Puing Puing Dinasti Jilid 05 karya Stevanus S.P - PANGERAN Kui-ong mengangguk-angguk. Ia sendiri punya delapan puri dan lima taman pribadi yang berpencaran letaknya, orang-orang yang semula menghuni tempat-tempat itu sebelum dibangun, sudah dipindahkan ke tempat lain.
Dan Bhe Ting-lai meneruskan ceritanya, “Maka Pangeran Hok-ong lalu memberlakukan pajak tanah yang tinggi atas wihara itu dan sekitarnya, sedemikian rupa sampai orang-orang di wihara dan sekitarnya tidak mampu membayarnya. Setelah tunggakan pajaknya cukup banyak, mereka digusur karena tak mampu membayar.”
“Kalau begitu, bangkitkan kembali cerita itu agar rakyat Lam-khia mengingatnya kembali. Jangan pakai mulutmu sendiri, sewa mulut orang lain. Uangnya masih ada kan?”
“Ya..... sudah agak berkurang, tetapi masih cukup.”
Pangeran Kui-ong mengeluarkan sekantong uang dari bajunya dan diberikan kepada Bhe Ting-lai. “Ini kutambah.”
“Terima kasih, Pangeran.” Malam itu juga Bhe Ting-lai menyelinap dalam kegelapan, masuk kembali ke kota Lam-khia.
Helian Kong dan rombongan kecilnya sudah berada di tengah-tengah Lam-khia. Sesuai dengan rencana, Siangkoan Heng, Siangkoan Yan dan bayinya mengaku sebagai orang dari kelas menengah yang terpaksa mengungsi ke selatan menghindari perang.
Dengan uang pemberian Li Teng-kok yang cukup banyak, mereka dapat membeli pakaian yang cukup pantas sesuai dengan penyamaran mereka. Dan mereka juga dapat menyewa sebuah rumah yang sedang besarnya, cukup nyaman terutama buat si kecil Helian Beng.
Sedangkan Helian Kong yang menyamar sebagai pengungsi miskin, menempati sebuah kuil bobrok yang bukan kebetulan ia pilih yang letaknya saling membelakangi dengan rumah yang disewa “suami isteri” gadungan Siangkoan Heng dan Siangkoan Yan. Suatu kebetulan, kelenteng bobrok itu didesas-desuskan ada hantunya, tidak ada orang tinggal di situ.
Dan ini sangat baik buat Helian Kong yang membutuhkan keleluasaan gerak dalam tugas bawah tanahnya. Malam pertama mereka berada di Lam-khia, keluarga kecil itu bertemu diam-diam di bagian belakang rumah sewaan Siangkoan Heng.
“Kakak sudah dapat tempat?” tanya Siangkoan Yan kepada suaminya.
“Tepat di belakang rumah ini, sebuah kelenteng bobrok yang kata orang ada hantunya, jadi tidak ada yang berani di situ.”
“Hantu?”
Helian Kong tertawa, “Malah kebetulan, jadi tidak ada orang usil gentayangan ke tempat itu. Kalau tidak ada hantunya, akulah yang akan bermain hantu-hantuan, agar tetap aman.”
“Apakah Kakak nyaman diam di situ?”
“Biar tempatnya berantakan, kubuat jadi senyaman mungkin. Ada sebuah kamar belakang yang temboknya masih cukup utuh. Kuperbaiki genteng di atasnya, kusapu kamarnya, dan untuk sementara cukup nyaman.”
“Malam ini Kakak di sini saja,” pinta Siangkoan Yan agak malu-malu dengan pipi bersemu merah.
Helian Kong mengangguk maklum. Esok harinya, Helian Kong melompati tembok belakang rumah sewaan itu dan tiba di “kuil berhantu”. Ia memakai pakaian penyamarannya, dan hari itu keluarlah ia di jalanan Lam-khia sebagai pengemis. Kota Lam-khia sudah bertambah penduduknya dengan ribuan pengungsi yang bicaranya berlogat utara, seperti lalat jumlahnya. Dan kalau hanya ketambahan satu Helian Kong, pastilah tidak kentara.
Kemudian kalau Helian Kong lebih banyak berkeliaran di dekat-dekat rumah makan, bukan karena ia mengharapkan sisa-sisa makanan, meski demi penyamarannya dia juga menerima dan memakan makanan-makanan sisa. Melainkan karena rumah-rumah makan biasanya menjadi “kantor berita” bagi kalangan rimba persilatan. Di rumah-rumah makanlah berita-berita dipertukarkan, desas-desus disebarluaskan, bumbu-bumbu cerita ditambah atau dikurangi.
Dari beberapa rumah makan yang Helian Kong datangi setengah hari itu, “berita utama” yang Helian Kong dapatkan ialah cerita lama tentang Pangeran Hok-ong yang menggusur sebuah wihara di atas bukit, untuk bisa dijadikan puri peristirahatan musim semi bagi keponakan dari isteri Pangeran Hok-ong.
Helian Kong merasakan menyebarnya berita lama itu agak tidak wajar. Kalau ia dengar cerita itu hanya di satu warung, itu masih masuk akal, mungkin saja ada yang kebetulan ingat cerita lama itu, lalu mengatakannya dan membicarakannya kembali. Namun suatu cerita lama muncul serempak di beberapa “kantor berita” alias rumah makan, itu tidak wajar, menimbulkan kesan bahwa hal itu direkayasa dan ada yang mendalanginya.
Waktu Helian Kong berjalan pura-pura pincang sambil memegangi tongkat butut, jalannya juga sambil menggerogoti makanan sisa, dalam hatinya ia diam-diam berpikir, “Berita itu pastilah disebarkan oleh saingan-saingan Pangeran Hok-ong, untuk mencegah terbangunnya simpati orang banyak terhadap Pangeran Hok-ong. Tetapi saingan yang mana? Sebab di kota ini sudah berkumpul para Pangeran Lou-ong, Tong-ong, Kong-ong dan kudengar kemarin sore Pangeran Kui-ong juga sudah tiba. Para pangeran sudah berkumpul di satu tempat, namun belum satu pun yang mau lebih dulu menemui yang lain, terhalang gengsi rupanya.”
Helian Kong terjun ke Lam-khia dalam sikap netral, belum mau mendukung pangeran yang manapun juga. Ia “mau melihat-lihat dulu” siapa yang pantas didukung, dan ia juga mau lebih dulu mencocokan pendapat dengan rekan-rekan sesama panglima dinasti Beng yang berdatangan dari berbagai daerah. Begitulah, mendengar munculnya kembali cerita lama yang merugikan nama Pangeran Hok-ong.
Helian Kong tidak langsung menuruti emosinya untuk memihak ke sini atau ke sana, menentang pangeran yang ini atau yang itu, melainkan akal jernihnya tetap berjalan. Ia tahu bahwa cerita lama itu bisa saja benar, tingkah laku korup dari beberapa bangsawan dinasti Beng sudah bukan rahasia lagi.
Dan tingkah itu diikuti oleh sanak keluarga yang terdekat dengan menggunakan kesempatan mumpung lagi dekat dengan yang punya kekuasaan. Helian Kong hanya ingin tahu, siapa penyebar cerita lama ini. Inilah langkah pertama Helian Kong untuk memasuki “pertempuran di belakang layar” seperti yang sudah diniatinya semula.
Ketika ia melewati sebuah jalanan yang kotor, jalanan yang kiri-kanannya ditempati gubuk-gubuk asal jadi dari kaum pengungsi, Helian Kong melihat di depannya ada seorang hwesio berpakaian compang-camping, berjalan dengan langkah lunglai dengan mangkuk derma di tangannya. Jubah pendetanya kelihatan sudah tua dan lusuh.
Mula-mula hwesio itu tidak menarik perhatian Helian Kong, tetapi waktu Helian Kong perhatikan, keadaan tubuh Si Hwesio agak kurang cocok dengan pakaiannya. Keadaan tubuhnya terlalu segar bagi seorang hwesio miskin yang minta sedekah kesana-kemari, meskipun tubuh itu dan mukanya juga sengaja dikotori dengan tanah, tapi sulit menipu mata Helian Kong yang tajam.
Ia lihat hwesio itu meminta sedekah di sebuah kedai kecil. Dengan kata-kata yang mengharukan, hwesio itu menceritakan kesengsaraannya, mengingatkan orang-orang di kedai akan kuilnya yang digusur. Memang hwesio itu tidak terang-terangan menyebut di mana letak kuilnya, juga tidak menyebut siapa yang menggusurnya, tetapi kata-katanya cocok dengan cerita lama yang sedang hangat dibicarakan kembali saat itu, maka pendengar-pendengarnya lalu membentuk gambarannya sendiri.
Helian Kong yang mengawasinya dari jarak beberapa langkah, diam-diam membatin, “Mungkin hwesio ini ada hubungannya dengan si pengungkit cerita lama, dalam rangka persaingan antar pangeran.”
Salah seorang tamu di warung itu nampak iba mendengar penuturan memelas dari Si Hwesio, lalu ibanya berubah menjadi gusar, sehingga ia menepuk meja sambil berkata keras sampai didengar seorang di kedai itu, “Entah penguasa busuk macam apa yang sampai hati menggusur tempat ibadah? Thian (Langit atau Tuhan) tidak buta, dia pasti akan mengutuk orang itu sehingga tidak beruntung dalam ambisinya!”
Lewat jendela, dari luar Helian Kong coba memperhatikan reaksi orang-orang di dalam warung mendengar kata-kata bernada membakar itu. Kata-kata yang sedikitpun memang tidak menyebut nama Pangeran Hok-ong, cuma menyebut “penguasa busuk” namun sebagaimana kata-kata Si Hwesio tadi, kata-kata tamu di warung itu pun jelas ditujukan kepada siapa.
Helian Kong dengan matanya yang tajam berhasil menyapu dalam sekejap ke wajah orang-orang itu. Ia lihat dua lelaki berpakaian ringkas yang duduk di pojokan, bereaksi gusar atas kata-kata itu. Yang seorang hendak bangkit, namun temannya buru-buru menahan pundaknya sambil mengedipkan mata.
Di sebelah lain, nampak dua orang lainnya, mengangguk-angguk seperti membenarkan kata-kata tamu tadi. Ada orang lain lagi yang menggeleng-geleng sambil menarik napas. Agak di dekat pintu, Helian Kong mengenal tiga orang pemuda berpedang yang pernah dilihatnya di luar kota Lam-khia dulu. Tiga orang pendekar ingusan yang ingin memanfaatkan situasi kota Lam-khia untuk mencari nama, sekaligus mencari junjungan yang bisa mereka “boncengi” ke masa depan yang gemilang.
Kalau orang-orang lain cuma bereaksi dengan tatapan mata gusar, atau mengangguk-angguk atau menggeleng-geleng sambil menarik napas, maka si tiga orang muda ini justru ingin menarik perhatian dengan sikap mereka. Si Alis Tebal ikut-ikutan menggebrak meja sambil menyambung kata-kata tamu tadi,
“Penguasa busuk macam itu pantasnya dipotong lehernya, lalu batok kepalanya ditaruh di pintu gerbang atau simpang jalan, agar semua orang yang lewat meludahinya!”
Kata-kata itu memang dahsyat, orang-orang di dalam warung itu banyak yang buru-buru keluar setelah membayar. Sementara Helian Kong sendiri melihat bahwa ketiga pendekar ingusan itu rupanya tidak paham benar apa yang mereka ucapkan dengan gagah. Mereka sekedar ikut gagah-gagahan mengucapkan sesuatu yang kedengaran “gagah berani”.
Namun Helian Kong diam-diam merasa kasihan kepada anak-anak muda itu, bahwa dengan kata-kata mereka yang sembrono itu mereka sudah menaruh diri mereka di tengah-tengah pertentangan yang barangkali mereka sendiri tidak ketahui ujung pangkalnya.
Si pemilik warung agaknya merasa keadaan gawat, ia tidak ikut-ikutan politik, cuma sayang kalau sampai warungnya kena bencana. Maka buru-buru ia keluar membawa sedekah makanan untuk Si Hwesio agar Si Hwesio cepat-cepat pergi.Ternyata sebelum pergi pun Si Hwesio mengucapkan terima kasih yang panjang lebar, dan sekali lagi mengingatkan orang-orang akan kesengsaraannya.
Hwesio itu kemudian berlalu. Dua orang di pojokan yang bereaksi keras gusar tadi, menunggu sesaat supaya tidak menyolok gerakannya, kemudian membayar makan-minum mereka dan menyelinap keluar lewat pintu samping yang kurang menarik perhatian. Namun tidak lolos dari mata Helian Kong, bahwa kedua orang itu kemudian membuntuti Si Hwesio dari kejauhan.
Ternyata meski dua orang yang bereaksi gusar tadi bergerak tanpa menarik perhatian, toh tetap memancing tindakan serupa dari tamu yang menanggapi kata-kata Si Hwesio tadi. Jadi, Si Hwesio dibuntuti dua orang, dua orang yang membuntuti itu dibuntuti pula Si Tamu tadi. Dan Si Tamu tadi dibuntuti oleh Helian Kong.
“Wah, makin seru nih.....” pikir Helian Kong sambil melangkah terpincang-pincang. Sekali lagi ia mengingatkan diri sendiri, bahwa ia baru ingin “lihat-lihat dulu” dan belum memihak kepada pangeran yang mana pun.
Yang tidak beranjak malahan tiga orang pendekar ingusan, karena kehijauan pengalaman mereka belum mampu menangkap situasi. Mereka masih saja di mejanya sambil makan-minum dan mengucapkan kata-kata yang gagah-gagah dan hebat-hebat supaya didengar orang.
Namun Helian Kong malah ngeri mendengarnya, sehingga ketika Helian Kong hendak meninggalkan warung itu untuk membuntuti orang-orang tadi, dalam hatinya Helian Kong mendoakan ketiga pemuda itu, “Semoga panjang umur.”
Orang-orang yang saling membuntuti itu melewati beberapa lorong kota yang berkelok-kelok. Si Hwesio yang “memimpin” iring-iringan saling membuntuti itu masih sempat mampir di dua kedai lain, bukan untuk menambah sedekahnya melainkan untuk menyebar-luaskan keluhannya tentang wiharanya yang digusur dengan semena-mena.
Satu saat, Si Hwesio tiba di sebuah tempat sepi, dekat kuburan tetapi masih di dalam batas kota Lam-khia. Saat itulah dua orang yang membuntutinya tidak sabar lagi, mereka mempercepat langkah sambil berteriak, “He, bangsat gundul, berhenti!”
Si Hwesio berhenti dan membalikkan badan dengan sikap waspada. “Siapa kalian?” tanyanya dengan sebelah telapak tangan tegak di depan dada, sikap yang kelihatannya agak dibuat-buat.
Kedua orang yang menghadang hwesio itu sama-sama bertampang garang dan bertubuh tegap. Mereka langsung mendekati Si Hwesio dengan sikap mengancam, namun Si Hwesio pun kelihatannya juga tidak gentar, meskipun harus satu lawan dua.
Bahkan Si Hwesio menyeringai dan lebih dulu mengenali kedua penghadangnya, “He, bukankah kalian berdua adalah Siang-long (Sepasang Serigala) yang terkenal? Buat apa kalian jauh-jauh datang kemari? Kelaparan di kandangmu sendiri?”
Kedua penghadang itu tertegun. Mereka memang kakak-beradik yang disebut Siang-long, nama masing-masing adalah Cong Liu dan Cong Seng, pembunuh-pembunuh bayaran dari wilayah Kam-siok yang jauh dari Lam-khia. Makanya mereka tertegun heran bahwa seorang “hwesio peminta-minta” di Lam-khia bisa mengenali mereka. Mereka mulai curiga bahwa si hwesio cuma gadungan.
Sementara Si Hwesio masih cengengesan di hadapan Sepasang Serigala yang sikapnya mengancam itu. Kata Si Hwesio, “Dan kenapa kalian menghentikan aku dengan sikap segalak ini? Aku kan tidak punya utang kepada kalian?”
Cong Liu dan Cong Seng sudah menghunus senjata-senjata mereka, dan ternyata mereka masing-masing memiliki senjata berpasangan yang aneh. Tangan kanan memegang tongkat yang panjangnya cuma kira-kira empat jengkal, tetapi penuh dengan kaitan logam yang menghadang ke berbagai arah, ujung-ujung kaitan tidak mengkilap melainkan berwarna suram kebiru-biruan menandakan kalau diolesi racun.
Kaitan-kaitan itu bisa digunakan untuk merampas senjata musuh, tapi kalau melukai kulit juga bisa membunuh dengan racunnya. Kaitan-kaitan itu sendiri bisa bergerak-gerak membuka dan menjepit, digerakkannya melalui sejenis tombol yang ada di bagian pegangan dari tongkat pendek itu.
Itulah senjata-senjata yang dipasang di tangan kanan kedua “serigala” itu, sedang tangan kiri mereka memakai semacam kaus tangan berwarna keperak-perakan yang sampai ke siku, sedang di ujung-ujung jari-jari sarung tangan itu ada kuku-kuku logam yang melengkung dan juga nampak beracun.
Si Hwesio nampak berhati-hati menatap senjata-senjata itu, katanya, “Wah, wah, wah, rupanya kalian bersungguh-sungguh ya? Belum-belum sudah mengeluarkan senjata maut kalian. Sebenarnya apa yang kalian maui?”
“Jawab saja, siapa menyuruhmu menyebar-luaskan cerita tentang wihara yang digusur dan dijadikan puri musim semi itu?”
“Waduh, lucunya, sejak kapan Si Sepasang Serigala yang selama ini tahunya cuma membunuh lalu dapat uang, sekarang tiba-tiba peduli kepada masalah itu? Ini benar-benar lucu.”
“Kami tidak munafik, kami pun lakukan ini hanya demi uang.”
“Jadi kalian dibayar suatu pihak untuk mencegah menyebarnya cerita lama itu?”
“Memangnya kau sendiri tidak dibayar? Kelihatannya kau bukan hwesio sungguhan. Jubah pendetamu itu hanya untuk menyelubungi kegiatanmu.”
Si Hwesio tertawa terbahak-bahak, “Wah, wah, wah, mata kalian benar-benar lihai. Memang benar aku pun hanya orang bayaran, sama dengan kalian. Kita sama-sama cari makan dengan menjual jasa, sayangnya kita dibayar pihak yang berbeda. Bagaimana kalau kita tidak usah bentrok saja, kalian jalankan tugas kalian dan terima upah kalian, aku jalankan tugasku dan terima upahku. Sama-sama enak kan?”
“Kalau penyebaran cerita lama itu belum berhenti sama sekali, kami belum menerima separuh upah kami yang tersisa. Jadi kami harus menghentikannya, termasuk menghentikanmu. Nampaknya karena kami tidak mampu membujukmu menghentikan mulutmu, maka kami akan memakai cara praktis kegemaran kami, yaitu membuatmu tidak mampu bicara lagi, alias mampus.”
“Wah, wah, wah.....” Si Hwesio yang ternyata gadungan itu kini kelihatan tegang, tak terasa kakinya undur selangkah. Ia sudah kenal kehebatan Sepasang Serigala ini, dan ini membuatnya agak tegang.
Cong Liu dan Cong Seng di pihak yang yakin akan membereskan Si Hwesio gadungan. Mereka tidak membiarkannya lari, maka begitu melihat Si Hwesio gadungan jelalatan matanya mencari kesempatan untuk kabur, Cong Seng yang lebih lincah dari kakaknya itu tiba-tiba melompati kepala Si Hwesio gadungan, lalu mendarat di belakangnya, mencegat niat kabur Si Hwesio gadungan.
“Nah, jalan larimu sekarang hanya ke langit, ke akherat.....” kata Cong Liu mengejek.
Si Hwesio gadungan mengeluh perlahan, “Susah benar cari uang di jaman sekarang. Harus berkelahi dengan rekan-rekan seprofesi demi uang.”
Lalu ia keluarkan segulung tali hitam dari dalam jubahnya. Waktu keluarnya hanya berwujud segulung tali hitam yang gampang digenggam, namun begitu Si Hwesio gadungan mengayunkan tangannya, udara sekitarnya mendadak seperti dipenuhi puluhan ular terbang hitam yang meliuk-liuk bersambaran. Itulah bayangan dari tali hitamnya, dan waktu ia sentakkan tangannya, serempak bayangan-bayangan tali itu menghilang kembali dan menjadi segulung tali hitam seperti wujud aslinya itu.
Siang-long tegang melihat ketangkasan bermain tali dari Si Hwesio gadungan, sekaligus membongkar ingatan mereka akan “rekan seprofesi” yang juga punya nama di wilayah barat daya. “Kau..... Jiat-so (Si Tali Maut) Duan Po?” tanya Cong Liu ragu-ragu.
“Benar.”
“Kenapa kau di sini pula?”
“Kenapa aku di sini? Alasannya sama dengan alasan kalian berdua, karena Lam-khia sekarang sedang menjadi lahan subur buat orang-orang macam kita.”
“Tidak peduli kau siapa, bahkan setan dari neraka sekalipun, aku sudah terima bayaran untuk membungkam siapa pun yang menyebar-luaskan cerita lama itu. Nah, Duan Po, bersiaplah untuk menerima kematianmu.”
“Ah, kau memegang teguh kepercayaan langganan. Aku pun akan memegang teguh kepercayaan orang yang mengupah aku.....” sahut Duan Po Si Tali Maut sambil memutar-mutar talinya.
Pada detik pertarungan hendak dimulai, tiba-tiba dari balik sebatang pohon terdengar suara dingin, “Wah, ini tidak adil, masa dua lawan satu?”
Lalu dari balik pohon itu muncul orang yang tadi di warung menanggapi Duan Po ketika Duan Po bicara tentang penggusuran wihara itu. Orangnya kurus, kulitnya agak hitam, pakaiannya cukup bagus namun agak kedodoran karena tidak pas dengan tubuhnya yang kurus. Waktu ia meraba ke pinggangnya, tahu-tahu di tangannya sudah tergenggam sebatang pedang lemas yang batangnya bergetar terus-menerus. Sejenis pedang yang bisa dipakai sebagai ikat pinggang, itulah senjata yang sangat khusus, hanya segelintir pandai besi yang bisa membuatnya.
“Siapa kau?” tanya Cong Liu beringas.
“Aku bukan orang sejenis denganmu, jadi kau mungkin belum pernah mendengar namaku.”
“Sebut saja namamu, Si Tikus atau Si Celurut atau entah apa, supaya kami tidak membunuh orang tak bernama.”
Bukannya gusar, Si Pemegang Pedang Lemas itu malahan tertawa-tawa, “Yah, kalau kau mau panggil Si Tikus atau Si Celurut, ya semaumulah. Pokoknya aku mau ikut berkelahi, di pihak Duan Po.”
“Siapa yang mengupahmu?”
“Aku bertindak begini bukan demi uang, tetapi demi masa depan yang kuharapkan cerah. Bukankah sudah kubilang tadi, aku tidak sama dengan kalian?”
Cong Liu habis sabar, ia memberi isyarat kepada adiknya, dan Sepasang Serigala itu pun bergerak serempak menerkam lawannya masing-masing. Cong Liu menerkam ke arah Si Pedang Lemas yang tidak mau menyebutkan namanya itu. Kuku-kuku logam di tangan kirinya sengaja digerak-gerakkan dengan cepat di depan Si Pedang Lemas untuk memecahkan perhatian lawannya, sementara tongkat pendek berkaitnya menunggu peluang untuk menggores kulit di tubuh lawan. Kulit yang di bagian tubuh mana saja, asal bisa memasukkan racunnya ke tubuh lawan.
Si Pedang Lemas melangkah berputar-putar sambil waspada, ia tidak mau hanya mengawasi salah satu senjata lawan, melainkan kedua-duanya. Tiba-tiba ia melangkahkan sebelah kakinya maju, seakan hendak menikam, ternyata hanya menggetarkan pedang tipisnya sehingga bayangannya seolah memenuhi di depan tubuhnya.
Begitulah, kedua pembunuh bayaran yang berlainan pihak itu untuk beberapa saat hanya saling mengganggu dengan gerakan-gerakan tak berarti, menunggu saat untuk melancarkan gebrakan yang sungguh-sungguh. Cong Liu rupanya lebih tidak sabar bermain kutak-katik demikian, suatu saat ia pun menerkam ganas dengan dua senjatanya sekaligus. Senjata di tangan kiri hendak mencabik muka, pentung pendek bergerigi lengkung di tangan kanannya menghantam perut dari arah samping.
Si Pedang Lemas berkelit sambil menebarkan lengannya, dan tiba-tiba saja di depan tubuhnya seperti terbentuk semacam "jala" keperak-perakan dari bayangan pedangnya, jadi Cong Liu seperti sedang memasukkan diri sendiri ke "jala" itu untuk memotong-motong tubuhnya sendiri.
Namun jagoan sekaliber Cong Liu tidak mudah menjadi bingung menghadapi tipu bayangan senjata macam itu, biarpun harus mempertajam matanya, ia dapat mengenali pedang musuh yang asli dan yang asli itulah yang dihantamnya dengan tongkat pendeknya, bahkan langsung hendak dijepitnya dengan pengait-pengait yang bisa dimainkan dari pegangan senjatanya itu.
"Jala pedang" kontan lenyap, namun Si Pedang Lemas belum kalah, sambil melejit ke samping ia menggerakkan pedangnya meliuk-liuk seperti seekor ular perak, mencoba menerobos pertahanan Cong Liu. Pertarungan kedua jagoan kelas menengah ini cukup seru, keduanya cukup cakap dalam memainkan senjatanya masing-masing dalam gaya masing-masing pula.
Cong Liu bagaikan serigala yang ganas, menerkam dan menerjang dengan buas, namun sebenarnya cermat juga dan tidak ngawur, buktinya apabila diperlukan dia telaten juga main saling menunggu dengan lawan dengan gerakan-gerakan palsu.
Sedang Si Pedang Lemas lebih tepat disebut penari pedang daripada pendekar pedang, kalau dilihat gerakannya yang indah dan beraneka ragam. Kadang pedangnya membentuk jala cahaya keperakan, kadang meliuk-liuk bagai ular, kadang tercurah bertitik-titik bagai air hujan. Namun si "penari pedang" dengan pedangnya yang setajam pisau cukur dan ketepatan arahnya, membuat ia jadi "penari maut" yang bisa membuat Cong Liu jadi beberapa potong kalau lengah.
Helian Kong mengintip di tempat sembunyinya, dan ia melihat orang-orang yang berkelahi itu tidak ubahnya para pangeran sendiri yang berkelahi. Ternyata, masing-masing pangeran punya "orang-orang bawah tanah" untuk memperlancar maksud-maksud mereka menuju tahta dinasti Beng.
Siang-long mudah ditebak, tentu dibayar oleh pihaknya Pangeran Hok-ong, karena berusaha menghentikan menyebarnya cerita lama yang merugikan nama Pangeran Hok-ong, selagi pangeran itu mencoba merebut simpati orang banyak dengan bubur gratisnya.
Sedang lawan-lawan Siang-long pasti dari saingan-saingan Pangeran Hok-ong, tetapi pangeran yang mana? Di Lam-khia sudah berkumpul lima pangeran keturunan dinasti Beng, berkumpul namun tidak ada yang sudi lebih dulu merendah untuk menemui pihak yang lain.
Helian Kong yang belum menentukan akan memihak ke pangeran yang mana, dengan sendirinya juga tidak ingin memihak dalam pertempuran antar kaki tangan para pangeran itu. Tetapi ia memperhatikan kemampuan tempur orang-orang itu, siapa tahu suatu kali ia berurusan dengan mereka?
Namun Siang-long Cong Bersaudara serta Jiat-so Duan Po sudah pernah Helian Kong dengar. Si Pedang Lemas itulah yang belum diketahui namanya, tetapi Helian Kong berani memastikan bahwa orang itu berasal dari perguruan Cong-lam-pai kalau dilihat dari gaya main pedangnya.
"Namun tidak berarti perguruan itu memihak kepada salah satu pangeran. Bisa jadi hanya salah seorang anggotanya yang mengambil sikap secara perorangan." pikir Helian Kong.
Lalu dilihatnya pertempuran yang lainnya, antara Si Tali Maut Duan Po melawan "serigala kedua" Cong Seng. Keduanya nampak masih seimbang. Tali hitam Duan Po digerakkan amat mahir sehingga tali itu seolah-olah puluhan ular hitam bernyawa yang beterbangan di udara, bisa menerkam dan menjerat dari mana saja, bahkan dari belakang tubuh musuhnya karena tali itu cukup panjang.
Gaya berkelahi Cong Seng mirip kakaknya, ganas dan buas, tapi juga ada bedanya. Ia memiliki kelincahan dan kecepatan gerak melebih kakaknya, namun tidak sekuat kakaknya. Menghadapi lingkaran-lingkaran tali hitam yang seolah hendak menjeratnya dari berbagai penjuru, untuk sementara Cong Seng berada dalam posisi bertahan saja. Sepasang senjatanya terlalu pendek untuk menggapai lawannya yang "berkepompong" di dalam bayangan-bayangan tali hitamnya.
Kemudian Cong Seng menggunakan suatu akal yang cerdik, perlahan ia bergeser dari jalanan yang lapang, ke lereng kuburan yang banyak pepohonannya. Ia berharap di tempat yang banyak pepohonan itu maka permainan tali hitam Duan Po akan jadi kurang leluasa.
Ternyata, meski benar bahwa Duan Po tidak seleluasa tadi, ia tetap saja hebat dengan tali panjangnya. Meskipun sekarang harus lebih berhati-hati agar talinya tidak tersangkut atau terlibat di pepohonan dan batu-batu nisan di kuburan itu. Dan sekarang Cong Seng dapat sedikit leluasa untuk membalas serangan, sambil berputar-putar dan berloncatan di antara pohon-pohon dan batu nisan.
Diam-diam Helian Kong harus bergeser sedikit di tempat sembunyinya, agar dapat mengawasi seluruh arena dengan bebas, gara-gara bergesernya tempat pertarungan Cong Seng dan Duan Po.
Puluhan gebrak berlangsung, kedua pihak sulit memastikan akan keluar sebagai pemenang, ataukah terkapar sebagai pecundang tak bernyawa. Mereka sudah tahu resiko itu, sejak mereka menerjuni "pekerjaan" sebagai pemburu nyawa upahan.
Saat itu adalah siang hari bolong, namun jalan di dekat kuburan sepi-sepi saja, juga meskipun tempat itu masih di dalam lingkungan tembok yang melingkari kota besar Lam-khia. Ada seorang lelaki dan anaknya yang muncul di ujung jalan, bermaksud melewati tempat itu, namun waktu melihat ada perkelahian di tempat itu mereka pun terbirit-birit menjauh.
Keempat orang yang berkelahi itu mulai sadar, bahwa masing-masing punya ketrampilan yang seimbang dengan lawan masing-masing, dengan demikian urusannya sekarang adalah adu panjangnya napas. Siapa yang lelah duluan, dialah yang juga akan berangkat duluan ke akherat. Atau terjadi perkembangan yang di luar perhitungan.
Sambil menyaksikan keempat orang itu baku hantam secara sengit, Helian Kong sebagai penonton gelap diam-diam berpikir juga, "Entah keterangan apa yang bisa kudapat dari menonton perkelahian ini? Dan apakah aku juga akan melihat saja kaki tangan para pangeran ini mati bersama?"
Dan macam-macam pikiran lain berseliweran di benak Helian Kong saling membantah dan saling mendukung. "Kalau ada korban jiwa di antara para kaki tangan pangeran-pangeran ini, tidakkah persaingan antar pangeran bertambah sengit, dan pertentangan atau perpecahan makin dekat?"
"Ah, tidak, hakekatnya para pangeran tidak peduli nyawa orang-orang upahan ini. Orang-orang upahan ini barangkali juga tidak pernah tahu siapa yang mengupah mereka, mereka hanya disuruh lakukan ini-itu oleh orang-orang suruhan pula."
Selagi Helian Kong berpikir-pikir, mendadak dari belakang sebuah nisan besar terdengar suara orang, keras dan sengit, "Kalian berempat menjemukan! Kalian hanya bikin ribut dan mengganggu tidurku!"
Lalu muncul seorang dari balik nisan. Tadinya orang itu berbaring di tanah di bawah keteduhan sebatang pohon, sekarang ia bangkit memperlihatkan dirinya. Seorang lelaki berusia empat puluhan tahun yang tubuhnya langsing berotot, pakaiannya kumal, tatapan matanya tajam menggidikkan, ditambah dengan sebuah luka bekas senjata yang menyilang mata kirinya.
Pada ikat pinggangnya terselip sebatang pedang yang amat jelek, tanpa sarung. Pedang itu kusam, tidak mengkilap, bahkan ada karatnya dan mungkin berasal dari darah yang tidak dibersihkan. Gagang pedangnya dari kayu yang dibuatnya sembarangan saja, dibalut kain-kain gombal aneka warna agar tidak licin kena keringat kalau sedang digunakan untuk bertempur.
Di tempat persembunyiannya, Helian Kong langsung mengenalinya sebagai pembunuh bayaran pula, yang dikenal julukannya sebagai Si Pedang Buruk, sedang namanva entah siapa. "Tambah ramai nih....." kata Helian Kong dalam hatinya. "Entah Si Pedang Buruk ini sudah jadi kaki tangan pangeran yang mana?"
Munculnya Si Pedang Buruk dengan suaranya yang cukup berpengaruh dan garang itu, membuat pertarungan berhenti. Orang-orang yang berkelahi saling berlompatan menjauh, bukan saja untuk melihat siapa yang datang, melainkan juga untuk memperbaiki napas yang terengah-engah. Keempat orang itu, tanpa kecuali, sudah mandi keringat dan terengah napasnya.
Agaknya Cong Liu langsung mengenali Si Pedang Buruk, tanyanya, "Sobat yang digelari Si Pedang Buruk, di pihak mana kau berdiri?"
"Aku belum seberuntung kalian, yang sudah mendapat tempat untuk menyewakan tenaga kalian, itulah sebabnya aku masih menggelandang, tidur di sembarang tempat dan makan tidak teratur. Sekarang, tidurku pun terganggu oleh berisiknya kalian berkelahi tak sudah-sudahnya."
Si Tali Maut Duan Po tertawa, "Aku bersimpati kepadamu, Sobat. Sekarang daripada kau luntang-lantung, berpihaklah kepada kami. Bantu kami menyembelih kedua serigala ini, akan ada hadiah buatmu."
"Benar," sambung Si Pedang Lemas, bahkan untuk memperkuat tawarannya, ia langsung mengeluarkan sepotong kecil emas berbentuk persegi yang ditaruh di telapak tangan kirinya untuk ditunjukkan. Rupanya dia sadar, tanpa ada perubahan keseimbangan, maka kedua pihak hanyalah saling adu panjang napas, dan entah kapan selesainya pertempuran. Kalau beruntung, pihak sendiri yang keluar sebagai pemenang. Kalau nasib sial, ia dan rekannya Si Hwesio gadunganlah yang akan terkapar jadi mayat di situ.
Si Pedang Buruk hilang kantuknya melihat potongan emas itu. Ia menatapnya lama-lama sambil mengusap-usap dagunya, namun tidak buru-buru menerima tawaran itu. Malah menoleh kepada sepasang serigala sambil bertanya, "Nah, apa tawaran kalian? Kalau tawaran kalian lebih tinggi, tentu saja aku membantu kalian."
Buat orang-orang dari luar kalangan para pembunuh bayaran, tawar-menawar begitu bisa jadi amat memuakkan, tetapi di kalangan para pembunuh bayaran itu adalah hal biasa. Duan Po dan Si Pedang Lemas pun harus siap-siap terima resiko kalau tawarannya kalah unggul dari lawan mereka.
Namun mereka boleh lega melihat Cong Bersaudara kelabakan, agaknya mereka tidak membawa uang kontan yang cukup banyak untuk menandingi tawaran Si Pedang Lemas kepada Si Pedang Buruk.
Tetapi Cong Seng tidak putus asa, katanya kepada Si Pedang Buruk, "Sobat, kami memang tidak bawa uang kontan sekarang ini, tapi kami bisa memperkenalkanmu dan membawamu ke lingkungan orang yang bermasa depan cerah karena mendukung calon yang berpeluang paling besar menjadi Kaisar di negeri ini. Saat itu jangankan cuma sepotong emas kecil, sekotak besar pun mudah kau dapatkan."
Begitulah, kedua pihak berebut menawarkan iming-iming untuk menarik Si Pedang Buruk ke pihaknya. Di tempat sembunyinya, Helian Kong ikut tegang juga. Pihak yang dibantu Si Pedang Buruk pasti akan menang dan lawan-lawannya akan mati. Helian Kong tidak memihak siapa-siapa, namun ia merasa wajib mencegah pertumpahan darah di antara kaki tangan para pangeran yang bisa memperburuk hubungan antar pangeran, padahal persatuan sedang dibutuhkan.
Sementara itu Si Pedang Buruk sudah mengambil keputusan, "Sekeping kecil emas yang sudah di depan mata, jauh lebih baik dari sekotak intan berlian yang masih diangan-angan. Sobat yang berpedang lemas, aku di pihakmu!"
"Pilihan yang bijaksana!" puji Duan Po, lalu tatapan matanya mengejek Sepasang Serigala, begitu pula mulutnya. "Jangan sesali nasibmu. Mestinya tadi kalian bawa banyak emas."
Sementara Cong Liu mencaci Si Pedang Buruk, "Dasar otak kerbau, tidak punya wawasan ke masa depan!"
Si Pedang Buruk melangkah memasuki gelanggang, katanya dingin menyeramkan, "Kau akan membayar mahal untuk ucapanmu itu."
Pertempuran babak kedua pun akan dimulai, dengan perimbangan yang berubah. Tiga lawan dua. Kehadiran Pedang Buruk di pihak golongan penyebar desas-desus adalah jaminan kemenangan. Sepasang Serigala juga menyadari itu, namun mereka tidak takut mati. Sudah terbiasa, resiko pekerjaan mereka.
Ternyata pertempuran yang hampir mulai itu harus tertunda lagi, sebab dari suatu tempat tersembunyi terdengar suara, "Tawaran yang menarik. Menjadi orang bawahan calon Kaisar di negeri ini, dan mendapat kedudukan enak. Aku jadi tertarik....."
Kelima orang itu serempak menoleh, dan melihat munculnya seorang pengemis yang mukanya amat kotor penuh dengan tanah. Bertangan kosong, tidak membawa senjata apa pun. Sebenarnya pengemis itu bukan lain adalah Helian Kong yang akhirnya memutuskan untuk muncul.
Alasannya bukan untuk mendapatkan hadiah, itu alasan bohong-bohongan saja. Helian Kong hanya ingin mencegah pembantaian yang akan memperpanas hubungan antar pangeran serta ingin memasuki lingkungan orang-orang jenis ini, untuk mencari tahu lebih banyak.
Helian Kong sengaja mengotori mukanya dengan tanah, agar wajahnya sulit dikenali, juga tidak membawa pedang Tiat-eng Po-kiam sebab pedang itu sering membuka identitasnya baik sebagai ketua perguruan Tiat-eng-bun maupun pahlawan dinasti Beng yang terkenal.
Itulah sebabnya kemunculan Helian Kong tidak menimbulkan kegentaran di pihak yang hendak dilawan, sebaliknya juga tidak menimbulkan harapan di pihak yang hendak dibantunya, yaitu Sepasang Serigala.
Duan Po tertawa mengejek sambil geleng-geleng kepala, "Astaga, jembel macam ini pun mau ikut dalam permainan berbahaya ini?"
Helian Kong sengaja bersikap "amatiran", sambil tertawa cengengesan dia menjawab dengan lagak malu-malu, "Ya.... apa salahnya memperjuangkan masa depan? Aku dulu jagoan bertinju di desaku Iho."
Para pembunuh bayaran itu, di pihak manapun, sama-sama tertawa geli. Bahkan Sepasang Serigala yang sedang terancam maut itu pun merasa mendapat sedikit hiburan sebelum ajal mereka. Kata Duan Po pula, "He, jembel, ini bukan urusan main-main. Mengerti?"
Helian Kong berlagak penasaran dan memelototkan matanya, "Siapa bilang aku main-main? Aku sungguh-sungguh. Aku sudah terjepit dan susah mendapat lapangan kerja, dulu berjual buah-buahan gagal, berdagang juga bangkrut, jadi apa salahnya cari nafkah dengan ketrampilanku berkelahi?"
"Mana senjatamu?"
Helian Kong menunjukkan sepasang tinjunya, "Dulu di kampung, pernah kubekuk dua maling ayam bersenjata hanya dengan kedua tangan kosong ini. Buat apa senjata?"
Cong Liu biarpun pembunuh bayaran namun merasa iba juga kepada "jembel tolol" ini. "Bung, minggirlah. Terima kasih atas niatmu hendak membantu kami berdua, tetapi nyawamu bisa amblas karenanya. Jadi minggir sajalah."
"Tidak! Kalau jembel yang itu boleh ikut mengadu nasib di sini dan mendapat sekeping emas....." kata Helian Kong sambil menuding Si Pedang Buruk yang tampangnya memang mirip jembel juga. "..... kenapa aku tidak boleh? Apakah karena jembel yang itu mempunyai pedang rongsokan itu? Kalau itu syaratnya, aku pun dengan gampang akan menemukan pedang yang bahkan lebih bagus dari itu, di tempat barang apkiran para tukang besi!"
"Si jembel dengan pedang rongsokan itu bukan sembarang orang. Kau mau tahu siapa dia?"
"Aku tidak peduli siapa dia. Pokoknya aku mau memperjuangkan masa depanku lewat cara ini. Kalau aku tewas, itu nyawaku sendiri dan tidak perlu orang lain risau. Ayo mulai berkelahi, aku di pihak dua orang ini (maksudnya Sepasang Serigala)."
Cong Bersaudara tidak mencegahnya lagi, "Terserahlah. Kalau ingin mati dengan cara ini, matilah."
Para pembunuh bayaran itu mulai bersiap-siap bertempur. Mereka mulai saling menggeser langkah berkeliling, mengincar sasaran, memainkan langkah-langkah jebakan, menggerak-gerakkan senjata tapi belum dalam serangan sungguh-sungguh. Dan dari kedua belah pihak tidak ada yang menggubris Helian Kong si "jagoan kampung". Mereka benar-benar menganggap Helian Kong bukan apa-apa.
Ternyata Helian Kong sendiri menikmati "permainannya" itu. Berperanan sebagai "bukan apa-apa" sambil berpikir. "Dalam urusan yang serba sungguh-sungguh, ada baiknya juga sedikit permainan untuk menjadi penyegar dalam segala sesuatu."
Helian Kong pun ikut bergeser kesana kemari sambil memainkan beberapa gerak kembangan. Dan ia semakin dipandang remeh, sebab gerak kembangan yang ditunjukkannya adalah dari Tam-cap Hoa-hong, suatu rangkaian gerak dasar silat yang amat terkenal di Cina Utara. Terdiri dari jurus-jurus Tam-cui, Cap-kun, Hoa-kun dan Hong-bun. Begitu umum sampai setiap bakul obat di pinggir jalan bisa memainkannya dengan baik. Itulah gerak silat yang lebih pantas disebut senam kesehatan daripada jurus-jurus tempur.
Duan Po tertawa geli, tetapi Si Pedang Buruk yang pendendam itu merasa jemu, ia masih marah mendengar kata-kata Helian Kong tadi, yang meremehkannya. Katanya, "Biar kusingkirkan dulu jembel tak tahu diri ini ke akherat. Takkan melebihi satu jurus!"
Cong Bersaudara merasa kasihan, tetapi menolong diri sendiri pun mereka entah bisa entah tidak, jangankan menggubris orang lain. Sementara Si Pedang Buruk telah meluncur bagaikan ular meluncur di air, dengan ujung jari-jari tangan kirinya ia menotok ke tenggorokan Helian Kong.
Ia bahkan terlalu sombong untuk tidak menggunakan pedang jeleknya. Ia tidak mau menambah karat-karat bekas darah di pedang jeleknya itu dengan karat darah seorang "jembel tolol", sedang karat-karat di pedangnya yang ada sekarang berasal dari darah jago-jago ternama yang menjadi korbannya.
Kebetulan Helian Kong juga jemu dengan Si Pedang Buruk ini, sejak pertama kali melihatnya di sebuah warung di luar kota Lam-khia. Orang macam ini dalam pandangan Helian Kong hanyalah memperkeruh keadaan, bisa dibeli siapa saja yang punya uang. Tetapi Helian Kong masih ingin sedikit "bermain-main".
Maka serangan tangan kosong Si Pedang Buruk itu disambutnya hanya dengan jurus tukang jual jamu yang sangat umum, disebut Heng-shia-tan-pian (Miringkan Tubuh dan Menggantungkan Cambuk), tangan kiri menepis dengan telapak tangan ke pergelangan tangan musuh, tangan kanan dengan punggung kepalanya menghantam ke siku lawan. Inilah jurus yang terlalu sering dipertontonkan tukang-tukang jual jamu di pinggir jalan.
Ternyata jurus sederhana ini mengejutkan Si Pedang Buruk, karena kecepatan, ketepatan dan kekuatan yang terkandung di dalamnya yang bisa dirasakan lawannya. Seperti lidah ular yang ditarik masuk kembali ke mulutnya, begitu Si Pedang Buruk menarik tangannya cepat-cepat.
Helian Kong kembali tertawa cengengesan "He-he-he, pukulanku lumayan ya? Bisa untuk modal memperjuangkan masa depan."
Waktu itu, baik Sepasang Serigala maupun Duan Po dan Si Pedang Lemas belum saling bergebrak sungguh-sungguh sehingga mereka sempat melihat gebrakan antara Si Pedang Buruk dan Si "jago kampung " itu dan mereka tercengang melihat serangan pertama Si Pedang Buruk dipunahkan begitu mudah oleh sebuah gerak tipu sederhana.
Si Pedang Buruk malu dan gusar. Kalau ia kalah dari teknik-teknik silat tingkat tinggi macam Lo-han-kun (Pukulan Arhat) atau yang sekelas dengan itu, ia tidak malu. Tapi serangannya dipatahkan oleh jurus tukang jamu. "Jembel, dari mana kau belajar pukulan itu?"
Helian Kong sengaja hendak meruntuhkan kesombongan Si Pedang Buruk, jawabnya pun seenaknya, "Dulu waktu kecil aku sering menonton tukang obat main silat di pasar, aku tirukan, eh, ternyata bisa. Maling ayam saja roboh kena pukulanku, apalagi hanya kau." Dengan kalimat terakhir itu, Helian Kong sengaja menaruh "ranking" Si Pedang Buruk di bawahnya maling ayam.
Sementara Cong Seng mengejek Si Pedang Buruk, "Wah, katanya tidak akan melebihi satu jurus?"
Si Pedang Buruk menggeram, pedang karatannya tiba-tiba membuat gerak melengkung ke atas seperti pelangi, secepat kilat, hendak membelah dua tubuh Helian Kong mulai dari ubun-ubun sampai ke pantat. Helian Kong tahu orang itu sudah marah dan ia tidak berani bermain-main lagi. Ia tidak berani memainkan Tam-cap-hoa-hong lagi untuk meladeni Si Pedang Buruk....