Puing Puing Dinasti Jilid 09 karya Stevanus S.P - WAKTU itu dinasti Cou begitu kacau karena Kaisar Kiong-te masih kanak-kanak dan pembesar-pembesar di sekitarnya korup semua. Para perwira muak melihat situasi itu, maka mengambil kesempatan waktu angkatan perang sedang berkumpul untuk menggempur bangsa Liao, para perwira malahan beramai-ramai menjunjung Jenderal Tio Gong-in jadi kaisar.
Balatentara besar itu bukannya menggempur bangsa Liao, malahan mengancam ke Ibukota Kai-hong, membuat Kaisar Kiong-te dan pembesar-pembesarnya ketakutan lalu menyerahkan tahta. Itulah awal berdirinya dinasti Song. Kini selagi sisa-sisa dinasti Beng bingung memilih kaisar, muncul usul untuk mengikuti jejak Tio Gong-in, namun usul itu tidak ditanggapi sungguh-sungguh.
Pertemuan berakhir tanpa kesepakatan pangeran yang mana paling cocok menjadi kaisar. Helian Kong kecewa. Tetapi yang melegakan hatinya, para perwira itu berjanji tidak akan bertikai, melainkan juga tidak mempersoalkan perbedaan pendapat, sambil berjanji akan saling menghubungi dan memusyawarahkan segala sesuatu. Para perwira itu memang tidak dapat diikat menjadi satu secara resmi, tetapi wibawa Jenderal The Ci-liong mampu menahan terjadinya perpecahan terbuka.
Bahkan mereka sepakat untuk suatu hari nanti sama-sama berziarah ke Beng-hau-leng (Kuburan kaisar-kaisar dinasti Beng) sambil mengundang para pangeran ikut dalam upacara itu. Mereka juga berharap dapat merukunkan para pangeran. Tetapi Helian Kong tetap gelisah. Sampai pertemuan itu bubar, iparnya, Siangkoan Heng, tidak muncul juga. padahal Siangkoan Heng sudah berjanji akan datang.
Usai pertemuan, setelah memberi hormat kepada tuan rumah dan tamu-tamu lain, Helian Kong melangkah bergegas di lorong-lorong kota Lam-khia yang sepi di malam hari, pulang ke tempatnya. Ia ingin segera bertemu Siangkoan Heng dan menanyakan apa yang membuatnya tidak sampai di tempat perjamuan.
“Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa.....” harap Helian Kong dalam hati, sambil melangkah bergegas.
Tiba-tiba naluri Helian Kong yang tajam merasa bahwa ia dibuntutui. Untuk meyakinkan, sengaja Helian Kong memasuki lorong yang sepi, lalu dengan gerakan mendadak ia berbalik. Dan ia melihat seseorang yang berada belasan langkah di belakangnya pun tiba-tiba berhenti lalu merapat ke dinding sambil pura-pura hendak kencing.
Helian Kong tersenyum dingin, lalu melanjutkan langkahnya, orang itu buru-buru melangkah mengikuti kembali. Ternyata Helian Kong hanya berjalan beberapa langkah lalu memutar tubuh kembali dengan cepat. Melihat orang itu begitu kagok, Helian Kong tertawa dan berkata, “Sobat, kau kencing secepat itu apakah celanamu tidak basah kuyup?”
Habis itu Helian Kong melanjutkan langkahnya dan orang tadi tidak mengikuti lagi, agaknya sadar kalau tindak-tanduknya sudah diketahui Helian Kong. Sementara Helian Kong berpikir sambil melangkah, “Hem, banyak orang di Lam-khia ini yang agaknya ingin tahu di mana aku tinggal.”
Sudah tentu Helian Kong tidak ingin “pangkalan operasi”nya diketahui. Meskipun kalau orang tahu tempatnya berteduh, tidak selalu berbahaya, bisa jadi malahan ia akan kebanjiran hadiah dan kebanjiran pula tawaran menggiurkan dari para pangeran yang bersaing. Tetapi itu pun suatu bahaya tersendiri, bahaya bagi kejujurannya dan ketulusannya yang tanpa pamrih membela tanah air.
Tiba di tempat berteduhnya di kelenteng bobrok itu, Helian Kong langsung melompati tembok belakangnya untuk menjumpai isterinya yang ternyata belum tidur di malam selarut itu. “Adik Yan.....”
Siangkoan Yan memeluk suaminya, luapan dari perasaan gelisahnya yang dipendamnya selama berjam-jam, “Kenapa sampai selarut ini, A-kong?”
“Sulit mempertemukan pendapat para jenderal. Kalau mereka tidak sampai cakar-cakaran saja, itu sudah untung, berkat wibawa Jenderal The.”
“Kenapa kembalinya tidak sama-sama Kakak Heng?”
Helian Kong tercengang mendengar pertanyaan isterinya itu. “Lho, aku kira malahan Kakakmu itu tidak jadi berangkat. Aku tunggu-tunggu di perjamuan tidak muncul-muncul juga.”
“Jadi.....”
“Jangan cemas dulu, Adik Yan, belum tentu terjadi yang buruk. Kakakmu juga cukup pandai mempertahankan dirinya sendiri.” Ingin Helian Kong menghibur dengan kata-kata yang jauh lebih banyak dari itu, namun ia sendiri tidak tahu apalagi yang mesti dikatakan. “Bagaimana dengan anak kita?” Helian Kong coba mengalihkan persoalan.
Ternyata di sini pun ia mendapat jawaban yang menambah beban di hatinya. Jawab isterinya, “A-beng agak demam. Mungkin kurang cocok dengan udara di Lam-khia. Terlalu gerah.”
“Tubuhnya akan segera menyesuaikan diri dan menjadi terbiasa. Menurutmu, apakah perlu kucari Kakakmu?”
“Aku khawatir malah akan berputar-putar tak keruan. Coba kita tunggu dulu beberapa saat.”
Malam itu Helian Kong begadang menemani isterinya, menunggu pulangnya Siangkoan Heng. Tetapi sampai fajar menyingsing, Siangkoan Heng tidak kelihatan batang hidungnya.
“Apakah yang dialaminya?” pertanyaan menggelisahkan itu terus-menerus bergaung di hati Helian Kong dan Siangkoan Yan.
Siangkoan Heng juga sedang berjalan menuju ke tempat pesta di rumah Phoa Taijin sore itu. Jubah panjangnya juga jubah murahan seperti kepunyaan Helian Kong, yang dibeli mendadak hari itu. Ia tidak membawa pedang, sebab pergi berpesta. Sepanjang jalan ia memikirkan kata-kata apa yang sekiranya bakal bisa membantu Helian Kong untuk mempersatukan sikap para jenderal.
Karena ia berjalan sambil berpikir, ia kurang memperhatikan apa-apa yang ada di jalanan yang dilewatinya. Ada sebuah tandu tertutup berada di sudut jalan yang agak sepi. Waktu itu langit sudah agak gelap, matahari sudah membentuk bayangan-bayangan panjangnya dari posisi miringnya di cakrawala barat.
Di sekitar tandu tertutup itu ada tiga orang lelaki, yang dua berada agak jauh dan mereka agaknya adalah pemikul-pemikul tandu. Mereka berjongkok dengan acuh tak acuh dan sengaja disuruh menjauh agar tidak mendengar percakapan orang dalam tandu dan lelaki yang satu lagi, yang berdiri dekat tandu.
Lelaki yang berdiri dekat tandu itu bukan lain adalah salah seorang anggota kelompok pengawal pribadi Pangeran Hok-ong, yang pernah bentrok dengan Helian Kong dulu. Juga pengawal yang menjaga tempat pembagian bubur gratis dulu.
Melihat Siangkoan Heng sudah tampak di ujung jalan, pengawal pribadi Pangeran Hok-ong itu berkata kepada orang yang di dalam tandu dengan suara perlahan, “Orangnya sudah nampak di ujung jalan.”
“Tidak keliru?”
“Aku yakin tidak, Nona. Aku mengenali dia di malam ketika terjadinya perkelahian yang mengakibatkan terluka parahnya Tuan Au Ban-hoa itu. Orang ini ternyata adalah ipar dari orang yang mengaku bernama A-kong, yang di Lam-khia ini setelah kami selidiki ternyata adalah Helian Kong yang terkenal itu. Jadi orang ini adalah Siangkoan Heng, anak dari almarhum Menteri Siangkoan.”
Suara di dalam tandu ternyata adalah suara seorang perempuan muda, “Sudah siapkah orang-orang kita?”
“Sudah siap dari tadi.”
Lalu sesosok tubuh berpakaian ringkas warna biru, melejit keluar dari joli tertutup itu kemudian berkelebat pergi dengan cepatnya. Wajahnya pun tak sempat terlihat orang, yang bisa dikenali hanyalah bentuk tubuh yang ramping dari seorang gadis, dan pakaiannya yang serba biru muda.
Si pengawal pribadi Pangeran Hok-ong memanggil kedua tukang tandu tadi, menyuruh pergi membawa tandu yang sudah kosong itu. Si pengawal pribadi sendiri kemudian menghilang dari jalanan yang akan dilewati Siangkoan Heng.
Siangkoan Heng tidak tahu-menahu peristiwa kecil yang terjadi di sudut jalan itu, ia berjalan terus dengan santai. Hari makin gelap, di depan rumah orang-orang sudah dipasangi lampion-lampion.
Ketika itu Siangkoan Heng baru saja lewat di samping sebuah gedung besar bertembok tinggi. Tempat itu sepi. Tiba-tiba dia mendengar jeritan seorang perempuan di balik tembok itu, disusul suara orang-orang berteriak saling sahut, suara lelaki maupun perempuan, “Tolong! Tolong! Ada penjahat pemetik bunga!”
“Hadang dia!”
“Panggil petugas keamanan!”
Dan teriakan-teriakan kacau lainnya, yang menandakan ketidak-berdayaan orang-orang di pihak yang menjadi korban. Waktu Siangkoan Heng mengangkat kepalanya, dia melihat sesosok tubuh laki-laki melompat ke atas dinding sambil memanggul sesosok tubuh gadis yang terkulai lemas. Geraknya cepat dan mantap. Tembok setinggi tiga meter bisa dilompatinya sambil membawa beban seorang manusia, lalu dengan gerak bagaikan angin, orang itu berlari menyusur bagian atas tembok.
Hati Siangkoan Heng tergerak, dia pun punya seorang adik perempuan dan bisa membayangkan pedihnya sebuah keluarga kalau ada anggota keluarganya yang wanita dinodai orang tak dikenal. Karena itu Siangkoan Heng pun melompat ke atas tembok itu dan mengejar Si penculik. Biarpun tidak membawa senjatanya, Siangkoan Heng mengejar terus dengan nyali yang besar.
Mereka berkejaran, lewat bagian atas dinding rumah, lewat lorong-lorong dan kadang-kadang berlari-lari di atas atap rumah orang pula. Si penculik agaknya sudah tahu kalau dikejar, makanya nampak ia beberapa kali menoleh ke belakang.
Sementara Siangkoan Heng mengejar penasaran, dan karena buruannya membawa beban maka Siangkoan Heng berhasil mengejar semakin dekat. Bentak Siangkoan Heng, “Lepaskan korbanmu, Sobat. Nyalimu sungguh besar, sehingga baru saja matahari terbenam kau sudah berani beroperasi!”
Namun Si penculik tetap membandel dan terus berlari. Kejar mengejar tiba di sebuah tempat belukar yang agak sepi, meski letaknya masih di sebelah dalam dari tembok kota Lam-khia yang amat luas itu.
Siangkoan Heng jengkel karena Si penculik tidak menggubris kata-katanya, tubuhnya melesat ke depan dan mengirim sebuah jotosan ke punggung si penculik. Namun agar tidak disebut menyerang secara curang, Siangkoan Heng juga menyertakan seruan, “Bangsat, aku bertindak kepadamu!”
Tak terduga tiba-tiba penculik itu berhenti, membalikkan tubuh dan kemudian malahan melemparkan tubuh gadis yang diculiknya itu ke arah Siangkoan Heng. Siangkoan Heng jadi kelabakan, jotosannya yang kuat itu bisa menciderai gadis yang mau ditolongnya. Maka buru-buru jotosan diubah menjadi gerak menerima tubuh yang melayang deras ke arahnya.
Tubuh gadis yang diterimanya itu tidak berkutik, mungkin pingsan atau ditutup jalan darahnya. Siangkoan Heng tidak sempat mengurusi gadis itu kecuali meletakkannya dengan hati-hati di tanah, lalu ia bersiap menghadapi Si penculik yang ternyata bersikap mengajak berkelahi.
Penculik itu mengenakan kedok muka, malam juga cukup gelap, sehingga Siangkoan Heng tidak melihat tampangnya. Kemudian Siangkoan Heng tahu bahwa ia tidak hanya akan menghadapi satu musuh, melainkan tiga musuh. Sebab dari dalam kegelapan muncul pula dua sosok tubuh berkedok lainnya, yang bersama yang pertama tadi langsung mengambil posisi segitiga untuk mengepung Siangkoan Heng.
Diam-diam Siangkoan Heng menaksir kekuatan sendiri untuk dibandingkan dengan kekuatan pihak lawan. Tadi ia bisa menaksir kepandaian si penculik pertama lewat ketangkasannya lari dan berlompatan di atas genteng, Siangkoan Heng menaksir orang itu masih bisa dikalahkannya. Tetapi kalau dua kawannya yang baru muncul ini juga setingkat dengan yang pertama tadi, lalu mereka bertiga bergabung, Siangkoan Heng menaksir dirinya bakal menghadapi kesulitan berat.
Gerutu Siangkoan Heng dalam hati, “Kalau nasib lagi sial, batal menikmati makanan enak di pesta, malahan bakal dikeroyok orang di tempat ini.”
Biarpun sudah tahu resikonya, Siangkoan Heng sedikit pun tidak terpikir untuk kabur terbirit-birit, yang berarti meninggalkan si korban penculikan menjadi korban orang-orang jahat. Itu bukan sifat Siangkoan Heng. Untungnya, tiga kawan itu agaknya juga tidak membawa senjata, seperti Siangkoan Heng. Jadi gebuk-gebukan akan dilakukan dengan tangan kosong.
Sesaat keempat orang itu saling mengintai, saling bergeser mencari posisi. Siangkoan Heng tidak ingin terkepung, tiba-tiba saja dia membuat gerakan cepat ke sebelah kiri, kaki kirinya juga langsung naik setinggi kepala untuk menyambar kepala lawan di sisi itu dengan sapuan Pai-lian-ka (Tendangan Teratai Bergoyang). Lawan bertubuh lebih pendek, namun tangkas. Ia menunduk dan malahan hendak menubruk kaki Siangkoan Heng yang sedang bertumpu tanah.
“Cara berkelahi yang aneh...” komentar Siangkoan Heng sambil membuat lompatan, melompati orang yang menubruk kakinya itu untuk langsung menyerang lawannya yang kedua dengan Hui-hou-tui (Tendangan Macan Terbang) yang dilakukan sambil melompat.
Yang diserang agak kelabakan, melompat ke samping. Sementara lawan yang ketiga tidak menunggu diserang, melainkan lebih dulu menyerang Siangkoan Heng. Begitulah, di tempat belukar yang gelap itu perkelahian tangan kosong berlangsung seru, satu lawan tiga. Sabetan tangan dan kaki berseliweran, diselingi tubrukan-tubrukan.
Menghadapi tiga lawan, Siangkoan Heng harus benar-benar mengerahkan seluruh ketangkasannya, padahal dia sudah jarang berlatih sejak diam di pegunungan. Maka sekarang menghadapi tiga musuh dengan tiga corak bertempur yang berbeda-beda, Siangkoan Heng lebih banyak bertahan dan menghindar, namun benar-benar ngotot tidak mau pergi dari situ.
Siangkoan Heng harus selalu berlompatan berpindah posisi, tidak membiarkan tiga lawannya berada di tiga arah pada saat yang sama. Perpindahan posisi yang terus-menerus serba cepat itulah yang membuat napas Siangkoan Heng lebih cepat terkuras dari lawan-lawannya. Biarpun malam sangat dingin, namun keringat Siangkoan Heng membuat tubuhnya basah kuyup.
Suatu kali karena geraknya mulai melambat, lengan Siangkoan Heng berhasil ditubruk dan ditangkap oleh si tukang tubruk yang agaknya ahli dalam soal mencengkeram dan memelintir. Lengan Siangkoan Heng terus hendak dipelintirnya ke belakang tubuh Siangkoan Heng sendiri.
Cepat Siangkoan Heng menggunakan gerak tipu Ling-yo-kui-kak (kambing Melepas Tanduknya), ia mengikuti saja putaran lawannya, sambil membiarkan lengannya dipelintir seraya merapatkan tubuhnya ke tubuh lawan, dan tahu-tahu siku dari tangan yang masih bebas menyiku ke belakang dan mengenai rusuk lawannya dengan keras. lawannya mengaduh, jatuh terduduk dan cengkeramannya lepas.
Namun Siangkoan Heng yang tertahan sekian detik di satu posisi tadi sudah cukup memberi kesempatan kepada dua lawan yang lain untuk mengambil keuntungan. Sebuah jotosan dan tendangan beruntun masih sempat dihindari Siangkoan Heng, tetapi sebuah tendangan rendah dari lawan yang lain berhasil menjejak bagian belakang lututnya dan membuat kakinya tertekuk sehingga Siangkoan Heng jadi setengah berlutut.
Belum sempat ia bangkit, si tukang tubruk tadi sudah melekat di punggungnya seperti seekor lintah saja, sepasang lengan-lengannya menyelusup melalui sepasang ketiak Siangkoan Heng dan bertemu kembali tepat di tengkuk Siangkoan Heng dan menjalinkan jari-jarinya begitu kuat. Agaknya orang ini memang seorang pegulat yang terampil. Biar tubuhnya kecil, namun lengan-lengannya begitu kuat.
Siangkoan Heng meronta, membungkuk, mencoba menghempaskan lawan yang menempel di punggungnya itu, namun segala usahanya sia-sia. Ingin menyikut ke belakang juga tidak bisa, sebab lengan-lengannya sudah dikunci, bahkan sepasang kaki si pegulat itu kemudian ikut melingkar ke perut Siangkoan Heng pula.
Agaknya dalam urusan main pedang atau main jotos dan tendang Siangkoan Heng jago, tapi urusan gulat dan ringkus-meringkus, dia tidak punya bekal yang cukup sedangkan lawannya seorang ahli. Maka kelabakanlah dia.
Sementara Siangkoan Heng jadi repot dan tidak leluasa dengan orang yang “digendong”nya itu, dua lawannya yang lain tentu saja tidak tinggal diam, mereka terus berusaha menyerang. Agaknya tidak cuma ingin menciderai Siangkoan Heng, tetapi ingin membunuhnya.
Yang bisa dilakukan Siangkoan Heng sekarang adalah memberi perlawanan dengan kakinya, menendang-nendang dalam berbagai variasi, atau untuk bergeser ke sana kemari menghindari serangan. Kalau tadi saja ia sudah kelelahan dalam pergeseran-pergeserannya, apalagi sekarang sambil “menggendong” seseorang yang tidak ringan bobotnya. Tenaga Siangkoan Heng pun juga cepat terkuras habis.
Saat Siangkoan Heng dalam keadaan kritis begitu, tiba-tiba di tempat itu datang pula satu orang. Tidak jelas wajahnya, karena tempat itu gelap. Tetapi kalau didengar suaranya dan dilihat bentuk tubuhnya, agaknya yang datang ini seorang gadis, bahkan gadis pendekar.
Gadis itu langsung melompat ke tengah gelanggang, dan langsung membentak nyaring, “He, jadi inikah kawanan bandit yang selama ini meresahkan gadis-gadis di Lam-khia? Sudah beberapa malam kutunggu kemunculan kalian dan baru kali ini kutemui!”
Siangkoan Heng melihat bahwa senjata Si Gadis agaknya adalah sehelai selendang! Diam-diam Siangkoan Heng membatin, “Kalau seorang pesilat sudah berani menggunakan senjata yang aneh-aneh, ia pasti sudah menguasainya.”
Sementara itu salah seorang penculik dengan gusar membentak, “Lam-kin Sianli (Bidadari Selendang Biru)! Kapan kau mau berhenti usil terhadap urusan kami?”
Si pendatang menjawab, “Sampai kalian, orang-orang yang tidak menghargai martabat kaumku, lenyap dari bumi!”
Selendangnya pun berkibaran cepat dan lincah di tengah gelanggang. Selendang yang demikian lemas, ternyata kalau mengenai akan menyakitkan korbannya. Salah seorang penculik tersabet pipinya, dan ia mengaduh keras serta terjungkal jatuh.
Di lain saat, selendang itu tiba-tiba menjadi kaku seperti toya dan hasil gebukannya pun sehebat toya. Orang yang menempel di punggung Siangkoan Heng itu kena gebuk sekali agaknya. Ia mengaduh, belitan tangan dan kakinya kendor, dan Siangkoan Heng berhasil menghempaskannya ke tanah.
Ketiga penculik itu jadi kocar-kacir dan lenyap keberaniannya. Mereka kabur lintang-pukang. Siangkoan Heng tidak mengejar, melainkan lebih dulu mengurus gadis yang menjadi korban penculikan. Gadis itu masih ketakutan, tetapi sudah dapat mengendalikan dirinya, dan dengan suara tergagap-gagap dia menjelaskan apa yang terjadi.
Lam-kin Sianli yang ikut mendengarkan, mendengarkan dengan gemas, lalu berkata sambil mengepal tinjunya, “Kurang ajar bangsat-bangsat itu, lain kali akan kukejar mereka dan tidak kuberi ampun mereka.”
Siangkoan Heng pun memberi hormat kepada gadis itu, “Terima kasih, Nona yang bergelar Bidadari Selendang Biru. Kedatangan Nona yang tepat telah menyelamatkan nyawaku juga.”
Bidadari Selendang Biru membalas hormat, sahutnya, “Aku pun berterima kasih, Tuan mau mempertaruhkan nyawa membela martabat kaumku dari kawanan pemetik bunga tadi. Boleh kuketahui nama dan julukan Tuan?”
“Namaku Siangkoan Heng. Tidak punya julukan apa-apa, karena aku bukan apa-apa di kalangan persilatan.”
“Tuan terlalu merendah. Tadi kulihat Tuan berkelahi dengan hebat dengan gaya Bu-tong-pai.”
Siangkoan Heng menyeringai dalam kegelapan, “Hebat kok hampir mati. Nona terlalu memuji. Tetapi bolehkah kuketahui nama Nona?”
“Namaku Kongsun Giok. Aku punya she ganda seperti dirimu, Tuan Siangkoan.”
Mereka lalu mengurus Si Gadis korban penculikan, diantar sampai ke rumahnya. Keluarga gadis itu rupanya adalah keluarga cukup berada, mereka menyambut kedatangan Si Gadis yang diculik itu dengan suka cita, ditambah ucapan syukur luar biasa kepada sepasang pendekar yang sudah menolong anak gadis mereka. Sulit bagi Siangkoan Heng dan Kongsun Giok untuk menolak ajakan tuan untuk menikmati perjamuan.
Antara Siangkoan Heng dan Kongsun Giok pun cepat menjadi akrab. Tadi waktu dalam kegelapan Siangkoan Heng tak dapat memperhatikan Kongsun Giok, sekarang di tempat yang terang benderang Siangkoan Heng dapat memperhatikan Si Bidadari Selendang Biru ini dan Siangkoan Heng terpesona. Alangkah cantiknya, dengan pakaian ringkas berwarna serba biru dan mantel biru pula, pitanya juga biru, dan selendang birunya yang menakutkan para penculik tadi dilibatkan di pinggangnya.
Kongsun Giok yang merasa sedang diperhatikan, bersikap malu-malu dan ini menambah geregetan Siangkoan Heng. Maka lupalah Siangkoan Heng akan janjinya kepada Helian Kong untuk ikut hadir dalam pertemuan para jenderal di rumahnya Phoa Taijin.
Siangkoan Heng juga diobati di rumah gadis yang ditolongnya dari malapetaka. Beberapa bagian permukaan kulit Siangkoan Heng biru bengkak karena perkelahiannya dengan para penculik itu. Tapi hatinya sedang berbunga-bunga, rasanya disuruh tambah bengkaknya juga mau asal didampingi Si Bidadari Selendang Biru.
Keluarga dari Si Gadis yang diculik itu memohon Siangkoan Heng dan Kongsun Giok untuk bermalam di situ, sebagai luapan terima kasih keluarga itu. Kongsun Giok pura-pura menolak, kemudian akhirnya menerima. Karena Kongsun Giok menerima, Siangkoan Heng pun menerima, agar bisa bersama-sama lebih lama dengan Kongsun Giok.
Malam itu, di taman rumah itu, Siangkoan Heng berkesempatan mengobrol panjang-lebar dengan Kongsun Giok. Apa saja mereka obrolkan, tentang situasi politik, tentang sepak-terjang para pendekar dan seribu satu macam lainnya. Siangkoan Heng memperoleh kesan bahwa teman barunya ini adalah seorang pendekar yang mempedulikan banyak orang tertindas. Ia jadi kagum.
Waktu Siangkoan Heng tanya tujuannya Kongsun Giok ke Lam-khia yang sedang “membara” itu, Kongsun Giok menjawab, “Aku tidak tahu-menahu soal politik. Aku cuma ingin melihat kuburan kaisar-kaisar Beng yang terkenal itu, selain itu tidak punya tujuan tertentu. Sambil sepanjang jalan membantu orang-orang kesusahan...”
Mereka mengobrol sampai jauh-malam, lalu masuk tidur ke kamarnya masing-masing yang sudah disediakan oleh tuan rumah. Siangkoan Heng mimpi indah, tetapi waktu ia bangun keesokan harinya, ia mendapat laporan dari seorang bujang di rumah itu bahwa Kongsun Giok sudah meninggalkan rumah itu, entah ke mana.
Siangkoan Heng agak masygul, toh dia berharap masih dapat berjumpa lagi. Ia pun kemudian berpamitan kepada tuan rumahnya, dan tidak dapat menolak hadiah-hadiah yang harus ia bawa. Kedatangannya kembali di rumah sewaan melegakan Helian Kong dan Siangkoan Yan. Sekaligus mengherankan, sebab muka Siangkoan Heng masih kelihatan agak babak-belur karena perkelahian semalam, tetapi orang babak-belur kok seceria itu?
Para jenderal dan perwira merencanakan untuk mengadakan ziarah dan sembahyang di Beng-hau-leng (Kuburan Raja-raja dinasti Beng). Sengaja beritanya disebar-luaskan, untuk memancing reaksi para pangeran, dari reaksi itulah para jenderal berharap akan memperoleh “bahan penilaian” siapa yang paling tepat melanjutkan kepemimpinan dinasti Beng.
Helian Kong tentu saja tidak bisa tidak ikut, Siangkoan Heng juga ikut. Siangkoan Heng ingat Kongsun Giok pernah mengatakan kalau dia pun ingin mengunjungi Beng-hau-leng, maka Siangkoan Heng berharap dapat bertemu dengan gadis itu.
Para jenderal dan perwira yang akan pergi ke Beng-hau-leng itu berkumpulnya di rumah Phoa Taijin. Helian Kong dan Siangkoan Heng sudah tidak punya pakaian kebesaran mereka semenjak jadi orang pegunungan. Tetapi Helian Kong dipinjami seragam perwira militer oleh seorang perwira bawahannya Li Teng-kok. Agak kedodoran, tapi gagah juga. Sedang Siangkoan Heng dipinjami baju pembesar sipil oleh Phoa Taijin.
Phoa Bian-li, “murid” Helian Kong itu ngotot mau ikut juga. Helian Kong sempat mamatut-matut diri dengan pakaian pinjamannya di depan Siangkoan Heng yang juga mengenakan pakaian pinjaman. Kata Helian Kong sambil tertawa, “Tidak kentara kalau pinjaman, ya?”
“Jangan-jangan lalu lupa mengembalikan?”
Rombongan itu berangkat dalam iring-iringan megah dari rumah Phoa Taijin. Pembesar-pembesar yang bisa menunggang kuda ya menunggang kuda, yang tidak bisa menunggang kuda menaiki joli-joli yang indah. Jenderal The Ci-liong sebagai jenderal yang paling senior, jolinya berada paling depan, didampingi anak laki-lakinya, Laksamana The Seng-kong yang menunggang kuda dan diiringi pengawal-pengawal pribadinya. Yang lain-lain berderet-deret ke belakang.
Helian Kong tahu diri, pangkat terakhirnya baru Cong-peng, maka ia menempatkan diri di bagian tengah iring-iringan, tidak di depan dan tidak di belakang juga. Bersama-sama Li Teng-kok, Gai Leng-ki dan Lau Bun-siu yang sederajat dengannya. Phoa Bian-li juga di sini, dekat gurunya. Nampak gagah dan bangga.
Namun salah seorang pengawal pribadi The Ci-liong mendekat dan berkata kepada Helian Kong serta Li Teng-kok, “Jenderal The mohon agar Helian Cong-peng dan Li Cong-peng berada di dekat jolinya.”
Kedua Cong-peng ini agak sungkan, sebab berjalan di dekat Jenderal The berarti berjalan di depan panglima-panglima yang lebih tinggi seperti Thio Hong-goan ataupun utusan dari Bangsawan Bok Thiam-po dari Hun-lam. Tetapi karena The Ci-liong meminta dengan sungguh-sungguh, Helian Kong dan Li Teng-kok tidak dapat menolak.
Mereka pun akhirnya berjalan dengan Jenderal The di depan, tetapi untuk menghormati para panglima yang lebih senior yang ada di belakang mereka, Helian Kong dan Li Teng-kok tidak menaiki kuda mereka, cukup berjalan kaki di sebelah tandu.
The Ci-liong mengerti maksud kedua perwira ini, hingga dia diam-diam memuji dalam hatinya, “Li Teng-kok adalah bawahan Thio Hian-tiong, kabarnya Li Teng-kok dijuluki secerdas Cukat Liang karena siasat-siasat cemerlangnya di medan perang, ternyata dia juga seorang yang tahu membawa diri. Helian Kong juga, jasanya dalam menumpas pengaruh Co Hua-sun dulu, juga jasanya dalam membongkar jaringan mata-mata Pelangi Kuning di istana, cukup untuk membuatnya besar kepala. Tetapi ia tetap rendah hati. Hem, dinasti Beng membutuhkan lebih banyak lagi orang-orang seperti mereka. Aku harus mengangkat mereka agar pengaruh mereka bertambah dan dapat menjadi pengikat persatuan para jenderal.”
Dengan mengajak berbincang-bincang kedua perwira itu, sebenarnya The Ci-liong sudah memberi muka terang kepada keduanya. Biarpun sepanjang perjalanan, yang dibicarakan cuma soal-soal ringan.
Menjelang tengah hari, mereka tiba di kompleks pemakaman raja-raja dinasti Beng itu. Di gerbang kompleks, semua peziarah turun dari tunggangan masing-masing. Yang naik joli keluar dari jolinya, yang naik kuda turun dari kudanya, kemudian berjalan kaki saja sebagai tanda hormat kepada raja-raja dinasti Beng.
Para pengiring dan pengawal juga ditinggalkan di pintu gerbang, yang masuk ke kompleks hanyalah Jenderal The Ci-liong, Laksamana The Seng-kong, Thio Hong-goan, Im Hai-lip yang mewakili Keluarga Bok di Hun-lam, Helian Kong, Siangkoan Heng, Li Teng-kok dan kedua temannya yang mewakili Jenderal Thio Hian-tiong yang tidak hadir karena membendung serbuan Manchu yang hendak merebut Se-cuan. The Ci-liong tetap meminta Helian Kong dan Li Teng-kok berada di dekatnya.
Mereka tidak membawa perlengkapan sembahyang, sebab perlengkapannya semua sudah disediakan dulu di situ, sudah diatur oleh orang-orang dari sebuah kuil yang dimintai tolong. Pertama mereka semua akan bersembahyang di makam pendiri dinasti Beng, Kaisar Hong-bu, sebelum di makam-makam lainnya.
Di kota lain, kota Hong-yang, sebenarnya juga ada tempat ziarah untuk menghormati raja pertama dinasti Beng ini. Di kuil Hong-kak-si di kota Hong-yang, tempat di mana Kaisar Hong-buc waktu masih bernama Cu Goan-ciang pernah menjadi seorang pendeta miskin, juga ada patung besar Kaisar Hong-bu yang disembahyangi orang. Tapi di tempat itu sering dipakai oleh penganut-penganut sekte Pek-lian-kauw (Sekte Teratai Putih) yang fanatik dan gemar ilmu gaib, tidak cocok dengan para panglima yang tidak suka takhyul.
Makin dekat Jenderal The dan rombongannya dengan makam Kaisar Hong-bu, makin tercium bau dupa terbakar. Makam itu tidak hanya berwujud sebuah gundukan kecil, melainkan hampir sebesar bukit, dan di dalamnya dilubangi, dibentuk ruangan-ruangan batu. Selain ruang untuk meletakkan jenazah, juga ada banyak lorong-lorong dan kamar-kamar yang penuh perangkap.
Yang paling terkenal adalah ruangan “pengawal-pengawal batu” yaitu ratusan patung batu berseragam prajurit, dengan ratusan kuda batu pula. Tetapi menurut rencana Jenderal The dan rombongannya, mereka tidak akan masuk ke dalam, melainkan hanya bersembahyang di luarnya saja. Di depan pintu masuk makam Kaisar Hong-bu itu pun ada pelataran luas berlapis batu yang cukup untuk berdiri seribu orang. Tak ketinggalan patung-patung besar berbentuk manusia maupun hewan-hewan di kiri kanan jalannya.
Waktu rombongan Jenderal The tiba, puluhan meja sesajian sembahyang yang disambung-sambung jadi satu dan dibungkus kain putih, sudah tergelar. Jenis sesajiannya tak terhitung macamnya. Belasan kaum agamawan yang akan memimpin sembahyang pun sudah siap. Namun yang mencengangkan Jenderal The dan rombongannya ialah hadirnya semua pangeran di situ. Mulai dari Pangeran Hok-ong, Kui-ong, Lou-ong, Tong-ong dan Kong-ong. Semuanya memakai pakaian sederhana berwarna putih.
Kalau para pangeran kelihatan begitu rukun, entah rukun sungguh-sungguh entah cuma rukun dibuat-buat, maka sebaliknya dengan para pengawal pribadi mereka. Para pengawal pribadi itu tidak berdiri bergerombol jadi satu, melainkan saling berjauhan satu sama lain dan saling menatap kelompok yang lain dengan curiga.
Dalam kelompok pengawal-pengawalnya Pangeran Hok-ong, terlihat Kang-thau Tiat-koai (Tongkat Besi Kepala Botak) Au Ban-hoa yang tak henti-hentinya menatap dengan geram ke arah Helian Kong yang berada di samping Jenderal The. Helian Kong juga memakai seragam perwira. Au Ban-hoa hanya berani memelototi tetapi tidak berani lebih dari itu, khawatir mengacau acara.
“Dia mengenali aku sekarang.” pikir Helian Kong. “.....tetapi pastilah dia belum mengenali aku kalau aku sedang jadi Ek Beng-ti atau yang lainnya.”
Jenderal The melangkah maju terus hendak berlutut di hadapan para pangeran, panglima-panglima lainnya tentu mengikuti tindak-tanduk jenderal senior itu, tetapi Pangeran Hok-ong buru-buru menahan sepasang lengan Jenderal The agar tidak melanjutkan niat berlututnya. Kata Pangeran Hok-ong simpatik, “Jangan, Jenderal The. Kami Keluarga Cu, kamilah yang seharusnya berlutut kepada kalian yang begitu setia untuk memihak kami, meskipun kami sudah tidak punya apa-apa.”
“Jangan berkata demikian, Pangeran. Kita masih punya separuh negeri leluhur di wilayah selatan. Dan kalau kita satukan kekuatan, hapuskan permusuhan dalam keluarga, maka belahan utara yang sudah diduduki Manchu pun tidak mustahil kita rebut kembali.” sahut Jenderal The.
Helian Kong yang berada di dekat The Ci-liong, sekarang mendapat kesempatan untuk memperhatikan Pangeran Hok-ong dari dekat. Bangsawan penguasa Lam-khia dan sekitarnya itu seorang lelaki setengah baya berwajah lebar, berkulit putih bersih, bentuk wajahnya agak persegi, dihiasi kumis kelabu dan tiga jalur jenggot panjang yang kelabu pula. Helian Kong membayangkan, kalau orang ini memakai Jubah Naga Kuning, tampangnya cocok juga.
Namun Helian Kong ingat tingkah laku orang-orang bawahannya Pangeran Hok-ong, yang pernah mengeroyoknya dan hendak menodai isteri Helian Kong. Helian Kong juga ingat ketika ia sebagai “Ek Beng-ti” disuruh membunuh Helian Kong dengan beberapa pembunuh bayaran lainnya, dan pengecutnya, disuruh meninggalkan bendera kecil sebagai tanda dari Pangeran Kui-ong, agar Pangeran Kui-onglah yang dituduh. Ingat hal-hal itu, Helian Kong jadi kecewa.
Sementara itu, para pangeran yang lain pun tidak membiarkan simpati para jenderal akan direbut sendirian oleh Pangeran Hok-ong dengan sikapnya yang manis itu. Ramai-ramai mereka pun melangkah maju dan menyapa para perwira dengan manis.
Pangeran Tong-ong yang berkedudukan di Propinsi Hok-kian, menyapa Laksamana The Seng-kong yang pangkalan tentara lautnya juga di Hok-kian, “Saudara The, senang sekali kita bertemu lagi di sini. Kita bisa mengobrol mengenang pengalaman kita, waktu di laut kita menghadang kapal-kapal perang Ang-mo.”
Sengaja Pangeran Tong-ong berkata demikian, menimbulkan kesan bahwa ia pernah ikut dalam pertempuran laut. Namun The Seng-kong hanya tertawa dalam hati. Yang benar, suatu hari Pangeran Tong-ong berminat ikut tamasya laut dengan kapal-kapalnya The Seng-kong. Tapi pangeran itu mabuk laut, muntah-muntah dan pingsan.
Kapal-kapal The Seng-kong memang berpapasan dengan kapal-kapal Ang-mo (“Rambut Merah” sebutan untuk orang-orang Inggris dan Belanda, membedakannya dengan orang Portugis yang berambut hitam) dan terjadi tembak-menembak dengan meriam. Tetapi bukan suatu pertempuran, bahkan saat terjadinya itu Pangeran Tong-ong sedang teler di kapal, tidak tahu apa-apa.
Tetapi The Seng-kong bersikap bijaksana, tidak mau mempermalukan Pangeran Tong-ong di hadapan pangeran-pangeran lainnya dan juga para jenderal, khawatir kalau timbul saling-ejek yang memperhebat perpecahan. Jawabnya, “Hamba senang bertemu kembali dengan Pangeran. Selesai upacara nanti, kita akan bicara banyak.”
Dengan halus The Seng-kong memperingatkan bahwa mereka datang bukan untuk mengobrol, melainkan untuk bersembahyang. Pangeran Kong-ong mendekati sambil tertawa-tawa, tanyanya, “Wah, suatu yang tak terduga bahwa Kakanda Tong-ong bernyali begitu besar sehingga ikut dalam perang lautnya Yan-peng Kun-ong.”
Wajah Pangeran Tong-ong berkerut jengkel, jawabnya, “Setidaknya-tidaknya aku pernah berbuat sesuatu yang nyata bagi negeri kita, tidak hanya sibuk bermain-main dengan ilmu meramal.”
Pangeran Tong-ong menyindir Pangeran Kong-ong yang memang gemar nujum, sangat percaya takhyul, dan suka hal-hal gaib itu. Tetapi Pangeran Kong-ong tidak menjadi malu dengan sindiran itu, bahkan ia berkata dengan bangga, “Suatu kali aku datang ke sebuah kuil yang terkenal tukang nujumnya, aku menyamar sebagai rakyat jelata, tanpa pengawal. Tetapi tukang nujum itu memelototi aku, katanya dia melihat ada seekor naga emas di atas kepalaku. Pertanda apa itu?”
Naga emas sering dianggap melambangkan kekaisaran, menurut orang-orang yang percaya hal-hal gaib, seorang calon kaisar sering kelihatan ada naga emas di kepalanya. Pangeran Kui-ong tertawa mengejek dan menjawab, “Itu tandanya di atas kepalamu akan ada ‘naga kuning’ yang membawahimu.” Dengan kata lain Pangeran Kui-ong berkata bukan Pangeran Kong-onglah si “naga kuning” itu, tetapi orang lain.
Begitulah, sindir-menyindir agaknya takkan habis-habis, kalau Pangeran Hok-ong tidak buru-buru melerai dengan gayanya yang kebapak-bapakan dan bijaksana, “Keponakan-keponakanku, kita di sini untuk menghormati leluhur kita.”
Para pangeran itu diingatkan, mereka harus mengendalikan emosinya. Upacara sembahyang pun dijalankan. Jenderal The Ci-liong hendak menyerahkan pimpinan upacara kepada para pangeran, tetapi Pangeran Hok-ong menyatakan ketidak-setujuannya, alasannya karena para jenderallah yang memprakarsai upacara ini.
Pangeran lain yang hampir saja menerima tawaran Jenderal The, lalu buru-buru putar arah dengan “simpatik” mengembalikan pimpinan upacara kepada Jenderal The. Para pangeran bertindak hanya sebagai pihak keturunan dari Kaisar Hong-bu yang berterima-kasih kepada para pemberi hormat itu.
Selama upacara berjalan, diam-diam Helian Kong menilai tingkah-laku para pangeran itu. Pikirnya, “Pangeran Kui-ong terlalu kasar, menurut Li Teng-kok juga dia terlalu berterus-terang dalam kata-katanya akan ambisinya menduduki tahta. Pangeran-pangeran lain terlalu rapuh. Pangeran Lou-ong terlalu pendiam, entah bagaimana sikapnya. Pangeran Hok-ong mudah menarik simpati. Nampaknya Pangeran Hok-onglah yang mendapat nilai terbanyak dalam acara itu.”
Upacara berlangsung khidmat, para pangeran berusaha menimbulkan kesan sebaik-baiknya di mata para jenderal. Maklum, ratusan ribu prajurit terlatih yang tersebar di Hok-kian, Ciat-kang, Kui-sai, In-lam dan Se-cuan, semua di bahwa komando jenderal-jenderal ini. Bukan di bawah para pangeran. Memang para pangeran punya pasukan pribadi, namun jumlahnya masing-masing hanya ribuan orang, jauh dari memadai untuk menguasai sebuah negeri.
Para pangeran dan para jenderal itu kemudian berjalan-jalan mengelilingi kompleks makam yang amat luas itu, setelah upacaranya selesai. Pangeran Hok-ong kelihatannya lebih menahan diri, bicaranya terkendali dan amat hati-hati. Ia menimbulkan kesan seorang paman yang bijak dan sabar sedang mengasuh empat keponakan yang bandel-bandel.
Waktu The Ci-liong memperkenalkan Helian Kong yang berjalan di sebelahnya, Pangeran Hok-ong tercengang, lalu dengan akrab dia memegangi sepasang pundak Helian Kong sambil berkata, “Jadi inikah yang menyelamatkan dinasti dari kebusukan Co Hua-sun? Yang membongkar jaringan mata-mata Pelangi Kuning di Pak-khia? Luar biasa. Begini muda, begini gagah. Atas nama seluruh Keluarga Cu, aku mengucapkan terima kasih.”
Helian Kong jadi kikuk dipuji begitu hebat, sedang Au Ban-hoa yang mengiringi dari jarak puluhan langkah, diam-diam khawatir kalau Helian Kong melaporkan tingkah-lakunya kepada Pangeran Hok-ong, sebab ada banyak tindakan Au Ban-hoa yang di luar tahu Pangeran Hok-ong. Helian Kong memang sudah ingin mengatakan kelakuan anak buah Pangeran Hok-ong di luaran, namun ia tidak ingin waktu ini. Kurang bijaksana.
Sedangkan Pangeran Kong-ong malahan menyindir Helian Kong. “Jenderal Helian, apa kabar dengan sahabatmu Si Bu Sam-kui itu?”
Helian Kong kelabakan ditanya soal itu, namun menjawab juga, “Soal jatuhnya San-hai-koan, aku ikut bersalah juga. Aku kurang cermat memperhitungkan kelemahan Bu Sam-kui dan kelicikan kaki tangan Manchu yang bertebaran di sana-sini. Sekarang, di hadapan makam leluhur dinasti Beng, aku siap dijatuhi hukuman apa saja. Dipenggal kepalaku pun aku bersedia.”
Li Teng-kok, sahabat baik Helian Kong, tampil membela sahabatnya, “Kesalahan itu kalau mau dicari-cari, siapa diantara kita yang tidak pernah bersalah sama sekali? Gampang saja menyalahkan dan menghukum Saudara Helian, tetapi siapakah yang tahu pertaruhan mati hidupnya membela dinasti?”
Jenderal-jenderal lainnya mendukung kata-kata Li Teng-kok itu, kecuali Im Hai-lip, orang kepercayaan Bangsawan Bok Thiam-po yang selalu berdandan sebagai sastrawan dan membawa kipas besar itu. Ia acuh tak acuh saja sambil menggoyang-goyang kipasnya.
Melihat pembelaan para jenderal begitu rupa kepada Helian Kong, Pangeran Kong-ong segera menyadari bahwa dirinya telah melakukan suatu kesalahan besar yang bisa menghambat ambisinya menduduki tahta. Sekaligus ia tahu bahwa Helian Kong rupanya menjadi "maskot" para jenderal, lambang keberanian dan kejujuran mengabdi dinasti.
Tepat seperti omongan Puteri Tiang-ping alias Bhikuni Siok-sim, biarpun Helian Kong tidak punya satu prajurit pun, tapi menjadi semacam kekuatan moral yang mengikat para jenderal. Siapa yang berjuang di pihak yang sama dengan Helian Kong, dia diyakinkan kalau pihaknya benar, meskipun Helian Kong juga manusia biasa yang punya kelemahan. Pangeran Kong-ong sadar melakukan kekeliruan, tetapi bingung bagaimana harus memperbaiki kekeliruan itu. Ia jadi cuma bungkam saja.
Pangeran Kui-ong cepat memanfaatkan kesempatan untuk keuntungan citranya sendiri di mata jenderal, "Adinda Kong-ong memang sembrono, tidak bisa menghargai orang yang sudah begitu berjasa bagi negeri."
Pangeran Kong-ong semakin tersudut, dasar ia memang tidak pintar menghadapi situasi, ia malahan gusar dan berkata, "Aku memang orang bodoh yang tidak tahu apa-apa. Aku tidak pantas berada di antara orang-orang pintar macam kalian. Lebih baik aku pergi saja!"
Keempat pangeran lainnya serempak bersorak gembira dalam hati. Dengan tindakan Pangeran Kong-ong yang terdorong emosinya itu, Pangeran Kong-ong kehilangan simpati dari para jenderal, tindakannya yang berdasar hatinya yang panas itu juga seolah-olah mengundurkan diri dari gelanggang pencalonan kaisar. Satu saingan berkurang.
Yang terkejut adalah pengiring-pengiring Pangeran Kong-ong. Para pengiring itu bukan cuma terdiri dari jago-jago kepruk tetapi ada juga seorang penasehat yang bernama Liao Lun, seorang penasehat urusan politik dan militer namun nasehatnya tidak pernah digubris oleh Pangeran Kong-ong. Selain Liao Lun, ada Mo Hun-tong yang adalah penasehat dalam hal-hal gaib alias tukang nujum pribadinya, yang nasehatnya paling sering dituruti Pangeran Kong-ong.
Para pengiring itu tentu saja tidak setuju kalau Pangeran Kong-ong mengambil tindakan emosional yang bisa menutup peluangnya sendiri. Peluang untuk menjadi kaisar. Para pengikut itu berpikir, sudah susah-payah mendukung Pangeran Kong-ong dengan harapan akan ikut mukti dikemudian hari, kalau yang didukung tiba-tiba kehilangan kesempatan, apa gunanya?
Melihat Pangeran Kong-ong sudah melangkah keluar dari rombongan para pangeran dan para perwira, maka Liao Lun dan Mo Hun-tong buru-buru mendekati junjungannya dan berkata, "Pangeran, hamba mohon agar Pangeran....."
Tetapi Pangeran Kong-ong yang sedang tersinggung itu, membentaknya, "Tutup dulu mulut kalian! Kita pergi dari sini!"
Dan pergilah Pangeran Kong-ong serta pengiring-pengiringnya, kedua penasehatnya mengikutinya dengan muka serba salah.
Pangeran Tong-ong mengejek, "Hem, sifatnya seperti anak kecil begitu, tetapi cita-citanya setinggi langit. Mana dapat?"
Kembali Pangeran Hok-ong menunjukkan sikapnya yang menawan hati, "Biar sajalah. Bagaimanapun, dia masih keluarga kita."
Sementara itu, Pangeran Kui-ong yang cerdas itu diam-diam memperhatikan bahwa sikap yang mengesankan para jenderal adalah sikap bijaksana modelnya Pangeran Hok-ong, maka Pangeran Kui-ong pun memutuskan untuk ganti haluan agar "laku" di mata para jenderal. Meski sifat Pangeran Kui-ong sendiri pada dasarnya adalah agak kasar dan terlalu blak-blakan, sekarang ia menahan diri dan ikut mengomentari kepergian Pangeran Kong-ong tadi,
"Betul kata Pamanda Hok-ong. Kita ini semuanya sekeluarga, tidak perlu terpecah-belah oleh hal-hal sepele."
Gaya bicaranya juga berbeda dari biasanya. Lembut, tidak meledak-ledak. Justru sikap yang kalem inilah yang menjadi semacam "tanda bahaya" bagi Pangeran Hok-ong, bahwa inilah saingan terberat.
Mereka berjalan cukup jauh dan sampai ke makam Kaisar Yung-lo, raja ketiga dari dinasti Beng, yang terkenal dengan pengiriman armada-armada lautnya ke negeri-negeri yang jauh di bawah pimpinan Laksamana The Ho.
Kaisar Yung-lo ini adalah putera dari Kaisar pertama yaitu Hong-bu, naik tahta setelah memberontak terhadap Kaisar Hui-te, penguasa kedua, yang adalah keponakannya sendiri. Ceritanya, Kaisar Hong-bu menurunkan tahtanya tidak kepada anak-anaknya melainkan langsung kepada cucunya yang kemudian bergelar Kaisar Hui-te.
Tetapi pemerintahan Kaisar Hui-te ini lemah dan morat-marit, maka salah seorang putera Kaisar Hong-bu yaitu Pangeran Yan-ong, memberontak dan berhasil memaksa Kaisar Hui-te kabur ke negeri jauh dengan kapal. Pangeran Yan-ong menobatkan diri menjadi Kaisar Yung-lo, dialah yang memindahkan Ibukota Kerajaan dari yang semula di Lam-khia ke Pak-khia, sampai habisnya dinasti Beng...