Puing Puing Dinasti Jilid 01 karya Stevanus S.P - MENTARI sudah menempuh sepertiga dari lengkung langit perjalanannya, namun pegunungan itu masih teduh, bahkan kabut tipis yang tergantung rendah masih menyelubungi beberapa bagian permukaannya, karena cahaya mentari tertahan oleh tebing-tebing pegunungan.
Suasana pegunungan itu sungguh tenteram dan damai, jauh dari hiruk-pikuknya perang perebutan kekuasaan yang terjadi di pusat-pusat negeri. Penduduk pegunungan ini tidak berkelompok melainkan berpencaran jauh satu sama lain. Yang namanya "tetangga dekat", jaraknya bisa setengah hari perjalanan, namun penduduk pegunungan itu mengenal baik satu sama lain meski tidak tiap hari bertemu.
Pekerjaan dan pembicaraan mereka sehari-hari hanya menyangkut tanah ladang, pupuk, binatang buruan, musim dan hal-hal sederhana lainnya. Sedikitpun mereka tidak mau tahu soal Kaum Pelangi Kuning mengambil-alih pemerintahan dari dinasti Beng melalui pemberontakan besar.
Orang-orang pegunungan ini juga tidak tahu sedikit pun bahwa kaum Pelangi Kuning sudah meninggalkan Ibukota Pak-khia setelah sempat memerintah kurang dari dua bulan, karena Pak-khia diserbu tentara asing Manchu setelah kaum Pelangi Kuning menderita kekalahan hebat di It-pian-sek.
Lingkungan pegunungan ini seolah suatu dunia tersendiri, terpisah, tak ada sangkut-paut dengan dunia luar. Yang belum jemu berperang di luaran sana, berperanglah sesuka hatimu, tapi jangan dekat-dekat kami, begitu kalau bisa dirumuskan sikap penghuni pegunungan ini.
Siang itu, di bawah keteduhan bayang-bayang pegunungan dan pohon-pohon besarnya yang masih alami, dua sosok tubuh berjubah putih melangkah ringan di atas jalan setapak, mendaki pegunungan. Mereka adalah dua orang nikouw (Bhikuni) yang kepala gundulnya memakai topi tebal yang menutupi kuping dan tengkuk mereka.
Yang seorang berusia kira-kira empat puluhan tahun, tegap mirip laki-laki, kulitnya agak gelap dan sorot matanya keras. Seorang lagi berusia dua puluhan tahun, cantik, dan kecantikan itu tak pudar dalam dandanannya sebagai pendeta wanita. Langkah-langkah mereka tangkas dan ringan. Karena jarak antara rumah penduduk pegunungan berjauhan satu sama lain, mereka jarang bertanya orang. Namun agaknya kedua Bhikuni itu sudah punya tujuan yang pasti.
Setelah sekian lama melangkah di tanah yang seolah belum terjamah, mereka menjumpai ladang sayuran dan buah-buahan yang ditanam secara sederhana di lahan yang miring letaknya. Macam-macam tanamannya, ada buah-buahan, sayur-sayuran, kacang-kacangan dan umbi-umbian. Bahkan terdengar juga kambing mengembik biarpun tidak kelihatan ujudnya.
Lalu mereka jumpai sebuah rumah berdinding tanah liat, atapnya atap ilalang, halamannya luas. Di samping rumah ada seorang lelaki berusia dua puluh tujuh atau dua puluh delapan tahun, sedang membelah kayu. Wajahnya yang keras dan tubuhnya yang berotot tanpa baju itu bermandi keringat.
Si Bhikuni yang muda tersenyum sambil geleng-geleng kepala, komentarnya perlahan, "Wah, wah, wah..... batang-batang kayu yang malang itu mana bisa menahan Si Panglima kenamaan dinasti Beng?"
Si pembelah kayu membalikkan tubuh dengan cepat, matanya berkilat waspada. Tetapi demi melihat siapa yang bicara, ia tercengang dan kewaspadaannya mengendor. Kapak pembelah kayunya terkulai ke tanah, bibirnya tergagap, "Tu..... Tuan..... Pu....."
Si Bhikuni muda mengangkat tangannya menghentikan bicara Si pembelah kayu, "Panglima Helian Kong, aku bukan lagi Tuan Puteri Tiang-ping yang kau kenal dulu. Aku sekarang adalah Bhikuni Siok-sim. Semoga Buddha memberkatimu."
"Aku pun bukan panglima lagi."
"Mungkin. Tetapi darma-baktimu tetap dibutuhkan negeri ini."
"Itu aku tahu, Tuan Pu....."
"Bhikuni Siok-sim!" Si Bhikuni meralat sebutan Si pembelah kayu. "Dan ini saudara seperguruanku dalam bidang agama, Bhikuni Siok-bing."
"Baiklah, Bhikuni Siok-sim. Tapi kalau seorang Tuan Puteri bisa menjadi seorang biarawati, kenapa seorang panglima tidak boleh menjadi seorang peladang di pegunungan?"
"Dalam kemelut negeri seperti ini, sungguh tidak bertanggung jawab melarikan diri ke pegunungan dan mencari ketenteraman diri sendiri."
Hampir saja Helian Kong menjawab, "Dan tidak pantas seorang Bhikuni masih begitu terikat oleh masalah-masalah keduniawian." Namun kata-kata itu tak terucapkan, meski Bhikuni cantik di depannya itu tidak lagi berdandan sebagai seorang puteri istana, namun terlalu sulit bagi Helian Kong untuk melupakan, bahwa yang di hadapannya ini adalah Puteri Tiang-ping, puteri Kaisar Cong-ceng dari dinasti Beng yang dulu diabdi Helian Kong.
Helian Kong juga sulit menahan rasa haru melihat salah satu lengan jubah Bhikuni Siok-sim kosong melambai- lambai, tanpa isi, karena Bhikuni yang muda dan cantik ini hanya memiliki satu tangan. Salah satu tangannya terbacok putus oleh ayahandanya sendiri. Kaisar Cong-ceng, ketika istana kerajaan diserbu kaum Pelangi Kuning.
"Wah, wah, wah..... batang-batang kayu yang malang itu mana bisa menahan Si Panglima kenamaan dinasti Beng?"
Helian Kong menjawab, "Aku tetap berbakti. Aku tidak sekedar berladang, beternak dan berburu untuk mencari ketenteraman diri sendiri, tetapi aku mengajar anak-anak di sekitar sini....."
"Mengajar apa? Silat? Ilmu keprajuritan?"
"Tidak. Membaca dan menulis dan sedikit pengetahuan."
"Buat apa? Sekarang negeri ini butuh lelaki-lelaki pemberani yang bisa memainkan senjata untuk membendung meluasnya wilayah yang sudah diduduki Manchu. Bukan orang-orang yang sekedar pintar membaca, menulis atau bersyair."
"Hanya itu yang bisa kulakukan sekarang, Bhikuni."
"Kau tidak lagi mempedulikan lagi nasib negeri ini?"
"Aku..... sudah berulang kali dikecewakan. Semua berjalan di luar perhitunganku. Ada atau tidaknya seorang Helian Kong tidak mempengaruhi jalannya sejarah negeri ini. Yang akan terjadi, terjadilah. Bukan urusanku lagi."
"Saudara Helian, soal sahabatmu Bu Sam-kui menakluk kepada Manchu dan membawa tentara Manchu ke negeri ini, bukan salahmu. Aku tidak menyalahkanmu. Juga tidak seorang pun dari teman-teman seperjuangan kita menyalahkanmu. Kami semua tahu bagaimana Saudara Helian bekerja mati-matian untuk menghindarkan terjadinya hal buruk ini, bahkan Saudara mengabaikan diri Saudara dan keluarga Saudara sendiri. Kami tahu itu, dan kami menghargai itu....."
Pengakuan betapa berartinya Helian Kong itu mestinya bisa mengobarkan kembali semangat Helian Kong untuk terjun ke kancah perjuangan. Tetapi kekecewaan berat demi kekecewaan berat yang mendera jiwanya membuat Helian Kong tidak bersemangat lagi untuk ikut dalam pergulatan kekuasaan di dunia ramai sana. Dunia yang terlampau sulit diduga.
Helian Kong bahkan belum bisa terima, bahwa sahabat baiknya, Bu Sam-kui, menjadi penjual negara ke tangan orang Manchu, gara-gara diamuk cemburu setelah mendengar bahwa Si Cantik Tan Wan-wan dikehendaki oleh Li Cu-seng, pemimpin Pelangi Kuning. Tan Wan-wan sendiri pernah mengisi hati Helian Kong, sebelum sekarang ini Helian Kong menjadi suami Siangkoan Yan, bahkan sudah punya anak berumur lima bulan.
"Terima kasih kalian tidak menyalahkan aku....."
"Kami ini punya otak. Kami tahu yang sudah kau lakukan, bahkan sejak Si Dorna Co Hua-sun masih berpengaruh dulu. Kami belum gila untuk mencampuradukkan antara jasa-jasamu dengan kesalahan Bu Sam-kui."
"Terima kasih."
Bhikuni Siok-sim yang dulunya adalah Puteri Tiang-ping, agak bingung juga bagaimana caranya membangkitkan semangat juang Helian Kong yang sudah padam ini. Nampaknya Helian Kong lebih suka mengganti pedangnya dengan cangkul, dan terbius ketenteraman di pegunungan sunyi ini. Namun setitik harapan Bhikuni Siok-sim terbangkitkan lagi ketika mendengar Helian Kong tiba-tiba bertanya,
"Bagaimana Bu Sam-kui sekarang?"
Ini tandanya Helian Kong masih ada sedikit perhatian terhadap perkembangan dunia luar. Bhikuni Siok-sim langsung menyambar kesempatan ini untuk menyalakan kembali semangat Helian Kong. Katanya, "Teman kita itu....."
"Kumohon, jangan sebut lagi dia sebagai 'teman kita' biarpun hanya bercanda atau berkelakar. Terlalu menyakitkan hati."
"O, maaf. Kusebut saja bekas teman kita itu berhasil mendapatkan wanita impiannya, Tan Wan-wan, yang dia rebut dari tangan Li Cu-seng dengan menggunakan kekuatan orang Manchu. Tetapi dia belum puas hanya dengan memiliki Tan Wan-wan. Dia memimpin pasukan besar orang Manchu untuk mengejar Li Cu-seng. Dia jepit Li Cu-seng di Pegunungan Kiu-kiong-san. Kabarnya Li Cu-seng sendiri akhirnya tewas kena perangkap harimau di pegunungan, perangkap yang dipasang para pemburu....."
Helian Kong tiba-tiba menarik napas sedih. Padahal Li Cu-seng yang diceritakan Bhikuni Siok-sim itu adalah bekas musuh besar Helian Kong, sebab Helian Kong adalah bekas panglima Kerajaan Beng dan Li Cu-seng adalah pemimpin pemberontak Pelangi Kuning yang menyudahi riwayat dinasti Beng.
Tetapi mendengar nasib akhir Li Cu-seng itu, Helian Kong yang semestinya gembira malahan tidak gembira. Sebaliknya mendengar kemenangan Bu Sam-kui, bekas sahabat karibnya, Helian Kong malah tidak bergembira sedikit pun. Ia membayangkan negerinya diserbu tentara asing dan Bu Sam-kui malah memihak tentara asing itu, hanya demi seorang perempuan bernama Tan Wan-wan.
Gejolak hati Helian Kong itu dapat dirasakan oleh perasaan Bhikuni Siok-sim yang sudah bertahun-tahun menjadi sahabatnya. Diam-diam pendeta wanita ini berharap agar ia dapat menggerakkan Helian Kong untuk "keluar sarang" kembali.
Kata Bhikuni Siok-Sim lebih lanjut, "Aku kenal Bu Sam-kui. Ia bukan orang jahat sebenarnya. Tetapi kelemahannya adalah, dia menganggap Tan Wan-wan sebagai sesuatu yang paling penting, bahkan lebih penting dari negeri leluhurnya sendiri. Kelemahan inilah yang dimanfaatkan oleh Manchu sehingga Bu Sam-kui dapat diperalat demikian rupa. Sekarang ini Tan Wan-wan ada di Pak-khia, di tangan orang-orang Manchu.
"aka orang-orang Manchu dapat menyuruh Bu Sam-kui pergi ke mana saja dan menggempur siapa saja. Sehabis membereskan Li Cu-seng di Kiu-kiong-san, sekarang Bu Sam-kui sedang membawa pasukan besar Manchu ke barat, ke Propinsi Siam-sai, untuk membentuk basis di sana. Dari sana akan mencoba menyerbu ke Propinsi Se-cuan, merebut Propinsi 'gudang beras' itu....."
Helian Kong menarik napas, "Berarti Bu Sam-kui akan berhadapan dengan Jenderal Thio Hian-tiong yang mempertahankan Propinsi itu. Jenderal kita yang terkenal dengan pasukan Thai-se-kunnya yang gagah perkasa, dan empat perwiranya yang merupakan macan-macan di medan laga. Li Teng-kok yang cerdik, Sun Ko-bong, Ngai Leng-ki dan Lau Bun-siu. Hem, anjing-anjing Manchu itu akan kena batunya ketemu dengan macan-macan dinasti Beng ini....."
Waktu mengucapkan ini, tak terasa Helian Kong mengepal-ngepalkan tinjunya. Bhikuni Siok-sim diam-diam memperhatikannya dan tertawa dalam hatinya, "Kalau matahari terbit dari sebelah barat, baru aku percaya bahwa Helian Kong tidak lagi menggubris nasib negeri ini....."
Tetapi Bhikuni Siok-sim menahan diri, tidak menunjukkan perasaan senang bahwa "pancingan"nya kena. Kata-katanya tetap seperti orang berkisah biasa, tidak ada kata-kata menghasut atau membakar emosi, "Entahlah. Kedua pasukan besar itu sedang menempati posisinya masing-masing dan belum kontak senjata."
Seolah seorang "supporter" saja, Helian Kong membayangkan dua pasukan yang berhadapan itu, dan berkata dengan geregetan, "Ayo, kawan-kawanku. Bikin anjing-anjing Manchu itu tahu bahwa tidak semua dari kita sekualitas dengan Bu Sam-kui yang lembek. Ayo, tunjukkan kegagahanmu, Thio Hian-tiong, Thio Hong-goan, The Ci-liong, Su Kho-hoat....."
Begitu mendengar nama terakhir yang diucapkan Helian Kong ini, Bhikuni Siok-sim tiba-tiba mengusap matanya yang basah sambil mendesah sedih, "Ah, Jenderal Su Kho-hoat....."
Saudari seperguruannya, Bhikuni Siok-bing cepat menghibur, baru kali ini ia bersuara dan ternyata suaranya juga mirip suara laki-laki. "Sudahlah, Adik Siok-sim. Guru kita sering bilang bahwa ikatanmu dengan masa lalu membuat kau sulit meningkat dalam pelajaran agama. Jiwamu belum bersih....."
"Aku hanya menyesali kepergian seorang pahlawan besar, juga gugurnya ribuan rakyat dinasti Beng yang tak bersalah....." sahut Bhikuni Siok-sim sambil terus mengusap-usap matanya.
Perkataan-perkataan kedua Bhikuni itu membuat Helian Kong mematung kaget. "Apa maksud..... Bhikuni..... dengan kepergian seorang pahlawan besar?"
"Jenderal Su Kho-hoat yang tulus dan setia itu sudah tiada. Gugur ketika mempertahankan Yang-ciu dari serbuan Manchu. Habis merebut Yang-ciu, serdadu-serdadu Manchu melampiaskan kebiadaban mereka dengan membantai rakyat tak berdosa....."
Kali ini sulit untuk mengatakan bahwa omongan Bhikuni Siok-sim tidak menghasut, sebab Helian Kong tiba-tiba berdiri dengan wajah merah padam dan dua tinju terkepal keras. "Bangsat-bangsat Manchu....."
Peristiwa itu yang di kemudian hari dalam sejarah tercatat sebagai peristiwa "pembantaian sepuluh hari di Yang-cui dan tiga hari di Ke-teng" yang selalu digunakan oleh sisa-sisa dinasti Beng untuk mengobarkan kebencian terhadap orang Manchu. Dan kali ini juga berhasil membakar hati Helian Kong.
Apalagi waktu Bhikuni Siok-sim menambahkan, "Dua pasukan besar Manchu saat ini bergerak ke dua arah. Yang menuju ke barat dipimpin Bu Sam-kui untuk merebut propinsi gudang beras alias Se-cuan, pasukan besar yang lain bergerak ke selatan dan mengincar pelabuhan-pelabuhan di sepanjang pantai timur. Dua pasukan besar itu bagaikan dua lengan raksasa yang hendak merangkul dan mencekik seluruh Tiong-goan ini ke dalam rangkulannya....."
Bhikuni Siok-bing menukas, "Adik Siok-sim, penyembah-penyembah Buddha seperti kita ini bukan saja harus mampu menghilangkan dendam dalam diri sendiri, tetapi juga harus menerangi hati orang lain agar orang lain pun tidak diracuni dendam. Bukan malah mengobarkan dendam di hati orang lain."
"Aku tahu, Kakak Siok-bing. Aku sekedar memberitahukan kenyataan kepada Saudara Helian ini, supaya dia jangan tidak tahu apa-apa. Bukankah pembantaian di Yang-ciu dan Ke-teng serta gugurnya Jenderal Su Kho-hoat itu adalah kenyataan? Aku sekedar memberitahu, tanpa menambah dan menguranginya."
Bhikuni Siok-bing tidak mampu membantah lagi. Sementara Helian Kong berkata pula, "Jangan sembunyikan apa-apa dari aku. Ada berita apalagi di luaran?"
Bhikuni Siok-sim melirik dulu ke arah kakak seperguruannya sebelum berkata, "Di Lam-khia, ibukota lama dinasti Beng, akan berkumpul orang-orang yang masih setia kepada dinasti Beng. Para jenderal, para pembesar daerah, para pangeran. Kemungkinan besar mereka akan menobatkan seorang Raja baru. Bukankah separuh negeri ini, belahan selatannya, masih milik kita?"
"Di Lam-khia?"
"Ya."
"Kalau begitu, Pangeran Hok-ong yang menjadi tuan rumah pertemuan ini?"
"Betul."
"Ada kabar siapa saja yang akan hadir?"
"Aku peroleh kabarnya. Antara lain Kakanda....."
Bhikuni Siok-bing buru-buru mengingatkan, "Adik Siok-sim, ingat, kau sekarang sudah menjadi Jut-keh-jin (Orang yang meninggalkan ikatan keluarga untuk mengabdi kepada agama)."
Bhikuni Siok-sim tersadar bahwa sebutan "kakanda" tadi tidak lagi sesuai dengan statusnya saat itu. Maka diubahnya istilahnya, "Kudengar akan hadir Pangeran Kong-ong, Pangeran Tong-ong, Pangeran Lou-ong dan Pangeran Kui-ong....."
Kalau membicarakan bekas teman-temannya sesama panglima-panglima dinasti Beng, maka semangat Helian Kong jadi berkobar-kobar karena terkenang kegagah-perkasaan mereka dan pengabdian tulus mereka kepada dinasti. Tetapi begitu membicarakan kaum bangsawannya, semangat Helian Kong sepertinya padam kembali.
Teringat akan kaum bangsawan dinasti Beng, benar-benar membuat Helian Kong agak jemu. Merekalah kaum tukang berfoya-foya yang tidak henti-hentinya saling sikut-sikutan berebutan pengaruh di antara mereka sendiri. Membayangkan bahwa di antara sisa-sisa dinasti Beng itu tak akan bakal ada persatuan, membuat Helian Kong putus-asa dan itulah salah satu alasannya kenapa dia bersembunyi di pegunungan dan mencoba mengacuhkan perkembangan di luar.
Kini mendengar para bangsawan sisa dinasti Beng hendak berkumpul di Lam-khia, bukannya Helian Kong senang, malahan ia khawatir jangan-jangan Ibukota Lama dinasti Beng itu akan jadi arena gontok-gontokan para pangeran itu memperebutkan kedudukan sebagai Kaisar dinasti Beng?
Kalau gontok-gontokannya secara pribadi antara para pangeran itu, Helian Kong tidak akan terlalu ambil pusing, tetapi bagaimana kalau mereka melibatkan pasukan-pasukan besar yang mendukung mereka? Bukankah rakyat kecil akan menderita lagi, dan tidak berketentuan nasibnya?
Helian Kong tahu, di antara para pangeran di selatan itu ada yang kuat, ada yang lemah, tetapi semuanya punya ambisi menduduki tahta dan meneruskan dinasti. Yang kuat adalah Pangeran Hok-ong di Lam-khia sebagai tuan rumah pertemuan kali ini, Pangeran Tong-ong yang berkedudukan di Hok-kian dan erat hubungannya dengan ayah-beranak Jenderal The Ci-liong dan anaknya Laksamana The Seng-kong yang menguasai angkatan laut kerajaan di wilayah selatan.
Ada lagi Pangeran Lou-ong di Ciat-kang yang mungkin dekat hubungannya dengan Jenderal Thio Hong-gan yang juga punya pasukan kuat. Ada lagi Pangeran Kui-ong alias Cu Yu-long di Propinsi Kui-sai dan Hun-lam yang belakangan ini gigih menjalin hubungan baik dengan Jenderal "penguasa gudang beras" Thio Hian-tiong di Se-cuan.
Tetapi pangeran-pangeran yang lemah seperti Pangeran Kong-ong belum tentu tinggal diam, bisa saja memakai taktik mengadu domba di antara saudara-saudaranya yang kuat sehingga dirinya sendiri bisa mengambil keuntungan. Belum lagi para penguasa daerah yang bukan keturunan Kaisar, yang tentu akan bingung menentukan pilihan.
Atau daripada bingung-bingung, bagaimana kalau mencalonkan diri sendiri saja? Gambaran ruwet itu membuat Helian Kong putus asa kembali. Ada jenderal-jenderal yang berdedikasi, tetapi apa gunanya kalau para pangerannya sendiri sulit bersatu?
Bhikuni Siok-sim memahami gejolak hati Helian Kong, lalu ia berkata, "Saudara Helian, barangkali tak satu pun di antara pangeran itu yang cukup pantas untuk disujudi jutaan rakyat yang masih di wilayah dinasti Beng, mengingat Kepribadian mereka. Tetapi aku percaya, di bawah tekanan dari para jenderal, para pangeran itu mau tidak mau harus menyesuaikan diri. Mungkin akan terpilih seorang sebagai Kaisar baru dinasti Beng, yang baik karena terpaksa, baik karena ditekan, tetapi itu lebih baik daripada kita tercerai-berai sehingga menguntungkan Manchu."
Tak sepatah kata pun dari Bhikuni Siok-sim yang terang-terangan mengajak Helian Kong datang "ikut ramai-ramai" di Lam-khia. Tapi dalam perkataan itu, seperti memberi harapan bahwa meskipun tak ada satu pun pangeran yang cukup baik menjadi Kaisar, namun para jenderal dengan kekuatan pasukannya bisa menjadi kelompok yang mampu mempengaruhi para calon Kaisar untuk menuruti ukuran moral mereka. Jalan pikiran Bhikuni Siok-sim bisa Helian Kong pahami. Kaisar menjadi pengikat persatuan dalam menghadapi Manchu yang semakin mendesak dari utara.
"Mudah-mudahan....." hanya itu komentar Helian Kong.
Bhikuni Siok-sim menjadi agak gemas juga melihat sikap acuh tak acuh itu. Akhirnya ia tidak lagi bicara berbelit-belit, melainkan langsung mendorong Helian Kong, "Saudara Helian, kau bisa menjadi salah satu unsur dalam kelompok para jenderal yang harus memilih dan menetapkan ukuran bagi para calon Kaisar itu....."
Helian Kong menggeleng, "Tidak. Aku bukan apa-apa di antara patriot-patriot besar seperti jenderal-jenderal itu, aku juga tidak punya lagi pasukan puluhan ribu orang seperti jenderal-jenderal itu. Aku tidak punya sesuatu yang pantas untuk bisa menekan para calon Kaisar. Pertemuan di Lam-khia itu takkan ada bedanya baik aku hadir atau tidak. Sebaliknya di tempat ini aku sangat berguna. Aku mengajar anak-anak gunung yang buta huruf itu membaca dan menulis dan sedikit pengetahuan."
Sekarang Bhikuni Siok-simlah yang geleng-geleng kepala sambil menarik napas, "Helian Kong, kau terlalu memandang rendah dirimu sendiri, padahal teman-temanmu tidak memandangmu seperti itu. Kau memang tidak punya puluhan ribu prajurit yang berbaris di belakangmu, bahkan satu pun tidak punya, tetapi orang tahu ketulusan dan kesetianmu sudah teruji dalam berbagai peristiwa genting. Orang kagum kepadamu. Kau adalah sebuah kekuatan moral. Siapapun yang berjuang sepihak denganmu akan yakin bahwa dia di pihak benar, dan ini menaikkan semangat. Dengan semangat berlipat ganda, jumlah prajurit kita yang ada sekarang ini pun seakan-akan juga akan berlipat-lipat kekuatannya!"
"Bukan aku terlalu memandang rendah diriku, tetapi teman-teman di luar itulah yang terlalu memandang tinggi aku....."
"Saudara Helian Kong, berhentilah berbasa-basi."
"Aku tidak berbasa-basi. Kenyataannya, aku gagal mengumpulkan prajurit-prajuritku kembali, mereka minggat entah ke mana setelah peristiwa itu."
"Peristiwa apa?"
"Peristiwa ketika pasukanku diracuni secara massal di sebuah desa oleh rencana busuk Gu Kim-sing. Habis peristiwa itu, aku berpisah dengan pasukanku dan berjanji akan bergabung kembali di suatu tempat untuk meneruskan perjuangan. Ternyata mereka tidak berkumpul lagi di tempat itu."
"Saudara Helian, kau sudah melakukan banyak perbuatan gagah berani yang dikagumi. Jangan sampai kegagalan yang hanya satu kali itu melenyapkan semangatmu. Datanglah ke Lam-khia, kau akan bertemu dengan teman-teman lamamu dan saling menceritakan kejadian- kejadian di masa lalu dan kau akan bergembira. Seandainya kau tidak berminat untuk berjuang lagi, setidak-tidaknya bisa bertemu teman-teman lama untuk melepas rindu."
Helian Kong sebenarnya sudah mulai agak tertarik, namun masih ada satu soal yang mengganjal hatinya. "Aku anggap mereka sebagai teman-temanku, tetapi belum tentu mereka anggap aku sebagai teman mereka lagi."
"Kenapa kau punya perasaan demikian?"
"Karena aku temannya Bu Sam-kui Si penjual negara."
"Saudara Helian Kong, kapan kau mau berhenti menuduh diri sendiri dan bersikap tidak adil kepada dirimu sendiri? Teman-teman tahu masalah ini, dan tak ada yang menyalahkanmu. Mereka bisa berpikir, Bu Sam-kui ya Bu Sam-kui, Helian Kong ya Helian Kong. Orangnya berbeda, perbuatanmu juga berbeda."
"Apa betul begitu?"
"Aku tidak bohong. Teman-teman merindukanmu. Pertemuan di Lam-khia pasti terasa kurang tanpa kehadiranmu."
Helian Kong termangu-mangu. Hatinya terbelah dua, sebagian ingin ke Lam-khia untuk bertemu teman-teman lama, sebagian ingin tetap tinggal di tempat sepi ini menjauhi hiruk-pikuknya orang berebutan kekuasaan duniawi. Helian Kong sadar, begitu bertemu teman-teman lamanya, sulit untuk bersikap acuh terhadap apa yang teman-temannya sedang perjuangkan. Pasti ia akan terlibat atau dilibatkan.
"Bagaimana, Saudara Helian?"
"Tidak mudah memutuskan. Beri aku berpikir beberapa waktu."
Bhikuni Siok-sim tidak mendesak lebih jauh. Ia sudah cukup lama kenal sifat Helian Kong yang tidak mungkin acuh tak acuh terhadap keselamatan negeri. Rasanya biarpun Helian Kong belum mengucapkan kepastian jawabannya, Bhikuni Siok-sim sudah bisa menerka jawaban Helian Kong. Itulah sebabnya ia tidak lagi terlalu mendesak.
"Baiklah, aku hanya mengetuk hati-nuranimu sebagai anak negeri ini. Bagaimana tanggapanmu, terserah kepadamu sendiri."
"Aku mempersilahkan kepada Bhikuni berdua untuk bermalam beberapa malam di pondok kami."
"Tidak bisa. Aku masih harus ke Hok-kian. Menemui dan menengok keadaan Adinda..... eh, Pangeran Cu Sam yang dulu kutitipkan kepada Yan-peng Kun-ong."
Pangeran Cu Sam adalah putera Kaisar Cong-ceng, adik Bhikuni Siok-sim. Ia masih kecil ketika Pak-khia direbut laskar Pelangi Kuning, kemudian ketika Pak-khia direbut lagi oleh tentara Manchu yang memperalat Bu Sam-kui, bekas anggota keluarga Kerajaan Beng banyak melarikan diri.
Puteri Tiang-ping dan adik laki-lakinya yang masih kecil, Pangeran Cu Sam, diselamatkan oleh seorang Bhikuni tua yang kemudian menjadi guru Puteri Tiang-ping yang mengubah nama jadi Bhikuni Siok-sim. Sedang Pangeran Cu Sam dititipkan kepada Laksamana The Seng-kong yang bergelar Yan-peng Kun-ong tadi.
"Jadi Pangeran Cu Sam selamat?" tanya Helian Kong antusias.
"Benar, dalam asuhan Yan-peng Kun-ong."
"Bukankah dia Putera Mahkota, pewaris tahta yang syah?"
"Sebenarnya begitu. Tetapi adikku itu masih terlalu kecil, maka aku singkirkan dia dari arena perebutan tahta yang terlalu berbahaya buat dia. Tindakanku mudah-mudahan juga menjadi teladan buat calon-calon Kaisar yang tahu dirinya kurang mampu, agar mengundurkan diri secara suka rela."
"Teladan orang-orang yang mengundurkan diri dari arena kekuasaan biasanya sulit dicontoh, Bhikuni. Orang lebih senang mencontoh seorang penakluk, yang berhasil mendapatkan sesuatu meskipun yang bukan haknya."
"Jangan kecil hati, Saudara Helian. Bukankah kukatakan tadi, para jenderal bisa menjadi kelompok yang akan menekan dan mempengaruhi para bangsawan agar tingkah laku mereka tidak merugikan negeri?"
"Ya. Kalau para jenderal itu sendiri tidak terpecah-belah dan mendukung pilihan favoritnya masing-masing."
"Karena itu, supaya jangan sampai jenderal-jenderal itu terpecah-belah dan berbeda pilihan, harus ada yang mempengaruhi mereka untuk bersatu. Kau bisa menjadi pemersatu itu, Saudara Helian."
"Belum-belum Bhikuni sudah menaruh sesuatu yang terlalu besar dan terlalu berat di pundakku."
"Tidak terlalu berat, tidak terlalu besar, buat yang benar-benar mencintai negeri ini."
Kedua Bhikuni sudah berdiri untuk berpamitan dan memberi salam dengan merangkapkan dua telapak tangan di depan tubuh. Bhikuni Siok-sim berkata, "Kami berpamitan. Sampaikan salamku kepada isterimu."
"Baik, Bhikuni."
Waktu itu isteri Helian Kong sedang pergi ke tetangga terdekat untuk membantu seorang wanita yang hendak melahirkan. Di pegunungan itu, yang disebut "tetangga terdekat" rumahnya bisa sepuluh atau dua puluh li dari situ, maka Helian Kong tidak sempat memanggil isterinya untukmenemui Bhikuni Siok-sim, meskipun keduanya bersahabat sejak Bhikuni Siok-sim disebut Puteri Tiang-ping. Kedua biarawati itu pun meninggalkan Helian Kong.
Sepeninggal mereka berdua, Helian Kong tidak lagi melanjutkan membelah kayu. Ia memakai bajunya dan cuma duduk termangu-mangu seharian, merenungkan percakapannya dengan Bhikuni Siok-sim tadi. Pergulatan dalam hatinya berlangsung antara keterikatannya dengan tempat yang sepi itu, melawan semangat juangnya yang kembali berkobar setelah "dinyalakan" oleh Bhikuni Siok-sim tadi.
Menjelang matahari terbenam, penghuni-penghuni rumah yang lainnya berkumpul kembali. Siangkoan Yan isteri Helian Kong dalam pakaian seorang perempuan gunung, datang dengan menggendong anaknya dalam sebuah keranjang rotan di punggungnya. Anak yang bernama Helian Beng itu tidur pulas.
"Persalinannya lancar....." kata Siangkoan Yan ketika melewati suaminya di halaman samping. Kurang diperhatikannya air muka suaminya yang sedang mencerminkan pergulatan batinnya. "Dapat anak kembar dia."
Isterinya terus masuk ke dalam rumah. Kemudian kakak laki-laki Siangkoan Yan, yaitu Siangkoan Heng, juga datang membawa seikat kayu bakar dan beberapa ekor binatang buruan. Dandanannya pun tidak ubahnya orang gunung lainnya, tidak peduli ayahnya dulu adalah seorang menteri Kerajaan Beng.
"Besok kita bisa pesta besar!" katanya gembira, sambil melangkah masuk rumah.
Waktu makan malam, barulah Helian Kong menceritakan pertemuannya dengan Bhikuni Siok-sim yang bukan lain adalah mantan Puteri Tiang-ping, dan apa yang didengarnya di luaran serta yang mereka perbicangkan. Kakak beradik Siangkoan sama-sama prihatin mendengar berita gerakan pasukan Manchu dan gugurnya Jenderal Su Kho-hoat mempertahankan Yang-ciu.
Tetapi ketika membicarakan pertemuan di Lam-khia, nampaknya ada setitik harapan yang muncul. Sebagai anak-anak Siangkoan Hi almarhum, seorang menteri yang sangat berbakti, kedua anak itu mendapat didikan cinta tanah air sejak kecil, mereka juga tidak bisa acuh tak acuh akan keadaan di luaran. Malam itu tidur seisi rumah jadi gelisah semuanya.
Esoknya mereka bertiga bicara terang-terangan, dan mereka temukan suatu pernyataan jujur lewat kata-kata Siangkoan Heng, "Selama kita berdiam di tempat ini, kita tidak benar-benar tenteram. Kita cuma berlagak tenteram. Ternyata semangat yang menyala di dada kita tidak pernah padam, memang pernah mengecil dan hampir padam, tetapi tidak pernah benar-benar padam."
"Jadi?" tanya Siangkoan Yan dengan mata berkilat-kilat. Sorot mata Siangkoan Yan yang bergairah itu menunjukkan kalau dia pun sebenarnya hanya "pura-pura tenteram" di tempat sepi ini. Dan sekarang ibu muda ini agaknya siap memegang pedang kembali di kancah perjuangan, meski dengan seorang anak berumur setengah tahun di gendongannya.
"Kita ke Lam-khia," kata Helian Kong dan Siangkoan Heng bersamaan, meski tidak berjanji sebelumnya.
Persiapan pun diadakan. Perjalanan akan cukup jauh, apalagi dengan membawa seorang anak kecil. Dan sebagian besar bekal yang disiapkan adalah bekal bagi Si Kecil ini, sedang ketiga orang dewasanya tidak membawa banyak barang, yang terutama adalah pedang mereka.
Selain itu, mereka menyerahkan ladang dan ternak mereka untuk diteruskan perawatannya oleh para tetangga. Yang tidak kalah pentingnya adalah kuburan dari Menteri Siangkoan Hi, ayah Siangkoan Heng dan Siangkoan Yan, yang berkubur di pegunungan sepi itu.
Beberapa hari kemudian, setelah bersembahyang di kuburan Menteri Siangkoan Hi, rombongan kecil itu pun berangkat meninggalkan pegunungan yang untuk beberapa waktu menjadi tempat tinggal mereka. Langkah mereka menuju ke Lam-khia.
Belasan hari kemudian, mereka sudah meninggalkan daerah pegunungan yang sepi, dan mulai berjalan di jalan raya. Selama masih di pegunungan, suasana perang tidak terasa, namun begitu menginjak dunia ramai, suasana itu terlihat. Rombongan-rombongan pengungsi berjumlah banyak atau sedikit sering terlihat. Semuanya menuju ke arah selatan.
Berita pembantaian di Yang-ciu dan Ke-teng membuat orang-orang kecil yang seumur hidup didera ketakutan akan perang ini mengungsi, berpisah dengan harta benda, kadang-kadang juga berpisah dengan orang-orang tercinta.
Rombongan Helian Kong juga nampak seperti pengungsi, apalagi karena mereka menyembunyikan pedang-pedang mereka. Sepanjang jalan, rombongan Helian Kong tidak henti-hentinya mendengar orang mengutuk Bu Sam-kui sebagai biang dari semua "bencana nasional" ini, bahkan sampai leluhur Bu Sam-kui juga ikut dikutuki.
Diam-diam Heliang Kong membatin, "Hanya oleh tindakan satu orang, sekian banyak orang lain terkena akibatnya. Mudah-mudahan para pangeran yang berkumpul di Lam-khia itu menyadari hal ini."
Kalau ingin perjalanan lebih cepat, sebetulnya Helian Kong dan rombongannya bisa naik kapal melayari Terusan Kaisar, sebuah sungai buatan yang dibuat di jaman dinasti Cin ribuan tahun yang silam, tetapi Helian Kong tidak punya ongkosnya dan memilih untuk berjalan kaki lewat daratan saja, meski bakalan jauh lebih lama.
"Kita bukan tokoh-tokoh penting yang harus segera ada di Lam-khia....." kata Helian Kong. Lalu tanyanya kepada isterinya, "Kau capek?"
Siangkoan Yan mengusap wajahnya yang berkeringat kemerahan meskipun sudah memakai tudung bambu penahan panas, sambil menggeleng, "Tidak."
"A-beng?" Helian Kong menanyakan anaknya, yang kali ini giliran digendong oleh Siangkoan Heng di punggungnya.
Siangkoan Heng yang menjawab dengan menirukan suara anak kecil, mewakili keponakannya, "Tidak, Ayah. Aku kan calon orang hebat?"
Helian Kong dan Siangkoan Yan tertawa. Namun jauh di dasar hati mereka ada juga sedikit rasa nelangsa, hanya saja mereka tidak ijinkan perasaan itu berkembang menjadi rasa iba-diri. Bahkan sepanjang jalan, rombongan Helian Kong masih sempat memberikan bantuan kepada para pengungsi yang membutuhkan bantuan.
Pernah Helian Kong menggendong seorang nenek-nenek yang sakit. Namun sebelum si nenek ketemu orang yang bisa mengobati, sudah terlanjur menghembuskan napas terakhir di gendongan Helian Kong. Oleh keluarganya terpaksa dimakamkan di tepi jalan, di mana banyak makam-makam darurat lainnya.
"Mudah-mudahan perang cepat selesai....." keluh seorang pengungsi tua yang diajak ngobrol Helian Kong di pinggir jalan. "Tidak peduli bendera apa yang berkibar, model rambut macam apa yang dikehendaki penguasa yang menang, pokoknya perang cepat selesai. Perang kok tidak habis-habis. Dulu Pelangi Kuning lawan dinasti Beng, lalu Pelangi Kuning lawan Manchu, sekarang Manchu lawan sisa-sisa dinasti Beng di selatan. Huh....."
Kalau kata-kata itu diucapkan di depan pendukung dinasti Beng yang fanatik atau kurang memahami isi hati rakyat kecil, bisa saja batok kepala si pengeluh itu dibabat protol seketika. Sebab orang itu berani berkata "tidak peduli bendera apa yang berkibar, model rambut apa yang dikehendaki penguasa". Sebab waktu itu, setelah orang Manchu menguasai Cina Utara, pemerintah baru itu mengeluarkan peraturan agar setiap lelaki bangsa Han juga menguncir rambutnya seperti lelaki-lelaki Manchu, dengan alasan "menghilangkan perbedaan".
Untung orang itu mengeluh di hadapan Helian Kong, yang meski setia kepada dinasti Beng namun juga dapat memahami kenapa rakyat sampai berkeluh-kesah di jaman perang yang berlarut-larut itu. Maka Helian Kong cuma memperingatkan orang itu agar tidak lagi mengucapkan perkataan itu di hadapan sembarang orang, sambil sedikit menakut-nakuti, demi keselamatan orang itu sendiri.
Ketika matahari begitu terik, si bocah Helian Beng terbangun dan menangis, rupanya kepanasan, meskipun sudah ditudungi kain. Maka rombongan Helian Kong pun terpaksa menepi, memberi kesempatan Si bayi yang kehausan susu ibunya.
Di tempat teduh yang agak tersembunyi dari pinggiran jalan, Siangkoan Yan menyusui anaknya. Kemudian anaknya itu dibiarkannya melemaskan otot sebentar dengan tiduran di rerumputan, sebentar miring dan sebentar telungkup. Siangkoan Heng menggodanya, sehingga bayi itu tertawa-tawa, lupa akan kelelahannya. Begitulah, buat si bayi ada susu ibunya, namun buat kedua orang tua si bayi dan pamannya tidak ada makanan.
Helian Kong lalu bangkit sambil berkata, "Kalian di sini dulu, aku carikan makanan buat kalian."
"Uangnya jangan dihabis-habiskan, perjalanan masih jauh," pesan Siangkoan Yan kepada suaminya. Bekal mereka memang tidak banyak.
Helian Kong mengiakan lalu pergi. Sepanjang jalan memang banyak orang buka warung makanan. Baik dengan tenda maupun sekedar dengan pikulan. Tetapi pedagang-pedagang ini ternyata malah mengambil keuntungan dalam kesempitan orang lain. Tahu banyak orang butuh makanan, mereka pasang harga yang mencekik leher.
Menurut kata orang, sampai ada pengungsi wanita muda yang cantik sampai menggunakan kemolekan tubuhnya untuk membayar makanan bagi anak-anaknya dan suaminya. Begitulah, di tengah-tengah kesusahan, muncul orang-orang tak berbelas-kasihan yang mengeruk keuntungan sebesar-besarnya....