Puing Puing Dinasti Jilid 03 karya Stevanus S.P - DI HADAPAN Helian Kong, orang ini tetap berdiri santai dengan pentung besinya terkulai ke tanah, katanya, “Gerakanmu waktu membereskan kedua gentong nasi tadi sungguh hebat.”
“Terima kasih.”
“Siapa namamu, orang muda?”
Menghindari urusan berlarut-larut dengan pihak Pangeran Hok-ong, Helian Kong sengaja menyembunyikan namanya, “Aku biasa dipanggil A-kong saja. Aku cuma orang gunung. Tuan pun boleh memanggilku demikian, kalau Tuan suka.”
“Hem, sikap sederhanamu ini sungguh merupakan perangkap bagi lawan-lawan yang kurang berhati-hati. Kenyataannya kau menjungkalkan dua orang murid Koai-to-bun dengan sekali gebrak. Aku jadi gatal tangan ingin menjajalmu.”
“Boleh aku mengetahui nama besar Tuan, dan julukan Tuan kalau ada?”
“Memang sebaiknya kau tahu namaku, jadi kelak arwahmu tidak mencari orang lain tetapi mencari aku saja. Namaku Au Ban-hoa. Orang-orang berkelakar menyebutku Kang-tau-tiat-pang (Si Tongkat Besi Kepala Botak).”
Jantung Helian Kong berdesir mendengar nama itu. Itu bukan nama sembarangan, itulah nama seorang tokoh besar di kawasan barat daya. Au Ban-hoa adalah adik seperguruan dari Kang-tau-siang (Gajah Berjidat Baja) Ko Ban-seng yang merupakan tokoh kepercayaan si pemimpin Pelangi Kuning, Li Cu-seng.
Jadi Au Ban-hoa ini adalah paman guru (Su-siok) dari Thai-lik-ku-hou (Macan Kurus Bertenaga Raksasa) Oh Kui-hou, dan Yo Kian-hi. Kedua-duanya adalah musuh bebuyutan Helian Kong. Namun Helian Kong dengar kalau Au Ban-hoa tidak akur dengan kakak seperguruannya dan keponakan-keponakan muridnya, entah soal apa.
Helian Kong berdebar-debar harus berhadapan dengan orang ini. Diam-diam Helian Kong membuat perbandingan dalam hati. Dulu Helian Kong unggul tipis dari Yo Kian-hi, keponakan murid orang ini. Kemudian setelah Helian Kong mendalami Tiat-eng Pit-kip (Kitab Elang Besi) maka Helian Kong meninggalkan Yo Kian-hi agak jauh di belakangnya, meski tingkatannya belum sama dengan angkatan tua macam Ko Ban-seng atau Kat Hu-yong si penasehat militer Manchu itu.
Namun selama setengah tahun menyepi di pegunungan, Helian Kong kendor dalam melatih silatnya, ia hanya seperti bersenam dengan pedangnya, karena waktu itu berpendapat bahwa ia takkan lagi menggunakan ilmu silat seumur hidupnya, hidup damai di pegunungan. Dan sekarang setelah sekian lama tidak bersungguh-sungguh berlatih, tahu-tahu ia harus berhadapan dengan seorang tokoh tingkat tinggi seperti Au Ban-hoa ini.
Namun waktu Helian Kong melirik anaknya yang tidur pulas di rerumputan, semangatnya bangkit menyala. Bagaimanapun juga, sekarang dia tidak hanya sekadar berurusan dengan keselamatannya sendiri, tetapi juga dengan keselamatan anaknya. Helian Kong membulatkan tekad dalam hati, “Biarpun harus mempertaruhkan nyawa, takkan kubiarkan si botak ini seenaknya bertindak kepada keluargaku.”
Dengan tekad seperti itu, dia pun bersiaga dengan pedangnya. Ia tidak mau meniru lawannya yang bersikap sangat santai, ia tahu lawannya adalah tokoh yang tingkatannya ada di atasnya, sedang di pihaknya ada nyawa keluarganya yang terlalu mahal nilainya.
Sementara di sekitarnya sudah terjadi pertempuran, kakak-beradik Siangkoan harus “bermain ganda” menghadapi tiga lawan. Yaitu kedua imam, ditambah pegawai bawahan Pangeran Hok-ong itu. Pertarungan dua lawan tiga itu agaknya sulit diramal siapa yang bakal menang. Melihat itu, Helian Kong merasakan betapa kritisnya keadaan bagi pihaknya.
Sementara Au Ban-hoa tidak membatalkan niatnya untuk berkelahi dengan Helian Kong. Katanya, “Bersiaplah, A-kong. Aku senang dan bergairah kalau mendapat perlawanan sengit darimu. Aku akan kecewa sekali kalau dengan sekali kepruk saja bisa memecahkan kepalamu.”
Helian Kong membungkam, cuma berharap dalam hati, “Mudah-mudahan dia lengah.”
Au Ban-hoa masih bersikap santai dan amat meremehkan, “Aku akan bersikap adil kepadamu, orang muda. Mengingat bobot kita memang tidak seimbang, maka aku memberimu kesempatan sepuluh pukulan untuk menyerangku tanpa kubalas. Nah, silakan mu.....”
Sedikit pun Helian Kong tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, lawannya belum menyelesaikan kalimatnya sewaktu Helian Kong meluncur maju sambil merendah, pedangnya dengan gerak tersembunyi karena tertutup tubuhnya sendiri lebih cepat dari kilat meluncur ke arah tenggorokan Au Ban-hoa.
Sedetik jantung Au Ban-hoa serasa berhenti mengalir melihat kecepatan serangan itu. Pentung besinya yang terkulai di tanah terlalu tidak menguntungkan posisinya untuk menangkis, dan hal ini rupanya sudah diperhitungkan Helian Kong. Tak ada jalan buat Au Ban-hoa selain mundur selangkah sambil menarik kepalanya ke belakang.
Ternyata Helian Kong tidak mengganti gerakan, hanya kakinya mendorong tubuhnya lebih cepat meluncur ke depan, masih dengan ujung pedang mengincar tenggorokan.
“Setan!” umpat Au Ban-hoa, kali ini terpaksa membanting tubuhnya di rerumputan, sebab kalau tidak di tenggorokannya bakal muncul pancuran darah oleh ujung pedang Helian Kong. Ia sadar sekarang bahwa dirinya terlalu meremehkan “A-kong si anak gunung” ini.
Berlawanan dengan janjiinya untuk memberi kesempatan lawannya sepuluh pukulan tanpa dibalas tadi, Au Ban-hoa sudah harus membalas dengan serangan untuk memperbaiki kedudukannya, meski Helian Kong baru melakukan dua serangan. Kalau menunggu Helian Kong melakukan sepuluh serangan, barangkali sudah terlambat. Sambil bergulingan ia menghantamkan pentung besinya ke lutut Helian Kong dengan tipuan Bu-siang-toat-beng (Setan Jahat Mencabut Nyawa).
Helian Kong bergerak serba cepat, ia tidak menggunakan pedangnya untuk “mengurus” gebukan ke arah lututnya, melainkan menyelamatkan lututnya dengan langkah silang berputar sambil tetap mengaktifkan pedangnya membabat musuh.
Bagaimanapun juga Au Ban-hoa bukanlah tokoh silat kelas kambing. Meskipun pertamanya kaget akan serangan Helian Kong yang gencar dan serba cepat, namun terlalu muluk kalau Helian Kong berkhayal untuk terus menerus memojokkan musuhnya di pihak bertahan. Bacokan Helian Kong berhasil disapu dengan pentung besi, Helian Kong merasa lengannya bergetar.
Kemudian Au Ban-hoa melompat bangkit secepat kilat dan balas mengepruk kepala Helian Kong dengan Tok-pi-hoa-san (Lengan Tunggal Menggempur Hoa-san). Deru angin dahsyat mengiringi pentung besinya yang bergerak dengan tenaga besar.
Helian Kong tidak mau adu tenaga, sadar bahwa tenaganya selapis di bawah lawannya. Ia melejit pendek ke samping sambil merunduk dan membabat sepasang kaki lawan dengan gerak tipu Peng-pou-te-gun (Menggelar Permadani di Tanah).
Begitulah, di malam sunyi itu berkobar dua kelompok perkelahian. Kelompok pertama adalah duel satu lawan satu antara Helian Kong dan Au Ban-hoa, di mana sambil bertempur Helian Kong juga coba menggeser arena menjauhi anaknya.
Kelompok kedua adalah kelompok keroyokan dua lawan tiga, yang dua adalah kakak-beradik Siangkoan dan tiga lawannya ialah dua imam dan keponakan murid mereka. Pertempuran kelihatannya seru, belum bisa diramalkan dengan pasti pihak mana bakal menang.
Si Kecil Helian Beng yang sedang tidur nyenyak itu agaknya juga mulai digelisahkan oleh derap kaki-kaki yang berlompatan dari orang-orang yang bertempur di sekitarnya, serta dentang senjata yang suaranya kadang memekakkan telinga. Maka terbangunlah bocah itu, dan mulai menangis.
Hati Siangkoan Yan terasa diaduk-aduk mendengar tangis itu. Ingin rasanya ia melompat meninggalkan pertempuran dan memeluk anaknya lebih dulu supaya tenang, namun pikiran sehatnya pun masih memperingatkannya bahwa kalau ia tinggalkan gelanggang, berarti ia tinggalkan kakaknya sendirian dalam marabahaya karena harus menghadapi tiga lawan tangguh sekaligus.
Ternyata bukan cuma Helian Kong yang kendor latihannya karena terbuai alam damai di pegunungan, melainkan kakak-beradik she Siangkoan itu pun jarang latihan juga. Begitulah, di tengah-tengah suara saling membentak dan senjata yang berdentangan, sekarang bertambah suara tangis anak kecil yang makin lama makin keras.
Bukan cuma hati Sang ibu, namun hati Sang ayah dan paman pun seakan tercabik-cabik, apa daya mereka pun terbelenggu oleh lawan-lawan mereka. Sebaliknya suara tangis bayi itu menimbulkan gagasan licik di benak salah satu dari dua murid Kaoi-to-bun yang dirobohkan Helian Kong tadi. Yang satu tidak bisa bangkit lagi, kulit punggungnya melepuh karena terbakar. Ia terbaring merintih-rintih di rerumputan, meski api di punggungnya sudah padam.
Namun yang seorang lagi, yang pahanya kena tendang tetapi tidak sampai jatuh menimpa api, masih ada sisa-sisa kekuatan biarpun tulang pahanya terasa berdenyut-denyut. Ia bangkit, lalu melangkah terpincang-pincang sambil meringis-ringis kesakitan, menjumput goloknya yang jatuh. Lalu, dengan langkah setengah diseret karena sakitnya, dia mendekati si bayi Helian Beng dengan golok di tangan!
Awalnya, orang-orang yang sedang berkelahi terlalu sibuk untuk memperhatikan orang ini. Tetapi makin dekat ia dengan si bocah, maka beberapa orang yang bertempur dari kedua pihak pun mulai melihat ulahnya dan mengerti maksudnya.
Orang-orang Kaoi-to-bun serta jago undangan mereka, Au-Ban-hoa, diam-diam girang. Kalau terjadi sesuatu atas bayi itu, tentu konsentrasi lawan-lawan mereka akan terganggu dan itu akan mempercepat teraihnya kemenangan.
Sebaliknya bagi ayah, ibu dan paman si bocah, kecemasan hebat mengaduk-aduk jiwa mereka. Yang terutama adalah Siangkoan Yan, ibu yang melahirkan buah hatinya dengan pertaruhan nyawa.
Helian Kong pun menggeram, “Kalian kelompok pengecut rendah. Tadi kalian bicara tentang harga diri dan martabat perguruan, tapi sebenarnya kalian tidak cukup layak membicarakan itu!”
Au Ban-hoa menjawab sambil tetap menggempur dengan gencar, “Silakan omong apa saja, yang jelas kalian semua takkan terhindar dari bencana besar malam ini. Kecuali ibu Si Bocah yang masih ada sedikit gunanya untuk penghangat malam-malam yang dingin beberapa hari, he-he-he.....”
“Memuakkan sekali. Beginikah kelakuan pengikut-pengikut Pangeran Hok-ong yang sering pura-pura memperhatikan rakyat kecil?”
Au Ban-hoa masih tertawa-tawa tanpa mengendorkan serangannya, “Aku sih bukan pengikut Pangeran Hok-ong atau pangeran yang mana pun. Aku bertindak apa-apa demi keuntunganku sendiri, terus terang saja. He-he-he.....”
Disambung oleh perkataan orang yang sehari-harinya menjadi pegawai bawahannya Pangeran Hok-ong, “Dan tidak ada gunanya mengharap kami akan dihukum oleh Pangeran Hok-ong, sebab peristiwa malam ini akan tertutup rapat-rapat dan terkubur dalam-dalam.....”
Helian Kong menggertakkan gigi. Sekilas muncul pikiran untuk menyebutkan siapa dirinya sebenarnya, mudah-mudahan “sedikit nama” yang dipunyainya bisa membuka suatu peluang untuk menyelamatkan dirinya dan keluarganya. Tapi niat itu dibatalkan sendiri dalam hatinya, ia khawatir orang-orang ini malahan akan semakin bernafsu membasminya.
Sementara orang yang terpincang-pincang membawa golok itu semakin dekat dengan si bayi, Helian Kong membentak gusar, “Seujung rambut saja anak itu terluka, aku akan mengadu jiwa dengan kalian! Kami akan tertumpas, tetapi di antara kalian pun pasti akan ada sedikitnya dua orang yang berangkat ke akherat!”
Gertakan penuh kemarahan itu terasa pengaruhnya juga. Orang yang terpincang-pincang tadi tertegun sejenak, agak gentar mendengar gertakan Helian Kong. Tetapi Au Ban-hoa membakar semangatnya dengan teriakan, “Teruskan saja! Orang ini takkan bisa berbuat apa-apa, dia sepenuhnya dalam kendaliku!”
Maka orang itu pun kembali melangkah ke arah Helian Beng. Helian Kong tahu waktunya tidak boleh ditunda-tunda lagi, ia harus membuat suatu terobosan nekad untuk menghadapi masalah rumit itu, dan itu butuh sedikit pengorbanan.
Maka suatu saat Helian Kong membuat sebuah perangkap buat lawannya. Sengaja ia tangkis pentung besi lawannya secara keras lawan keras, lengannya terasa pegal, dan Helian Kong sengaja mundur terhuyung-huyung. Memang sebetulnya Helian Kong kalah tenaga dari lawannya. Lengannya yang memegang pedang itu tidak pura-pura merasa pegal melainkan benar-benar pegal, namun terhuyungnya itu pura-pura.
Taktik “sungguh-sungguh campur pura-pura” ini berhasil mengecoh Au Ban-hoa. Si botak bertongkat besi ini memang sejak mulainya sudah tahu kalau ia lebih unggul, maklum karena ia adalah pendekar angkatan tua yang satu generasi dengan almarhum gurunya Helian Kong. Melihat Helian Kong terhuyung setelah menangkis serangannya, Au Ban-hoa merasakan itu normal saja, dianggapnya sudah seharusnya begitu, sedikit pun tidak dilihatnya ada perangkap.
Maka sambil membentak keras, ia melangkah maju setengah melompat sambil mengayunkan pentung besinya ke ubun-ubun Helian Kong, diharapnya itu akan menjadi serangan pamungkas untuk mengakhiri lawannya.
Helian Kong benar-benar mempermainkan nyawanya sendiri. Ia tidak cepat-cepat menangkis atau mengelak, melainkan sengaja menunggu untuk meyakinkan bahwa gerak tipu lawannya tak bisa diubah lagi. Itu artinya Helian Kong harus menunggu sampai serangan lawannya begitu dekat.
Lalu ketika satuan waktu sepersekian detik yang ditunggu itu tiba, Helian Kong mengerahkan segenap kekuatannya ke pundak sebelah kirinya, ia mengelak dan membiarkan pundak kirinya kena gebuk tongkat lawan. Helian Kong merasa langit seakan ambruk dan bumi terjungkir balik, bagian dalam tubuhnya terguncang, pandangan matanya kabur, namun ia tetap sadar dan tekadnya tetap melanjutkan rencananya.
Sepersekian detik selagi Au Ban-hoa menyoraki kemenangannya dan agak lengah, pedang Helian Kong justru berkelebat cepat, teramat cepat menyambar ke arah jantung Au Ban-hoa. Mulut Au Ban-hoa saat itu sudah terbuka hendak tertawa penuh kemenangan, namun mulut yang terbuka itu mengeluarkan desis kaget waktu melihat serangan balik Helian Kong.
Bahkan Au Ban-hoa sudah merasakan kulit dadanya pedih disusupi ujung pedang yang dingin. Dengan seluruh kemampuannya Au Ban-hoa membanting dirinya agar ujung pedang jangan mencapai jantungnya, kalau soal mencapai kulit dan dagingnya memang sudah berlangsung namun jangan sampai ke jantung.
Karena gugupnya, gerak Au Ban-hoa itu agak miring sehingga ujung pedang Helian Kong yang sudah terlanjur menyusup hampir dua jari itu, merobek daging di dada Au Ban-hoa sampai ke dekat rusuk. Robeknya daging bukan karena gerakan Helian Kong melainkan karena gerakan Au Ban-hoa sendiri. Au Ban-hoa jatuh terkapar dengan luka di dada menyemburkan darah, mengerang kesakitan.
Helian Kong sendiri sebenarnya tinggal setengah sadar. Bukan main akibat gebukan musuh tadi, bagian dalam tubuhnya terasa nyeri, darahnya bergolak dan kalau tidak ditahan akan menyembur keluar. Namun kesadarannya yang tersisa bergabung dengan kebulatan hatinya membuat Helian Kong memaksakan diri untuk tetap berdiri tegak seolah-olah tidak sakit sedikit pun. Ia berhasil. Ia tetap kokoh menjulang dengan pedang tergenggam di tangannya.
Pandangan Au Ban-hoa yang berkunang-kunang itulah sekarang memandang kabur ke arah sosok tegak Helian Kong. Perasaan Au Ban-hoa campur-aduk. Kaget, heran, penasaran dan juga gentar. “Kau..... kau tidak..... mampus?” desis Au Ban-hoa sambil mencoba bangkit, namun tubuhnya terlalu lemah.
Helian Kong mengeraskan hati dan berlagak tetap garang, “Kau pikir pukulan tongkat selemah itu bisa menembus Kim-ciong-tohku?” Kim-ciong-toh atau Ilmu Kebal Lonceng Emas adalah salah satu dari sekian banyak ilmu-ilmu kebal. Helian Kong sebenarnya tidak menguasai ilmu itu, namun ia sengaja menggertak lawannya. Kalau lawannya cermat, sebenarnya kebohongan Helian Kong bisa diketahui.
Ilmu Lonceng Emas membuat seorang lelaki yang melatihnya jadi impoten, tidak bisa punya isteri apalagi sampai punya anak, itulah sebabnya Ilmu Lonceng Emas umumnya dilatih hanya oleh kaum pertapa yang tidak menggubris hidup berkeluarga. Sedangkan Helian Kong punya isteri dan anak.
Namun Helian Kong tidak sempat menemukan cara lain untuk bohong, pikirannya sudah kabur, tidak pingsan saja sudah untung. Dan untungnya lagi, bualannya itu dipercayai lawan-lawannya yang terguncang hatinya.
Ambruknya Au Ban-hoa tak pernah terbayangkan oleh orang-orang Koai-to-bun yang mengajaknya. Apalagi ambruknya di tangan “A-kong si anak gunung” yang tidak bernama. Tiga orang Koai-to-bun yang bertempur dengan kakak-beradik Siangkoan lalu berlompatan mundur. Siangkoan Yan yang masih dikuasai emosinya masih hendak melabrak mereka, namun kakaknya menahan lengannya,
“Adik Yan, yang penting adalah keselamatan anakmu. Kita sudah menang saat ini.”
“Seandainya kita yang kalah, mereka sudah siap berbuat kebiadaban terhadap kita, bahkan terhadap A-beng yang belum tahu apa-apa.....”
Siangkoan Yan masih terengah-engah gusar. “Sudahlah. Sekarang yang penting kau tenangkan dulu A-beng.”
Diingatkan akan anaknya, Siangkoan Yan lalu mendekati anaknya yang masih menangis, mengangkatnya ke pangkuannya dan mendekapnya. Waktu ia mengangkat wajahnya dan menatap si orang Koai-to-bun yang hendak membunuh anaknya, maka sorot mata tajam si macan betina ini membuat orang itu melangkah mundur dengan gentar.
Suasana sunyi beberapa saat, kedua pihak hanya saling mengawasi dengan tegang. Kemudian terdengar suara Helian Kong, “Kali ini aku memandang wajah Pangeran Hok-ong yang sudah berbuat kebaikan kepada rakyat, aku takkan membunuh kalian. Aku akan coba melupakan bahwa kalian sudah merencanakan keji atas diriku sekeluarga. Lain kali, rasanya belum puas sebelum memotong leher kalian dan memancangkan batok-batok kepala kalian di atas batang-batang kayu dan memamerkan di tepi jalan!”
Orang-orang Koai-to-bun itu gentar, mereka menyangka bahwa Helian Kong benar-benar masih segar, dan kalau sudah mampu merobohkan Au Ban-hoa, tentu akan mampu merobohkan yang lain-lainnya. Begitulah, mereka tidak tahu bahwa Helian Kong merasa ada ribuan batang jarum menusuk-nusuk di bagian dalam tubuhnya, pandangan matanya sudah bercampur warna kuning dan hijau.
Maka waktu Helian Kong memerintah pergi sekali lagi, orang-orang itu pun angkat kaki sambil membawa Au Ban-hoa yang lukanya amat parah, dan seorang anggota Koai-to-bun yang punggungnya melepuh terbakar, dan satu lagi berjalan terpincang-pincang.
Helian Kong tetap berdiri tegak dengan gagah sampai yakin bahwa orang-orang itu tidak melihatnya lagi. Maka daya tahannya pun habis. Ia memuntahkan segumpal darah, kemudian ambruk terkulai. Siangkoan Yan hampir menjerit, sementara Siangkoan Heng cepat-cepat menyambar tubuhnya agar tidak terhempas tanah.
“Ba..... bagaimana dia?” tanya Siangkoan Yan menahan isaknya.
“Dia masih hidup,” sahut Siangkoan Heng. “Tempat ini bukan tempat istirahat yang baik, terlalu dekat jalan raya ke Lam-khia, dan sembarang waktu orang-orang tadi bisa datang kembali dengan membawa kekuatan yang lebih besar.”
“Jadi?”
“Kita harus pergi dari sini, mencari tempat yang sepi untuk memulihkan keadaan suamimu.”
Siangkoan Yan mengangguk. Ia memperlihatkan sikap tabahnya, ia tidak ingin membuat bingung kakaknya dengan isak tangisnya. Siangkoan Heng bekerja cepat membuat sebuah usungan yang biasa diseret oleh satu orang. Setelah alat darurat itu selesai, dibawanya Helian Kong pergi dari tempat itu, menjauhi jalan raya.
Mereka mendapat tempat di tepi sebuah sungai kecil berair jernih. Siangkoan Heng dan Siangkoan Yan mendirikan gubuk darurat di situ. Sementara hari demi hari Helian Kong pun pulih kembali kekuatannya.
Hari ke sepuluh, Helian Kong sudah berkata kepada isterinya dan iparnya, “Rasanya sudah bisa kita lanjutkan perjalanan ke Lam-khia. Tidak terlalu jauh lagi.”
Siangkoan Yan nampak bimbang, lalu tanya, “Apakah kehadiran kita di Lam-khia masih perlu?”
“Apa maksudmu, Adik Yan?”
“Melihat sedemikian rupa perlakuan orang-orangnya Pangeran Hok-ong, masih perlukah kita ke Lam-khia untuk mendukung Pangeran Hok-ong menjadi Kaisar dinasti Beng?”
“Eh, ngawur saja omonganmu, siapa bilang kita ke Lam-khia untuk mendukung Pangeran Hok-ong?”
“Habis, buat apa?”
“Bersama-sama para jenderal yang setia untuk menekan para pangeran agar jangan menimbulkan perpecahan di antara kekuatan-kekuatan dinasti Beng yang masih tersisa. Perkara pangeran yang mana yang bakal menjadi kaisar, kita belum tentukan sekarang. Kita masih harus melihat-lihat dulu.”
“Asal jangan Pangeran Hok-ong saja. Lihat saja kelakukan orang-orangnya yang seperti kaum berandal pasaran.”
“Adik Yan, bedakan antara Pangeran Hok-ong dan orang-orangnya. Kalau didengar omongan orang-orang Koai-to-bun itu, jelaslah mereka sendiri tidak mau kelakuan mereka diketahui Pangeran Hok-ong. Terbukti mereka begitu bernafsu menumpas kita, supaya perbuatan busuk mereka tidak tersebar dan menggusarkan Pangeran.”
“Jadi, Pangeran sebenarnya orang baik?”
“Setidak-tidaknya ‘terpaksa baik’ dan bukan baik sungguhan. Mungkin untuk menarik simpatik para jenderal.”
“Kakak Kong, apakah kau.... benar-benar mempelajari Ilmu Lonceng Emas?”
Helian Kong tertawa, ia menoleh ke kejauhan dan melihat Siangkoan Heng sedang di pinggir sungai, tentunya tidak bakal mendengar kata-katanya kepada Siangkoan Yan yang akan sangat pribadi sebagai kelakar antara suami isteri. Kata Helian Kong dengan suara dilirihkan, “Kalau aku belajar Ilmu Lonceng Emas, Si Kecil A-beng takkan bakal nongol di dunia.”
Siangkoan Yan belum paham, “Lho, kenapa?”
“Sebab aku takkan bisa bertindak sebagai suami yang normal. Lelaki yang melatih Ilmu Lonceng Emas, akan kehilangan kejantanannya sebagai lelaki. Alat kelaminnya tak dapat berfungsi terhadap lawan jenisnya.”
Kini Siangkoan Yan paham, mukanya pun jadi merah jengah. “Ilmu yang kejam...”
“Banyak ilmu beladiri yang kejam, menuntut pengorbanan besar dari yang mempelajarinya. Sehingga orang itu jadi budak ilmu, bukannya memanfaatkan ilmu.”
“Tapi apa benar ada ilmu begitu? Bagaimana melatihnya?”
Helian Kong menggoda, “Kenapa tanya-tanya? Ingin melatih ilmu itu?”
Siangkoan Yan mencubit suaminya, “Jangan macam-macam. Apa tidak boleh sekedar tahu?”
“Aku tidak tahu banyak, hanya dengar-dengar dari orang-orang saja. Kabarnya memang masih banyak orang yang mempelajarinya, terutama orang-orang pertapaan yang memang tidak butuh keluarga. Salah satu cara latihannya, pagi-pagi sekali setelah bangun tidur, kalau orang-orang normal biasanya langsung kencing, maka orang-orang yang melatih Ilmu Lonceng Emas ini dilarang kencing.”
Siangkoan Yan tertawa. “Peraturan aneh.”
“Ya. Dalam keadaan menahan kencing, orang-orang itu melatih senam pernapasan tertentu, sampai rasa ingin kencing tadi lenyap sama sekali. Demikian bertahun-tahun. Kata orang, tubuhnya lalu jadi kuat dan kebal, bahkan.....” bicara sampai di sini Helian Kong tertawa.
Siangkoan Yan penasaran. “Kenapa tertawa?”
“Percaya atau tidak, orang ini bisa memainkan otot perutnya sedemikian rupa sehingga..... alat kelaminnya tersedot masuk ke dalam perut. Dalam pertempuran, kalau bagian kelaminnya kena pukulan atau tendangan, maka dia akan tenang-tenang saja. Sedang kalau lelaki normal pasti gulung-koming saking sakitnya.”
“Jadi sudah tidak punya kelemahan, ya?”
“Tentu saja ada. Mana ada ilmu yang tidak ada kelemahannya?”
“Apa kelemahannya?”
“Itu yang aku belum tahu.”
Ketika itu terdengar si kecil Helian Beng menangis, maka buru-buru Siangkoan Yan bangkit untuk menyusuinya. Sementara Siangkoan Heng sudah melangkah dari tepian sungai ke arah gubuk, wajahnya gembira, sambil menenteng beberapa ekor ikan.
Hari itu mereka mulai melanjutkan perjalanan ke Lam-khia. Esok harinya, pagi-pagi benar, barulah mereka menuju ibukota lama dinasti Beng itu. Keadaan jalanan masih seperti beberapa hari yang lalu, ramai dengan pengungsi dari utara ke selatan, penjual-penjual makanan dengan harga mencekik leher, patroli-patroli prajurit-prajurit bawahan Pangeran Hok-ong, dan di beberapa tempat masih ada tempat pembagian makanan gratis oleh Pangeran Hok-ong.
Ketika Siangkoan Yan nampaknya mulai kelaparan, Helian Kong berkata, “Tunggu di sini, kucarikan lagi bubur gratis seperti dulu.”
“Jangan!” cegah isterinya.
“Kenapa?”
“Nanti bertemu orangnya Pangeran Hok-ong yang dulu itu, dan timbul keributan lagi.”
“Jangan khawatir, begitu kulihat orang itu di sana, aku akan menghindar.”
“Lebih baik jangan, aku belum lapar sekali kok.”
Siangkoan Heng tiba-tiba bicara, “Hari ini bolehlah kita makan sedikit enak di warung. Aku punya uang kok.....”
Helian Kong dan Siangkoan Yan menatap heran ke arah Siangkoan Heng. Tanya Siangkoan Yan kepada kakaknya itu, “Darimana Kakak tiba-tiba dapat uang? Dulu waktu meninggalkan pegunungan kan tidak punya sepeser pun?”
Siangkoan Heng berkata, “Jual ikan. Sungai kecil tempat kita mengaso selama sepuluh hari itu ternyata banyak ikannya. Aku tangkapi ikannya, aku jual ke sebuah kampung yang agak jauh.”
“Berapa uang Kakak?”
Siangkoan Heng merogoh kantongnya dan memperlihatkan potongan-potongan perak di telapak tangannya. Tetapi Siangkoan Yan berkata, “Lebih baik Kakak simpan dulu, buat bekal di Lam-khia nanti. Lam-khia itu kota besar lho, bahkan lebih besar dari Pak-khia.”
“Kau ini, suamimu mau cari makanan gratis kau larang. Aku mau membelikan makanan juga kau larang. Memangnya siang ini kita harus makan rumput seperti kambing?”
Siangkoan Yan sebenarnya merasa amat terharu akan perhatian dari kakaknya dan suaminya yang begitu besar. Katanya, “Kalian istirahatlah sambil menjaga A-beng, biar aku yang cari bubur gratis itu.”
“Kita bertiga sudah dikenali oleh si pegawainya pangeran brengsek itu. Sama saja kalau dia melihat salah satu dari kita, pasti timbul keributan. Siang ini kita makan di warung. Kau sebagai Ibu yang sedang menyusui haruslah mendapat makanan yang agak baik, biar anakmu juga sehat.”
Akhirnya tak tercegah lagi keinginan Siangkoan Heng itu. Helian Kong memperingatkan, “Tetapi sebelum pesan makanan tanya dulu harganya. Jangan pesan dulu baru tanya harga. Harganya gila-gilaan.”
“Iya, iya, aku mengerti.”
Mereka mencari warung, dan kemudian ketemu juga sebuah warung. Bangunannya agak permanen, meskipun hanya dari kayu. Warung ini tidak hanya beratapkan sepotong kain lebar yang sudut-sudutnya diikat di batang-batang bambu yang ditancapkan di tanah seperti warung-warung darurat lainnya. Tidak. Yang ini ada dindingnya, biarpun hanya setinggi perut, ada tempat menambatkan kuda, dan agaknya si empunya warung dan pegawai-pegawainya juga menetap di situ.
Tetapi begitu Helian Kong dan rombongan kecilnya hendak melangkah masuk ke dalam warung itu, seorang pegawai warung yang di pundaknya tersampir lap meja, menghadang mereka bertiga sambil berkata,
“Maaf, Saudara-saudara, bukannya warung kami tidak mau tahu tentang penderitaan kalian para pengungsi, tetapi sisa-sisa makanan dari dapur baru saja kami berikan kepada serombongan pengungsi yang mendahului kalian. Mohon maaf sebesar-besarnya.”
Rupanya karena pegawai warung itu melihat pakaian Helian Kong bertiga tidak lebih baik dari pengungsi-pengungsi yang lain, lalu menyangka Helian Kong bertiga sama dengan yang lain. Apalagi melihat ada perempuannya yang menggendong bayi segala.
Siangkoan Heng yang menjawab, “Kami tidak mau makanan sisa. Kami mau beli makanan seperti mereka.....”
Siangkoan Heng menunjuk beberapa tamu yang sedang duduk di dalam warung, orang-orang yang duduk di dalam itu pakaiannya memang jauh lebih bagus dari para pengungsi.
Si pegawai warung agak heran mendengar perkataan Siangkoan Heng, lalu diamat-amatinya Siangkoan Heng seolah-olah menaksir berapa tebal isi kantong si dekil ini? “Saudara-saudara ini mau..... beli makanan?” ia mencari penegasan, seolah perkataan Siangkoan Heng yang tadi masih kurang meyakinkan.
“Ya.”
“Saudara..... punya uang berapa?”
Siangkoan Heng menunjukkan uangnya. “Apakah ini cukup untuk tiga mangkuk.....” ia berhenti sebentar untuk melihat apa yang dimakan tamu-tamu lainnya. Kelihatan ada yang makan ayam goreng, Siangkoan Heng tahu pasti uangnya akan kurang, lalu dilihatnya yang lain sedang makan bubur ayam jamur, maka Siangkoan Heng melanjutkan kata-katanya yang terputus tadi, “.....tiga mangkuk bubur ayam jamur?”
Si pegawai warung melirik gumpalan-gumpalan kecil perak di tangan Siangkoan Heng, kemudian mengangguk. Tetapi ketika Helian Kong dan rombongannya hendak melangkah masuk ke warung, si pegawai warung cepat-cepat melintangkan lebar badannya, dan berkata sambil cengengesan sungkan,
“Maaf..... silakan Saudara-saudara menunggu di luar. Di sana, di bawah pohon itu, cukup teduh dan ada bangkunya. Nanti makanannya kami antar ke sana. Pelayanannya sama kok, pelayanan kami selalu memuaskan.”
“Kenapa kami harus di luar dan orang lain boleh di dalam? Apakah karena pakaian kami tidak sebagus pakaian mereka?”
Si pegawai warung masih cengengesan, “Buat kami, semua tamu adalah raja, semuanya kami perlakukan dengan hormat tanpa membedakan pakaian. Tetapi..... tamu-tamu yang di dalam itu barangkali..... keberatan.”
Hampir Siangkoan Heng menjotos wajah cengengesan itu, namun Helian Kong mencegahnya, “Saudara Siangkoan, kalau kau pukul orang ini, kau turunkan dirimu sendiri jadi sama dengan dia. Kau juga harus menjotos sebagian besar orang di permukaan bumi ini, sebab begitulah watak orang-orang di sebagian besar permukaan bumi.”
Apa boleh buat, Helian Kong serta anak isterinya dan iparnya harus duduk di luar warung, di bawah pohon. Sambil menunggu pesanan. Lama pesanan belum datang-datang juga. Kemudian mereka lihat ada tamu-tamu baru di warung itu. Ketiganya adalah pemuda-pemuda yang lebih muda sedikit dari Helian Kong maupun Siangkoan Heng.
Mereka gagah-gagah, tampan-tampan, pakaiannya bagus dan masing-masing membawa pedang yang dihias bagus dengan ronce-ronce di gagang pedang yang indah. Mereka kelihatannya merupakan murid-murid dari sebuah perguruan yang baru saja turun gunung.
Mereka tentu saja dipersilakan duduk di dalam oleh si pegawai warung yang tadi menemui Siangkoan Heng. Sikap si pegawai warung berlebih-lebihan ramahnya sehingga terkesan amat menjilat. Dari bawah pohon di luar warung, Siangkoan Heng menatap dengan jengkel, gerutunya, “Setelah mendapat tamu yang berpakain bagus, jangan-jangan si mata duitan tadi sudah lupa pesanan kita?”
“Biar kutanyakan,” kata Helian Kong sambil meninggalkan bangkunya, mendekati si pegawai warung dan berbicara perlahan di dekat kuping si pegawai warung. Si pegawai warung mengangguk-angguk.
Toh tamu-tamu baru tadi tetap dilayani lebih dulu. Untungnya sebelum Siangkoan Heng mengamuk, pesanan mereka sudah datang. Tiga mangkuk besar bubur ayam jamur yang baunya merangsang selera. Mereka mulai makan. Siangkoan Heng perlahan-lahan makannya, supaya tidak cepat habis, sebab bubur itu ternyata memang lezat sekali, tidak seperti bubur gratisnya Pangeran Hok-ong.
Melihat gaya makan kakaknya yang dihemat-hemat itu, Siangkoan Yan tertawa geli dan menggoda, “Kalau melihat cara makanmu itu, Kakak Heng, apakah masih ada orang percaya kalau Kakak mengaku sebagai putera Menteri Siangkoan Hi di jaman dinasti Beng?”
“Aku tidak peduli orang percaya atau tidak.”
Sementara mereka mendengar dari dalam warung percakapan tiga pemuda gagah berpedang tadi. Kata pemuda yang alisnya amat tebal dan rahangnya kelihatan kokoh, “Kita tidak terburu-buru melanjutkan jalan. Santailah sedikit, isi perut dengan makanan enak, lenyapkan dahaga dengan anggur yang baik, baru kita lanjutkan ke Lam-khia yang tidak jauh lagi.”
“Kiranya mereka juga hendak ke Lam-khia.....” pikir Helian Kong. Ia dengar logat ketiga orang itu adalah logat orang barat laut, sama dengan Helian Kong.
Pemuda lain yang pipinya gemuk kemerah-merahan seperti pipi bayi, menjawab, “Guru berpesan kepada kita, agar di Lam-khia nanti kita hati-hati memilih calon penguasa yang akan kita abdi.”
Pemuda ketiga yang mukanya pucat menyambung, “Benar. Ada banyak pilihan di sana nanti. Selain para pangeran, juga para jenderal. Jangan sampai kita bekerja pada orang yang salah. Kalau kita mengabdi orang yang salah, baru sebentar kita mengabdi tahu-tahu yang kita abdi jatuh terjungkal, jadi pecundang, kan kita ikut repot? Dan kehilangan masa depan yang cemerlang?”
Mendengar itu, Helian Kong yang di luar diam-diam menarik napas. Ternyata penafsiran atas kata “pengabdian” itu tidak sama pada masing-masing orang. Orang-orang muda ini misalnya, mereka anggap pengabdian itu untuk mencari posisi yang enak, yang mengamankan cita-cita mereka akan masa depan yang gemilang.
Si Pipi Bayi menoleh ke arah Si Alis Tebal dan bertanya, “Kalau begitu, begitu kita tiba di Lam-khia nanti, apa yang harus kita perbuat?”
Si Alis Tebal agaknya adalah saudara seperguruan yang tertua, ia kerutkan alisnya berpikir sebentar, lalu katanya, “Kita jangan buru-buru menemui pangeran ini atau pangeran itu lalu melamar pekerjaan. Jangan dulu. Kita lakukan dulu perbuatan-perbuatan menggemparkan, supaya nama kita dikenal orang, nanti pangeran-pangeran itulah yang akan mendatangi kita untuk merangkul kita ke pihak mereka. Nah, saat itu barulah kita banding-bandingkan tawaran mana yang paling menarik dan paling pantas kita terima.”
“Ah, Kakak sungguh berpikir hebat!” puji Si Pipi Bayi.
Si Muka Pucat kemudian bertanya, “Untuk mengangkat nama, tentu kita harus mencari nama di Lam-khia itu pun sekedar nama pemberian orang tua kita. Nah, kita belum punya nama julukan seperti pendekar-pendekar umumnya.”
Si Alis Tebal mengangguk-angguk, “Betul juga katamu. Di Lam-khia kita harus punya julukan. Nah, coba kalian pikirkan, julukan apa yang pantas buat kita?”
Si Pipi Bayi menjawab, “Bagaimana kalau... Tiga Macan Buas Dari Pegunungan Barat Laut?”
Si Muka Pucat tertawa geli, “Macan buas? Wajahmu dengan pipi yang montok kemerah-merahan itu tidak kelihatan buas sedikit pun. Kau hanya buas bila berhadapan dengan semangkuk mi pangsit.”
Si Pipi Bayi menjawab dengan gusar, “Coba berkaca dan lihat tampangmu sendiri yang kaya orang penyakitan, apa cocok dengan muka seorang pendekar?”
“Banyak lho pendekar yang tampangnya sepele. Misalnya Thai-lik-ku-hou (Macan Kurus Bertenaga Raksasa) Oh Kui-hou. Dia kurus, pendek dan pakaiannya kedodoran. Orang yang bertemu dengannya pasti takkan menyangka kalau dia pendekar hebat. Sedang aku, setidaknya punya potongan lebih gagah dari dia....”