Puing Puing Dinasti Jilid 15 karya Stevanus S.P - PIKIR Helian Kong, "Banyak orang sebenarnya terjerumus ke jalan hitam bukan karena sifatnya yang jahat, melainkan bisa karena kepepet. Aku yakin orang-orang semacam Cong Liu ini sebetulnya masih banyak. Dengan pendekatan yang tepat, mereka bisa menjadi kekuatan yang berguna."
"Kenapa melamun, Saudara Ek?"
"Tidak apa-apa, Saudara Cong. Aku akan tetap menemuimu. Kelak kita kumpulkan kekuatan untuk membebaskan Adikmu dari penjaranya Pangeran Hok-ong."
"Terima kasih, Saudara Ek. Kau teman yang baik. Kelak kalau kudapatkan order, kuajak kau."
"Jaga dirimu baik-baik, Saudara Cong."
Lalu Helian Kong pun meninggalkan tempat itu, orang-orang lain mengacuhkan saja. Bersamaan dengan Helian Kong, Toan Ai-liong yang mengaku bekas prajurit Pelangi Kuning itu juga melangkah keluar, agaknya juga ingin meninggalkan kumpulan buronan itu.
Ia mengangguk ramah kepada Helian Kong. Mereka berdua berjalan bersama di tempat-tempat sepi. Sementara berjalan itu, Toan Ai-liong tiba-tiba bertanya, "Saudara Ek, apakah kau mencintai negerimu?"
Sudah tentu Helian Kong mencintai negerinya, semua orang tahu. Namun Helian Kong saat itu sedang menyamar sebagai pembunuh bayaran yang cuma cinta uang. Maka jawabannya disesuaikan dengan peranannya saat itu, "Ah, yang penting ada orang yang memakai tenagaku lalu aku dapat uang. Beres sudah."
"Tidak pedulikah kau kalau negeri leluhurmu ini diinjak-injak bangsa Manchu?"
Helian Kong tahu, kalau ia terus-menerus berlagak acuh tak acuh, Toan Ai-liong bisa bosan bicara dengannya, padahal yang dibicarakannya mungkin ada sesuatu informasi penting. Maka Helian Kong sedikit mengurangi sikap acuh tak acuhnya,
"Sebenarnya aku jadi pembunuh bayaran macam ini juga bukan cita-citaku sejak kecil. Siapa orangnya yang punya cita-cita jadi orang jelek? Biarpun aku ini belum pernah jadi prajurit yang manapun juga, setidak-tidaknya di kampungku dulu pernah jadi anggota ronda kampung yang baik. Itu bukti kecintaanku kepada kampung halaman. Aku belum bisa membayangkan yang namanya 'cinta tanah air'...."
Toan Ai-liong menukas cepat, "Cinta tanah air itu anggap saja kelipatan sekian ribu kali lipat dari cinta kampung halaman. Orang cinta kampung halaman merondai kampungnya supaya tidak ada malingnya, orang cinta tanah air juga harus menjaga tanah airnya agar tidak dirampok orang asing."
Sudah tentu Helian Kong sudah lama tahu soal itu, tetapi sekarang ia pura-pura baru paham. Katanya sambil mengangguk-angguk, "Ya, ya, paham. Kubayangkan tanah air ini seperti kampung halaman besar, begitu?"
"Begitu juga boleh. Nah, apa sikapmu kalau kampung halaman besar ini hendak dirampok orang?"
"Tentu akan kutangkap perampoknya.
"Tentu saja harus....." kata Toan Ai-liong sambil tertawa.
"Tetapi rampoknya tidak cuma satu dua orang, melainkan ratusan ribu orang. Bagaimana kau hendak menangkapnya sendirian?"
"Wah, mana ada perampok sebanyak itu?" Helian Kong pura-pura kaget, meskipun sebenarnya sudah tahu apa yang dimaksudkan. "Gerombolan perampok itu paling banyak ratusan orang, itu pun sudah tergolong kelompok garong yang kuat yang sering bersarang di gunung-gunung. Pemimpin-pemimpinnya biasa disebut 'raja gunung'."
"Ada. Sebab yang hendak merampok kampung halaman besar kita ini bukan gerombolan yang bersarang di pegunungan, melainkan sebuah negara asing yang mempunyai pasukan besar dan kuat. Sebuah negara yang memperlakukan negara lain sebagai sasaran perampokannya."
"Apa maksudmu, Saudara Toan?"
"Tanah a..... eh, kampung besar kita ini sedang diancam Manchu. Tetapi banyak warga kampung besar kita ini yang tidak menyadari bahaya itu. Mereka yang duduk di atas malah cakar-cakaran memperebutkan singgasana yang kosong. Sedang orang-orang macam..... kita (Toan Ai-liong menggolongkan diri sendiri sama dengan "Ek Beng-ti" agar lebih mudah bicaranya) yang mengandalkan keterampilan main senjata, ternyata juga alpa, hanya berebut cari rejeki sendiri-sendiri, dijadikan upahan orang untuk melakukan ini-itu, tak sadar kampung besar kita terancam perampok yang ganas."
Diam-diam Helian Kong terharu mendengar perkataan itu. Untung hari sudah gelap, sehingga mimik wajahnya tidak terlihat oleh Toan Ai-liong. Pikir Helian Kong, "Toan Ai-liong ini pastilah orang Pelangi Kuning yang pemikirannya sejalan dengan Yo Kian-hi. Lebih mengutamakan sisa negeri bangsa Han yang tinggal separuh ini, daripada mengutamakan dendam golongannya sendiri. Coba kudengar lebih jauh."
Kata "Ek Beng-ti" pura-pura mengeluh, "Aku tahu maksudmu, Saudara Toan. Aku juga prihatin. Tetapi aku bukan orang berpangkat, tak ada kekuasaan apapun, bahkan aku diuber-uber para prajurit. Nampaknya, aku hanya bisa prihatin tentang kampung besar kita ini, tetapi tak mampu berbuat apapun."
"Tidak. Kita bisa menyadarkan orang-orang tadi. Kalau mereka disadarkan, mereka bisa menjadi kelompok yang cukup kuat. Mereka bisa diarahkan."
Helian Kong bersorak dalam hati. Ternyata pikiran Toan Ai-liong sama dengan pikirannya. Tidak peduli Toan Ai-liong bekas orang Pelangi Kuning, Helian Kong merasa menemukan sahabat seperjuangan. Karena itu, Helian Kong tidak ingin mematahkan semangat Toan Ai-liong, ia justru ingin menambahkan kobaran semangatnya. Kata Helian Kong, "Terima kasih, Sobat. Kau sudah membuat Ek Beng-ti ini terbuka matanya untuk menjadi manusia yang lebih berharga. Aku akan coba bicara kepada teman-temanku itu."
"Syukurlah, Saudara Ek, kau sadar bahwa kemampuanmu yang hebat itu bisa kau persembahkan kepada negeri leluhur kita. Aku ingin bicara lagi denganmu kapan-kapan, boleh kutahu tempat kediamanmu?"
Helian Kong masih menghindarkan soal yang satu ini. Maklum, di tempat kediamannya ada isterinya dan anaknya yang masih kecil, yang ingin dia jauhkan dari kemelut ini. Maka jawabnya, "Aku ini bergelandangan dan tidur di sembarang tempat, Saudara Toan. Tapi kalau siang hari aku sering nongkrong di dekat Gapura Hong-bun, dekat jalan yang menuju ke Beng-hau-leng (Kuburan Kaisar-kaisar Dinasti Beng)."
Toan Ai-liong merasa agak kasihan. Ia pikir, kalau "Ek Beng-ti" ini tetap bergelandangan di jalan, akan lebih mudah tergoda kembali ke jalan hitam, padahal Toan Ai-liong menilainya sudah hampir bisa disadarkan. Melintas di pikiran Toan Ai-liong untuk mengajak Helian Kong menumpang di tempatnya, tetapi ia ragu-ragu, bagaimana kalau "Ek Beng-ti" ini tiba-tiba berkhianat dengan menunjukkan tempatnya kepada prajurit-prajurit dinasti Beng? "Pembunuh bayaran" macam "Ek Beng-ti" ini gampang tergoda uang, pikir Toan Ai-liong.
Helian Kong mengetahui pertentangan dalam hati Toan Ai-liong, tetapi sengaja diam saja, Helian Kong ingin tahu sampai di mana kesungguhan Toan Ai-liong membina orang-orang jalan hitam menjadi pembela-pembela tanah air.
Akhirnya Toan Ai-liong mengambil suatu keputusan penuh resiko, "Saudara Ek, daripada bergelandangan di jalanan, bagaimana kalau tidur di tempatku saja?"
"Saudara Toan punya rumah di Lam-khia ini?"
"Bukan punya rumah sendiri. Tetapi menumpang di samping toko obat. Pemiliknya baik hati. Sebuah bekas gudang obat yang tidak dipakai lagi kupakai bersama kawan-kawan kami, sekedar untuk berteduh."
Helian Kong diam-diam mencatat dalam ingatannya, Toan Ai-liong punya teman-teman. Pasti di Lam-khia bukan suatu kebetulan, punya tujuan tertentu. Tetapi tujuannya mudah-mudahan semulia yang dikatakannya tadi. Dan apakah kawan-kawannya sepikiran dengan Toan Ai-liong? Entahlah.
"Saudara Ek, aku minta maaf kalau kata-kataku menyinggungmu."
"Katakan saja, Saudara Toan. Kita sudah jadi teman, biarpun belum lama."
"Aku mengajakmu menumpang di tempatku, tetapi aku minta kau berjanji tidak melakukan hal-hal yang bisa mencelakakan aku dan teman-temanku."
"Baiklah. Aku berterima kasih Saudara Toan menampungku. Daripada tidur di bekas terowongan air itu."
Tidak lama kemudian mereka tiba di sebuah toko obat yang sudah tutup, Helian Kong tertawa dalam hati, bahwa sarang rahasia orang-orang Pelangi Kuning itu ternyata tidak jauh dari sarang rahasia Helian Kong sendiri. Hanya terpisah lebih dari sepuluh rumah.
Pikir Helian Kong, "Saat ini di Lam-khia entah berapa banyak tempat-tempat rahasia macam ini, dari berbagai pihak yang kepentingannya berbeda-beda."
"Inilah tempatnya," kata Toan Ai-liong.
Namun ia tidak mengetuk dari pintu depan toko obat yang sudah tertutup itu, melainkan mengetuk pintu samping. Ketukannya menurut irama tertentu. Helian Kong sudah hapal dengan cara-cara seperti itu.
Pintu terbuka hanya sedikit, hanya untuk memunculkan separuh wajah lelaki berewokan, desisnya, "Kakak Toan.... dengan siapa?"
"Teman yang dapat dipercaya," sahut Toan Ai-liong. "Namanya Ek Beng-ti."
Wajah di balik pintu itu nampak ragu sejenak, mengamat-amati sosok tubuh yang bersama Toan Ai-liong itu, namun tetap tidak jelas karena gelapnya malam. Tetapi akhirnya ia membukakan pintu juga. Toan Ai-liong menyelinap masuk diikuti Helian Kong yang mengangguk sopan kepada Si pembuka pintu. Si pembuka pintu cepat-cepat menutup pintunya kembali dan memasang palangnya.
Helian Kong melihat ada sebuah halaman sempit, lalu tembok dengan pintu dan beberapa jendela di seberangnya. Mungkin itulah tempat berteduh Toan Ai-liong dan kawan-kawannya.
Sementara Toan Ai-liong memperkenalkan "Ek Beng-ti" dan Si pembuka pintu yang ternyata adalah Hoa Liu. Toan Ai-liong menambahkan pula, "Saudara Ek ini bernasib sama dengan banyak orang hari ini. Hendak ditangkap tetapi tidak mau menyerah. Apakah kawan-kawan kita ada yang tertangkap?"
Hoa Liu menggeleng. "Untung tidak ada. Kalau keluar rumah untuk keperluan biasa, kami tidak membawa-bawa senjata. Itulah sebabnya kami lolos dari pemeriksaan para prajurit."
Toan Ai-liong mengangguk-angguk. "Syukurlah. Tetapi lain kali harus lebih berhati-hati. Eh, bagaimana dengan teman kita yang sakit itu?"
"Membaik."
Helian Kong lalu diajak memasuki sebuah ruangan yang pengab. Nampaknya memang bekas gudang, atau mungkin juga masih menjadi gudang sebagian. Sebab ada rak-rak kayu dengan tampah-tampah bertumpuk-tumpuk memancarkan bau dedaunan obat-obatan yang dikeringkan.
Ada pula tong-tong, sebagian dari tong itu diturunkan dari tumpukannya untuk dijadikan meja, atau untuk menaruh lilin. Ada belasan orang di ruangan itu. Ada yang tidur, ada yang duduk-duduk saja, ada yang bermain judi dengan dadu. Di mana-mana bergeletakan senjata yang bermacam-macam.
Waktu Helian Kong melangkah masuk, semua mata memandangnya dengan curiga, tetapi begitu Toan Ai-liong menjelaskan bahwa "Ek Beng-ti" ini siap berjuang membela tanah air bangsa Han, orang-orang pun menyambutnya dengan hangat. Ada yang menyisihkan tempatnya, ada yang meminjamkan tikarnya, ada yang menawari makanan dan arak. Agaknya Toan Ai-liong cukup berwibawa di antara mereka, sehingga kata-katanya langsung dipercaya.
Helian Kong senang melihat keramahan mereka. Ia pun menerima sepotong roti yang disodorkan kepadanya, lalu memakannya dengan lahap untuk menunjukkan persahabatannya.
Seorang bertanya, "Saudara Ek, apakah kau pernah berjuang melawan musuh tanah air?"
Helian Kong menjawab sesuai dengan keterangannya kepada Toan Ai-liong tadi, sambil pura-pura malu, "Sungguh aku merasa malu kalau teringat kelakuanku yang dulu-dulu. Mana pernah aku punya pikiran untuk memperjuangkan sesuatu yang luhur seperti kalian? Aku cuma memperjuangkan perutku sendiri. Tetapi beruntung aku bertemu dengan Saudara Toan yang menerangi hatiku, meyakinkan aku bahwa aku bisa jauh lebih berguna dari sekarang."
Para pejuang Pelangi Kuning itu mengangguk-angguk melihat sikap "Ek Beng-ti" yang kelihatannya jujur itu. Apalagi waktu Toan Ai-liong memberi keterangan tambahan, "Saudara Ek berjanji untuk membujuk rekan-rekannya yang masih di jalan hitam, agar mau memanfaatkan tenaga mereka demi keselamatan negeri leluhur."
Kepala-kepala yang mengangguk-angguk pun tambah banyak. Helian Kong kemudian tidur meringkuk di sela-sela antara dua buah tong. Orang-orang yang semula masih sedikit mencurigainya, jadi lenyap kecurigaannya melihat betapa Helian Kong tidur seperti bayi.
Namun bagaimanapun Helian Kong tidak meninggalkan kewaspadaannya sama sekali di lingkungan orang-orang yang masih asing baginya itu. Kelihatannya saja tidur pulas, namun pendengarannya yang amat tajam itu tetap "memantau" keadaan di sekitarnya. Suara mencurigakan sekecil apa pun tetap tertangkap olehnya.
Menjelang tengah malam, Helian Kong mendengar beberapa orang keluar dari situ, katanya "hendak menengok yang sakit". Helian Kong menduga rupanya di antara pejuang-pejuang Pelangi Kuning ini ada yang sakit, yang tentu saja tidak ditaruh di tempat yang sumpek penuh tong-tong kayu itu. Entah siapa yang sakit, mereka tidak menyebut namanya.
Helian Kong tentu akan kaget kalau tahu yang sakit itu adalah Im Hai-lip Si Kipas Prahara. Terluka sebagai akibat perkelahiannya dengan Yo Kian-hi. Helian Kong tidur sampai pagi tanpa ada kejadian apa-apa yang dianggapnya penting. Ia mencuci muka dan mulut di sebuah sumur di belakang. Udara pagi itu terlalu dingin untuk mandi, jadi Helian Kong tidak mandi.
Setelah makan bubur amat sederhana yang dimasak kaum Pelangi Kuning itu, Helian Kong berpamitan kepada Toan Ai-liong, dengan alasan ingin menjenguk keadaan Cong Liu sahabatnya yang terluka. Padahal Helian Kong ingin menengok keluarganya.
Helian Kong memasuki rumah sewaannya dengan cara biasa, ia lebih dulu memasuki reruntuhan kuil kecil yang beradu belakang dengan rumah sewaannya, lalu dari situ barulah melompati tembok ke rumah sewaannya.
Waktu itu masih pagi, kabut tipis masih tergantung rendah di atas tanah. Helian Kong menyangka isteri dan anaknya masih tidur, begitu pula yang lainnya. Tetapi begitu ia melompati tembok, ia agak kaget melihat Kongsun Giok ternyata sudah ada di halaman itu. Sedang melakukan gerakan-gerakan silat, nampaknya luka-luka dalamnya akibat kena pukulan Telapak Tangan Besi dulu sudah tidak berbekas lagi.
Kongsun Giok pun kaget melihat sesosok tubuh meluncur masuk ke halaman itu. Langsung pasang kuda-kuda bersiaga, namun ia kendorkan kembali begitu tahu yang datang itu Helian Kong. Ia tertawa amat manis sambil berkata, "Kiranya Kakak Kong. Aku sampai kaget."
Helian Kong bertanya heran, "A-giok, lukamu sembuhnya cepat betul?"
Dengan lancar Kongsun Giok menjawab, "Ya, berkat obat-obat dan penyaluran tenaga murni yang kau usahakan, Kakak Kong. Aku tidak akan bisa melupakan kebaikanmu ini."
"Tubuhmu memang punya daya-tahan yang baik, A-giok. Tetapi seharusnya kau masih banyak beristirahat."
"Menurutku, aku malahan terlalu banyak beristirahat. Maka kucoba mengendorkan otot-ototku dengan gerakan-gerakan ringan."
"Yang kulihat tadi bukan gerakan ringan, A-giok."
"Yah, mungkin karena aku kelewat bersemangat."
"Jaga kesehatanmu baik-baik."
"Terima kasih, Kak. Kenapa Kakak semalam tidak pulang?"
"Ada banyak yang harus kukerjakan?"
Kongsun Giok kemudian celingukan dengan ketakutan, tanyanya, "Waktu Kakak pulang kemari, tidak ada yang membuntuti bukan?"
"Tidak ada, asal kita semua berhati-hati."
"Syukurlah."
Diam-diam Helian Kong menganggap bahwa ketakutan Kongsun Giok itu agak berlebihan, apalagi mengingat gadis itu sendiri adalah pendekar tangguh yang sampai digelari sebagai Lam-kin Sianli (Bidadari Selendang Biru). "Tetapi mungkin terlukanya dia oleh Telapak Tangan Besi itu membuatnya agak merasa trauma....." pikirnya.
Kemudian Siangkoan Yan dan anaknya pun keluar menyambut, begitu pula Siangkoan Heng. Mereka saling menanyakan keadaan, kemudian merasa lega setelah mengetahui semuanya baik-baik saja. Helian Kong lalu menyambut anaknya dari gendongan isterinya, sementara isterinya dibantu Kongsun Giok menyiapkan segala sesuatunya di dapur.
Kepada Siangkoan Heng, Helian Kong menceritakan apa yang terjadi di luaran. Pangeran Hok-ong mengerahkan pasukan secara besar-besaran untuk membersihkan Lam-khia dari para pembunuh bayaran. Namun kesempatan itu justru digunakan Helian Kong untuk menyelundup lebih dalam ke dunia pembunuh bayaran, dengan pura-pura menolong Cong Liu. Ia berharap akan memperoleh banyak informasi rahasia dari kalangan jalan hitam itu.
"Tetapi dalam samaranmu sebagai pembunuh bayaran, kau tidak pakai nama Helian Kong bukan?" tanya Siangkoan Heng.
Helian Kong tertawa, "Memangnya otakku sudah miring? Tentu saja tidak. Aku pakai nama palsu."
"Siapa?"
"Ek Beng-ti." sahut Helian Kong sambil tertawa. "Lucunya, nama itu sekarang di Lam-khia jadi jauh lebih terkenal dari nama Helian Kong."
Siangkoan Heng tertawa. "Sungguh menarik pengalamanmu, A-kong. Tetapi masa kau mau jalani semuanya sendiri, dan aku hendak kau jadikan penjaga rumah saja?"
"Soalnya, anak-isteriku kan perlu ada yang menjaganya?"
"Adikku bisa menjaga dirinya sendiri, ia mulai latihan lagi belakangan ini. Selain itu, ia bisa ditemani Kongsun Giok yang cukup tangguh."
"Eh, bagaimana hubunganmu dengan A-giok?"
Siangkoan Heng agak tersipu, "Yah, ada kemajuan."
"Kemajuan bagaimana?"
"Kelihatannya dia..... juga menanggapi perasaan hatiku."
"Kau ketahui latar belakang keluarganya?"
"Dia bercerita bahwa Ayah-ibunya cuma peladang miskin di gunung. Dia sendiri diambil murid oleh seorang pertapa wanita. Anehnya, ia tidak tahu nama gurunya sendiri, karena katanya gurunya itu menyembunyikan namanya."
Helian Kong mengangguk-angguk. Nampaknya ia pun tidak punya alasan untuk merasa keberatan kalau Siangkoan Heng jadi berjodoh dengan Kongsun Giok. Siangkoan Yan dan Kongsun Giok sudah muncul dari dapur dengan membawa mangkuk-mangkuk masakan yang asapnya mengepul harum, memenuhi ruangan itu.
Dalam suasana sukacita, mereka pun mengelilingi meja dan bersukacita. Si kecil Helian Beng juga ikut pesta, disuapi bubur telur hangat oleh Kongsun Giok. Agaknya pintar betul Kongsun Giok mengambil hati keluarga itu.
Siang itu Helian Kong tidak ke mana-mana. Ia berbincang dengan isterinya dan iparnya tentang banyak hal, tetapi perkenalannya dengan orang-orang Pelangi Kuning macam Toan Ai-liong belum diceritakannya.
Sore harinya Helian Kong mengenakan pakaian yang pantas untuk berkunjung ke rumah Phoa Taijin guna membicarakan situasi terakhir dengan Li Teng-kok, sahabatnya yang terpercaya.
Setelah Helian Kong pergi, Siangkoan Yan menggendong anaknya agar tidak mengganggu Siangkoan Heng dan Kongsun Giok yang ingin mengobrol berduaan di halaman belakang, seperti biasanya. Ia menyusui kemudian menidurkan anaknya, lalu duduk sendirian di kamarnya.
Sebetulnya kalau Siangkoan Yan bersikap tenang di depan suaminya, itu hanyalah sikap yang dibuat-buat, untuk menjaga agar suaminya tidak risau atau terpecah konsentrasinya. Tetapi isteri mana yang tidak cemas akan suaminya yang sedang melakukan tugas penuh resiko itu? Suaminya sedang "bermain" di antara kekuatan-kekuatan besar, dalam berbagai wajah.
Di depan para tokoh militer yang masih setia kepada dinasti Beng, suaminya tampil tanpa kedok sebagai ikatan-moral yang patut diperhitungkan suaranya. Namun Siangkoan Yan juga tahu bahwa suaminya tampil dalam nama samaran Ek Beng-ti di dunia hitam. Siangkoan Yan tentu akan makin tidak tenteram seandainya tahu bahwa suaminya kini menyelundup pula ke lingkungan orang-orang Pelangi Kuning.
Kalau rindu kepada suaminya menghebat, Siangkoan Yan sering hanya menatap pedang Tiat-eng Po-kiam (Pedang Pusaka Elang Besi) yang digantung di dinding kamarnya. Namun di ruangan itu sebenarnya ada pedang lain yang tidak kalah ampuhnya. Pedang pendek yang diberikan suaminya kepadanya.
Kata suaminya, pedang pendek itu disebut Gu-hong-kiam (Pedang Burung Hong Menangis), sebab kalau dihunus akan mengeluarkan dengung lirih mirip tangisan. Pedang pendek itu diserahkan kepada Siangkoan Yan, katanya sebagai alat untuk menjaga diri, dan disembunyikan di bawah kasur.
Akhirnya Siangkoan Yan memang hanya bisa menatap iba ke arah si bocah Helian Beng, sambil berdoa, "Semoga para pangeran dinasti Beng segera menjadi rukun dan menetapkan siapa yang paling pantas meneruskan singgasana. Semoga para pangeran itu menyadari, bahwa sikap mereka yang mementingkan diri sendiri membuat banyak rakyat menderita."
Berbeda dengan Siangkoan Yan yang sedang risau, Siangkoan Heng dan Kongsun Giok justru sedang berbunga-bunga hatinya, meskipun mereka tidak sedang di tengah taman bunga yang indah, melainkan hanya duduk-duduk di atas tumpukan kayu bakar dekat dapur.
Dengan agak memberanikan diri, Siangkoan Heng memulai pembicaraan, "Helian Kong menanyakan..... perkembangan hubungan kita."
Kongsun Giok menunduk malu sambil mempermainkan ujung bajunya, "Lalu..... Kakak jawab apa?"
"Aku bilang, kelihatannya A-giok menanggapi perasaanku. Apakah dugaanku ini betul, A-giok?"
Kongsun Giok makin menunduk, membisu. Siangkoan Heng nekad berkata pula, "Kalau aku menduga salah, jawablah sekarang agar aku tidak melanjutkan niatku. Tetapi kalau kau diam saja, jangan salahkan aku kalau kuanggap itu jawaban 'ya' darimu."
Ternyata Kongsun Giok diam. Dan tidak menarik tangannya ketika Siangkoan Heng meraih untuk menggenggam telapak tangannya. Maka Siangkoan Heng pun kegirangan. "Selesai urusan memusingkan di Lam-khia ini, harus segera kudatangi Ayah-ibumu untuk melamarmu."
"Kita bisa membantu Kakak Kong menyelesaikan keruwetan ini. Kasihan dia bekerja sendirian, mempertaruhkan nyawa sendirian, padahal ia punya isteri dan anak yang masih kecil." kali ini Kongsun Giok bicara.
Buat kuping Siangkoan Heng, perkataan gadis itu tak ubahnya usul agar persoalan cepat selesai, lalu Kongsun Giok cepat dilamar. Sahut Siangkoan Heng, "Aku juga ingin membantu Saudara-iparku itu. Tapi nampaknya dia suka memikulnya sendirian. Aku hanya diajak bertukar pikiran."
"Bertukar pikiran pun sudah sangat membantu. Pikiran-pikiran segar kita bisa membantu mencerahkan otaknya yang kelelahan karena bekerja sepanjang hari."
"Benar juga kau, A-giok."
"Hari ini apa yang Kakak Kong bicarakan kepadamu, Kak?" tanya Kongsun Giok sambil merapatkan pundaknya ke pundak Siangkoan Heng.
Pundak yang lembut dan hangat, ditambah telapak tangan yang halus dalam genggaman, membuat mulut Siangkoan Heng sangat lancar bicara, "Hari ini A-kong bercerita, bahwa ia sengaja menolong Cong Liu, seorang pembunuh bayaran yang sudah dikenalnya, agar A-kong bisa masuk lebih dalam ke kalangan pembunuh bayaran."
"Buat apa memasuki kalangan orang-orang tidak baik begitu?"
"Dari antara mereka, bisa didapat keterangan-keterangan rahasia dan juga gerak-gerik rahasia para pangeran. Para pangeran itu tampil anggun dan memikat di mata umum, tetapi siapa tahu gerak-gerik mereka di belakang layar? Mereka sering menggunakan tenaga-tenaga bayaran untuk melakukan perbuatan-perbuatan busuk, kalau pun perbuatan para tenaga bayaran itu tersingkap, pangeran yang menyuruhnya bisa cuci-tangan dengan gampang sebab sulit membuktikan keterlibatannya dengan orang-orang jalan hitam itu. Satu-satunya jalan untuk bisa mengetahui tindakan-tindakan di belakang layar dari para pangeran itu, adalah dengan memasuki kalangan orang-orang yang sering disewa tenaganya, meskipun melalui hubungan tidak langsung."
Kongsun Giok agak kaget, lalu cepat-cepat ditutupinya kekagetannya itu dengan kata-kata, "Ah, sungguh berbahaya yang dilakukan Kakak Kong. Bagaimana kalau penyamarannya terbongkar?"
"Ya memang berbahaya. Dulu di Pak-khia ia pernah melakukan yang berbahaya pula, yaitu menyelundup memasuki jaringan mata-mata kaum Pelangi Kuning."
"Tentu Kakak Kong tidak memakai nama aslinya bukan?"
Siangkoan Heng tertawa. "Tentu saja tidak. Di kalangan orang-orang jalan hitam ia memakai nama Ek Beng-ti."
Kongsun Giok menengadah ke langit, berdesis, "Semoga Langit melindungi Kakak Helian Kong. Patriot sejati dinasti Beng yang tidak mementingkan diri sendiri."
"Dia pasti selamat."
Siangkoan Heng sebenarnya masih senang lebih lama bercakap-cakap, tetapi tiba-tiba dilihatnya Kongsun Giok memegangi kepalanya. "Maaf, Kak, kepalaku agak pusing."
"Lukamu belum sembuh benar."
"Kurasa sudah baik, tetapi kata Kakak Helian Kong tadi, aku memang harus banyak beristirahat."
"Obatnya sudah diminum?"
"Tadi sudah."
Siangkoan Heng mengantar Kongsun Giok sampai ke depan pintu kamarnya. Mengucapkan selamat malam, Kongsun Giok tersenyum sebelum menutupkan pintunya. Siangkoan Heng masih sempat melihat lewat kertas jendela, bagaimana lilin dalam kamar ditiup padam. Setelah itu Siangkoan Heng lalu ke kamarnya sendiri.
Siangkoan Heng sudah terlanjur amblas dalam mimpi indahnya, sehingga ia tidak melihat waktu Kongsun Giok menyelinap keluar lagi dari kamarnya.
Puri kediaman Pangeran Hok-ong nampak sunyi senyap. Puri yang letaknya di tempat tinggi itu dijaga sangat ketat. Bukan saja di sepanjang undakan batu dari bawah yang berhubungan dengan jalan raya sampai ke atas yang di pintu gerbang, tetapi di setiap sudut ada pengawal-pengawal bersenjata. Bahkan ada jago-jago silat yang bersembunyi di atas genteng.
Rupanya setelah melakukan pembasmian para bandit, Pangeran Hok-ong berjaga-jaga terhadap aksi balas dendam para bandit. Sebab menurut laporan, tidak sedikit bandit yang dapat meloloskan diri. Tiba-tiba di bawah undakan muncul seseorang, wajahnya tidak terlihat karena memakai topi rumput, meski para pengawal mendekatkan obornya sambil bersiaga.
"Berhenti!" bentak para pengawal pribadi Pangeran Hok-ong.
"Aku tidak bersenjata....." sahut orang itu.
"Buka topimu."
Orang itu membuka topi dan memperlihatkan wajah seorang lelaki kotor. Pakaiannya terlihat biasa. Seorang pengawal menggeledah tubuhnya dan memang tidak ada senjata yang diketemukan. Namun ada sepucuk surat.
"Surat apa ini?" tanya komandan regu.
"Ditulis sendiri oleh Pangeran Hok-ong, agar aku tidak dihentikan oleh siapa pun kalau hendak menemui beliau."
Komandan regu itu melihat sebentar surat itu di bawah cahaya obor yang didekatkan, dan melihat bahwa surat itu semacam "surat jalan" berkekuatan tinggi yang dibubuhi cap dan lambang pribadi Pangeran Hok-ong sendiri.
Tampang orang itu mirip gelandangan, sungguh tak disangka kalau mengantongi surat sekuat itu. Namun komandan regu itu pun paham bahwa dalam situasi seruwet di Lam-khia saat itu. Pangeran Hok-ong menyebar mata-mata terpercayanya ke seluruh pelosok Lam-khia. Menemui orang macam ini bukan yang pertama kali bagi komandan regu ini. Maka ia segera mengijinkan orang itu lewat.
Orang itu berkata kepada para penjaga, bahwa ia harus menemui Pangeran Hok-ong langsung, tidak mau menemui bawahannya yang mana pun juga, tidak peduli bagaimanapun tinggi pangkatnya. Berbekal "surat-sakti" itu, gampang saja ia melewati pos-pos penjagaan.
Namun waktu sudah sampai di bagian dalam puri yang didiami Pangeran Hok-ong, yang pengawal-pengawalnya adalah jago-jago terpercaya Pangeran Hok-ong, orang itu mau tidak mau tertahan juga.
"Harus kami laporkan Pangeran dulu," kata Ma I-thian yang mengepalai pengawalan di situ. "Mari, suratmu."
Ma I-thian masuk ke ruang buku di mana Pangeran Hok-ong masih membaca buku. Ma I-thian dipersilahkan masuk setelah mengetuk, lalu melaporkan tentang pembawa surat itu. Pangeran Hok-ong memeriksa surat itu, langsung berkata, "Bawa dia masuk."
"Perlu pengawal, Pangeran? Meski Pangeran kenal surat ini, siapa tahu pembawanya sudah bukan pembawa yang asli? Dalam keadaan sekacau ini, bisa saja surat ini berpindah tangan lalu digunakan oleh orang-orang yang berniat kurang baik?"
Pangeran Hok-ong mengangguk ramah, "Baik. Panggil dulu Au Ban-hoa kemari, setelah itu baru Si pembawa surat itu boleh masuk."
Ma I-thian agak penasaran. Ia adalah komandan tertinggi dari seluruh pengawal pribadi Pangeran Hok-ong, kepandaian main pedangnya pun dapat diandalkan, kenapa malah si kepala botak Au Ban-hoa yang disuruh mendampingi junjungannya? Tetapi Ma I-thian tidak berani membantah, ia jalankan perintah itu segera.
Tidak lama kemudian, Kang-thau Tiat-koai (Si Pentung Besi Berkepala Botak) Au Ban-hoa muncul di ruangan itu dengan membawa tongkat besinya. "Ada apa Pangeran memanggil hamba malam-malam begini?" tanya Au Ban-hoa sambil berlutut.
"Hanya menemani aku menjumpai seorang tamu. Berdirilah."
Au Ban-hoa berdiri dan melangkah ke samping Pangeran Hok-ong. Lalu Ma I-thian muncul dengan membawa Si pembawa surat tadi. Habis mengantarkan tamunya, Ma I-thian sendiri keluar karena disuruh keluar oleh Pangeran Hok-ong.
Ternyata Pangeran Hok-ong mengenali orang itu, "Oh, kamu Ang Tiok-lim?"
Orang yang disebut Ang Tiok-lim itu berlutut, menyahut, "Ini memang hamba, Pangeran. Hamba menyampaikan salam hormat kepada Pangeran."
"Ada berita apa yang kau bawa?"
"Hamba menerima berita rahasia dari 'si kembang biru' tentang Helian Kong."
"Kenapa dengan Helian Kong? Aku sudah mengiriminya hadiah untuk 'menjinakkan' dia, meski kabarnya hadiah-hadiahku masih dibiarkan tak tersentuh dan dititipkan di rumahnya Phoa Taijin. Tetapi sikapnya kepadaku cukup baik..."