Puing Puing Dinasti Jilid 14 karya Stevanus S.P - KEHIDUPAN Lam-khia sehari-harinya kelihatan biasa, tidak ada bedanya dengan biasanya. Namun di balik semuanya itu, para jenderal makin sibuk dalam berkontak di antara rekan-rekan mereka sendiri maupun mengontak para pangeran. Agar jangan sampai terpecah-belah.
Sikap Pangeran Hok-ong yang mengundurkan diri dari pencalonan itu segera dipertimbangkan oleh berbagai pihak. Mereka menyusun langkah-langkah baru yang disesuaikan dengan situasi.
Sementara itu, pasukan-pasukan yang diundang Pangeran Hok-ong sudah mulai berdatangan memasuki Lam-khia. Mereka sebenarnya bukan bawahan langsung Pangeran Hok-ong, melainkan bawahan langsung Cong-tok (Gubernur Militer) Lam-khia dan sekitarnya yang ada sejak jaman dinasti Beng dulu. Namun si Gubernur Militer yang bernama Wan Heng-kui itu sudah keseringan menerima hadiah Pangeran Hok-ong dan sudah menjadi kaki-tangannya yang setia.
Waktu pasukan-pasukan dari sekitar Lam-khia mulai memasuki kota, dan seakan-akan seluruh kota penuh dengan prajurit-prajurit, maka para jenderal yang dipimpin Jenderal The Ci-liong mulai ragu-ragu, apakah Pangeran Hok-ong takkan tergoda untuk mengubah keputusannya setelah melihat kekuatan pendukung sebesar itu?
Para jenderal mulai paham akan kecemasan Helian Kong beberapa hari yang lalu, waktu Helian Kong mengusulkan agar para jenderal menempatkan orang-orang terpercaya di luar kota yang setiap saat bisa dihubungi dengan isyarat dari dalam kota, kalau-kalau jalan keluar masuk Lam-khia tiba-tiba saja ditutup.
Para jenderal lalu menemui Pangeran Hok-ong sekali lagi, terang-terangan menanyakan maksud pasukan-pasukan yang masuk kota itu. Pangeran Hok-ong kembali menjamu dengan ramah, dan dengan meyakinkan mengulangi kata- katanya yang dulu, bahwa ia benar-benar tidak ingin menjadi Kaisar. Ia akan membiarkan salah satu dari keempat keponakannya yang menduduki singgasana, asalkan terpilih yang terbaik, katanya.
Ia berjanji hanya akan menjadi penyelenggara yang baik. Ia minta pendapat para jenderal, bagaimana kalau tempatnya dijadikan tempat perundingan para pangeran? Pangeran Hok-ong juga membuktikan niat baiknya dengan memberi semacam surat jalan kepada masing-masing panglima, surat yang memungkinkan para panglima itu dapat tetap keluar-masuk Lam-khia dengan bebas, bahkan seandainya kota itu sedang ditutup sekalipun.
Pangeran Hok-ong juga berjanji akan memberikan surat yang serupa kepada para pangeran lainnya. Pangeran Hok-ong berulang kali meyakinkan, bahwa pengerahan pasukan itu semata-mata ditujukan untuk membasmi para penjahat bayaran yang sudah terlalu banyak berkeliaran di Lam-khia dan memperkeruh keadaan. Kelak kalau para penjahat sudah dibasmi, kata Pangeran, pasukan-pasukan itu akan dikembalikan ke posisi-posisi semula di luar kota.
".....dan kota ini akan tenang, udaranya segar, membuat kepala jadi dingin untuk kita buat keputusan-keputusan penting bagi masa depan negeri. Pikiran kita tidak akan terpecah oleh ulah perusuh-perusuh itu."
Para panglima itu pun percaya, bahwa pengerahan pasukan itu semata-mata untuk membasmi para bandit. Namun sepulangnya dari kediaman Pangeran Hok-ong, para panglima itu berunding kembali di kediaman Jenderal The Ci-liong. Orang-orang utusan Bangsawan Bok Thiam-po dari Hun-lam juga hadir, namun para jenderal heran melihat pemimpin rombongan dari Hun-lam itu, Thai-hong-si Im Hai-lip, tidak nampak bersama orang-orangnya.
"Di mana Tuan Im Hai-lip?" tanya Jenderal The kepada salah seorang anggota rombongan Hun-lam.
Yang ditanya geleng-geleng kepala sambil berkata, "Entahlah. Dua malam yang lalu dia pergi, tidak tahu ke mana. Sampai sekarang dia belum kembali. Kami pun gelisah memikirkannya."
"Sudah dicari?"
"Sudah. Namun kota Lam-khia begini besar, sedangkan jumlah kami begini sedikit, dan sedikit pula mengenal seluk-beluk kota besar ini."
"Kota Lam-khia menjadi kelewat berbahaya dengan berkeliarannya para penjahat upahan....." gerutu Jenderal Thio Hong-goan. "Dari alasan ini, aku setujui tindakan Pangeran Hok-ong membasmi para gali itu."
"Asal jangan dibelokkan saja." sambung Laksamana The Seng-kong.
"Marilah kita jangan berprasangka dulu," kata Jenderal The Ci-liong. "dan sekarang bagaimana? Apa sikap kita selanjutnya?"
Helian Kong menjawab, "Mungkin kita perlu lihat-lihat dulu satu dua hari ini."
"Seandainya terjadi apa-apa, sudah ada orangku yang di luar kota kok." Li Teng-kok coba menenteramkan hati rekan-rekannya. "Mereka siap menerima isyarat-isyaratku dari dalam kota."
"Mudah-mudahan tidak akan terjadi apa-apa."
Akhirnya memang tidak ada yang bisa dilakukan oleh tokoh-tokoh militer itu kecuali menunggu situasi sambil saling tetap berhubungan satu dengan yang lain. Namun buat Helian Kong, tidak berarti ia pun ikut tinggal diam sambil menunggu saja. Helian Kong ingin "melihat Pangeran Hok-ong dari sisi lain", bukan dari sisi yang selalu ingin ditampilkan oleh Pangeran Hok-ong dengan citra sebaik-baiknya. Helian Kong ingin melihat Pangeran Hok-ong tidak dengan mata Helian Kong melainkan dengan "mata Ek Beng-ti".
Beberapa hari kemudian, pembersihan para gali yang dikatakan Pangeran Hok-ong itu pun benar-benar dilaksanakan. Kota Lam-khia tiba-tiba saja seolah-olah dalam suasana perang. Regu-regu prajurit yang kuat ada di simpang-simpang jalan, pintu-pintu kota, di sekeliling rumah orang-orang penting. Berjaga dan memeriksa orang-orang yang lewat di jalan.
Namun bukan itu saja. Selain regu-regu yang berjaga juga ada regu-regu yang menyerbu ke tempat-tempat yang diperkirakan menjadi persembunyian para pembunuh bayaran. Dalam regu-regu itu, setiap regunya terdapat setidak-tidaknya lima prajurit yang bersenjata api.
Setiap kali melihat orang membawa senjata, prajurit-prajurit itu menghentikannya, menyuruh orang itu meletakkan senjatanya lalu mengikat orang itu. Entah sedang di jalan, atau sedang duduk di warung. Sebagian dari orang-orang bersenjata itu memang ketakutan lalu menyerah untuk diikat, sambil menjelaskan bahwa dirinya bukan penjahat. Tetapi penjelasannya tidak membuat prajurit-prajurit itu memperlunak perlakuannya.
Lebih untung yang menyerah, tetapi ada juga yang melarikan diri, dan ini menjadi tugas para penembak. Sebagian besar roboh diterjang peluru, tetapi ada juga yang cukup cepat larinya, berbelok ke gang yang berliku-liku. Ada juga yang tidak menyerah dan tidak lari, mereka menghunus senjata dan melawan.
Maka di antara para prajurit pun ada korban yang jatuh. Di antara para penjahat juga ada yang keterampilan berkelahinya cukup tinggi, mereka berhasil membubarkan kepungan para prajurit bahkan membunuh dan melukai banyak prajurit. Dengan begitu, perkelahian terjadi di segala sudut kota. Gemerincing senjata tajam yang beradu, letusan bedil, teriakan dari kedua pihak.
Di suatu jalanan terbuka, terlihat Cong Liu sedang dikejar serombongan prajurit. Larinya sudah agak sempoyongan, sebab belakang pundaknya terkena tembakan. Meski sempoyongan, ia berlari-lari di kolong-kolong sempit yang berkelok-kelok agar tidak gampang dikejar para prajurit.
Namun karena luka-lukanya, Cong Liu makin lambat larinya, maka pengejarnya makin dekat. Di tengah-tengah para prajurit itu nampak tiga orang muda yang tidak berseragam prajurit tetapi ikut mengejar, sambil mengacung-acungkan pedang.
Tiga orang itulah yang menamakan diri masing-masing Keng-thian-kiam (Pedang Pengguncang Langit) Oh Yang-hi, Kai-san-kiam (Pedang Peruntuh Gunung) Po Boan-seng serta Lo-hai-kiam (Pedang Pengaduk Lautan) Song Sin-pa. Rupanya pihak militer tahu kalau di antara penjahat-penjahat yang akan mereka gropyok itu ada yang berilmu tinggi, maka pihak militer juga meminta bantuan para pendekar.
Tiba di sebuah lorong yang kiri kanannya ada dinding tinggi, agaknya Cong Liu hampir tidak kuat berlari lagi. Pengejarnya makin dekat. Saat itulah sesosok tubuh melompat turun dari atas tembok, langsung menerjang ke arah prajurit. Di tangan orang itu hanya ada sepotong kayu yang asal dipungut entah dari mana, namun potongan kayu itu menjadi senjata yang berbahaya. Beberapa prajurit langsung roboh, namun tidak ada yang tewas.
Prajurit-prajurit yang membawa senjata api, tidak sempat membidik sebab bedil-bedil mereka tahu-tahu sudah beterbangan di udara dan jatuh di tempat jauh. Cong Liu menyandarkan punggungnya di tembok, terengah-engah memperbaiki napasnya, tatapan matanya yang nanar itu melihat siapa yang menolongnya, dan ia mengenalnya.
"Ek Beng-ti....." desisnya.
Helian Kong yang sedang tampil sebagai Ek Beng-ti itu memang punya tujuan dengan penampilannya itu. Ia ingin kembali memasuki "arus bawah tanah" untuk mencoba mencari ada apa di balik pengunduran diri Pangeran Hok-ong, dan Cong Liu hendak Helian Kong jadikan batu loncatan untuk masuk kalangan bawah tanah itu.
Kemudian waktu Helian Kong melihat di antara para prajurit itu ada tiga "pendekar muda" dengan julukan yang seram-seram itu. Helian Kong muncul niat sampingannya. Yaitu ingin menghajar ketiga orang itu, bukan karena benci, justru karena sayang kalau sampai ketiga orang itu kelak terbunuh oleh orang lain. Kalau jatuh ke tangan Helian Kong, hanya akan dibuat babak-belur agar kelak kapok main pendekar-pendekaran, jadi malahan akan panjang umur.
Melihat betapa gampang "Ek Beng-ti" merobohkan para prajurit, "tiga pendekar" sebenarnya agak kaget juga. Tetapi kalau lari terbirit-birit, mana bisa mendapat nama di Lam-khia? Dan kalau tidak mendapat nama, mana bisa meraih masa depan cemerlang yang didambakan?
Oh Yang-hi yang beralis tebal itu melompat ke depan "Ek Beng-ti" sambil membentak garang, "Bandit dari mana ini, berani bertingkah di depan Kan-hun-kiam (Pedang Penggiring Sukma) Oh Yang-hi?"
Helian Kong tercengang, geli dalam hatinya, "Lho, jadi julukannya sudah ganti? Kemarin masih 'pedang pengguncang langit' sekarang sudah jadi 'pedang pemburu sukma' dan besok entah apa lagi. Benar-benar hebat daya khayal anak-anak muda ini."
Sementara Helian Kong belum bertindak, Si "pedang penggiring sukma" sudah melompat garang sambil membabatkan pedangnya ke leher Si "bandit". Helian Kong hendak meneruskan "hajaran mendidik"nya kepada anak-anak muda ini, maka ia putuskan untuk bertindak keras. Secepat kilat ia menunduk, tahu-tahu lengan Oh Yang-hi sudah dipelintirnya dan tubuh pemuda itu dihempaskan ke tembok sampai mukanya pucat dan pandangannya berkunang-kunang. Pedangnya berhasil direbut, lalu dipatah-patahkan.
Kata Helian Kong dingin, "Pedang penggiring sukma? Sukma apa? Hei anak-anak muda, kau bisa ganti julukan hebat sehari sepuluh kali, tetapi sekali nyawamu amblas takkan ada gantinya."
"Si pedang peruntuh gunung" Po Boan-seng sudah menggigil lututnya melihat kakak-seperguruannya dihempaskan ke tembok hanya dalam segebrakan saja. Ingin kabur tetapi malu, terpaksa dengan sikap digagah-gagahkan, ia bertanya, "Sobat, dari rimba hijau, perkenalkan namamu. Namaku sendiri Po Boan-seng, berjulukan Jian-lui-kiam (Pedang Seribu Halilintar)."
"Astaga, jadi kau pun sudah ganti julukan?"
Sementara "pendekar" ketiga tidak mau kalah, "dan akulah Song Sin-pa, kawan-kawan rimba persilatan menghargaiku dengan sebutan Bu-ing-kiam (Pedang Tanpa Bayangan)."
Helian Kong geleng-geleng kepala sambil tertawa, "Kalian sudah memperkenalkan diri, baik, aku pun perkenalkan diriku. Namaku Ek Beng-ti. Belum punya julukan. Tolong kalian yang karangkan julukan bagiku, sebab kelihatannya kalian pintar mengarang julukan. Yang kedengarannya dahsyat, begitu, berlebih-lebihan tidak apa-apa."
Agaknya para "pendekar" itu merasa agak disindir juga. Tapi mereka tidak peduli. Po Boan-seng dan Song Sin-pa kemudian menyerang serempak dari kiri kanan. Tetapi mereka kaget karena sasarannya tiba-tiba seperti menghilang begitu saja. Belum sempat mereka memperbaiki posisi, juga belum sempat melihat posisi baru lawan mereka, tahu-tahu mereka merasa tengkuk mereka dicengkeram lalu bersamaan mereka "terbang" terhempas tembok.
Helian Kong merasa hajaran itu cukup buat mereka, berharap mudah-mudahan mereka bertiga mengesampingkan cita-cita menjadi pendekar top dan jadi orang biasa saja, hidup damai sampai ke anak cucu. Helian Kong lalu meninggalkan para prajurit dan tiga "pendekar" yang bergelimpangan sambil mengaduh-aduh di lorong itu.
Ia mendekati Cong Liu, saudara tua dari "Sepasang Serigala" itu, dan bertanya, "Saudara Cong, parahkah luka-lukamu?"
Cong Liu nampak begitu lega bahwa yang menolongnya adalah Ek Beng-ti yang sudah dikenalnya, meski belum lama. Katanya lemah, "Syukur kau datang, Saudara Ek. Kalau tidak tentu aku sudah mampus dicincang mereka. Belakangku tertembak."
Helian Kong memeriksa lukanya, lalu berkata, "Untung tidak dekat jantung, Saudara Cong. Tetapi kau harus diobati. Katakan, ke mana aku harus membawamu?" Tanpa kentara, Helian Kong ingin memasuki tempat di mana para manusia sejenis Cong Liu itu berkumpul.
Tanpa curiga sedikit pun karena menganggap Helian Kong sebagai "sesama bandit" yang juga sedang diuber-uber prajurit. Jawabnya, "Ke bagian utara kota nanti kutunjukkan tempatnya. Hati-hati, jangan sampai bertemu kunyuk-kunyuk berseragam itu."
"Mari kugendong kau, Saudara Cong." Helian Kong lalu menggendong Cong Liu menuju ke bagian utara kota.
Sambil digendong, Cong Liu bertanya-tanya, "Kemana saja kau pergi dalam beberapa hari ini, Saudara Ek? Kami mencari-carimu untuk diajak melakukan operasi besar."
Sahut Helian Kong dengan lagak pembunuh bayaran tulen, "Aku ada order di tempat agak jauh dari Lam-khia. Sialan. Sasarannya alot, bayarannya sedikit. Eh, operasi besar apa yang dilakukan di sini? Apa aku masih bisa ikut? Aku sedang butuh uang nih."
Jawab Cong Liu, "Sudah terlambat. Operasi itu sudah gagal. Seandainya kau ikut, Saudara Ek, barangkali nasib kami takkan seapes saat itu. Adikku Cong Seng tertangkap, teman kita Hap Yu-hoat...."
"Si Golok Kepala Setan?"
"Ya, ya, ternyata kau masih ingat. Teman kita waktu kita sama-sama menyatroni Helian Kong itu. Dia tertangkap juga. Sedangkan teman kita Giam Bin-tong malahan terbunuh."
Mendengar keterangan itu, Helian Kong sudah tahu "operasi besar" apa yang dimaksud, tentunya adalah penghadangan Jenderal The Ci-liong. Tetapi Helian Kong pura-pura belum tahu dan bertanya, "Operasi besar apa, Saudara Cong?"
Tanpa menyadari siapa yang sedang menggendongnya, Cong Liu pun bercerita, "Kami diberi order untuk mencegat dan menghabisi nyawa Jenderal The Ci-liong. Kalau berhasil upahnya besar."
"Sayang aku tidak ikut."
"Bukan sayang, tapi untung, Saudara Ek. Rupanya rencana kami itu bocor, entah kenapa. Pihak yang kami hadang menyediakan Jenderal The Ci-liong gadungan yang lihainya bukan kepalang, bukannya kami berhasil, malahan sebagian dari kami terbunuh dan tertangkap, aku sendiri untung bisa lolos."
"Jenderal The Ci-liong gadungan?"
"Betul."
"Luar biasa lihainya?"
"Betul."
"Jangan-jangan Helian Kong?" waktu Helian Kong mengucapkan itu, mau tak mau terasa geli juga dalam hati. Mempopulerkan diri sendiri.
"Barangkali saja memang dia. Sekarang ini aku lagi susah memikirkan nasib Adikku. Entah penderitaan macam apa saja yang dia alami di tangan orang-orangnya Pangeran Hok-ong."
"Aku juga turut prihatin, Saudara Cong," sahut Helian Kong sekenanya. "Eh, siapa pemberi order itu?"
"Au Ban-hoa. Mudah-mudahan dia disambar geledek. Dia hampir mencelakakan kami."
Diam-diam Helian Kong agak heran. Bukankah Au Ban-hoa yang berjulukan Kang-thau-tiat-koai (Si Kepala Botak Bertongkat Besi) itu kelihatannya orangnya Pangeran Hok-ong? Kenapa menyewa para pembunuh bayaran untuk membunuh Jenderal The Ci-liong? Tetapi kenapa Pangeran Hok-ong juga mengirim pasukan pada saat yang tepat untuk menyelamatkan Jenderal The? Apakah tindakan Au Ban-hoa itu di luar tahu Pangeran Hok-ong?
Serangkaian pertanyaan yang bisa bercabang-cabang itu memenuhi benak Helian Kong. Sekaligus merangsang untuk mencari jawaban yang pasti, tidak sekedar menduga-duga. Tiba di bagian utara kota Lam-khia setelah beberapa kali hampir berpapasan dengan regu-regu prajurit, Helian Kong bertanya, "Saudara Cong, di mana tempatnya?"
"Cari jembatan batu, turun ke bawah jembatan. Sana, Saudara Ek, jalan ke sebelah kanan."
Setapak demi setapak Helian Kong menuruti petunjuk Cong Liu itu, sampai akhirnya memasuki sebuah terowongan air di bawah tanah yang saat itu sedang tidak ada airnya. Terowongan air itu dibuat di jaman Kaisar Kian-bun, mengalirkan luapan air dari Lam-khia apabila sedang hujan lebat agar kota Lam-khia tidak kebanjiran. Air dialirkan ke tempat yang lebih rendah. Saat itu terowongannya sedang kering, bahkan di sela-sela batu-batunya yang tersusun itu ditumbuhi rumput-rumput liar.
Menurut petunjuk Cong Liu, Helian Kong menggendong Cong Liu memasuki terowongan dan di dalamnya ternyata ada belokan yang menanjak, sampai di sebuah ruangan bawah tanah yang luas. Ruang yang cukup bersih, di tempat itu banyak orang berkumpul dengan wajah tegang dan gelisah. Ada beberapa tubuh yang luka-luka, bahkan ada yang terbaring diam tak bergerak-gerak lagi.
Melihat munculnya Helian Kong menggendong Cong Liu, beberapa orang serempak berdiri bersiap sambil memegangi senjatanya, tatapan curiga ditujukan ke arah Helian Kong yang belum mereka kenal.
Cong Liu digendongan Helian Kong cepat-cepat bicara, "Tenang, Sobat-sobat. Orang inilah yang namanya Ek Beng-ti, yang pernah kuceritakan kepada kalian. Orang yang pernah menolongku, pernah mengalahkan Si Pedang Buruk, dan kali ini pun dia menolongku kembali."
Beberapa orang mengendorkan sikap siaganya. Helian Kong pelan-pelan menurunkan Cong Liu, membaringkannya lalu membuka bajunya dan memeriksa luka-lukanya. Beberapa orang berwajah garang yang belum Helian Kong kenal, ikut membantu memeriksa pula.
Di ruangan itu, para pembunuh bayaran yang biasanya saling bertentangan karena "berebut order" maupun karena dibayar oleh "pemesan" yang berbeda, namun kali ini mereka kompak karena senasib. Di ruangan itu pula Helian Kong melihat Si Walet Nyo Tiang-le yang pernah berusaha membunuh Jenderal The, namun Helian Konglah yang saat itu menyamar sebagai Jenderal The sehingga Nyo Tiang-le gagal. Saat itu Helian Kong mengenali Nyo Tiang-le, tetapi Nyo Tiang-le tidak mengenali Helian Kong.
Helian Kong melihat di tempat itu nampak pula Jiat-so (Si Tali Maut) Duan Po, yang dulu pernah berkelahi dengan kakak-beradik Cong Liu dan Cong Seng alias Sepasang Serigala. Gara-garanya, Duan Po dibayar untuk menyebar-luaskan cerita lama yang menjelekkan Pangeran Hok-ong, sebaliknya kakak-beradik she Cong dibayar untuk menangkap pengedar cerita lama itu. Namun kini Duan Po nampak bersimpati kepada Cong Liu, ia mendekati dan menawarkan obat luka.
"Taburkan ini ke lukanya," katanya kepada Helian Kong. Duan Po agak segan, dulu waktu "Ek Beng-ti" mengalahkan Si Pedang Buruk, Duan Po ikut menyaksikannya.
Helian Kong mengeluarkan obatnya sendiri yang selalu dibawa-bawa, katanya, "Biar ini saja. Cong Liu temanku."
Duan Po menggerutu, "Kurang percaya kepadaku? Sekarang ini kita semua senasib, jadi buronan. Buat apa saling mencurigai? Kita semua kan jenis orang yang sama? Sama-sama dianggap sampah masyarakat?"
Helian Kong agak tersentuh mendengar itu, lalu ia masukkan obatnya sendiri dan menerima obat yang disodorkan Duan Po itu. "Atas nama Cong Liu temanku, aku ucapkan terima kasih."
Duan Po mengangguk. Kemudian kepada Cong Liu, Duan Po berkata, "Ternyata Pangeran Hok-ong yang dulu membayarmu, sekarang ingin membasmimu juga dengan pengerahan pasukan secara besar-besaran. Ia tidak mengecualikanmu, bahkan Adikmu dalam penjaranya Pangeran Hok-ong sekarang."
Sambil menyeringai berulang kali karena lukanya sedang dibubuhi obat yang memedihkan kulit, Cong Liu berkata membenarkan dirinya, "Kita ini orang-orang bayaran untuk melakukan perbuatan apa pun yang dipesan orang yang membayar kita. Bukankah kita semua berkumpul ke Lam-khia untuk cari uang dengan cara ini? Aku percaya, seandainya saat itu kau yang mendapat perintah seperti aku, pasti kau juga akan menerimanya asal dibayar. Bahwa aku kemudian dikhianati atau hendak ditumpas oleh orang yang membayarku, itu juga soal biasa. Kalian semua pasti pernah mengalami itu. Disuruh, lalu hendak dibunuh agar tidak terbongkar siapa yang menyuruh kita. Betul tidak?"
Sebagian dari mereka mengangguk-angguk. Memang itulah salah satu suka-dukanya dunia mereka. Dunia pembunuh bayaran.
Sambil mulai membalut luka Cong Liu, Helian Kong coba mengorek keterangan sedikit-sedikit, "Jadi, dulu itu yang membayarmu adalah Pangeran Hok-ong?"
Cong Liu cuma mengangguk. Dengan nada yang tetap biasa, tidak kentara kalau sedang mengorek keterangan, Helian Kong melanjutkan, "Jadi orang botak yang menyuruh kita membunuh Helian Kong, itu orang suruhannya Pangeran Hok-ong?"
"Entah."
"Lho, kok entah."
"Memangnya orang-orang macam kita ini diperbolehkan mengetahui sejelas-jelasnya Si pemberi order?"
"Tetapi yang diperintahkan oleh orang botak itu sejalan dengan kepentingan Pangeran Hok-ong."
"Belum tentu yang menyuruh Pangeran Hok-ong. Buktinya, waktu aku mendapat order menghadang Jenderal The, Si pemberi order adalah Si Botak Au Ban-hoa itu juga. Tetapi kenapa waktu kami hampir berhasil, Pangeran Hok-ong malah mengirim pasukannya untuk menolong Jenderal The? Jadi seolah-olah dua tindakannya itu bertentangan satu sama lain? Yang dikerjakan tangan kirinya menentang yang dikerjakan tangan kanannya?"
"Mungkin Si Botak itu bekerja di luar perintah majikannya. Untuk kepentingannya sendiri."
"Kepentingan apa?"
"Entahlah. Siapa yang tahu?"
"Tetapi kalau teman-teman kita yang tertawan di istananya Pangeran Hok-ong itu mengaku kepada penawan-penawannya dan menyebut nama Si Botak Au Ban-hoa, habislah riwayat Si Botak itu di hadapan Pangeran Hok-ong. Kalau benar dia banyak bertindak di luar perintah majikannya."
"Entah bagaimana nasib teman-teman kita?"
Sementara itu, beberapa orang lagi masuk ke tempat itu, ada yang dalam keadaan sehat, tetapi ada yang luka-luka. Jelas mereka pun berlindung dari kejaran para prajurit. Helian Kong memperhatikan orang-orang itu. Diam-diam dia berpikir,
"Orang-orang ini cukup banyak, masing-masing juga punya kemampuan tempur yang baik. Kalau mereka dapat digabungkan dan diarahkan, mereka dapat menjadi kekuatan yang lumayan demi tujuan yang baik. Tetapi mereka hanya bisa digerakkan dengan uang."
Tiba-tiba Helian Kong ingat bahwa dirinya sendiri saat itu adalah seorang maha-jutawan sekarang, berkat hadiah-hadiah dari para pangeran. Contohnya, beberapa hari yang lalu ia hanya menjual sebutir permata hadiah Pangeran Kong-ong, dan tukarannya adalah uang yang memenuhi kantongnya. Padahal ia masih punya sekotak permata, belum hadiah dari pangeran-pangeran lainnya.
Helian Kong mulai berpikir untuk membentuk semacam "pasukan bawah tanah" yang terdiri dari orang-orang bayaran ini, yang bisa dikendalikan untuk memperbaiki situasi, agar singgasana kosong dinasti Beng segera terisi kembali.
Di antara orang-orang yang datang, ada seorang yang tidak dikenal. Seorang bertubuh pendek dengan sepasang golok tipis tergantung di kiri-kanan pinggangnya. Sebagaimana biasa, kedatangan seorang tidak dikenal selalu menimbulkan kecurigaan pada awalnya, begitu pula sikap orang-orang di situ kepada Si Pendek itu.
"He, yang lain-lain kami kenal, tetapi siapa kau?" bentak Si Walet Hitam Nyo Tiang-le kepada Si Pendek itu. "Apakah kau kaki tangan militer?"
Si Pendek menjura dengan hormat, kalau dilihat dari sikapnya agaknya memang tidak termasuk golongan orang-orang kasar itu. Kata-katanya pun tersusun baik, "Maaf, aku memang tidak kenal Sobat-sobat di tempat ini. Aku... kemari tidak sengaja. Karena ada prajurit-prajurit ingin merampas senjataku dan menangkapku, maka aku lari."
"Siapa namamu?"
"Toan Ai-liong."
"Pekerjaan?"
Jawab Toan Ai-liong terus-terang, meskipun ragu-ragu, "Bekas prajurit, tetapi sekarang sudah bukan lagi."
"Prajurit apa, dinasti apa?"
"Prajurit Pelangi Kuning."
"Wah, pantas kau diburu-buru prajurit- prajurit dinasti Beng. Kau boleh di sini, kau senasib dengan kami."
Helian Kong diam-diam mendengarkannya, lalu dengan gerak tak kentara ia dekati Toan Ai-liong, mula-mula ditanyanya, "Teman baru, kau terluka?"
Toan Ai-liong tersenyum ramah sambil menggeleng, "Untung lariku cukup cepat."
"Kenapa sampai dikejar?"
"Seperti lainnya. Aku sedang berjalan-jalan di kota ini untuk suatu keperluan. Di jalanan tiba-tiba dihentikan para prajurit, senjataku hendak diminta dan aku hendak ditawan. Tentu saja tak kuberikan senjata pemberian guruku, aku juga tidak mau diikat karena tidak bersalah."
"Nampaknya bisa silat juga. Punya nama julukan?"
"Ah, malu aku menyebutnya. Di tempat ini tentu banyak yang lebih pandai dari aku. Hanya teman-temanku yang suka mengolok-olok aku dengan namaku sendiri, Ai-liong (Naga Cebol)."
"Kau bekas prajurit Pelangi Kuning?"
"Ah, cuma prajurit rendahan. Keroco. Ikut-ikutan saja." Toan Ai-liong merendah. "Pelangi Kuning kalah perang, aku pun jadi pesilat gelandangan kembali."
Jenis orang macam ini memang banyak. Ikut perang tanpa tahu tujuannya, sekedar ikut-ikutan saja. Begitu yang diikuti kalah, yang ikut pun bubar, seperti kata pepatah "pohon roboh burungnya pergi berpencaran".
Tetapi Helian Kong ingat bahwa Yo Kian-hi pernah berkata, bahwa di Lam-khia ini ada segelintir tokoh-tokoh Pelangi Kuning yang ingin mengadu domba antar pangeran dinasti Beng demi dendam lama Pelangi Kuning, tanpa menghiraukan bahaya yang datang dari pihak Manchu. Sikap yang tidak disetujui Yo Kian-hi dan pernah dikatakannya kepada Helian Kong.
Dengan gaya sesantai mungkin tanpa menimbulkan kesan sedang memancing orang, Helian Kong tiba-tiba berkata, "Beberapa orang Pelangi Kuning kukenal juga. Misalnya Yo Kian-hi, dan kakak seperguruannya yang pintar memainkan sepasang pecut panjang, Oh Kui-hou."
Yang dipancing pun menjawab tak kalah santai dan tenangnya, "Ah, nama-nama mereka pernah kudengar dan sering dipuji sebagai pejuang yang banyak jasanya. Tetapi belum pernah kulihat sendiri orangnya. Eh, namamu siapa, Sobat?"
"Ek Beng-ti."
Waktu itu dalam ruangan sudah mulai ada api dinyalakan sebagai penerangan. Beberapa orang yang terluka, agaknya tidak tertolong lagi nyawanya. Caci-maki yang kasar pun mulai dialamatkan ke Pangeran Hok-ong, si pencetus pembasmian para penjahat itu.
Di tengah caci-maki, tiba-tiba di ruangan itu terdengar suara keras, "Teman-teman, tenanglah."
Lalu di salah satu sudut, berdiri seorang lelaki usia empat puluh lima tahun, pakaiannya ringkas tetapi dari bahan mahal, pedangnya tergantung di pinggang, wajahnya ramah dan banyak senyum. Seruannya cukup berwibawa, sehingga orang-orang di ruangan itu serempak terdiam.
Mungkin karena merasa situasinya sudah matang, orang itu bicara langsung ke tujuannya dan tidak menyembunyikan nada menghasutnya, "Teman-teman, hari ini kita semua mengalami perlakuan sewenang-wenang dari Si Pangeran keparat itu. Mentang-mentang dia menguasai Lam-khia, terus kita ini dianggapnya sampah yang mau disapu begitu saja. Padahal sebagian dari kita jelek-jelek juga pernah dibayar untuk melakukan yang menguntungkan Pangeran keparat itu, meski lewat perantara. Sekarang bagaimana perlakuan bangsat itu kepada kita? Kita tidak mau diperlakukan semena-mena. Kita harus permalukan dia! Kita bersatu dan bikin keributan di Lam-khia biar orang tahu dia tidak becus menguasai kota ini, apalagi menduduki singgasana!"
"Tapi kabar yang beredar belakangan ini, katanya dia tidak ingin menduduki singgasana?"
"Omong kosong! Kalau dia tidak ingin singgasana, kenapa sekarang Lam-khia penuh pasukannya? Buat apa pasukan itu? Pasti untuk mendukungnya menjadi Kaisar dinasti Beng. Itu yang harus kita gagalkan!"
Tiba-tiba ada yang bertanya, "Kau hasut kami seperti ini, kau bekerja untuk saingan Si Pangeran keparat yang mana?"
"Aku tidak bekerja untuk pangeran yang mana pun. Semua pangeran sama saja, tetapi Hok-onglah yang paling brengsek. Dia berhutang puluhan nyawa terhadap kita!"
Si Walet Hitam Nyo Tiang-le tiba-tiba berdiri dan berkata sambil tertawa, katanya kepada Si pembicara, "Dari tadi rasanya pernah kulihat kau. Kuingat-ingat sekian lama tetapi belum ingat juga. Namun sekarang aku ingat kau. Kau pernah kulihat berkuda berdampingan dengan Kui-ong! Kau adalah Bhe Ting-lai yang berjulukan Siau-bin-jiat-sin (Malaikat Maut dengan Wajah Tersenyum), tangan kanan Pangeran Kui-ong."
Disambung suara yang lain, "He-he-he, cerdik benar kau. Kau kobar-kobarkan kemarahan kami, agar kami mengamuk si keparat Hok-ong, dengan demikian majikanmu mendapat keuntungan gratis dari kami ya? He-he-he, buatku, ikut Si Kui-ong boleh-boleh saja, asal harganya cocok."
Si pembicara pertama tadi jadi tersipu-sipu karena identitasnya terbuka. Dalam hati sebenarnya marah, namun tahu kalau marah di situ bisa-bisa ia dicincang gali-gali ini, tidak peduli julukannya Malaikat Maut Berwajah Senyum, sebab di antara gali-gali ini pun ada orang-orang tangguh macam Nyo Tiang-le dan beberapa lagi. Nyo Tiang-le lalu berkata, "Akur! Pangeran Kui-ong berani membayarku berapa?"
Apa boleh buat, Bhe Ting-lai terpaksa mengikuti arus, "Tidak kusangkal, aku memang bekerja untuk Pangeran Kui-ong. Majikanku tidak seperti Pangeran Hok-ong, tidak pelit dalam memberi bayaran. Nah, selain Sobat Nyo ini, siapa lagi yang mau bekerja bagi Pangeran Kui-ong?"
Beberapa orang menyatakan setuju. Namun yang setuju ternyata amat sedikit. Sebagian besar rupanya masih lesu semangatnya. Bhe Ting-lai nampaknya kecewa. Sudah terlanjur buka kartu sebagai kepanjangan tangan Pangeran Kui-ong, ternyata hanya sedikit orang yang berhasil dijaringnya. Tetapi dasar pintar mengikuti arus, ia tidak menunjukkan kekecewaannya, melainkan berkata,
"Baiklah. Terima kasih buat Sobat-sobat yang bersedia bergabung dengan kami. Tetapi buat yang tidak bersedia, mudah-mudahan kelak berubah pikiran, dan kita tetap menjadi kawan-kawan baik. Yang mau bergabung, mari ikut aku pergi dari sini."
"Di luar apa sudah aman?"
"Kuharap begitu. Tetapi seandainya ada penjagaan-penjagaan, aku punya lencana pribadi Pangeran Kui-ong. Cecunguk-cecunguk itu takkan bisa menghentikan kita."
"Kalau begitu, ayo berangkat!"
Bhe Ting-lai kemudian meninggalkan ruangan bekas terowongan pembuangan banjir itu, diikuti tujuh orang yang bersedia bergabung dengan Pangeran Kui-ong. Di antaranya adalah Nyo Tiang-le, Duan Po dan beberapa orang lagi.
Helian Kong sebenarnya tertarik untuk ikut, ingin "melihat dari dalam" sepak-terjang Pangeran Kui-ong, tetapi ia tidak bisa meninggalkan Cong Liu yang masih terluka. Biarpun persahabatannya dengan Cong Liu hanya persahabatan pura-pura, karena Helian Kong sedang menyamar sebagai manusia sejenis dengan Cong Liu, namun persahabatan yang pura-pura pun harus kelihatan sungguh-sungguh juga.
"Kau tidak ikut mereka, Saudara Ek?" tanya Cong Liu.
"Aku masih lelah dan tegang. Tidak dulu sajalah. Cari order lain kali masih bisa kok. Lagi pula aku tidak bisa meninggalkanmu terluka di sini."
Cong Liu agak tersentuh oleh kata-kata "teman" yang satu ini. "Terima kasih, Saudara Ek. Sebenarnya kau tidak usah terikat olehku. Orang-orang yang di sini temanku semua kok. Mereka akan memperhatikan aku."
"Tidak apa-apa kalau kutinggal?"
"Tidak apa-apa. Pergilah dan lakukan apa yang kau suka, Saudara Ek. Kau sudah cukup menolongku dengan menempuh bahaya menggendong aku sampai di sini. Kebaikanmu takkan kulupakan."
Sekarang Helian Kong yang tersentuh hatinya. Ternyata biarpun Cong Liu ini disebut sebagai pembunuh bayaran, dipandang remeh oleh kaum pendekar kalangan putih, ternyata masih memiliki rasa terima kasih, berhutang budi kepada orang lain...