Puing Puing Dinasti Jilid 13 karya Stevanus S.P - TIBA-TIBA dari kegelapan terdengar suara yang berat, "Tidak! Arwah Baginda Tiong-ong tidak akan puas, melainkan meratap melihat negeri leluhurnya diinjak-injak bangsa Manchu. Arwah Baginda akan mengutuk kalian!"
Orang-orang itu terkejut, serempak mereka bersiaga dengan senjata masing-masing dan menghadap ke asal suara itu. Jumlah orang-orang yang berkumpul itu ada belasan orang, dan terlihat dari gerakan mereka bahwa rata-rata mereka itu orang-orang yang tangguh. Mereka juga bukan pembunuh-pembunuh bayaran yang cuma cari duit, melainkan orang-orang yang setia kepada cita-cita tertentu.
Dalam hal ini mereka tidak cari untung, bahkan berani berkorban. Dan yang mereka dukung adalah Kaisar Tiong-ong alias Li Cu-seng, gembong kaum Pelangi Kuning yang sempat menduduki singgasana di Pak-khia, namun kemudian tergusur oleh tentara Manchu. Kaisar Tiong-ong alias Li Cu-seng gugur di Pegunungan Kiu-kiong-san.
Gugur bukan oleh senjata musuh, melainkan karena terperangkap oleh perangkap binatang buas yang dipasang para pemburu di pegunungan. Pengikutnya tercerai-berai, kehilangan garis perjuangan yang pasti. Sebagian kecil dari pengikutnya hanya menuruti dendam di hati mereka, tetap memusuhi dinasti Beng sambil juga tetap memusuhi Manchu.
Itulah orang-orang yang berkumpul di tempat itu, dan merencanakan menyerbu puri Pangeran Hok-ong dengan berpura-pura sebagai suruhannya Pangeran Kui-ong. Tujuannya adalah adu domba antara sesama keturunan dinasti Beng itu.
Namun sebelum mereka bergerak, karena masih menunggu Im Hai-lip, tiba-tiba malah muncul orang lain yang tidak menyetujui tindakan mereka. Orang yang bersenjata sepasang golok tipis itu, membentak ke asal suara tadi, "Siapa yang bicara tadi? Jangan hanya berani memperdengarkan suara, perlihatkan juga mukamu!"
Dari antara gelagah-gelagah di tepi sungai itu, bangkit berdiri sesosok tubuh tegap di bayangan malam. Biarpun malam hari, ia mengenakan tudung bambu atau caping. Dari balik kedua pundaknya juga mencuat garang gagang sepasang pedangnya. Langkahnya perlahan tapi pasti, tidak menunjukkan keraguan sedikit pun ketika mendekati sisa-sisa pejuang-pejuang Pelangi Kuning itu.
Bahkan dia menyapa lebih dulu, "Selamat malam, teman-teman seperjuangan. Maaf, aku mengagetkan kalian."
Dekat cahaya api, orang itu mencopot capingnya sehingga kelihatanlah wajahnya. Wajah seorang pemuda berusia dua puluh tujuh tahun, rahangnya keras, alisnya tebal, sorot matanya tajam. Orang-orang di sekitar api unggun tadi terkejut. Beberapa orang dari mereka sudah mengenalnya, dan langsung menyebut namanya, "Perwira Yo!"
Yang belum kenal lalu bertanya kepada yang sudah kenal, "Siapakah dia?"
"Dialah Yo Kian-hi, tangan kanannya Jenderal Li Giam kita."
Buat orang-orang Pelangi Kuning, nama Li Giam adalah "jaminan mutu". Itulah seorang jenderal kaum Pelangi Kuning yang menunjukkan jasa besar dalam merobohkan dinasti Beng. Kalau kemudian yang berhasil merebut Pak-khia paling dulu adalah jenderal Pelangi Kuning lainnya, Lau Cong-bin, itu bukan berarti Lau Cong-bin jauh lebih hebat dari Li Giam, tetapi karena akal liciknya saja.
Li Giam adalah pahlawan besar kaum Pelangi Kuning, hampir sama dikaguminya dengan Li Cu-seng sendiri. Maka begitu orang-orang itu mendengar bahwa yang datang ini adalah tangan kanannya Li Giam, semuanya bungkam, seakan Li Giam sendiri hadir di situ.
Yo Kian-hi mengambil duduk dekat perapian tanpa sikap permusuhan, katanya dengan santai, "Sobat-sobat seperjuangan, apakah kalian mau mendengarkan aku? Kalau mau, marilah, duduk mendekat."
"Apa yang akan Perwira Yo katakan?" tanya Si Sepasang Golok Tipis yang agaknya adalah pimpinan.
"Pesan terakhir Sri Baginda junjungan kita, Kaisar Tiong-ong."
Sisa-sisa kaum Pelangi Kuning kebanyakan memang masih tetap menghormati Kaisar Tiong-ong alias Li Cu-seng yang sudah meninggal itu. Sekarang nama itu disebutkan oleh Yo Kian-hi, tetapi orang-orang itu tidak gampang percaya.
"Maaf, Perwira Yo, bukannya kami meragukanmu. Tetapi sekarang ini banyak teman-teman seperjuangan kita yang sudah berganti kiblat. Ada yang jadi antek-anteknya Keluarga Cu, bahkan ada yang sudah jadi anjingnya Manchu. Misalnya seorang perwira di Ibukota yang dulu bernama Ang Bik."
Yo Kian-hi tertawa masygul sambil geleng-geleng kepala. Katanya, "Aku pun kenal orang yang bernama Ang Bik itu, salah seorang perwira bawahannya Jenderal Gu Kim-sing bukan?"
"Betul. Satu tangsi denganku dulu," sahut Si Sepasang Golok Tipis.
Yo Kian-hi berkata pula, "Bagus, kalau begitu Sobat ini pasti bisa menangkap penjelasanku. Ang Bik itu bunglon. Sebelum kaum kita menguasai Pak-khia, dia bernama Ting Hoan-wi, orang yang suka memanfaatkan kesempatan saat-saat kisruh pergantian kekuasaan, kalau perlu dengan 'ganti-kulit' dan ganti identitas. Dia pernah jadi kaki tangannya Co Hua-sun. Setelah Co Hua-sun ambruk, ia menghilang entah kemana. Waktu kita kuasai Pak-khia, ia muncul dengan nama baru dan entah dengan cara bagaimana berhasil menyusup sampai menjadi salah satu orang kepercayaannya Jenderal Gu Kim-sing."
"Pantas....." Si Sepasang Golok Tipis menarik napas.
"Pantas apanya, Sobat?"
"Bertahun-tahun aku berjuang di bawah panji Pelangi Kuning, tetapi belum pernah kulihat tampang orang yang namanya Ang Bik itu, meski menurut pengakuannya, dia pun berjuang di front yang sama. Bualannya saja yang dahsyat, tetapi di medan perang belum pernah kulihat bukti bualannya itu."
"Karena dia tidak pernah berperang di manapun bersama dengan kita, sobat." sambung Yo Kian-hi. "Bahkan, Ting Hoan-wi yang ganti nama jadi Ang Bik ini, kemudian menjadi mata-mata Manchu."
"Keparat! Orang itu pantas dicincang!" Dan macam-macam caci-maki lainnya.
Yo Kian-hi meneruskan keterangannya, "Ia menjadi mata-mata Manchu bersama kepala stafnya Jenderal Gu Kim-sing yang bernama Cong Ek-hi. Ternyata Cong Ek-hi ini adalah orang Manchu asli yang bernama Ha Cao, bahkan seorang perwira intelijen. Komplotannya adalah si pemilik warung bakmi di depan tangsi yang mengaku bernama Go Liong, padahal nama sebenarnya adalah Goh Lung, juga perwira Manchu."
Orang-orang itu terdiam mendengar penjelasan Yo Kian-hi yang begitu komplit. Kata Yo Kian-hi pula, "Apakah sobat-sobat ini menyamakan aku dengan Ting Hoan-wi alias Ang Bik alias entah siapa lagi, yang memang bunglon itu?"
Orang-orang masih bungkam. Yo Kian-hi kemudian menurunkan bungkusan kain dari gendongannya, lalu membuka bungkusan, ternyata isinya adalah sebuah guci perunggu yang bertutup kain merah. Dengan khidmat ia mengangkat guci perunggu itu dan berkata, "Sobat-sobat, tahukah apa isi guci ini?"
Pikiran orang-orang sudah mulai diarahkan. Cara Yo Kian-hi memegang guci itu begitu hormat, mungkin isinya abu dari jenazah seorang yang dihormati.
"Apakah isinya abu jenazah?" tanya orang berkapak.
Yo Kian-hi mengangguk. Tanyanya pula, "Tahukah jenazah siapa ini?"
Orang-orang terdiam, sehingga Yo Kian-hi sendiri yang harus menjawabnya, "Ini jenazah Sri Baginda."
Seorang mulai menangis, lalu berlutut ke arah guci perunggu itu dan bersujud berulang-ulang. Yang lain terpengaruh dan mengikuti jejaknya. Yang emosinya paling terkendali pun, mau tak mau ikut basah matanya, termasuk Yo Kian-hi.
"Bagaimana abu itu bisa ada padamu, Perwira Yo?"
Yo Kian-hi kembali membungkusnya dan menggendongnya. Katanya, "Karena akulah yang mendampingi Sri Baginda saat ia menghembuskan napas terakhirnya di Pegunungan Kiu-kiong-san."
"Bagaimana bisa? Bukankah Perwira Yo adalah tangan kanan Jenderal Li Giam yang senantiasa harus berada di samping Jenderal Li? Sedang kami dengar beritanya, bahwa Jenderal Li ditugaskan ke wilayah barat laut?"
Yo Kian-hi sadar, kalau pertanyaan ini belum dijawab secara memuaskan, orang-orang ini akan sulit mempercayainya. Maka ia menjawab hati-hati sekali, "Benar, Jenderal Li Giam memang ditugaskan ke barat laut. Di tengah perjalanan, ada sekelompok pembunuh bayaran digerakkan oleh Kun-su (Penasehat Militer) Manchu, Kat Hu-yong. Jenderal Li hampir terbunuh, tetapi seorang bekas panglima dinasti Beng yang bernama Helian Kong, muncul membantu kami sehingga dapat mengusir pergi Penasehat Militer yang berilmu tinggi itu."
"Aneh, kenapa seorang bekas Panglima Beng menolong Panglima Pelangi Kuning, musuh bebuyutannya?"
Sambil menjawab Yo Kian-hi sekalian menanamkan gagasan persatuan bangsa Han ke benak orang-orang itu. "Helian Kong berpikiran luas. Ia memperhitungkan, kalau Jenderal Li Giam terbunuh, bangsa Han kehilangan satu penyangga kuatnya, dan ini menguntungkan Manchu. Maka tanpa mempedulikan golongan Jenderal Li, ia menolongnya."
"Setelah itu bagaimana?"
"Jenderal Li sadar bahwa jaringan mata-mata Manchu sebenarnya sudah bekerja dengan giat di Pak-khia, dan membahayakan Sri Baginda. Jenderal Li ingin kembali ke Pak-khia untuk memperingatkan Sri Baginda, namun kalau kembali berarti melanggar perintah Sri Baginda. Lalu Jenderal Li mengutus aku diam-diam kembali ke Pak-khia. Aku tidak langsung menghadap Sri Baginda, melainkan lebih dulu menyamar sambil berkeliling Pak-khia untuk menyelidiki dan mengumpulkan bukti-bukti kegiatan mata-mata Manchu. Mana bisa aku menghadap Sri Baginda tanpa menunjukkan bukti? Setelah kudapatkan bukti, kulaporkan kepada guruku yang ada di istana. Itulah sebabnya aku lalu tidak di samping Jenderal Li Giam di barat laut, malahan terus bersama Sri Baginda."
"Tolong lengkapi ceritamu, Perwira Yo," mohon Si Sepasang Golok Tipis, "Sampai saat-saat meninggalnya Sri Baginda."
Yo Kian-hi mengangguk, lalu melanjutkan, "Kemudian istana menerima berita yang gawat, bahwa Panglima Beng yang masih menguasai kota San-hai-koan di timur laut, yaitu Bu Sam-kui, mulai tergoda untuk bersekutu dengan Manchu dan membawa Manchu masuk ke daratan tengah ini. Bu Sam-kui bersikap goyah demikian karena terus digempur tanpa diberi napas oleh Jenderal Lau Cong-bin."
Dalam penceritaannya, Yo Kian-hi menghindari nada menyalahkan siapa-siapa, untuk membangun suasana persatuan seluas mungkin di kalangan bangsa Han.
Lanjutnya, "Selain itu, Bu Sam-kui ini tergila-gila kepada..... Nona Tan Wan-wan yang sudah berjasa besar bagi kita. Berita Bu Sam-kui 'main mata' dengan Manchu itu menggelisahkan Sri Baginda, San-hai-koan adalah kota strategis yang bisa dilalui oleh bala tentara besar, kalau sampai Manchu menyerbu lewat kota itu tentu merugikan kita. Maka Sri Baginda mengangkat Tan Wan-wan alias Puteri Kong-hui sebagai utusan ke San-hai-koan, untuk menjinakkan Bu Sam-kui agar tidak salah langkah. Aku yang masih di istana, belum kembali ke Jenderal Li Giam, ditugasi memimpin pasukan pengawal Puteri Kong-hui menuju San-hai-koan."
Sampai di sini Yo Kian-hi menarik napas dengan berat, masygul, "Tapi terlambat. Segala usaha untuk mencegah Bu Sam-kui tidak memasukkan Manchu, bahkan juga usaha yang dilakukan oleh sesama Panglima Beng sendiri, seperti Helian Kong, ternyata terlambat. Belum sepertiga perjalananku mengawal Puteri Kong-hui dari Pak-khia ke San-hai-koan, di tengah jalan sudah didengar kabar bahwa tentara Manchu sudah membanjiri daratan tengah lewat San-hai-koan. Jenderal Lau Cong-bin tidak mampu menahan derasnya serbuan Manchu. Pasukannya mundur terus. Aku pun buru-buru membawa Puteri Kong-hui balik ke Pak-khia, sambil melaporkan kepada Sri Baginda."
Pendengar-pendengarnya jadi ikut-ikutan menarik napas. Sebagian dari mereka bahkan pernah mengalami ikut dalam barisan Kaisar Tiong-ong sendiri ketika mencoba membendung tentara Manchu di It-pian-sek. Si Sepasang Golok Tipis itu misalnya.
Yo Kian-hi meneruskan, "Sri Baginda kita adalah seorang pejuang, ia tidak terlena setelah menjadi Kaisar. Mendengar terpukul mundurnya Jenderal Lau, dia sendiri mengenakan pakaian perangnya dan memimpin pasukan besar menyongsong Manchu. Pasukannya bergabung dengan pasukan Jenderal Lau yang sudah tercerai berai berkeping-keping, lalu menyusun pertahanan di It-pian-sek."
"Pertempuran yang sulit dilupakan...." Si Sepasang Golok Tipis tiba-tiba ikut bicara, karena dia pun ikut dalam pertempuran itu. Kenangnya pula, "Manchu itu musuh, tetapi aku harus memuji mereka. Tentara mereka tidak banyak, namun diatur sedemikian lihai sehingga seolah bisa muncul di berbagai tempat. Pasukan kami bertahan di dataran, tetapi pasukan Manchu yang terdiri dari orang-orang Korea menghantam dari pegunungan. Gila mereka. Mereka memanah dengan busur-busur panjang yang panjangnya sampai melebihi panjang si pemanahnya sendiri. Anak panahnya hampir sebesar lembing."
Yo Kian-hi menukas, "Itu cara memanah orang-orang Jepang yang disebut Kyujitsu. Waktu Jepang menjajah Tiau-sian (Korea), orang-orang Jepang mendidik pemuda-pemuda Tiau-sian untuk memperkuat pasukan mereka, antara lain dengan seni memanah yang luar biasa ini. Tak terduga akhirnya yang memetik hasilnya malah orang-orang Manchu, untuk menghantam kita."
Untuk kisah pertempuran di It-pian-sek itu, Yo Kian-hi sengaja memberi kesempatan kepada Si Sepasang Golok Tipis untuk menceritakannya, agar Yo Kian-hi jangan dianggap memonopoli pembicaraan. Si Golok Tipis pun menceritakan dengan penghayatan karena mengalami sendiri,
"Panah-panah sebesar lembing itu menjangkau lebih jauh, dan kalau ditangkis dengan tameng kayu, tamengnya bisa tembus. Selain orang-orang Korea yang menghantam dari pegunungan, di antara pasukan Manchu juga ada orang-orang Mongol yang amat hebat dalam pertempuran di atas kuda."
Ternyata orang yang membawa golok Koan-to itu juga terangsang untuk ikut bercerita, "Aku pun ikut dalam pertempuran itu. Aku ada di sayap kiri, di bawah pimpinan Jenderal Gu Kim-sing yang pengecut itu."
Kalau Yo Kian-hi berusaha untuk tidak mengungkit-ungkit kesalahan-kesalahan di masa lalu, demi persatuan, maka orang bersenjata golok Koan-to itu agaknya adalah orang berwatak polos yang tidak berpikir panjang. Kalau ingin memaki, ia pun memakilah. Begitulah ia memaki Gu Kim-sing, salah seorang Jenderal Pelangi Kuning, sebagai pengecut. Namun Yo Kian-hi mendiamkannya saja.
Orang itu pun terus berbicara, "Jenderal Gu menyuruh kami maju, tapi ia sendiri tetap di garis belakang yang aman. Ah, alangkah bedanya dengan Jenderal Li Giam. Seandainya Jenderal Li ada di It-pian-sek saat itu, barangkali keadaan negeri leluhur tidak seperti ini."
Yo Kian-hi cepat mengambil-alih kembali, "Singkat kata, aku ikut mendampingi Sri Baginda dalam perang di It-pian-sek. Tetapi musuh terlalu kuat, aku sendiri terjebak di bagian pertempuran yang paling sengit dan hampir mampus terpanah. Namun waktu Sri Baginda memerintahkan pasukan untuk mundur ke Pak-khia, aku berhasil mendekatinya dan tetap mendampinginya. Luar biasa junjungan kita itu. Ia ingin mundur paling belakang untuk melindungi bawahan-bawahannya dari kejaran musuh, tanpa menghiraukan keselamatannya sendiri. Kalau tidak dipaksa oleh pengawal-pengawal pribadinya, agaknya Sri Baginda ingin mati di It-pian-sek itu."
Beberapa pendengar menarik napas, ada yang mengusap matanya lagi.
Yo Kian-hi melanjutkan, "Kelanjutannya kalian tahu. Kami bertahan setengah bulan dalam kota Pak-khia. Pasukan Manchu mengepung di luar kota. Suatu hari, pasukan Manchu berhasil menerobos ke dalam kota lewat parit-parit bawah tanah. Kembali Sri Baginda bertekad hendak mempertahankan istana sampai titik darah penghabisan, tetapi aku mengingatkan bahwa di barat laut masih ada kekuatan pendukung kita yang memerlukan Sri Baginda. Setelah dibujuk, barulah Sri Baginda mau keluar dari istana, bahkan dari Pak-khia, ke arah barat.
"Ternyata musuh sudah menghadang di sepanjang perjalanan. Di pegunungan, bala bantuan untuk kami dihambat oleh pasukan gunung orang-orang Tiau-sian, di dataran, pasukan berkuda orang-orang Mongol dan regu-regu senjata api Manchu benar-benar susah ditandingi. Bu Sam-kui ternyata sudah memakai pakaian panglima Manchu, pakai kucir rambut segala, dialah yang memimpin pengejaran terhadap Sri Baginda."
"Bagaimana dengan Nona Tan Wan-wan alias Puteri Kong-hui?"
"Dalam gerakan mundur kami, dia tertinggal di istana. Inilah satu soal yang merisaukan hati Sri Baginda, sehingga beliau jatuh sakit dalam perjalanannya ke barat laut. Perjalanannya yang penuh hambatan musuh..."
Pendengar-pendengarnya ikut geregetan mendengar cerita Yo Kian-hi itu. "Terus bagaimana?"
"Kami dikepung oleh Bu Sam-kui dan antek-anteknya dari berbagai arah, lalu kami berbelok memasuki Pegunungan Kiu-kiong-san. Kami berharap di pegunungan itu kami bisa membuat kubu pertahanan sambil menunggu bantuan dari berbagai pihak. Kalian mungkin sulit mempercayai, bahwa dalam kesulitan kami, kami bertempur bahu-membahu dengan sisa-sisa dinasti Beng. Kami lupakan permusuhan, kami cuma ingat satu hal bahwa negeri yang sekarang diinjak bangsa asing adalah tanah air kami bersama."
Yo Kian-hi mengatakan itu sebagai persiapan untuk membujuk orang-orang itu agar tidak memperkeruh Lam-khia yang sudah keruh dengan persaingan antar pangeran itu. Suara Yo Kian-hi menurun sedih ketika meneruskan kata-katanya,
"Agaknya memang di Pegunungan Kiu-kiong-san itulah berakhirnya riwayat junjungan kita ditakdirkan. Bukan oleh senjata musuh, tetapi karena terjeblos perangkap binatang yang dipasang oleh para pemburu di pegunungan. Tidak ada kesengajaan dari para pemburu itu. Mereka tidak tahu apa-apa soal politik. Sri Baginda sendiri sebelum ajal juga berpesan agar kami tidak membalas dendam kepada pemburu-pemburu itu. Selain itu, masih ada dua pesan lainnya."
"Apakah kedua pesan lainnya itu?"
"Pesan keduanya, Sri Baginda minta tubuhnya diperabukan, lalu abu jenazahnya dibawa ke kampung halamannya di wilayah barat laut. Itulah sebabnya kubawa-bawa abu jenazahnya. Aku sempatkan membelok ke Lam-khia ini, sebab aku merasa bahwa di sini aku akan bisa menjumpai teman-teman seperjuangan yang berceceran sejak meninggalnya Sri Baginda. Aku ingin menemui kalian untuk menyebar-luaskan pesannya yang ke tiga."
"Apa pesan ketiganya?"
Yo Kian-hi tidak segera mengatakannya! melainkan memancing dulu, "Pesan ketiga ini berat, maka Sri Baginda berkata, kalau kita tidak sanggup, tidak usah ya tidak apa-apa. Sri Baginda tentunya tidak tenteram arwahnya, tetapi ia tidak memaksa."
Para bekas pejuang Pelangi Kuning itu pun terasa terbakar jantungnya. Si Golok Koan-to menghentakkan kaki ke tanah sambil berkata keras, "Pesan terakhir Sri Baginda akan kujunjung tinggi! Biarpun tubuhku tercerai-berai menjadi seribu keping, aku akan tetap berusaha melaksanakannya!" Yang lain-lain pun berteriak-teriak mendukung.
"Baik-baik, sobat-sobat seperjuangan." Yo Kian-hi bangkit dari duduknya sambil mengangkat kedua tangannya. "Tenanglah, supaya aku bisa menyampaikan pesan Sri Baginda!"
Orang-orang itu langsung tenang seperti jangkrik diinjak sarangnya. Nama Li Cu-seng alias Kaisar Tiong-ong masih tetap memiliki wibawa, meski orangnya sudah jadi abu dalam guci perunggu.
Yo Kian-hi lalu berkata, "Pesan ketiga itu, kita sebagai bangsa Han diminta untuk menggalang persatuan dengan semua bangsa Han di seluruh negeri. Melupakan permusuhan dengan golongan yang pernah menjadi musuh kita, demi menghentikan gerak maju pasukan Manchu. Itu pesannya. Sanggup?"
Itu artinya mereka harus melupakan permusuhan dengan sisa-sisa dinasti Beng yang mereka benci. Tidak heran kalau jawabannya jadi alot sekali. Mereka saling toleh satu sama lain. Saat itulah dari balik sebuah pohon yang agak jauh dari nyala api, terdengar suara tertawa mengejek, disusul kata-kata,
"Aku yang pertama kali tidak percaya bahwa Sri Baginda berpesan seperti itu. Aku baru percaya kalau abu itu bisa bicara sendiri."
Serempak orang-orang menoleh ke asal suara itu, nampaklah Si Kipas Prahara Im Hai-lip yang ditunggu-tunggu itu pun melangkah mendekat, dengan jubah sastrawannya yang melambai dan kipasnya yang digoyang, serasi benar dengan bibirnya yang menyungging senyuman angkuh dan mengejek. Orang-orang itu bingung, terombang-ambing di antara dua tokoh Pelangi Kuning yang bertentangan itu.
Im Hai-lip agaknya tidak membiarkan kebimbangan merasuki orang-orangnya, hasutnya, "Kalian begitu percaya kepadanya, apakah kalian percaya bahwa abu yang dibawanya itu benar-benar abu jenazah Sri Baginda? Jangan-jangan cuma sembarang abu yang dikatakan sebagai abu Sri Baginda, untuk menggoncangkan tekad kalian?"
Si Sepasang Golok Tipis berkata kepada Im Hai-lip, "Kakak Im, aku kenal Perwira Yo Kian-hi ini. Dia adalah kepercayaan Jenderal Li Giam."
Im Hai-lip menyipitkan matanya dengan sikap tetap congkak. "Kalau tangan kanannya Jenderal Li Giam, memangnya harus dipercaya begitu saja kata-katanya yang berbisa itu? Teman-teman, jangan gampang percaya. Jaman sekarang ini sudah banyak orang berganti kiblat lho, padahal orang-orang masih menyangka dia seperti dulu ternyata tidak."
Yo Kian-hi sadar, berhadapan dengan orang sejenis Im Hai-lip ini tidak boleh terlalu sungkan. Kalau sungkan sedikit saja pasti akan didesak terus dengan kata-katanya yang tajam. Namun untuk "pembukaan"nya Yo Kian-hi bertanya dulu dengan ramah, "Saudara ini... siapa?"
Si Golok Tipis yang memberi penjelasan, "Perwira Yo, Kakak Im ini bersimpati kepada perjuangan kaum kita, biarpun kediamannya jauh di selatan. Di Hun-lam."
Penjelasan itu perlu, sebab dulu gerakan pemberontakan Pelangi Kuning di masa jayanya hanya terasa kuat pengaruhnya di delapan propinsi-propinsi Cina Utara. Di Cina Selatan, apalagi yang paling selatan seperti Propinsi Hun-lam yang berbatasan dengan Birma itu, gaung perjuangan kaum Pelangi Kuning tidak terasa sedikit pun.
Waktu kaum Pelangi Kuning menang perang dengan merebut Ibukota Pak-khia dari dinasti Beng, lalu mendirikan dinasti baru, maka wilayahnya ya cuma separuh daratan Cina di bagian utaranya. Begitu pula waktu kaum Pelangi Kuning diserbu tentara Manchu, maka Cina Utara kembali berpindah tangan.
Mendengar Im Hai-lip datang dari propinsi dimana kaum Pelangi Kuning tak pernah meninggalkan jejak, Yo Kian-hi bertanya pula, "Simpatisan ya?"
"Aku kumpulkan teman-teman seperjuangan agar terhimpun kembali, dan mampu meneruskan cita-cita Sri Baginda!" sahut Im Hai-lip dengan bangga.
"Merebut pemerintahan dari keturunan Keluarga Cu?"
"Bukankah memang itu cita-cita Sri Baginda?"
Yo Kian-hi geleng-geleng kepala, "Bukan itu lagi, Sobat. Menjelang wafatnya, Sri Baginda ingin berpesan kepada kita semua, bahwa musuh yang sesungguhnya sekarang adalah Manchu!"
"Tak ada bukti atau saksi lain bahwa Sri Baginda berpesan demikian. Kau mengaku menunggui saat-saat terakhir Sri Baginda, tetapi kami semua menyangsikanmu!" kata Im Hai-lip sambil menuding Yo Kian-hi dengan kipasnya yang dilempit.
"Aku percaya Perwira Yo!" tiba-tiba Si Sepasang Golok Tipis bersuara. "Aku kenal Perwira Yo di Pak-khia, di medan perang It-pian-sek juga, meski hanya kenal dari jauh sebab aku hanyalah prajurit. Aku tidak percaya Perwira Yo memalsukan perintah Sri Baginda!"
Yo Kian-hi lega sedikit. Ternyata bujukannya tadi cukup berpengaruh, tetapi entah bagaimana orang-orang selain Si Sepasang Golok Tipis itu?
Im Hai-lip gusar, katanya kepada Si Sepasang Golok Tipis, "Saudara Toan. Kau sudah keluar dari garis perjuangan kita!"
Si Sepasang Golok Tipis yang bernama Toan Ai-liong berjulukan sama dengan namanya yaitu Ai-liong (Naga Kate), menjawab dengan berani, "Garis perjuangan apa? Sebenarnya sejak semula kami sudah ragu-ragu mengikuti pimpinan Kakak Im. Banyak tindakan Kakak Im yang tidak kami mengerti dan Kakak tidak mau menjelaskan. Kami jadi tidak tahu ke arah mana kami mau dibawa. Misalnya, dalam mengadu domba antar pangeran-pangeran dinasti Beng itu, kita dapat keuntungan apa? Dulu waktu kita masih punya kekuatan besar, maka terpecah-belahnya Keluarga Cu akan menguntungkan kita, sebab memberi peluang kita untuk merebut kemenangan. Tetapi kekuatan kita sudah tercerai-berai sekarang, kalau pun kita berhasil mengadu domba pangeran-pangeran itu, jangan-jangan yang mengambil keuntungan malah orang Manchu?"
Im Hai-lip semakin gusar, ia melangkah ke arah Toan Ai-liong dengan sikap mengancam, "Saudara Toan, jadi kau menuduhku sebagai mata-mata Manchu?"
Toan Ai-liong mundur selangkah dengan sepasang tangan bersiaga di dekat gagang sepasang golok tipisnya. Bantahnya, "Lho! Siapa yang menuduh Kakak Im? Aku cuma ragu-ragu aksi kita selama ini lebih banyak berlandas dendam lama yang membabi-buta, tapi secara keseluruhan merugikan perjuangan seluruh bangsa Han karena terpecah-belah."
Yo Kian-hi tersenyum dan memuji, "Itu namanya akal sehat, Sobat Toan."
Bertambah gusarlah Im Hai-lip, "Toan Ai-liong, jadi kau lebih percaya Si pembawa pesan gadungan ini, daripada kepadaku?"
Sahut Toan Ai-liong enteng, "Soal dia membawa pesan gadungan atau tidak, entahlah. Yang kutahu, aku pernah melihat dia di medan perang It-pian-sek, melihat kegagahan dan kesetiaannya membela Sri Baginda."
Si pembawa golok Koan-to tiba-tiba berdiri dari duduknya, dan menyatakan keputusannya pula, "Kakak Toan benar. Kurang tepat saat ini kalau kita melampiaskan dendam kepada segelintir Keluarga Cu, tetapi melupakan nasib jutaan bangsa Han yang bakal jadi rakyat jajahan Manchu!"
"Oh, Langit, dengarkan!" Si pembawa kapak tiba-tiba menengadah ke langit sambil berteriak. "Makin banyak sahabat-sahabatku yang luntur semangat juangnya! Sri Baginda, merataplah kau di alam sana!"
Si pembawa golok Koan-to bertanya dengan heran, "Saudara Ui, siapa yang kau maksud yang luntur semangat juangnya dan membuat Sri Baginda menangis?"
Ui Liang si pembawa kapak itu terus-terang saja menunjuk hidung Si pembawa golok Koan-to, "Kau, Hoa Liu, dan juga Toan Ai-liong! Kalianlah yang luntur semangatnya dan membuat Sri Baginda meratap di alam baka!"
Toan Ai-liong balik bertanya, "Saudara Ui Liang, kalau seluruh negeri berhasil diduduki Manchu karena kita mengabaikan pesan Sri Baginda, apakah Sri Baginda tidak menangis lebih sedih?"
Orang-orang itu pun bertengkar, ternyata mereka terpecah dua. Yang memihak Yo Kian-hi ternyata dua pertiga lebih dari orang-orang itu. Rupanya selama ini mereka ragu-ragu melihat "garis perjuangan" Im Hai-lip yang kurang masuk akal itu, namun selama ini mereka tidak berani membantah Im Hai-lip. Sekarang, begitu ada yang membebaskan mereka dari "garis perjuangan" gila-gilaan itu, mereka keluar.
Namun ada pula sepertiga yang mengikuti Im Hai-lip. Merekalah orang-orang yang membabi-buta kebencian mereka terhadap sisa-sisa dinasti Beng, melebihi kekhawatiran mereka terhadap terancamnya negeri oleh Manchu.
Bahwa pihaknya mendapat orang berjumlah lebih sedikit, benar-benar tidak bisa diterima oleh Im Hai-lip. Ia merasa dipermalukan. Karena itu, selagi ia masih mabuk kemenangan karena siang tadi ia telah menewaskan Giam Bin-tong yang cukup terkenal dan berjulukan Sai-hong-kiam (Pedang Secepat Angin), maka Im Hai-lip sekarang menantang Yo Kian-hi,
"He, pemalsu pesan terakhir Sri Baginda, kau kutantang dalam pertarungan satu lawan satu sampai mati!"
Yo Kian-hi masih berusaha mengalah, "Sobat, di antara kita ternyata ada perbedaan pendapat, tetapi haruskah diselesaikan dengan cara seganas itu!"
"Ya, harus! Ini bukan masalah antar pribadi kita, melainkan karena kau dengan pesan palsumu yang berbisa itu sangat membahayakan perjuangan rekan-rekan yang masih setia kepada cita-cita Sri baginda."
Yo Kian-hi tahu, orang macam Im Hai-lip ini tidak bisa ditaklukkan hanya dengan omongan. Lidahnya terlalu tajam. Orang macam ini harus diberi hajaran keras. Karena itu Yo Kian-hi kemudian membuka bungkusan di punggungnya. Pundi tembaga berisi abu jenazah itu diserahkannya dengan sikap khidmat kepada Toan Ai-liong, katanya, "Saudara Toan, tolong pegangkan ini sebentar."
Toan Ai-liong menerimanya dengan hormat pula, mengingat bahwa itulah abu jenazahnya junjungannya.
Im Hai-lip tertawa sinis, "Tidak usah dibikin-bikin sikap kalian. Sok khidmat segala. Aku tidak percaya itu abunya Sri Baginda."
Ternyata Yo Kian-hi tidak hanya melepaskan pundi tembaga itu, melainkan sepasang pedangnya juga. Lalu melangkah ke arah Im Hai-lip sambil berkata, "Mari Sobat, kita bermain-main sejenak."
"Kuperingatkan, ini bukan permainan. Ini pertarungan hidup mati, sebab aku ingin membasmi penyebar pesan palsu yang melemahkan semangat semacam kau. Ambil pedangmu!"
"Tidak. Aku bertangan kosong saja!"
"Kau benar-benar sombong, anak muda. Tetapi kukatakan kepadamu, kau keliru kalau menganggap aku bakalan berlaku sungkan karena kau tidak bersenjata. Aku tidak akan sungkan membunuhmu, meskipun aku juga tidak akan curang!"
Im Hai-lip melipat kipasnya lalu menyelipkannya di pinggang, kemudian dengan tangan kosong pula ia menghampiri Yo Kian-hi dengan langkah perlahan dan waspada. Orang-orang di sekitarnya, baik yang memihak Yo Kian-hi maupun Im Hai-lip, serempak minggir lalu membuat lingkaran, menyediakan gelanggang buat sepasang jagoan yang hendak bertarung itu.
Beberapa saat kedua petarung masih berputaran mengintai, lalu Im Hai-lip membuka serangan. Tubuhnya melejit menutup jarak dengan satu lompatan, sambil menggunakan jari-jarinya menusuk ke mata Yo Kian-hi. Itulah gerak tipu Kim-sian-hi-long (Katak Emas Bermain Ombak).
Yo Kian-hi waspada. Ia melihat serangan ke mata itu hanya pemancing perhatian, ia waspadai sepasang kaki lawan yang sedang melompat itu bisa melakukan tendangan di udara. Namun Yo Kian-hi berlagak tidak tahu, sebelah tangannya terangkat untuk mencengkeram pergelangan tangan lawan dengan gerakan Kim-liong-tam-jiau (Naga Emas Mengulur Cakar).
Im Hai-lip yang masih melayang di udara itu pun tertawa dingin dalam hati setelah melihat tanggapan Yo Kian-hi yang sederhana itu. Pikirnya, "Bocah kemarin sore ini masih terlalu lugu, biarlah kupermalukan dia."
Gerakan menusuk ke mata tetap dilanjutkan, namun setelah dekat tubuhnya miring dan kedua kakinya menjejak berbarengan ke arah dada dan perut. Dibarengi bentakan dahsyat. Ternyata Yo Kian-hi tidak mengubah uluran cengkeramannya, ia hanya menarik sebelah kakinya ke belakang sambil berkuda-kuda rendah, tahu-tahu salah satu pergelangan kaki Im Hai-lip sudah berhasil dicengkeramnya. Lalu Yo Kian-hi yang bertenaga gajah itu, menghempaskan lawannya ke tanah seperti membanting sebuah boneka kain saja.
Im Hai-lip kaget namun terkesiap, terpaksa yang bisa dilakukannya hanyalah mengeraskan seluruh otot tubuhnya agar tidak cedera ketika menghempas tanah. Sialnya, waktu tubuh itu sudah terbentur keras di tanah, Yo Kian-hi belum melepaskan cengkeraman kuatnya pada pergelangan kaki Im Hai-lip, nampaknya Yo Kian-hi belum puas "bermain-main dengan bonekanya".
Im Hai-lip gusar bukan kepalang, biarpun tidak cedera tapi merasa dipermalukan. Kakinya yang satu menendang-nendang serabutan untuk membebaskan kakinya yang dicengkeram. Menendang pergelangan tangan Yo Kian-hi, menendang ke lutut, menendang ke selangkangan dan semuanya luput.
Dalam keadaan terdesak, Im Hai-lip tidak peduli lagi apa kata orang, ia cabut kipas yang di pinggangnya lalu menembakkan salah satu jeruji kipas. Itulah senjata rahasianya yang siang tadi berhasil menamatkan riwayat Si Pedang Secepat Angin Giam Bin-tong.
Yo Kian-hi memang kaget, namun nasibnya belum seburuk Giam Bin-tong. Dengan tangan yang bebas ia bahkan berhasil menyambar tepat jeruji kipas berkecepatan tinggi itu, apalagi malam cukup gelap. Yo Kian-hi dasarnya juga bukan orang yang terlalu sabar. Ia menjadi gusar, ia memang melepaskan Im Hai-lip namun dengan dilontarkan ke udara. Di udara, Im Hai-lip kelabakan membuat beberapa gerakan agar dapat mendarat dengan seimbang. Toh mendaratnya dengan sempoyongan.
Yo Kian-hi mengangkat jeruji kipas yang ditangkapnya itu agar kelihatan oleh semua orang, katanya geram, "Huh, beginilah kelakuan orang yang mengaku setia kepada cita-cita perjuangan kita? Menyerang secara gelap!" Waktu Yo Kian-hi menghempaskannya ke tanah yang keras, jeruji itu amblas tak terlihat lagi. Bekasnya hanya kelihatan seperti mulut lubang semut.
Im Hai-lip tersudut, mukanya agak tercoreng aib oleh kelakuannya sendiri, tetapi dengan licin ia berkilah, "Terhadap seorang yang membahayakan semangat perjuangan, buat apa pakai aturan segala? Kalau masih kurang, nih, aku punya yang lainnya."
Kembali ia mengibaskan kipasnya sambil menekan alat rahasia di pangkal kipasnya, maka enam buah jeruji kipas meluncur sekaligus. Dua ke atas mengarah mata dan leher, dua ke tengah mengarah dada dan perut, dua ke bawah ke arah kaki. Ketepatannya menakjubkan karena Im Hai-lip sudah lama melatihnya.
Tetapi orang-orang di sekitar api unggun itu mendadak melihat Yo Kian-hi berubah jadi makhluk berlengan tiga pasang alias enam biji. Hanya sedetik, kemudian kelihatan tangan- tangan itu menggenggam jeruji-jeruji kipas. Tangan kanan menggenggam tiga, tangan kiri menggenggam tiga.Tidak perlu dikatakan lagi kalau dalam pertempuran ini Im Hai-lip sudah kalah.
Tetapi bukan Im Hai-lip namanya kalau mengaku kalah begitu saja. Hari itu ia sedang bangga karena berhasil membunuh Giam Bin-tong, namun hari itu pula ia mengalami dua kejadian yang membuat kemenangannya atas Giam Bin-tong jadi kelihatan kurang cemerlang. Pertama, siang tadi di arena yang sama dengan arena tempatnya mengalahkan Giam Bin-tong.
Orang-orang sekaligus juga menyaksikan kehebatan ilmu kepandaian Helian Kong yang menyamar sebagai Jenderal The Ci-liong. Dan malam ini, apa yang dilakukan Yo Kian-hi menghapus sama sekali kegemilangan kemenangannya hari itu. Bentaknya, "Malam ini, kalau bukan kau yang mampus, akulah yang mampus!"
Lalu ia menerjang maju, kipasnya mengebut berulang kali, maka muncullah angin besar menerpa Yo Kian-hi. Inilah ilmu andalannya yang membuatnya dijuluki Si Kipas Prahara. Di tengah-tengah "angin ribut buatan" itulah dia melompat menyergap Yo Kian-hi dengan serangan bertubi-tubi. Di kipasnya ada dua belas jeruji besi yang bisa dilontarkan, tujuh di antaranya sudah dihamburkan tanpa hasil, tinggal lima. Ia bertekad akan menggunakan yang lima itu apabila ada kesempatan baik.
Di tengah badai, Yo Kian-hi pun makin gusar. Pikirnya, "Orang ini benar-benar sulit disuruh untuk tahu diri." Maka Yo Kian-hi pun mulai mengamuk seperti gajah. Gerak-gerak silatnya memang berintikan kekuatan dan gerak seekor gajah. Maka oleh gurunya diberi nama Ciu-siang Sip-pat-sik (Delapan Belas Gerak Gajah Mabuk).
Begitu Yo Kian-hi keluarkan ilmunya, maka "badai buatan" Im Hai-lip itu jadi tak lebih dari angin semilir yang mengusap kulit Yo Kian-hi. Kemudian waktu Yo Kian-hi menyongsong Im Hai-lip, maka keduanya pun segera saling serang dengan gencar dan sengit. Im Hai-lip sudah dengan kipasnya, Yo Kian-hi masih dengan tangan kosong. Belasan kali lengan-lengan maupun tulang-tulang kaki mereka beradu keras.
Mula-mula Im Hai-lip sanggup beradu, namun usianya sudah setengah abad, dua kali umur Yo Kian-hi. Tulang dan kulitnya kalah liat, lama-lama ia kesakitan juga dan berusaha untuk tidak membenturkan lengan maupun kakinya yang mulai kesakitan.
Tetapi serangan Yo Kian-hi terlalu rapat, beruntun, jarak waktu antara serangan yang satu dengan yang berikutnya terlalu dekat. Terlalu gencar. Mengurangi benturan lengannya dengan lengan lawan, berarti membiarkan tubuh atau badannyalah yang bakal kena tangan atau kaki Yo Kian-hi sebab serangan-serangannya harus ditangkis.
Ada juga cara lain kalau tidak ingin dikenai serangan, tetapi juga tidak usah menangkis, yaitu mundur. Namun Im Hai-lip yang congkak itu menganggap mundur berarti ia mempermalukan diri untuk ketiga kalinya. Yang pertama, tadi ia sudah dibanting ke tanah. Yang kedua, waktu jeruji-jeruji kipasnya dapat ditangkap semuanya oleh Yo Kian-hi. Dan ia tidak mau menambahkan yang ketiga.
Daripada mundur, ia lebih suka untung-untungan berbuat curang sekali lagi. Begitulah, tiba-tiba ia kembali menembakkan jeruji kipasnya. Kali ini dari jarak begitu dekat, dan lima yang tersisa dari jeruji-jerujinya diserangkan semua.
Yo Kian-hi memang sudah tahu kelicikan lawannya, namun tidak menyangka kalau akan melontarkan senjata rahasianya dari jarak sedekat itu. Yo Kian-hi berhasil menghindarkan yang empat, tetapi ada satu yang menancap di lengan atasnya, menancap sampai tembus ke sisi yang lain dari lengannya.
Im Hai-lip tertawa terbahak, tetapi suara tertawanya ditelan raungan kemarahan Yo Kian-hi. Bukannya melompat mundur untuk merawat lukanya dulu, Yo Kian-hi malah memperhebat serangannya, makin gencar. Inilah yang diluar perhitungan Im Hai-lip.
Ia sedang di ambang kemenangan, dan kewaspadaannya sedang kendor, itulah saat tak terduga waktu sebuah jotosan Yo Kian-hi menyelonong datang menghajar dadanya. Tawa Im Hai-lip terhenti, tubuhnya terpental ke belakang dan terhempas di tanah kembali sambil menggelogokkan darah.
Pertarungan selesai. Yo Kian-hi masih berdiri tegak meski dengan lengan ditembus jeruji kipas Im Hai-lip. Im Hai-lip terbaring di rerumputan dengan napas lemah. Orang-orang yang mengelilingi gelanggang itu seolah membeku jadi patung semuanya. Orang-orang yang tadi memihak Im Hai-lip, sekarang menundukkan kepala waktu sorot mata Yo Kian-hi yang menyala itu menyambar mereka.
Yo Kian-hi menuding Im Hai-lip sambil berkata, "Orang ini licik sekali. Aku tidak memfitnahnya, tetapi mata kalian sudah melihat sendiri berulang kali, bagaimana ia tidak segan-segan bertindak curang asal tujuannya tercapai? Orang macam inikah yang berjanji memimpin kalian meneruskan perjuangan Sri Baginda?"
Orang-orang bungkam semua. Toan Ai-liong lalu melangkah maju, katanya, "Perwira Yo, perlu bagimu untuk segera memperhatikan luka-lukamu."
Yo Kian-hi mengangguk, lalu ia menjepit pangkal jeruji besi yang menancap di lengannya itu, sambil mengertak gigi ia mencabutnya. Dahinya sampai mengeluarkan keringat karena menahan sakit. Untung jeruji itu tidak mengenai tulangnya.
Toan Ai-liong merobek bajunya sendiri untuk membalut luka Yo Kian-hi, namun Yo Kian-hi mengeluarkan sebuah botol porselen kecil diberikan kepada Toan Ai-liong sambil berkata, "Taburi dulu mulut lukanya dengan ini. Setelah itu baru dibalut."
"Baik, Perwira Yo."
Yo Kian-hi mengeluarkan pula obat yang lain, diberikan kepada salah seorang di situ sambil berkata, "Ini obat luka dalam. Minumkan kepada Im Hai-lip. Kesalahannya belum setimpal dibayar dengan kematian."
Dengan sikap itu, Yo Kian-hi berhasil menaklukkan hati semua bekas pengikut Pelangi Kuning yang berkumpul di situ. Termasuk orang-orang yang tadinya memihak Im Hai-lip.
Usai lukanya dibalut, dengan agak susah-payah karena geraknya terganggu lukanya, Yo Kian-hi menggendong kembali sepasang pedangnya, juga pundi tembaga tempat abu jenazah Kaisar Tiong-ong itu. Katanya, "Aku harus melanjutkan perjalananku, mengubur abu jenazah ini di kampung halaman Sri Baginda di Kam-siok."
"Lukamu, Perwira Yo."
"Tidak jadi soal. Saudara Toan, kau bersikap cukup dewasa. Tolong bimbing teman-teman di sini agar tidak mengambil sikap yang keliru. Apa gunanya kita berhasil melampiaskan dendam dan melihat para pangeran Beng saling menghancurkan, tetapi kemudian negeri ini dikuasai Manchu seluruhnya?"
"Aku paham, Perwira Yo. Aku percaya pesan Sri Baginda yang kau bawa itu."
"Tolong dia sampai sembuh....." kata Yo Kian-hi sambil menuding Im Hai-lip yang sedang dirawat orang-orang. "Tetapi jangan turuti pikiran-pikirannya. Dia itu pahlawan kesiangan."
"Baik, Perwira Yo."
Yo Kian-hi bangkit dan kemudian melangkah pergi, menghilang di kegelapan malam...