Puing Puing Dinasti Jilid 07 karya Stevanus S.P - TETAPI orang begitu berdesakan, dan waktu Helian Kong sampai ke tempat berdirinya Yo Kian-hi tadi, Yo Kian-hinya sendiri sudah menghilang entah ke mana. Mencari satu orang di antara ribuan orang berjejalan begitu, seperti mencari batang jarum di timbunan jerami.
Helian Kong menarik napas, "Mudah-mudahan Yo Kian-hi masih punya akal sehatnya sebagai orang bangsa Han, dan dia sadar bahwa harapan terakhir untuk menyelamatkan sisa negeri ini adalah bersatunya kekuatan-kekuatan di wilayah selatan ini." Suatu doa dalam hati yang penuh rasa harap-harap cemas.
Menjelang tengah hari, Helian Kong kembali ke "tempat pondokan"nya di bagian belakang kuil bobrok itu. Ia berganti samaran menjadi "Ek Beng-ti" lalu menuju ke tempat dimana ia bisa ditemui oleh Sepasang Serigala.
Gapura Hong-bun di dekat jalan yang menuju Beng-hau-leng (Kuburan Raja-raja Dinasti Beng), di siang hari banyak orang berjualan buah-buahan di situ, juga banyak pengemis dan ada pula seorang peramal nasib yang buka praktek di pinggir jalan dengan sebuah meja kecil.
Dalam peranannya sebagai gelandangan, Helian Kong duduk di tanah di dekat si peramal nasib. Sambil duduk termangu-mangu, ia perhatikan si peramal nasib didatangi beberapa orang yang minta diramalkan nasibnya dengan membayar beberapa keping uang.
"Seandainya peramal ini bisa meramalkan pangeran yang mana yang bakal mewarisi tahta dinasti Beng....." Helian Kong menggerutu jemu di dalam hati, sebab omongan si peramal ternyata begitu-begitu saja. Serba kabur dan tidak berani omong secara pasti.
Ketika itulah Cong Liu dan Cong Seng muncul di depan Helian Kong. Helian Kong cepat-cepat berdiri sambil menyeringai lebar. "Bagaimana? Aku bisa diterima di kelompok kalian?" tanya Helian Kong sambil menggosok-gosok sepasang telapak tangannya.
"Tidak langsung diterima, tetapi Saudara Ek diijinkan ikut suatu operasi malam ini. Itu akan menjadi semacam ujian bagimu, kau akan dilihat apakah pantas bergabung atau tidak."
Helian Kong pura-pura cemberut, "Tidakkah kalian ceritakan bagaimana kukalahkan Si Pedang Buruk? Tidakkah itu menjadi jaminan yang cukup akan kemampuanku?"
"Kami sudah cerita, tetapi orang yang mengupah kami itu bilang tidak sembarangan menerima orang baru sebelum melihat kemampuannya. Kebetulan malam ini ada sasaran yang harus diserang, kami usulkan agar kau ikut, dan orang yang mengupah kami itu setuju,"
"Siapa sasaran itu?"
"Kami belum diberitahu. Orang yang mengupah kami hanya bilang kalau orang ini lebih berbahaya dari Si Pedang Buruk."
"Baik, akan kubuktikan bahwa aku pun akan bisa mengalahkan orang ini. Kita berangkat sekarang ke sasaran?"
"Tidak. Nanti begitu matahari terbenam, kita disuruh berkumpul di tanah kosong didekat rumah-abu, dekat kuburan tempat kita bertemu Si Pedang Buruk itu, tahu?"
"Bisa kucari. Aku pasti di sana nanti."
"Itu saja. Oh ya, kalau punya senjata, bawalah. Kalau tidak punya, kupinjami nanti."
"Aku tidak punya." Helian Kong berdusta. Sudah tentu dia tidak akan sembarangan memamerkan Pedang Elang Besinya.
"Nanti kubawakan. Kau mau apa? Pedang, tombak, rantai, golok, ruyung atau apa?"
"Dulu waktu jadi ronda malam di kampung, aku biasa pakai pentung rotan."
Sepasang Serigala bertukar pandang, sama-sama merasa "Ek Beng-ti" ini kelewat polos meski ilmu silatnya tinggi. Masa musuh yang lebih berbahaya dari Si Pedang Buruk mau dihadapi hanya dengan pentung rotan? "Kenapa pentung rotan? Tidak ada pilihan lain?"
"Apa harus pakai senjata? Aku percaya dengan sepasang tangan kosongku."
"Ya, kami percaya, dan sudah kami lihat sendiri. Tapi senjata juga perlu."
"Pentung rotan sajalah. Paling enak buatku." Mereka berpisah untuk berkumpul lagi nanti malam.
Helian Kong pulang. Sambil melangkah dia berpikir-pikir, pihak mana yang hendak diserang nanti malam? Pihak saingan-saingan Pangeran Hok-ongkah? Helian Kong bisa menduga-duga, meski Cong Liu dan Cong Seng bilang "tidak tahu siapa yang menyuruh kami" tetapi diduga keras dari pihaknya Pangeran Hok-ong. Terbukti dua saudara ini ditugaskan membungkam penyebar cerita lama yang merugikan nama baik Pangeran Hok-ong.
"Aku harus menunjukkan kesetiaan dan kesungguhan dalam komplotan ini, agar aku diperkenankan mengetahui lebih banyak rahasia mereka...." tekad Helian Kong dalam hati. Di tempatnya, Helian Kong masih punya waktu seperempat hari untuk beristirahat, sebelum matahari turun.
Begitu matahari terbenam, Helian Kong menuju ke tempat berkumpul yang sudah ditentukan. Gelap sekali tempat itu, dan seram, karena dekat kuburan. Tetapi ada yang menyalakan perapian kecil dengan ranting-ranting kering. Helian Kong melihat, selain Sepasang Serigala, ternyata masih ada dua orang lagi.
Seorang bertubuh kurus dan tatapan matanya sombong, di kiri kanan pinggangnya tergantung sepasang pedang yang bentuknya sempit tapi runcing. Seorang lagi bersikap acuh tak acuh, tubuhnya pendek gempal dan senjata yang dibawanya adalah golok Kui-tau-to (Golok Kepala Setan).
"Saudara Ek, kemarilah." Cong Liu melambai menyuruh Helian Kong mendekat.
Waktu Helian Kong mendekat, Cong Seng menyerahkan sebatang tongkat rotan sepanjang lengan orang dewasa. "Aku lapar. Ada makanan?" tanya Helian Kong.
Cong Liu memberinya sebuah bakpao tanpa isi, Helian Kong melahapnya. Sementara Cong Seng memperkenalkan Helian Kong kepada dua orang yang belum dikenal Helian Kong itu, "Saudara Ek, sobat kita yang bersenjata sepasang pedang itu adalah Giam Bin-tong, orang menyebutnya Sai-hong-kiam (Pedang Secepat Angin). Saudara Giam, inilah Sobat Ek yang kuceritakan kemarin."
Helian Kong mengangguk ramah dengan pipi menggembung karena sedang makan bakpao, tetapi yang dianggukinya malah membuang muka dengan angkuh.
Cong Seng tegang sejenak, khawatir "Ek Beng-ti" akan tersinggung dan terjadi bentrokan antara keduanya, namun ia lega melihat "Ek Beng-ti" tenang-tenang saja. Maka ia pun memperkenalkan jagoan yang satu lagi, "Dan yang ini, Sobat Ek, julukannya sama dengan nama senjatanya, yaitu Kui-tau-to (Golok Kepala Setan). Namanya Hap Yu-hoat. Saudara Hap, inilah teman baru kita, Ek Beng-ti."
Hap Yu-hoat ini orangnya kasar dan terus terang, dengan suaranya yang besar, "Betul kau kalahkah Si Pedang Buruk yang congkak itu?"
"Ah, cuma suatu keberuntungan saja." Helian Kong pura-pura merendah.
"Manusia congkak itu tidak bisa dikalahkan hanya dengan keberuntungan." sahut Hap Yu-hoat. "Kau hebat juga, Sobat Ek."
Namun Giam Bin-tong mengejek dengan suara dingin, "Aku belum percaya sebelum melihat buktinya. Malam ini, lawan yang akan kita hadapi jauh lebih berat dari Si Pedang Buruk. Lawan kita malam ini adalah mantan panglima dinasti Beng yang legendaris, yang tangguh dalam memimpin pasukan maupun dalam pertempuran perseorangan."
Helian Kong terkesiap mendengar kata-kata itu. Sementara Cong Liu bertanya, "Sobat Giam, jadi kau sudah tahu siapa yang akan kita satroni?"
"Tentu saja sudah tahu. Rahasia apa yang tidak diberitahukan kepadaku?" kata Giam Bin-tong sombong. Seolah dengan demikian ia mau berkata kepada dua saudara Cong serta Hap Yu-hoat serta "si pendekar kampung" Ek Beng-ti bahwa kedudukannya lebih tinggi, dan lebih dipercaya untuk mengetahui segala sesuatu.
"Siapa sasaran kita itu?" desak Hap Yu-hoat.
"Namanya Helian Kong." sahut Giam Bin-tong. "Dia akan menjadi lawanku yang setimpal."
Helian Kong yang berselubung samaran sebagai Ek Beng-ti itu kaget bercampur geli. Jadi ia tergabung dalam sebuah regu yang hendak menyatroni Helian Kong? Pikirnya geli, "Ek Beng-ti menyatroni Helian Kong, ini baru ramai."
Namun selain rasa geli, ia juga heran. Ia tahu orang-orang ini adalah orang-orang upahan Pangeran Hok-ong, kenapa hendak memusuhi dirinya? Mungkinkah orang-orangnya Pangeran Hok-ong masih sakit hati atas terlukanya Kang-tau-tiat-pang (Tongkat Besi Kepala Botak) Au Ban-hoa dulu oleh dirinya?
"Kalau sudah begini, keruwetan politik jadi ditumpangi dendam pribadi pula." keluh Helian Kong dalam hatinya.
Helian Kong juga mengkhawatirkan keselamatan orang-orang di rumah Phoa Tai-jin. "Ini pasti gara-gara Phoa Bian-li bocor mulut, menyebar-luaskan tentang keberadaanku di Lam-khia."
Akhirnya Helian Kong meneguhkan sikap dalam hatinya, ia takkan membiarkan satu pun orang di rumah Phoa Tai-jin terbunuh. Kalau perlu biarlah penyamarannya sebagai Ek Beng-ti tersingkap. Toh di lain kesempatan ia masih bisa menyamar lainnya lagi. Dengan pikiran macam itu, Helian Kong jadi agak tenteram.
Orang-orang yang berkumpul di tempat sepi itu ternyata masih harus menunggu seseorang sebelum berangkat ke sasaran. Tidak lama kemudian, terlihat bayangan seseorang melangkah mendekati tempat itu, langkahnya tertahan-tahan dan kadang-kadang berhenti sejenak. Nampaknya orang ini dalam keadaan kurang sehat.
Waktu cahaya perapian kecil menimpa wajahnya, Helian Kong mengenali bahwa orang itu bukan lain memang Kang-tau-tiat-pang Au Ban-hoa yang pernah hampir mati sampyuh dengan Helian Kong. Kalau Helian Kong sudah sembuh total, sebaliknya Au Ban-hoa kelihatannya bakal masih lama sembuhnya.
Mukanya masih pucat, gerakannya tidak berani terlalu keras. Maklum, waktu terluka dulu, pedang Helian Kong masuk dalam dan hampir kena jantungnya. Dan ini juga membuat dendamnya tidak padam-padam. Helian Kong agak menjauhkan dirinya dari perapian, supaya wajahnya tidak dikenali.
Au Ban-hoa memandang orang-orang yang berkumpul di situ, tanyanya kepada Giam Bin-tong, "Kalian masih menunggu siapa lagi?"
"Sudah berkumpul semua, tinggal menunggu perintahmu, Tuan Au."
Dengan tatapan matanya Au Ban-hoa "mengabsen" orang-orangnya, agak lama ia menatap sosok hitam yang duduk dalam kegelapan. "Itukah orang baru bernama Ek Beng-ti yang kau ceritakan, Cong Liu? Yang katamu sudah mengalahkan Si Pedang Buruk?"
"Benar, Tuan Au."
Helian Kong sudah tegang kalau-kalau Au Ban-hoa menyuruhnya ke tempat yang terang untuk dikenali wajahnya. Ternyata Au Ban-hoa acuh tak acuh saja, ia keluarkan sekantong uang yang diberikannya kepada Giam Bin-tong, "Kalau begitu, kalian adalah sebuah regu yang tangguh. Tetapi hati-hatilah, sasaran kali ini bukan saja tangguh namun juga curang. Kalau tidak curang, bagaimana ia bisa membuatku luka parah? Kalau tidak curang, akulah yang menghancurkannya."
Diam-diam Helian Kong panas hatinya, ia dikatakan curang. Helian Kong juga menduga bahwa Au Ban-hoa sendiri tidak akan ikut berangkat, hanya menyuruh orang-orang ini.
Giam Bin-tong meraba gagang sepasang pedangnya, dan berkata tak kalah sombongnya, "Jangan khawatir, Tuan Au, sepasang pedangku akan merajang tubuh Helian Kong dan salah satu potongannya akan kubawa ke hadapan Tuan Au."
"Mudah-mudahan berhasil. Dan jangan lupa satu hal lagi, tinggalkan bendera kecil ini di tempat pertempuran, buatlah seolah-olah terjatuh dengan tidak sengaja agar ditemukan orang-orang di rumah yang ditempati Helian Kong. Supaya orang-orang menyangka bahwa pemilik bendera kecil ini yang membunuh Helian Kong. Paham?"
Sambil berkata, Au Ban-hoa menyerahkan bendera segitiga kecil berwarna merah darah. Bendera itu biasa digunakan dalam kemiliteran sebagai pemberian wewenang, maka disebut Leng-ki (Bendera Wewenang). Pada bendera tergambar sebuah pagoda yang puncaknya menembus mega, itulah lambangnya Pangeran Kui-ong.
Melihat itu, diam-diam Helian Kong membatin, "Hem, fitnah-memfitnah sudah mulai dilancarkan. Orang-orang Pangeran Hok-ong ini hendak menghabisi aku, namun ingin agar Pangeran Kui-ong yang dituduh."
"Berangkatlah sekarang."
"Baik, Tuan Au."
Rombongan itu pun berangkatlah menuju ke rumah Paman Phoa. Agaknya sebelum bertindak, mereka sudah lebih dulu menyelidiki segala sesuatunya, maka kini tiba saatnya pelaksanaan dan mereka langsung menuju sasaran. Yang sama sekali tidak terpikir oleh mereka, Helian Kong yang hendak mereka bunuh itu justru berada di antara mereka sendiri.
Tiba di rumah Phoa Tai-jin, rumah itu kelihatan sepi, namun Giam Bin-tong ingin bertindak hati-hati. Ia adalah pimpinan regu itu. Ia keluarkan lima lembar kain hitam dari dalam bajunya, dibagikannya kepada anggota-anggota regunya, "Pakailah sebagai kedok." Dan ia sendiri pun memakainya.
Bagi Helian Kong, ini malah kebetulan, jadi orang-orang di rumah Phoa Taijin tidak ada yang mengenalinya. Namun Helian Kong masih memutar otak, mencari cara bagaimana agar jangan sampai ada korban di pihak penghuni rumah Phoa Taijin. Baik Phoa Taijin dan keluarganya sendiri maupun tamu-tamunya.
"Sekarang....."
Lima sosok tubuh pun berlompatan naik ke tembok belakang rumah Phoa Taijin. Di halaman belakang, seperti kemarin malamnya, di halaman belakang itu ternyata Phoa Bian-li sedang berlatih. Kalau kemarin malam ia berlatih melempar pisau-pisau kecil dengan sasaran boneka kayu sebesar manusia, sekarang ia berlatih tenaga dengan ciok-so (kunci batu) yang digerak-gerakkan teratur ke segala arah. Tubuhnya basah keringat, napasnya terengah-engah.
Ia kaget melihat lima orang berkedok hitam memasuki halaman belakang rumahnya. Gembok batunya langsung dijatuhkan ke tanah, lalu menyambar senjata yang berserakan di sekitarnya, sebatang tombak tersambar di tangannya.
"Siapa kalian? Apa maksud kalian datang kesini malam-malam?" bentaknya sambil pasang kuda-kuda.
Helian Kong sekilas melihat kuda-kuda itu dan mengenalinya sebagai pembukaan dari Yo-ke-jio-hoat (Ilmu Tombak Keluarga Yo). Pegangannya nampak mantap, namun jelas belum memadai untuk dipakai menghentikan para pembunuh bayaran ini, meski Phoa Bian-li sendiri tidak menyadarinya.
Hap Yu-hoat menggoyang-goyang golok kepala setannya dengan gaya yang garang sambil membentak, "Suruh Helian Kong keluar untuk terima kematian!"
Phoa Bian-li membusungkan dada dan menjawab dengan gagah, "Ia guruku. Sebelum kalian berniat jahat kepada guruku, langkahi dulu muridnya ini!"
Helian Kong diam-diam menarik napas, khawatir keselamatan pemuda remaja ini. Tiba-tiba Helian Kong menemukan sebuah akal yang barangkali bisa menggertak "murid"nya ini dan menyelamatkannya dari malapetaka. Helian Kong melangkah maju sambil berkata dengan suara yang dibuat berbeda dari suara aslinya, "Suruh Helian Kong sendiri yang keluar. Kau bukan tandingan kami, anak ingusan."
Dengan enaknya Helian Kong mencongkel salah sebuah kunci batu itu dengan tongkat rotannya. Kunci batu itu beratnya lima kilo lebih, namun begitu dicongkel Helian Kong bisa mencelat ke atas sampai empat meter lebih. Waktu benda itu melayang turun kembali, Helian Kong menyambutnya dengan sabetan tongkat rotannya dan pecahlah kunci batu itu menjadi delapan keping lebih.
Phoa Bian-li kaget, bahkan Giam Bin-tong yang congkak juga kaget. Namun pikirnya, "Boleh juga Si Jago Kampung ini, tetapi dia tetap hanya bertugas membantuku, akulah yang akan merebut pahala utama dari pembunuhan Helian Kong ini."
Sementara ribut-ribut itu telah memancing beberapa centeng rumah itu. Ada lima orang centeng yang tegap-tegap dengan berbagai senjata berdatangan ke situ. "Apa yang terjadi di sini, Tuan Muda?"
"Orang-orang ini mencari Guruku.....?" sahut Phoa Bian-li yang tetap ngotot menyebut Helian Kong sebagai gurunya, sambil menuding orang-orang berkedok di depannya, "Kelihatannya mereka bermaksud tidak baik."
"Kalau bermaksud tidak baik, hajar saja, kan habis perkara?" ujar seorang centeng berjenggot kambing yang memegang tombak panjang. Ia bekas seorang piauw-su (pengawal perjalanan) yang cukup tangguh.
Sementara Li Teng-kok dan rombongannya juga sudah terbangun, lalu sambil membawa senjata, mereka pun menuju ke halaman belakang. "Ada apa ini?" tanya Li Teng-kok kepada Phoa Bian-li.
Phoa Bian-li mengulangi keterangannya tadi. Li Teng-kok tidak berkata apa-apa, namun tatapan matanya seperti menyalahkan Phoa Bian-li, seolah-olah berkata, "Nah, ini gara-gara mulut besarmu yang kau umbar di luaran, bercerita kepada siapa saja bahwa Helian Kong adalah gurumu."
Tetapi Li Teng-kok sendiri lupa bahwa dia jugalah yang mengobarkan kekaguman Phoa Bian-li kepada Helian Kong melalui cerita-ceritanya. Bahkan kemarin malam Li Teng-kok juga ikut mendorong-dorong Helian Kong agar menerima pemuda remaja ini jadi murid.
Jumlah di pihak Phoa Taijin setelah bergabungnya para centeng dengan rombongannya Li Teng-kok jadi lima belas orang. Namun menghadapi jumlah yang tiga kali lipat dari pihaknya, Giam Bin-tong tidak kelihatan gentar. Ia cabut sepasang pedangnya yang bentuknya agak lain dari yang lain, batang pedangnya sempit dan ujungnya runcing sekali.
Ia goyangkan sepasang pedangnya, dan saat pedang digoyangkan maka sepasang tangannya seakan berubah jadi beberapa pasang tangan dengan beberapa pasang pedang pula yang bergerak sekaligus.
Orang-orang di pihak Li Teng-kok tergetar melihat peragaan permainan pedang yang hebat itu. Li Teng-kok dan kawan-kawannya adalah orang-orang hebat di bidang kemiliteran. Mereka pandai memimpin pasukan dan menyusun taktik serta strategi, tetapi dalam hal pertarungan perorangan, ketrampilan mereka barangkali hanya setingkat dengan para centeng di rumah Phoa Taijin itu. Melihat demonstrasi Giam Bin-tong itu, mereka melihat betapa berbahaya pihak mereka.
Giam Bin-tong tertawa dingin melihat kekagetan di wajah orang-orang itu, "Yang mana yang namanya Helian Kong? Lebih baik langsung menyerah, daripada jatuh banyak korban."
"Kalian mau apakan Helian Kong?" tanya Li Teng-kok.
"Itu urusan kami. Serahkan saja Helian Kong. Apakah kau Helian Kong?"
"Aku Li Teng-kok. Helian Kong tidak di sini."
"Kalau kalian menyembunyikannya, kalian akan mampus."
Li Teng-kok yang berwatak keras itu pun menjawab, "Bersyukurlah kalian karena tidak menjumpai Helian Kong malam ini. Kalau kalian jumpa dia, kalian akan mampus."
"Jangan banyak omong. Di mana Helian Kong?"
"Dia tidak tinggal di sini."
"Kabar yang beredar menyebutkan dia di sini."
"Hanya mampir, tidak tinggal di sini."
"Bocah ingusan itu mengaku sebagai muridnya, pasti dia tinggal di sini. Mana dia?"
"Sudah dibilang tidak ada, kenapa kalian ngotot? Kalian pikir orang macam Helian Kong itu bersembunyi karena ketakutan melihat kalian? Seandainya kalian berlima ini semuanya berkepala tiga dan bertangan enam, Helian Kong akan membabatnya sampai protol semua!"
Hap Yu-hoat pun marah mendengar jawaban Li Teng-kok itu, lalu berkata, "Sobat Giam, buat apa banyak bicara? Tumpas saja seisi rumah ini lalu kita geledah sampai Helian Kong ditemukan."
Giam Bin-tong menerima usul itu, "Tumpas mereka!"
Helian Kong sejati yang berada di pihak orang-orang berkedok dengan nama samaran Ek Beng-ti itu, kini benar-benar bingung. Dia tahu bahwa begitu pembunuh-pembunuh bayaran itu mengganas, Li Teng-kok dan orang-orang di pihaknya pasti akan tertumpas habis, biarpun tidak dalam sesaat.
Helian Kong sudah berpikir untuk membuka kedoknya sendiri dan menyelamatkan orang-orang di pihak Phoa Taijin, tapi sebelum cara terakhir itu dilaksanakan, Helian Kong masih ingin mencoba sebuah cara untuk mencegah mengganasnya pembunuh-pembunuh bayaran ini.
Di saat para pembunuh bayaran siap bergerak, Helian Kong justru menjatuhkan dirinya sambil pura-pura mengaduh dan memaki, "Aduh! Siapa menyerangku secara gelap?"
Para pembunuh bayaran menoleh dengan kaget, tanya Cong Seng, "Ada apa, Sobat Ek?"
Helian Kong pura-pura bangkit dengan agak sempoyongan, katanya, "Ada yang melempar aku sehingga aku roboh!"
Para pembunuh bayaran itu kaget, kalau sampai Ek Beng-ti yang sanggup mengalahkan Si Pedang Buruk ini dapat disambit jatuh, pastilah penyambitnya amat hebat. Orang-orang itu celingukan kesana-kemari dengan waspada.
Sementara Phoa Bian-li sudah berseru kegirangan, "Pasti guruku yang datang! Guru, cepatlah keluar dan hajar orang-orang jahat ini!"
Li Teng-kok pun kegirangan, "Saudara Helian, kaukah itu?"
Sementara Helian Kong sudah mengobat-abitkan pentung rotan di sekitar tubuhnya, sambil berteriak-teriak, "Helian Kong! Keluarlah kalau berani! Hadapi aku, Ek Beng-ti! Biar kulihat sampai di mana kehebatanmu!"
Pembunuh-pembunuh bayaran yang lainnya pun ikut mencaci-maki Helian Kong sambil menantang-nantang. Helian Kong sendiri diam-diam mencari akal agar bisa memperpanjang kebingungan para pembunuh bayaran ini.
Waktu itu, Si Golok Kepala Setan Hap Yu-hoat juga sedang berteriak-teriak menantang Helian Kong. Tiba-tiba saja dia juga mengaduh lalu terjungkal jatuh. Sekarang Helian Kong yang heran. Tadi ia pura-pura jatuh, namun sekarang Hap Yu-hoat jatuh sungguhan, tidak pura-pura. Helian Kong sekarang bersungguh-sungguh menatap dan memeriksa ke sekelilingnya, dan matanya yang tajam kemudian menangkap sesosok bayangan hitam yang berdiri di atas genteng rumah Phoa Taijin.
Ternyata kemudian Giam Bin-tong juga melihatnya, dan berteriak menantang, "He, jangan hanya berani main sambit dari jauh! Turunlah!"
Sekarang mata semua orang tertuju ke sosok di atas genteng itu. Sosok yang tegap, dengan baju berwarna gelap yang bergerak-gerak kena angin malam, memakai tudung bambu yang lebar biarpun di malam hari. Agak ragu-ragu Helian Kong menduga seseorang.
Sementara Phoa Bian-li sudah berteriak kegirangan, "Guru!"
Orang di atas genteng itu tidak menjawab. Cong Liu membentak, "He, siapa kau?"
Orang di atas genteng itu menjawab dengan suaranya yang berat, "Aku Helian Kong."
Helian Kongnya sendiri yang di bawah, menarik napas, geli campur heran, "Hem, aku sedang menyamar jadi Ek Beng-ti, sekarang ketemu orang yang menyamar sebagai aku."
Demi samarannya, Helian Kong ikut menantang, "Helian Kong! Turun kemari! Aku remukkan tulang-tulangmu!"
Orang itu tiba-tiba meluncur turun seperti seekor elang terjun dari langit menyambar mangsanya. Giam Bin-tong melompat menyongsong luncuran orang itu, sepasang pedangnya gemerlap menggunting ke pinggang orang yang mengaku Helian Kong itu.
Di sini nampak kecurangan si pembunuh bayaran yang berjuluk Sai-hong-kiam (Pedang Secepat Angin) ini, karena lawannya belum menggunakan senjata tetapi Giam Bin-tong sudah menggunakan senjatanya. Giam Bin-tong khawatir kalau sampai pahala membunuh Helian Kong ini direbut Ek Beng-ti si jago kampung.
Dua bayangan berpapasan di tengah udara, yang satu meluncur dari atas, yang lain menyongsong dari bawah dengan pedang bersilang bagai gunting. Sepasang pedang itu hampir berhasil menggunting ke pinggang "Helian Kong", namun tiba-tiba tubuh itu berputar bagai gasing.
Giam Bin-tong tidak merasakan pedangnya mengenai apa-apa, sebaliknya pundaknya malah tertimpa sesuatu yang keras dan berat lalu dari udara berketinggian dua meter tubuhnya terhempas jatuh ke tanah, tanpa keseimbangan. Yang menimpa pundaknya tadi ternyata adalah tumit dari "Helian Kong" gadungan itu.
"Helian Kong" sudah mendarat di tanah, dari bawah tudung bambunya ia menatap tajam orang-orang berkedok di hadapannya, katanya dingin, "Orang-orang macam kalian ini yang membuat negeri kacau dan susah dipertahankan dari serbuan bangsa Manchu, padahal bangsa Manchu itu jauh lebih sedikit dari bangsa Han kita. Orang-orang macam kalian inilah, yang mau disuruh apa saja demi uang. Kalian memang harus dihajar."
Lalu orang itu menghunus pedang dari punggungnya, pedang yang kelihatan berat dan tebal. Orang itu sebetulnya membawa dua pedang, sebab gagang pedang yang mencuat dari belakang pundaknya kiri kanan ada dua, namun ia hanya mengambil satu pedangnya.
Lalu dengan gerakan dahsyat bagai gajah mengamuk, ia terjang ke arah Hap Yu-hoat. Hap Yu-hoat menangkis dengan golok kepala setannya yang berat, ia juga mengandalkan tenaganya, tak terduga malah Hap Yu-hoat sendiri yang sempoyongan karena kalah tenaga. Tetapi orang yang mengaku Helian Kong itu tidak meneruskan serangan ke arah Hap Yu-hoat, melainkan berpindah ke arah Cong Liu, yang terdekat dengan Hap Yu-hoat.
Cong Liu agak kelabakan akan serangan mendadak itu, adiknya datang membantu, namun dengan segera "Helian Kong" melompat meninggalkannya lalu menyerbu "Ek Beng-ti" yang bukan lain adalah Helian Kong tulen. Helian Kong bertahan beberapa gebrak dengan tongkat rotannya, habis itu lalu "menunjukkan setia kawan" dengan Giam Bin-tong dan lain-lainnya yaitu roboh. Robohnya Helian Kong ini disengaja, ia biarkan kakinya kena sapuan kaki Helian Kong gadungan.
Begitulah, sekali turun tangan Si Helian Kong gadungan menyerang semua lawannya, lalu ia berhenti menyerang dan berdiri dengan gagah sambil berkata, "Kalau kalian tahu diri, pergilah dari depanku dan hentikan sikap kalian yang hanya mementingkan diri sendiri tanpa menyadari rawannya soal ini bagi keselamatan negeri. Tapi kalau kalian belum puas, berdirilah, hadapi aku. Jangan usik yang lain! Aku Helian Kong akan membuat kalian tak lupa kejadian malam ini!"
Helian Kong sejati diam-diam membatin, "Wah, ini yang palsu tetapi jauh lebih garang dari aslinya."
Giam Bin-tong masih penasaran, ia sudah berdiri lagi dengan pakaian penuh debu. Ia melangkah perlahan mengitari "Helian Kong" sambil mengintip mencari sudut serangan yang menguntungkan. Sepasang pedangnya pun melakukan berbagai gerak kembangan untuk memecahkan konsentrasi lawan. Hap Yu-hoat yang tidak mau kehilangan hadiah dari Au Ban-hoa itu juga ikut mengepung, begitu pula Sepasang Serigala dan Helian Kong yang asli.
Demikianlah Helian Kong gadungan dikepung lima orang, sementara para centeng serta Li Teng-kok dan teman-temannya tidak berani ikut campur. Mereka sadar bahwa pertempuran yang berlangsung bakal terlalu cepat dan terlalu rumit buat mereka.
Sebuah bentakan terdengar, pedang kiri Giam Bin-tong membuat gerak yang membingungkan musuh kemudian menikam ke leher dengan cepat, disusul pedang kanannya membabat kaki. Helian Kong gadungan melompat pendek menyelamatkan kakinya, sambil menangkis. Tetapi deru golok kepala setan Hap Yu-hoat sudah menderu dan terasa di kulit punggung. Dan Sepasang Serigala mengambil sudut-sudut yang berbeda untuk mencoba menutup peluang lawan.
Sementara Helian Kong yang asli, entah kenapa, tidak tega melihat "bayangan"nya itu dikeroyok ganas. Maka Helian Kong asli belum ikut menyerang, masih pura-pura belum menemukan sudut serangan yang dirasa "sreg". Perkelahian satu lawan lima pun berkobar hebat. Meskipun salah satu dari lima pengeroyok itu tidak bersungguh-sungguh, yaitu Helian Kong yang asli.
Gerakan senjata-senjata orang yang bertempur itu makin lama makin cepat. Kalau mula-mula bisa diikuti oleh para penonton macam Li Teng-kok, lama-lama susah mengikutinya. Yang kelihatan hanyalah bayangan-bayangan yang saling terkam dengan cepat, tahu-tahu terdengar benturan senjata dan penontonnya tidak tahu entah senjata siapa saja yang berbenturan itu.
Kadang-kadang benturannya berturut-turut dan memekakkan telinga. Dalam gerakan serba cepat itu, peserta pertempuran yang paling lamban adalah yang juga paling pusing lebih dulu untuk mengikuti gerakan kawan maupun lawan. Sementara Si Helian Kong gadungan sendiri agaknya repot juga kalau hanya memakai satu pedang, sedang keahliannya adalah memainkan dua pedang.
Biarpun ia setangkas harimau dan setangguh gajah, menghadapi lima lawan sekaliber Giam Bin-tong, Hap Yu-hoat, Sepasang Serigala ditambah "Ek Beng-ti" maka terpaksa "Helian Kong" gadungan harus mengeluarkan pedangnya yang satu lagi. Maka "menarilah" dia dengan lincah dan leluasanya. Lawan-lawannya dipaksa mengakui dalam hati bahwa "Helian Kong" memang tangguh.
Di antara para pembunuh bayaran, Hap Yu-hoat paling kuat tenaganya, tetapi paling lamban gerakannya karena ia jarang melatih kelenturan dan kecepatannya, sebaliknya sibuk membesarkan ototnya. Kini dalam pertarungan bertempo tinggi itu, ia yang paling sulit menyesuaikan diri. Gerakan goloknya amat kuat, namun senantiasa hanya menebas angin.
Ia sering kehilangan arah dan berputar-putar kebingungan, dan kalau goloknya belum membacok temannya sendiri, itu sudah suatu keberuntungan. Kawan-kawannya sendiri menggerutui kelambanan Hap Yu-hoat itu, maka di samping harus berhati-hati terhadap sepasang pedang "Helian Kong" juga harus berhati-hati terhadap golok Hap Yu-hoat yang sering kurang terkendali itu.
Lebih menjengkelkan lagi bagi Giam Bin-tong dan Sepasang Serigala, adalah "Ek Beng-ti" yang dari tadi hanya berputar-putar mencari sudut serangan, tetapi belum juga menyerang sejurus pun. Dalam jengkelnya Giam Bin tong membentak, "Ek Beng-ti, kapan kau turun tangan?"
"Ek Beng-ti" menjawab dengan bersemangat, "Baik! Sekarang juga aku terjun ke gelanggang! Siapa mau kehilangan kesempatan baik untuk menjadi terkenal dengan membunuh Helian Kong?"
Bersemangat kata-katanya, bersemangat pula tindakannya. Saking bersemangatnya sampai menimbulkan kesulitan buat teman-temannya sendiri. Sebab Helian Kong dalam bertempur sengaja merusak posisi para pembunuh bayaran, seolah-olah tidak sengaja, tetapi tubuhnya sering menghalang-halangi gerak lanjutan dari Giam Bin-tong dan lain-lainnya.
Suatu kali Giam Bin-tong mendapat kesempatan baik untuk melancarkan serangan beruntun dengan sepasang pedangnya, tujuannya ialah menggiring "Helian Kong" ke satu sudut yang sudah disiapkan sebagai perangkap oleh Sepasang Serigala, sementara Hap Yu-hoat membantu menekan dari sudut lain.
Rangkaian serangan Giam Bin-tong baru jalan sebagian kecil, waktu "Ek Beng-ti" menyelonong begitu saja sambil menghujamkan sabetan rotannya kepada "Helian Kong", tetapi posisi tubuh "Ek Beng-ti" sedemikian rupa menghalangi gerak Giam Bin-tong sehingga Giam Bin-tong harus menghentikan serangannya dan mencari sudut lain, kalau tidak, pedangnya akan mengenai punggung teman sendiri.
"Ek Beng-ti, hati-hati!" bentak Giam Bin-tong gusar.
"Ek Beng-ti" tidak mendengarkan, melainkan terus menyerang "Helian Kong" dengan bersemangat, namun sebenarnya serangannya tidak ada yang berbahaya. Bahkan suatu kali "Helian Kong" kembali berhasil menyapunya roboh. "Ek Beng-ti" bergulingan, namun arah bergulingnya kembali malahan menghalang-halangi Cong Liu.
Di lain saat, "Ek Beng-ti" kembali menyelonong, membuat Hap Yu-hoat buru-buru membelokkan arah goloknya, sambil melompat ke samping. Apa mau dikata, gerakan Hap Yu-hoat yang bermaksud menghindarkan "Ek Beng-ti" dari termakan goloknya itu malahan membuat Hap Yu-hoat menempati titik sasaran yang empuk bagi tendangan "Helian Kong".
Si Helian Kong gadungan pun tidak melewatkan kesempatan baik itu dan menendang tepat kena perut Hap Yu-hoat sehingga Hap Yu-hoat sempoyongan mundur dengan perut terasa diaduk-aduk. Untuk beberapa saat, Hap Yu-hoat harus jadi penonton saja sambil cengar-cengir merasakan mulas perutnya.
Begitulah, masuknya "Ek Beng-ti" ke gelanggang bukannya memperkuat pihak pembunuh bayaran, malahan membuat kerjasama keroyokan mereka jadi berantakan. Banyak peluang-peluang emas lenyap gara-gara "ketololan" "Ek Beng-ti".
Sebaliknya "Helian Kong" yang semula mendapat tekanan berat menghadapi sekian banyak pembunuh bayaran yang tangguh, sekarang bertambah ringan bahkan mendapat kesempatan-kesempatan baik. Dia berhasil melukai pundak Cong Liu dan membuat senjata Cong Seng terpental keluar tembok, kemudian mendesak Giam Bin-tong hingga pontang-panting menyelamatkan diri.
Tetapi dengan pertimbangan tertentu yang hanya diketahuinya sendiri, Helian Kong gadungan itu belum ingin membunuh lawan-lawannya. Waktu kerjasama gabungan para pembunuh bayaran sudah buyar dan tak bakal bisa disusun lagi dalam waktu singkat, "Helian Kong" justru berhenti menyerang. Sambil menyilangkan sepasang pedang tebalnya di hadapan tubuh dengan sikap gagah, ia berkata,
"Enyahlah kalian dari depanku. Malam ini aku sedang tidak bernafsu membunuh. Tetapi kalau kalian masih inginkan nyawaku, lakukanlah lain kali, sebab malam ini kalian takkan berhasil. Malam ini akulah yang akan membunuh kalian seandainya aku mau."
Giam Bin-tong dan kawan-kawannya tahu bahwa mereka sudah dikalahkan. Mereka pergi. Phoa Bian-li cepat mendekati "Helian Kong" dan dengan kegirangan berkata, "Guru, sungguh hebat kau berhasil mengusir pergi bandit-bandit itu seorang diri. Ajarkan aku ilmunya, Guru."
Li Teng-kok yang cukup lama mengenal Helian Kong, melihat adanya banyak perbedaan-perbedaan kecil antara Helian Kong sahabatnya dengan "Helian Kong" yang ini. Namun bagaimanapun juga, orang ini sudah menyelamatkan nyawa seisi rumah Phoa Taijin. Li Teng-kok mendekatinya, memberi hormat dan berkata, "Terima kasih, Sobat, apakah kami diijinkan mengetahui namamu, Sobat?"
Pertanyaan itu ramah dan tidak bermusuhan, namun sekaligus menunjukkan kalau Li Teng-kok sudah tahu orang itu cuma Helian Kong gadungan. Orang itu pun agaknya tidak ngotot dengan identitas palsunya, tetapi juga menyembunyikan identitas aslinya. Sahutnya, "Aku tidak punya banyak waktu, aku harus pergi."
Habis berkata demikian, tidak peduli pihak tuan rumah setuju atau tidak, tubuhnya sudah melesat melompati tembok belakang. Tinggal Phoa Bian-li yang terlongong-longong kebingungan. "Jadi orang tadi bukan Suhu Helian Kong? Tetapi hebat juga permainan sepasang pedangnya. Seandainya dia mau mengajari aku....."
Sementara itu, rombongan pembunuh bayaran yang pulang dengan kegagalan itu sepanjang jalan menggerutui "Ek Beng-ti" yang dianggap telah mengacaukan segala-galanya. Namun mereka belum curiga, mereka baru menganggap bahwa Si "jago kampung" Ek Beng-ti ini biarpun jago dalam perkelahian dan sudah bisa mempecundangi Si Pedang Buruk, namun masih tolol kalau harus bertempur dalam kerjasama dengan orang lain....