Puing Puing Dinasti Jilid 16

Novel silat Mandarin serial Helian Kong seri ketiga, Puing Puing Dinasti Jilid 16 karya Stevanus S.P
Sonny Ogawa

Puing Puing Dinasti Jilid 16 karya Stevanus S.P - "PANGERAN, menurut 'si kembang biru' Helian Kong ini tidak hanya bermain di depan layar, tetapi juga di belakang layar. Tidak puas hanya sekedar jadi penonton dan menikmati yang kelihatan di permukaan, melainkan juga menyelinap ke bawah permukaan untuk menyelidiki tindak-tanduk semua pangeran secara diam-diam. Mungkin hasil penyelidikannya akan dilaporkan kepada rekan-rekannya, para tokoh militer, untuk dijadikan pertimbangan."

Novel Silat Mandarin, karya Stevanus S.P

"Bergerak di bawah permukaan atau di belakang layar bagaimana yang kamu maksudkan?"

"Dalam wajah dan dandanan amat berbeda, dia juga membaur di kalangan para pembunuh bayaran yang sering disewa tenaganya, dengan nama samaran Ek Beng-ti. Dari posisi tersembunyi itu, dia berharap juga bisa melihat tindak-tanduk tersembunyi Pangeran dan pangeran-pangeran lainnya."

Mendengar itu, Pangeran Hok-ong ternyata tidak kaget. Malah ia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi dengan santai sambil mengelus jenggotnya. Menoleh ke arah Au Ban-hoa sambil tertawa,

"Peringatanmu benar, Ban-hoa. Bukankah kau pernah melapor kepadaku bahwa Helian Kong pernah menemui Guru Lam Beng-hi dari Tiat-ciang Bu-siao (Sekolah Silat Telapak Tangan Besi), dengan nama samaran Liao Beng-it? Katanya untuk minta resep obat kena pukulan Telapak Pasir Besi. He-he-he..... Helian Kong ini memang banyak akalnya. Ternyata Liao Beng-it bukan satu-satunya nama samarannya. Masih ada siapa tadi?"

"Ek Beng-ti."

Namun Au Ban-hoa tidak kelihatan tenang, meskipun baru mendapatkan informasi yang sangat berarti itu. Sehingga Pangeran Hok-ong heran dan bertanya, "Ban-hoa, kenapa tidak gembira? Kita baru saja melucuti satu lagi kedok Helian Kong, meskipun barangkali ia masih punya beberapa kedok lainnya."

Au Ban-hoa malah menepuk jidatnya sendiri, katanya, "Kalau Ek Beng-ti adalah Helian Kong, rasanya pihak kita sudah sedikit kebobolan, Pangeran."

Tawa Pangeran Hok-ong kontan lenyap. "Kenapa?"

"Hamba... pernah memakai tenaga Ek Beng-ti ini, sebagai tenaga bayaran. Hamba sangka dia adalah temannya Sepasang Serigala Cong Liu dan Cong Seng."

"Kau sewa tenaganya untuk apa?"

"Waktu itu hamba baru mendengar, bahwa Helian Kong sudah tiba di Lam-khia, kabarnya berada di rumah Phoa Taijin. Maka hamba lalu... lalu... menyewa beberapa pembunuh bayaran, seperti Si Pedang Secepat Angin Giam Bin-tong yang sudah tewas itu, lalu Si Golok Kepala Setan Hap Yu-hoat yang sekarang dalam tawanan kita, ada lagi kakak-beradik Cong Liu dan Cong Seng yang di gelari Sepasang Serigala. Waktu itu Cong Liu dan Cong Seng mengajak seorang teman yang mengaku bernama Ek Beng-ti, menurut ceritanya cukup tangguh karena berhasil mengalahkan Si Pedang Buruk. Hamba pikir, tak ada salahnya untuk menambah kekuatan di pihak kami, toh hanya ketambahan ongkos beberapa tail."

"Kau kumpulkan mereka, lalu kau suruh apa mereka?"

"Menyatroni rumah Phoa Taijin untuk membunuh Helian Kong."

"Astaga..." Pangeran Hok-ong menggeleng-geleng kepala. "Jadi Helian Kong kau suruh membunuh Helian Kong? Hebat benar pikiranmu ini. Apa alasanmu ingin melenyapkan nyawa Helian Kong?"

Au Ban-hoa tahu bahwa tindakannya yang di luar tahunya Pangeran Hok-ong itu sudah salah. Ia tidak mau menambah kesalahannya dengan mengaku bahwa tindakannya itu didorong oleh dendam pribadi, melainkan dicarinya dalih lain seolah-olah demi kepentingan majikannya,

"Hamba mohon maaf, tindakan hamba memang tidak hamba rundingkan dulu dengan Pangeran. Tetapi hamba lakukan itu demi kepentingan Pangeran. Hamba dengar Helian Kong ini seorang tokoh militer yang amat dihormati kalangan militer, hamba khawatir kedatangannya ke Lam-khia akan merugikan rencana Pangeran yang sudah tersusun rapi. Maka lalu hamba putuskan untuk....."

Pangeran Hok-ong mengibaskan tangannya sebagai isyarat agar Au Ban-hoa berhenti bicara, tukasnya, "Sebentar. Dengan pertimbangan apa kau anggap Helian Kong membahayakan rencanaku, sehingga kau nekad bertindak sendiri tanpa ijinku?"

Au Ban-hoa kelabakan, sebab ia memang kekurangan alasan. Toh ia dapat menjawab juga meskipun mengada-ada, "Pangeran, Helian Kong ini orangnya cerdik dan susah diduga tindak-tanduknya. Bukankah ia pernah membongkar jaringan mata-mata Pelangi Kuning yang terkenal ketat itu di Pak-khia? Yang lebih bikin susah lagi, sudah orangnya macam itu, susah diatur pula. Buktinya, sudah diberi hadiah tetapi tidak juga langsung menyatakan dukungan kepada Pangeran, malahan kasak-kusuk dengan para jenderal. Orang macam ini, daripada kelak bikin susah kita dengan ulahnya, lebih baik cepat dihabisi saja."

Pangeran Hok-ong sebenarnya agak gusar bahwa Au Ban-hoa telah bertindak begitu lancang, namun berhubung masih butuh tenaga Au Ban-hoa, ia tidak memarahinya. Hanya menegurnya lunak, "Ban-hoa, lain kali mau bertindak apapun, bicarakan dulu denganku!"

"Baik, Pangeran."

"Lalu kenapa tadi kau bilang kita sudah kebobolan? Apakah waktu kau menyuruh orang-orang itu, kau sudah memberitahu bahwa kau adalah suruhanku?"

"Tidak, Pangeran. Tetapi mungkin..... Helian Kong bisa menduga-duganya sendiri."

Lalu Ang Tiok-lim menimbrung, "Ya, kemungkinan besar Helian Kong sudah bisa mencium hubunganmu dengan Pangeran, Saudara Au. Bukankah kau bersama orang-orang Koai-to-bun (Perguruan Golok Cepat) pernah berusaha membunuh Helian Kong dalam perjalanan ke mari, namun gagal? Helian Kong pasti bisa mengenalimu, meski kau tak bisa mengenalinya karena dia menyamar."

Au ban-hoa melotot mendongkol ke arah Ang Tiok-lim, sebab urusan perkelahian dengan Helian Kong yang membuatnya terluka parah itu pun termasuk urusan yang ingin disembunyikannya dari Pangeran Hok-ong. Sekarang malahan Ang Tiok-lim membongkarnya terang-terangan di depan pangeran.

Pangeran Hok-ong memang gusar, merasa Au Ban-hoa terlalu berani dan terlalu sering mendustai dan melancangi dirinya, katanya dingin, "Ban-hoa, jadi sebenarnya kau punya dendam pribadi dengan Helian Kong? Dan tindakanmu menyewa orang-orang bayaran menyatroni rumah Phoa Taijin dulu pastilah juga didorong dendammu itu. Benar tidak?"

Au Ban-hoa membungkam. Pangeran Hok-ong berkata pula, "Bagaimana aku bisa mempercayakan urusan-urusan yang amat rahasia, kalau kau begitu gampang dikuasai emosi karena persoalan-persoalan pribadi. Dan begitu gampang pula mengambil tindakan gegabah tanpa berbicara dulu denganku?"

"Hamba tidak akan mengulanginya, Pangeran. Hamba akan lebih mengendalikan diri."

Pangeran Hok-ong menarik napas sambil geleng-geleng kepala. "Sekarang soal bahwa Helian Kong ternyata sudah menyusup ke kalangan jalan hitam untuk melacak kita dari situ, demi amannya rencana kita, anggap saja Helian Kong sudah tahu Au Ban-hoa ada hubungan dengan aku. Bagaimana menutup atau memperbaiki kebocoran ini?"

Hampir saja Au Ban-hoa mengusulkan "bunuh saja" namun cepat-cepat ditahannya mulutnya. Ia bisa lebih tidak dipercaya lagi oleh Pangeran Hok-ong, dianggap gegabah dan terlalu menuruti emosi. Ang Tiok-lim berjalan mondar-mandir sambil berpikir keras, lalu katanya, "Helian Kong ini tidak punya prajurit seorang pun, namun setiap patah katanya pasti dipertimbangkan oleh para jenderal. Bahkan Jenderal The Ci-liong yang paling senior pun tetap mendengarkan kata-kata Helian Kong."

"Itu benar," kata Pangeran Hok-ong. "Lalu?"

"Kalau kita yang bicara kepada jenderal-jenderal itu soal kebaikan-kebaikan kita sendiri, tentu para jenderal itu masih setengah percaya setengah tidak. Tetapi kalau Helian Kong yang bicara tentang kita, tanggapan para jenderal tentu lain. Mereka akan lebih percaya, sebab mereka anggap Helian Kong itu tokoh yang jujur."

Au Ban-hoa tiba-tiba tertawa, merasa mendapat kesempatan untuk membalas mengejek Ang Tiok-lim, "Wah, hebat benar rencanamu, Saudara Ang. Tetapi apa bisa dilaksanakan? Rupanya kau belum kenal orang yang namanya Helian Kong. Orangnya kebal suapan, bujukan, tekanan atau bahkan ancaman. Bagaimana bisa membuat dia bicara untuk keuntungan kita? Rencanamu itu nampaknya hanya di awang-awang saja, susah diwujudkan."

Namun Ang Tiok-lim tenang-tenang saja, balasnya, "Itu karena batok kepalamu isinya hanya empat macam cara kasar itu. Suapan, bujukan, tekanan dan ancaman. Coba pikirkan cara lain."

"Memangnya apa rencanamu?" tanya Au Ban-hoa penasaran.

"Akan kukatakan secara empat mata dengan Pangeran sendiri," sahut Ang Tiok-lim. "Maaf, Pangeran, bolehkah hamba....."

Pangeran Hok-ong paham, Au Ban-hoa yang berangasan dan gegabah itu bisa membocorkan rencana itu. Maka Pangeran Hok-ong berkata kepada Si Botak itu, "Ban-hoa, bukannya aku meremehkanmu, tapi keluarlah dulu, biar Tiok-lim lebih leluasa bicara."

Begitulah, kalau tadi Au Ban-hoa membuat jengkel dan iri Ma I-thian sebagai komandan pengawal, sekarang gantian Au Ban-hoa yang dibuat jengkel oleh Ang Tiok-lim. Tetapi ia tidak berani membantah perintah Pangeran Hok-ong, ia pun melangkah keluar sambil melontarkan lirikan mendongkolnya ke arah Ang Tiok-lim.

Setelah Au Ban-hoa keluar, Pangeran Hok-ong bertanya, "Apa rencanamu, Tiok-lim?"

"Begini, Pangeran, Helian Kong tidak puas melihat penampilan kita hanya dari depan, hanya yang di depan layar atau di atas permukaan. Dia menyelinap sebagai Ek Beng-ti untuk melihat punggung kita ada boroknya atau tidak. Karena itu, mari suguhi dia suatu pertunjukan di belakang layar, yang akan dilaporkannya kepada para jenderal, para jenderal akan percaya kepada laporan Helian Kong dan ini akan sangat menguntungkan Pangeran."

"Pertunjukan belakang layar bagaimana?"

Ang Tiok-lim mendekatkan mulutnya ke kuping Pangeran Hok-ong. Wajah Pangeran Hok-ong mula-mula kelihatan cerah dan mengangguk-angguk, tetapi lalu mengerutkan alisnya dan menjadi tegang. Usai Ang Tiok-lim membisiki, Pangeran Hok-ong bertanya, "Apa resikonya tidak terlalu, besar?"

"Resiko memang ada, tetapi ingat, Helian Kong akan bertempur mati-matian di pihak kita. Ilmunya tinggi. Dan resiko itu akan menghasilkan sesuatu yang Pangeran cita-citakan selama ini."

Pangeran Hok-ong berpikir agak lama sebelum mengambil keputusan. Maklum, yang dipertaruhkan bukan hanya nyawa anak buahnya, tetapi juga nyawa Pangeran Hok-ong sendiri. Tetapi akhirnya Pangeran Hok-ong mengangguk, "Baik. Aturlah semuanya itu, tetapi keamanan di sekitarku haruslah memadai."

"Bukan hanya memadai, tetapi meyakinkan dan tak tertembus, Pangeran. Hamba jamin."

"Baiklah."

Ang Tiok-lim pun meninggalkan kediaman Pangeran Hok-ong.


Sementara itu, Helian Kong berkunjung sejak sore hari ke rumah Phoa Taijin. Tujuan utamanya adalah bertukar-pikiran dengan Li Teng-kok. Ia berharap mudah-mudahan Li Teng-kok tidak sedang bepergian, karena sore itu sebenarnya tidak ada janji pertemuan dengannya. Sebagai basa-basi, lebih dulu Helian Kong menjumpai si empunya rumah, yaitu Phoa Taijin, dan isterinya. Menanyakan kesehatan mereka dan sebagainya.

"Anakku sudah menunggu-nunggumu, Helian Cong-peng," kata Phoa Taijin. "Ia bersemangat sekali. Dan hari ini ia mendapat teman tiga orang pendekar muda."

Helian Kong tersenyum, "Baik, aku jumpai dia dulu." Helian Kong lalu ke halaman belakang, menjumpai muridnya, murid yang diterimanya dengan sangat terpaksa itu.

Di halaman belakang, Phoa Bian-li ternyata sedang diberi nasehat-nasehat ilmu silat oleh tiga orang pemuda. Tiga pemuda berpakaian mentereng dan berdandan bagai pendekar namun pendekar di panggung wayang, semuanya begitu berapi-api memberi petunjuk kepada Phoa Bian-li.

Ada yang membetulkan kuda-kudanya, ada yang membetulkan sikap tubuhnya, ada yang memberi contoh gerakan yang harus dilakukan. Semuanya omong bersamaan dan semuanya minta didengarkan dulu. Maka Phoa Bian-li nampak kebingungan.

Tadi waktu Helian Kong mendengar Phoa Taijin yang mengatakan anaknya "mendapat teman tiga orang pendekar", ia sudah menduga dalam hati. Dugaan Helian Kong tepat. Tiga teman baru Phoa Bian-li itu ternyata adalah Oh Yang-hi, Po Boan-seng serta Song Sin-pa, yang belum kapok main pendekar-pendekaran di arenanya para pendekar sungguhan.

Phoa Bian-li saat itu sedang bingung menangkap petunjuk yang simpang-siur itu, sambil dalam hatinya agak menyesal kenapa tadinya kok berbasa-basi minta petunjuk segala? Sekarang setelah kebanjiran petunjuk, baru bingung.

Melihat gurunya datang, Phoa Bian-li seperti seorang yang hampir tenggelam di laut mendadak melihat sebuah perahu penolong. Cepat-cepat ia berseru, "Itu guruku datang. Dia pendekar hebat. Namanya Helian Kong. Pernah dengar?"

Oh Yang-hi yang beralis tebal itu mengerutkan alis sambil mengusap-usap janggutnya, sepertinya berpikir keras, "Helian Kong? Rasanya kok pernah dengar nama itu."

Waktu itu Helian Kong sudah dekat, Phoa Bian-li lalu memperkenalkan kedua pihak. Melihat betapa sederhana dandanan gurunya Phoa Bian-li, apalagi tidak nampak membawa senjata, "tiga pendekar" langsung memandang remeh. Mereka menduga mungkin gurunya Phoa Bian-li ini hanya seorang guru silat kampungan yang mengajar "jurus cakar kucing" sekedar agar dapurnya berasap.

Meskipun demikian, toh "tiga pendekar" tidak melewatkan untuk memamerkan dirinya. Si Alis Tebal Oh Yang-hi seperti biasanya memperkenalkan diri, "Selamat bertemu, Guru Helian, aku bernama Oh Yang-hi, julukanku adalah....."

Sebelum orang itu menyebut julukannya, Helian Kong menduga bahwa julukan mereka bertiga tentu sudah ganti lagi. Ternyata benar. "..... Hui-kiam-sian (Dewa Pedang Terbang), adik seperguruanku ini bernama Po Boan-seng dengan julukan Ban-ing-kiam (Pedang Selaksa Bayangan), ini adik seperguruanku yang nomor tiga, Song Sin-pa dengan julukan Kiam-ci-hui-hou (Macan Terbang Bersayap Pedang)."

Helian Kong sudah tidak heran lagi. Ia cuma mengangguk-angguk berbasa-basi, sambil mengamat-amati "tiga pendekar" itu. Si "dewa pedang terbang" itu beralis tebal dan sorot matanya menandakan kalau ia orang yang malas berpikir, tetapi cukup kreatif membuat julukan-julukan hebat bagi dirinya sendiri dan sudah berganti entah berapa julukan.

Lalu Helian Kong mengamati "pedang selaksa bayangan" yang bermuka tembem, hidungnya melesak hampir amblas sama sekali di antara pipi-pipinya yang besar, ujung-ujung luar kedua matanya melotot ke bawah, matanya setengah redup seperti orang mengantuk.

Lalu "macan terbang bersayap pedang" yang bernapas pun harus hati-hati, kalau bernapas keras sedikit saja terdengar bunyi mencicit di tenggorokannya, wajahnya hampir sepucat kertas, sepasang pundaknya agak naik. Agaknya 'si macan terbang bersayap pedang' ini perlu bantuan orang untuk "menerbangkan"nya.

Phoa Bian-li membantu memperkenalkan teman-teman barunya kepada Helian Kong, "Kukenal tiga orang, gagah ini siang tadi, ketika mereka membantu para prajurit mengamankan jalan-jalan di Lam-khia dari para bandit. Para bandit menyingkir semua begitu tahu ketiga pendekar ini ada di jalanan."

Si "dewa pedang terbang" mengangguk sambil berkata, "Ketakutan para bandit itu bisa dipahami. Agaknya para bandit jalanan itu sudah mendengar peristiwa kemarin, waktu aku menghabisi seorang bandit besar bernama Ek Beng-ti. Padahal Ek Beng-ti pernah mengalahkan bandit besar lain yang bernama Si Pedang Buruk, toh Ek Beng-ti tidak bisa bertahan lebih tiga gebrakan menghadapiku."

Helian Kong tahu kalau tidak cepat-cepat pergi, bisa-bisa didongengi semalam suntuk, maka cepat-cepat ia menukas dengan bertanya kepada Phoa Bian-li, "Li Teng-kok ada?"

"Ada di kamarnya, Guru. Sehari ini ia kelihatan murung."

Helian Kong pun beranjak ke deretan ruangan di bangunan sayap samping. "Tiga pendekar" agak kecewa bahwa mereka tidak didengarkan lagi. Gerutu Oh Yang-hi dalam hati, "Dasar guru silat kampung. Ia tidak mengerti sedikit pun yang kukatakan."

Sementara Helian Kong sudah berhadapan dengan Li Teng-kok. Dilihatnya wajah sahabatnya itu memang sedang murung. "Ada apa, Saudara Li."

"Hari ini aku menerima berita dari medan perang di barat daya "

Hati Helian Kong berdesir, medan perang barat daya yang dimaksudkan adalah perang di perbatasan utara Propinsi Se-cuan. Antara Jenderal Thio Hian-tiong yang mempertahankan Se-cuan, melawan pasukan Manchu yang menyerang dari arah Siam-si di bawah pimpinan mantan panglima dinasti Beng, Bu Sam-kui. Melihat sikap Li Teng-kok yang lesu, nampaknya bukan kabar baik yang diterimanya.

Helian Kong takut mendengar beritanya, toh ia bertanya juga, "Apa beritanya?"

"Pasukan kita terpukul mundur, dan dengan tergesa-gesa harus menyusun posisi-posisi pertahanan baru di sebelah selatan dari garis semula. Jenderal Thio terluka kena panah."

"Keparat. Agaknya Bu Sam-kui benar-benar sudah lupa bahwa dirinya orang Han."

"Saudara Helian, tidak ada gunanya mengutuki Bu Sam-kui sampai mulut kita kering sekalipun. Yang penting adalah tindakan yang tepat. Kalau sampai Propinsi Se-cuan jatuh, Manchu akan mendapatkan perbekalan jangka panjang untuk perang yang panjang pula."

"Sementara urusan di Lam-khia ini masih berlarut-larut dan entah kapan selesainya....." keluh Helian Kong.

"Mudah-mudahan sikap Pangeran Hok-ong yang mengalah itu membuka jalan untuk dituntaskannya urusan di sini."

"Sayangnya Pangeran Kui-ong mencurigai niat Pamannya itu," sahut Helian Kong. "Waktu aku menyelundup di antara para pembunuh bayaran, aku lihat sendiri orangnya Pangeran Kui-ong yang bernama Bhe Ting-lai sudah menarik banyak jagoan ke pihaknya dengan dipikat bayaran yang tinggi."

"Begitu?"

"Ya."

"Sudah kuperkirakan dari dulu, pengerahan pasukan secara besar-besaran oleh Pangeran Hok-ong ke dalam kota, menimbulkan kecurigaan pangeran-pangeran lainnya, biarpun pengumuman resminya mengatakan untuk membasmi bandit-bandit jalanan. Pangeran-pangeran lain takut, tetapi Pangeran Kui-ong yang berangasan karena merasa punya pendukung kuat di Hun-lam dan Kui-sai, makin menunjukkan sikap kerasnya. Negeri leluhur ini bisa terpecah-belah kalau Pangeran Kui-ong kehilangan pengendalian diri."

"Saudara Helian, malam ini juga mari kita temui Jenderal The."

"Untuk?"

"Akan kuusulkan, agar kita-kita ini dipecah jadi dua rombongan, sebagian menemui Pangeran Hok-ong dan sebagian menemui Pangeran Kui-ong. Yang menemui Pangeran Hok-ong akan mengusulkan agar Pangeran Hok-ong mengeluarkan kembali pasukan-pasukan ke luar kota kembali, lalu hendaknya Pangeran Hok-ong mempercepat pertemuan antar pangeran yang pernah direncanakannya itu. Sedang rombongan yang menemui Pangeran Kui-ong berusaha meyakinkan bahwa Pamandanya benar-benar bersungguh-sungguh mengundurkan diri. Agar Pangeran Kui-ong tidak mengambil tindakan kasar yang memperkeruh suasana."

"Akan kudukung kata-katamu di depan Jenderal The, Saudara Li," kata Helian Kong. "Mari berangkat."

Mereka tidak membuang waktu, segera menuju ke istal untuk mengambil kuda, lalu berangkat berdua saja. Mereka dapat menjumpai Jenderal The Ci-liong, dan mengajukan usul Li Teng-kok tadi. Sambil sedikit dibumbui tentang gawatnya keadaan di Se-cuan dan perlunya sisa-sisa kekuatan dinasti Beng disatukan dalam satu tangan.

Jenderal The Ci-liong ternyata juga memaklumi gawatnya keadaan, langsung saja ia menyetujuinya. Katanya, "Besok kita pecah rombongan-rombongan kita menjadi dua bagian. Aku dan Saudara Li akan menemui Pangeran Hok-ong, sedang Jenderal Thio Hong-goan dan anakku The Seng-kong biar menemui Pangeran Kui-ong. Saudara Helian, kau mau ikut rombongan yang mana?"

Jawab Helian Kong, "Aku tidak ikut rombongan yang manapun. Ada sesuatu yang hendak kulakukan di kalangan orang-orang jalan hitam. Mencegah Pangeran Kui-ong menjaring lebih banyak orang-orang itu untuk dijadikan kekuatan yang akan dikendalikan Pangeran Kui-ong dengan uangnya. Jagoan-jagoan jalan hitam itu mata duitan semua!"

"Caranya? Dengan membayar orang-orang itu lebih tinggi dari tawaran Pangeran Kui-ong?"

"Tidak. Mana bisa aku bertanding masalah uang dengan Pangeran Kui-ong? Karena keadaan amat mendesak, aku akan mencari jalan yang kasar saja."

"Apa?"

"Menculik Bhe Ting-lai."

"Hati-hati, orang itu julukannya Malaikat Maut Berwajah Senyum. Pasti cukup tangguh."

"Aku akan berhati-hati, dan akan berhasil."

"Tetapi Bhe Ting-lai itu cuma kepanjangan tangan Pangeran Kui-ong. Banyak orang-orang jalan hitam yang sudah tahu ini. Bagaimana kalau orang-orang jalan hitam itu tanpa Bhe Ting-lai langsung menemui Pangeran Kui-ong untuk menawarkan diri?"

"Kurasa tidak akan sampai terjadi. Bagaimana tebalnya kulit muka Pangeran Kui-ong, ia takkan sudi berjumpa langsung dengan jagoan-jagoan jalan hitam itu. Bisa merusak nama baiknya."

"Eh, kita lupakan satu pihak....." kata Li Teng-kok tiba-tiba.

"Pihak mana?" tanya Jenderal The.

"Rombongan orang-orangnya Bangsawan Bok dari Hun-lam."

Jenderal The menggeleng, "Mereka sedang susah diajak berunding. Mereka seperti anak-anak ayam yang kehilangan induknya sejak lenyapnya tanpa bekas Im Hai-lip, pemimpin mereka. Mereka sedang bingung untuk menemukan Im Hai-lip."

"Ya sudahlah, rasanya kita sendiri masih bisa melakukan tugas ini."

Kemudian mereka berpamitan pulang kepada Jenderal The. Lebih dulu mereka ke rumah Phoa Taijin untuk mengembalikan kuda. Dari situ Helian Kong berjalan kaki ke rumah pondokannya. Waktu ia sampai ke rumah, ia dapati isterinya dan anaknya juga iparnya sudah pulas semua. Helian Kong juga melihat jendela kamar Kongsun Giok sudah gelap dan Helian Kong pun menganggap Kongsun Giok sudah tidur pulas.

"Kasihan gadis itu....." pikir Helian Kong. "Ia begitu ketakutan terhadap orang-orang jahat yang pernah ia pergoki. Dan ia anggap rumah ini sebagai tempat perlindungan yang aman." Helian Kong sendiri pun masuk tidur.


Esoknya, Helian Kong dengan dandanan dan tampang lain sebagai Ek Beng-ti, meninggalkan rumah sewaannya menuju ke bekas terowongan air tempat persembunyian sebagian dari jago-jago jalan hitam itu. Helian Kong tahu pasti, masih ada banyak tempat persembunyian macam itu, tetapi entah di mana saja ia kurang tahu, mudah-mudahan bisa dilacak dari percakapan dengan orang-orang di terowongan air.

Di jalanan masih nampak regu-regu prajurit yang berjaga-jaga di segala sudut, meskipun hari masih sangat pagi. Tetapi "Ek Beng-ti" dengan lihai menyelinap di antara lorong-lorong sempit tanpa terlihat oleh prajurit-prajurit itu. Akhirnya sampailah ia di terowongan air yang kering itu.

Orang-orangnya tidak sebanyak dulu lagi, mungkin sebagian sudah menganggap keadaan di luar cukup aman. Yang ada di situ pun sebagian besar masih tertidur. Bara perapian belum padam benar. Karena Ek Beng-ti sudah dikenal, maka ia masuk dengan leluasa.

Helian Kong dalam samarannya itu bertindak-tanduk semirip mungkin dengan kaum kasar itu. Kalau ada tubuh yang sedang berbaring di tanah, ia langkahi saja. Kalau orangnya marah, Helian Kong melotot sambil mengeluarkan kata-kata kotor balasan. Ia langsung menemui Cong Liu yang duduk lesu di pojokan.

"Saudara Cong, bagaimana keadaanmu?" tanya Helian Kong.

Wajah Cong Liu kelihatan pucat namun berkeringat, pundaknya dibalut secara sembarangan dan kendor dengan kain yang tidak bersih. Bajunya hanya setengah dipakai, di sebelah yang tidak luka. Cong Liu mengangguk lemah, namun sorot matanya bersinar melihat kedatangan "Ek Beng-ti". Dalam keadaan begitu, rasanya "Ek Beng-ti" lah gantungan hidupnya satu-satunya.

"Semalam aku demam....." Si saudara tua dari Sepasang Serigala yang biasanya ganas itu, sekarang jadi kolokan. "Kemarin ada seorang teman yang mencungkil keluar peluru yang bersarang di belakang pundakku."

"Cepatlah sembuh, Saudara Cong. Jangan pikirkan dulu soal Adikmu. Kelak kita usahakan pertolongan buatnya. Ini aku bawakan obat-obatan dan roti."

"Obat luar atau obat dalam?"

"Kedua-duanya. Obat luar untuk diborehkan di lukanya, obat dalam untuk diminum. Kupakaikan obat luarnya, ya?"

Dengan telaten Helian Kong lalu membuka pembalutnya, lukanya agak berbau. Tetapi Helian Kong membersihkannya dengan air lalu membubuhkan obat yang baru tanpa risih, lalu membalutnya kembali dengan merobek bajunya sendiri.

Cong Liu tersentuh hatinya. "Sobat Ek, bajumu jadi robek ya?"

Helian Kong menjawab dengan gaya orang jalan hitam, "Ah, apa artinya sehelai baju? Di luar sana masih banyak orang yang bisa kurampok....." Sambil terus membalut.

Di luar dugaan Cong Liu berkata lemah, "Kalau boleh kunasehati, Saudara Ek. Jangan merampok lagi. Berhentilah sampai di sini saja. Carilah pekerjaan yang halal. Dengan ilmu silatmu yang hebat, kau bisa saja menjual jasa sebagai piau-su (pengawal perjalanan)."

Helian Kong tertegun. Sebenarnya ia baru saja hendak mulai menasehati Cong Liu agar jadi orang berguna, mengajaknya jadi pejuang melawan Manchu misalnya, sesuai kesepakatan Helian Kong dengan Toan Ai-liong. Tak terduga malahan Cong Liu sudah menasehati lebih dulu. "Kenapa Saudara Cong tiba-tiba berpikiran begitu?"

"Percuma hidup ini kalau jadi orang begini terus. Seperti tikus-tikus di bawah tanah saja. Kalau dibutuhkan tenaganya, kita dipakai. Kalau sudah tidak berguna, kita diuber-uber hendak dibunuh. Rasanya aku iri melihat orang-orang yang hidup tenteram, tidak takut kepada siapa pun karena tidak punya musuh. Biarpun hasilnya tidak banyak, mereka hidup tenteram."

Helian Kong sudah selesai membalut, lalu ia duduk di depan Cong Liu sambil menyodorkan rotinya. Cong Liu menyambutnya lalu menggigitnya pelan-pelan.

Kata Helian Kong, "Kedengarannya kata-kata Saudara Cong benar. Aku pun dari dulu sebenarnya tidak pernah bercita-cita jadi penjahat. Kemarin aku juga dinasehati agar jadi orang berguna bagi tanah air yang terancam Manchu. Aku masih memikir-mikirkan semalaman. Tetapi mendengar kata-katamu ini, tekadku semakin kuat untuk meninggalkan jalan hitam ini."

Sengaja Helian Kong berkata demikian, agar Cong Liu merasa nasehatnya dihargai. "Saudara Ek, siapa menasehatimu?"

"Seseorang, yang mungkin akan mengajak aku bergabung dalam barisan sukarelawan yang bakal dibentuk untuk menghadang pasukan Manchu."

"Jadi akan ada pembentukan barisan sukarelawan?"

Sebetulnya gagasan "barisan sukarelawan" itu melintas begitu saja di benak Helian Kong, Tak terduga Cong Liu menanggapinya dengan begitu antusias, akhirnya Helian Kong nekad saja. "Ya!" jawabnya tegas.

"Dengar dari siapa?"

"Ya..... dengar-dengar di luaran sana."

"Siapa yang akan membentuk barisan sukarelawan itu?"

Helian Kong akhirnya menjawab nekad, "Seorang panglima dinasti Beng yang bernama Helian Kong."

"Jangan-jangan setelah barisan itu terbentuk, tidak untuk melawan Manchu, malahan akan ditunggangi oleh salah satu pangeran untuk ambisinya pribadi, untuk menggasak pangeran-pangeran lainnya?"

Terpaksa "Ek Beng-ti" harus memuji-muji Helian Kong alias memuji diri serdiri, "Kabarnya Helian Kong ini pecinta tanah air sejati. Orangnya jujur, tidak mudah terpengaruh, tidak bisa disuap oleh siapa pun demi keadilan. Aku percaya barisan yang akan dibentuknya akan benar-benar untuk kepentingan tanah air."

Cong Liu mengangguk-angguk percaya, sementara Helian Kong berkata dalam hati, "Ek Beng-ti, terima kasih atas pujianmu padaku. Tetapi jangan sering-sering, ah....."

Cong Liu merenungkan sebentar kata-kata "Ek Beng-ti" itu lalu mengangguk-angguk, "Rasanya lebih memuaskan juga mati sebagai orang yang sedang melakukan hal berguna, daripada mati terkapar di selokan karena ditembak sebagai bandit oleh para prajurit."

"Saudara Cong benar-benar menerangi hatiku."

"Tetapi apakah Helian Kong mau menerima orang-orang semacam kita? Bekas pengacau-pengacau yang tangannya berlumuran darah orang-orang tak bersalah?"

"Kabarnya begitu."

"Yang penting sekarang aku sembuh dulu, dan adikku Cong Seng dapat dikeluarkan dari tahanan Pangeran Hok-ong dulu."

Helian Kong memandang sekelilingnya, di ruangan gelap yang tak memperoleh cahaya matahari itu nampak orang-orang berpencaran. Ada yang berbaring-baring, bercakap-cakap, atau termenung-menung sendirian tanpa teman. Tanya Helian Kong, "Saudara Cong, kenapa jumlah orang-orang ini sekarang jauh lebih sedikit dari kemarin?"

"Ya, sebagian sudah pergi, karena di luaran sudah aman. Sebagian dijaring oleh Bhe Ting-lai, orangnya Pangeran Kui-ong itu."

"Siapa saja yang berhasil dibujuk oleh Bhe Ting-lai?"

"Ya antara lain Si Walet Hitam Nyo Tiang-le, Si Tali Maut Duan Po, Jiat-po (Si Kapak Maut) Bong Pa-cu."

Helian Kong tercekat hatinya. Orang-orang yang disebutkan itu adalah jago-jago yang "punya ranking" di jalan hitam. Kalau pun tidak tergolong "kelas satu" namun cukup berbahaya juga. Contohnya adalah Si Walet Hitam Nyo Tiang-le yang pernah dibayar pihak tertentu untuk membunuh Jenderal The Ci-liong namun akhirnya malah berhadapan dengan Helian Kong itu. Kalau mereka berkumpul cukup banyak sebagai kaki-tangannya Pangeran Kui-ong, maka berarti pangeran itu punya "regu maut" yang bisa digunakan untuk main kasar kepada saingannya yang mana saja.

"Sekarang Bhe Ting-lai di mana?" tanya Helian Kong. "Kenapa? Mau bergabung sekalian?"

"Tidak. Bukankah Saudara Cong baru saja menerangi hatiku agar melakukan yang berguna? Aku justru ingin melakukannya sekarang, yaitu membunuh Bhe Ting-lai. Dia tidak boleh lagi memperlakukan teman-teman kita seperti jangkrik aduan saja."

Cong Liu geleng-geleng kepala, "Percuma. Kau bunuh Bhe Ting-lai, kalau teman-teman kita masih mata duitan, tanpa Bhe Ting-lai pun teman-teman kita akan mencari 'pemberi order' yang baru."

"Saudara Cong tahu di mana Bhe Ting-lai?" Helian Kong tetap ngotot.

"Entahlah. Yang terang pasti tidak diperkemahannya Pangeran Kui-ong. Biarpun Pangeran Kui-ong ingin memanfaatkan tenaga teman-teman kita itu, namun pangeran itu tentu kelihatan risih kalau terlihat oleh orang banyak sedang bersama-sama dengan orang-orang jalan hitam yang dianggap sampah ini. Ada banyak tempat lain seperti ini di seluruh Lam-khia."

"Akan kudatangi tempat-tempat itu satu persatu."

"Hati-hatilah, Saudara Ek. Aku meragukan upayamu itu bisa mengubah pikiran teman-teman kita."

"Aku pergi dulu Saudara Cong. Kapan-kapan aku datang lagi membawakan obat dan roti untukmu, juga untuk kawan-kawan yang ada di sini..."

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.