggap sebagai seorang pengkhianat, pengecut atau seperti seekor ular berkepala dua. Akan tetapi dengarlah baik-baik, Locianpwe. Engkau sendiri pernah berada di Istana Kim dan menjadi pengawal besar yang dipercaya.

"Akan tetapi, apa yang Lo-cianpwe lihat? Kepengecutan kaisar dan keluarganya. Mereka hanya pandai bersenang-senang, menindas rakyat, sama sekali tidak peduli akan ancaman pasukan Mongol. Bahkan akhirnya kaisar dan keluarganya melarikan diri sebelum pasukan Mongol tiba di kota raja sehingga Locianpwe sendiri menjadi muak dan pergi meninggalkan kota raja.

"Dan ketika pasukan Mongol menyerbu, Lo-cianpwe kira siapa yang mempertahankan Istana mati-matian? Tidak lain hanya perwira dan pasukan yang setia, termasuk aku. Ya, aku Yeliu Cutay ikut mempertahankan kota raja sampai akhirnya kami kalah dan menjadi tawanan!"

"Dan engkau takluk, lalu menjadi anjing penjilat musuh, ya?" Pak Ong yang juga berjiwa patriot itu mengejek.

"Pak Ong Ji Hiat lo-cianpwe tidak tahu urusan, harap jangan menuduh yang bukan-bukan." kata Yeliu Cutay dengan sabar, "Di sini terdapat panglima Jebilai kepercayaan yang mulia Jenghis Khan, dan juga Pangeran Tuli, putera beliau, maka tidak mungkin aku berbohong. Ketahuilah bahwa dahulu, ketika Jenghis Khan masih menjadi pemuda Temucin di Mongol sana, sedang mulai membina kekuatan, kami pernah berkenalan bahkan bersahabat karib.

"Ketika aku ditangkap, Jenghis Khan mengenalku, maka dia membebaskan aku dan mengingat akan hubungan kami yang lama, mengingat pula akan cita-citanya yang besar untuk membebaskan rakyatku dari kesengsaraan, maka aku menerima penawarannya dan membantunya!'

"Heh-heh-heh, alasan saja itu!" Kini Tung Kiam tidak tahan untuk tidak mengejek. "Katakan saja engkau silau akan kedudukan dan harta kemuliaan, ha-ha-ha!"

"Tung-hai Kiam-ong Cu Sek Lam, aku tahu siapa engkau, maka tidak perlu banyak fitnah! Para Lo-cianpwe, ketahuilah bahwa Jenghis Khan adalah seorang pemimpin perang yang hebat. Pihak musuh yang dikalahkan, tentu akan dilanda malapetaka dan selain kotanya diratakan dengan bumi, juga seluruh penduduknya akan dibunuh! Ini penting untuk siasat perang dari padang pasir di Mongol! Akan tetapi, beliau telah mendengar nasihatku dan tidak membunuhi semua orang. Karena itulah maka aku suka membantunya. Mongol akan menjadi suatu kerajaan yang jaya dan besar yang belum pernah ada sepanjang sejarah!"

"Sudahlah, hanya itu alasanmu mengundang kami?" Nam Tok berkata, diam-diam dia melihat kebenaran dalam semua ucapan panglima itu.

"Begini, Lo-cianpwe. Pertama, Yan Mulia Jenghis Khan selalu menghargai orang gagah karena itu beliau mencegah terjadinya pertentangan di puncak ini dan mengundang Lo-cianpwe berempat untuk berunding. Kedua, syukur kalau para Lo-cianpwe suka membantunya, andaikata tidak pun, beliau tidak akan mengganggu kehidupan para tokoh dunia persilatan tidak pula mencampuri peperangan. Dan ke tiga adalah mengenai manusia jahanam, murid murtad dan jahat yang bernama Bu Tiong Sin ini!" Berkata demikian Yeliu Cutay menudingkan telunjuknya ke arah Tong Sin yang menjadi pucat wajahnya.

Kui Lan meloncat ke dekat suhengnya. Biarpun ia tidak mencinta suheng ini, lebih kagum kepada San Hong, namun suhengnya ini juga menjadi kekasihnya dan menjadi orang yang dekat dengan ia dan ayahnya, maka tentu saja ia marah mendengar suhengnya dimaki jahanam, murtad dan jahat oleh panglima itu.

"Dia ini adalah suhengku, murid ayahku. Bagaimana engkau berani menghinamu seperti itu tanpa alasan, Panglima? Kalau engkau hendak mengundang kami sebagai sahabat, pantaskah engkau menghina suhengku ini?"

"Apa yang dikatakan puteriku benar, Yeliu Ciangkun? Bu Tiong Sin adalah murid kami, tidak boleh dihina begitu saja oleh siapapun juga tanpa alasan!." Pak Ong juga membentak dan dia mengepal tinju, mukanya menjadi merah sehingga para pengawal yang menjaga keselamatan Panglima Yeliu kini bersikap waspada untuk menjaga dan melindungi keselamatan atasan mereka...

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.