Puing Puing Dinasti Jilid 02 karya Stevanus S.P - HELIAN KONG sendiri sudah mendatangi beberapa warung darurat yang ada, menanyakan harga makanan-makanan di situ. Setiap kali Helian Kong hanya bertanya namun tidak jadi membeli, karena uangnya tidak cukup!
Begitulah, mantan panglima dinasti Beng yang bertumpuk-tumpuk jasanya itu sekarang lontang-lantung kelaparan. Yang terang, Helian Kong lebih senang mati kelaparan daripada mencuri atau merampok atau memperoleh keuntungan tidak halal lainnya.
Helian Kong termangu-mangu di pinggir jalan yang ramai, sambil menggenggam erat uangnya yang ternyata tidak cukup biarpun hanya untuk sebuah bakpao yang harganya naik berkali lipat. Ia putar otak, bagaimana bisa mendapatkan uang tambahan dengan cara halal?
Ia mengamat-amati orang-orang yang lewat di jalan, memperhatikan kalau-kalau ada orang yang kelihatannya cukup berduit namun membutuhkan tenaganya. Si mantan jenderal dinasti Beng ini siap menyewakan tenaganya sebagai kuli sekalipun, demi sekeping dua keping uang! Namun orang yang butuh tenaga macam itu agaknya tidak ada.
Waktu itulah tiba-tiba muncul seorang penunggang kuda berpakaian bagus, menjalankan kudanya perlahan-lahan sambil menabuh canang, kemudian berseru kepada orang-orang di jalanan dengan lantang,
"Rakyat kerajaan Beng yang gagah berani dan setia! Yang rela menderita dalam perjalanan jauh karena tidak mau tunduk di bawah telapak kaki anjing-anjing Manchu! Selamat datang di wilayah kekuasaan Pangeran Hok-ong yang masih merdeka dan akan tetap merdeka! Pangeran Hok-ong sangat menghargai kesetiaan dan pengorbanan kalian, juga sangat tersentuh oleh penderitaan kalian sepanjang perjalanan! Karena itu, dua li di depan sana, Pangeran Hok-ong menyelenggarakan pembagian makanan gratis untuk siapa saja yang membutuhkan, tidak dibatasi! Boleh makan sekenyangnya! Dua li di depan! Dua li di depan!"
Kata-kata bernada "kampanye" itu disambut sorak gembira orang-orang yang kelaparan namun tidak mampu membeli makanan. Kemudian orang-orang itu berlarian ke arah yang ditunjukkan. Helian Kong tidak ikut bersorak segala, namun jelas ikut berlari ke tempat pembagian makanan gratis itu. Sambil dalam hatinya membatin,
"Hem, perebutan pengaruh antar pangeran sudah mulai terasa di sini. Tapi aku tidak peduli Pangeran Hok-ong ini sungguh-sungguh baik hati atau hanya pura-pura, rakyat kecil sedikit tertolong."
Tidak lama kemudian Helian Kong sudah berada dalam antrian panjang orang-orang yang menghendaki makanan gratis itu. Ada puluhan orang bawahan Pangeran Hok-ong yang menertibkan orang-orang lapar itu, selain puluhan pengawal pribadi yang berseragam dari kediaman Pangeran Hok-ong sendiri.
Tempat itu sendiri adalah sebuah tempat lapang di pinggir jalan. Untuk mempercepat pembagian, tidak hanya ada satu tempat antrian melainkan ada belasan. Jadi ada belasan jalur orang-orang antri juga. Di antara orang-orang yang antri itu terdapat beberapa orang yang terus-menerus memuji-muji kebaikan Pangeran Hok-ong.
Mata Helian Kong yang awas mampu melihat, bahwa orang-orang yang memuji-muji ini meskipun berpakaian sederhana seperti yang lain-lain, tapi kulit mereka terlalu bersih dan tubuh mereka terlalu segar dibandingkan yang lain. Mudah menerka bahwa mereka inilah orang-orangnya Pangeran Hok-ong yang ditugaskan mengambil simpati banyak orang, bukan pengungsi-pengungsi tulen.
Para pengungsi pertama-tama diberi masing-masing sebuah mangkok gerabah, kemudian beringsut maju dalam antrian untuk mengisi mangkuk-mangkuk mereka dengan bubur yang dicedokkan dari tong-tong kayu besar oleh seorang pegawai bawahan Pangeran Hok-ong.
Helian Kong sendiri minta dua mangkuk, dengan alasan isterinya tidak diajak dalam antrian itu. Dengan sedikit mengeluarkan kata-kata pujian akan kemurahan hati Pangeran Hok-ong, permintaan Helian Kong itu dikabulkan. Sementara banyak orang yang sudah mendapat bagian, dengan lahap memakan bagiannya sambil duduk di rerumputan. Yang mau tambah boleh, asal antri dari belakang lagi.
Namun suasana yang tertib itu tiba-tiba menjadi agak kacau. Orang-orang yang mendapat bubur dari antrian tertentu, tiba-tiba banyak yang muntah-muntah dan kemudian mengerang-erang sambil memegangi perutnya dan berkelojotan di tanah. Orang-orang gempar, jerit tangis meledak dari orang-orang yang sakit perut itu.
Orang-orang juga mulai berteriak-teriak, "Bubur itu ada racunnya!"
"Kita diracun!"
Keadaan jadi makin ribut, orang-orang yang sudah mendapat bubur lalu membuang bubur mereka dan tidak mau memakannya. Orang-orangnya Pangeran Hok-ong jadi sibuk menjelaskan. "Saudara-saudara, Pangeran Hok-ong yang budiman tidak mungkin bermaksud meracuni kalian! Tidak mungkin!"
"Ini pastilah perbuatan musuh-musuh beliau yang ingin menjatuhkan nama baik beliau! Merenggangkan beliau dari hati rakyat!"
Orang-orangnya Pangeran Hok-ong yang tidak berseragam melainkan membaur di antara orang banyak, juga ikut mendukung suara yang membela Pangeran Hok-ong. "Bukan Pangeran Hok-ong yang hendak meracuni kita, tetapi saingan-saingannya yang dengki!"
"Buktinya tidak semua kita keracunan!"
"Ya, yang keracunan hanya yang makan dari antrian nomor lima!"
Riuh-rendah suara orang dengan pendapatnya sendiri-sendiri, namun kelihatannya suara yang membela Pangeran Hok-ong lebih kuat. Saat itulah seseorang yang semula menjaga tong bubur di antrian nomor lima, antrian yang dituduh sumber bencana itu, tiba-tiba saja melompat menerobos orang banyak dan berlari sekencang-kencangnya meninggalkan tempat itu.
Di saat seribut itu dan suasana penuh dengan kecurigaan, tiba-tiba ada orang yang lari seperti itu, tentu saja orang itulah yang jadi sasaran kecurigaan. "Itulah orangnya yang menaburkan racun ke dalam bubur!"
"Kejar dia!"
"Tangkap!"
"Kalau tidak bersalah, kenapa lari?"
Bukan semuanya cuma berteriak-teriak, ada belasan orang mulai mengejar. Beberapa orang pegawai Pangeran Hok-ong juga mengejar. Namun orang yang dituduh meracuni itu berlari terlampau cepat, pengejar-pengejarnya kedodoran di belakang. Bahkan pengawal-pengawal bersenjata anak buah Pangeran Hok-ong yang kelihatannya tangkas-tangkas itu juga tak sanggup mengejar. Kelihatannya si penabur racun itu akan lolos.
Sampai dari tengah-tengah kerumunan para pengungsi itu melesat terbang dua buah mangkuk bubur, melayang lurus, mantap dan cepat, juga tepat menghantam belakang sepasang lutut dari si penabur racun itu. Si penabur racun kontan terjungkal rebah, wajahnya menampakkan ketakutan.
Anak buah Pangeran Hok-ong mestinya gembira karena buruan mereka bakal tertangkap, dan bisa ditanyai siapa yang menyuruh menabur racun. Tetapi anak buah Pangeran Hok-ong malah nampak kebingungan akan kejadian tak terduga itu. Lari mereka menjadi lambat dan ragu-ragu sehingga didahului oleh orang-orang yang marah dan ingin menghajar si penabur racun.
"Hajar mampus orang ini!"
"Betul! kita ini orang sudah susah, ingin dibuat lebih susah lagi oleh dia!"
"Suruh dia mencicipi bubur beracun!"
Tetapi ada juga suara lain, suara orang-orang Pangeran Hok-ong, baik yang berseragam resmi maupun yang menyamar dan menyusup di antara orang-orang lapar itu. "Tunggu!'' Jangan main hakim sendiri!"
"Tangkap hidup-hidup dan biarkan diperiksa sendiri oleh Pangeran Hok-ong yang adil dan bijaksana!"
Namun suara orang-orangnya Pangeran Hok-ong itu tenggelam dalam teriakan kemarahan orang banyak. Pukulan dan tendangan menghujani tubuh si tertuduh, bahkan ada yang memukul dengan kayu atau batu. Terdengar jeritan menyayat dari si tertuduh sebelum akhirnya terdiam selamanya. Bahkan tubuhnya yang setengah hancur serta berlumuran darah itu masih disepak beberapa kali.
Orang-orangnya Pangeran Hok-ong dengan tatapan mata ngeri menyaksikan jalannya peristiwa itu tanpa mampu berbuat apa-apa. Mereka hanya puluhan orang, sedang yang harus dihadapi adalah ratusan orang yang beringas karena lapar dan marah.
Helian Kong sendiri, si pelempar kedua mangkuk bubur tadi, termangu-mangu, kaget karena tak menyangka demikianlah hasil akhirnya. Padahal yang Helian Kong inginkan, orang itu tertangkap oleh anak buah Pangeran Hok-ong lalu dimintai keterangan siapa yang menyuruhnya.
Kemudian Helian Kong sendiri mendapat masalah. Pemimpin dari para anah buah Pangeran Hok-ong, seorang lelaki berumur tiga puluh lima tahun yang membawa golok di pinggangnya, kini menatap penuh selidik ke arah orang-orang yang antri bubur gratis itu. Mencari siapa yang melemparkan mangkuk tadi.
"Siapa yang melemparkan mangkuk tadi?" tanyanya.
Ia tidak usah mencari-cari terlalu lama, sebab bagaimanapun juga Helian Kong melakukannya di tempat terbuka yang banyak orangnya dan di siang hari bolong pula. Orang-orang yang tadi melihat Helian Kong melempar mangkuk-mangkuk itu, sekarang menatap ke arah Helian Kong dan ini menjadi penunjuk yang cukup bagi si pemimpin pengawal untuk mengetahui siapa orangnya.
"Kau?" tanyanya kepada Helian Kong sambil mengamat-amati penampilan Helian Kong yang tak ada bedanya dengan penampilan pengungsi-pengungsi kelaparan lainnya. Baik sederhananya pakaiannya maupun dekilnya badannya. Kalau ada perbedaannya, hanyalah pada sepasang matanya yang tajam.
Helian Kong menjawab dengan sesopan mungkin, "Benar, Tuan."
"Apakah maksudmu dengan mencampuri urusan ini?"
Orang-orang tercengang mendengar pertanyaan ganjil ini. Bukankah Helian Kong malahan sudah membantu menangkap si peracun? Kenapa sekarang para pengawal Pangeran Hok-ong kelihatannya malah tidak senang?
Jawab Helian Kong tetap sopan, ''Bukankah tadi kita semua menginginkannya?" Dan Tuan juga ikut mengejar dia tadi? Apa salahku dengan ikut membantu, meskipun hanya dari jauh?"
"Aku tidak menyalahkanmu, cuma heran melihat lemparanmu tadi. Cepat, mantap dan tepat."
"Hanya kebetulan, Tuan. Kebetulan ditambah keberuntungan."
"Kau pasti pernah belajar silat."
"Dulu. Hanya sebentar, Tuan."
"Sekarang tujuanmu?"
"Ke .... selatan. Menjauhi peperangan di utara."
"Kau menarik perhatianku. Kau harus ikut menghadap atasan kami untuk kami periksa. Ayo jalan!"
Ternyata Helian Kong beringsut pun tidak. "Aku tidak bersalah, Tuan. Mau diperiksa apanya?"
"Tidak bersalah namun mencurigakan. Kau datang dari utara yang sudah dikuasai musuh, bisa jadi kau adalah mata-mata musuh. Selain itu, kau juga memiliki kemampuan silat yang tidak rendah, kau berbeda dengan pengungsi-pengungsi biasa. Ayo ikut kami!"
"Tuan, daripada Tuan merepotkan diri dengan orang tak berarti seperti aku, tidaklah lebih berguna kalau Tuan menolong dan mengobati orang-orang yang keracunan tadi?"
"Mereka sudah diurus. Tugasku ialah mengawasi orang-orang yang mencurigakan, untuk menjaga agar wilayah Pangeran Hok-ong tidak kesusupan mata-mata Manchu!"
Habis berkata demikian, ia memberi isyarat pada orang-orangnya untuk meringkus Helian Kong. Dua orang bertubuh tegap segera maju dan menyambar kedua lengan Helian Kong dari kiri-kanan untuk diseret pergi. Namun kedua orang itu kecele, mereka seolah-olah sedang berusaha menggerakkan sebuah bukit batu. Helian Kong tidak bergeming seujung rambut pun, juga ketika kedua orang tegap itu sudah mengerahkan tenaganya sampai jidatnya berkeringat.
Si kepala pengawal agaknya gusar, namun juga gentar. Kelihatannya Helian Kong berdiri begitu santai, tidak pasang kuda-kuda segala, namun toh dua orang anak buahnya yang terkuat tak mampu menyeretnya pergi. Lebih menggemaskan lagi adalah sikap Helian Kong yang tetap seperti umumnya orang-orang kecil kalau berurusan dengan pejabat-pejabat resmi, ketakutan.
Helian Kong menunjukkan sikap ketakutan dan menghormat, demi menjaga wibawa Pangeran Hok-ong di mata orang banyak, namun sikapnya itu malahan diartikan sebagai ejekan oleh si kepala pengawal. Namun untuk bertindak keras, si kepala pengawal juga ragu-ragu, sudah dilihatnya kelebihan Helian Kong meski Helian Kong berusaha membuatnya tidak kentara.
Kata Helian Kong pula sambil membungkuk-bungkuk dengan nada memelas, "Tuan, Tuan adalah abdi Pangeran Hok-ong yang hari ini menunjukkan kedermawanannya kepada kami, orang-orang malang ini. Tindakan Tuan mewakili juga nama baik Pangeran Hok-ong. Hendaklah golok Tuan yang melambangkan kekuasaan ini Tuan gunakan untuk melindungi orang-orang lemah seperti aku, sebagaimana Pangeran Hok-ong juga menggunakan kekuasaannya untuk melindungi kami."
Waktu mengucapkan "golok Tuan" tadi tangan Helian Kong juga menepuk perlahan dan cuma sekali kepada golok bersarung yang tergantung di pinggang si kepala pengawal. Perkataan Helian Kong itu menyudutkan si kepala pengawal. Waktu itu, ia sedang mengemban tugas dari Pangeran Hok-ong untuk menarik simpati rakyat.
Kalau ia bertindak menangkap Helian Kong dengan tuduhan yang mengada-ada, jelas malah akan mengurangi simpati orang banyak. Pangeran Hok-ong bisa marah besar kepadanya kalau sampai mendengar. Lagi pula, untuk meringkus Helian Kong tidak ada jaminan pasti berhasil, salah-salah malahan mencoreng wajah sendiri.
Akhirnya ia memberi isyarat kepada orang-orangnya untuk melepaskan Helian Kong. Namun sebelum berlalu dari hadapan Helian Kong, ia ingin sedikit menggertak, ia bermaksud membacok sebatang pohon besar untuk memamerkan ilmu goloknya, bukan kepada Helian Kong saja tetapi juga kepada orang banyak di tempat itu.
Sambil menggenggam gagang goloknya di pinggang, ia berkata, "Kalau kau tidak bermaksud jahat, dengan senang hati kau diterima di wilayah kekuasaan Pangeran Hok-ong. Tapi kalau kau kaki tangan musuh yang hendak mengusik ketenteraman rakyat yang berlindung di wilayah kami, awas, nasibmu akan seperti batang pohon ini!"
"Jangan!" cegah Helian Kong. Helian Kong mencegah jangan sampai kepala pengawal itu dipermalukan, cukup nanti kalau dia sampai di rumah dan memeriksa goloknya maka dia akan mendapat peringatan agar lain kali jangan menganiaya rakyat kecil.
Namun teriakan "jangan" tadi di kuping si kepala pengawal disalah-tafsirkan sebagai ketakutan Helian Kong, maka si pengawal tetap saja mencabut goloknya secepat kilat dan mengayunkan ke batang pohon di sampingnya. Tapi..... kenapa goloknya jadi ringan sekali? Dan kenapa pula pohonnya tidak tertebas putus?
Karena golok itu tinggal gagangnya, tentu saja jadi sangat ringan. Senjata itu patah sejengkal di atas pegangannya. Dan si pohon yang menjadi sasaran pun tentu saja aman-aman saja. Wajah si kepala pengawal memucat, kemudian merah padam sampai hampir ungu, kemudian memucat lagi.
Ia jadi ingat tepukan ringan Helian Kong atas sarung goloknya tadi, tepukan ringan dan hanya sekali itulah yang mematahkan batang goloknya yang lebarnya hampir sejengkal dan tebalnya hampir satu jari serta terbuat dari baja pilihan. Hebatnya lagi, tadi ketika Helian Kong menepuk goloknya, si kepala pengawal tidak merasa guncangan keras sekalipun golok itu menempel di pinggangnya.
Si kepala pengawal sadar, dirinya sudah ketemu "Gunung Thai-san di depan mata", sadar pula bahwa bersikeras hanya akan menambah malu pihaknya, tidak peduli di pihaknya ada belasan anak buahnya yang tegap-tegap. Dengan geram ia membuang gagang goloknya, lalu berbalik meninggalkan tempat itu.
Sementara itu, beberapa orang yang keracunan bubur tadi dapat ditolong dengan cara dikorek tenggorokannya supaya muntah-muntah, namun ada seorang yang tak tertolong meskipun keluarganya menangis keras. Keributan tadi tak menghalangi diteruskannya pembagian bubur gratis buat para pengungsi itu, bubur yang tidak beracun tentunya.
Helian Kong mendadak jadi dihormati oleh orang-orang di situ karena kejadian tadi. Maka ia tidak usah lagi antri, ia didahulukan bahkan dengan agak kerepotan ia diijinkan membawa dua mangkuk bubur buat Siangkoan Heng dan Siangkoan Yan, setelah jatahnya sendiri dimakannya di situ.
Waktu sampai ke tempat isteri, anak dan iparnya, Siangkoan Yan langsung bertanya, "Kenapa begitu lama?"
Helian Kong menceritakan semuanya, mulai ia berniat menyewakan tenaganya menjadi kuli bayaran sampai ia memperoleh bubur gratis ini. Siangkoan Yan tersenyum mendengarnya, sekaligus terharu juga. Suaminya ini sebetulnya bisa menjadi orang yang hidup enak dan kaya, kalau mau, dengan membungkam tuntutan keadilan dalam dirinya sendiri.
Ia pernah berkali-kali mendapat kesempatan untuk menjadi kaya. Di jaman Ibukota Pak-khia dipenuhi kebusukan dalam pengaruh si maha-durna Co Hua-sun dulu, Co Hua-sun pernah menawarkan 500 batangan emas kepada Helian Kong. Begitu juga kesempatan-kesempatan lain, bahkan Siangkoan Yan yakin bahwa di Lam-khia nanti kalau pihak-pihak yang bersaing tahu Helian Kong ada di tengah-tengah mereka.
Maka godaan harta benda berlimpah pasti kembali akan bermunculan dari berbagai pihak. Namun Siangkoan Yan yakin suaminya akan tetap berpegang teguh kepada sikapnya yang sekarang ini. Dan Siangkoan Yan bangga.
Bubur gratis pembagian amal Pangeran Hok-ong itu tanpa rasa sama sekali, namun buat orang-orang kelaparan tentu terasa bukan main lezatnya. Begitu juga Siangkoan Heng dan Siangkoan Yan yang makan dengan lahap, sementara si kecil Helian Beng bermain-main di rerumputan bersama ayahnya.
Selesai makan buburnya, Siangkoan Yan berkelakar, "Suamiku, sekarang kita sulit bersikap netral lagi dalam persaingan para pangeran di Lam-khia nanti."
"Kenapa?" Helian Kong dan Siangkoan Heng menanggapinya dengan bersungguh-sungguh, membuat Siangkoan Yan tambah geli.
"Kenapa? Tentu saja karena kita sudah berhutang tiga mangkuk bubur kepada Pangeran Hok-ong....."
Helian Kong dan Siangkoan Heng pun tertawa. Helian Kong menanggapi kelakar itu, "Supaya kita netral kembali, para pangeran lainnya juga harus memberi masing-masing semangkuk bubur kepada kita bertiga....."
Kemudian Siangkoan Heng menggeser pembicaraan ke arah yang lebih serius, "Mungkin benar yang dikatakan Bhikuni Siok-sim alias Puteri Tiang-ping. Para pangeran seolah-olah berlomba berbuat kebajikan karena hendak mengambil hati para panglima. Maklumlah, para panglima itulah yang memiliki kekuatan nyata dengan pasukan-pasukan besar mereka. Para pangeran tak berarti apa-apa tanpa dukungan para jenderal lapangan itu."
Mereka berbincang-bincang sejenak, menyegarkan tubuh dan semangat, kemudian mereka pun berangkat kembali. Helian Beng kali ini digendong oleh Helian Kong, sedangkan Siangkoan Heng menggendong bungkusan perbekalan. Siangkoan Yan sebagai perempuan dibebaskan dari membawa apa-apa, meski Siangkoan Yan sendiri bukan perempuan lemah.
Mereka berharap, sebelum hari menjadi gelap, mereka akan menemukan tempat yang memadai buat bermalam. Bukan buat diri mereka sendiri, tetapi buat Helian Beng yang tentu saja kurang sehat kalau setiap malam terkena embun malam. Namun ternyata sulit mencari penginapan di sepanjang jalan. Meski banyak rumah penduduk yang ditemui, namun setiap pintu rumah ditempeli tulisan, "Tidak ada tempat untuk menginap".
Kata orang, pernah sebuah rumah menerima sekawanan pengungsi yang menginap, tapi malam harinya si pemilik rumah dan keluarganya malah diikat, lalu harta bendanya diangkut habis, terutama bahan makanan. Situasi yang maha sulit membuat orang-orang kepepet jadi nekad..
Dengan begitu, Helian Kong dan rombongannya pun tidak menemukan tempat menginap yang baik. Mereka harus menginap lagi di tempat terbuka, untuk si kecil Helian Beng terpaksa dibuatkan rumah-rumahan kecil dari ranting-ranting pohon yang sudah dibersihkan dari ulat dan semut, sebagai penahan embun di malam hari.
Perapian juga dinyalakan, untuk mengusir serangga dan menakuti-nakuti binatang-binatang buas. Giliran jaga semalaman pun disusun. Biarpun perempuan, Siangkoan Yan tidak ingin dikecualikan dari giliran berjaga malam, karena tidak tega membiarkan suaminya dan kakaknya terlalu lama berjaga sementara dirinya sendiri kebagian waktu tidur paling banyak.
Malam itu mereka makan umbi-umbian liar di tepi hutan yang dibakar, juga daging beberapa ekor burung yang mereka jatuhkan dengan sambitan batu. Mereka masih bercakap-cakap sebentar sambil duduk di sekitar perapian, dan ketika embun mulai mendinginkan malam, mereka bersiap-siap untuk memasuki waktu istirahat sampai fajar.
Namun saat-saat istirahat mereka tertunda, sebab kuping Helian Kong yang paling tajam kemudian mendengar desir langkah mendekati tempat mereka dari beberapa arah. “Ada orang datang,”
Ia memperingatkan isteri dan iparnya, tanpa mengubah sikap duduknya, agar orang-orang yang datang mendekati itu belum tahu kalau mereka sudah bersiaga. Kuping kakak-beradik Siangkoan tidak setajam Helian Kong, mereka belum mendengar apa-apa.
Tanya Siangkoan Heng kepada Helian Kong, “A-kong, banyakkah yang datang?”
“Kedengarannya sekitar..... lima atau enam orang.”
“Para pengungsi barangkali, yang ingin minta makanan dari kita,” Siangkoan Yan menduga.
“Tidak. Dua orang dari yang datang ini bahkan langkahnya amat ringan namun kokoh.”
Itulah ciri langkah orang yang berlatih silat, bahkan sudah cukup mahir. Maka kata-kata Helian Kong itu sekaligus merupakan “isyarat lampu kuning” bagi isteri dan iparnya agar mereka bersiap-siap.
Dengan gerakan sewajar mungkin, Siangkoan Heng meraih bungkusan barang mereka, membukanya, lalu membagikan tiga batang pedang buat dirinya sendiri serta buat adik dan iparnya.
Pedang Helian Kong adalah yang paling istimewa. Pada pelindung pegangan pedangnya terukir bentuk burung elang mementangkan sayap. Itulah pedang Tiat-eng Po-kiam (Pedang Pusaka Elang Besi), pedang yang hanya boleh dimiliki orang yang menjadi ketua perguruan Tiat-eng-bun (Perguruan Elang Besi). Helian Konglah ketua Tiat-eng-bun saat itu.
Waktu orang-orang yang datang itu kian mendekat, kuping kakak-beradik Siangkoan itu pun dapat menangkap suara langkah mereka. Siangkoan Yan sempat berdesis, “Jangan dilupakan perlindungan terhadap Si Kecil.....”
“Itu yang utama.....” jawab Helian Kong melegakan isterinya. Siangkoan Heng pun mengangguk setuju.
Kemudian dari kegelapan malam bermunculanlah orang-orang itu, mendekati ke arah perapian. Ketika wajah-wajah mereka sudah cukup jelas tersorot api, nampaklah bahwa dua orang yang paling depan dari rombongan itu ternyata adalah dua orang To-jin (Imam Agama To) berjubah kelabu, keduanya berusia sejajar, sama-sama separuh abad.
Juga sama-sama membawa hud-tim (kebut pertapa) di tangan mereka. Dua orang yang oleh Helian Kong didengar langkahnya paling ringan dan paling mantap adalah kedua imam ini. Di belakang kedua imam ini masih ada beberapa orang lain yang terlindung di belakang punggung imam-imam itu.
Helian Kong berdiri untuk menyambut dengan hormat, “Selamat malam, Bapak-bapak Imam. Kami mendapat kehormatan kalau malam ini kedua Bapak Imam dan Tuan-tuan yang lain sudi menemani kami melewatkan malam.”
Kedua imam itu dengan angkuh tidak mempedulikan sambutan Helian Kong, malahan salah seorang imam itu menoleh ke arah seseorang yang di belakangnya sambil bertanya, “Yang mana orangnya?”
Dari antara orang-orang yang berdiri dalam kegelapan di belakang kedua imam itu, seseorang menjawab, “Benar, Susiok (Paman Guru), itulah orangnya. Yang berdiri itu.”
Yang dimaksud adalah Helian Kong, sebab Siangkoan Heng dan Siangkoan Yan tetap duduk meskipun tetap bersiaga. Helian Kong merasa pernah mendengar suara itu. Kemudian waktu orang yang berbicara itu maju ke depan dan wajahnya diterangi cahaya api, barulah Helian Kong mengenalinya sebagai kepala pengawal bawahan Pangeran Hok-ong di tempat pembagian makanan tadi.
Cuma kali ini dia tidak mengenakan seragamnya, melainkan dalam pakaian ringkas biasa. Ia membawa golok seperti siang tadi, tetapi sudah tentu bukanlah golok yang sudah patah tadi. Melihat orang ini, Helian Kong sadar bahwa urusan yang bakal dihadapinya sekarang adalah kelanjutan dari urusan siang tadi. Helian Kong benar-benar penasaran, heran, bahwa ia yang sudah membantu mencegah larinya orang yang dicurigai meracuni makanan, malahan terus-menerus direcoki urusan yang ia anggap urusan kecil?
Apakah bawahan Pangeran Hok-ong ini merasa jengkel karena gengsinya dipermalukan? Padahal Helian Kong merasa sudah menahan diri untuk tidak berkelahi, ia hanya memamerkan kekokohan berdirinya yang tidak tergoyahkan, sedang soal mematahkan golok itu Helian Kong berharap agar menjadi pelajaran sesampainya si kepala pengawal di rumah.
Tak disangka sekarang orang itu menyusul langkah rombongan Helian Kong dengan membawa kawan sebanyak ini. Kalau bawahan Pangeran Hok-ong bertingkah laku seperti ini, sungguh memprihatinkan.
Helian Kong teringat, tujuannya ke Lam-khia adalah untuk membantu merekatkan persatuan antara kekuatan-kekuatan dinasti Beng yang masih ada, agar dapat menahan majunya tentara Manchu, bahkan kalau bisa merebut kembali wilayah utara. Maka di hadapan bawahan Pangeran Hok-ong ini pung Helian Kong tetap berusaha bersikap simpatik, tidak sungkan-sungkan mengaku salah lebih dulu,
“Dalam kejadian siang tadi, aku mohon maaf sebesar-besarnya kalau aku dianggap terlalu pamer. Bukan maksudku demikian. Aku hanya ingin membantu menangkap Si Pengacau.....”
“Bukan tindakanmu itu yang kami persoalkan,” kata si kepala pengawal. “Tetapi kau telah menghina perguruan kami.”
Helian Kong tercengang, “Menghina perguruan Tuan? Tahu nama perguruanmu saja tidak, bagaimana bisa menghinanya?”
“Kami dari Perguruan Koai-to-bun (Perguruan Golok Kilat). Golok yang kau patahkan tadi adalah lambang kebanggaan setiap murid Koai-to-bun!”
Dalam hati Helian Kong menggerutu, selagi banyak orang berusaha menggalang persatuan demi menyelamatkan tanah air dari tentara asing, kok sempat-sempatnya ada orang yang membesar-besarkan perkara kecil hanya demi nama baik sebuah perguruan? Masih lumayan kalau perguruan-perguruan besar yang sudah punya nama macam Siauw-lim-pai maupun Bu-tong-pai, ini perguruan yang namanya pun baru Helian Kong dengar kali ini.
Toh dengan mengingat persatuan yang harus digalang, Helian Kong tetap bersikap mengalah, “Sungguh tak kusangka kesalahanku sebesar itu. Aku mohon diampuni.”
Tojin yang bertubuh sedikit lebih tinggi dari Tojin yang satunya, berkata dengan angkuh karena mengira Helian Kong mulai ketakutan mendengar nama perguruannya, “Urusan kehormatan perguruan adalah urusan hidup-mati seluruh warga perguruan itu. Ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan minta maaf saja.”
"Apa yang Tuan-tuan kehendaki?”
“Ada peraturan perguruan kami, kalau golok pemberian perguruan sampai cacad atau hilang, nyawa Si Murid pemegang golok itulah gantinya. Tetapi nyawa Si pemegang golok boleh juga luput, asal diganti dengan nyawa orang yang bertanggung-jawab atas rusaknya atau hilangnya golok itu. Jadi tetap ada nyawa melayang.”
Helian Kong menarik napas, “Kenapa kalian bikin peraturan perguruan sesulit itu? Perguruan harusnya menjadi tempat murid-muridnya menggembleng diri dan membentuk moral, bukan menjerat dengan peraturan aneh-aneh macam itu.”
“Kau berani mengkritik peraturan perguruan kami?”
“Habis, peraturan perguruan Tuan sulit sekali.”
“Peraturan keras itu diperlukan, agar perguruan berwibawa!” sergah Si Tojin yang tubuhnya lebih pendek, sambil tidak henti-hentinya melirik ke arah Siangkoan Yan si ibu muda yang cantik. “Tapi mengingat kau belum tahu, belum pernah bermusuhan dengan kami, kami bisa berlaku sedikit bijaksana. Asalkan.... he-he-he.....”
Kalau perkataan dan tingkah-laku Si Tojin Pendek digabung, bisa disimpulkan kalau dia menghendaki “damai” tetapi dengan “memakai” Siangkoan Yan. Helian Kong dan rombongannya tahu ke mana arah kata-kata Si Tojin Pendek, sindirnya, “Sungguh hebat. Peraturan perguruan kalian benar-benar membuat nama besar perguruan kalian berwibawa!”
Tojin yang lebih tinggi merah padam wajahnya, namun agaknya ia kalah kedudukan dari Si Tojin Pendek dan tidak bisa mencegah kemauan kakak-seperguruannya yang agak mata keranjang itu. Sementara Si Tojin Pendek kembali menawarkan jalan keluarnya sambil cengengesan, “Bagaimana? Kami sudah bermurah hati lho. Jadi tidak ada nyawa melayang.....”
Sahut Helian Kong, “Dia isteriku.”
“Aku tidak tanya dia isterimu atau Adikmu atau Ibumu atau Nenekmu. Kalau kau ijinkan kami bawa dia beberapa hari, urusan boleh dianggap selesai!”
Siangkoan Yan sudah mendidih darahnya, namun menahan diri. Ia percayakan segala sesuatunya kepada Helian Kong. Helian Kong pun sudah panas darahnya, namun masih coba menghindari bentrokan dengan pengikut-pengikut Pangeran Hok-ong ini, katanya, “Apakah begini tingkah laku pengikut-pengikut Pangeran Hok-ong? Siang hari berlagak dermawan membagikan makanan gratis, malam hari berkeliaran bak serigala-serigala menyusahkan orang lain dengan berdalih peraturan perguruan?”
Orang-orang itu bungkam, agak gawat kalau ada yang mengkait-kaitkan kelakuan mereka dengan Pangeran Hok-ong. Padahal saat itu Pangeran Hok-ong sedang berusaha menarik simpati rakyat untuk memperkuat posisinya. Kalau sampai Pangeran Hok-ong mendengar kelakuan orang-orangnya ini.
Orang-orang itu berbisik-bisik satu sama lain, berunding, akhirnya mereka mengambil keputusan untuk memusnahkan sama sekali “rombongan pengungsi” ini, kecuali Siangkoan Yan yang akan ditangkap hidup-hidup dulu untuk “menghibur” beberapa hari, kemudian baru dibereskan sekalian. Jangan sampai Pangeran Hok-ong mendengar kejadian ini.
Maka dengan sebuah isyarat dari Si Tojin Pendek, orang-orang itu serempak menebar mengurung Helian Kong berempat. Senjata-senjata sudah dihunus, dan sebagian besar dari mereka memang bersenjata golok, kecuali seorang yang bersenjata pentung besi. Bahkan kedua imam itu masing-masing membawa senjata rangkap. Tangan kanan memegang golok, tangan kiri memegang kebut pertapa. Kombinasi senjata yang agak aneh, karena sifat permainan kedua macam senjata itu berbeda, bahkan bertentangan.
Helian Kong beserta isteri dan iparnya pun sudah bersiap, mereka saling membelakangi dalam posisi segi tiga, karena musuh berjumlah dua kali lipat dari mereka. Juga untuk melindungi si kecil Helian Beng yang tetap tidur dengan nyenyaknya tanpa peduli apa yang terjadi di sekitarnya, bahkan ia tertawa-tawa dalam tidurnya.
Si Imam Pendek yang begitu yakin pihaknya akan menang, melirik ke arah Si Kecil sambil mengejek, “Bayi yang malang, ia akan menjadi korban kekeras-kepalaan orang tuanya.....”
Kata-kata itu meledakkan kemarahan Siangkoan Yan si ibu, yang dulu melahirkannya dengan pertaruhan nyawa dan sekarang bayi itu adalah mutiara hidupnya. Ucapan Si Imam Pendek ibarat membangunkan seekor induk macan yang garang. Belum sampai Si Imam Pendek mengatupkan bibirnya, Siangkoan Yan melengking marah, lalu menerkam dengan pedangnya ke arah Si Imam Pendek, meskipun imam pendek itu kebetulan tidak sedang persis di hadapannya.
Gerakan Siangkoan Yan mengejutkan lawan-lawannya, sekaligus juga mengejutkan Helian Kong dan Siangkoan Heng sendiri. Mengejutkan lawan-lawan, khususnya Si Imam Pendek, sebab gerak Siangkoan Yan begitu cepat dan mantap serta berbahaya.
Mengejutkan Helian Kong dan Siangkoan Heng, sebab gerakan itu membuat posisi segi tiga di pihak mereka jadi buyar. Terpaksa Helian Kong dan Siangkoan Heng harus bergeser menyesuaikan diri untuk menutup kelemahan formasi yang agak kacau karena Siangkoan Yan diguncang naluri keibuannya itu.
Si Imam Pendek yang masih cengengesan itu amat kaget. Tahu-tahu pedang si “induk macan” sudah begitu dekat ke lehernya. Amat panik dia menjatuhkan dirinya, toh konde keimamannya terbabat sehingga rambutnya jadi berantakan. Siangkoan Yan terus memburu dengan sengit, sambil berjongkok dia membabatkan pedangnya dari atas ke bawah, hendak memotong si imam pendek yang masih bergulingan.
Si imam yang lebih jangkung tidak membiarkan kakak seperguruannya terbantai. Dia pun menyerang punggung Siangkoan Yan dengan goloknya. Dengan bergeraknya mereka, maka pertempuran pun dimulai. Semua orang bergerak. Tentu, masih serabutan saling menyerang siapa saja yang di pihak lawan. Tadi Siangkoan Yan menyerang Si Imam Pendek, lalu Si Imam yang lebih jangkung menyerang Siangkoan Yan, maka Siangkoan Heng pun menyerang Si Imam yang lebih jangkung untuk menolong adiknya.
Helian Kong tidak mau terbawa emosi, ia tetap berada di tempatnya untuk mengawasi keselamatan anaknya. Namun dua orang bersenjata golok menerjang ke posisi Helian Kong, kelihatannya cukup tangkas mereka ini. Salah seorang bahkan melompati api unggun.
Helian Kong tidak ingin permusuhan berlarut-larut dengan pengikut-pengikut Pangeran Hok-ong ini, tetapi musuh-musuh begitu ganas demi memaksakan berlakunya sebuah peraturan perguruan mereka, membuat Helian Kong mau tidak mau harus bersikap keras juga, meskipun belum terbetik keinginannya untuk mencabut nyawa.
Dua golok musuh yang berkelebat di depannya itu dirangkumnya sekaligus dengan gerakan putaran lebar pedangnya dalam tipuan Kun-tun-jut-kai (Alam Semesta Mekar Terkembang), dalam gebrakan pertama ini Helian Kong langsung menggunakan sebagian besar tenaganya.
Kedua penyerang itu merasa golok mereka tiba-tiba seperti memasuki pusaran tenaga yang amat kuat, begitu kuat sehingga telapak tangan mereka tidak sanggup lebih lama memegangi gagang golok mereka. Telapak tangan mereka serasa panas dan pedih, bersamaan dengan “terbang”nya kedua golok mereka jauh-jauh.
Helian Kong susulkan tendangan berganda. Satu orang kena pahanya dan jatuh berguling-guling. Satu lagi kena perutnya dan jatuh dengan punggungnya tepat ke api unggun, orang ini menjerit dan bergulingan pula dengan baju pada punggungnya menyala. Robohnya dua orang ini dalam segebrakan mengejutkan kelompok dari Koai-to-bun ini. Mereka mulai sadar bahwa sasaran mereka kali ini adalah “sasaran keras”.
Sementara itu, di gelanggang pertempuran sebelah lain, dalam waktu singkat berturut-turut terdengar suara-suara mengaduh, membentak dan juga senjata-senjata yang berdentang. Semuanya terjadi dalam waktu yang singkat.
Si Imam Pendek berhasil lolos dari maut dengan menggulingkan diri, tetapi lengannya tetap tergores panjang oleh pedang Siangkoan Yan. Sedang Siangkoan Yan yang dalam luapan emosi itu juga kurang waspada terhadap Si Imam yang lebih jangkung. Untung Siangkoan Heng menolong adiknya dengan menangkiskan golok si imam yang lebih jangkung.
Namun Siangkoan Heng sendiri kena sabetan kebut pertapa dari si imam yang lebih jangkung yang bersenjata rangkap itu. Ia kena lambungnya, baju di lambungnya sampai hancur, kulitnya pedih, panas dan berdarah menandakan benang-benang kebut pertapa itu tak boleh diremehkan.
Pihak orang-orang Koai-to-bun tinggal empat orang setelah dua orang yang kena tendang Helian Kong tadi tak mampu melanjutkan pertempuran. Keempat orang itu adalah dua imam, lalu si lelaki yang sehari-harinya bekerja sebagai bawahan Pangeran Hok-ong, dan laki-laki yang membawa pentung besi, yang agaknya bukan anggota Koai-to-bun karena senjatanya tidak sesuai dengan ciri khas perguruan itu..
Si pemegang pentung besi ini bertubuh agak gemuk, kokoh, usianya lima puluhan tahun. Kepalanya bagian tengah botak licin, yang ditumbuhi rambut hanya pinggir-pinggirnya dan rambut-rambut pinggiran ini dibiarkannya memanjang. Matanya tajam. Pakaiannya agak kedodoran.
Berbeda dengan dua orang murid Koai-to-bun yang dihajar Helian Kong tadi, yang sikapnya ceroboh waktu menyerang Helian Kong, maka Si Botak berpentung besi ini kelihatan jauh lebih tenang. Dengan langkah santai sambil menyeret pentung besinya, ia mendekati Helian Kong. Sikapnya menunjukkan seolah-olah tidak hendak berkelahi. Tetap naluri Helian Kong memperingatkan, justru orang macam ini patut diwaspadai....