Puing Puing Dinasti Jilid 12 karya Stevanus S.P - HELIAN KONG sering berhasil menampar bola-bola besi itu dengan telapak tangannya sehingga berbalik mengancam tuannya sendiri, atau arahnya jadi kacau. Kadang-kadang bola besi itu hampir menghantam jidatnya sendiri, atau rantainya hampir membelit diri sendiri, dan selagi ia harus mengendalikan itu maka Helian Kong sudah menyerbu dengan pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan gencar.
Dan pada gebrakan yang ke sekian puluh, malah Helian Kong bisa menebak siapa Si Serba Hitam. Kata Helian Kong sambil tertawa namun tanpa mengendorkan serangannya, "kau adalah Hek-yan-cu (Si Walet Hitam) Nyo Tiang-le, bukan? Rupanya di tempat asalmu tenagamu sudah tidak laku kau tawar-tawarkan, lalu kau cari pasaran di Lam-khia ini. Tetapi hari ini pun akan kubuat rusak pasaranmu!"
Itulah penghinaan tidak kepalang-tanggung, sekaligus juga membuat Si Serba Hitam itu merasa kalah. Lawannya sudah berhasil menyebut siapa dirinya, sebaliknya ia belum tahu siapa lawannya yang menyamar seperti Jenderal The Ci-liong itu.
Si Walet Hitam Nyo Tiang-le akhirnya memutuskan untuk kabur saja. Ia memperpendek pegangannya atas rantai bandringnya, gerak-geraknya sekarang adalah gerak-gerak bertahan dengan lebih banyak rantai digulung di lengan sendiri.
Di suatu kesempatan, sepasang bandring yang rantainya sudah dipegang pendek itu menyerang bertubi-tubi, namun serangan tidak dilanjutkan, sebab Nyo Tiang-le segera melompat kabur. Kawan-kawannya ditinggal begitu saja. Bisa dimaklumi, yang disebut "kawan" itu hanyalah sesama orang upahan yang tidak terikat rasa setia-kawan sedikitpun.
Kawan-kawannya yang lain pun kabur berhamburan. Yang tidak bisa kabur adalah Si Pedang Secepat Angin Giam Bin-tong yang bertarung dengan Si Kipas Prahara Im Hai-lip. Pertarungan kedua jagoan itu sebenarnya seimbang benar, tapi jadi tidak seimbang sebab semangat Giam Bin-tong merosot setelah melihat kawan-kawannya kabur meninggalkannya begitu saja. Ia segera merasa kewalahan.
Sedang Im Hai-lip tidak mau melepaskannya. Pendekar berjubah sastrawan yang sangat berambisi mengangkat nama itu, kini merasa agak kalah pamor oleh Helian Kong yang sudah menunjukkan kepandaian begitu tinggi. Untuk "mengembalikan pamor" ia ingin menunjukkan kemenangan mutlak atas lawannya, artinya pertarungan harus diakhiri dengan terbunuhnya salah satu.
Baru saja Helian Kong hendak memohon agar Im Hai-lip berusaha menangkap hidup-hidup Giam Bin-tong agar bisa ditanyai, mendadak sudah terdengar Giam Bin-tong memekik perlahan lalu terkapar. Ternyata untuk mempercepat tercapainya kemenangan, Im Hai-lip melepaskan senjata rahasianya. Dengan sebuah tekanan khusus di tangkai kipasnya, sebatang jeruji kipas melompat keluar dari tempatnya dan langsung menancap di leher Giam Bin-tong yang tidak menduganya.
Menatap mayat lawannya, Im Hai-lip mengipas-ngipas dirinya, dengan sikap bangga berkata, "Julukannya saja yang seram, Si Pedang Secepat Angin. Ternyata kemampuannya cuma begini saja."
Sementara itu, para pembunuh yang lari berpencaran itu pun ternyata tidak bisa lari jauh, sebab dari arah depan di seberang jembatan, tiba-tiba muncul regu pengawal pribadi Pangeran Hok-ong yang menghadang mereka. Komandan regu pengawal pribadi itu berteriak, "Menyerahlah! Jangan ada yang lari! Atau kami tembak!"
Regu pengawal pribadi Pangeran Hok-ong itu memang membawa senjata-senjata api buatan Portugis. Pembawa senjata api segera berderet dan berjongkok dalam posisi menembak, sumbu senjata apinya sudah dinyalakan. Para pembunuh bayaran itu jadi tambah panik. Si Walet Hitam Nyo Tiang-le memang berkepandaian paling tinggi, dengan gerak cepatnya dia berhasil menghilang ke arah pepohonan di kedua tepi jalan.
Tetapi pembunuh-pembunuh yang sudah terlanjur lari ke jembatan, jadi panik karena ujung jembatan sebelah sana sudah tersumbat moncong-moncong senapan. Yang kurang berpikir panjang langsung menerjang sambil berteriak dan mengangkat senjatanya, tentu saja sebelum senjata mereka mengenai para pengawal Pangeran Hok-ong itu, peluru sudah lebih dulu menembus tubuh mereka.
Ada juga yang melompati pagar jembatan dan mencebur ke sungai, lalu berenang menjauh. Namun mereka pun banyak yang menjadi mangsa peluru, sehingga tubuh-tubuh mereka mengambang di sungai. Hanya dua tiga orang yang dapat berenang dengan cepat atau menyelam, yang dapat lolos lewat air.
Lewat hutan kecil itu juga ada empat lima orang yang lolos, selebihnya kalau tidak terbantai peluru, ya menyerah karena masih ingin hidup. Ada kira-kira sepuluh orang yang tertangkap hidup-hidup, di antaranya adalah si "serigala kedua" Cong Seng dan Si Golok Kepala Setan Hap Yu-hoat, sedangkan si "serigala pertama" agaknya berhasil kabur karena mayatnya tidak ada di antara mayat-mayat yang tertembak.
Komandan regu senjata api dari istananya Pangeran Hok-ong itu seorang pemuda gagah, jubah biru lautnya diikat sabuk keemasan lebar di pinggangnya, dengan pedang indah tergantung di lambung kanannya. Ia memakai topi berbentuk kubus hitam dengan hiasan batu giok hijau di jidatnya dan bulu burung menghiasi topinya.
Dengan langkah gagah dia mendekati para jenderal, lalu memberi hormat sambil memperkenalkan dirinya, "Namaku Mo I-thian, komandan pengawal pribadi Pangeran Hok-ong. Aku mohon maaf akan keterlambatan kami sehingga cecunguk-cecunguk ini sempat menyusahkan Tuan-tuan."
Li Teng-kok yang mewakili para jenderal, "Terima kasih, Saudara Mo. Bagaimana Saudara bisa mendengar yang terjadi di sini, sedang kediaman Pangeran Hok-ong masih jauh?"
"Jenderal The sudah tiba di istana dalam keadaan menyamar. Pangeran kaget, Jenderal The menceritakan semuanya, lalu Pangeran mengirim kami ke sini."
"Apakah Ayahku selamat?" tanya Laksamana The Seng-kong.
"Dia selamat, sekarang sedang bersama Pangeran menunggu Tuan-tuan."
Helian Kong belum mau melucuti kumis dan jenggot palsunya, sebab di antara tawanan masih ada "serigala kedua" Cong Seng dan Golok Kepala Setan Hap Yu-hoat yang mungkin mengenalinya. Kata Helian Kong, "Tawanan-tawanan itu mau diapakan?"
"Pangeran Hok-ong menyuruh sebisa-bisanya menangkap mereka hidup-hidup. Untuk diperas keterangannya."
Helian Kong tahu usaha itu takkan menghasilkan apa-apa. Si "pemberi order" pembunuh-pembunuh bayaran itu pastilah bersembunyi rapat-rapat di belakang tirai. Namun Helian Kong diam saja, tidak ingin mengecilkan hati.
Mereka kemudian meninggalkan tempat itu dalam rombongan gabungan yang besar. Helian Kong berjalan kaki, tidak berada dalam joli lagi karena sungkan kepada jenderal-jenderal yang lebih senior. Lagi pula jolinya sudah dijebol atapnya oleh Helian Kong sendiri tadi.
Baru rombongan itu melewati jembatan, kembali sudah terjadi peristiwa, namun kali ini tidak berbahaya, bahkan agak "menghibur". Sebab di tempat itu tiba-tiba berlari-lari datang tiga pemuda berdandan keren dan membawa pedang yang bagus pula. Satu orang beralis tebal, satu lagi bermuka tembem kemerah-merahan seperti bayi raksasa, yang terakhir bermuka kuning pucat.
Namun mereka mendatangi dengan sikap gagah sambil bertanya keras-keras, "Mana penjahatnya? Mana penjahatnya? Kurang ajar, berani beroperasi di siang hari bolong! Biar kami tangkap mereka!"
Helian Kong diam-diam menarik napas karena mengenali mereka sebagai tiga pemuda hijau yang baru keluar dari perguruan, dan berambisi mengangkat nama di Lam-khia tanpa tahu bahayanya. Di suatu warung di luar Lam-khia, Helian Kong pernah melihat mereka terbirit-birit ketakutan setelah melihat Si Pedang Buruk mendemonstrasikan kemahiran pedangnya dengan memotong permukaan mangkuk.
Tapi pengalaman itu rupanya belum membuat mereka kapok, di dalam kota Lam-khia di sebuah warung lain, Helian Kong juga pernah menjumpai mereka sedang membual dan menghamburkan kata-kata gagah bak pendekar, tanpa tahu ujung pangkal persoalannya.
Mo I-thian yang menyongsong mereka, katanya dengan hormat tapi waspada, "Saudara bertiga ini siapa?"
"Kamilah tiga pendekar yang dijuluki Tiga Elang Pegunungan Barat Laut, yang siap mengamankan kota Lam-khia ini dari orang-orang jahat!" sahut Si Alis Tebal dengan gagah. "Aku adalah saudara tertua, namaku Oh Yang-hi dan rekan-rekan di rimba persilatan menjuluki aku Keng-thian-kiam (Pedang Mengguncangkan langit), dan ini....."
Oh Yang-hi menunjuk saudara seperguruannya yang bermuka tembem kemerah-merahan dengan matanya yang berkedip-kedip seperti marmut, "..... ini adalah adik seperguruanku yang kedua, namanya Po Boan-seng, julukannya Kai-san-kiam (Pedang Meruntuhkan Gunung), dan itu adikku yang ketiga bernama Song Sin-pa berjuluk Lo-hai-kiam (Pedang Mengaduk Lautan)." Waktu menyebutkan julukan-julukan itu, nampak benar mereka begitu bangga.
Sementara Helian Kong menahan rasa gelinya. Dulu waktu pertama kali melihat ketiga "anak kambing tak takut harimau" ini, mereka sedang sibuk mengarang julukan apa yang cocok buat mereka. Sekarang agaknya mereka sudah mendapatkannya dan langsung mempublikasikannya.
Mo I-thian juga agak tercengang mendengar julukan-julukan dahsyat dan terkesan dibuat-buat itu, namun ia berbasa-basi menjawab, "Aku sudah lama mendengar nama-nama Tuan yang menggemparkan. Beruntunglah para penjahat ini bahwa mereka tidak jatuh ke tangan Tuan-tuan. Bagaimanapun, kami dari pihak Penguasa Lam-khia ini tetap berterima kasih dengan adanya pendekar-pendekar yang ikut bertanggung-jawab atas keamanan, seperti Tuan bertiga ini."
Begitulah Mo I-thian mengaku "sudah lama mendengar nama" meskipun julukan-julukan dahsyat itu barangkali baru kemarin sore ditemukannya. Hebatnya, ketiga "pendekar" itu mengangguk-angguk, menerima penghargaan itu.
Im Hai-lip yang tidak tahan, berkata dengan dingin, "Tiga tikus kecil, sekarang ini Lam-khia terlalu berbahaya untuk dijadikan arena bermain pendekar-pendekaran."
"Siapa kau?" tanya si "pedang mengguncang langit" Oh Yang-hi dengan garang sambil menggenggam gagang pedangnya.
Im Hai-lip melangkah maju sambil berkipas-kipas, "Cabut pedangmu, kau akan tahu siapa aku!"
Helian Kong mencemaskan nasib tiga pemuda hijau yang berhadapan dengan Im Hai-lip yang lagi haus nama besar itu. Si tiga "pendekar" dan Im Hai-lip sebenarnya sama-sama haus nama besar, bedanya Im Hai-lip punya bekal cukup, kalau perlu bertindak kejam seperti kepada Giam Bin-tong tadi, sedang bekal si "tiga pendekar" kelihatannya cuma mulut besarnya.
Maka Helian Kong menghadang langkah Im Hai-lip sambil berkata pelan agar tidak terdengar si "tiga pendekar", "Sudahlah, Tuan Im. Buat apa menyibukkan diri dengan pemuda-pemuda yang bisanya baru petentengan itu?"
Terhadap Helian Kong, Im Hai-lip sungkan, gentar dan diam-diam juga iri, maka dia pun tidak melanjutkan langkahnya ke arah tiga pemuda hijau itu. Sementara Oh Yang-hi bertiga pun berlalu sambil membusungkan dada.
Helian Kong geleng-geleng kepala melihatnya, pikirnya, "kapan-kapan kuberi hajaran keras mereka, demi keselamatan nyawa mereka sendiri."
Mereka tiba di puri Pangeran Hok-ong yang megah, letaknya agak tinggi dengan telundakan batu sampai puluhan anak tangga batu. Pangeran Hok-ong didampingi Jenderal The Ci-liong yang sudah tiba lebih dulu, menyambut mereka dan menanyakan keselamatan mereka.
Wajah Pangeran Hok-ong menunjukkan kegusaran hebat, katanya, "Pembunuh-pembunuh bayaran itu benar-benar tidak memandang mukaku, di daerah kekuasaanku mereka berani main gila!"
Sementara Jenderal The juga prihatin waktu dilapori beberapa pengawal pribadinya tewas. Di hadapan para jenderal, Pangeran Hok-ong kemudian berkata kepada Mo I-thian, "Siksa para tawanan itu sampai mereka mengaku siapa yang menyuruh mereka!"
Lalu Pangeran Hok-ong mengajak tamu-tamunya masuk ke dalam. Di dalam, barulah Helian Kong mencopoti kumis dan jenggot putihnya serta alis putihnya juga. Pangeran Hok-ong menjamu tamu-tamunya di bagian tengah istananya yang megah dan luas itu. Di suatu tempat di tengah-tengah kolam teratai yang indah, bangunan tanpa dinding sehingga orang di situ leluasa memandang ke segala arah.
Dan karena tempatnya yang tinggi, bisa terlihat atap dari bangunan-bangunan lain di kompleks yang sama namun letaknya lebih rendah, bahkan sebagian kota Lam-khia juga bisa nampak dari situ. Sungguh suatu tempat yang nyaman. Di tengah-tengah perjamuan, Pangeran Hok-ong tiba-tiba berdiri, menyuruh musik berhenti dan para jenderal pun serempak diam karena tahu pangeran itu hendak berbicara.
Setelah suasana sunyi, Pangeran Hok-ong mengelus jenggotnya lalu katanya, "Pertama-tama, terima kasih buat kedatangan Tuan-tuan. Karena aku tahu Tuan-tuan bukan orang yang menyukai omongan bertele-tele, aku akan langsung saja."
Beberapa jenderal nampak tegang menunggu apa yang hendak dikatakan Pangeran Hok-ong, beberapa orang sudah menebak Pangeran Hok-ong tentu hendak mengangkat-angkat dirinya sendiri dan mohon dukungan menjadi kaisar. Inilah yang dikatakan Pangeran Hok-ong kemudian,
"Singkat saja, situasi gawat yang sekarang ini tidak boleh berlarut-larut karena akan membahayakan sisa negeri yang masih kita kuasai ini. Bayangkan, separuh negeri di utara sudah dikangkangi musuh, kota Yang-ciu yang demikian kuat sudah jatuh pula ke tangan musuh dan Jenderal Su Kho-hoat sudah gugur. Sementara kita di Lam-khia sini masih ngotot pegang gengsi, dan singgasana leluhur masih kosong. Tak ada yang mau mengalah karena harga diri yang kekanak-kanakan."
Pangeran Hok-ong diam sejenak, ada jenderal yang menduga sebentar lagi Pangeran Hok-ong akan berkata, "Dukunglah aku menjadi Kaisar."
Namun yang berprasangka begini, kaget waktu mendengar kata-kata Pangeran Hok-ong berikutnya, "Harus ada yang berani membuat terobosan untuk keadaan macet begini. Harus ada yang mengorbankan harga dirinya, dan biarlah aku menjadi orang itu! Aku nyatakan di hadapan Tuan-tuan, demi keutuhan kekuatan kita, demi terhindarnya terpecah-belahnya kita, aku menolak untuk dicalonkan jadi Kaisar! Biarlah yang lain saja!"
Keruan para jenderal tercengang. Tadinya mereka menyangka Pangeran Hok-ong akan menuntut ikrar dukungan mereka, malahan ternyata mengundurkan diri. Ruangan sunyi senyap, para jenderal saling menoleh ke rekan masing-masing dengan kebingungan.
Lalu terdengarlah suara Laksamana The Seng-kong membuyarkan cengkaman kesunyian, "Maaf, Pangeran, kami belum pasti mendengar apa yang Pangeran katakan tadi."
"Baik, kuulangi. Supaya kita tidak terpecah-belah semakin parah, aku menyatakan keluar dari gelanggang persaingan para calon Kaisar. Cukup jelaskah, Laksamana The?"
The Seng-kong mengangguk-angguk namun kentara kalau gerakannya hampa. Helian Kong kemudian bertanya, "Maafkan kalau pertanyaanku tidak enak Pangeran. Apakah Pangeran ini mengundurkan diri karena ditekan oleh salah satu pihak lain?"
"Ya....." sahut Pangeran Hok-ong, membuat pendengar-pendengarnya tambah tegang.
Helian Kong diam-diam menyesal pertanyaannya sendiri tadi. Kalau jawaban Pangeran Hok-ong menjurus ke nama salah seorang pangeran yang lain, jawaban itu bisa memanaskan hati para jenderal dan bisa menambah ruwetnya situasi. Ternyata jawaban Pangeran Hok-ong melegakan Helian Kong.
"Ya. Aku mengundurkan diri karena ditekan. Tetapi bukan tekanan dari luar, melainkan tekanan dari dalam hati nuraniku sendiri, tekanan oleh tanggung-jawabku kepada negeri leluhurku. Aku bisa mati merana kalau melihat negeri ini terpecah-pecah oleh ambisi pribadi, maka aku lakukan terobosan ini."
Helian Kong menarik napas, perasaannya tidak enak tetapi tidak tahu kenapa. The Seng-kong masih menoleh ke sana-sini, ayahnya The Ci-liong mengusap-usap jenggotnya tanpa tahu harus berbuat apa. Li Teng-kok garuk-garuk kepala. Yang kemudian tidak sungkan adalah Jenderal Thio Hong-goan dari Ciat-kang,
"Maaf, Pangeran, kalau Pangeran tidak mencalonkan diri menjadi Kaisar, jadi apa maksud Pangeran dengan mengundang pangeran-pangeran yang lain kemari, juga dengan mengambil hati rakyat dengan tempat-tempat pembagian bubur gratis itu?"
Helian Kong mengangguk-angguk menyetujui pertanyaan itu, meski ia terlalu sungkan untuk menanyakannya sendiri. Ia pernah menikmati bubur gratis itu, tidak ada rasanya namun sangat berarti buat pengungsi-pengungsi kelaparan yang kehabisan bekal.
Pangeran Hok-ong menjawab dengan sikap amat bersungguh-sungguh, "Jaman ini adalah jaman yang paling tepat untuk tidak mempercayai ketulusan hati, tetapi aku akan menjawab dengan tulus, terserah apakah dipercaya atau tidak. Kuundang keponakan-keponakanku dan kalian para jenderal, ke Lam-khia ini, agar dapat ditetapkan satu pemimpin untuk menyatukan kekuatan dan menyelamatkan negeri. Tetapi aku tidak ikut berebut. Soal perhatianku yang tidak seberapa kepada saudara-saudara sebangsa kita yang kurang beruntung itu, haruskah ditafsirkan sebagai mencari muka dan dukungan untuk merebut tahta? Sekali lagi, terserah apakah kalian percaya atau tidak, aku tidak bermaksud begitu."
Thio Hong-goanlah yang pertama kali tersentuh oleh kata-kata itu, katanya sambil menarik napas, "Pangeran mengambil langkah yang paling berani dan paling patriotik dibandingkan semua yang berkumpul di Lam-khia ini."
Pangeran Hok-ong duduk kembali, menggeleng-geleng kepala dan berkata dengan sikap rendah hati, "Jangan menyanjungku, Jenderal Thio. Aku kecil sekali dibandingkan Jenderal Thio Hian-tiong yang dengan gagah menghadang pasukan penjajah di barat laut, atau Laksamana The Seng-kong yang armada lautnya menghadang raksasa-raksasa berambut merah dari benua barat, atau Helian Cong-peng yang mempertaruhkan nyawa menentang Co Hua-sun yang korup sampai si korup itu jatuh, belum lagi mempertaruhkan nyawa membongkar komplotan Pelangi Kuning. Oh, tidak, aku tak sebanding mereka. Apalagi dengan Jenderal Su Kho-hoat yang gugur dengan amat terhormat mempertahankan Yang-ciu."
Sampai di situ, suara Pangeran Hok-ong jadi agak parau. Orang-orang yang dipuji itu ada di ruangan itu, kecuali Su Kho-hoat yang sudah gugur dan Thio Hian-tiong yang diwakili Li Teng-kok. Sebagai manusia biasa, ada juga sedikit rasa haru bahwa jerih-payah mereka diingat dan dihargai.
Kata Helian Kong, "Sekarang, bagaimana dengan pangeran-pangeran yang lain?"
Pangeran Hok-ong berkata, "Mereka masih mencurigai aku. Mereka tidak mau datang menghadap kemari, meski aku ini Paman mereka, takut kalau kedatangan mereka itu ditafsirkan sebagai tanda menakluk atau mengakuiku sebagai kekuasaan yang lebih tinggi. Karena itu, aku mohon kalian menjumpai pangeran-pangeran itu, dan memberitahu mereka tentang keputusanku ini. Kalau mereka ingin berunding satu dengan yang lain, aku menyediakan tempatku ini sebagai tempat yang netral. Bahkan kalau mereka masih kurang percaya, akulah yang akan lebih dulu mengunjungi mereka biarpun aku lebih tua."
"Itu kurang baik di mata rakyat, Pangeran." The Ci-liong menukas. Ia adalah orang tua yang memegang teguh adat, tidak setuju kalau seorang paman lebih dulu merendah kepada keponakan-keponakannya. "Pangeran, biar kami yang menemui mereka untuk menyampaikan pesan Pangeran."
"Ya, mudah-mudahan kita dapat segera bersatu dan mengusir musuh." kata Pangeran Hok-ong. Lalu ia mempersilahkan tamu-tamu untuk melanjutkan menikmati hidangannya.
Kemudian dari arah jembatan kayu di atas kolam luas itu, kelihatanlah Mo I-thian, komandan pengawal pribadi Pangeran Hok-ong, melangkah datang. Wajahnya bersungguh-sungguh. Tadi Pangeran Hok-ong memang sudah memesan kalau sudah selesai menanyai para tawanan agar segera melapor, tidak peduli di tengah-tengah perjamuan sekalipun.
Mo I-thian memberi hormat kepada Pangeran Hok-ong dan melapor, "Pangeran, para tahanan itu sudah selesai diperiksa semua. Segala alat siksaan untuk memaksa mereka bicara, sudah kami gunakan. Tetapi hasilnya nihil."
Pangeran Hok-ong menunjukkan sikap gusar, "Nihil bagaimana?"
"Mereka tidak dapat memberi keterangan sedikit pun tentang orang yang menyuruh mereka."
"Keparat...." desis Pangeran Hok-ong. "Mereka hampir mencelakakan seorang jenderal senior dinasti Beng, lalu enak saja mereka mengaku tidak tahu siapa yang menyuruh mereka."
"Kata mereka semua, dalam keadaan terpisah ternyata pengakuan mereka sama. Yang menyuruh mereka hanya kelihatan sesosok tubuh berpakaian serba hitam dalam kegelapan malam, suaranya pun dibuat-buat dan bukan suara aslinya. Bahkan mereka tidak tahu apakah si penyuruh itu tua atau muda, lelaki atau perempuan, potongan tubuhnya juga terlalu umum."
"Ya, jelas itu....." tanpa sadar Helian Kong menyeletuk.
Pangeran Hok-ong lalu menoleh kepada Helian Kong, "Helian Cong-peng, apakah memang begitu?"
Helian Kong mengangguk, simpatinya kepada Pangeran Hok-ong tumbuh sedikit. Jawabnya, "Aku sedikit mengetahui cara kerja orang-orang bawah tanah macam mereka. Mereka banyak dimanfaatkan tenaganya dengan bayaran, tetapi si pembayar pasti tak mau muncul terang-terangan di depan mereka, berjaga-jaga kalau orang-orang suruhannya gagal, tertangkap dan ditanyai."
"Kalau begitu, tidak ada gunanya menangkap orang-orang itu?"
Li Teng-kok tiba-tiba bersuara, "Aku punya akal, Pangeran."
"Coba katakan, Li Cong-peng."
"Biarpun sifatnya agak untung-untungan. Begini, sebarkan saja desas-desus bahwa pihak istana ini bersama-sama pihak kami, sudah dapat menduga siapa yang menyuruh orang-orang bayaran itu. Tentu si penyuruh akan gelisah rahasianya terbongkar, dan mungkin akan mengirim orang bayaran lain untuk mengambil tindakan, misalnya membebaskan atau membunuh tawanan-tawanan di tempat ini." kata Li Teng-kok.
Pangeran Hok-ong sudah mengangguk-angguk, tetapi Im Hai-lip yang suka mengejek itu pun kini berkata pula dengan sinis, "Atau, si penyuruh itu tetap tidur dengan pulas, karena yakin bahwa desas-desus itu bohong, si penyuruh yakin dirinya tidak dapat disebut identitasnya oleh para tawanan itu."
Li Teng-kok menjawab dengan sabar, menjaga hubungan baik dengan utusan bangsawan penguasa Hun-lam yang cukup berkuasa itu, "Tentu saja itu mungkin. Bukankah tadi juga sudah kukatakan, sifatnya agak untung-untungan?"
Im Hai-lip cuma tersenyum mengejek sambil menggoyang kipasnya. Namun dalam benaknya tiba-tiba muncul sebuah gagasan. Gagasan yang tidak diucapkannya di depan pendukung-pendukung dinasti Beng itu. Sementara itu, Pangeran Hok-ong juga melangkah lebih lanjut dalam rencananya yang rumit.
Kepada Mo I-thian, ia berkata, "Komandan Mo, bagaimana hasil laporan orang-orangmu tentang berkeliarannya para pembunuh bayaran di Lam-khia ini?"
Sahut Mo I-thian, "Jumlahnya terlalu banyak, Pangeran. Mereka berbahaya karena berilmu tinggi namun tidak memiliki kesetiaan, mereka cuma setia kepada uang. Mereka mudah saja berganti majikan, mudah disuruh membunuh atau mengkhianati siapa saja."
"Ya, contohnya hari ini. Hanya demi beberapa keping uang, mereka hendak membunuh salah satu tiang penyangga dinasti Beng, yaitu Jenderal The Ci-liong. Mereka tidak berpikir panjang tentang akibatnya di masa datang. Mereka juga tidak memandang mukaku sebagai penguasa di Lam-khia ini." kata Pangeran Hok-ong. "Karena itu, Lam-khia harus bersih dari orang-orang macam mereka yang masih banyak berkeliaran! Agar kita bisa dengan tenang memikirkan masalah besar tanpa gangguan mereka!"
"Apa yang harus hamba lakukan?" tanya Mo I-thian.
"Aku akan menarik beberapa pasukan yang dari luar kota untuk memasuki Lam-khia, memperkuat pasukan yang sudah di Lam-khia ini kemudian mengadakan pembersihan kepada pendekar-pendekar bayaran itu!"
Helian Kong diam-diam merasa tidak enak mendengar itu. Kalau di Lam-khia berkumpul pasukan yang amat kuat di bawah perintah Pangeran Hok-ong, bukankah para pangeran lainnya dan juga para jenderal dari berbagai daerah yang sedang berpisah dengan pasukan mereka itu akan jadi seperti ikan dalam bubu? Tergenggam total di tangan Pangeran Hok-ong?
Di antara tokoh-tokoh militer, hanya Helian Kong yang berpikir jauh itu, sebab dulu di Pak-khia, menjelang runtuhnya dinasti Beng, Helian Kong juga terlibat dalam "permainan" macam itu. Bagaimana antara Co Hua-sun melawan pihak yang setia kepada Kaisar Cong-ceng termasuk Helian Kong, sama-sama mengerahkan pasukan-pasukan dari luar Ibukota untuk masuk ke Ibukota secara besar-besaran. Tentu dengan berbagai dalih, tapi sesungguhnya untuk menekan lawan-lawan politik mereka. Waktu itu si dorna Co Hua-sun bahkan sampai berani menyandera Kaisar Cong-ceng (baca Kembang Jelita Peruntuh Tahta).
Sekarang Helian Kong curiga, "jangan-jangan 'pembersihan pembunuh bayaran' hanya alasan agar Pangeran Hok-ong dapat mengerahkan pasukan besarnya ke dalam kota, untuk menyandera tokoh-tokoh dinasti Beng yang sedang berkumpul di situ?"
Helian Kong curiga namun tidak punya alasan yang baik untuk mencegah tindakan Pangeran Hok-ong itu. Para jenderal rekan-rekan Helian Kong juga masih terpengaruh oleh pernyataan Pangeran Hok-ong tentang tidak berambisi merebut tahta tadi.
Kata Pangeran Hok-ong kepada Mo I-thian, "Komandan Mo, temui Sekretaris Kwa, siapkan surat-surat untuk beberapa komandan pasukan kita di luar kota. Selesai perjamuan ini segera aku cap dan langsung dikirim."
"Baik, Pangeran."
Helian Kong mencoba membuka peluang untuk mencegah niat itu, "Maaf, Pangeran, kalau dianggap aku ikut campur. Sebaiknya pasukan-pasukan yang di luar kota tetap kuat untuk menjaga kalau Manchu menyerang. Jangan terlalu banyak ditarik ke dalam kota."
Mo I-thian mengerutkan alis, nampak kurang senang akan campur-tangan Helian Kong itu, tetapi ia tidak melancangi tuannya. Pangeran Hok-ong menjawab sabar, "Helian Cong-peng, aku tidak memindahkan semua pasukan ke kota. Jangan khawatir. Pasukan yang di luar kota akan tetap kuat menahan serangan."
Mo I-thian menambahkan, "Lagi pula, setelah selesai membersihkan pengacau-pengacau dalam kota, pasukan-pasukan itu akan kembali menempati pos-posnya di luar kota."
Helian Kong tidak punya alasan lagi untuk mencegah tindakan itu. Sementara Im Hai-lip bertanya, "Aku menyetujui tindakanmu itu, Pangeran. Aku bahkan menyediakan diriku dan orang-orangku untuk bekerja sama pasukan itu membersihkan Lam-khia. Kapan pasukan-pasukan itu datang?"
"Butuh waktu tiga atau empat hari. Ada yang letaknya agak jauh."
Mo I-thian pergi menjalankan perintah Pangeran Hok-ong. Perjamuan dilanjutkan, beberapa macam hidangan baru dikeluarkan. Tapi Helian Kong sudah tidak bisa terlalu menikmati hidangannya lagi, tak peduli dimasak oleh tukang masak kelas wahid.
Sampai hari hampir sore, barulah perjamuannya selesai. Mereka lalu berpamitan kepada Pangeran Hok-ong sambil berjanji akan menyampaikan pesan Pangeran Hok-ong kepada pangeran-pangeran lainnya. Pangeran Hok-ong dengan keramahan yang berlebihan, mengantar sampai ke depan gerbang istananya.
Istana Pangeran itu terletak di suatu tempat yang agak tinggi, maka para tamu itu harus menuruni dulu ratusan anak tangga batu sebelum sampai ke jalanan. Mereka harus berjalan pelan-pelan supaya tidak meninggalkan Jenderal The Ci-liong yang harus melangkah hati-hati karena usianya yang lanjut.
Sambil melangkah turun, tidak henti-hentinya para jenderal itu membicarakan keputusan Pangeran Hok-ong yang luar biasa, diluar dugaan itu. Mengundurkan diri dari persaingan memperebutkan tahta.
"Semoga tindakan Pangeran Hok-ong ini membuat sadar keponakan-keponakannya." kata Jenderal Thio Hong-goan. "Bukan berarti semuanya beramai-ramai mengundurkan diri dari pencalonan, melainkan menyadarkan mereka bahwa singgasana bukan tempat untuk memanjakan nafsu berkuasa, melainkan tempat berbakti dan ditunggu setumpuk tanggung-jawab berat."
Helian Kong melangkah bersama mereka, namun alisnya berkerut terus memikirkan sesuatu. Ia juga bungkam terus, tidak ikut bicara tentang keputusan Pangeran Hok-ong tadi. Ketika mereka sampai di bawah undakan batu yang bersambung dengan jalan raya, mereka siap berpisah satu sama lain untuk pergi pulang ke kediaman masing-masing dengan pengiring masing-masing.
Namun sebelum mereka berpisah, tiba-tiba Helian Kong berkata, "Tuan-tuan, tunggulah sebentar."
Semuanya menoleh ke arah Helian Kong. Kata Helian Kong hati-hati, "Sekedar berjaga-jaga, ada baiknya Tuan-tuan ini masing-masing menempatkan penghubung-penghubung rahasia di luar tembok kota Lam-khia."
Helian Kong memberi tekanan kuat pada kata-kata "di luar tembok kota Lam-khia" ini, lalu lanjutnya, "....penghubung rahasia yang setiap saat bisa dihubungi dari dalam kota dengan burung merpati, panah api atau panah bersuara."
"Untuk apa?" tanya Jenderal The Ci-liong heran.
"Begitu penghubung itu mendapat isyarat, mereka akan langsung berangkat secepatnya ke pangkalan masing-masing. Untuk membawa berita apa saja. Ini untuk berjaga-jaga sekiranya..... sekiranya..... tiba-tiba saja ada perubahan dimana kita tidak dapat keluar masuk kota dengan leluasa lagi, terkurung di kota ini."
Sedikit pun Helian Kong tidak bicara terang-terangan tentang kecurigaannya terhadap Pangeran Hok-ong yang hendak mengerahkan pasukan-pasukannya ke dalam kota Lam-khia. Ia hanya ingin memperingatkan namun tidak mau bikin gempar lebih dulu.
Toh peringatannya itu sudah membikin pendengar-pendengarnya tercengang. Tanya Jenderal Thio, "Helian Cong-peng, kenapa kau punya pikiran seburuk itu? Siapa yang kau curigai?"
Helian Kong mencoba bersikap setenang mungkin, "Tidak curiga kepada siapa-siapa. Sudah kukatakan tadi, sekedar berjaga-jaga apa jeleknya. Dalam keadaan macam ini situasi mudah berubah di luar perhitungan kita."
Li Teng-kok serta-merta menyahut, "Aku akan menjalankan usulmu, Saudara Helian."
Ternyata hanya Li Teng-kok seoranglah yang menjalankan usul itu. Helian Kong agak masygul namun tidak marah, mungkin yang lain-lainnya menganggap usul itu berlebihan. Mereka berpisah ke kediaman masing-masing. Helian Kong yang sendirian tanpa pengiring itu juga kembali ke rumah sewaannya.
Namun ia tetap berjaga-jaga agar jangan sampai ada tambahan orang yang mengetahui tempatnya, setelah Kongsun Giok terlanjur mengetahuinya karena keadaan daruratnya. Saat itu pakaian yang dikenakan Helian Kong adalah jubah dan topi pembesar yang indah karena samarannya sebagai Jenderal The tadi, dandanan yang menyolok mata seandainya ada yang membuntutinya.
Maka Helian Kong sengaja menyelinap di suatu tempat tersembunyi, mencopoti jubah dan topinya untuk dibungkus dengan jubahnya sendiri yang dirangkapkan di dalam. Sekarang ia bertelanjang dada dan memikul bungkusannya pulang ke rumahnya, hari sudah mulai gelap. Dan ia memasuki rumah sewaannya dengan melompati tembok belakang seperti biasanya.
Siangkoan Heng, Siangkoan Yan serta Kongsun Giok yang sudah bisa bangkit dari tempat tidur itu pun menyambutnya dengan pertanyaan-pertanyaan. Helian Kong menceritakannya, dan pendengar-pendengarnya kelihatan lega.
"Huuuh, untung bandit-bandit itu gagal. Tak terbayangkan nasib sisa negeri ini kalau Jenderal The terbunuh, lalu semua orang saling mencurigai." kata Siangkoan Heng lega.
Siangkoan Yan menghembuskan napas lega, sambil menggoyang-goyang pelan bayinya yang dipangkuannya, tidur pulas. Sedang Kongsun Giok pun berkata lega, "Aku merasa cukup berharga atas pengorbananku. Agaknya para bandit itu tidak mengubah rencana mereka, mungkin mereka menyangka aku akan mati oleh pukulan salah satu dari mereka, dan aku takkan mungkin mengatakannya kepada siapa-siapa. Hem, mereka salah duga."
"Dinasti Beng masih besar rejekinya." kata Helian Kong, tapi sambil berpikir. Kongsun Giok terluka oleh pukulan Tiat-se-ciang (Telapak Pasir Besi), tetapi dalam pertempuran tadi Helian Kong kok tidak melihat seorang pun yang memainkan Tiat-se-ciang di antara para bandit?
Meski demikian, Helian Kong tidak serta-merta mencurigai Kongsun Giok. Bahkan kemudian apa yang dilakukan Kongsun Giok membuat Helian Kong tak punya alasan lagi mencurigai Kongsun Giok. Sebab gadis pendekar berpakaian serba biru itu kemudian memberi hormat Helian Kong dengan sungguh-sungguh sambil berkata,
"Tuan Penolong, Tuan telah menolong nyawaku yang hampir ditelan maut, hutang budiku kepada Tuan tidak terbayar seumur hidupku. Aku juga patut memberimu hormat karena tahu Tuanlah pahlawan besar Helian Kong yang terkenal itu. Terimalah hormatku."
Terus Kongsun Giok hendak berlutut meski geraknya sempoyongan karena tubuhnya belum benar-benar kuat. Helian Kong cepat menahan pundak dan lengan gadis itu, mencegahnya berlutut, "Jangan bersikap begitu, Nona Kongsun. Dongeng tentang diriku agak dilebih-lebihkan. Aku tidak sehebat kata orang, dan Nona juga tidak usah ikut melebih-lebihkannya."
Siangkoan Heng dan Siangkoan Yan kemudian membantu Kongsun Giok untuk duduk kembali di kursinya. Helian Kong yang sudah terlanjur terbuka identitasnya, bahkan tempat persembunyiannya pun sudah diketahui, terpaksa harus bersikap ramah dan belajar menyingkirkan segala prasangka buruk.
".....dan untuk selanjutnya aku mohon kepada Nona Kongsun, aku ini sedang berusaha tidak dikenali orang banyak di Lam-khia ini. Mohon Nona tidak sembarangan menceritakan diriku, apalagi sampai memberitahukan tempat ini."
Kongsun Giok menggeleng, "Tidak, Tuan Helian. Aku justru ikut merasa aman dan terlindungi dengan kerahasiaan tempat ini. Terus-terang saja, aku takut diketemukan oleh komplotan pembunuh yang kejam itu, meskipun aku tidak tahu mereka dari golongan mana. Bukan saja Tuan Helian tidak ingin diketahui, bahkan aku pun jangan sampai diketahui orang kalau bersembunyi di sini menyembuhkan luka-lukaku."
Helian Kong mengangguk, katanya, "Kita akan bersama-sama merahasiakan tempat ini. Tetapi kalau Nona terbiasa menyebutku 'Tuan Helian' maka orang pun akan memperhatikan tempat ini. Panggil saja aku A-kong. Nama itu sangat umum di kalangan rakyat kecil."
Kongsun Giok mengangguk dan menjawab, "Aku pun minta dipanggil 'A-giok' saja, kalau kalian sudi menganggapku sebagai adik kalian."
"Tentu saja kami mau!" yang menjawab paling bersemangat adalah Siangkoan Heng, yang lalu tersipu-sipu malu ketika melihat Siangkoan Yan menahan tertawanya.
"Tetapi, A-giok..." kata Helian Kong mulai membiasakan diri dengan panggilan itu. "Pakaianmu yang serba biru itu juga mudah dikenali."
"Mulai sekarang aku akan berpakaian biasa, kelak kalau aku muncul kembali sebagai Lam-kin Sianli (Bidadari Selendang Biru) barulah pakaian itu kukenakan kembali."
Helian Kong mengangguk-angguk, namun dalam hatinya mengeluh, "Nama yang sudah terlanjur diperoleh di dunia persilatan, kadang-kadang merupakan belenggu juga. Susah dilepaskan, bahkan ada yang rela mati demi nama julukannya."
Helian Kong kemudian membersihkan diri. Malam itu ia punya waktu untuk bersantai bersama keluarganya. Tetapi pikirannya belum tenteram benar membayangkan pengerahan besar-besaran pasukan oleh Pangeran Hok-ong.
Di sebuah tempat belukar yang sepi, di luar tembok Lam-khia namun tidak jauh dari tembok, nampak beberapa orang berkumpul di sekeliling sebuah api kecil. Semuanya berpakaian ringkas dan menyandang senjata. Nampaknya mereka adalah sekelompok orang yang bersiap-siap melakukan "operasi malam hari" yang biasa di kalangan rimba hijau. Baju mereka mulai dibasahi embun malam, tetapi mereka belum bergerak juga, meskipun beberapa dari mereka sudah nampak gelisah.
"Kenapa Kakak Im belum datang-datang juga?" gerutu seorang bertubuh tegap dengan sepasang liu-yap-to (golok tipis) di pinggangnya.
Seorang temannya yang memanggul kapak, menjawab dengan suaranya yang parau, "Tidak mudah bagi Kakak Im untuk pergi meninggalkan tempat kediamannya lalu pergi menemui kita di sini. Dalam kedoknya sebagai pemimpin rombongan dari Hun-lam yang setia kepada dinasti Beng, tidak mudah untuk pergi begitu saja. Bisa dicurigai teman-temannya sendiri."
"Bagaimana kalau kita berangkat sendiri saja?" tanya seorang lelaki kurus yang duduk bersandar pohon sambil memangku pedangnya dengan gaya acuh tak acuh.
Yang menyandang sepasang golok tipis geleng-geleng kepala, "Kalau kita nekad menyerbu ke sana, sedang kita belum tahu seluk-beluk tempatnya, tak ubahnya kita ini seperti ikan-ikan yang melompat masuk ke wajan penggorengan alias cari mampus. Hanya Kakak Im yang bisa memberitahu seluk-beluk tempat kediaman Pangeran Hok-ong."
"Buat apa kita menyerang kediaman cecunguk keturunan Keluarga Cu itu?" dengus seorang berewokan yang membawa golok Koan-to (Golok Bertangkai Panjang) namun tangkainya dipotong tinggal satu meteran. Yang dimaksud "Keluarga Cu" adalah keluarga yang memerintah dinasti Beng selama berabad-abad. Raja-raja dinasti Beng memang keturunan Cu Goan-ciang.
Tetapi disebutnya "cecunguk Keluarga Cu" membuat salah seorang temannya gusar dan membentak, "He, jaga mulutmu! Aku juga she Cu!"
Yang membawa Koan-to tadi buru-buru minta maaf, "Bukan kau yang kumaksudkan, Saudara Cu. Tetapi anak cucunya Cu Goan-ciang itu."
Yang lain lagi menerangkan, "Kita menyerang Si Hok-ong itu agar kita dikira orang-orangnya Si Kui-ong. Dengan demikian para anak cucu Cu Goan-ciang itu akan panas hubungannya, hingga cakar-cakaran dan hancur sendiri. Dengan demikian pula akan puaslah arwah Baginda Tiong-ong junjungan kita...!"