Puing Puing Dinasti Jilid 04 karya Stevanus S.P - DUA SAUDARA seperguruan itu hampir bertengkar, namun Si Alis Tebal cepat melerainya, “Jangan bertengkar. Kalian kuminta mencari julukan yang cocok buat kita, kok malah saling mengejek dan bertengkar?”
Mereka diam pula, sambil makan juga mencari julukan yang bakal diterjunkan di “bursa pendekar” yang bakal berlangsung di Lam-khia. Si Muka Pucat tiba-tiba usul, “Bagaimana kalau... Tiga Elang Perkasa Bersayap Pedang Menyambar dari Pegunungan Barat Laut?”
“Ah, terlalu panjang. Julukan harus pendek, mudah diingat, menggetarkan. Tidak, yang itu tidak bisa dipakai. Ayo, pikirkan lagi.”
Tiba-tiba dari pojok ruangan terdengar tertawa mengejek dan berkata, “Aku usul. Bagaimana kalau kalian pakai saja julukan Tiga Kantong Nasi Mencari Mati?”
Tiga pemuda perlente yang sedang sibuk mencari julukan itu pun serempak menoleh ke arah suara itu. Di pojok itu duduk seorang lelaki empat puluhan tahun. Pakaiannya tidak bagus, bahkan kumal, jadi mengherankan bagaimana dia bisa duduk di dalam warung tanpa diusir oleh pegawai warung yang mata duitan tadi? Mungkin yang membuat si pegawai warung tidak berani mencegahnya adalah sorot matanya yang menggidikkan hati. Ada bekas luka menyilang mata kirinya.
Tiga “calon pendekar” yang hendak mencari nama di Lam-khia itu pun berang, namun agak gentar juga. Mereka sudah diberitahu oleh guru mereka sebelum turun gunung, bahwa tidak sedikit jagoan di rimba persilatan yang suka cari gara-gara, sekedar ingin berkelahi tanpa alasan yang jelas, atau mungkin juga dalam rangka cari nama buat dirinya. Sekarang menemui kejadian seperti yang diceritakan oleh guru mereka, ketiga “calon pendekar” ini keder juga.
Tetapi sudah terlanjur gagah-gagahan, terpaksa urusan itu harus dihadapi juga. Si Alis Tebal sebagai saudara seperguruan tertua, bertanya kepada orang itu, “Apa urusan Tuan dengan kami?”
“Tidak ada urusan apa-apa kecuali sebal melihat di mana-mana orang jual tampang, padahal kosong, tanpa isi.”
“Boleh kami tahu nama Tuan?”
“Aku sampai sudah lupa namaku sendiri, tetapi orang-orang menyebutku Si Pedang Buruk. Ini julukan yang diberikan orang, bukan kukarang sendiri.”
Sambil berkata demikian, perlahan ia mencabut pedang tanpa sarung yang diselipkan pada ikat pinggangnya untuk diangkat dan diperlihatkan. Ternyata benar-benar sebatang pedang yang sangat buruk. Kusam, tidak ada kilatannya sedikitpun, bahkan ada bercak-bercak karat di sana-sini. Tangkainya dari kayu sembarangan saja dan dibalut kain-kain rombeng agar menyerap keringat waktu dipegang dan tidak licin. Pedang macam itu, dibuang di tempat sampah pun orang enggan mengambilnya.
Si tiga “calon pendekar” tersenyum mengejek melihat pedang itu, alangkah jauh bedanya dengan pedang mereka yang bagus, mengkilat, ada ronce-roncenya dan sarung pedangnya juga berukir bagus dan ada lambang perguruan mereka. Lebih-lebih lagi nama Si Pedang Buruk belum pernah mereka dengar.
Karena itu, keberanian ketiga orang muda itu serempak bangkit, bahkan mereka menganggap munculnya suatu peluang untuk mulai mengangkat nama. Bukankah tempat itu cukup ramai, banyak orang yang akan menyebar-luaskan peristiwa yang terjadi di situ?
Kalau ketiga pemuda itu menganggap remeh, sebaliknya yang kaget adalah Helian Kong. Ia pernah dengar nama Si Pedang Buruk sebagai pembunuh bayaran yang kejam, kadang-kadang tanpa bayaran pun membunuh orang untuk “melatih” profesinya. Helian Kong jadi mengkhawatirkan tiga pemuda itu.
Yang dikhawatirkan sendiri malah sudah siap dengan permainan “pendekar-pendekaran” mereka tanpa menyadari resikonya. Dengan penuh gaya, Si Alis Tebal pun menghunus pedangnya sambil berdiri. Ancamnya, “Bung yang menamakan diri Pedang Buruk, minta maaflah kepada kami supaya kau tidak menyesal.”
“Siapa akan menyesal?” Si Pedang Buruk tertawa dingin. Tiba-tiba telapak tangan kirinya menepuk meja, hanya perlahan, namun tiga buah mangkuk di atas mejanya terlontar ke atas. Pedangnya hilang bentuk menjadi cahaya kusam yang menyambar mangkuk-mangkuk itu. Terdengar suara berdenting lembut tiga kali.
Lalu mangkuk-mangkuk itu “mendarat” kembali di permukaan meja, namun sudah lebih pendek, sebab mangkuk-mangkuk itu terpotong keliling sejarak setengah jari dari bibirnya. Potongannya dalam bentuk gelang-gelang porselen yang rapi jatuh berdentingan di meja. Si Pedang Buruk menyelipkan kembali pedangnya ke ikat pinggang, lalu duduk acuh tak acuh.
Sedangkan si tiga orang muda memucat wajahnya, mereka sadar bahwa mereka bertiga tetap bukan tandingan Si Pedang Buruk itu. Bergegas mereka pergi sebelum menghabiskan makanan mereka. Uang pembayarannya mereka lemparkan begitu saja ke meja kasir.
Sementara Helian Kong merasa lega tidak ada korban jiwa. Ia sedikit banyak memang pernah mendengar tentang tabiat si pembunuh ini. Kata orang, kalau Si Pedang Buruk sekedar memamerkan ketrampilan pedangnya seperti membabat mangkuk tadi, itu tandanya dia cuma sedang haus pujian tetapi tidak sedang haus darah.
Kalau Si Pedang Buruk bersikap sangat ramah, malah berbahaya, itu tandanya dia sedang menggebu-gebu nafsu membunuhnya, entah ada yang membayar atau tidak. Rupanya kali ini Si Pedang Buruk sekedar sedang sebal terhadap tiga orang muda tadi, dan cuma ingin mengusirnya pergi.
“Beruntunglah tiga orang muda yang masih hijau tadi.....” Helian Kong bersyukur dalam hati. “Si Pedang Buruk ini apakah juga sedang ke Lam-khia untuk ‘cari order’?”
Tidak lama kemudian, bumi seolah bergetar karena datangnya serombongan orang berkuda. Jumlah rombongan berkuda itu ada belasan orang. Yang paling depan adalah tiga orang berseragam perwira, pengiringnya adalah prajurit-prajurit berkuda. Waktu mereka berkuda, logam-logam di seragam militer mereka memantulkan cahaya matahari. Mereka menghentikan kuda di depan warung dan berlompatan turun. Tiga perwira itu mendahului masuk ke dalam, setelah menyerahkan kendali kuda mereka kepada anak buah.
Helian Kong mengamat-amati perwira yang gagah berkumis, tak terasa ia berdesis, “Li Teng-kok.”
Kakak-beradik Siangkoan agaknya juga mengenal perwira berkumis itu, Li Teng-kok, salah seorang perwira yang dulu termasuk dalam kelompok penentang Co Hua-sun si pembesar korup di jaman dinasti Beng. Kakak beradik Siangkoan kenal Li Teng-kok, sebab dulu rumah Keluarga Siangkoan di Pak-khia adalah tempat pertemuan gelap para penentang Co Hua-sun. Yang sering ikut berkumpul di situ antara lain ya Li Teng-kok inilah, yang waktu itu berada di Pak-khia karena diutus oleh atasannya, Jenderal Thio Hian-tiong.
“Kenapa Li Teng-kok di sini?” Siangkoan Heng membisiki Helian Kong.
“Alasannya sama dengan kenapa kita di sini.”
“Kenapa bukan Jenderal Thio Hian-tiong sendiri? Pengaruhnya sangat kuat, sebab Jenderal Thio menguasai militer seluruh Se-cuan yang merupakan propinsi bahan pangan?”
“Lupakah apa yang dikatakan Bhikuni Siok-sim alias Puteri Tiong-ping, bahwa pihak Manchu sedang mengirim tentara besar di bawah pimpinan Bu Sam-kui untuk menguasai daerah barat laut berarti berhadapan dengan kedudukan Jenderal Thio di Se-cuan?”
“Apakah akan kita temui Li Teng-kok?”
Ternyata selagi Helian Kong masih belum memutuskan akan menemui Li Teng-kok, malahan Li Teng-kok yang lebih dulu sudah melihat Helian Kong dan berseru gembira, “Panglima Helian! Kaukah ini?”
Tak terhindari pertemuan kedua sahabat lama itu. Mereka berpelukan di halaman warung itu, kemudian Li Teng-kok juga memeluk Siangkoan Heng yang dikenalnya baik pula. Si pegawai warung yang tadi bersikap menghina Helian Kong dan rombongan kecilnya, sekarang gemetar ketakutan melihat adegan itu, apalagi tadi ia mendengar Li Teng-kok menyebut si “pengungsi” itu dengan sebutan “Panglima Helian”.
Si pegawai warung lalu membisiki majikannya, si pemilik warung, si majikan memaki kecerobohan pegawainya, kemudian ia sendiri tergopoh-gopoh keluar menyambut. Li Teng-kok lalu memperkenalkan Helian Kong dan Siangkoan Heng kepada kedua rekannya,
“Saudara Helian dan Saudara Siangkoan, inilah rekan-rekanku dari Se-cuan, sesama perwira bawahan Jenderal Thio. Ini adalah Saudara Gai Leng-ki dan yang ini Lau Bun-siu. Saudara Gai dan Lau, inilah Helian Kong yang namanya pasti sudah kalian dengar, dan ini Saudara Siangkoan Heng, iparnya, itu Nyonya Helian.”
Gai Leng-ki dan Lau Bun-siu berbarengan memberi hormat kepada Helian Kong, kata Gai Leng-ki, “Tentu saja kami pernah mendengar nama Panglima Helian yang termashyur, bukan saja gagah berani di medan tempur, tetapi juga mempertaruhkan nyawa untuk menentang kekorupan Co Hua-sun di istana.”
Helian Kong balas menyanjung, “Aku pun sudah mendengar kalian yang disebut ‘empat harimau’ di bawah pimpinan Jenderal Thio. Tetapi kenapa ada satu ‘harimau’ yang tidak ikut kemari, yaitu Saudara Sun Ko-bong?”
Memang Jenderal Thio Hian-tiong di Se-cuan terkenal mempunyai empat panglima perang yang tangguh : Sun Ko-bong, Li Teng-kok, Gai Leng-ko dan Lau Bun-siu. Kini yang berdiri di depan Helian Kong kurang Sun Ko-bong seorang.
Jawab Li Teng-kok, seperti yang sudah diterka Helian Kong sejak tadi, “Kakak Sun tetap mendampingi Jenderal Thio. Pasukan Manchu sedang menyusun posisi di sebelah utara posisi kita di Se-cuan, Jenderal Thio harus mengimbangi gerakan itu. Bahkan, mungkin saat ini Jenderal Thio sudah menyeberang keluar dari perbatasan Se-cuan dan lebih dulu merangsek tentara Manchu di Siam-sai yang dipimpin sobat baik kita, Bu Sam-kui.”
Bicara tentang “sobat baik kita Bu Sam-kui” suara Li Teng-kok jadi getir. Maklumlah, di antara perwira-perwira yang menentang kekorupan Co Hua-sun dulu, Bu Sam-kui juga termasuk, juga sering kumpul-kumpul secara rahasia di rumah Keluarga Siangkoan. Tapi sejak menyerahkan kota San-hai-koan ke tangan orang Manchu, Bu Sam-kui sudah menjadi Panglima Manchu.
Pertama memang hanya ditugasi menggempur sisa-sisa pengikut Li Cu-seng yang masih berkeliaran di barat laut setelah Li Cu-seng sendiri tewas di Pegunungan Kiu-kiong-san. Tetapi lama-lama Bu Sam-kui juga diperalat Manchu untuk menggempur bekas teman-temannya sendiri di jaman dinasti Beng dulu. Dengan menahan Tan Wan-wan, kekasih Bu Sam-kui, pihak Manchu lalu bisa menyuruh Bu Sam-kui berbuat apa saja.
Helian Kong pun menarik napas, “Penyerahan San-hai-koan ke pihak Manchu itu sungguh mengejutkan aku. Padahal aku sudah sekuat tenaga mencegahnya. Aku bahkan menyelundup ke istana yang saat itu masih dikuasai Li Cu-seng Si Gembong Pelangi Kuning, aku ingin menculik Tan Wan-wan untuk disatukan dengan Bu Sam-kui. Ternyata semua tindakan pencegahanku masih kalah cepat oleh tindakan ceroboh Bu Sam-kui.”
“Sudahlah, sekarang kita harus bersatu untuk menyelamatkan yang masih tersisa. Bukankah demikian juga tujuan Saudara Helian dan Siangkoan ke Lam-khia?”
Helian Kong mengangguk. Sementara itu, Si Pemilik Warung telah berlutut di depan Helian Kong sambil berkata, “Tuan Panglima, sungguh pegawaiku itu tidak pantas hidup karena telah berlaku amat tidak menghormati Tuan. Dia tidak tahu kalau Tuan adalah seorang Panglima yang menyamar.”
Helian Kong tertawa, “Aku tidak sedang menyamar. Memang aku dulu pernah jadi panglima, kemudian jadi peladang di pegunungan. Aku tidak merasa dihina oleh perlakuan orangmu tadi.”
“Ah, beruntunglah Si Goblok itu bahwa Tuan Panglima begini besar hati. Kami mempersilakan Tuan-tuan duduk di dalam, biar kami diberi kesempatan untuk menghormati Tuan-tuan sekedarnya.”
Karena warung itu tidak luas tempatnya, maka yang masuk hanya Li Teng-kok, Gai Leng-ki, Lau Bun-siu, Helian Kong serta anak isteri dan iparnya. Dua meja harus disambung jadi satu supaya mereka dapat berbincang-bincang sambil makan.
Waktu Helian Kong menoleh ke tempat duduk Si Pedang Buruk tadi, nampaklah tempat itu sudah kosong. Rupanya Si Pedang Buruk sudah menyelinap pergi secara diam-diam, entah membayar entah tidak. Kehadiran si pembunuh bayaran tadi memberi suatu gagasan kepada Helian Kong bersangkutan dengan kehadirannya di Lam-khia.
Pikirnya, “Di Lam-khia saat ini pastilah berkeliaran orang-orang bermental semacam itu, yang siap menangguk di air keruh demi keuntungan diri sendiri. Dalam situasi dimana banyak pihak berambisi memenangkan persaingan menjadi kaisar, pastilah orang-orang macam Si Pedang Buruk ini banyak kemungkinan digunakan tenaganya.
"Orang-orang macam para jenderal dan para pangeran gerak-geriknya gampang disoroti orang, karena itu lebih baik aku di Lam-khia dalam keadaan tetap terselubung, tidak muncul ke permukaan, dengan demikian leluasa mengawasi gerak-gerik orang-orang macam Si Pedang Buruk tadi.”
“Saudara Helian, apa yang sedang kau pikirkan?” tanya Li Teng-kok dari seberang meja.
Helian Kong menarik napas, kepada sahabat lama ini dia berterus-terang, “Di Lam-khia nanti, ada baiknya Saudara Li, Gai maupun Lau tidak menyebut-nyebut tentang diriku dihadapan Pangeran yang manapun juga. Aku akan lebih leluasa bekerja di Lam-khia, kalau aku tetap berada di bawah permukaan dan bekerja secara diam-diam, jauh dari pusat perhatian orang. Dianggap tidak ada.”
“Kenapa Saudara Helian berpikir demikian? Apa yang hendak Saudara lakukan?”
“Aku menduga, dalam persaingan memperebutkan tahta dinasti Beng, selain gejolak yang nampak di permukaan, juga akan ada arus bawah tanah yang berbenturan, tidak ada bedanya menjelang jatuhnya ibukota Pak-khia ke tangan para pemberontak Pelangi Kuning dulu. Bukan mustahil pula dalam pergolakan arus bawah permukaan ini dicampuri oleh tangan-tangan asing Manchu. Aku ingin tidak menarik perhatian orang sedikitpun, agar bisa ikut ‘bermain’ di arus bawah permukaan demi kejayaan dinasti Beng kita tentunya.”
Li Teng-kok mengangguk-angguk mengerti. Di antara “empat macan palagan” bawahan Jenderal Thio Hian-tiong, Li Teng-kok dikenal cerdik dan penuh siasat sehingga ada yang menyamakannya dengan tokoh legendaris Cukat Liang alias Khong Beng. Sedangkan Sun Ko-bong sering disamakan dengan tokoh yang kurang baik, Co Coh. “Baiklah, Sajudara Helian. Tetapi berhubunganlah terus dengan kami.”
“Tentu.”
Hidangan-hidangan lezat pun keluar, Meski Helian Kong dan rombongan kecilnya sudah lebih dulu makan bubur ayam jamur, sekarang mereka makan lagi macam-macam makanan lezat yang dibayari oleh Li Teng-kok.
Sambil makan, Li Teng-kok mengajukan sebuah pertanyaan kepada Helian Kong, “Saudara Helian, saat ini di Lam-khia berkumpul Pangeran Hok-ong, Lou-ong, Kui-ong, Tong-ong dan Kong-ong. Menurut analisa Saudara Helian atau Saudara Siangkoan, siapa di antara mereka yang paling pantas menjadi penerus kekuasaan dinasti Beng?”
Kalau yang bertanya bukan Li Teng-kok yang sudah Helian Kong kenal ketulusan hatinya, tentu Helian Kong akan merasa sedang “dijajagi” sikapnya, mau di pihak mana. Namun di depan Li Teng-kok, Helian Kong terang-terangan saja, “Terus terang, tidak satu pun pantas, menurut pandanganku. Namun toh tetap harus diangkat satu penerus tahta, sebagai tali pengikat persatuan menghadapi Manchu.”
“Siapa menurut Saudara Helian, si pangeran yang meskipun tidak pantas tetapi harus diangkat itu.”
“Aku belum punya pandangan.”
Li Teng-kok tertawa lebar, “Saudara Helian, masa kepada sobat lama seperti aku juga main rahasia-rahasiaan?”
“Aku tidak main rahasia-rahasiaan, tetapi aku memang masih bingung memilih. Maka ingin lihat-lihat dulu di Lam-khia. Kalau Saudara Li pilih siapa?”
“Kalau menurut pilihanku pribadi, aku melihat Pangeran Cu Yu-long alias Kui-ong yang paling cocok. Memang pribadinya tidak sempurna, tapi di kolong langit ini mana ada manusia sempurna? Ia memenuhi syarat, selain wilayah kekuasaannya paling luas, kemungkinan juga pendukungnya dari kalangan militer paling banyak. Tetapi aku pun dibebani pesan Jenderal Thio.”
“Bagaimana pesannya?”
“Pesannya seperti kau, Saudara Helian. Jangan buru-buru menjatuhkan pilihan, lihat-lihat dulu, pertimbangkan dulu masak-masak segala sesuatunya. Ha-ha-ha, seperti mau memilih isteri saja.”
“Ini lebih penting dari memilih isteri. Ini memilih kaisar yang akan menentukan nasib berjuta-juta orang di wilayah dinasti Beng yang masih tersisa ini. Tentu saja pertimbangannya harus jauh lebih cermat dari memilih isteri, Saudara Li.”
“Ha-ha-ha, betul juga. Tetapi memang ada beberapa teman-teman kita yang datang ke Lam-khia ini sudah dengan pilihan yang ditentukannya.”
“Ada perkataan Puteri Tiang-ping yang kupegang teguh.”
“Puteri Tiang-ping? Kapan kau bertemu dia, Saudara Helian?”
“Dialah yang mengobarkan semangatku untuk meninggalkan pegunungan dan ke Lam-khia.”
“Apakah dia selamat dalam dua kali peralihan Ibukota Pak-khia?”
“Ya. Waktu kaum Pelangi Kuning merebut Pak-khia, Li Cu-seng tidak mengusik keluarga kerajaan dinasti Beng, bahkan dilindunginya. Waktu Manchu merebut Pak-khia dari tangan Li Cu-seng, Puteri Tiang-ping dan Pangeran Cu Sam berhasil lolos keluar dari Pak-khia. Kini Pangeran Cu Sam berlindung di bawah Yang-peng Kun-ong alias Laksamana The Seng-kong, sedang Puteri Tiang-ping menjadi biarawati dengan nama Bhikuni Siok-sim.”
“Syukurlah mereka selamat.....” kata Li Teng-kok lega. “Dan perkataan Puteri Tiang-ping yang bagaimana yang kau pegang teguh itu, Saudara Helian?”
“Para pangeran itu sulit bersatu, tetapi orang-orang militer seperti kita-kita ini hendaknya jangan ikut terpecah-belah, yang satu mendukung pangeran ini, yang lain mendukung pangeran itu, demikian akan memperkeruh keadaan. Lebih baik kalau orang-orang militer dari berbagai wilayah menjadi satu kekuatan yang kompak dan satu suara, dengan demikian akan memaksa para pangeran untuk mengendalikan tindakannya. Bagaimanapun para pangeran itu masih membutuhkan orang-orang militer.”
Lalu Bun-siu yang diam sedari tadi, menggangguk-angguk sambil memuji, “Jalan pikiran Saudara Helian sungguh cemerlang. Memang jangan sampai kita ikut-ikut terpecah-belah, justru harus menjadi contoh persatuan.”
“Bukan buah pikiranku, tetapi buah pikiran Puteri Tiang-ping.”
“Apakah Puteri Tiang-ping juga akan hadir di Pak-khia?”
“Dia tidak mengatakannya.”
“Alangkah baiknya kalau buah pikirannya itu bisa terwujud benar-benar. Para pangeran akan memperhitungkan suara kita, kaum militer, dan bukan hanya memperalat kita demi ambisi mereka.”
Mereka makan minum, waktu Li Teng-kok mengajak Helian Kong sekalian untuk naik kuda sampai ke Lam-khia dan memasukinya bersama-sama. Namun Helian Kong tertawa dan berkata, “Belum sampai satu jam, Saudara Li sudah lupa omonganku yang tadi.”
Li Teng-kok membelalak sebentar, lalu tertawa terbahak-bahak dan menepuk jidatnya sendiri sambil berkata, “Wah, kenapa aku jadi pikun sekarang? Ya, ya, aku ingat bahwa Saudara Helian ini ingin ‘bermain di bawah permukaan air’ dan tidak ingin menarik perhatian sedikitpun di Lam-khia. Maaf, maaf.”
Namun Helian Kong tidak menolak waktu Li Teng-kok menaruh sekantong uang ke tangan Siangkoan Heng. Tolong-menolong dalam soal keuangan di antara mantan sesama penentang Co Hua-sun sudah wajar, kedua pihak sama-sama tidak merasa kikuk di antara sobat-sobat lama. Dulu waktu Li Teng-kok diutus Jenderal Thio ke Pak-khia dan terkatung-katung di Pak-khia serta kehabisan bekal, dia pun tidak jarang menumpang makan dan tidur di rumah keluarga Siangkoan, bahkan sering diberi uang juga.
Mereka saling mengucapkan selamat berjuang, kemudian berpisah. Kedua pihak berjanji akan tetap saling kontak di Lam-khia nanti, tetapi caranya memasuki Lam-khia itulah yang berbeda. Li Teng-kok dan rombongan berkudanya sudah pasti menarik perhatian orang karena kuda-kuda tunggangan mereka dan seragam mentereng mereka, sedangkan HelianKong sekalian hendak menyelinap masuk Lam-khia dengan membaur bersama ribuan pengungsi dekil, sehingga tidak kentara.
Bahkan waktu mendekati Lam-khia, Helian Kong mengajak rombongannya berhenti di suatu tempat yang sepi dan mengatur siasat. Kata Helian Kong, “Aku ingin penyamaranku aman, dengan demikian aman juga kalian dan Si Kecil A-beng. Untuk itu, semenjak kita memasuki Lam-khia, kita harus mulai mengaburkan pengamatan orang atas kita.”
“Siapa yang mengamati kita?” tanya Siangkoan Yan.
“Dalam situasi politik macam ini, pihak manapun pasti menyebarkan mata-mata yang berbaur di antara orang banyak. Bahkan bukan mustahil pihak Manchu juga. Harus kuakui kehebatan jaringan mata-mata mereka. Siapa tahu kita pun diamat-amati tanpa kita sadari? Nah, kita kacaukan pengamatan mereka.”
“Caranya?”
Helian menunjuk bergantian kakak-beradik Siangkoan dan berkata, “Kalian menyamarlah sebagai suami-isteri dengan satu anak yang dari golongan ekonomi menengah tetapi mengungsi ke Lam-khia.”
“Waduh.....” keluh Siangkoan Heng tiba-tiba.
“Kenapa?”
“Kalau orang-orang Lam-khia memandang aku sudah punya isteri, tentu aku sulit dapat jodoh di Lam-khia. Gadis mana yang mau dengan lelaki sudah beristeri?”
Helian Kong dan Siangkoan Yan tertawa. Tapi mereka tahu Siangkoan Heng hanya berkelakar. Tanya Siangkoan Heng pula, “Lalu kau menyamar sebagai apa, Saudara Helian?”
“Satu dari ribuan pengungsi dekil, takkan ada yang memperhatikan aku sehingga aku lebih leluasa.”
Siangkoan Yan ingat, suaminya ini di Pak-khia dulu juga pernah menyamar secara total demi melacak jaringan mata-mata kaum Pelangi Kuning, menyamarnya jadi gelandangan dan tidak tanggung-tanggung, sampai tidak mandi puluhan hari, tidur di emperan toko dan sebagainya.
“Berarti kita..... berpisah?” Siangkoan Yan agak keberatan.
Helian Kong menjawab, “Tidak. Kita berpisah hanya di mata orang-orang. Kita cari tempat tinggal yang berdekatan, entah sebelah menyebelah, atau saling membelakangi, atau berseberangan, sehingga kita dapat bertemu diam-diam setiap saat. Tentu saja tempat yang akan kita sewa harus sesuai dengan penyamaran kita masing-masing. Kalian harus mencari tempat yang agak baik, agar sesuai dengan pengakuan kalian sebagai mantan pedagang dari utara. Sedang aku harus menyesuaikan diri pula.”
“Baiklah.”
“Percayalah, kita akan berdekatan terus, meski tidak terang-terangn di mata orang banyak.”
“Sampai kapan?”
“Mungkin sampai..... dinasti Beng mempunyai Kaisar yang baru. Rasanya itu tidak terlalu lama.”
Demikianlah mereka memasuki Lam-khia dalam keadaan seperti yang direncanakan Helian Kong.
Lam-khia adalah kota terbesar di daratan Cina, bahkan lebih besar dari Pak-khia yang berganti-ganti dijadikan ibukota berbagai dinasti yang menguasai Cina. Lam-khia juga sering disebut “ibukota lama”, sebab waktu dinasti Beng didirikan oleh Cu Goan-ciang berabad-abad yang silam, Lam-khia inilah yang dijadikan Ibukota. Di Lam-khia juga ada kompleks pemakaman raja-raja dinasti Beng yang megah, disebut Beng-hau-leng.
Kaisar pertama dinasti Beng adalah Cu Goan-ciang yang bergelar Kaisar Hong-bu, kemudian digantikan bukan oleh putera mahkotanya yang mati muda melainkan oleh cucunya yang bergelar Kaisar Kian-bun, yang kurang teguh pemerintahannya. Salah seorang bangsawan, Pangeran Yan-ong, anak Kaisar Hong-bu sekaligus paman dari Kaisar Kian-bun, memberontak kepada keponakannya sendiri sehingga berhasil naik tahta sebagai Kaisar Yung-lo yang legendaris.
Keponakannya, mantan Kaisar Kian-bun, lari ke negeri asing lewat lautan. Kata orang, Kaisar Yung-lo sampai tujuh kali mengirim armada kapal perang di bawah pimpinan Laksamana Ceng Ho, menjelajah negeri-negeri asing sampai ke pantai timur benua hitam, resminya sebagai utusan persahabatan ke negeri-negeri yang disinggahi.
Namun sebenarnya Laksamana Ceng Ho juga mengemban tugas rahasia untuk menemukan si mantai Kaisar Kian-bun yang keponakannya sendiri itu. Tidak diketahui hasil tugas rahasia pelayaran Laksamana Ceng Ho yang sampai tujuh kali itu. Tapi sejak Kaisar Yung-lo berkuasa, ibu kota kerajaan dipindahkan dari Lam-khia ke Pak-khia sampai berakhirnya dinasti Beng.
Saa itu, Lam-khia yang sudah berabad-abad dilupakan, mendadak menjadi pusat perhatian karena berkumpulnya kekuatan-kekuatan pendukung dinasti Beng di tempat itu. Pangeran Hok-ong yang mengundang mereka. Sama sekali Pangeran Hok-ong tidak menyebut dalam undangannya mengenai penobatan dirinya sebagai kaisar penerus dinasti Beng.
Sebab kalau disebut demikian dalam undangan, tentu pangeran-pangeran yang lain juga merasa berhak atas tahta, takkan mau datang. Pangeran Hok-ong menulis pula, ia akan mendukung pangeran yang mana saja yang akan menjadi pewaris tahta. Semuanya dengan mengingat makin gawatnya ancaman Manchu dari sebelah utara.
Undangan bernada merendahkan diri itu berhasil memancing datang semua pangeran dinasti Beng yang masih tersisa. Pangeran Kui-ong, Pangeran Luo-ong, Pangeran Tong-ong dan bahkan Pangeran Kong-ong yang pendukungnya paling lemah. Para penguasa militer pun berdatangan ke Lam-khia, kecuali Jenderal Thio Hian-tiong yang sedang disibukkan untuk membendung laju tentara Manchu di wilayah barat.
Namun Jenderal Thio mengirim si cerdik Li Teng-kok sebagai wakilnya, didampingi Gai Leng-ki dan Lau Bun-siu dan sepuluh prajurit pengawal. Begitulah, di Lam-khia berhimpun wakil-wakil dari unsur-unsur sisa dinasti Beng yang coba menyusun kekuatannya kembali. Namun begitu para pangeran dari luar Lam-khia itu memasuki Lam-khia, mereka merasakan situasi yang tidak menyenangkan.
Mereka melihat tempat-tempat pembagian makanan gratis bagi para pengungsi dari utara, yang diselenggarakan Pangeran Hok-ong. Mereka mendengar bagaimana Pangeran Hok-ong dengan pakaian sederhana sering mengunjungi desa-desa, menolong penduduk, merebut hati rakyat. Di mana-mana ada orang yang memuji-muji Pangeran Hok-ong, meskipun ini tidak lepas dari usaha pengikut-pengikut Pangeran Hok-ong yang menyusup di antara orang banyak.
Pangeran Kui-ong yang punya basis kuat di dua propinsi, Hun-lam dan Kui-sai, peluangnya untuk naik tahta cukup kuat, dan dia tidak sedang melihat rakyat Lam-khia begitu menyanjung Pangeran Hok-ong.
“Lam-khia sudah menjadi panggung sandiwara besar buat Pangeran Hok-ong, panggung sandiwara untuk memamerkan wajah palsunya.....” kata Pangeran Kui-ong sinis, ketika ia dan rombongannya memasuki wilayah pengaruh Pangeran Hok-ong. “Tetapi aku akan menunjukkan, bahwa yang bisa menahan Manchu adalah otot yang keras dan pedang yang tajam, dan itulah yang aku punyai. Bukan senyum yang ramah.”
Penasehatnya, Lim Kui-teng, yang berkuda di sebelahnya dalam iring-iringan megah itu, menasehati junjungannya, “Memang Lam-khia sekarang adalah panggung sandiwara, para pemain sandiwara harus dapat menarik simpati penonton. Dan kita juga salah satu dari pemain-pemain itu.”
“Jadi kita harus meniru-niru Pamanda Hok-ong? Membagi-bagi makanan gratis kepada makhluk-makhluk kelaparan yang tak kenal kenyang itu? Atau keluyuran di desa-desa, merendahkan martabat dengan bercakap-cakap dengan petani-petani bau?”
“Kalau itu aturan mainnya, dan Pamanda Pangeran bisa, kenapa kita tidak bisa?”
“Hem, mengambil hati rakyat. Kekuatan apa yang rakyat punyai sehingga kita harus merunduk-runduk di depan mereka?”
“Bukan mengambil hati orang-orang bau itu, tetapi mengambil hati para panglima militer dari segala penjuru negeri yang sekarang berkumpul di sini. Para panglima itulah yang punya kekuatan nyata di medan perang, dan mereka harus memihak kita.”
“Dan jenderal-jenderal itu banyak yang berasal dari rakyat kecil, mereka punya hubungan batin. Mengambil hati rakyat sama dengan mengambil hati para jenderal itu secara tidak langsung,” sambung penasehatnya yang lain yang bernama Bhe Ting-lai, yang memakai jubah pembesar sipil namun tangkas naik kuda seperti orang militer. Bahkan juga punya ilmu silat yang tinggi sehingga punya julukan Siau-bi-jiat-sin (Malaikat Maut Wajah Tersenyum).
“Hem.....” Pangeran Kui-ong cuma mendengus.
Lim Kui-teng yang berseragam militer itu membujuk pula, “Mari kita kalahkan Pamanda Pangeran dengan permainannya sendiri, di tempatnya sendiri, dengan aturan main yang dia buat sendiri.”
“Artinya, kita lakukan hal yang sama dengan yang dilakukannya sekarang?”
“Tidak, nanti kita dikira berotak kosong dan tidak punya gagasan sendiri. Kita pakai cara lain untuk langsung menarik simpati para panglima dari berbagai daerah yang sedang berkumpul.”
“Caranya?”
“Saat ini negeri dalam suasana prihatin, karena separuh negeri sudah dicaplok bangsa Manchu. Kita tunjukkan keprihatinan kita secara mencolok. Kita dirikan perkemahan prajurit di luar kota, kita jangan bermalam di gedung indah di dalam kota, melainkan di kemah. Kita juga harus menunjukkan kehidupan yang sederhana, dalam pakaian sehari-hari dan sebagainya.”
“Gagasan yang bagus,” dukung Bhe Ting-lai sambil mengelus jenggotnya. “Para panglima akan terkesan. Menunjukkan kita punya semangat prajurit. Saat inilah saat yang cocok untuk menunjukkan itu.”
“Tetapi Tuan Bhe juga punya tugas lho.....” kata Lim Kui-teng.
Wajah Bhe Ting-lai tiba-tiba cemberut. Ia ikut Pangeran Kui-ong sebagai kepala dari jago-jago kepruk pribadi Pangeran, dengan harapan akan ikut mendapat kemuliaan hidup kalau Pangeran Kui-ong menang bersaing kelak, sebab kelihatannya Pangeran Kui-onglah yang paling besar peluangnya. Sedangkan Lim Kui-teng adalah kepala pasukan bawahan Pangeran Kui-ong.
Tidak dapat dirahasiakan bahwa antara Bhe Ting-lai dan Lim Kui-teng bersaing, kalau perlu saling menjatuhkan. Bhe Ting-lai paling tidak senang kalau saingannya ini memerintah kepadanya seolah-olah ia bawahannya. Begitu juga kali ini, Bhe Ting-lai langsung menjawab ketus,
“Kau bukan atasanku dan tak berhak memerintah aku. Hanya Pangeran yang boleh memerintah aku.”
Pangeran Kui-ong mencegah perpecahan di antara orang-orangnya dan berkata kepada Lim Kui-teng, “Jenderal Lim, jangan urusi yang bukan urusanmu.”
“Baik, Pangeran.....” kata Lim Kui-teng sambil melirik mendongkol ke arah Bhe Ting-lai yang acuh tak acuh.
Sementara itu, di kejauhan sudah nampak tembok kota Lam-khia, Pangeran Kui-ong lalu berkata, “Kita akan berkemah di luar kota, perkemahan sederhana dalam suasana keprihatinan akan nasib negeri. Seperti kata kalian, untuk menarik simpati para panglima. Tetapi aku tidak akan menghadap Pamanda Hok-ong, sebab menghadap lebih duludlm pandangan orang tentu aku seolah-olah takluk dan mengakui dia lebih berkuasa dari aku.”
Pembantu-pembantunya memahami pertimbangan macam itu. Pangeran Kui-ong merasa bahwa ia datang ke Lam-khia itu “sudah cukup rendah hati” dan ia tidak mau disuruh lebih rendah lagi dengan mendahului “menghadap” Pangeran Hok-ong.
Kemudian Pangeran Kui-ong berkata pula, kali ini kepada Bhe Ting-lai, “Lakukan penyelidikan diam-diam di Lam-khia. Nanti malam harus sudah kuterima laporannya. Menyamarlah. Jangan sampai ada yang tahu bahwa kau adalah orangku.”
“Baik, Pangeran,” sahut Bhe Ting-lai sambil memacu kudanya mendahului rombongan.
Ternyata memang benar “ramalan” Helian Kong. Selain persaingan terbuka “di atas panggung” yang bisa dilihat semua orang, juga berkembang intrik-intrik di belakang layar yang bakal ikut menentukan siapa sang pemenang nanti. Pangeran Kui-ong ternyata menunjuk Bhe Ting-lai untuk “bermain” di belakang layar baginya, dan pihak-pihak lain pun akan melakukan hal yang sama.
Perkemahan Pangeran Kui-ong berdiri di luar kota. Sebagai taktik merebut hati para jenderal, perkemahan sengaja dibuat sederhana dalam suasana “keprihatinan” dan Pangeran Kui-ong juga melarang orang-orangnya berpakaian bagus, tetapi senantiasa berada dalam seragam tempur. Pangeran Kui-ong sendiri harus menahan nafsunya terhadap baju yang indah-indah yang menjadi kegemarannya.
Malam harinya, Bhe Ting-lai datang keperkemahan itu dan melapor, “Pangeran, ternyata Pangeran-pangeran lain juga sudah berdatangan ke Lam-khia. Pangeran Kong-ong bahkan sudah sebulan lebih di Lam-khia, bertempat tinggal di rumah seorang saudagar hasil bumi yang kaya raya, Cong Hong-lui, yang adalah sahabat karibnya. Tapi para pangeran yang sudah berkumpul di Lam-khia ini, belum satu pun yang menemui Pangeran Hok-ong di istananya. Pangeran Hok-ong juga belum menjemput tamu-tamunya untuk datang ke istananya.”
Pangeran Kui-ong menyeringai kecut. Sikap “tahan harga” antara pihak tuan rumah dan tamu-tamunya semacam ini bisa berlangsung berbulan-bulan kalau tidak ada terobosan. Pangeran Kui-ong yang sifatnya tidak sabaran itu tahu dirinya tak mungkin bermain tunggu-menunggu selama ini, karena ia ingin cepat selesai dan kalau bisa dialah yang naik tahta, melanjutkan dinasti Beng. Ia ingin membuat suatu terobosan untuk mengatasi kemacetan gara-gara gengsi itu. Tapi sudah tentu tidak dengan mengorbankan gengsinya sendiri.
“Ting-lai, untuk selanjutnya kau harus membaur dengan kalangan bawah tanah di Lam-khia, menggalang mereka dalam sebuah kekuatan yang setiap saat bisa kita gunakan. Tetapi, jangan sampai ada yang bisa melacak hubungan antara kekuatan yang kau galang itu denganku. Mengerti maksudku?”
“Hamba paham, Pangeran.”
Waktu itu yang ada di kemah hanya Pangeran Kui-ong dan Bhe Ting-lai berdua, dan Pangeran juga berbicara dengan suara ditekan rendah, sehingga memberi kesan betapa penting sekaligus amat rahasianya urusan itu.
“Untuk itu, Ting-lai, sejak sekarang kau tidak boleh lagi terlihat oleh orang berada di sampingku. Kau hanya boleh menemui aku diam-diam, tanpa orang ketiga, untuk memberikan laporan-laporan secara teratur, dan menerima perintah-perintahku. Kau harus menyamar di dalam kota Lam-khia, entah sebagai apa terserah kau, dan mencari orang-orang yang kira-kira bisa kita pakai tenaganya untuk melaksanakan jurus ‘lempar batu sembunyi tangan’ kita. Kau sendiri bilang kepadaku beberapa hari yang lalu, bahwa dalam situasi macam ini ada banyak jagoan menganggur yang cari ‘order’ tanpa peduli pihak yang mana, pokoknya dapat uang, begitu bukan?”
“Betul, Pangeran, juga pemuda-pemuda yang baru keluar dari perguruan dan ingin mendapat nama. Mereka semua bisa kita pergunakan.”
“Hamba perhatikan, Pangeran. Hamba ingin bertanya, setelah kita temukan orang-orang yang bisa kita manfaatkan, lalu kita suruh apa mereka?”
“Perintahnya akan kau dapatkan kelak. Sekarang dapatkan dulu orang-orang itu.”
“Baik, Pangeran,” sahut Bhe Ting-lai sambil bangkit mengambil pedangnya, namun Pangeran Kui-ong menahan,
“Tunggu!”
“Ada apa, Pangeran?”
“Hasil penyelidikanmu selama setengah hari ini, apakah mendapatkan suatu kelemahan Pamanda Hok-ong? Misalnya, dalam suatu hal apa yang membuat tidak puas rakyat Lam-khia?”
Bhe Ting-lai mengingat-ingat sebentar, lalu katanya, “Betul, aku mengingat sesuatu, Pangeran. Tadi ketika aku makan di sebuah warung di dalam kota, ada dua hwesio meminta derma makanan. Lalu orang-orang di warung itu membicarakan suatu peristiwa di Lam-khia dulu. Terjadinya setahun yang lalu, ketika itu Manchu belum masuk ke sebelah dalam Tembok Besar, bahkan kaum Pelangi Kuning belum merebut Pak-khia.”
“Sehingga Pamanda Hok-ong juga belum sebajik sekarang?” sambung Pangeran Kui-ong sambil tertawa.
Bhe Ting-lai ikut tertawa, “Ya, orang-orang kalangan awam di Lam-khia kebanyakan merasa heran melihat perubahan drastis tingkah laku Pangeran Hok-ong akhir-akhir ini, dulu korup dan kejam, sekarang kenapa berubah jadi baik hati dan dermawan?”
Tawa Pangeran Kui-ong makin berkepanjangan, tetapi ia ingin segera tahu kisah setahun yang lalu, “Teruskan ceritamu yang tadi, Ting-lai.”
“Begini, Pangeran. Setahun yang lalu ada sebuah wihara di pinggiran kota Lam-khia, tempatnya indah dan pemandangannya bagus. Suatu kali, salah seorang keponakan dari isteri Pangeran Hok-ong menginginkan tempat itu untuk dijadikan puri musim semi, sebuah tempat peristirahatan, sementara keponakan isteri Pangeran Hok-ong itu sendiri sudah punya tiga puri di berbagai tempat. Ada puri musim gugur, ada puri musim dingin dan panas...”