Puing Puing Dinasti Jilid 17

Novel silat Mandarin serial Helian Kong seri ketiga, puing-puing dinasti jilid 17 karya Stevanus S.P
Sonny Ogawa

Puing Puing Dinasti Jilid 17 karya Stevanus S.P - LALU Helian Kong pergi dari situ. Belum lama Helian Kong pergi, di tempat itu muncul seorang asing. Tubuhnya kurus namun matanya tajam, memakai jubah pendek yang hanya sampai ke lutut. Topi rumputnya butut dan sudah rusak pinggirannya.

Novel Silat Mandarin, karya Stevanus S.P

Begitu masuk, langsung ia berkata dengan suaranya yang cempreng mirip logam digesekkan, "Di sini ada yang bernama Ek Beng-ti? Itu jagoan yang menundukkan Si Pedang Buruk dalam beberapa gebrakan saja?"

Sikapnya dan caranya bertanya begitu pongah, seperti seorang tuan besar menanyai budak-budaknya. Padahal orang-orang dalam terowongan air itu juga adalah orang-orang jalan hitam yang rata-rata berwatak kasar dan pemarah. Apalagi saat itu jiwa mereka sedang tertekan, hati sedang kesal karena kejadian yang baru mereka alami, tahu-tahu muncul orang asing yang bicara dengan nada congkak ini.

Seorang yang gendut berewokan dengan lengan terluka dan sepasang bola besi bertangkai tergeletak di sampingnya, bertanya balik dengan sikap kurang senang, "Siapa kau? Kenapa mencari Ek Beng-ti?"

"Kau yang namanya Ek Beng-ti?" Si Kurus malahan balik bertanya lagi. Lalu dibantah sendiri, "Namun kudengar potongan Ek Beng-ti tidak bulat seperti kau. Kau pasti bukan dia."

"Memang bukan. Tapi belum kau jawab pertanyaanku tadi, buat apa kau cari Ek Beng-ti?"

"Ada tawaran kontrak."

Bagi kalangan pembunuh bayaran, memang sudah biasa mereka meminjam bahasa dari dunia perdagangan itu. Bahkan beberapa pembunuh bayaran tidak merasa diri mereka sebagai penjahat, tetapi "penjual jasa".

Si Gendut berewokan berkata, "Kalau soal itu, kenapa harus Ek Beng-ti yang orangnya sedang tidak ada? Di sini masih banyak yang sedia teken-kontrak denganmu. Aku misalnya, aku juga berpengalaman dan punya kemampuan lho! Kenapa tidak aku saja?"

Cong Liu menyahut dari pojok yang jauh dengan suaranya yang lemah, "Sobat, Ek Beng-ti sudah mengundurkan diri dari dunia yang beginian. Sudah dikatakannya kepadaku tadi."

Lalu Si Gendut berewokan kembali menukas, "Nah, tu dengar! Apalagi Ek Beng-ti sendiri sudah keluar dari usaha jual-jasa. Seandainya kau ketemukan juga percuma. Lebih baik pakai aku saja."

"Atau aku!" sahut seorang lainnya.

"Atau aku!" sahut yang lainnya lagi.

Begitulah, rupanya orang-orang yang baru saja diuber-uber hendak ditumpas, sekarang kembali berebutan "cari order" begitu ada "makelar" yang muncul. Belum kapok rupanya, kalau membayangkan akan mendapat uang lagi.

Cong Liu diam-diam menarik napas, pikirnya, "Memang sulit mengubah cara berpikir seseorang dalam sekejap mata. Aku dan Ek Beng-ti baru mau keluar dari kehidupan model begini, tapi teman-temanku masih banyak yang ingin mencebur kembali ke dalamnya. Demi uang."

Tetapi pendatang asing yang mengaku hanya perantara itu, menjawab, "Sayang, teman-teman, aku cuma perantara yang tidak diberi hak untuk memutuskan sendiri siapa yang tenaganya boleh disewa dan siapa yang tidak. Orang yang menyuruh aku hanya mau Ek Beng-ti. Karena Ek Beng-ti tidak di sini, biar kucari ke tempat lain."

Cong Liu kembali berkata, "Sudah kubilang, ketemu Ek Beng-ti pun percuma. Ia sudah mau keluar dari lingkungan ini."

"Biar kudengar sendiri dari mulutnya sendiri kalau sudah kutemui dia. Permisi." Lalu keluarlah orang itu dari terowongan air yang kering itu. Ketika lewat di sebuah gang yang sepi, tiba-tiba ia hentikan langkahnya, karena di depannya berdiri seseorang yang bersikap menghadang.

Si penghadang itu bukan lain adalah Bhe Ting-lai, pendekar yang berjulukan Siau-bin-jiat-sin (Malaikat Maut Berwajah Tertawa), tangan kanan Pangeran Kui-ong yang ditugasi menghimpun kekuatan orang-orang bawah tanah untuk keuntungan Pangeran Kui-ong tentunya. Cuma kali ini Si Malaikat Maut nampaknya gusar, tidak tersenyum lagi.

Orang asing yang baru dari terowongan air itu pun berhenti, "Bhe Ting-lai, kenapa kau menghadangku?"

"Ang Tiok-lim, kau mengacaukan pekerjaanku. Kau datangi orang-orang yang sudah sepakat untuk bekerja bagiku, kau tawari mereka dengan bayaran lebih tinggi, sehingga banyak yang melepaskan diri dari kesepakatan denganku. Untuk siapa kau bekerja?"

"Untuk Pangeran Kui-ong."

"Bohong! Akulah yang dipercaya oleh Pangeran Kui-ong. Berani benar kau mengaku-aku disuruh Pangeran Kui-ong. Ayo mengaku, kau disuruh pangeran yang mana? Pangeran Lou-ong, Tong-ong, atau Kong-ong? Atau Pangeran Hok-ong?"

"Jangan ngawur. Pangeran Hok-ong kan sudah menyatakan mengundurkan diri dari gelanggang persaingan?"

"Itu dilakukan sekedar untuk pura-pura juga bisa. Apa sulitnya? Tetapi kau belum menjawab pertanyaanku, siapa yang menyuruhmu?"

Ang Tiok-lim menjawab santai, "Sudah kuberitahu, kau tidak percaya. Lalu harus kujawab bagaimana lagi?"

"Tidak masuk akal kalau kau juga disuruh Pangeran Kui-ong seperti pengakuan bohongmu tadi. Masa Pangeran Kui-ong dalam waktu yang bersamaan menyuruh aku dan kau sekaligus tanpa memberitahu aku? Apakah Pangeran Kui-ong begitu tolol, tidak memperhitungkan kalau kita bakalan bentrok di medan tugas?"

"Kalau tidak percaya, ya tebak sendirilah siapa yang menyuruh aku."

Bhe Ting-lai tertawa dingin sambil menghunus pedangnya. "Aku tidak akan susah-susah membuang tenaga dan pikiran untuk menyelidiki siapa yang menyuruhmu. Aku hanya punya satu cara yang praktis. Karena kau mengacau rencanaku, aku pun akan membunuhmu, habis perkara."

Dan setelah pedangnya tergenggam di tangannya, wajah Bhe Ting-lai tiba-tiba penuh seri tawa. Kata orang, memang begitulah ciri khas jagoan ini, kalau nafsu membunuhnya sudah meluap, mukanya bukannya angker, malahan penuh seri tawa yang bergairah. Dia punya kelainan jiwa, menganggap membunuh sebagai jenis kenikmatan yang harus disongsong dengan penuh gairah.

Melihat wajah Bhe Ting-lai sudah berseri-seri, Ang Tiok-Iim jadi waspada. Dia pun menghunus pedangnya, sambil berkata, "Karena kau ingin membunuhku, bagiku juga tak ada jalan lain kecuali membunuhmu lebih dulu."

Di tengah-tengah gang sepi di Lam-khia itu, kedua jagoan ini sudah berhadapan dengan pedang di tangan masing-masing. Mereka saling menatap tajam, bergeser perlahan, membuat beberapa gerak pancingan. Sama-sama tahu reputasi lawan mereka, maka jadi sama-sama berhati-hati.

Serangan yang sesungguhnya dibuka oleh Ang Tiok-lim. Bayangan pedangnya yang keperakan tiba-tiba menebar seperti sehelai jaringan cahaya yang ditaburkan menyungkup bagian atas tubuh lawan. Di tengah-tengah puluhan bayangan pedang itu ada satu serangan asli yang sulit dikenali.

Bhe Ting-lai menjauhi "jaring pedang" itu dengan melejit ke udara, lalu dari udara menukik dengan kepala di bawah, ujung pedangnya mematuk ke pusat ubun-ubun lawannya dengan kecepatan kilat. Begitulah, dua jago main pedang itu langsung bergebrak dengan tipu-tipu simpanan mereka.

Gerakan mereka cepat dan tangkas, kadang-kadang mereka hanya bergeser di atas tanah, memamerkan pergeseran langkah ruwet yang dilengkapi gerak pedang bertubi-tubi sehingga kedua pedang itu seolah berubah menjadi banyak. Kadang-kadang salah satu atau keduanya berlompatan di udara sehingga seperti sepasang elang yang menyambar.

Kadang-kadang bergulingan menggelundung di tanah. Benar-benar suatu pertarungan pedang tingkat tinggi, sayang tak ada penonton satu pun yang menyaksikannya. Entah berapa puluh gebrak kemudian, kedua jago pedang itu sudah sama-sama berpeluh deras, tetapi masih sama-sama uletnya. Pedang mereka entah sudah berbenturan berapa ribu kali, saling mengancam ke sasaran masing-masing.

Mendadak gaya permainan Bhe Ting-lai agak berubah. Ia tidak lagi mengobral lompatan-lompatan panjang dan tinggi, melainkan lebih meningkat dalam geseran langkah berbagai sudut yang membingungkan. Cara main pedangnya juga mulai aneh, pedang itu sebentar dipegang tangan kanan, sebentar tangan kiri, dengan tubuh sering berputaran mengikuti gerak langkahnya.

Ang Tiok-lim mengenali permainan lawannya, dengusnya, "Hem, Co-yu Kiam-hoat (Ilmu Pedang Kiri Kanan)."

"Benar." sahut Bhe Ting-lai tanpa mengendorkan tekanannya. "Itu artinya riwayatmu hampir habis." Bersamaan itu, senyuman Bhe Ting-lai makin lebar dan makin manis. Biasanya itu dijadikan tanda bahwa Malaikat Maut Berwajah Senyum itu hampir selesai pekerjaannya.

Ang Tiok-lim memang harus lebih berhati-hati. Ia jadi seakan berhadapan dengan seorang lawan yang sebentar jadi orang normal, detik lain jadi orang kidal. Padahal bagi pertempuran antar ahli, menghadapi pemain pedang normal dan pemain kidal jelaslah amat berbeda perhitungannya. Sekarang Ang Tiok-lim harus memeras otaknya, memecah pikirannya menghadapi lawan yang "sebentar kidal sebentar normal" itu.

Rupanya cukup repot juga. Sekarang Ang Tiok-limlah yang harus mengobral lompatan-lompatan panjang dan tinggi untuk setiap kali menjauhi lawan yang sudut serangannya jadi sulit tertebak. Dengan kata lain, Ang Tiok-lim mulai terdesak.

Maka Ang Tiok-lim pun mulai mengeluarkan teknik-teknik pedang simpanannya yang namanya sesuai dengan nama dirinya, Tiok-lim Kiam-hoat (Ilmu Pedang Hutan Bambu). Suatu teknik main pedang yang garis besarnya diilhami dari gerak-gerik batang-batang bambu waktu diterpa angin. Batang-batang bambu itu begitu berat ditekan, tetapi dengan lenturnya sanggup meredam tekanan itu.

Oleh kakek guru Ang Tiok-lim lalu dicipta jadi Ilmu Pedang Hutan Bambu itulah. Dengan kelenturan tubuh Ang Tiok-lim yang amat terlatih, tubuh Ang Tiok-lim kelihatannya seperti pohon bambu ditiup angin. Ditekuk ke sana ditekuk ke sini, bahkan kadang-kadang sampai hampir mengenai tanah, namun dengan lincah dapat melejit menyerang kembali.

Kalau Bhe Ting-lai mendemonstrasikan langkah-langkah bersudut rumit dan keterampilan dua tangan memainkan satu pedang bergantian, maka Ang Tiok-lim seolah-olah berubah jadi bertubuh karet. Bisa ditekuk kemana pun semau yang punya, lalu melenting cepat membalas menyerang.

Suatu kali Bhe Ting-lai menyerang dengan hebat dan gencar, seluruh ruang gerak di arena itu seakan sudah tertutup cahaya pedangnya, hanya tinggal tiga jengkal ruang gerak tipis di atas tanah. Toh ruang gerak tipis itu dimanfaatkan oleh Ang Tiok-lim dengan cara yang luar biasa. Sebelah telapak kakinya seolah berakar di tanah dengan kokohnya, kaki lain lurus sebagai imbangan, lalu tubuhnya lurus mendoyong ke belakang sampai hampir menyentuh tanah.

Gerakan ini biasa disebut Tiat-pan-kio (Teknik Jembatan Besi), banyak orang bisa. Namun kalau disuruh melakukan yang secepat, semendadak dan serendah Ang Tiok-lim, rasanya yang bisa cuma segelintir saja. Dengan teknik semahir itu, maka ruang gerak yang cuma tiga jengkal dari permukaan bumi itu bagi Ang Tiok-lim masih terasa terlalu longgar.

Bhe Ting-lai dengan sengit lalu membabat ke kaki Ang Tiok-lim yang menumpu tanah. Rupanya pencipta Ilmu Pedang Hutan Bambu itu dulu menciptakan teknik penuh resiko ini tidak cuma untuk gagah-gagahan atau sekedar memancing tepuk tangan kalau dipertontonkan, melainkan sudah diperhitungkan segala gerak-gerik musuh. Meski Ang Tiok-lim tidak melihat dengan matanya, nalurinya bisa merasakan arah serangan Bhe Ting-lai itu.

Namun Ang Tiok-lim justru merebahkan diri terlentang sama sekali di tanah, pedang Bhe Ting-lai cuma lewat sejari di atas lututnya. Begitu pedang lewat, dua kakinya mendepak berturutan ke atas. Lalu tubuhnya bagaikan sebatang bambu yang baru saja melengkung namun penekannya lenyap, melenting berdiri dengan pedang menikam pula.

Bhe Ting-lai mengumpat. Ia berhasil menangkis, tetapi tikaman-tikaman kedua dan ketiga sudah tiba. Rupanya Ang Tiok-lim menjalankan tipu Lian-cu-sam-kiam (Tikaman Berantai Tiga Kali). Semuanya berlangsung serba cepat, Bhe Ting-lai tidak sempat memindah-mindahkan pedangnya, maka tikaman ketiga dari lawannya mengenai pundaknya.

Bhe Ting-lai berdesis ketakutan. Ia melompat mundur dan matanya menyalakan kemarahan ke arah Ang Tiok-lim. "Hebat kau, orang she Ang. Tetapi aku belum mengaku kalah. Lain kali akan kujajal pula Ilmu Pedang Hutan Bambumu."

Tiba-tiba dari belakang Bhe Ting-lai terdengar suara seorang perempuan muda yang lembut, "Kau tidak akan ke mana-mana, Bhe Ting-lai. Kau akan masuk ke dalam tanah."

Dengan kaget Bhe Ting-lai memutar badannya, namun sebelum melihat apa-apa, tahu-tahu sesuatu yang tajam dan dingin menyusup ke punggungnya. Begitu cepat matanya kabur, lalu ia rebah dan nyawanya pun amblas tidak lebih dari lima detik.

Ang Tiok-lim menarik napas. Sambil menyarungkan pedangnya, ia memberi hormat ke arah asalnya senjata gelap tadi, "Nona Ciam Lam-hoa, terima kasih."

Dari arah yang diajak bicara itu tidak muncul sesosok pun, tapi cuma terdengar suara cekikikan yang makin lama makin jauh. Ang Tiok-lim cuma geleng-geleng kepala, desisnya sendiri, "Cantik orangnya, meskipun usianya tidak muda lagi. Tetapi siapapun yang kena Jarum Kembang Birunya, jangan harap umurnya bisa melebihi lima detik. Hem, namanya Ciam Lam-hoa, julukannya Lam-hoa-ciam (Jarum Kembang Biru)."

Dilihatnya dalam waktu sekejap, permukaan kulit Bhe Ting-lai sudah penuh bercak-bercak biru. "Mayat ini harus dilenyapkan....." pikir Ang Tiok-lim. Lalu ia menggunakan pedang Bhe Ting-lai untuk menggali tanah lunak di tepi jalan. Lubangnya dangkal saja, cukup untuk mengubur tubuh Bhe Ting-lai dan pedangnya.

Demikianlah, orang kepercayaan Pangeran Kui-ong sejak saat itu lenyap dari riuh-rendahnya percaturan para jagoan di Lam-khia. Ang Tiok-lim baru hendak meninggalkan tempat itu, waktu melihat tulisan yang digoreskan di tanah dengan menggunakan ranting. Tulisan seorang perempuan yang berbunyi, "Ek Beng-ti sedang di toko obat 'Yok-ting' di ujung barat Jalan raya Sembilan Pagoda."

Ang Tiok-lim tahu itulah petunjuk yang ditinggalkan oleh Ciam Lam-hoa. Dihapuskannya tulisan itu dengan kakinya, lalu ia pun melangkah ke arah tempat yang ditunjukkan.


Saat itu Helian Kong dalam penyamarannya sebagai Ek Beng-ti sedang mencari Bhe Ting-lai untuk dibunuh. Dianggapnya Bhe Ting-lai sebagai kaki-tangan Pangeran Kui-ong amat membahayakan persatuan sisa-sisa dinasti Beng di selatan, dengan mengumpulkan banyak jagoan bayaran untuk dihimpun sebagai kekuatan yang dikendalikan Pangeran Kui-ong.

Helian Kong tidak tahu ke mana harus menemukan orang di kota seluas Lam-khia. Tiba-tiba ia mendapat gagasan untuk datang dulu ke tempat Toan Ai-liong dan teman-temannya. Tempat orang-orang bekas Pelangi Kuning namun yang lebih mementingkan keselamatan tanah air daripada keinginan golongannya. Sikap yang cocok dengan sikap Helian Kong.

"Mungkin Toan Ai-liong dan kawan-kawannya bisa menunjukkan tempat-tempat persembunyian lain dari para bandit jalanan, dan di tempat itu barangkali bisa kutemukan Bhe Ting-lai."

Helian Kong pun menuju ke rumah obat Yok-ting di ujung Jalan Sembilan Pagoda. Rumah obat itu dalam keadaan sedang buka, tetapi Helian Kong tidak masuk dari depan, melainkan dengan mengetuk pintu kecil di samping, yang kemarin ditunjukkan Toan Ai-liong. Dan yang membukakan pintu pun orang yang kemarin, si berewok Hoa Liu.

"Oh, Saudara Ek."

"Saudara Hoa, apakah Saudara Toan Ai-liong ada? Aku ingin mengajaknya berkeliling Lam-khia untuk mencari Bhe Ting-lai."

Hoa Liu agak heran, "Bhe Ting-lai? Si Malaikat Maut Berwajah Senyum yang terang-terangan sudah buka kartu sebagai orang suruhannya Pangeran Kui-ong itu?"

"Betul."

"Buat apa Saudara Ek mencarinya?"

"Buat membunuhnya."

"Saudara Ek ada urusan pribadi dengan orang itu, sampai ingin membunuhnya?" tanya Hoa Liu. "Maaf, kalau kata-kataku terdengar seperti nenek-nenek cerewet yang sok menasehati. Kami, golongan Pelangi Kuning yang menjadi musuh bebuyutan dinasti Beng saja tidak main bunuh sembarangan di Lam-khia ini, kami khawatir keadaan akan kacau dan Manchu yang beruntung nantinya. Mengapa Saudara Ek malah hendak membunuh kaki-tangan Pangeran Kui-ong itu? Tidakkah akan memanaskan situasi?"

"Kalau sudah kutemui Saudara Toan Ai-liong, aku bisa menjelaskan kepadanya. Ini bukan kepentingan pribadiku, melainkan dalam upaya menyelamatkan negeri leluhur kita juga."

Hoa Liu tercengang, lalu ia buru-buru masuk. Tidak lama kemudian sudah keluar bersama Toan Ai-liong. "Kau mencariku, Saudara Ek?"

"Ya. Aku minta tolong Saudara Toan membantu aku mencari Bhe Ting-lai. Saudara Toan pasti tahu alasanku, sebab Saudara berada pula di terowongan air itu ketika Bhe Ting-lai memikat banyak jagoan untuk diperalat bagi majikannya. Kalau maksudnya terlaksana, sangat membahayakan persatuan di sisa negeri leluhur ini."

"Aku maklum Saudara Ek sekarang sedang bersemangat-bersemangatnya berbalik dari jalan hitam ke jalan yang benar, berguna bagi bangsa dan negara. Tetapi..... membunuh Bhe Ting-lai apakah sudah tepat?"

"Saudara Toan, sisa negeri leluhur yang tinggal sepetak ini sudah semakin kritis. Kemarin kudengar kabar, bahwa pasukan Jenderal Thio Hian-tiong yang bertahan di perbatasan utara Propinsi Se-cuan, telah terpukul mundur oleh pasukan Manchu di bawah pimpinan Bu Sam-kui, hingga pasukan Jenderal Thio mundur sampai ratusan li dan menyusun pertahanan baru. Jenderal Thio sendiri terluka kena panah Manchu. Ini menandakan, bahwa urusan di Lam-khia sini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Yang menjadikan berlarut-larut adalah orang-orang macam Bhe Ting-lai itu, maka harus ditumpas!"

Saking bersemangatnya bicara soal membela tanah air, Helian Kong sampai lupa akan peranannya sebagai Ek Beng-ti yang lugu dan ketolol-tololan. Kemarin, waktu Toan Ai-liong menerangkan makna cinta tanah air kepada "Ek Beng-ti".

Toan Ai-liong sampai harus memberi gambaran tentang "kampung besar" segala karena "saking tololnya" Ek Beng-ti. Sekarang tiba-tiba "Ek Beng-ti" bisa bicara demikian lancar menganalisa situasi politik dan militer, Toan Ai-liong tercengang sekaligus curiga. "Saudara Ek, siapa sebenarnya kau?"

Kepala Helian Kong bagaikan diguyur air dingin. Sadar dirinya telah terlalu bersemangat berbicara, hingga tidak cocok dengan peranannya sebagai Ek Beng-ti yang lugu. Tetapi kalau mau pura-pura lugu kembali, malah akan semakin mencurigakan. Maka Helian Kong jadi bingung sesaat lamanya.

Saat itulah dari balik pintu terdengar suara tertawa lunak, dan suara seorang lelaki muda yang berat, "Saudara Toan, kenalilah, yang di hadapanmu itu adalah pahlawan legendaris yang terkenal, Helian Kong namanya. Bukan Ek Beng-ti"

Toan Ai-liong dan Helian Kong sama-sama terkejut. Toan Ai-liong tidak menduga kalau "Ek Beng-ti" ini ternyata adalah panglima dinasti Beng yang pernah menjadi lawan tangguh gerakan Pelangi Kuning dulu. Bahkan Helian Kong inilah yang membongkar jaringan mata-mata Pelangi Kuning yang begitu rumit di Ibukota Pak-khia bahkan menyusup sampai ke istana kekaisaran.

Helian Kong sendiri kaget kedoknya dilucuti, entah bagaimana reaksi Toan Ai-liong dan kawan-kawannya kalau mereka sudah tahu "Ek Beng-ti" ini panglima dinasti Beng? Toan Ai-liong memang langsung menjauhi pintu dengan sikap siaga, dan dua tangan sudah menempel di gagang sepasang goloknya yang tipis. Siap dicabut.

Tetapi si pembicara tadi muncul, bukan lain adalah Yo Kian-hi, tokoh Pelangi Kuning yang sudah dikenal baik oleh Helian Kong. Bahkan belakangan ini antara kedua bekas seteru ini semakin banyak diketemukan titik pandangan.

Kata Yo Kian-hi kepada Toan Ai-liong, "Saudara Toan, Helian Kong ini memakai nama palsu bukan untuk mengelabuhi kita, melainkan karena sedang menyamar untuk suatu tujuan yang sama dengan tujuan kita, menyelamatkan tanah air. Aku yakin itu. Tak perlu kau curiga kepadanya."

Omongan Yo Kian-hi agaknya cukup berwibawa, terbukti Toan Ai-liong mengendorkan sikapnya, meskipun masih kelihatan canggung. Bayangkan, yang kemarin ia nasehati panjang-lebar tentang "membela kampung besar" itu ternyata Helian Kong yang pengabdiannya amat terkenal. Bukan sesama panglima dinasti Beng saja yang menghormatinya, bahkan banyak tokoh-tokoh Pelangi Kuning juga menghormatinya. Misalnya Jenderal Li Giam.

Sementara Yo Kian-hi berkata kepada Helian Kong yang masih di depan pintu, "Maaf kubuka samaranmu, Saudara Helian. Tetapi aku jamin teman-temanku ini bisa dipercaya. Di depan orang-orang yang setujuan, buat apa main sembunyi-sembunyian?"

Helian Kong menyeringai sambil menarik napas, "Maaf, Saudara Toan. Aku tidak bermaksud membohongimu. Aku memang sedang menyusup di kalangan bawah permukaan untuk memantau gerak-gerik mereka. Terus-terang, aku lega mendengar kata-kata Saudara Toan kemarin, menimbulkan harapanku bahwa sisa negeri ini masih bisa diselamatkan."

Toan Ai-liong membalas hormat, "Panglima Helian tidak bersalah."

Yo Kian-hi tertawa, "Kita mempunyai keprihatinan yang sama. Mari, Saudara Helian kuundang masuk untuk membicarakan banyak hal."

"Maaf, aku tetap hendak membunuh Bhe Ting-lai. Ini untuk membuyarkan kekuatan jahat yang hendak dihimpun olehnya."

Yo Kian-hi melangkah keluar pintu, "Kalau begitu, mari bersama-sama aku."

Yo Kian-hi mengeluarkan sebuah tutup mata berwarna hitam dipakainya untuk menutupi sebelah matanya. Lalu ia mengotori mukanya, katanya sambil tertawa kepada Helian Kong, "Hei, Ek Beng-ti, cocok tidak aku menjadi rekanmu di jalan hitam?"

Helian Kong tertawa, "Selamat datang di jalan hitam, Saudara....."

"Diam San-tong yang berjulukan Tok-gan Beng-hou (Macan Bengis Bermata Satu)!" sahut Yo Kian-hi memperkenalkan nama palsu dan julukan palsunya.

Helian Kong tertawa pula, "Wah, Ek Beng-ti yang sudah lama berkecimpung di jalan hitam ini pun belum punya julukan, kau sudah punya julukan sehebat itu?"

"Di Lam-khia ini, supaya dapat pasaran haruslah punya julukan yang seram."

Dua orang bekas seteru yang menjadi sahabat karena kesamaan tujuan itu pun berjalan meninggalkan tempat itu. Melihat betapa akrabnya mereka berdua, Toan Ai-liong lega. Rasanya, biarpun "Ek Beng-ti" itu ternyata adalah penyamaran Helian Kong, pasti takkan merugikan pihaknya.

Mereka berjalan tidak membawa senjata, menghindari kerepotan dengan para prajurit yang masih berkeliaran di sana-sini. Belum jauh Helian Kong dan Yo Kian-hi berjalan, seseorang memanggil dari belakang, "Siapa di antara kalian yang bernama Ek Beng-ti?"

Helian Kong sudah hendak membalik tubuhnya, tetapi Yo Kian-hi memegangi lengannya sambil berbisik, "Berkepala dinginlah. Dengan demikian barulah kita bisa memancing keterangan dan mengetahui siapa biang pengacaunya."

Helian Kong mengangguk, setelah itu baru memutar tubuh. Begitu pula Yo Kian-hi. Mereka melihat orang yang memanggil tadi seorang lelaki setengah baya, kurus, berjubah pendek dan jubahnya itu nampak kotor seperti habis untuk bergulingan di tanah, memakai topi rumput. Ia berani membawa pedang dengan menyolok, mungkin mempunyai "surat-jalan" agar bisa melewati pos-pos pemeriksaan para prajurit. Orang ini bukan lain adalah Ang Tiok-lim.

"Yang mana Ek Beng-ti?" Ang Tiok-lim mengulangi pertanyaannya.

"Aku," sahut Helian Kong. "Kenapa mencariku?"

Ang Tiok-lim tertawa, "Aku mendengar kehebatanmu. Ada yang ingin memakai tenagamu, dengan bayaran yang memuaskan."

Helian Kong ingin menunjukkan "sikap profesional" dengan tidak bertanya siapa yang menyuruh dan mau disuruh untuk urusan apa. Pertanyaan-pertanyaan itu tabu ditanyakan oleh pembunuh bayaran yang benar-benar profesional. Helian Kong menunjuk Yo Kian-hi yang di sampingnya, "Aku ingin mengajak temanku ini. Namanya Diam San-tong. Ia cukup ganas dan kejam, patut dibayar mahal."

"Baik. Makin banyak berarti makin kuat. Temanmu boleh ikut."

"Kapan kami menerima penugasan? Dan apakah kami boleh menerima uang mukanya dulu?"

Ang Tiok-lim mengeluarkan dua keping mata uang emas, dilemparnya ke arah "Ek Beng-ti" dan "Diam San-tong" yang ditangkap oleh mereka berdua. Katanya, "Malam nanti berkumpullah di terowongan air itu, akan kujelaskan tugas kalian." Habis itu, Ang Tiok-lim berlalu pergi.

Helian Kong berpandangan sejenak dengan Yo Kian-hi, lalu kata Yo Kian-hi, "Kau lihat sendiri, Saudara Helian. Terlalu banyak calo-calo yang demikian itu berkeliaran di Lam-khia. Orang macam Bhe Ting-lai itu hanya salah satu dari sekian banyak 'pencari tenaga' macam itu. Kau bunuh Bhe Ting-lai pun tak banyak hasilnya, calo-calo lainnya masih berkeliaran. Lebih baik kalau kita pura-pura ikut mereka, kita ketahui apa yang akan mereka lakukan, dan kita gagalkan."

Helian Kong menyetujui, "Benar juga."

Kedua orang itu tidak tahu, bahwa pada saat mereka memutuskan untuk "tidak usah membunuh Bhe Ting-lai" maka Bhe Ting-lainya sendiri sudah berbaring dalam tanah. Helian Kong memeriksa kepingan uang emas di tangannya. Dia melihat bentuk emas itu agak tidak lazim. Bentuknya pipih segi empat, di ujung-ujung segi empatnya dipapas sedikit. Di salah satu permukaannya ada gambar timbul, menggambarkan sebuah pagoda yang puncaknya berselimut mega.

"Ada apa, Saudara Helian?" tanya Yo Kian-hi waktu melihat Helian Kong begitu memperhatikan kepingan uang emas itu.

Helian Kong berat mengatakannya, tetapi kalau ingin kerjasamanya dengan bekas orang-orang Pelangi Kuning ini menjadi kerjasama yang tulus, ia harus berterus-terang. Sahutnya, "Uang emas ini.... berasal dari Pangeran Kui-ong."

Yo Kian-hi memeriksa kepingan emasnya, didapatinya juga bentuk dan gambar yang sama dengan yang ada pada Helian Kong. "Jadi, orang tadi utusan Pangeran Kui-ong juga? Bukankah Bhe Ting-lai juga utusan Pangeran Kui-ong? Jadi Pangeran Kui-ong tidak cuma menyebar satu orang untuk menghimpun orang-orang dari jalan hitam dengan iming-iming uang?"

Helian Kong menarik napas, "Aku tidak bilang Pangeran Kui-ong yang menyuruh orang tadi. Aku hanya bilang, kepingan emas dengan gambar ini adalah berasal dari perbendaharaan harta Pangeran Kui-ong."

"Jadi, apa artinya?"

"Entahlah. Nanti malam di terowongan air itu, kita akan mendengar kepastiannya, atau setidaknya meraba kesimpulannya."

Yo Kian-hi bisa ikut merasakan keprihatinan yang menyelubungi hati Helian Kong. Bagaimana tidak prihatin? Selagi bekas-bekas musuh bebuyutan, seperti Helian Kong dan Yo Kian-hi, sudah melupakan permusuhan lama demi keselamatan negeri, melupakan bahwa mereka dulu berada di pihak-pihak yang bermusuhan yaitu dinasti Beng dan kaum Pelangi Kuning, maka mereka dapati kenyataan bahwa sesama pangeran dinasti Beng sendiri malah siap cakar-cakaran.

Saling mencurigai dan tak mampu bekerja sama dengan tulus. Malah seperti saling pamer kekuatan atau saling menggertak. Pangeran Hok-ong mengerahkan tentara secara besar-besaran ke dalam kota Lam-khia. Lalu Pangeran Kui-ong seperti mengimbanginya dengan menyebar uang emasnya untuk menghimpun orang-orang jalan hitam yang lagi digencet Pangeran Hok-ong.

Keduanya seperti lupa, Manchu mengancam garang di utara. Bahkan Jenderal Thio Hian-tiong yang bertahan diperbatasan Se-cuan pun sudah terpukul mundur oleh Manchu. Helian Kong mengantongi kepingan emas itu, lalu berkata kepada Yo Kian-hi,

"Saudara Yo, kau sendiri sudah melihat betapa bobroknya bagian dalam tubuh kami yang menamakan diri sebagai penerus-penerus dinasti itu. Sungguh aku bersyukur buat kau dan teman-temanmu macam Toan Ai-liong dan lain-lainnya, yang dalam situasi macam ini tidak mengambil kesempatan demi dendam golongan kalian sendiri, malah ikut memikirkan penyelamatan negeri."

"Jangan terlalu sedih, Saudara Helian. Soal adanya orang-orang berkuasa yang berjiwa sempit, cuma memikirkan kepentingan dirinya atau golongannya, bukan cuma terdapat di pihakmu, tetapi di pihakku juga. Saudara Helian pasti sudah tahu bagaimana sikut-sikutan antara panglima atasanku, Jenderal Li Giam, dengan rekannya sendiri Jenderal Gu Kim-sing dan Lau Cong-bin. Yang penting, Saudara Helian, harus tetap ada orang-orang semacam kau yang terus mengutamakan keselamatan negeri di atas keselamatan golongan. Dan soal membela negeri tumpah-darah bangsa Han ini, rasanya bukan hanya kewajiban para pewaris dinasti Beng, melainkan seluruh orang yang dalam tubuhnya mengalir darah bangsa Han, termasuk aku dan kawan-kawanku "

Helian Kong terharu. Ia genggam erat tangan Yo Kian-hi sambil berkata, "Sahabat yang sehati memang tidak selalu dapat ditemukan di bawah bendera yang sama, sebaliknya yang sama benderanya bukan jaminan kawan sejati."

"Benar, Saudara Helian. Sekarang apa rencanamu, setelah kau batalkan mencari Bhe Ting-lai?"

"Nanti malam aku akan ke terowongan air itu, menemui si pemberi kepingan uang emas ini untuk mengetahui apa rencananya."

Yo Kian-hi berkata sungguh-sungguh sambil memandang dengan matanya yang tidak ditutupi kain hitam, "Ek Beng-ti, jangan lupa mengajak si Diam San-tong yang juga lagi butuh order ini."

Helian Kong tertawa geli, "Tentu, tentu. Kita akan berangkat bersama-sama. Tetapi sebelum malam tiba, aku ingin temui dulu Li Teng-kok temanku."

"Baiklah."

Mereka saling mengucapkan salam sebelum berpisah.


Waktu Helian Kong tiba di rumah Phoa Taijin dan bilang ingin menemui Li Teng-kok, Phoa Taijin mengatakan bahwa Li Teng-kok dan kawan-kawannya belum pulang. Katanya, bersama-sama para tokoh militer lainnya sedang menemui Pangeran Hok-ong dan sebagian lagi menemui Pangeran Kui-ong.

"Tidak lama lagi mereka akan kembali, Panglima Helian. Silakan menunggu sebentar sambil menikmati teh."

Helian Kong mengangguk-angguk, ia jadi ingat bahwa hari itu memang harinya Jenderal The Ci-liong dan Li Teng-kok menemui Pangeran Hok-ong, sementara Laksamana The Seng-kong dan Jenderal Thio Hong-goan menjumpai Pangeran Kui-ong. Maka Helian Kong pun menikmati teh dulu sambil mengobrol dengan Phoa Taijin.

Helian Kong tiba-tiba ingat persahabatan Phoa Bian-li dengan tiga "pendekar muda" itu, lalu Helian Kong cemas akan nasib Phoa Bian-li kalau sampai ikut-ikutan "main pendekar-pendekaran" bersama tiga orang itu, lalu tanya Helian Kong kepada Phoa Taijin, "Taijin, apakah tiga orang teman A-bian itu masih sering kemari?"

"Ya. Mereka mengajari silat anakku. Mereka kelihatannya pendekar-pendekar muda yang tangguh, katanya pernah membunuh banyak bandit besar."

Helian Kong geleng-geleng kepala, "Mereka itu pembual-pembual besar. Aku bicara kenyataannya saja, bukan menjelekkan mereka. Aku khawatir kalau mereka nanti mengajak A-bian keluar rumah lalu berkelahi dengan para jagoan sungguhan, A-bian bisa kena bencana."

Wajah Phoa Taijin memucat. Maklum, Phoa Bian-li adalah anak satu-satunya. Anak yang diperolehnya pada saat usia Phoa Taijin sudah lima puluh tahun lebih, tentu sangat disayanginya. Tak terbayangkan anaknya itu sampai celaka karena suatu insiden di kalangan para jago silat.

"Waduh, padahal anakku sedang akrab-akrabnya dengan mereka? Tiap hari hanya mereka bertiga yang dibicarakannya."

"Ini harus dihentikan. Tiga pendekar gadungan itu tidak jahat, tetapi terlalu gegabah. Apakah sekarang mereka sedang di sini?"

"Ya. Di halaman belakang."

Helian Kong bangkit dari kursinya, "Kalau begitu, daripada aku duduk-duduk saja menunggu datangnya Saudara Li, lebih baik kubuat kapok dulu tiga pendekar gadungan itu. Sayang kalau mereka sampai mati di ujung senjata hanya karena sok jagoan."

Lalu Helian Kong pun melangkah ke halaman belakang, tempat biasanya Phoa Bian-li berlatih silat. Apa yang dilihatnya di tempat itu masih sama seperti dulu. Tiga "pendekar" sedang memberi petunjuk secara bersamaan kepada Phoa Bian-li, sehingga yang diberi petunjuk malah kebingungan oleh petunjuk yang simpang-siur itu.

Helian Kong melangkah mendekat, sambil berkata, "Anak-anak muda, hentikan permainan kalian yang berbahaya."

Ketiga "pendekar" serempak menghadap Helian Kong dan menatap heran. "Apa maksud kata-katamu, Kau-su (Guru Silat)?" tanya Oh Yang-hi yang sudah mengenali Helian Kong sebagai gurunya Phoa Bian-li.

Po Boan-seng menyambung kata-katanya, "Kami bertiga ini memang berbahaya buat orang-orang jahat, bahkan sangat berbahaya. Tetapi waktu kami memberi petunjuk kepada seorang sahabat, tentu saja kami bermaksud baik, tidak ada bahayanya sedikit pun. Kenapa Kau-su sebut permainan ini berbahaya?"

Helian Kong langsung saja berkata dengan tajam untuk menciutkan nyali ketiga orang itu, "Aku percaya kalian sangat berbahaya. Namun bukan berbahaya bagi siapapun, melainkan berbahaya bagi diri kalian sendiri."

"Maksud Kau-su?"

"Bermain pendekar-pendekaran di arenanya para pendekar sungguhan, bahkan ada pula pendekar-pendekar golongan hitam yang tak kenal belas kasihan, kalian mempertaruhkan nyawa kalian sendiri untuk sesuatu yang tak berarti."

Song Sin-pa menggenggam erat pedangnya dengan alis dikerutkan seram, mencoba meniru gaya seorang pendekar tulen kalau sedang marah. "Kau-su, kata-katamu itu menghina kami! Kau menganggap kami, Tiga Dewa Pedang dari pegunungan barat laut ini, sebagai pendekar-pendekaran dan bukan pendekar sungguhan! Itulah penghinaan yang cuma bisa ditebus dengan darah!"

Po Boan-seng ikut-ikutan, "Ya! Ketahuilah, kakak seperguruan kami yang tertua inilah yang nama besarnya sudah dikenal kaum pendekar, suara desir langkangnya saja membuat para penjahat terkencing ketakutan. Dialah yang berjulukan...."

Helian Kong cepat menukas, "Julukan kalian tidak akan terkenal karena tiap hari kalian berganti julukan. Hari ini kau sebut dirimu 'dewa pedang kucing kaki tiga' dan besok kau kenalkan dirimu 'malaikat tikus buntung' dan besok lusanya lagi kalian sudah jadi 'pedang loakan tanpa bayangan' dan tentu saja tanpa bayangan kalau sudah digadaikan di tukang loak. Aku tahu itu, aku tahu. Dan aku juga tahu beberapa hari yang lalu kalian dengan mudah dikalahkan seorang pendatang baru di kalangan bandit, yang namanya Ek Beng-ti. Kalian dihempaskan dengan mudah ke tembok. Betul tidak?"

Wajah tiga "pendekar" itu memucat dan memerah bergantian, campur-aduk antara malu, gusar dan heran. Herannya, kenapa "guru silat kampung" ini tahu kalau mereka sudah sering berganti julukan yang dikarang sendiri? Kenapa "guru silat kampung" ini juga tahu mereka dikalahkan dengan mudah oleh Ek Beng-ti?

Namun Oh Yang-hi masih coba menyangkal, "Ada berita bohong yang ingin menjelek-jelekkan nama besar kami!"

"Betul! Karena banyak musuh yang sudah kami kalahkan. Mereka tidak mampu membalas kami dengan pertarungan yang jujur, maka lalu memfitnah kami!" sambung Po Boan-seng.....

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.