Puing Puing Dinasti Jilid 08 karya Stevanus S.P - DI SUATU tempat, belum jauh dari kediaman Phoa Taijin, Giam Bin-tong menjatuhkan bendera kecil pemberian Au Ban-hoa tadi. Bendera berlambang Pangeran Kui-ong. Agaknya sengaja agar diketemukan lalu timbul sangkaan bahwa orang-orang suruhan Pangeran Kui-onglah yang menyatroni rumah Phoa Taijin malam itu.
"Suatu upaya untuk merenggangkan hubungan antara Pangeran Kui-ong dengan kalangan para panglima." kata Helian Kong dalam hatinya.
Helian Kong bermaksud mengambil bendera kecil itu sebelum ditemukan oleh Li Teng-kok atau yang lain-lainnya. Tetapi sudah tentu tidak saat itu, nanti setelah bubar, Helian Kong diam-diam akan kembali ke tempat itu, maka diperhatikannya tempat itu baik-baik dan diingat-ingatnya jalan-jalannya. Lam-khia adalah kota terbesar di daratan Cina, bahkan lebih besar dari Pak-khia, jalan-jalannya kelihatan sama semuanya.
Namun Helian Kong tidak tahu, bahwa setelah ia dan rombongannya berlalu, seseorang datang ke tempat itu dan mengambil bendera kecil itu. Orang yang tadi mengaku sebagai Helian Kong itu. Kemudian orang itu duduk di tempat gelap. Menunggu. Sementara orang-orang yang gagal itu telah kembali ke kuburan, di sana Giam Bin-tong melihat Au Ban-hoa sudah menunggu.
"Berhasil?" tanya Au Ban-hoa, sudah ingin melihat potongan tubuh dari Helian Kong yang pernah mengalahkannya.
Bukannya menyodorkan potongan tubuh Helian Kong, Giam Bin-tong malah menyodorkan serangkaian dalih kegagalannya, dan sebagian besar kesalahan ditimpakan kepada "Ek Beng-ti" yang dikatakan tidak becus bekerjasama dengan lain-lainnya.
Alangkah kecewa dan gusarnya Au Ban-hoa. Seandainya kondisi tubuhnya sedang baik dan lukanya sudah sembuh, tentu akan ia hajar orang-orang ini dengan tangannya sendiri. Tetapi Au Ban-hoa tahu diri, sadar kondisinya belum pulih, ia bisa dikeroyok mampus orang-orang bayarannya sendiri. Maka Au Ban-hoa hanya mencaci-maki mereka dan bersumpah takkan memakai lagi tenaga mereka. Habis mencaci-maki, ia pergi dengan langkah sempoyongan.
Para pembunuh bayaran yang "kehilangan order" itu pun bubar sambil menggerutu. Sedang Helian Kong buru-buru kembali ke tempat dibuangnya bendera kecil tadi. Ia mencari-cari namun tidak menemukannya. Helian Kong ragu-ragu, apakah ia salah mengenali tempatnya? Maklum, di kota sebesar Lam-khia, banyak tempat yang kelihatannya sama, apalagi di malam hari.
Saat Helian Kong mencari-cari, dari dalam kegelapan terdengarlah suara, "Mencari benda ini?"
Helian Kong membalik tubuh dengan sigap, menghadap ke arah suara itu. Ia terkejut bahwa ada seseorang bisa berada cukup dekat dengannya tanpa diketahuinya. Dan Helian Kong melihat dalam kegelapan bahwa yang muncul itu bukan lain adalah orang yang menyamar sebagai dirinya tadi.
"Kau mengambilnya?" tanya Helian Kong.
Orang itu melemparkan bendera kecil itu ke arah Helian Kong dengan lemparan biasa, bukan lemparan serangan. Helian Kong menangkapnya dan menyimpannya dalam bajunya. Beberapa saat dua sosok tubuh itu saling tatap dalam kebisuan, sampai terdengar orang yang tadi mengaku sebagai Helian Kong itu berkata, "Maaf, tadi aku pinjam namamu."
"Tidak apa-apa. Terima kasih karena kau lindungi orang-orang di rumah itu. Mereka orang-orang baik, pecinta-pecinta tanah air."
"Aku pun berterima kasih kepadamu. Aku tahu tadi kau membantuku waktu kulawan pembunuh-pembunuh bayaran itu. Kau mengacaukan kerjasama mereka."
"Kau kenali aku, meskipun waktu itu aku berkedok dan memakai tongkat rotan yang bukan senjata ciri khasku?"
"Gerakanmu kukenali. Biar hanya tongkat rotan, tak kalah dahsyatnya dengan Pedang Elang Besi kalau sudah di tanganmu."
"Kau terlalu memuji. Permainan sepasang pedangmu juga maju pesat."
"Setelah guruku wafat, aku giat berlatih sendiri. Apalagi setelah Sri Baginda juga wafat, aku jadi kehilangan tujuan."
Helian Kong menarik napas. Ia tahu yang disebut "Sri Baginda" oleh orang itu bukanlah kaisar dari dinasti Beng, melainkan si pemimpin pemberontak Pelangi Kuning, Li Cu-seng, yang memang dipanggil "Sri Baginda" oleh pengikut-pengikutnya. Setelah Li Cu-seng menumbangkan dinasti Beng, ia mengangkat diri dengan gelar Kaisar Tiong-ong.
Namun belum sampai dua bulan kedudukannya sudah runtuh diserbu tentara Manchu. Li Cu-seng alias Kaisar Tiong-ong melawan terus sambil mundur ke arah barat, daerah basis Pelangi Kuning. Tetapi dia terjebak di Pegunungan Kiu-kiong-san dan malah mati kena perangkap binatang buas yang dipasang para pemburu.
Dulu kalau Helian Kong mendengar nama si gembong pemberontak yang melawan dinasti Beng ini, tentu rambut Helian Kong akan berdiri, dicengkam rasa permusuhan. Namun sekarang merasa bahwa rasa permusuhan itu sudah luntur banyak, toh orangnya yang dimusuhi sudah mati, dan lagi saat itu entah pendukung dinasti Beng entah kaum Pelangi Kuning, punya musuh bersama, yaitu Manchu.
Helian Kong juga bersimpati kepada orang yang di depannya, yang telah mengembalikan bendera kecil Pangeran Kui-ong begitu saja, padahal bendera kecil itu bisa menjadi alat adu domba yang ampuh di tangan orang yang memusuhi dinasti Beng.
Kata Helian Kong, "Bendera kecil ini sebenarnya bisa kau gunakan untuk mengacau kerjasama antar Pangeran dinasti Beng, mengadu domba mereka."
Orang yang membawa sepasang pedang itu duduk di atas batu, sambil menarik napas, "Buat apa? Itu berarti mengulangi ketololan Bu Sam-kui. Kalau dulu oleh ketololannya maka separuh di belahan utara negeri ini jatuh ke tangan musuh, apakah aku harus melakukan ketololan yang sama sehingga separuh negeri di belahan selatan ini pun direbut musuh?"
Helian Kong mengangguk-angguk dan duduk pula, beberapa langkah dari Yo Kian-hi, si tokoh Pelangi Kuning yang baru saja menyamar sebagai dirinya itu. Pujinya, "Wawasanmu luas, Saudara Yo."
Panggilan "Saudara Yo" yang hangat itu melarutkan sama sekali sisa-sisa permusuhan antara mereka. Permusuhan selama bertahun-tahun karena mereka berada di pihak-pihak yang bertentangan, dulu.
"Kau tidak curiga kehadiranku di sini?" tanya Yo Kian-hi.
Helian Kong menyeringai dalam kegelapan, "Jujur saja, agak curiga juga sedikit. Tadi siang kulihat kau menyelinap di antara orang banyak di depan kuil Thai-hud-si tempat Pangeran Kui-ong bersembahyang, waktu itu aku merasa was-was juga."
Yo Kian-hi tertawa juga, "Kalau kita bertukar tempat, aku pun akan mencurigai bekas musuh-musuhku, selagi aku di pihak yang ingin membangun kembali sebuah reruntuhan. Tidak, aku tidak menyalahkanmu. Tetapi aku ingin memberi tahu suatu soal kepadamu."
"Soal apa?"
Yo Kian-hi bungkam agak lama, namun berat sekali untuk mengatakannya. Sehingga Helian Kong bertanya pula, mengulangi, "Soal apa?"
"Aku..... mengkhawatirkan negeri leluhur kita yang tinggal separuh ini."
"O, itu bagus. Aku dan teman-temanku juga. Tetapi kita bisa mempertahankannya kalau kita lupakan permusuhan lama dan bersatu."
"Helian Kong, pasukan besar Manchu bergerak ke selatan ini di bawah pimpinan Jenderal Ni Kam, orang yang juga mendapat gelar kebangsawanan Cin-ong."
Helian Kong tidak kaget. "Tidak mengherankan kalau Manchu ingin mencaplok yang separuh lagi. Kalau Manchu berhenti di utara, itu baru mengherankan. Tetapi ada bagusnya juga, sesama bangsa Han seperti kita ini jadi bersatu, melupakan yang lama."
"Ya, tetapi aku beritahu dua hal kepadamu. Pertama, Manchu menyadari ini. Kedua, tidak semua orang dari golongan Pelangi Kuning bersikap seperti aku, ada sebagian yang belum melupakan luka lama dan mereka..... berada di Lam-khia!"
"Astaga....." Helian Kong terkesiap. Sekaligus ia paham kenapa Yo Kian-hi tadi berat berbicara, rupanya karena mau tidak mau demi kecintaannya kepada tanah air ia membongkar rahasia teman-temannya sendiri, bekas sesama orang-orang Pelangi Kuning.
Helian Kong tidak bisa duduk santai lagi, ia gelisah seperti duduk di atas bara, sebab ia sudah mengalami sendiri betapa lihainya kaum Pelangi Kuning ini kalau menyusun jaringan mata-mata. Jaringan mata-matanya bisa merambat di dalam golongan musuh, merambat seperti kanker yang mencengkeram segala bagian.
Di jaman Kerajaan Beng masih tegak di Pak-khia dulu, kaum Pelangi Kuning bahkan berhasil menyelundupkan orang-orangnya sampai ke istana kaisar melalui jalan yang berliku. Untuk membongkarnya, Helian Kong harus menghilang total dari perhatian umum selama berbulan-bulan, menyamar jadi gelandangan dan melacak jaringan musuh mulai dari lapisan paling bawah sampai ke "pusat"nya yang bersembunyi dalam istana kaisar.
Suaranya jadi berat dan bersungguh-sungguh, "Saudara Yo, demi negeri bangsa Han kita, kumohon kau mau bicara lebih banyak soal ini." Helian Kong begitu memohon, sebab ia tahu, kalau Yo Kian-hi bicara terang-terangan, ia bisa dianggap mengkhianati teman-temannya sendiri.
Kata Yo Kian-hi, "Yang pertama, soal Manchu tadi. Pembunuhan massal yang mereka lakukan di Yang-ciu dan Ke-teng, agaknya mereka sadari malah menimbulkan kegusaran seluruh bangsa Han, biarpun kegusaran karena kemarahan bersama. Itulah sebabnya Pangeran Toh Ji-kun yang menjadi Wali Kaisar menarik adik tirinya, Pangeran Toh Sek-kun yang memerintahkan pembantaian itu. Kami dengar di Pak-khia, Toh Sek-kun didamprat habis-habisan oleh Dewan Istana dan dicopot dari kedudukannya sebagai Panglima Tertinggi Manchu. Sekarang yang menjadi Panglima Tertinggi malah orang Manchu yang tidak berdarah kerajaan, Jenderal Ni Kam, yang diberi gelar kebangsawanan Cin-ong."
"Jaringan mata-mata kalian masih sangat hebat seperti dulu," komentar Helian Kong. "Sehingga kalian tahu apa yang terjadi dikalangan intern orang-orang Manchu."
Yo Kian-hi tersenyum. Pujian yang didapat dari bekas musuh besar rasanya jauh lebih nikmat dari pujian yang diucapkan oleh teman-teman sendiri. Kemudian ia melanjutkan kata-katanya, "Ni Kam ini lebih halus cara kerjanya. Dia bertekad akan menarik simpati seluruh bangsa Han, agar bangsa kita tidak menganggap Manchu sebagai orang asing. Dia menghentikan gerakan pasukan besarnya ke selatan."
Helian Kong cepat menyambung, "Ini yang berbahaya. Gerakan militer Manchu terbukti merangsang persatuan seluruh bangsa Han. Tetapi kalau Manchu berhenti bergerak ke selatan, berlagak seolah-olah tidak berniat mencaplok wilayah selatan, itu bisa merangsang orang-orang Han yang di selatan untuk kembali bersaing berebut kekuasaan."
"Ini juga yang aku khawatirkan. Buktinya kawan-kawanku...." Yo Kian-hi tiba-tiba berhenti berbicara.
"Lanjutkan, Saudara Yo." Helian Kong tahu, pembicaraan selanjutnya akan berkisar soal orang-orang Pelangi Kuning, teman-teman Yo Kian-hi yang telah menyelundup ke Lam-khia dengan masih membawa dendam di hati, dendam terhadap keturunan dinasti Beng dan hendak mengadu domba mereka.
Di luar dugaan, Yo Kian-hi menggelengkan kepala dan berkata, "Tidak. Aku mengubah keputusanku....."
"Saudara Yo, teman-temanmu itu bukan cuma berbahaya buat keturunan dinasti Beng, tetapi juga buat tanah air bangsa Han yang masih tersisa separuh ini. Karena itu katakanlah, agar....."
"Tidak. Maaf, Saudara Helian. Biar aku coba sekali lagi untuk membujuk teman-temanku. Kalau aku gagal, baru akan kukatakan kepadamu."
"Saudara Yo....."
Yo Kian-hi sudah berdiri dan lenyap dalam kegelapan malam. Tinggal Helian Kong yang termangu-mangu sendirian memikirkan gawatnya keadaan. Akhirnya dia pun melangkah lunglai untuk pulang, sambil berkata dalam hati, "Mudah-mudahan Yo Kian-hi berhasil membujuk kawan-kawannya."
Soal keberatan Yo Kian-hi membocorkan tindak-tanduk kawan-kawannya kepada Helian Kong, Helian Kong sendiri bisa memaklumi. Helian Kong sendiri punya sahabat-sahabat dan merasakan akrabnya ikatan batin satu sama lain, tidak mudah untuk membelakangi begitu saja sahabat-sahabat seakrab itu, biar dengan taruhan yang amat besar sekalipun.
Helian Kong sudah berjanji kepada Li Teng-kok untuk hadir dalam perjamuan penghormatan para perwira yang akan diselenggarakan di rumah Phoa Taijin. Phoa Taijin sebenarnya ingin mengirim tandu untuk menjemput Helian Kong, ia begitu menghormati Helian Kong, namun karena Helian Kong sendiri menyembunyikan "alamat"nya demi kelancaran tugas bawah tanahnya, maka jemputan tandu ditiadakan. Helian Kong berjanji akan datang, biar hanya berjalan kaki.
Seragam panglima Helian Kong sudah tidak ada, dimusnahkan pada saat Helian Kong bertekad menjadi peladang di pegunungan dan tidak mau ikut campur lagi urusan berebut kekuasaan. Ternyata sekarang Helian Kong ada di Lam-khia dan kembali terlibat kelanjutan dari urusan lama, sedang seragam militernya sudah terlanjur tidak ada. Maka Helian Kong datang ke pesta dengan memakai jubah panjang murahan yang dibelinya dengan tergesa-gesa toh dengan pakaian murah itu ia melangkah tegap penuh percaya diri ke tempat pesta.
Helian Kong juga sudah mengatakan kepada iparnya, Siangkoan Heng, bahwa dia pun diundang. Maka Siangkoan Heng juga terburu-buru membeli jubah baru untuk pesta. Mereka berangkat sendiri-sendiri untuk mempertahankan penyamaran mereka, meski kali ini mereka tentu saja ke pesta tanpa menyamar.
Siangkoan Yan ditinggalkan sendiri di rumah sewaannya, menjaga si kecil Helian Beng. Namun ibu muda itu melegakan suami dan kakaknya bahwa ia mampu menjaga diri. Tiba di rumah Phoa Taijin, hampir saja Helian Kong diusir karena pakaiannya kalah mentereng dengan penjaga pintu. Untung ada pegawai bawahan Phoa Taijin yang mengenalinya, sehingga Helian Kong disambut ke dalam.
Ternyata Helian Kong adalah yang datang paling awal, yang lain-lain belum nampak batang hidungnya, kecuali Phoa Taijin sekeluarga serta Li Teng-kok dan kawan-kawannya yang memang menginap di situ. Meski demikian, semuanya menyambut Helian Kong dengan girang, bahkan Phoa Bian-li langsung berlutut dan memanggil, "Guru!"
Setelah Helian Kong dipersilahkan duduk di tempat terhormat, ia menyapukan pandangannya ke arah meja-meja dan kursi-kursi yang masih kosong. Satu meja satu kursi diatur sekeliling empat persegi dengan tempat kosong di tengah-tengahnya. Di satu sudut, di belakang para undangan, serombongan pemusik sewaan sudah memainkan beberapa lagu untuk menghidupkan suasana.
Secara tradisi, meja-meja yang di sisi timur adalah tempat-tempat paling terhormat, dan Helian Kong mendapat salah satu tempat di sisi timur. Li Teng-kok juga, karena ia mewakili Jenderal Thio Hian-tiong dari Se-cuan yang berhalangan datang.
"Saudara Li, yang lain-lain belum datang?" tanya Helian Kong.
"Terlambat sedikit soal biasa, tetapi mereka sudah sanggup untuk datang semuanya," sahut Li Teng-kok. "Eh, mana Saudara Siangkoan?"
"Dia juga akan datang, tetapi kami memang jalan sendiri-sendiri."
"Saudara Helian, masih ingat apa yang harus kita katakan, bukankah begitu?"
"Tentu saja masih ingat, kan baru kemarin lusa Saudara Li katakan? Pokoknya, kita harus mengajak para panglima bersatu, jangan dulu terpecah-belah gara-gara mendukung pangeran yang berbeda-beda. Dengan bersatu, kita punya kekuatan untuk memilih yang terbaik bagi masa depan negeri ini, bukankah begitu?"
"Benar. Dan Saudara Siangkoan juga sudah kau beritahu agar bicara senada denganmu?"
"Sudah."
"Mudah-mudahan para jenderal masih terpengaruh oleh wibawa almarhum Menteri Siangkoan Hi yang jujur dan tulus, sehingga mereka pun mendengarkan kata-kata Saudara Siangkoan."
"Mudah-mudahan."
"Dan mudah-mudahan pula kiriman hadiah yang diobral oleh para pangeran kepada para jenderal, tidak mempengaruhi para jenderal sehingga dijadikan boneka atau corong suara dari pangeran tertentu."
"Para pangeran sudah mengobral hadiah?" tanya Helian Kong.
Li Teng-kok mengangguk, yakin pasti bahwa Helian Kong bukanlah orang yang pendiriannya bisa dibeli dengan hadiah berapapun mahalnya, Li Teng-kok berterus terang, "Ya, Saudara Helian sendiri kebanjiran hadiah, dialamatkan ke sini. Agaknya para pangeran sudah mendengar kalau Saudara Helian ada di Lam-khia dan sering datang kemari."
"Siapa pengirimnya?"
"Lengkap. Ada yang dari Pangeran Hok-ong sendiri, ada yang dari Pangeran Kui-ong, Lou-ong, Tong-ong, Kong-ong....."
Helian Kong menyeringai, "Wah, aku jadi orang kaya mendadak, ya?"
Li Teng-kok tertawa, "Mau Saudara Helian lihat hadiahnya? Masih disimpan dan bungkusannya belum dibuka."
"Tidak usah. Dititipkan di rumah ini dulu."
Li Teng-kok paham, Helian Kong tidak ingin tindakannya menerima hadiah itu ditafsirkan memihak ke salah satu pangeran. Helian Kong ingin di mata jenderal-jenderal lainnya ia masih nampak dan dipercaya kenetralannya sehingga suaranya didengar.
"Saudara Li sendiri?"
"Aku pun orang kaya mendadak seperti Saudara Helian, dan panglima-panglima lain dari berbagai daerah yang berkumpul di Lam-khia ini pun begitu. Kaya mendadak."
Helian Kong menarik napas, prihatin, "Mudah-mudahan rekan-rekan itu nanti masih bisa kita ajak bicara dengan nalar, tanpa dipengaruhi hadiah-hadiah yang sudah mereka terima."
"Jangan khawatir. Kita tahu orang-orang macam apa Jenderal Thio Hong-goan dari Ciat-kang, Jenderal The Ci-liong dari Hok-kian dengan puteranya, Laksamana The Seng-kong. Biar tumpukan emas ditaruh di depan hidung mereka, hati mereka takkan goyah oleh itu."
"Kita harapkan begitu."
"Eh, Saudara Helian, kemarin tempat ini didatangi orang-orang jahat yang mencarimu. Tetapi ada orang yang menyamar sebagai dirimu menolong kami." lalu berceritalah Li Teng-kok panjang lebar.
Helian Kong pura-pura mendengarkan dan mengomentari di sana-sini, namun sambil tertawa dalam hati. Sudah tentu ia tahu semuanya, bahkan Helian Kong adalah salah satu dari "orang jahat" yang mendatangi tempat itu.
Helian Kong sengaja tidak bercerita bahwa Si Helian Kong Gadungan itu adalah tokoh Pelangi Kuning yang sudah luntur permusuhannya dengan Helian Kong. Helian Kong tahu, belum semua pendukung dinasti Beng bisa memaafkan kaum Pelangi Kuning. Dan sebaliknya, belum semua sisa-sisa Pelangi Kuning terhapus permusuhannya dengan dinasti Beng. Untuk sementara, "gencatan senjata" antara dinasti Beng dan Pelangi Kuning itu biarlah di antara dirinya sendiri dengan Yo Kian-hi dulu.
Obrolan mereka terhenti ketika penjaga pintu melaporkan bahwa Jenderal Thio Hong-goan dari Ciat-kang sudah datang bersama pengawal-pengawalnya.
"Mari kita sambut dia....." ajak Li Teng-kok kepada Helian Kong. "Berhati-hatilah mengucapkan kata-kata."
Orang-orang itu berbondong-bondong menyambut keluar. Selain Phoa Taijin dan anaknya, Helian Kong, juga Li Teng-kok dan dua rekannya yaitu Gai Leng-ki dan Lau Bun-siu.
Jenderal Thio Hong-goan yang menguasai pasukan amat kuat di seluruh Ciat-kang itu, adalah seorang berusia lima puluhan yang bertubuh kokoh, perutnya gendut, berewoknya pendek-pendek dan kaku seperti ijuk, campuran warna hitam dan putih. Ia datang tanpa seragam militernya, hanya dengan jubah orang sipil.
Karena kalah pangkat, Li Teng-kok, Helian Kong, Gai Leng-ki dan Lau Bun-siu cepat-cepat berlutut memberi hormat. Sedangkan Phoa Taijin hanya membungkuk saja. Thio Hong-goan tanpa sungkan menerima hormat mereka, kemudian berkata kepada Li Teng-kok dan lain-lainnya yang masih berlutut,
"Aku senang melihat perwira-perwira muda yang tetap bersemangat. Kalianlah harapan kami, apabila kami yang tua-tua ini sudah dimakan cacing tanah. Bangkitlah, perkenalkan diri kalian."
"Kami adalah bawahan-bawahannya Jenderal Thio Hian-tiong di Se-cuan. Kami mewakili beliau, karena beliau berhalangan hadir," kata Li Teng-kok.
Thio Hong-goan mengangguk-angguk, "Aku paham jika jenderalmu tidak datang. Aku dengar bangsat-bangsat Manchu mengerahkan pasukan besar dipimpin si pengkhianat Bu Sam-kui untuk merebut Se-cuan yang subur. Tentu jenderalmu lebih mementingkan itu. Eh, pernah kudengar bahwa Jenderal Thio punya empat perwira andalan yang dijuluki Empat Harimau, apakah ini kalian berempat?"
"Panglima terlalu memuji kami.” Aku Li Teng-kok.
“Yang menurut kabar secerdik Cukat Liang?” sergah Jenderal Thio Hong-goan.
Li Teng-kok tersipu, “Itu terlalu dilebih-lebihkan. Mana bisa aku dibandingkan tokoh legendaris itu? Yang ini adalah Gai Leng-ki dan yang ini Lau Bun-Siu.”
“Lha, ini.....” Jenderal Thio menunjuk Helian Kong.
Li Teng-kok menjawab, “Kami yang disebut Empat Harimau tidak lengkap berada di Lam-khia semua. Kurang satu, yaitu Saudara Sun Ko-bong yang mendampingi Jenderal Thio Hian-tiong mempertahankan Se-cuan. Sedangkan ini adalah Saudara Helian Kong."
Begitu mendengar nama Helian Kong, Jenderal Thio Hong-goan tercengang, lalu dengan perasaan haru memeluk Helian Kong sambil berkata, “Jadi inikah panglima muda bernyali macan yang dulu berani menentang si busuk Co Hua-sun? Ah? Inilah contoh seorang yang bersemangat prajurit sejati. Kalau aku menasehati orang-orangku, aku selalu memakaimu sebagai contoh.”
Helian Kong terharu sehingga tak mampu berkata-kata. Selama ini Helian Kong berpikiran agak sempit bahwa dirinya sudah berjuang mati-matian tetapi senantiasa gagal, sehingga tidak jarang Helian Kong nyaris terjerumus ke dalam perasaan iba diri.
Ternyata lebih benar yang dikatakan Puteri Tiang-ping yang sekarang sudah menjadi Bhikuni Siok-sim, tentang diri Helian Kong, bahwa Helian Kong menganggap diri sendiri kelewat remeh. Tidak sadar bahwa keharuman namanya bahkan sampai ke kuping Jenderal Thio Hong-goan yang berada jauh di selatan.
Phoa Taijin kemudian mempersilakan Jenderal Thio Hong-goan duduk di sisi timur, tempat kehormatan, sedangkan perwira-perwira bawahan dan pengiring-pengiring lainnya di sisi-sisi yang lain.
Kemudian datang pula Jenderal The Ci-liong dari Hok-kian bersama puteranya, Laksamana The Seng-kong yang armada perang lautnya disegani kapal-kapal negeri-negeri barat.
The Ci-liong sudah putih semua rambutnya, alisnya serta kumis dan jenggotnya, meskipun demikian dia berjalan dengan tegap tanpa dibantu tongkat dan juga tanpa dituntun orang. Puteranya, Laksamana The Seng-kong lebih kurang seusia dengan Jenderal Thio Hong-goan. Ayah dan anak ini pun ternyata tidak memakai pakaian kebesaran militer, melainkan berjubah sipil. Begitu pula ajudan-ajudan mereka.
Begitulah suasana makin meriah. Yang diundang ternyata bukan cuma pentolan-pentolan militer di wilayah selatan, melainkan juga utusan rombongan bangsawan yang patut diperhitungkan pengaruhnya. Antara lain ada wakil dari Bangsawan Bok Thiam-po yang berkuasa di Propinsi Hun-lam turun temurun, dan sudah ratusan tahun memegang gelar kebangsawanan Kok-kong, sehingga Bok Thiam-po juga disebut Bok Kok-kong.
Namun Bok Kok-kongnya sendiri tidak hadir, ia hanya diwakili orang kepercayaannya yang bernama Im Hai-lip, seorang setengah baya yang berpakaian seorang sastrawan namun di rimba persilatan dikenal sebagai Thai-hong-si (Si Kipas Taufan).
Acara-acara hiburan serta hidangan pun berlangsung lancar, sesuai dengan susunan acara. Semua wajah kelihatannya gembira, namun Helian Kong merasa tegang di dalam hati, tegang bagaimana nanti harus mengawali pembicaraan serius tentang penyatuan sikap para jenderal dalam menghadapi persaingan perebutan tahta oleh para pangeran? Bagaimana kalau terjadi kesalah-pahaman?
Tetapi yang tegang bukan Helian Kong sendirian, melainkan juga Li Teng-kok yang duduk di meja di sebelahnya, yang sebentar-sebentar mengusap jidatnya yang berkeringat padahal suhu udara cukup dingin. Ternyata waktu Helian Kong memperhatikan tamu-tamu lain, perasaan tegang itu bukan monopoli dia dan Li Teng-kok sendiri.
Dilihatnya tamu-tamu yang lain meskipun pura-pura mau nampak gembira dan bebas, sulit menyembunyikan kalau sikap mereka pun hanya dibuat-buat. Rupanya orang-orang itu pun menyadari bahwa perjamuan ini tidak sekedar kumpul-kumpul untuk makan-minum, menonton tarian dan mendengarkan musik, melainkan ada sesuatu yang ingin dikatakan. Hanya saja, belum ada yang berani mulai mengatakannya.
Jenderal The Ci-liong sebagai orang tertua dalam pesta itu, juga paling terhormat kedudukannya karena anaknya, Laksamana The Seng-kong, juga menyandang gelar kebangsawanan Yan-peng Kun-ong, sadar bahwa orang-orang tidak berani bicara mungkin karena sungkan melangkahi dirinya. Maka The Ci-liong pun menaruh sumpit dan cawannya, lalu mengangkat sebelah tangannya sebagai isyarat.
Orang-orang serempak berhenti berbicara satu sama lain, para pemain musik pun diberi isyarat oleh Phoa Taijin agar menghentikan permainan dulu, dan para penari yang belum menyelesaikan tarian pun melangkah keluar. The Ci-liong ingin mengajak semua orang memasuki pembicaraan yang bersungguh-sungguh, namun tidak dalam suasana tegang. Maka ia tersenyum sambil mengelus jenggot panjangnya yang putih, katanya kalem dengan suaranya yang serak,
“Kita semua berterima-kasih bahwa tuan rumah telah menghidangkan masakan-masakan lezat, arak tua bermutu tinggi, musik yang merdu dan tarian-tarian indah. Tetapi jarang sekali kita berkumpul selengkap ini, karena letak pos kita berjauhan. Sekarang adalah kesempatan baik, selagi kita berkumpul, bagaimana kalau kita perbincangkan juga nasib tanah air kita?”
Memang itu yang ditunggu-tunggu, maka sambutan setuju terdengar bersemangat dari sana-sini. Helian Kong berdoa mudah-mudahan jangan terlalu bersemangat sehingga kehilangan akar jernih. The Ci-liong mengangguk puas sambil mengelus jenggotnya lagi,
“Nah, siapa mau mendahului bicara? Jangan sungkan-sungkan. Kita semua sebenarnya adalah orang yang setujuan, sama-sama berprihatin akan nasib tanah air, maka semuanya boleh mengeluarkan pendapat dengan bebas, tanpa pandang tinggi rendah pangkatnya.”
Helian Kong tahu diri, meski dia adalah “orang istimewa” karena kegigihannya membela dinasti, tetapi dari soal pangkat, ada banyak yang lebih senior dari dia di ruangan itu. Sebenarnya, dia sungkan menyerobot waktu untuk berbicara, tetapi kalau tidak cepat bicara dia khawatir akan didahului pembicara yang mendukung salah satu pangeran, lalu mungkin akan dibantah oleh pembicara lain yang mendukung pangeran lainnya lagi, lalu ruangan itu akan menjadi ajang perdebatan dan awal perpecahan.
Maka Helian Kong, meskipun dengan agak tersipu-sipu, berdiri dan berkata, “Tuan-tuan sekalian, aku mohon maaf kalau aku lancang mendahului bicara, sedang di tempat ini masih ada orang-orang yang lebih tinggi dan lebih agung dari aku. Tetapi oleh desakan hatiku, perkenankanlah aku berbicara.....”
The Ci-liong mengangguk-angguk. Sementara Helian Kong melanjutkan, “Seperti kata Jenderal The tadi, perjamuan ini memang tidak sekedar makan-minum dan menikmati hiburan. Tetapi, Saudara Li Teng-kok yang mempunyai gagasan mengadakan perjamuan ini, memang punya maksud. Saudara Li sudah membicarakannya denganku, maksudnya adalah.....”
Masuk bagian pembicaraan yang menegangkan dan mudah menimbulkan pertikaian, Helian Kong makin berhati-hati bicaranya. Dia bicara lambat dan kata-katanya dipikirkan dulu, “..... maksud kami, agar kita sebagai suatu kekuatan yang diharapkan masih bisa menyelamatkan negeri ini, tidak hancur sebelum berperang dengan Manchu karena hancur disebabkan oleh pertikaian di antara kita sendiri.”
Helian Kong belum berani terang-terangan menyebut perebutan pengaruh di antara para pangeran keturunan dinasti Beng, namun semua hadirin maklum yang dimaksud dengan bahaya perpecahan itu. Kemudian Helian Kong berkata lebih lanjut,
“Kita di sini masing-masing sudah punya calon yang kita anggap paling cocok untuk menduduki tahta, melanjutkan kepemimpinan atas negeri. Kita juga akan belajar saling mempercayai, bahwa meski pilihan kita berbeda satu sama lain, kita memilihnya dengan pertimbangan yang sehat demi kepentingan tanah air. Kita memilih pangeran yang ini atau yang itu, bukan karena hadiah yang sudah diberikan kepada kita.”
Beberapa pendengar tersenyum sambil mengangguk-angguk, tapi ada juga beberapa orang yang merasa disindir, maka meskipun wajah mereka tersenyum, namun dalam hati mereka mengutuk.
Kata Helian Kong pula, “Aku membawa pesan dari Tuan Puteri Tiang-ping, agar kita bersatu dalam satu sikap. Dengan bersatu, kita akan didengar.”
Habis berkata demikian, Helian Kong duduk kembali. Sesaat ruangan itu sunyi, kemudian terdengarlah Jenderal Thio Hong-goan berkata, “Kita harus secepatnya mengangkat seorang Kaisar untuk mempersatukan kita.”
“Sulitnya.... ada lima calon di Lam-khia ini. Semua syah kalau dipandang garis keturunannya.....” sahut Laksamana The Seng-kong.
Pembicaraan mulai masuk urusan yang peka, yang kalau sampai timbul kesalahpahaman bisa menimbulkan perpecahan. Karena itu, agaknya Thio Hong-goan maupun The Seng-kong berbicara dengan amat hati-hati, kalimat mereka seperti belum selesai tapi sudah dihentikan.
“Mari kita nilai kelima calon itu. Kita nilai dengan kepala dingin tanpa memihak, seperti kata Saudara Helian tadi, juga tanpa memperhitungkan hadiah atau janji yang diberikan kepada kita. Kuakui, aku pun sudah menerima hadiah-hadiah mereka, tetapi aku belum memberikan janji apa-apa.....” kata Jenderal The Ci-liong jujur. “.....meski aku sudah didesak untuk memberi janji dukungan.”
“Siapa yang akan menilai pribadi pangeran-pangeran ini?” tanya Li Teng-kok. “Kita masing-masing punya hubungan dengan masing-masing pangeran, dan jauh-dekatnya hubungan itu tidak sama. Jauh dekatnya hubungan ini pasti akan mempengaruhi penilaian.”
“Itu pasti,” sahut The Ci-liong yang seolah-olah sudah diangkat sebagai pemimpin pembicaraan itu, karena dia yang paling senior. “Tetapi bagaimanapun juga, kita harus mulai menilai. Pasti penilaiannya takkan netral sepenuhnya, tetapi pasti sedikit-banyak memberi gambaran tentang pribadi para pangeran biarpun tidak tepat betul. Setujukah kalau kita mulai menilai mereka sekarang?”
Banyak kepala mengangguk-angguk, sehingga The Ci-liong berkata, “Kelihatannya semua teman-teman setuju. Nah, aku persilakan siapa yang akan bicara lebih dahulu?”
Kali ini Jenderal Thio Hong-goan merebut kesempatan untuk penilaian pertama, “Aku tidak pintar bicara berbelit-belit, kalau ada kata-kataku yang agak kasar, aku minta maaf sebelumnya. Aku akan mulai menilai salah seorang pangeran, yaitu Pangeran Lou-ong. Bukan berarti pangeran yang lain kurang baik dibandingkan Pangeran Lou-ong, tetapi kebetulan Pangeran Lou-onglah yang kukenal paling dekat. Karena dia berkedudukan di Ciat-kang, dan aku juga.”
“Silakan, Jenderal Thio.....” kata The Ci-liong.
“Pangeran Lou-ong adalah seorang yang penuh kebijaksanaan, ia menguasai ilmu pemerintahan dan tata-negara. Kalau ada kekurangannya, hanyalah dukungan militer yang kurang. Tetapi kalau kita mau mendukungnya, maka kekurangannya dalam dukungan militer itu akan tertutup, dan ia akan menjadi raja yang baik. Meskipun demikian, ini hanya usul, dan aku tidak berani memaksa teman-teman.”
Lau Bun-siu, perwira teman Li Teng-kok, menanggapi, “Seorang Kaisar yang paham hal-hal kebijaksanaan diperlukan dalam negara yang sedang dalam keadaan aman-tenteram. Negeri kita saat ini dalam suasana perang. Manchu mengancam dari utara dan barat-laut. Yang-ciu sudah dikuasai. Yang kita butuhkan, kurasa adalah pangeran yang berwatak tegas, berjiwa militer sejati, dengan demikian barulah dapat menghalang-halangi Manchu lebih lanjut. Yang memenuhi syarat demikian, rasanya hanya Pangeran Kui-ong.”
Wajah Thio Hong-goan menegang sejenak karena calonnya disaingi calon lain, apalagi yang mengajukan calon saingan adalah seorang perwira yang pangkatnya lebih rendah darinya.
The Ci-liong buru-buru mengambil kesempatan untuk mendinginkan keadaan, “Dua calon sudah muncul. Tetapi kuingatkan lagi, kita takkan terpecah-belah oleh perbedaan pilihan kita ini. Lagi pula, belum tentu calon yang kita unggulkan itu yang akan menduduki tahta dan kita tidak boleh kecewa. Kita bukan kanak-kanak yang lebih suka layang-layang hancur daripada didapat oleh orang lain. Kita takkan begitu. Pembicaraan kita bersangkut-paut dengan nasib jutaan bangsa Han.”
“Calon Jenderal The sendiri siapa?” ada yang bertanya.
The Ci-liong tidak sempat melihat siapa orangnya yang bertanya itu, namun ia menjawab, “Aku pun punya calon unggulan. Pangeran Tong-ong. Tetapi aku takkan memaksa siapa pun mendukung calonku. Bahkan kalau ada yang kita sepakati sebagai calon yang terbaik, aku rela meminggirkan calon unggulanku. Toh, aku tidak berhutang janji apa pun kepada dia.”
Helian Kong memuji kelapangan jiwa jenderal ubanan itu. Ia berkata pula, “Maaf aku menyela lagi. Aku tidak ingin mengajukan seorang calon, melainkan hanya ingin berkata bahwa kalau kita tidak bersatu, kita akan mudah diadu-domba. Aku mendapat bisikan dari seseorang, bahwa di Lam-khia ini berkeliaran juga sisa-sisa Pelangi Kuning yang hendak memecah-belah kita demi dendam mereka.”
Wakil dari keluarga bangsawan Bok di Hun-lam, Si Kipas Taufan Im Hai-lip yang diam sejak tadi, tiba-tiba berkata, “Jenderal Helian, kau mendapat bisikan dari siapa?”
“Dari seorang mantan tokoh Pelangi Kuning yang berpikiran luas, yang tidak menyetujui tindakan teman-temannya itu. Yang berpikiran luas ini berpendapat, bagaimanapun sekarang seluruh bangsa Han haruslah bersatu dengan melupakan luka-luka lama, kalau tidak ingin ditelan Manchu.”
Im Hai-lip mendesak pula, “Sungguh mengagumkan tokoh ini. Pandangannya luas, mengutamakan keselamatan tanah air di atas dendam golongannya. Kami di sini ingin mendengar namanya, maukah Jenderal Helian menyebutnya?”
Mungkin karena Propinsi Hun-lam letaknya jauh di selatan, agaknya Im Hai-lip belum begitu kenal Helian Kong sehingga memanggilnya “jenderal” padahal Helian Kong belum sampai ke pangkat itu.
Pertanyaan itu dijawab Helian Kong dengan menyesal, “Pertama kubetulkan sebutan Tuan Im, bahwa aku belum menjadi jenderal. Pangkat terakhirku di ketentaraan dulu adalah Cong-peng (barangkali setingkat Brigadir Jenderal). Kemudian soal nama orang yang membisiki aku itu, maaf, aku tidak berani menyebut namanya, demi keamanan dirinya.”
“Apakah Helian Cong-peng tidak ditipu orang itu? Barangkali saja orang ini ingin menyebarkan saling curiga di antara kita. Sehingga saling mengawasi, mencurigai yang lain sebagai mata-mata Pelangi Kuning.”
“Tidak mungkin orang ini berbuat demikian. Aku kenal wataknya, biarpun bekas musuh, dia adalah ksatria yang kuhormati.”
“Wah, jadi Helian Cong-peng kenal akrab dengan musuh?”
Perasaan Helian Kong tiba-tiba merasakan kalau Im Hai-lip berusaha menyudutkan dengan pertanyaan-pertanyaannya yang tajam. Im Hai-lip semula kelihatan pendiam, tak terduga begitu buka suara kata-katanya licin berbahaya. Helian Kong menjawab hati-hati, “Apakah di antara musuh tidak ada orang-orang baik? Apakah di antara teman-teman sendiri tidak ada pengkhianat?”
Im Hai-lip menegang wajahnya, kemudian ia buka tutup kipasnya, sambil tertawa dingin ia berkata, “Yah, rupanya Helian Cong-peng keberatan mengatakan identitas teman barunya itu. Mudah-mudahan teman barumu itu tidak membahayakan kita.”
Helian Kong menghindari perdebatan dan saling menyindir dengan Im Hai-lip, maka ia cuma berkata, “Aku hanya memperingatkan Tuan-tuan sekalian, bahwa keretakan sekecil apa pun di antara kita akan bisa dimanfaatkan orang lain. Ada yang sudah mengintai dan siap memanfaatkannya.” Lalu dia duduk kembali.
The Ci-liong kembali menggunakan kewibawaannya, “Peringatan Saudara Helian patut kita perhatikan. Aku pernah dengar prestasi Saudara Helian ketika membongkar jaringan mata-mata Pelangi Kuning di Ibukota Pak-khia dulu. Suatu yang tidak bisa dilakukan sembarangan. Saudara Helian pastilah tidak omong sembarangan, sedikit banyak pasti tahu cara kerja orang-orang Pelangi Kuning.”
Tak ada yang membantah The Ci-liong. Kemudian jenderal ubanan itu berkata pula, “Kita kembali ke acara pokok, menilai para pangeran dengan kepala dingin kita.”
Soal menilai para pangeran, memakan waktu sampai larut malam, kadang-kadang suasana memanas juga namun wibawa The Ci-liong masih mampu mengikat para panglima dinasti Beng itu dalam persatuan. Akhirnya, memang tidak ada kesepakatan di antara para perwira itu.
Ada yang menyanjung Pangeran Hok-ong sangat memperhatikan rakyat, yang lain menganggap Pangeran Kui-ong lebih cocok dalam situasi darurat begitu, bahkan juga ada yang dengan malu-malu mengusulkan, kenapa calon kaisar “tidak diambil dari antara kita sendiri” saja? Si pembicara itu mengambil contoh Jenderal Tio Gong-in, pendiri dinasti Song yang memerintah tahun 960 – 976...