Puing Puing Dinasti Jilid 11

Novel silat Mandarin serial Helian Kong seri ketiga, Puing Puing Dinasti Jilid 11 karya Stevanus S.P
Sonny Ogawa

Puing Puing Dinasti Jilid 11 karya Stevanus S.P - KEDUA ilmu silat yang disebutkan "Liao Beng-it" itu adalah silatnya para tukang obat di pinggir jalan, yang sedikit pun tidak dipandang sebelah mata oleh para ahli. "Jadi kedatanganmu ini mau apa?"

Novel Silat Mandarin, karya Stevanus S.P

"Minta obat khusus untuk penyembuhan luka pukulan Tiat-se-ciang."

"Kenapa tidak kau bawa temanmu yang luka itu kemari?"

"Ia terlalu lemah untuk dibawa-bawa kesana-kemari, takut terjadi apa-apa di jalanan."

"Kalau begitu tinggalkan alamatmu, nanti biar kami kirim orang untuk mengantarkan obatnya ke alamatmu."

"Tuan Lam sungguh murah hati, semoga Langit memberkati Tuan, tetapi aku tidak berani merepotkan Tuan dan orang-orang Tuan yang tentunya punya urusan lebih penting dari urusanku. Biar aku menunggu Tuan di sini."

"Kalau begitu, kutuliskan resepnya dan cara mencampurnya. Eh, kau bisa membaca?"

"Bisa, Tuan."

"Nampaknya kau bukan orang kebanyakan, Liao Beng-it."

"Ah, sama dengan yang lain, Tuan Lam."

Seorang pelayan Lam Peng-hi menyodorkan kertas dan pena serta tinta yang sudah digosok dan dicampur air. Lam Peng-hi memperbaiki duduknya, menuliskan resepnya, sambil sekali-sekali menanyai "Liao Beng-it" tentang keadaan temannya yang sakit itu.

Ia menulis cukup lama, dan sering sambil menggerutu, antara lain, "Keadaan di luaran sekarang sudah tidak aman, penjahat-penjahat berkeliaran bebas dan menyusahkan orang. Ada Sepasang Serigala, ada Si Tali Maut, ada Si Pedang Buruk, semuanya berbuat kejahatan demi memburu uang. Ada juga penjahat yang baru muncul, namanya Ek Beng-ti."

Helian Kong berdehem keras sehingga Lam Peng-hi berhenti menulis dan mengangkat wajahnya, "Kenapa?"

"Maaf, cuma..... tenggorokanku agak gatal."

Lam Peng-hi pun melanjutkan menulis, dan melanjutkan gerutunya pula, "Keadaan kacau begini karena tidak ada pemegang kekuasaan yang tunggal, jadi banyak yang mengail di air keruh. Coba andainya kita sudah punya satu Kaisar, tentu keadaan tidak sekacau ini."

"Nah, ini mulai menjurus....." pikir Helian Kong, namun ia diam saja dan terus mendengarkan.

Kata Lam Peng-hi lebih lanjut, "..... yang tidak tahu diri ialah orang-orang yang lebih muda tetapi mau melangkahi yang lebih tua, ingin merebut tahta kekaisaran begitu saja. Kenapa tidak mengalah saja sehingga negeri cepat punya Kaisar dan cepat tenteram dan cepat pula memusatkan perhatian kepada Manchu?"

Helian Kong pun tahu Lam Peng-hi agaknya adalah pendukung Pangeran Hok-ong. Tidak mengagetkan, sebab begitulah sikap sebagian besar orang-orang berpengaruh di Lam-khia. Yang dimaksud dengan "yang lebih tua" tadi siapa lagi kalau bukan Pangeran Hok-ong yang memang adalah paman dari pangeran-pangeran lainnya yang bersaing di ibukota lama dinasti Beng itu?

Diam-diam Helian Kong membatin, "Entah dengan umpan apa Pangeran Hok-ong merangkul orang-orang seperti ini. Yang terang bukan dengan pembagian bubur gratis."

Resep pun selesai ditulis, lalu diberikan kepada "Liao Beng-it". Helian Kong menerimanya sambil bertanya, "Aku harus membayar berapa?"

"Kali ini cuma-cuma."

"Terima kasih, Guru Lam. Kau sungguh berbudi. Aku pamit." Helian Kong pun pergi, diantar oleh murid senior Lam Peng-hi tadi.

Lam Peng-hi kembali sendiri, namun tiba-tiba ia bicara ke arah sebuah penyekat ruangan berlukisan pemandangan alam, yang letaknya belasan langkah dari tempat duduknya, "Sudah kau lihat jelas orangnya?"

Dari balik penyekat ruangan itu muncul seorang yang sebaya dengan Lam Peng-hi, bedanya ini berpakaian kedodoran dan berkepala botak. Karena dia bukan lain adalah Kang-tau Tiat-pang (Si Pentung Besi Kepala Botak) Au Ban-hoa.

Au Ban-hoa menjawab, "Benar. Dialah Helian Kong. Dulu dia dengan licik mengelabuhi aku dengan mengaku sebagai orang gunung biasa yang bernama A-kong, sehingga aku menganggapnya agak remeh dan aku harus membayar mahal, hampir mampus di ujung pedangnya. Sekarang dia mengelabuhimu dengan mengaku bernama Liao Beng-it pula. Hem....." Mata Au Ban-hoa nampak menyala penuh dendam kesumat yang belum terlampiaskan kepada Helian Kong.

Lam Peng-hi berkata, "Tenangkan dulu emosimu, Sobat. Jangan merusak rencana junjungan kita. Jangan apa-apakan dulu Helian Kong."

Au Ban-hoa mengangguk dengan terpaksa, ia menyambar guci arak dan langsung dituang ke tenggorokannya.


Waktu Kongsun Giok mulai sadarkan diri, melihat Siangkoan Heng, maka yang pertama dikatakannya adalah, "Kakak Siangkoan, selamatkan Jenderal The Ci-liong."

Keruan Siangkoan Heng terkesiap. The Ci-liong sebagai perwira paling senior yang dianggap sesepuh dari para perwira yang berkumpul dari berbagai daerah, bahkan menjadi pemimpin tidak resmi yang berwibawa. Kalau sampai sesuatu terjadi dengan jenderal itu, entah apa jadinya dengan situasi di Lam-khia yang sudah semrawut itu, mungkin akan makin semrawut. Para jenderal mungkin akan saling berbeda pendapat tanpa terkendali lagi, sulit dipersatukan lagi seperti pesan Puteri Tiang-ping.

Maka mendengar perkataan Kongsun Giok itu, Siangkoan Heng kaget, lalu bertanya, "Kenapa dengan Jenderal The?"

"Ada komplotan yang mau membunuhnya, aku memergoki mereka dan mendengar pembicaraan mereka, itulah sebabnya aku terluka."

"Rencananya kapan, dan di mana, pembunuhan itu hendak dilaksanakan?"

"Sekarang... tanggal berapa?"

"Empat belas."

Kongsun Giok nampak kaget, ia berusaha bangun namun rebah kembali, mukanya pucat dan napasnya terengah-engah. "Astaga..... tinggal satu hari."

"Kau dengar rencana pembunuhan akan dilaksanakan tanggal lima belas, Adik Giok?"

Kongsun Giok mengangguk lemah.

"Di mana?"

"Saat Jenderal The dalam perjalanan hendak menemui Pangeran Hok-ong."

Telapak tangan Siangkoan Heng berkeringat dingin, bagaimanapun sebagai anak laki-laki almarhum Menteri Siangkoan Hi yang berjiwa patriot, ia tetap peduli dengan nasib negerinya. "Helian Kong harus segera diberitahu." Ia gelisah sendiri.

Waktu itu hari sudah hampir sore, Helian Kong sudah pergi sejak pagi namun sampai sekarang belum kembali juga. Katanya hendak ke rumah Phoa Taijin dulu, lalu mencarikan obat yang tepat untuk Kongsun Giok. Siangkoan Heng sudah nekad hendak untung-untungan menyusul ke rumah Phoa Taijin, sedang adik perempuannya pun tidak dapat mencegahnya. Namun saat ia hampir berangkat, Helian Kong datang dengan melompati dinding belakang.

"Saudara Helian!" sambut Siangkoan Heng agak panik.

Helian Kong mengira paniknya iparnya itu karena mengkhawatirkan Kongsun Giok, maka sambil tertawa dia pun melambaikan bungkusan di tangan kirinya, "Jangan khawatir, kudapatkan obatnya. Bagaimana keadaan Nona Kongsun?"

"Dia membaik, tetapi apa yang dikatakannya sungguh mengejutkan. Katanya dia dilukai karena menguping pembicaraan sekelompok orang yang hendak membunuh Jenderal The Ci-liong."

Helian Kong terkesiap, namun tidak terlalu kaget lagi. Sudah biasa dalam situasi politik yang keruh begitu, ada pihak-pihak yang akan menghalalkan segala cara demi mencapai maksudnya. Apalagi di Lam-khia juga sedang berkeliaran banyak pembunuh bayaran yang "cari pesanan" yang mau disuruh melakukan apa saja terhadap siapa saja asalkan dibayar.

"Apa lagi yang Nona Kongsun katakan?"

"Rencana pembunuhan itu adalah besok, ketika Jenderal The dalam perjalanan untuk menjumpai Pangeran Hok-ong."

"Dari tempat Jenderal The menginap sekarang sampai ke purinya Pangeran Hok-ong ada puluhan li jauhnya. Dan ada pula belasan tempat strategis yang bisa dijadikan titik penghadangan. Di mana menghadangnya?"

"Entahlah, hanya itu yang Nona Kongsun katakan. Silahkan tanya sendiri, ia sudah bisa bicara sekarang."

Helian Kong pun masuk menemui Kongsun Giok, pertama menanyakan kesehatannya, kemudian menanyakan keterangan tentang rencana pembunuhan Jenderal The itu. Ternyata keterangan yang diberikan Kongsun Giok tidak ada tambahannya sedikit pun dengan yang dikatakan Siangkoan Heng tadi. Helian Kong percaya bahwa Kongsun Giok memang tidak tahu lebih dari itu.

Helian Kong cuma menengok isteri dan anaknya sebentar, kemudian ia berkata, "Aku harus memberitahu Li Teng-kok dan kawan-kawannya, agar ada persiapan untuk melindungi Jenderal The."

Kemudian bungkusan obat diserahkannya kepada isteri dan iparnya, "Ini ramuan untuk orang yang kena pukulan Tiat-se-ciang, kutanyakan sendiri dari seorang guru yang ahli pukulan jenis itu. Cara meramunya tertulis di catatannya."

Lalu ia kosongkan kantong-kantongnya dari uang hasil menjual sebutir permata hadiah Pangeran Kong-ong. Uang itu ditaruhnya semua di meja, membuat Siangkoan Yan terbelalak, "Wah, banyak sekali. Uang siapa ini?"

"Uang kita," sahut Helian Kong sambil tersenyum. "Simpanlah, pakai kalau ada keperluan."

Kemudian sore itu juga Helian Kong kembali ke rumah Phoa Taijin. Seperti biasa, yang bersemangat menyambutnya adalah Phoa Bian-li si pemuda remaja yang menganggap dirinya sebagai murid Helian Kong itu. Helian Kong hanya sekedar berbasa-basi dengan tuan rumah, setelah itu mohon dipertemukan langsung dengan Li Teng-kok.

Li Teng-kok heran melihat Helian Kong datang lagi. Baru pagi tadi Helian Kong datang mengambil sebagian kecil dari hadiahnya, apakah sekarang akan mengambil lagi? Tetapi berita yang dibisikkan Helian Kong ke kuping Li Teng-kok membuat perwira dari Se-cuan itu terkejut dan gusar.

"Sungguh hebat rencana orang jahat itu. Jenderal The ibarat tali pengikat di antara para panglima yang berkumpul di Lam-khia saat ini. Kalau sampai dia terbunuh, akan timbul saling curiga, para panglima militer akan mengambil langkah sendiri-sendiri dan sulit dipersatukan kembali. Sungguh, komplotan mana yang sejahat itu?"

"Seperti pernah kukatakan dalam perjamuan dulu, Saudara Li, bisa jadi ini adalah ulah sisa-sisa kaum Pelangi Kuning yang berpikiran sempit dan masih mendendam kepada dinasti Beng."

"Atau....."

"Kenapa, Saudara Li? Kenapa berhenti bicara? Atau apa?"

"Ah, prasangkaku berlebihan. Lebih baik tidak kukatakan."

"Tidak ada yang berlebihan dalam keadaan sekalut ini, Saudara Li. Ada banyak hal yang di luar perkiraan bisa terjadi. Katakan saja, kita patut mempertimbangkan berbagai kemungkinan."

Li Teng-kok menarik napas dengan wajah murung karena prihatin, "Selain kemungkinan ulah kaum Pelangi Kuning, juga bisa ulah..... pihak-pihak yang tidak senang kalau Pangeran Hok-ong akan semakin kuat peluangnya."

Tanpa tunjuk hidung pun Helian Kong paham pihak-pihak mana yang dimaksudkan oleh Li Teng-kok. Siapa lagi kalau bukan para pangeran saingan Pangeran Hok-ong? "Masuk akal, Saudara Li. Tetapi Pangeran manapun yang melakukan itu tentulah pangeran yang tolol. Kurang memperhitungkan bahwa tindakannya itu bisa merenggangkan hubungannya dengan kalangan kita, karena Jenderal The adalah sesepuh terhormat di kalangan kita."

"Tentu dalangnya akan memakai taktik kuno 'lempar batu sembunyi tangan' sehingga apabila orang-orang suruhannya berhasil, ia akan menikmati hasilnya. Sebaliknya kalau gagal, ia dengan mudah mencuci tangan dan pura-pura tidak bersalah."

"Sekarang yang penting adalah mengamankan Jenderal The."

"Saudara Helian ada akal?"

Helian Kong membisiki telinga Li Teng-kok, lalu Li Teng-kok mengangguk-angguk setuju. Kata Helian Kong tanpa berbisik lagi, "Jangan dibocorkan kepada siapa-siapa dulu. Pokoknya besok rencana ini kita jalankan secara mendadak."

"Baik, baik."

Helian Kong kemudian meninggalkan tempat itu. Sebelum pulang, Phoa Bian-li memohonnya sungguh-sungguh untuk diajari. Maka Helian Kong mengajarkan sebuah jurus tangan kosong dan sebuah tipu pedang, yang membuat Phoa Bian-li kegirangan. Habis itu barulah Helian Kong pulang.


Esok harinya, bahkan sebelum fajar menyingsing, Helian Kong sudah bangkit meninggalkan isterinya yang masih nyenyak di sebelahnya. Langsung menuju rumah Phoa Bian-li melalui jalanan yang masih berkabut dan tak ada seorang pun manusia.

Tetapi sepagi itu ternyata Li Teng-kok dan teman-temannya, para perwira dari Se-cuan, sudah berseragam rapi semuanya. Tanpa banyak omong, mereka lalu berangkat bersama-sama Helian Kong ke rumah besar yang didiami Jenderal The, yang rencananya hari itu akan mengadakan kunjungan ke puri kediaman Pangeran Hok-ong.

Dalam iring-iringan yang meninggalkan rumah Phoa Taijin itu, hanya Helian Kong yang tidak mengenakan seragam militer. Ia tetap dengan dandanan rakyat kecilnya yang sederhana, meskipun dengan gagah menunggang kuda pinjaman.

Waktu tiba di tempat kediaman Jenderal The, yang dikawal ketat oleh pengawal-pengawal Jenderal The sendiri yang dibawa dari Hok-kian, langit sudah agak cerah. Pengawal-pengawal Jenderal The sudah dipesan agar membiarkan rombongan Li Teng-kok dan panglima-panglima lain langsung masuk. Maka Li Teng-kok dan kawan-kawannya tidak mengalami hambatan berarti.

Ternyata rombongan Jenderal Thio Hong-goan dari Ciat-kang yang akan bersama-sama mengunjungi Pangeran Hok-ong, belum berkumpul di situ. Juga rombongan orang-orang dari Hun-lam dan Kui-sai. Li Teng-kok jadi lebih leluasa untuk menjumpai Jenderal The dan anaknya, Laksamana The Seng-kong, dengan hati-hati memberitahu tentang rencana pembunuhan itu.

Jenderal ubanan dan berjenggot putih itu ternyata bernyali besar. Mendengar kisikan itu, ia malah tertawa sambil mengelus jenggotnya, "Wah, aku kira batok kepalaku ini sudah tidak ada harganya, ternyata masih ada juga yang berani pasang harga tinggi di atas kepalaku. Ha-ha-ha..."

Kalau Sang Ayah menanggapinya dengan tenang, yang kelabakan adalah anaknya, The Seng-kong. Katanya, "Ayah, harap menanggapi dengan sungguh-sungguh peringatan yang dibawa Saudara Li dan Saudara Helian."

"Siapa bilang aku tidak menanggapinya sungguh-sungguh?"

Helian Kong ikut bicara, "Jenderal, sekiranya Jenderal berkenan, aku dan Saudara Li sudah punya rencana untuk mengecoh pembunuh-pembunuh itu."

"Bagaimana?"

"Aku akan menyamar jadi Jenderal, biar pembunuh-pembunuh itu menyerang aku....." kata Helian Kong. "Jenderal sendiri dengan pengawalan yang kuat tetapi terselubung, akan mengambil jalan yang lain sampai ke kediaman Pangeran Hok-ong."

"Helian Kong, kenapa harus kau yang menempuh bahaya buat aku yang sudah tua dan memang sudah dekat liang kubur ini? Sedang kau masih muda, kesetiaan dan kemampuanmu masih dibutuhkan oleh negeri ini? Kau kira aku takut mati sehingga harus mengorbankan tunas muda seperti kau?"

Helian Kong menahan senyum melihat semangat yang masih menggebu dari jenderal tua ini. Katanya, "Tidak ada yang meragukan keberanian Jenderal. Masalahnya sekarang Jenderal di Lam-khia ini adalah tali pengikat para panglima dari berbagai daerah yang berkumpul di sini. Kalau pembunuh-pembunuh itu..... maaf, berhasil, para panglima akan seperti sapu lidi yang diambil pengikatnya. Negeri ini juga susah diselamatkan lagi."

"Benar, Ayah," dukung The Seng-kong yang mencemaskan ayahnya.

"Tetapi Helian Kong lalu dikorbankan....."

The Ci-liong masih hendak mendebat, tetapi Li Teng-kok menukasnya sambil tertawa, "Saudara Helian tidak dikorbankan. Penjahat-penjahat itulah yang dikorbankan kalau mereka ketemu Saudara Helian."

Akhirnya The Ci-liong bersedia menerima rencana itu. Tetapi rencana itu hanya diketahui mereka berempat. Dan nanti bila tiba saatnya berangkat, hanya sepuluh pengawal pribadi terbaik The Ci-liong yang akan diberitahu untuk mengawalnya lewat jalan lain. Sedang dalam arak-arakan megah yang mencolok mata hanya akan ada The Ci-liong palsu yang diperankan Helian Kong.

Maka Helian Kong pun sibuk dirias, dimirip-miripkan sepersis mungkin dengan The Ci-liong. Rambut hitamnya diputihkan, dipasangi kumis dan jenggot putih. Perutnya diganjal sedikit karena perut The Ci-liong agak gendut dan perut Helian Kong ramping. Biarpun Helian Kong bukan jagoan menyamar, tetapi samarannya lumayan juga.

Sementara itu, Jenderal Thio Hong-goan dan rombongannya sudah datang pula. Yang menjumpainya untuk bercakap-cakap ialah The Ci-liong asli, sementara The Ci-liong palsunya masih bersembunyi di kamar. Begitu pula waktu menyambut rombongan orang-orangnya Bangsawan Bok Thiam-po dari Hun-lam, yang dipimpin Im Hai-lip.

Waktu orang-orang menanyakan kenapa Helian Kong tidak kelihatan, Li Teng-kok sambil tertawa menjawab bahwa Helian Kong sedang punya "suatu tugas istimewa."

Tiba saatnya berangkat, Helian Kong yang sudah mirip The Ci-liong itu menyelinap ke dalam tandu bertirai tipis yang dibawa masuk sampai ke halaman tengah. Langsung berangkat dengan Laksamana The Seng-kong berkuda di samping tandu itu sehingga orang akan benar-benar mengira Jenderal The Ci-lionglah yang dalam tandu itu.

Sedikit yang tahu bahwa Jenderal The yang asli sudah menyelinap dengan tandu lain yang bercat kusam lewat pintu belakang, hanya diiringi sepuluh pengawal pribadi terbaiknya, yang juga menyamar.

Sementara itu, iring-iringan Jenderal The gadungan sengaja dibuat menarik perhatian, pakai genderang dan bendera segala, hingga orang-orang di pinggir jalan menepi. Pertanyaan-pertanyaan dari perwira-perwira di sepanjang jalan dilayani oleh The Seng-kong.

Biarpun masih dalam lingkungan tembok kota Lam-khia, tetapi banyak tempat-tempat sepi yang diperkirakan bisa dijadikan titik penghadangan. Maka setiap melewati tempat sepi, pengawal- pengawal "Jenderal The" berwaspada. Sambil jalan, Li Teng-kok juga membisiki Thio Hong-goan tentang kabar rencana pembunuhan itu.

Setengah perjalanan, akhirnya pembunuh-pembunuh itu muncul juga. Ketika melewati sebuah jalan sepi dengan pohon-pohon di kiri kanannya dan jembatan kecil di depan, tiba-tiba dua pengawal yang berjalan paling depan bersuara tertahan, masing-masing roboh dengan mata melotot karena leher mereka ditembus anak panah berukuran pendek.

"Awas serangan!" komandan pengawal pribadi Jenderal Thio berteriak sambil menghunus pedangnya. Pengawal-pengawal pribadi Jenderal The bercampur dengan anggota rombongan para jenderal lainnya, segera mengatur diri. Mereka secara perorangan memang bukan pendekar-pendekar tangguh, namun mereka pun prajurit-prajurit yang dilatih menghadapi bermacam keadaan.

Sementara dari pepohonan muncul hujan panah. Panah-panah pendek. Sialnya para pengawal tidak ada yang membawa perisai karena mereka memang bukan berangkat perang. Maka mereka hanya coba menangkis panah-panah pendek itu dengan senjata-senjata mereka yang dikibas-kibaskan sekenanya.

Untung di antara para pengawal pribadi itu ada juga beberapa pesilat tangguh. Mereka tidak bertahan saja di tempat, melainkan dengan berani menyerbu maju ke arah pepohonan.

Seorang pengawal pribadi yang tubuhnya pendek, bersenjata siang-khek (sepasang tombak pendek), memutar senjatanya bagaikan dua gulung cahaya yang menyelubungi tubuh pendeknya, geraknya lincah bagaikan seekor kelinci liar melompat-lompat menuju ke balik sebuah pohon besar.

Pemanah yang bersembunyi di balik pohon itu pun sadar, tidak akan bisa lagi main panah. Sebelum terlambat membela diri, ia letakkan busur panah pendeknya dan menghunus senjatanya yang sepasang. Tangan kiri mengenakan sarung tangan kuku serigala sampai sebatas siku, tangan kanan memegang tongkat penuh gerigi macam gigi serigala yang disebut Long-ge-pang (Pentung Gigi Serigala).

Dari dalam joli, Helian Kong yang menyamar jadi Jenderal The itu kaget melihat orang yang pertama ke luar dari persembunyian itu, yang bukan lain adalah orang tertua dari Siang-long (Sepasang Serigala), yang bernama Cong Liu, pembunuh bayaran dari Kam-siok. Biarpun orang itu mengenakan kedok dari kain, tetapi Helian Kong tetap mengenali sepasang senjatanya yang unik dan juga gaya tempurnya. Karena Helian Kong pernah "bekerja-sama" dengan orang ini waktu Helian Kong menyamar jadi Ek Beng-ti dulu.

Helian Kong heran karena ia tahu dulu Sepasang Serigala itu dibayar oleh Pangeran Hok-ong, untuk menghentikan menyebarnya cerita lama tentang wihara yang digusur itu? Kenapa sekarang justru menghadang calon tamu Pangeran Hok-ong yang bisa menguntungkan posisi Pangeran Hok-ong? Helian Kong geleng-geleng kepala sambil membatin, "Dasar pembunuh bayaran, sebentar memihak sini, sebentar memihak sana, asal ada uangnya."

Demikian perkiraan Helian Kong tentang Cong Liu. Si pendek bersenjata sepasang tombak pendek langsung menggebrak lebih dulu dengan sepasang senjatanya yang menggempur ke dua sisi wajah lawannya dengan gerak tipu Ji-kui-pak-bun (Dua Setan Menggedor Pintu). Cong Liu merunduk dan menerkam, cakar serigala di tangan kirinya coba merobek ke perut lawannya, sedang tongkat gigi serigalanya untuk berjaga-jaga. Dua orang itu segera saling terjang dengan hebat, nampaknya seimbang.

Para pengawal pribadi Jenderal The lainnya juga beberapa sudah berhasil memaksa pemanah-pemanah gelap itu untuk muncul dan meladeni dalam pertempuran jarak dekat. Begitulah, di sekitar joli itu kemudian berkobar pertempuran hebat.

Jenderal Thio Hong-goan, Li Teng-kok dan kawan-kawannya, Im Hai-lip dan kawan-kawannya pula, bahkan Laksamana The Seng-kong sendiri, secara pribadi sudah terlibat dalam pertempuran. Orang-orang militer itu bukan pesilat-pesilat ulung, sekarang menghadapi kawanan pembunuh bayaran yang rata-rata mahir dalam pertarungan perorangan, mereka merasakan kerepotan juga.

"Kita bekerja sama!" seru Li Teng-kok kepada rekan-rekannya.

Orang-orang militer itu sebisa-bisanya menerapkan "ilmu militer" mereka dalam kerja sama. Maka mereka jadi tidak terlalu kerepotan menghadapi para pembunuh bayaran yang jumlahnya ternyata 30 orang lebih dan semuanya ganas-ganas itu. Meskipun sudah bekerja sama, tetap saja terasa beratnya tekanan musuh.

Di pihak para pengawal, yang tidak membutuhkan kerja sama agaknya hanyalah pemimpin rombongan orang-orangnya Bok Thiam-po dari Hun-lam, yaitu Im Hai-lip yang berjuluk Thai-hong-si (Kipas Prahara). Lelaki ganteng setengah baya yang selalu berjubah sastrawan ini memang berilmu tinggi. Dan ia sendiri dengan senang hati memamerkan ilmunya di gelanggang pertempuran itu.

Langkahnya ringan seperti air mengalir waktu ia memasuki gelanggang, sambil berseru menggertak, "Kawanan celurut, kalian bermain-main nyawa kalian sendiri di depan Si Kipas Prahara!"

Kipasnya mengebut berulang kali, maka di tempat itu seakan muncul badai besar yang mengangkat pasir, debu dan daun-daun kering yang "ditiupkan" ke arah kawanan pembunuh bayaran. Banyak pembunuh bayaran yang jadi terganggu gerak-geriknya karena harus menjaga agar mata mereka tidak kemasukan pasir.

Dalam joli, Helian Kong mengangguk-angguk melihat kehebatan Im Hai-lip ini, sambil mengomentari dalam hati, "Orang ini agak sombong, tetapi kepandaiannya memang tinggi."

Sementara dari antara kawanan pembunuh bayaran itu, Helian Kong kenali juga orang kedua dari Sepasang Serigala, yaitu Cong Seng, ada lagi Sai-hong-kiam (Pedang Secepat Angin) Giam Bin-tong, semuanya pernah disewa tenaganya secara tidak langsung oleh Pangeran Hok-ong.

Sekarang mereka melakukan perbuatan yang bisa merugikan Pangeran Hok-ong, mungkin sekali mereka sudah berganti majikan. Di kalangan pembunuh bayaran tidak dikenal etika "mengabdi" dengan setia sampai mati kepada satu majikan. Yang membayar, itulah majikannya.

Selain orang-orang yang sudah Helian Kong kenali itu, juga banyak yang belum Helian Kong kenali, tetapi menunjukkan kwalitas yang tidak kalah dari Sepasang Serigala ataupun Si Pedang Secepat Angin. Lalu Helian Kong mengenali pula satu orang lagi, yaitu Kui-tau-to (Golok Kepala Setan) Hap Yu-hoat, juga pernah bekerja sama dengan "Ek Beng-ti" untuk "membunuh Helian Kong".

Helian Kong mengamati pertempuran itu, dan menaksir bahwa pihak para pengawal mendapat kesulitan besar menghadapi para pembunuh bayaran berkedok itu. Beberapa pengawal sudah roboh atau minggir karena luka-lukanya dan tak mampu bertempur lagi.

Memang Im Hai-lip masih kelihatan gagah perkasa dengan Kipas Praharanya, namun dia pun sudah mendapatkan tandingan rupanya. Yaitu Si Pedang Secepat Angin Giam Bin-tong. Kedua jagoan yang sama-sama angkuh dan sama-sama ingin mengangkat nama di Lam-khia itu segera terlibat pertarungan mati-hidup berkecepatan tinggi. Segala tipu-tipu mematikan langsung diboyong keluar semua.

Senjata mereka nampak menjadi berpuluh-puluh banyaknya saking cepatnya bergerak dan entah sudah berapa ratus kali berbenturan. Kipas Im Hai-lip kelihatannya terbuat dari kayu dan kertas belaka, namun setelah beradu dengan pedang Giam Bin-tong, segera terbukti bahwa kipas itu agaknya dibuat dari baja dan benang-benang baja, hanya warnanya dibuat sedemikian rupa sehingga orang menyangka dibuat dari kayu dan kertas.

Pertempuran sudah terasa berat bagi para pengawal, padahal pihak para pembunuh bayaran masih punya satu rencana "simpanan" yang belum keluar. Rupanya serangan gelombang pertama itu hanya sebagai taktik untuk mengendorkan penjagaan atas diri Jenderal The. Begitu para pengawal sudah sibuk, mereka akan menjalankan langkah berikutnya, membunuh Jenderal The Ci-liong.

Waktu itu para pembunuh bayaran agaknya merasakan sudah tiba saatnya untuk "membunuh Jenderal The". Maka terdengar salah satu bersuit panjang. Lalu dari depan, dari arah jembatan, tiba-tiba muncul seorang lelaki tegap terbungkus pakaian ringkas serba hitam dan kedok hitam pula. Pada pundak kirinya mencuat gagang empat batang lembing pendek yang digendongnya, begitu pula di pundak kanannya. Total dia membawa delapan lembing pendek.

Dengan langkah tenang dan mata tajam menusuk, dia melangkah dari jembatan menuju ke joli yang disangkanya berisi Jenderal The Ci-liong. Untuk sampai ke joli, tentu harus melewati orang-orang yang bertempur, namun Si Serba Hitam ini enak saja melangkah terus tanpa memperhatikan orang-orang di sekitarnya.

Dalam joli, Helian Kong waspada. Si Serba Hitam dengan delapan lembing ini kelihatannya yang paling berbahaya di antara para pembunuh bayaran. Tentu dengan pertimbangan masak bahwa dia dipilih sebagai "kartu truf" dari rencana pembunuhan itu. Dua orang pengawal pribadi Jenderal The menghadang Si Serba Hitam dengan pedang-pedang mereka.

Tetapi Si Serba Hitam dengan tangkas menyelinap-nyelinap di antara sabetan-sabetan kedua pedang itu, tahu-tahu kedua tangannya sudah mencengkeram lengan-lengan yang menggenggam pedang dari kedua penyerangnya, lalu dengan gerak yang susah diikuti mata, penyerang sebelah kiri jadi menusuk penyerang sebelah kanan dan sebaliknya, pedang-pedang mereka menembus tubuh teman-teman mereka sendiri.

Helian Kong menarik napas, "Gong-jiu-jip-pek-to (Tangan Kosong Menyelinap Seratus Pisau) yang sudah dilatih matang."

Kemudian Si Serba Hitam dengan delapan lembing itu meraih sebuah lembing pendek dari belakang pundaknya. Sekejap kemudian lembing itu pun meluncurlah bagai kilat, menembus tirai joli.

Helian Kong sengaja tidak menghindar, dengan gerak bernyali besar yang diperhitungkannya dengan amat tepat, ia membiarkan lembing itu menyusup di ketiaknya lalu dijepitnya kuat. Sengaja Helian Kong memperdengarkan suara seperti ia benar-benar kena.

Keruan Si Serba Hitam dengan delapan lembing itu kegirangan, sikapnya yang angkuh kukuh bagaikan gunung es itu kontan "mencair" dalam lonjakan kegirangan, disertai teriakan, "Teman-teman, aku berhasil! Mampuslah jenderal tua dari Hok-kian itu!"

Keruan para pembunuh bayaran pun ikut kegirangan, membayangkan hadiah besar yang dijanjikan oleh orang misterius yang mengupah mereka. Orang misterius yang entah dari pihak mana, pokoknya menyuruh mereka membunuh Jenderal The.

Sebaliknya para pengawal pribadi terkejut, meskipun mereka tahu yang di dalam joli itu bukan Jenderal The sungguhan melainkan Helian Kong, mereka tak menduga Helian Kong yang kabarnya hebat itu kok begitu gampang dihabisi?

Li Teng-kok yang paling akrab dengan Helian Kong adalah yang paling cemas. Ia tinggalkan lawannya dan berlari ke arah joli. Namun sebelum ia tiba dekat joli, tiba-tiba terlihat atap joli itu mencelat berputar di tengah udara, bahkan kemudian terbang berputar-putar seperti bernyawa.

Agaknya Helian Kong juga sedang tergelitik untuk ikut-ikutan pamer kepandaian. Tubuhnya menyusul mencelat naik melalui bagian atas joli yang sudah berlubang, lalu sepasang kakinya hinggap di atap joli yang masih berputaran itu, begitu ringan tanpa bobot.

Helian Kong yang masih menyamar sebagai Jenderal The Ci-liong itu tertawa terbahak sambil berteriak, "He, tikus-tikus busuk, kalian ingin membunuhku bukan? Ayo, arahkan semua senjata kepadaku."

Si Serba Hitam dengan delapan lembing yang sekarang tinggal tujuh itu pun kaget melihat itu. Bukan saja lemparan andalannya gagal, tetapi juga melihat ilmu meringankan tubuh yang sedemikian mahir.

Namun pembunuh bayaran ini tidak mau mengecewakan si "pemberi order", dengan gerakan cepat kedua tangannya, seolah-olah ia jadi memiliki tiga pasang lengan, berturut-turut ia sambitkan tujuh lembing yang masih tersisa padanya.

Helian Kong melompat bersalto beberapa kali, meninggalkan "kendaraan terbang"nya yang kemudian berputar-putar menabrak pohon, sekilas nampak ia seperti berhasil dikenai oleh lembing-lembing pendek yang beterbangan itu.

Namun waktu ia mendarat di tanah, ternyata tujuh lembing yang dilontarkan musuh, ditambah satu yang permulaan tadi, semuanya hanya terjepit di ketiak kanan dan kiri. Kalau dilihat sekilas seperti menancap di tubuh, tapi tidak. Sambil tertawa, Helian Kong sedikit merenggangkan jepitan kedua ketiaknya, maka runtuhlah ke delapan lembing pendek itu ke tanah.

Para pembunuh bayaran melongo, pertempuran berhenti dengan sendirinya. Tanpa sepatah kata pemberitahuan pun para pembunuh itu sadar bahwa mereka sudah salah sasaran. Yang tidak berhenti bertempur adalah Im Hai-lip Si Kipas Prahara dan Giam Bin-tong Si Pedang Secepat Angin.

Mereka bertarung di suatu tempat yang agak jauh dari gelanggang. Bagi kedua jagoan itu, agaknya motif perkelahian sudah berubah, bukan soal yang satu ingin membunuh Jenderal The dan yang lain ingin membelanya, bukan itu, melainkan ambisi pribadi yang biasanya dimiliki kaum pendekar untuk menentukan siapa yang lebih unggul.

Si Serba Hitam pelempar lembing-lembing tadi menggeram. Ia nampak kecewa dan gusar, merasa dibodohi, dipermalukan. Katanya dengan mata bersinar kejam menakutkan, "Kau bukan tua bangka The Ci-liong itu. Siapa kau?"

Laksamana The Seng-kong menggeram marah pula, mendengar sebutan tidak hormat kepada ayahnya itu. Namun ia membiarkan Helian Kong sendiri yang menangani.

Sahut Helian Kong, "Siapa diriku, akan kuberitahu apabila kalian juga memberitahu siapa yang menyuruh kalian!"

Sementara itu, di pihak para pembunuh bayaran, Sepasang Serigala Cong Liu dan Cong Seng serta Si Golok Kepala Setan Hap Yu-hoat merasa seakan-akan mengenal suara orang yang menyaru Jenderal The itu, tapi kapan dan di mana mereka tak dapat mengingat-ingat. Mereka memang terlalu singkat berkenalan dengan "Ek Beng-ti".

Helian Kong tahu sebenarnya, para pembunuh itu takkan bakal bisa memberi tahu siapa "pemberi order" mereka yang tentu bekerja secara rahasia. Ia bicara asal bicara saja.

Si Serba Hitam agaknya orang yang tidak gampang runtuh nyalinya biarpun sudah melihat pameran kehebatan Jenderal The gadungan ini. Ia mengeluarkan senjatanya yang lain, rantai yang tadi dilibatkan di pinggangnya. Kedua ujung rantai itu ada bola-bola besinya sebesar jeruk.

Sebagai jawaban dari pertanyaan Helian Kong tadi, ia putar rantainya, lalu bola besi di ujung kanan rantainya membandring deras ke pelipis Helian Kong. Helian Kong menunduk, membiarkan bola besi itu lewat berdesing, namun bola yang lain tahu-tahu sudah meluncur datang.

Sejak tadi Helian Kong sudah tidak berani meremehkan orang ini, dan sadar kalau ia menghadapi orang ini akan "berolah-raga" cukup keras. Ia cuma berharap mudah-mudahan kumis dan jenggot palsunya tidak copot.

Dengan sepasang tangan kosongnya Helian Kong menghadapi bandringan berkepala ganda. Ternyata teknik bandringan orang itu memang cukup tinggi. Seluruh gelanggang seperti dipenuhi bayangan rantai dan bola-bola besinya dengan berbagai macam variasi serangan.

Tetapi Helian Kong seperti segumpal asap yang sulit disentuh, ia seperti sehelai kapuk yang melayang-layang oleh gerakan angin sekecil apapun. Deru angin yang diakibatkan gerak rantai dan bandringan itu malah dimanfaatkan oleh Helian Kong sebagai "tenaga pendorong" untuk tubuhnya yang bergerak cepat kian kemari. Jenggot putih palsunya melambai-lambai bersama jubahnya.

Meski kelihatannya sekedar "menunggangi angin" namun apabila Helian Kong balas menggempur gencar dengan anggota-anggota badannya, deru angin yang lebih keras akan bangkit dan membuat rantai lawan "berkibar" sulit dikendalikan. Si Serba Hitam sendiri dipaksa berlompatan menghindari pukulan Helian Kong dengan panik, sambil mencarikan ruang gerak bagi bandringannya yang tidak bisa untuk pertempuran jarak dekat.

Baik para pembunuh bayaran maupun pengawal-pengawal Jenderal The sekarang tidak lagi bertempur, melainkan sibuk merawat yang luka-luka atau tewas di kedua pihak, kemudian menonton pertarungan antara Helian Kong dan Si Serba Hitam itu. Ada juga pertempuran lain antara Im Hai-lip dan Giam Bin-tong, namun kalah seru dibandingkan Helian Kong dan Si Serba Hitam itu.

Para pembunuh bayaran kehilangan nafsu untuk melanjutkan pertempuran, sebab toh sasaran mereka yaitu Jenderal The Ci-liong ternyata tidak ada di tempat itu. Mereka akan kehilangan upah yang dijanjikan si "pemberi order" namun mereka tidak mau kehilangan kesempatan menonton pertarungan dahsyat itu.

Sebenarnya Si Serba Hitam sendiri sudah sangat memaksakan diri hingga bisa bertahan sampai detik itu. Ia memaksakan diri karena ditonton kawan-kawannya, malu kalau sampai kalah padahal ia adalah yang paling dijagokan dan diberi tugas terpenting yaitu menjadi algojo bagi nyawa Jenderal The. Namun sekarang ia merasa di bawah tekanan yang makin berat menghadapi Jenderal The gadungan ini...

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.