Puing Puing Dinasti Jilid 06

Novel silat Mandarin serial Helian Kong seri ketiga, Puing Puing Dinasti Jilid 06 karya Stevanus S.P
Sonny Ogawa

Puing Puing Dinasti Jilid 06 karya Stevanus S.P - SI PEDANG BURUK sudah yakin pedangnya akan membelah tubuh Si "jembel" karena ia sudah gunakan seluruh kemampuannya. Ternyata pedang karatannya tetap saja cuma membelah angin, bahkan ia tidak tahu secara jelas apa yang terjadi, waktu merasa lengannya terguncang lalu tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang.

Novel Silat Mandarin, karya Stevanus S.P

"He-he-he..... benar tidak kataku tadi, kau tidak lebih hebat dari maling ayam yang menggerayangi kampungku dulu." ejek Helian Kong pula. "Aku ini jelek-jelek dulu bekas anggota ronda malam di kampungku lho."

Sekarang penilaian para pembunuh bayaran itu terhadap Helian Kong berubah. Sepasang Serigala jadi timbul harapan kembali, Si "jembel" itu mampu diandalkan menghadapi Si Pedang Buruk. Dengan semangat itu mulailah dua Saudara Cong itu menerjang ke arah Duan Po dan Si Pedang Lemas, dan mereka bertempur seperti tadi, seperti sebelum munculnya Si Pedang Buruk dan Si "jembel".

Si Pedang Buruk sendiri sadar, kalau sampai kejadian itu tersebar luas, hancurlah kepercayaan orang terhadap dirinya, dan takkan ada lagi yang mau menyewa jasanya sebagai pembunuh bayaran. Satu-satunya jalan untuk "mempertahankan nafkah" ia harus mencincang Si "jembel".

Dia bangkit, lalu dengan pedangnya dia mulai menyerang gencar dan ganas ke arah Helian Kong. Meski pedangnya jelek, namun permainan pedangnya tidak jelek. Permainan pedangnya sama sekali mengabaikan keindahan gerak, sebaliknya hanya mengandalkan gempuran bertubi-tubi yang ganas dan penuh semangat membunuh. Gaya tempurnya membuat ia juga kurang menaruh perhatian pada soal kuda-kuda.

Helian Kong meladeni dengan hati-hati, tidak cengengesan lagi. Namun ia tetap yakin bahwa dengan tangan kosong pun ia akan dapat menundukkan lawan yang ganas ini. Belasan gebrak berlangsung, Helian Kong cuma berkelit atau menghindar tanpa membalas menyerang satu pukulan pun. Ia mengambil kesempatan untuk mengamati gaya permainan lawannya.

Biarpun Helian Kong tidak membalas, namun ketangkasannya menghindari serangan-serangan Si Pedang Buruk yang rapat dan cepat serta bertubi-tubi sampai belasan gebrakan itu mengherankan Si Pedang Buruk sendiri. Mulai terbuka matanya bahwa Si "jembel" ini bukan orang yang sekedar ingin main untung-untungan seperti kata-katanya sendiri tadi.

Sementara ketajaman mata Helian Kong sendiri mulai melihat betapa lawannya lemah di bagian bawah, pada kuda-kudanya. Lawannya kelewat bernafsu melakukan sabetan pedang berantai sehingga tubuhnya sering mengambang di tanah.

Satu kali Si Pedang Buruk menerjang dengan sebuah gerak mengiris dari kanan bawah ke kiri atas. Helian Kong dengan tabah menanti sampai pedang lawan dekat benar dengan tubuhnya, tahu-tahu menjatuhkan diri secepat kilat sambil menyapukan kakinya ke kaki Si Pedang Buruk.

Sekian lama Helian Kong tidak membalas, Si Pedang Buruk menyangka Si "jembel" tidak mampu membalasnya biarpun ketrampilannya menghindar cukup mencengangkan. Si Pedang Buruk tidak siap, tidak menduga Helian Kong dapat membalasnya dengan cara itu. Maka tersapulah kakinya dan ia jatuh terduduk dengan pantat teposnya menghantam tanah begitu keras.

Ia memang kaget, namun sebagai tukang berkelahi yang penuh pengalaman, ia masih sempat dalam posisi duduk memutar tubuhnya membacok Helian Kong. Di luar dugaan Helian Kong berguling lagi begitu cepat dan sepasang kakinya menjepit leher Si Pedang Buruk serta menjatuhkannya ke tanah. Menyusul tumit Helian Kong menghantam rahang, Si Pedang Buruk demikian keras, membuat pembunuh bayaran itu tidak sadarkan diri.

Begitulah, sekian lama Helian Kong tidak membalas, dan sekali membalas dengan serangkaian "permainan bawah" maka lawannya pun tidak berkutik lagi. Dengan geram Helian Kong mematahkan pedang karatan yang sudah makan banyak jiwa itu menjadi empat potong.

Runtuhnya Si Pedang Buruk yang menjadi andalan Duan Po serta Si Pedang Lemas, membuat semangat tempur mereka pun melorot tajam. Mereka sama-sama berpikir, kalau tidak buru-buru kabur bisa-bisa mampus di tempat itu. Si Tali Maut Duan Po tiba-tiba membentak, menggetarkan tali hitamnya sehingga berubah seperti kabut menutupi tubuhnya.

Si Pedang Lemas juga menggetarkan pedangnya demikian rupa membentuk "jala pedang" menjadi tirai bagi dirinya. Buat yang belum berpengalaman, pertunjukan macam itu barangkali terlihat menakjubkan, namun sebenarnya itulah tipu-tipu untuk persiapan melarikan diri, tipu yang tidak punya daya gempur. Dan memang sesaat kemudian, kedua orang itu pun memutar tubuh dan kabur terbirit-birit.

Cong Liu dan Cong Seng hendak mengejar, tetapi Helian Kong mencegahnya, "Tidak perlu dikejar."

Kalau tadi Cong Liu dan Cong Seng merasa iba kepada Si "jembel" yang mereka kira akan mati konyol di tangan Si Pedang Buruk, tentu saja sekarang sikap mereka lain setelah melihat Si Pedang Buruk yang pingsan tergeletak di tanah. Tidak banyak orangnya di seluruh Cina yang bisa merobohkan Si Pedang Buruk hanya dalam belasan gebrakan, apalagi hanya dengan tangan kosong sedangkan Si Pedang Buruk memegang pedang mautnya yang terkenal. Sikap dua Saudara Cong itupun berubah amat sungkan kepada Helian. Cegahan Helian Kong tadi tak berani mereka bantah.

"Kenapa tidak kau biarkan kami mengejar mereka? Mereka masih bisa menyebarkan fitnah tentang wihara yang di gusur itu, sedangkan kami diupah untuk mencegahnya."

"Cerita tentang wihara yang digusur itu bukan fitnah, tetapi memang kebenaran."

"Biarpun kebenaran, tetapi harus dibungkam. Kami sudah diupah untuk menutupi. Sobat, kau tahu, orang-orang yang bekerja macam kita ini, yang penting uang. Benar atau tidak benar itu bukan urusan kami. Kami diupah untuk melakukan sesuatu, kami jalankan sebaik-baiknya agar kami tetap dipercaya melakukan pekerjaan kami."

Helian Kong seperti diguyur air dingin kepalanya, ia begitu menggebu omong soal kebenaran, sampai lupa yang dihadapinya bukan kaum idealis macam Li Teng Kok atau Puteri Tiang-ping, melainkan kaum yang cuma memburu uang. Helian Kong buru-buru menahan mulutnya, ia khawatir kalau dirinya terlalu cerewet soal kebenaran, yang diajaknya bicara akan curiga dan mempersulit niat Helian Kong untuk bergabung dengan "kaum bawah tanah" ini.

Maka Helian Kong pun tertawa cengengesan, berlagak menjadi orang sejenis dengan Sepasang Serigala ini, katanya, "Ya, dalam jaman sesulit ini, siapa peduli benar atau tidak benar? Pokoknya dapat duit, habis perkara."

"Itu baru betul," puji Cong Seng. "Sekarang Si Pedang Buruk ini akan kita apakan?"

"Ikat saja di pohon, biarkan sampai sadar sendiri. Setelah sadar nanti, biar dia tahu bukan dia satu-satunya jagoan di kolong langit ini."

Dua saudara Cong menuruti kata-kata Helian Kong itu, dan melaksanakannya. Tubuh Si Pedang Buruk diikat di pohon di pinggir jalan sepi itu. Pengikatnya adalah ikat pinggangnya sendiri. Kemudian Helian Kong mengutarakan maksudnya kepada dua saudara Cong itu. Lagaknya sambil menggosok-gosokkan sepasang telapak tangannya dan cengar-cengir,

"Eh, Bung berdua, tadi Bung bilang bisa mengajak orang menikmati masa depan yang gemilang dengan mengabdi orang yang bakal menjadi Kaisar negeri ini. Aku ini sekarang masih menganggur, kalau bisa....."

"Aku tahu, aku tahu," tukas Cong Liu sambil menepuk-nepuk pundak Helian Kong dengan ramah. "Kau hebat, Sobat, bisa merobohkan Si Pedang Buruk. Tetapi kami sendiri cuma orang upahan, tidak berhak merekrut tenaga baru."

"Kalau begitu, antar saja aku kepada orang yang mengupah kalian, biar aku sendiri bicara dengan dia."

"Ingin sekali kami mengabulkan permintaanmu, Sobat, siapa tidak senang punya kawan sehebat kau? Tetapi kami tidak bisa menemui orang itu, sebab kami tidak tahu dimana tempatnya, orang itulah yang datang mencari kami."

"Kapan dia ketemu kalian?"

"Tidak bisa dipastikan. Tetapi kapan saja dia ketemu kami, kami akan bicarakan tentang dirimu, eh, dari tadi kami belum tahu namamu."

Enteng saja Helian Kong menyebut sebuah nama asal jadi, "Namaku Ek Beng-ti, dari Kam-siok."

"O, pantas, logat bicaramu bukan logat orang sini. Baik, akan kami katakan namamu kepada orang yang mengupah kami itu." janji Cong Liu.

"Bukan hanya menceritakan, tetapi juga memuji-mujimu, Sobat Ek," tambah Cong Seng.

"Ek Beng-ti" mengangguk-angguk gembira. "Eh, Sobat Ek, seandainya kami sudah ketemu orang itu, di mana kami bisa menjumpaimu untuk memberi kabar?"

Helian Kong tidak ingin memberi-tahu tempatnya yang tetap di Lam-khia ini, maka ia menjawab, "Kalian tahu Gapura Hong-bun, yang dekat dengan jalan yang menuju ke Beng-hau-leng (Kuburan Raja-raja Dinasti Beng)?"

"Ya, ya, kami tahu."

"Nah, dekat gapura itulah aku sering berada."

"Apa yang dikerjakan di situ?"

"Ya, sekedar kumpul dengan teman-teman asal sekampung."

"Baiklah. Selamat tinggal, Sobat Ek." Bahkan sebelum berpisah, Cong Seng menyisipkan beberapa keping uang ke tangan Helian Kong yang menerimanya sambil tertawa dalam hati. "Beruntung juga Ek Beng-ti ini."


Malam harinya, Helian Kong diam-diam menemui Li Teng-kok. Sudah tentu dalam keadaannya yang wajar, tidak menyamar segala. Li Teng-kok bermalam di rumah seorang pensiunan pejabat sipil kelas dua dari jaman dinasti Beng dulu, namun bertugas di Lam-Khia. Orang itu kebetulan asal sekampung dengan Li Teng-kok dan teman baik ayah Li Teng-kok. Li Teng-kok memanggilnya "Paman Phoa".

Gedung Si Paman Phoa ini besar, dan bagian sayap kirinya digunakan oleh serombongan Li Teng-kok. Helian Kong tidak ingin bertele-tele, maka malam itu ia lompati saja dinding halaman samping. Tak terduga, sebelum kakinya menginjak tembok bagian atas, dari sebelah dalam halaman terdengar bentakan seorang pemuda,

"Bangsat, rasakan pisau terbangku!"

Dan sebatang pisau terbang kecil menyambar Helian Kong, namun Helian Kong dengan mudah menjepitnya dengan dua jari, lalu mendarat di tanah, di sebelah dalam tembok. Helian Kong melihat seorang pemuda berusia delapan belasan tahun, berpakaian latihan silat dan bermandi keringat di halaman belakang.

Di sekitarnya bergeletakan alat-alat latihan silat seperti ciok-so (kunci batu) untuk membina tenaga, tonggak-tonggak berformasi bwe-hoa (bunga sakura), se-pau (kantong pasir) dan bermacam-macam senjata panjang, sedang maupun pendek. Waktu Helian Kong melompat datang tadi, si pemuda agaknya sedang berlatih membidik dengan pisau kecil ke arah sebuah orang-orangan kayu yang belasan langkah jaraknya. Rupanya pemuda ini begitu giat, hingga malam-malam pun berlatih.

Namun melihat Si "maling" dapat menangkap pisau terbangnya begitu gampang, Si Pemuda kaget, lalu berteriak, "Ada penjahat! Ada penjahat!"

"Aku bukan penjahat!" bantah Helian Kong.

Tetapi seluruh penghuni gedung itu sudah terlanjur berhamburan keluar semua. Baik para centeng rumah itu, maupun Li Teng-kok dan rombongannya yang menginap di situ. Helian Kong hampir bergebrak dengan para tukang pukul, kalau tidak Li Teng-kok dengan pakaiannya yang acak-acakan karena bangun tidur berteriak mencegah,

"Tahan! Dia bukan penjahat!"

Si Pemuda yang berlatih silat tadi sudah siap menyambitkan pisau terbangnya lagi, namun gerak tangannya kini tertahan di udara. "Kakak Li, Kakak mengenalnya?"

Li Teng-kok tersenyum lebar sambil melangkah mendekati Helian Kong, namun kata-katanya ditujukan kepada Si Pemuda, "A-bian, inilah Helian Kong yang pernah kuceritakan kepadamu. Masih ingat ceritaku tentang dia?"

Si Pemuda terbelalak, "Helian Kong? Tokoh sehebat dalam dongeng itu? Yang tetap teguh hatinya membela dinasti, meskipun difitnah Co Hua-sun ataupun disuap segudang emas?"

Helian Kong tertawa sambil geleng-geleng kepala, tanyanya kepada Li Teng-kok, "Saudara Li, dongeng macam apa yang kau ceritakan kepada Saudara Kecil ini?"

Sementara si tuan rumah yang dipanggil "Paman Phoa" oleh Li Teng-kok juga sudah ikut keluar karena mendengar ribut-ribut itu. Ia seorang bertubuh gemuk, rambutnya sudah ubanan semua, berwajah ningrat meskipun sebenarnya keturunan rakyat jelata. Mungkin disebabkan sikap dan tindak-tanduknya yang sudah terbiasa keningrat-ningratan ketika menjadi pembesar dulu.

Li Teng-kok dengan bersemangat memperkenalkan Helian Kong kepada semua orang, sementara Helian Kong sendiri mengeluh dalam hati, "Waduh, Li Teng-kok agaknya sudah lupa pesanku bahwa aku tidak ingin diketahui hadir di Lam-khia ini, agar dapat bergerak di bawah tanah dengan leluasa. Sekarang Li Teng-kok malahan mengumumkan kehadiranku kepada semua orang."

Tetapi Helian Kong tahu bahwa Li Teng-kok tidak bermaksud jahat. Ia berbuat demikian semata-mata karena kekagumannya akan kepribadian Helian Kong. Sambutan Si Tuan rumah pun luar biasa waktu mendengar tamunya adalah Helian Kong yang terkenal. Bahkan Si Tuan rumah menyamakan Helian Kong dengan almarhum Jenderal Wan Cong-hoan, itu panglima dinasti Beng yang legendaris, besar jasanya tetapi malahan dihukum mati gara-gara fitnah Co Hua-sun.

Si pemuda ternyata adalah anak tunggal dari si tuan rumah, namanya Phoa Bian-li. Tuan rumah memperoleh anak ini ketika usianya hampir lima puluh tahun, tidak heran kalau dia sangat memanjakan puteranya ini. Kini Phoa Bian-li berlutut di depan Helian Kong sambil berkata, "Jenderal Helian, sudah kudengar tentang ilmumu yang tinggi. Maafkan seranganku tadi, sekarang terimalah aku sebagai muridmu."

Helian Kong pun garuk-garuk kepala kebingungan. Rencananya ialah menemui Li Teng-kok secara diam-diam untuk membicarakan situasi terakhir, tak terduga malah jadi seramai ini. Rencananya pun jadi kacau. Terpaksa Helian Kong berkata, "Maaf, Tuan-tuan, caraku datang ke tempat ini sangat tidak sopan. Terpaksa aku lakukan, karena sekarang sudah larut malam, dan aku tidak ingin mengganggu tidur Tuan-tuan. Aku cuma ingin berbicara sendiri dengan Saudara Li."

Perkataan Helian Kong itu seperti seember air dingin yang diguyurkan ke atas kepala Li Teng-kok. Ia menampar jidatnya sendiri karena merasa bersalah. "Maafkan aku, Saudara Helian."

Sementara tuan rumah sudah terlanjur memerintahkan pembantu-pembantunya untuk menyelenggarakan jamuan kehormatan, meski saat itu sudah larut malam. Dengan makanan-makanan yang sekedar dihangatkan. Melihat betapa orang sangat menghormatinya, Helian Kong tak mampu menolaknya.

Demikianlah, tidak lama kemudian mereka sudah berada dalam sebuah perjamuan, meski segala sesuatunya disediakan secara darurat. Dalam perjamuan itu, sudah tentu Helian Kong tidak leluasa bicara dengan Li Teng-kok tentang situasi dan rencana-rencana mereka. Helian Kong hanya bicara tentang hal-hal yang sudah bukan rahasia lagi, tentang jatuhnya San-hai-koan gara-gara Bu Sam-kui kecewa karena Tan Wan-wan "dijadikan simpanan" Li Cu-seng alias Kaisar Tiong-ong.

Bahkan, demi bersatunya seluruh bangsa Han, Helian Kong menyembunyikan kisah ketika segelintir orang perwira Pelangi Kuning berusaha menumpasnya di sebuah desa. Helian Kong ingin agar orang-orang Pelangi Kuning dan sisa-sisa dinasti Beng melupakan permusuhannya untuk bersama-sama menyelamatkan tanah leluhur.

Orang-orang yang mendengarnya tak habis-habisnya memuji Helian Kong, dan membuat Helian Kong agak senang juga meskipun berpura-pura bilang "Jangan terlalu memuji". Tetapi yang merepotkan, setelah mendengar cerita kehebatan Helian Kong itu, tambah bersemangat pula si pemuda Phoa Bian-li ingin menjadi murid Helian Kong.

Kembali pemuda itu memohon sambil berlutut, lalu ayahnya pun ikut memohon, bahkan Li Teng-kok juga. Akhirnya Helian Kong tidak dapat menolaknya. Cuma ia terus terang mengatakan tidak akan menerima Phoa Bian-li sebagai murid sepenuhnya, melainkan hanya "setengah murid", Helian Kong takkan memberikan pelajaran baru melainkan hanya meningkatkan teknik-teknik si pemuda berdasarkan pelajaran-pelajaran yang sudah dimilikinya. Phoa Bian-li agak kecewa, toh tidak berani memaksa.

Selesai jamuan makan, malam sudah semakin larut, barulah Helian Kong mendapat kesempatan bicara empat mata dengan Li Teng-kok di sebuah ruangan. Yang pertama Helian Kong katakan justru bernada keluhan, "Saudara Li, kalau Keluarga Phoa sudah tahu kehadiranku di Lam-khia ini, agaknya akan sulit bagiku untuk tidak diketahui di Lam-khia ini."

"Aku minta maaf, Saudara Helian." Li Teng-kok nyengir sambil menggaruk-garuk belakang kepalanya. "Aku memang sering bercerita kepada Phoa Bian-li tentang dirimu. Dia itu pengagum tokoh-tokoh pahlawan dari masa silam. Lalu kukatakan, daripada mengagumi tokoh-tokoh yang sudah tidak ada, kenapa tidak mencontoh pahlawan yang masih ada, seperti dirimu?"

"Sebagai manusia biasa, aku senang juga dianggap ada artinya. Tetapi saat ini aku kan sedang menyamar?"

"Maaf, aku lupa. Mulai sekarang akan kuingat-ingat. Nah, Saudara Helian, apa yang mau kau katakan kepadaku, sehingga kau datangi aku malam-malam begini?"

"Belum ada hal penting, tetapi ada baiknya Saudara Li ketahui situasinya sejak awal, supaya bisa menyusun langkah. Ternyata para pangeran bersaing di bawah tanah dengan mengupah para petualang. Ada seorang pangeran, entah yang mana, mengupah orang untuk mengungkit cerita lama yang merugikan nama Pangeran Hok-ong. Tetapi ada pula orang-orang yang agaknya disewa Pangeran Hok-ong untuk menyangkal cerita lama itu, bahkan menangkap orang yang menyebar-luaskannya. Kedua kelompok ini siang tadi bertemu."

Lalu secara ringkas Helian Kong menceritakan kejadian di dekat kuburan, siang tadi. ".....dan aku akan coba memasuki lingkungan orang-orang bayaran yang dikendalikan dari istana Pangeran Hok-ong itu. Aku ingin tahu isi perut mereka....." Helian Kong mengakhiri ceritanya.

"Bagaimana dengan 'isi perut' pangeran-pangeran yang lain?" tanya Li Teng-kok.

"Aku pun akan menyelundup jadi 'cacing perut' ke dalam perut para pangeran itu."

"Apakah kau punya ilmu memecah diri?"

"Aku bisa menyamar dengan berbagai macam orang yang berbeda-beda sambil menyelundup ke sana kemari."

"Mudah-mudahan hasil penyelidikanmu atas sisi tersembunyi dari para pangeran itu akan menjadi bahan pertimbangan penting bagi kami, para panglima, untuk menentukan pilihan siapa yang pantas melanjutkan tahta dinasti Beng."

"Apa yang Saudara Li dapatkan hari ini?"

"Juga belum berarti. Aku sudah mengunjungi panglima-panglima dari berbagai propinsi yang sudah berkumpul di sini. Ayah dan anak, Jenderal The Ci-liong dan Laksamana The Seng-kong dari Hok-kian, Jenderal Thio Hong-goan dari Ciat-kang dan beberapa lainnya. Mereka sudah berkumpul di Lam-khia ini."

"Sudah Saudara Li jajagi sikap mereka terhadap para pangeran?"

"Sudah."

"Bagaimana?"

"Seperti yang kita khawatirkan. Ada yang condong mendukung pangeran yang ini, yang lain bilang pangeran yang itu yang terbaik."

"Dan para pangeran sendiri menunjukkan sikap yang tidak dewasa, kekanak-kanakan. Sudah berkumpul di satu kota, tetapi tidak ada yang mendahului merendahkan diri....." keluh Helian Kong prihatin. "Orang Manchu yang senang, kalau mendengar ini."

"Tentu. Saudara Helian punya jalan keluar?"

"Para panglima harus bisa menyatukan sikap, dengan demikian baru bisa mempengaruhi para pangeran. Kalau para jenderal saja sudah terpecah-belah, mereka hanya akan jadi boneka di tangan para pangeran."

"Soal itu, siapapun tahu, Saudara Helian. Soalnya, bagaimana caranya menyatukan sikap para jenderal? Siapa yang cukup punya wibawa sehingga suaranya didengarkan oleh para jenderal?"

"Seandainya Puteri Tiang-ping di sini....."

"Jangan pakai kata 'andaikata' sebab ini urusan nyata dan sudah mendesak. Belahan selatan wilayah Kerajaan Beng yang tersisa itu harus segera punya Kaisar!"

Helian Kong berpikir sebentar, sementara Li Teng-kok berkata pula, "Seandainya kau tidak sedang menyamar, Saudara Helian. Kau punya pengaruh."

"Tidak. Para jenderal itu punya kekuatan pasukan ratusan ribu serdadu, sedang aku cuma berteman pedang dan semangatku, tanpa dukungan satu prajurit pun. Bagaimana kau bisa bilang aku punya pengaruh?"

"Agaknya Saudara Helian kurang mengenal dirimu sendiri. Kau memang tidak punya pasukan sekuat kami, namun siapapun tahu kau jujur, kau bersih, perjuanganmu menentang kekorupan Co Hua-sun, menentang kaum Pelangi Kuning, susah- payahmu mencegah jangan sampai San-hai-koan jatuh ke tangan Manchu, semuanya itu sudah jadi legenda. Asal kau berbicara, semua orang akan memperhatikanmu, mempertimbangkan kata-katamu."

Helian Kong termangu, kata-kata Li Teng-kok senada dengan kata-kata Puteri Tiang-ping dulu, "Kau diharapkan menjadi kekuatan moral yang mengikat kekuatan-kekuatan militer yang bercerai-berai, Saudara Helian."

"Apa yang membuatmu ragu, Saudara Helian?"

"Aku sedang menyamar.... dan hampir berhasil menyusup ke sebuah lingkungan, dari mana aku bisa melihat sisi tersembunyi para pangeran."

"Sebetulnya itu bukannya hambatan tak teratasi."

"Maksud Saudara Li?"

"Saudara Helian bisa sekali-kali muncul dan berbicara kepada para jenderal, sekaligus juga di waktu-waktu lain tetap menyamar dan menyusup kian kemari."

Tak terasa Helian Kong mengangguk. Usul Li Teng-kok itu bisa dicoba dijalankan. Sekaligus Helian Kong memuji Li Teng-kok, di balik tampangnya yang kasar dengan berewoknya yang seperti sikat ijuk, terdapat otak yang cemerlang. Tidak percuma Li Teng-kok dipercaya jadi orang dekatnya Jenderal Thio Hian-tiong di Se-cuan. Ada yang menyamakan Li Teng-kok dengan Cukat Liang.

"Kau setuju, Saudara Helian?"

"Kapan aku dipertemukan dengan para jenderal itu?"

"Meskipun para jenderal belum sepakat tentang calon yang harus didudukkan di tahta kekaisaran, namun ada kesepakatan lain. Kami akan bertemu secara teratur, merundingkan segala sesuatunya."

"Gejala yang bagus, aku harap semuanya tetap berkepala dingin begini. Biar berbeda pendapat, jangan sampai gontok-gontokan sehingga menguntungkan orang Manchu. Tetapi Saudara Li belum katakan, kapan bisa kutemui mereka dan di mana?"

"Dua hari lagi, di sini Paman Phoa akan menjamu mereka. Semuanya sudah menyatakan sanggup untuk hadir."

"Kalau begitu, aku pun akan hadir."

"Ajak Saudara Siangkoan, suaranya akan....."

"Tidak bisa. Kami sedang sama-sama menyamar, satu sama lain berlagak tidak saling kenal."

"Datanglah terpisah. Siangkoan Heng diperlukan hadir untuk memperkuat kata-katamu. Nama Ayahnya, almarhum Menteri Siangkoan cukup berwibawa juga."

"Baiklah."

"Ada satu hal lagi. Besok, Pangeran Kui-ong alias Cu Yu-long akan berziarah ke kelenteng Thai-hud-si, sekalian menyerahkan sumbangan besar-besaran untuk kaum agamawan."

Helian Kong tiba-tiba tertawa. "Kenapa tertawa, Saudara Helian?"

"Sekarang aku bisa menebak, siapa penyebar cerita lama tentang wihara yang digusur Pangeran Hok-ong itu."

"Siapa?"

"Pangeran Kui-ong."

"Kenapa Saudara Helian beranggapan begitu?"

"Mudah. Ada cerita lama yang muncul kembali, cerita yang melukai hati kaum agama. Lalu tiba-tiba Pangeran Kui-ong merangkul dan mengambil hati kaum agama, bukankah polanya gampang ditebak?"

Tetapi Li Teng-kok nampaknya kurang yakin. Helian Kong tidak mau memaksanya. Mereka berbicara beberapa jam, setelah itu Helian Kong pergi. Karena tuan rumah dan keluarganya sudah tidur semua, Helian Kong meninggalkan rumah itu seperti waktu ia datang. Melompati tembok. Sambil berjalan pulang, ia berpikir keras, "acara" apa yang enaknya diadakan oleh para jenderal, untuk bisa mempersatukan para pangeran?


Esok harinya, setelah berbicara dengan isterinya dan iparnya, serta menimang-nimang anaknya sebentar, Helian Kong pun keluar pula dalam penyamaran. Kalau kemarin ia menyamar sebagai pengemis pincang, hari ini Helian Kong menyamar sebagai tukang sayur yang membawa dagangannya berkeliling kota dengan pikulan.

Helian Kong sebenarnya tidak ahli benar dalam penyamaran, namun dulu di Pak-khia dia pernah belajar menyamar, waktu hendak menyusup dan menyelidiki jaringan mata-mata Kaum Pelangi Kuning. Maka biarpun tidak ahli sekali, samaran Helian Kong cukup baik. Tempat-tempat yang dijadikan sasaran mencari berita masih warung-warung arak. Di situlah biasanya kaum petualang rimba persilatan bertukar berita, kadang-kadang juga bertukar jotosan.

Helian Kong pura-pura menawarkan sayurannya ke sebuah warung. Meski Si Pemilik Warung kelihatannya tidak berniat membeli, setelah melihat sayur-sayur dagangan Helian Kong banyak yang layu, namun Helian Kong sengaja ngotot memuji dagangannya. Tidak lain tujuannya adalah supaya bisa berlama-lama di situ, dan mendengarkan percakapan dalam warung.

Ternyata, berita yang didengarnya hari itu tidak menarik perhatian Helian Kong, melainkan membuatnya tersenyum. Sebab orang-orang ramai membicarakan tentang pembunuh bayaran yang terkenal. Si Pedang Buruk, yang ditemukan terikat di pohon di dekat sebuah kuburan, sedang pedangnya yang terkenal itu dipatah-patahkan jadi empat potong dan potongan-potongannya bergeletakan di dekatnya. Orang jadi menebak-nebak, siapa yang melakukan itu? Alangkah hebatnya orang yang mampu memperlakukan Si Pedang Buruk seperti itu.

Sambil meninggalkan warung itu, Helian Kong menjawab teka-teki itu hanya dalam hatinya, "Yang melakukannya Ek Beng-ti."

Tetapi Helian Kong mendengar pula berita yang membuatnya mengeluh dalam hati. Berita bahwa semalam Si "pahlawan legendaris" Helian Kong sudah muncul di Lam-khia, di rumahnya pensiunan pejabat kelas menengah yang biasa dipanggil Phoa Tai-jin. Bahkan, kata kabar angin itu, Helian Kong sudah mengangkat putera Phoa Tai-jin sebagai muridnya.

Wajarnya manusia biasa, Helian Kong merasa agak bangga juga bahwa namanya begitu terkenal dan dibicarakan orang, namun dalam rangka penyamarannya untuk menyelidiki hal-hal tersembunyi, ketenarannya itu malah jadi gangguan bagi keleluasaannya menyusup ke sana kemari.

"Entah siapa yang menyebarkan berita itu? Entah apa maksudnya?" Helian Kong bertanya-tanya dalam hati. "Sungguh cepat menjalarnya berita dari mulut ke mulut."

Akhirnya Helian Kong menenteramkan hatinya sendiri, "Silahkan orang-orang Lam-khia membicarakan Helian Kong sampai mulutnya robek, namun aku, Ek Beng-ti, bebas menyelinap ke mana saja."

Ia berkeliling dengan dagangannya yang memang tidak laku, sampai ke depan kelenteng Thai-hud-si yang di pinggir jalan besar. Kuil itu megah, letaknya tinggi sehingga untuk memasukinya orang harus melewati anak tangga batu ratusan trap banyaknya.

Di hari-hari biasa, mengalir orang masuk keluar di kuil itu untuk bersembahyang, meramal nasib atau entah apa lagi, namun hari ini kuil akan dikunjungi tamu agung, Pangeran Cu Yu-long yang bergelar Kui-ong akan datang bersembahyang. Bukan bersembahyang saja, tetapi juga memberikan sumbangannya untuk semua tempat ibadah di Lam-khia.

Maka pengunjung umum dilarang mengunjungi Thai-hud-si saat itu, yang ada hanyalah para agamawan. Bukan cuma dari kuil Thai-hud-si, melainkan juga dari tempat-tempat ibadah di seluruh Lam-khia berkumpul di situ, baik dari Hud-kau maupun To-kau. Sepasukan pengawal pribadi Pangeran Kui-ong juga sudah datang lebih dulu untuk mengamankan tempat itu, meski Pangeran Kui-ongnya sendiri belum nampak.

Rakyat hanya bisa berjejal-jejal di pinggir jalan, tidak diperkenankan menginjak anak tangga kuil biarpun yang paling bawah. Rakyat yang lugu membicarakan kedermawanan Pangeran Kui-ong yang menyaingi pamannya, Pangeran Hok-ong yang menguasai Lam-khia dan sekitarnya. Tetapi orang yang sedikit tahu tentang persaingan merebut tahta kekaisaran, cuma tersenyum sinis melihat lagak-lagu dua pangeran yang adalah paman dan keponakan itu.

Mereka tahu kalau kedermawanan yang sengaja dipamer-pamerkan itu ada pamrihnya. Sembahyangnya Pangeran Kui-ong di Thai-hud-si juga dinilai sekedar "sembahyang politis" karena kabarnya Pangeran ini adalah tukang foya-foya yang hidupnya jauh dari hukum-hukum agama. Kalau sekarang tiba-tiba menyelenggarakan sembahyangan besar, tentu ada maksudnya.

Rakyat yang berjubel di jalanan di depan kuil, tiba-tiba menyibak, waktu rombongan Pangeran Kui-ong datang. Pangeran Kui-ong sengaja menampilkan kesederhanaan. Tandunya bertirai putih belacu perkabungan, dan waktu Pangeran Kui-ong muncul dari dalam tandu, ia ternyata juga memakai pakaian berkabung serba putih, dengan kepala diikat pita putih dan tubuhnya dirangkapi jubah dari kain bagor.

Di antara orang banyak yang berjubel-jubel pun muncul bisik-bisik, "Pangeran Kui-ong berkabung buat separuh negeri leluhur yang sudah dicaplok Manchu."

"Dia berkabung untuk orang-orang di Yang-ciu dan Ke-teng yang dibantai dengan kejam oleh setan-setan Manchu."

Helian Kong dalam samarannya sebagai tukang sayur, ada di tengah rakyat yang berjubel itu, dan mendengar bisik-bisik itu. Tetapi Helian Kong sudah cukup berpengalaman bahwa bisik-bisik macam itu berasal dari kaki tangan yang disebar di antara orang-orang banyak. Tak ubahnya penyanjung-penyanjung Pangeran Hok-ong di antara orang-orang yang antri bubur gratis dulu.

Di sebelah Helian Kong juga ada seorang pemuda yang berdandan bagaikan rakyat biasa yang sederhana, mengajak bicara Helian Kong, "Alangkah mulianya hati Pangeran Kui-ong. Dia sama sekali tidak melupakan arwah orang-orang yang menjadi korban keganasan Manchu. Negeri ini butuh pemimpin yang benar-benar memperhatikan nasib orang-orang kecil. Pangeran Kui-ong yang cocok....."

Helian Kong yang diajak omong cuma mengangguk-angguk. Namun Helian Kong juga tahu, bahwa di antara orang banyak itu tentu ada juga orang-orang dari saingan-saingan Pangeran Kui-ong yang takkan tinggal diam. Betul juga, seorang yang di samping Helian Kong membantah,

"Alangkah bagusnya kalau para pangeran mau bersatu. Tetapi untuk memimpin negeri, Pangeran Hok-ong lebih cocok. Selain urut-urutannya lebih tua, ia juga lebih lembut dari Pangeran Kui-ong yang terlalu berjiwa militer. Pangeran Kui-ong mungkin lebih cocok diangkat jadi Panglima Tertinggi."

Begitulah, di tengah orang-orang itu ada dua pendapat, bahkan lebih. Ternyata bukan cuma Pangeran Hok-ong dan Pangeran Kui-ong yang menyebarkan "juru bicara" di tengah-tengah orang banyak, melainkan juga Pangeran Tong-ong, Lou- ong dan Kong-ong yang gemar hal-hal gaib itu. Maka simpang-siurlah pendapat yang ada di antara orang banyak itu.

Baru saja Helian Kong merasa khawatir akan terjadinya baku-hantam massal, ternyata di salah satu bagian dari kerumunan itu memang sudah terjadi saling kepruk antara dua orang gara-gara mendukung calon kaisar yang berbeda. Untung orang yang berkelahi itu segera dipisahkan orang banyak.

Helian Kong diam-diam menarik napas dengan prihatin dan membatin dalam hati, "Para jenderal harus segera menyatukan sikap dan menekan para pangeran. Makin lama tahta Kaisar kosong, makin bingung rakyat kecil oleh ulah tukang-tukang propaganda ini."

Sementara dilihatnya tokoh-tokoh agama di Lam-khia telah turun dari tangga batu untuk menyambut Pangeran Kui-ong. Di depan ribuan pasang mata orang-orang yang melihatnya, Pangeran Kui-ong memberi hormat amat takzim kepada para agamawan itu.

Tokoh-tokoh berbagai agama membalas dengan lebih takzim lagi, mereka bicara beberapa patah kata yang tidak terdengar dari arah orang banyak, lalu bersama-sama menaiki undakan ke arah kuil. Ternyata Pangeran Kui-ong begitu alimnya, hingga setiap kali melangkahi beberapa anak tangga, ia berlutut dan menyembah ke arah kuil.

Diam-diam ada juga di antara tokoh-tokoh agama yang merasa bahwa pangeran itu agak berlebihan. Tokoh-tokoh agama sendiri tidak ada yang sehebat itu penyembahannya. Dalam pada itu, di tengah orang yang berjubel-jubel, Helian Kong melihat dua saudara Cong yang berjuluk Sepasang Serigala, yang kemarin telah menjadi "teman" Helian Kong dan berjanji akan mengajak Helian Kong memasuki komplotannya. Mereka hanya berjarak beberapa langkah dari Helian Kong, namun mereka tidak mengenali Helian Kong yang hari itu menyamar berbeda dari kemarin.

"Entah apa tugas kedua orang itu di sini." pikir Helian Kong cemas. "Mudah-mudahan tidak membuat keadaan bertambah kisruh."

Tiba-tiba jantung Helian Kong berdesir, di antara kerumunan orang banyak itu dilihatnya seseorang yang dikenalnya. Orang itu semuda Helian Kong, pundaknya bahkan lebih tegap dari Helian Kong, dan ketajaman matanya tetap terlihat oleh Helian Kong biar orang itu menudungi kepalanya dengan caping bambu lebar.

Helian Kong yakin bahwa sepasang pedang orang itu tentu dibawanya di balik jubahnya yang longgar, sebab Helian Kong tahu bahwa orang itu adalah pemain sepasang pedang, yang terbaik dari yang pernah Helian Kong jumpai. Namanya Yo Kian-hi, seorang bekas perwira kaum Pelangi Kuning.

"Mau apa dia di sini?" Helian Kong bertanya-tanya dalam hati. "Apakah dia tetap bersikap memusuhi dinasti Beng, dan ingin mengail di air keruh di Lam-khia ini?"

"Apakah di Lam-khia ini juga ada jaringan mata-mata Pelangi Kuning serapi seperti di Pak-khia menjelang runtuhnya Baginda Cong-ceng dulu?"

Macam-macam pertanyaan berseliweran dibenak Helian Kong dan semuanya menimbulkan kecemasan, cemas bahwa sisa-sisa Pelangi Kuning itu akan menambah ruwet keadaan. Memang sejak terpukul hancurnya pemerintahan Pelangi Kuning di Pak-khia, disusul matinya Li Cu-seng, Kaisarnya orang-orang Pelangi Kuning, mati di Pegunungan Kiu-kiong-san kena perangkap binatang buas yang dipasang para pemburu hewan.

Maka orang-orang Pelangi Kuning seperti sapu lidi yang kehilangan tali pengikatnya. Tercerai-berai dan tidak punya kekuatan lagi. Namun siapa tahu sisa-sisa mereka, seperti Yo Kian-hi ini masih mendendam, dan ingin bikin ribut di Lam-khia ini?

Terdorong kecurigaan macam itu, Helian Kong beringsut berdesakan di antara orang banyak, berusaha mendekati ke tempat Yo Kian-hi berdiri. Maksudnya ingin mengawasi, dan mencegah kalau Yo Kian-hi ingin berbuat sesuatu....

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.