Puing Puing Dinasti Jilid 18 karya Stevanus S.P - HELIAN KONG tahu, dengan kata-kata saja takkan membuat "tiga pendekar" ini kapok. Bahkan mereka sudah pernah mengalami peristiwa pahit saja masih belum kapok, masih berani membual. Maka kata Helian Kong langsung saja, "Kalau benar kalian begitu hebat, coba kalahkan aku."
Wajah "tiga pendekar" itu berubah, begitu pula Phoa Bian-li yang mencoba menengahi, "Guru, teman-temanku ini tidak bermaksud jahat, mereka hanya....."
"Aku tahu, muridku. Mereka tidak jahat, karena itulah mereka harus diselamatkan dari ganasnya rimba persilatan yang mereka kira main-main saja. Mereka tidak sadar, bahwa mereka adalah anak-anak kambing yang gemuk-gemuk di tengah-tengah serigala-serigala."
Oh Yang-hi menghunus pedangnya sambil berseru gusar, "Tuan Helian, kau terlalu meremehkan aku!"
Lalu pedangnya menebas cepat. Geraknya memang indah dan posisinya gagah. Tetapi begitu Helian Kong menghindar sambil mengulurkan tangannya, tahu-tahu lengannya terpelintir ke belakang tubuhnya dan pedangnya terlepas. Sekali Helian Kong mendorong, ia jatuh tertelungkup dengan muka kena tanah.
Po Boan-seng dan Song Sin-pa sudah menghunus pedang pula, tetapi mereka gentar melihat teman mereka dirobohkan begitu gampang. Bahkan nampaknya si "guru silat kampung" Helian Kong tidak begitu bersungguh-sungguh.
Helian Kong menjumput pedang Oh Yang-hi, diserahkan kembali ke pemiliknya dengan gagang disodorkan dan Helian Kong memegangi ujungnya. Katanya, "Kalian maju bertiga saja sekaligus. Mungkin perlawanan kalian akan sedikit lumayan."
Oh Yang-hi bangun tertatih-tatih ia menerima pedangnya, namun begitu gagangnya tergenggam tiba-tiba ia hendak menusukkannya ke dada Helian Kong. Helian Kong memegang ujungnya, dan antara ujung pedang dengan dadanya hanya ada jarak setengah jengkal. Namun meskipun Oh Yang-hi mengerahkan tenaga secara mendadak, ujung pedangnya itu hanya berhasil maju satu jari dan setelah itu berhenti sama sekali.
Padahal Oh Yang-hi sudah mengerahkan tenaga sampai urat-urat bermunculan di jidatnya dan wajahnya merah padam, sementara Helian Kong dengan sikap santai menjepit ujung pedang hanya dengan telunjuk dan jempolnya.
"Anak muda, kau ternyata bukan cuma hendak belajar membual, tetapi juga hendak belajar curang." kata Helian Kong.
Sementara Phoa Bian-li kebingungan, ternyata tiga teman barunya yang semula ia kagumi, cuma pembual-pembual yang tidak becus dan sekarang kedok mereka terlucuti. Melihat betapa saudara-tertuanya dalam keadaan serba salah, mau lepas pedang merasa malu, mau dipegangi terus juga tak dapat berbuat apa-apa, maka Po Boan-seng dan Song Sin-pa saling memberi isyarat dengan kedipan mata, lalu tiba-tiba mereka menikam dari dua sudut.
Helian Kong tertawa dingin, ia hentakkan tenaganya dan tiba-tiba pedang Oh Yang-hi patah. Menyusul tendangannya membuat Oh Yang-hi terjengkang. Sedangkan Po Boan-seng dan Song Sin-pa sendiri cuma menikam angin, menikam bekas tempat Helian Kong berdiri tadi, tetapi Helian Kongnya sendiri entah sudah di mana.
"He, aku di sini!" terdengar suara Helian Kong dari belakang mereka.
Kedua "pendekar" itu membalikkan tubuh, namun melihat betapa tajam sorot mata Helian Kong, mereka jadi keder sendiri untuk meneruskan serangan.
Helian Kong pun tidak ingin mempermalukan mereka lebih lanjut. Katanya, "Kalau dilihat pakaian kalian, kalian pasti berasal dari keluarga berkecukupan. Dorongan pikiran apa yang membuat kalian tinggalkan keluarga baik-baik kalian, lalu berkecimpung di rimba persilatan? Rimba persilatan membawa pengaruh buruk kepada kalian, kalian akan jadi licik, ambisius, kejam dan sebagainya. Meski di tiap perguruan silat selalu didengung-dengungkan hal yang sebaliknya. Ada baiknya kalian kembali ke keluarga kalian. Belajar berdagang, atau apa saja yang tidak berbahaya."
Sudah dinasehati seperti itu, ternyata sikap dan jawaban Po Boan-seng tetap saja gagah-gagahan, "Langit tetap biru dan gunung tetap hijau, lain kali kita akan bertemu lagi dan menguji ilmumu."
Lalu mereka pergi. Oh Yang-hi harus dipapah, tendangan Helian Kong tadi masih terasa di perutnya. Helian Kong menarik napas sambil geleng-geleng kepala, "Ya, langit tetap biru dan gunung tetap hijau, dan kalian tetap setolol keledai. Mudah-mudahan saja kalian tidak menemui bahaya."
Sementara Phoa Bian-li pun berkata, "Guru, aku terkecoh oleh mereka."
Helian Kong menepuk pundak muridnya itu, menghiburnya, "Sudahlah. Aku bangga melihat semangat belajarmu, tetapi jangan belajar dari sembarang orang. Mari, sekarang kuajarkan beberapa hal, sambil menunggu pulangnya Li Teng-kok."
Phoa Bian-li pun kegirangan. Karena waktunya yang singkat, Helian Kong tak bisa mengajar Phoa Bian-li seperti di sebuah perguruan, di mana harus dipupuk dasar-dasarnya selama bertahun-tahun. Sekarang Helian Kong tidak mengikuti cara itu, hakekatnya hanyalah semacam "kursus kilat" saja. Helian Kong cuma memberi petunjuk macam-macam cara berlatih, disertai polesan teknik-teknik sekedarnya.
Yang tak kalah pentingnya, Helian Kong menyisipkan nasehat agar muridnya itu menjauhi saja kalangan rimba persilatan, jangan tergoda ingin membuat nama besar dan sebagainya. Sampai Li Teng-kok dan kawan-kawannya datang, masih dalam pakaian sangat resmi karena baru saja menghadap Pangeran Hok-ong. Setelah menaruh kuda-kudanya di kandang, Li Teng-kok pun berbincang-bincang dengan Helian Kong.
"Bagaimana hasilnya menghadap Pangeran Hok-ong?" tanya Helian Kong tak sabar.
"Melegakan," kata Li Teng-kok. "Pangeran Hok-ong benar-benar mempedulikan keselamatan negeri ini. Pertama kami ceritakan tentang gawatnya keadaan Jenderal Thio Hian-tiong di Se-cuan. Pangeran begitu prihatin. Lalu kami mengusulkan agar mengeluarkan pasukan-pasukannya kembali keluar kota, menempatkan ke pos-pos mereka semula, demi menenteramkan dan menghilangkan kecurigaan pangeran-pangeran yang lain. Pertemuan untuk membahas kelanjutan dinasti, juga akan dilaksanakan secepatnya. Undangan resmi akan segera disebar kepada para pangeran lainnya."
"Melegakan. Setidaknya begitulah kelihatan di permukaan." kata Helian Kong. "Sebaliknya yang kudapatkan dari kalangan bawah tanah bukanlah sesuatu yang melegakan."
"Apa?"
"Kelihatannya Pangeran Kui-ong menyebarkan orang-orangnya, dibekali banyak uang, lalu dengan pengaruh uang itu Pangeran Kui-ong menghimpun para jagoan bayaran dalam jumlah besar."
"Ah, gawat ini. Tindakannya itu mungkin untuk berjaga-jaga, mengimbangi pengerahan pasukan besar-besaran oleh Pangeran Hok-ong."
"Ya, mudah-mudahan saja hanya tindakan berjaga-jaga. Mudah-mudahan pula setelah Pangeran Kui-ong melihat pasukan-pasukan Pangeran Hok-ong di Lam-khia kembali ke pos masing-masing di luar kota, Pangeran Kui-ong pun akan mengimbanginya dengan membubarkan kelompok orang-orang bayarannya, Jadi saling menunjukkan itikad baik."
"Saudara Helian, mari kita temui Laksamana The Seng-kong dan Jenderal Thio Hong-goan, untuk mengetahui bagaimana hasil pertemuan mereka dengan Pangeran Kui-ong."
"Mari!"
Mereka pun berpamitan kepada Phoa Taijin dan menuju ke kediaman sementara Laksamana The Seng-kong, setelah mengambil kuda-kuda dari istal. Phoa Taijin geleng-geleng kepala melihat sibuknya kedua perwira itu. Tetapi dia pun maklum akan perlunya tindakan cepat dan tepat saat itu, demi keselamatan negeri. Phoa Taijin pun sudah mendengar tentang kalahnya pasukan Jenderal Thio di Se-cuan.
Tiba di kediaman Laksamana The Seng-kong, para pengawal keluarga The tidak menghalang-halangi kedua perwira itu, bahkan mereka menyambut kuda-kuda kedua perwira itu. "Laksamana sudah kembali dari tempatnya Pangeran Kui-ong?" tanya Li Teng-kok kepada seorang pengawal.
Pengawal itu menjawab dengan hormat, "Baru saja kembali, beliau sedang berbincang-bincang dengan Jenderal Thio Hong-goan dan Ayahandanya."
"Kebetulan sekali," kata Helian Kong, lalu melangkah ke dalam bangunan itu bersama Li Teng-kok.
Kedatangan mereka disambut hangat oleh tokoh-tokoh militer yang sudah lebih dulu berkumpul di situ. "Ada apa, Helian Cong-peng?" tanya Jenderal The Ci-liong.
Helian Kong yang masih berpakaian dekil, pakaian samarannya sebagai Ek Beng-ti, si bandit jalan hitam, agak kikuk juga di tengah-tengah orang-orang yang berseragam militer rapi itu. Ia memberi hormat kepada semuanya, dan menjawab, "Aku mohon maaf untuk pakaianku yang kurang sopan ini."
"Lupakan soal pakaian ini, kita tidak sedang dalam jamuan resmi," kata Jenderal The Ci-liong. "Katakan, kenapa kau mencari kami?"
"Tetapi duduklah dulu dan minumlah dulu secangkir teh." sambung Laksamana The Seng-kong, lalu menuangkan sendiri teh dengan tangannya.
Helian Kong dan Li Teng-kok mengambil tempat duduknya di sekeliling meja bundar besar itu, mengucap terima kasih sambil menerima teh dari Laksamana The lalu meminumnya. "Nah, ada apa?"
"Hanya sebuah prasangka buruk yang belum tentu terjadi." Helian Kong coba mengendorkan ketegangan orang-orang itu. "Aku menyamar ke dalam kalangan orang-orang bayaran, dan aku melihat orang-orangnya Pangeran Kui-ong mengobral hadiah menghimpun para jagoan. Aku sendiri didatangi orangnya Pangeran Kui-ong dan diberi uang ini, karena aku pun disangka salah seorang dari para jago bayaran itu."
Helian Kong mengeluarkan kepingan uang emas yang diterimanya dari Ang Tiok-lim, ditaruhnya di meja. Bergantian Jenderal Thio Hong-goan, Laksamana The Seng-kong dan Jenderal The Ci-liong memeriksa kepingan uang emas itu, dibolak-balik. Jenderal The Ci-liong yang sudah lanjut usia dan matanya kurang terang, mengeluarkan kaca pembesar bertangkai, hadiah Gubernur Jenderal Portugis di Makao ketika ulang tahunnya dulu.
"Ini memang lambangnya Pangeran Kui-ong." kata Jenderal tua itu, didukung dengan anggukan kepala semua orang. "Saudara Helian, apa yang diperintahkan kepada jagoan-jagoan bayaran itu, sehingga orangnya Pangeran Kui-ong itu mengobral uang emas ini?"
"Belum tahu. Nanti malam kami disuruh berkumpul di sebuah terowongan air, untuk diberitahu perintahnya."
"Kau harus hadir di sana nanti malam, Saudara Helian. Agar tahu ada rencana apa dengan orang-orang bayaran itu," kata Laksamana The Seng-kong.
Helian Kong mengangguk. Sementara itu The Hong-goan yang berangasan itu pun menggebrak meja sambil berkata dengan gusar, "Kalau benar Pangeran Kui-ong merencanakan suatu tindakan yang curang, maka aku dan Laksamana The benar-benar telah dikelabuhi oleh kata-katanya yang manis dan sikapnya, ketika tadi kami temui dia di perkemahannya di luar kota Lam-khia!"
Pangeran Kui-ong, berbeda dengan pangeran-pangeran lainnya, memang tidak berdiam di gedung-gedung dalam kota, melainkan berkemah di luar kota untuk memamerkan "jiwa keprajuritan"nya dan "keprihatinan"nya terhadap nasib dinasti.
"Apa saja yang dikatakannya tadi, Jenderal?" tanya Li Teng-kok kepada Jenderal Thio Hong-goan.
"Dia sambut kami dengan manis, menyuguhi kami sambil minta maaf bahwa suguhannya tidak mewah karena terbiasa hidup sederhana, katanya. Dia juga menjelaskan posisinya, katanya siap mengabdi kepada rakyat, kalau rakyat mempercayakan kepadanya. Pokoknya omongannya serba manis, hanya saja ia tidak menyebut-nyebut soal menarik dari persaingan, tidak seperti Pangeran Hok-ong."
Helian Kong cepat-cepat "mendinginkan" suasana panas itu, agar tidak sampai jadi tak terkendali. Katanya, "Apa yang direncanakan orang-orangnya Pangeran Kui-ong itu, apakah juga direncanakan oleh Pangeran Kui-ong, belum pasti. Banyak bawahan yang bertindak sendiri di luar tahu majikannya, aku pun pernah berhadapan dengan orang-orangnya Pangeran Hok-ong yang bertindak di luar perintah Pangeran Hok-ong. Ada baiknya kita tidak berprasangka buruk dulu. Lebih baik nanti malam kudengarkan dulu apa yang mereka rencanakan."
"Bagaimana kalau kita serbu saja tempat itu, kita tumpas bandit-bandit yang mata duitan itu?" Jenderal Thio masih panas hatinya.
"Jangan!" Jenderal The cepat-cepat mencegah. "Tindakan gegabah itu akan memanaskan situasi yang sedang berusaha kita dinginkan. Masing-masing pihak akan menafsirkan kejadian itu dari sudut masing-masing, lalu mencari alasan untuk membenarkan tindakannya masing-masing."
Jenderal The sebagai panglima paling senior, maka Thio Hong-goan mau tidak mau tunduk juga. Lalu kata The Ci-liong kepada Helian Kong, "Helian Cong-peng, malam nanti kau harus tetap hadir dalam pertemuan para bandit itu. Setelah pertemuan, bisakah kau langsung memberitahu kami, meski sudah jauh malam?"
Helian Kong mengangguk mantap. "Bisa, Jenderal."
Thio Hong-goan kemudian berkata, "Aku pun tidak akan pulang ke tempatku. Aku akan menunggu laporan Helian Cong-peng di tempat ini."
"Anak buahmu apakah tidak cemas?"
"Akan kusuruh salah seorang pengawalku untuk pulang memberitahu anak buahku."
Li Teng-kok berkata pula, "Jenderal Thio, kalau boleh kuingin titip pesan kepada anak buahmu itu, agar mampir pula ke rumahnya Phoa Taijin."
"Untuk apa?"
"Memberitahu Phoa Taijin dan teman-temanku di sana, bahwa aku pun tidak pulang malam ini. Aku akan tetap di sini, agar nanti Saudara Helian tidak repot memberitahu kesana-kemari karena semuanya berkumpul di sini."
"Baik."
Sementara Jenderal Thio memerintahkan seorang pengawalnya untuk tugas itu, Helian Kong pun berpamitan pergi. Waktu itu, hari sudah sore, tetapi Helian Kong berpikir, "Aku masih sempat mandi dan beristirahat sebentar di rumah, sebelum pergi ke terowongan air itu menjelang tengah malam nanti."
Helian Kong masuk rumah sewaannya seperti biasa, tidak melalui pintu depan, tetapi melalui tembok belakang yang dilompatinya dari arah sebuah kuil bobrok. Seperti biasa, seisi rumahnya menyambut lega. Lalu Helian Kong mengatakan rencananya karena ia mempercayai seisi rumahnya, termasuk Kongsun Giok yang agaknya "bakal jadi keluarga sendiri".
Helian Kong mandi, makan malam, dan menjelang tengah malam dia pun kembali meninggalkan rumah. Seperti biasa pula, kalau datangnya disambut lega, perginya diantarkan dengan rasa cemas oleh isterinya.
"Hati-hatilah....." kata Siangkoan Yan.
"Tenteramkan hatimu. Aku sangat hati-hati, bahkan aku akan pergi bersama seorang teman yang berilmu tinggi dan dapat dipercaya."
"Siapa?"
"Seorang bekas tokoh Pelangi Kuning yang sudah jadi teman seperjuanganku, karena sama-sama prihatin akan nasib negeri bangsa Han."
Maka berangkatlah Helian Kong di malam gelap itu. Begitu Helian Kong pergi, Kongsun Giok juga masuk ke kamarnya dan memadamkan lilinnya. Begitu pula orang-orang seisi rumah yang lain. Helian Kong menuju langsung ke rumah obat Yok-ting, mengetuk pintu sampingnya, dan Yo Kian-hi yang membukakan pintunya.
"Aku sudah menunggu agak lama," kata Yo Kian-hi. "Kita berangkat sekarang."
Sebelum berangkat, Yo Kian-hi lebih dulu memesan seorang temannya agar menutup pintu. Lalu Yo Kian-hi bersama Helian Kong pun melangkah menuju ke terowongan air itu. Mereka berdua tidak menyadari sepasang mata mengintip dalam kegelapan, dari atas sebuah atap rumah yang berdampingan dengan rumah obat Yok-ting itu.
Sepasang mata kepunyaan Kongsun Giok, yang diam-diam membatin, "Hem, kiranya rumah obat ini pun menjadi tempat persembunyian dari kelompok tertentu, entah kelompok yang mana. Harus segera kuselidiki dan kuketahui."
Sementara itu, Helian Kong dan Yo Kian-hi sudah dekat terowongan air itu. Mereka berpapasan dengan beberapa orang yang agaknya menuju ke arah yang sama. Kalau dilihat dandanannya dan senjata-senjata yang mereka bawa, agaknya mereka pun adalah jago-jago yang diundang pula. Tetapi masing-masing tidak saling menegur. Suasana saling mencurigai terasa kental pekat. Suasana gelap, tidak ada penerangan sedikit pun.
Baru setelah mereka masuk ke terowongan air, ada penerangan di tengah-tengahnya. Ada banyak orang bersenjata yang berkeliling api, ada yang duduk dan ada yang berdiri. Namun di jalan masuk ke terowongan air itu dijaga beberapa orang bersenjata bermata tajam. Meskipun orang-orang itu juga bertubuh tegap-tegap serta bersenjata, namun sikap mereka yang agak tertib, dan dandanan mereka, menunjukkan kalau mereka agaknya tidak tergolong orang-orang jalan hitam.
"Mungkin ini jago-jago peliharaannya Pangeran Kui-org....." pikir Helian Kong.
Helian Kong dan Yo Kian-hi hendak melewati mereka begitu saja. Tetapi orang-orang itu menghentikannya, "Berhenti sebentar, sobat....."
Helian Kong dan Yo Kian-hi pun berhenti.
"Nama kalian?"
"Ek Beng-ti," sahut Helian Kong.
"Diam San-tong," sahut Yo Kian-hi, sambil berlagak garang dengan membelalakkan matanya yang tidak tertutup kain hitam. Matanya yang lain ditutup kain hitam, untuk memperkuat kesan penampilannya sebagai orang dari jalan hitam.
Orang bersenjata yang menghentikan itu bertanya pula, "Tunjukkan kepingan uang emas yang kalian terima waktu kalian diundang."
Rupanya, kepingan uang emas itu berfungsi sebagai "surat undangan" meskipun tidak diberitahukan sebelumnya, tahu-tahu sekarang ditanyakan. Mungkin sebagai salah satu sikap berhati-hati agar tidak keselundupan pendatang yang tikak diingini.
Helian Kong dan Yo Kian-hi memang membawanya, mereka menunjukkannya dan mereka diijinkan lewat. Ternyata ada juga orang-orang yang tidak diijinkan lewat karena tidak dapat menunjukkan kepingan uang emas itu. Mereka tetap ditolak, meskipun dengan dalih macam-macam. Bahkan sampai terjadi perkelahian singkat karena ada yang ngotot mau lewat meskipun tidak dapat menunjukkan kepingan uang emas itu.
Biasanya yang ngotot mau lewat itu kalah dan dapat diusir pergi, karena orang-orang yang menjaga tempat itu selain berjumlah banyak, rupanya juga tangguh-tangguh. Mereka juga dibantu beberapa jago bayaran yang membawa kepingan uang emas, yang membantu para penjaga untuk mencari muka supaya "order"nya lancar. Tiba di dalam terowongan air, Helian Kong langsung celingukan mencari seseorang di antara orang banyak itu.
"Siapa yang kau cari, Saudara Ek?" tanya Yo Kian-hi, sengaja suaranya dibuat kasar agar cocok dengan penyamarannya, juga menyebut Helian Kong dengan nama samarannya.
"Aku mencari Cong Liu, saudara tua dari Sepasang Serigala," sahut Helian Kong.
Helian Kong bertanya kepada beberapa orang, dan salah seorang menjawab, "Nyawanya amblas siang tadi. Tubuhnya di buang ke sungai yang mengalir sampai ke luar kota."
Helian Kong trenyuh hatinya, ingat bahwa Cong Liu sebenarnya baru hendak melangkah kembali ke jalan yang lurus, tahu-tahu maut sudah menjemputnya lebih dulu. Namun Helian Kong tahu bahwa perasaan terharu atau belas kasihan yang dipertontonkan akan terasa janggal di lingkungan yang penuh kekerasan ini, yang orang-orangnya kejam-kejam semuanya.
Contohnya, orang yang mengabarkan kematian Cong Liu itu pun mengatakan dengan nada acuh tak acuh seolah-olah yang mati itu bukan manusia melainkan cuma seekor kucing. Dan Helian Kong harus menunjukkan sikap yang sama, biarpun hatinya sebenarnya berbeda, "Ya, sudah. Orang sudah mampus mau diapakan lagi?"
Kemudian Helian Kong memperhatikan orang-orang lain di tempat itu. Di antara mereka terlihat Si Walet Hitam Nyo Tiang-le, juga Si Tali Maut Duan Po dan beberapa jagoan lainnya yang beberapa hari lalu terbujuk mengikuti Bhe Ting-lai. Rupanya setelah Bhe Ting-lai lenyap jejaknya, mereka lalu jatuh ke rangkulan Ang Tiok-lim yang mengakunya juga suruhannya Pangeran Kui-ong. Bahwa mereka ada di ruangan terowongan air ini, pastilah mereka pun sudah memiliki kepingan uang emas itu juga, artinya sudah diundang oleh Ang Tiok-lim.
Ang Tiok-lim sendiri belum nampak, maka orang-orang itu sambil menunggu juga mengobrol satu sama lain. Beberapa diantara mereka agaknya pernah bermusuhan, entah karena "berebut order" entah karena di "pesan" oleh pihak yang berbeda, dan mereka pun saling melotot namun tidak berani bikin ribut.
Kemudian Ang Tiok-lim muncul dengan wajah cerah, orang-orang serempak diam ingin mengetahui apa yang akan dikatakan oleh Ang Tiok-lim. Ang Tiok-lim menggosok-gosokkan sepasang telapak tangannya dengan wajah berseri-seri. Puas melihat yang berkumpul di situ ada lima puluh orang lebih.
Tetapi yang paling memuaskan adalah waktu dilihatnya di antara orang-orang itu nampak pula "Ek Beng-ti". Tanpa kehadiran "Ek Beng-ti" akan gagallah rencananya, sebab semuanya itu sebenarnya diselenggarakan khusus untuk Ek Beng-ti agar disampaikan kepada para tokoh militer lewat mulut Ek Beng-ti.
"Sobat-sobat, terima kasih buat kedatangan kalian." Ang Tiok-lim mengawali kata-katanya. "Aku mengajak kalian untuk bersama-sama melakukan suatu gerakan bersejarah, dengan imbalan yang mencukupi. Majikanku tidak akan mengecewakan kalian."
"Siapa majikanmu?" tiba-tiba seseorang bertanya.
Pertanyaan orang itu kontan disambut tertawa orang banyak. Si penanya itu agaknya orang yang masih hijau di kalangan jalan hitam, hingga sampai bertanya seperti itu. Adalah semacam "kode etik" di kalangan pembunuh bayaran bahwa mereka pantang berusaha mengetahui siapa yang membayar mereka, apabila mereka dihubungi lewat "calo".
Pantangan itu baru tidak berlaku atau batal, apabila si pengguna jasa sendiri yang menunjukkan diri atau bertemu langsung. Tetapi itu biasanya jarang terjadi. Si pengguna-jasa menyewa tenaga para pembunuh bayaran justru karena mereka tidak mau diketahui atau dilacak tindakannya, mana mungkin para pengguna-jasa mau bertemu langsung dengan para pembunuh bayaran? Biasanya hubungan terjadi lewat "calo".
Setelah suara tertawa reda, Ang Tiok-lim berkata, "Saudara-saudara tentu paham bahwa aku tidak boleh menyebutkan nama orang yang menyuruh aku."
Sahut Helian Kong tetapi hanya dalam hatinya, "Kau sembunyikan siapa yang menyuruhmu, tetapi kau sebar luaskan kepingan emas berlambang, lambangnya Pangeran Kui-ong. Itu sama saja dengan maling yang waktu ditanya oleh tuan rumahnya yang terbangun, mengaku dirinya kucing."
Kemudian pikiran lain menyelinap memasuki benak Helian Kong, "Mungkin inilah alasannya kenapa Bhe Ting-lai 'ditarik dari peredaran' dan digantikan orang ini. Mungkin karena Bhe Ting-lai sudah dikenali banyak orang sebagai pembantu dekatnya Pangeran Kui-ong, dan juga terlalu gampang memperkenalkan dirinya terang-terangan sebagai orang suruhannya Pangeran Kui-ong."
Namun Helian Kong membungkam, melanjutkan mendengarkan pidato Ang Tok-lim, "Saudara-saudara, meski aku tidak menyebutkan siapa majikanku, tetapi aku pastikan bahwa dia sangat memperhatikan nasib kalian. Majikanku prihatin dan ikut marah ketika mendengar kalian diuber-uber prajurit, dibunuhi di jalanan, ditangkap. Majikanku sangat penasaran. Majikanku menganggap bahwa kalian adalah orang-orang gagah berani yang patut dihargai, patut diberi kesempatan untuk melakukan suatu tindakan besar yang bersejarah!"
Banyak di antara orang jalan hitam yang memang berotak kerbau, langsung terbakar emosinya, dan mereka menyambut kata-kata Ang Tiok-lim itu dengan tepuk-tangan dan teriakan-teriakan dukungan terhadap "majikan yang tidak mau disebutkan namanya" itu. Mereka umumnya bersikap entah si majikan baru itu setan belang atau setan gundul, agaknya dapat diandalkan, dan yang penting uang mukanya sudah mereka terima dulu.
Tetapi Helian Kong diam-diam membatin, "Rayuan gombal." Namun Helian Kong menganalisa kata-kata Ang Tiok-lim tadi antara lain mengecam penguasa yang mengerahkan prajurit untuk membunuhi dan menangkapi orang-orang itu, yang dimaksudkan tentunya adalah Pangeran Hok-ong. Kalau mengecam Pangeran Hok-ong, tentunya dari pihak saingan Pangeran Hok-ong.
Dalam hal ini saja Pangeran Hok-ong sudah boleh dikesampingkan dulu dari daftar orang yang dicurigai. Yang paling patut dicurigai adalah Pangeran Kui-ong, yang kepingan emasnya beredar di antara para orang jalan hitam itu. Dan akhirnya, apa yang ingin didengar oleh Helian Kong pun terlontarlah dari mulut Ang Tiok-lim,
"Sobat-sobat, besok malam kumohon kalian berkumpul kembali di sini untuk menjalankan perintah majikanku. Malam ini, atas kesediaan kalian, masing-masing dari kalian akan mendapat tambahan satu tail emas."
Kata-kata itu langsung disambut sorak-sorai orang-orang itu. Helian Kong dan Yo Kian-hi tidak mau menarik perhatian dengan bersikap lain sendiri, tetapi mereka pun ikut bersorak-sorak gaya mata duitan seperti lainnya. Tetapi sebelum pembagian uang dijalankan, dua orang anak buah Ang Tiok-lim masuk dengan menyeret masuk seorang lelaki setengah baya bertubuh pendek dan berjubah tojin. Keruan semua orang terdiam, ingin mendengar apa yang terjadi.
Salah seorang penangkap melapor, "Kakak Ang, orang ini bertingkah laku mencurigakan di luar sana, agaknya sedang memata-matai kita."
Helian Kong mengenali orang yang diseret masuk itu sebagai salah seorang yang bertempur dengannya dulu, ketika orang itu dan kawan-kawannya menyerang Helian Kong dan keluarganya dalam perjalanan ke Lam-khia. Anak buah Pangeran Hok-ong.
Ang Tiok-lim menanyai imam pendek itu, "Siapa kau, dan siapa yang menyuruhmu?"
Imam pendek itu menjawab tergagap-gagap ketakutan, "Aku..... aku cuma..... kebetulan lewat dan agak..... heran kok ada ramai-ramai di sini..... tetapi tidak disuruh siapa-siapa....."
"Bohong!" bentak salah seorang penangkapnya sambil menendang lututnya hingga Imam Pendek itu dipaksa berlutut. Lalu ia serahkan sebuah benda kepada Ang Tiok-lim. "Kami temukan ini dalam bajunya, ketika kami geledah dia!"
Ang Tiok-lim menerima benda itu yang agaknya adalah sebatang leng-pai (papan wewenang) yang terbuat dari kayu. Ang Tiok-lim lalu mengangkatnya tinggi-tinggi sambil berkata kepada orang banyak, "Sobat-sobat, perhatikan ini! Ini adalah lencana yang dikeluarkan Pangeran Hok-ong, orang yang menguber-uber kita! Berarti Imam Pendek ini adalah kaki tangannya. Dengan lencana ini, ia bisa minta tolong pasukan untuk menggerebek tempat ini. Sobat-sobat, enaknya kita apakan Si Imam Pendek ini?"
Suara orang banyak pun bergemuruh, dengan tangan terkepal diacung-acungkan ke atas, "Bunuh saja! Bunuh saja!"
"Gantung!"
"Cincang!"
"Bakar hidup-hidup!"
Muka Si Imam Pendek sudah seputih kertas. Pikirnya, "Sungguh permainan yang berbahaya. Seandainya ada yang meleset sedikit saja dari rencana, sehingga Ang Tiok-lim gagal mengendalikan orang-orang ini, akulah yang bakal jadi berkeping-keping jadi tumbal."
Waktu itu para bandit memang sudah terbakar emosinya, tetapi Ang Tiok-lim agaknya pegang kendali. "Tenang, Sobat-sobat, Imam Pendek ini pantas menerima hukuman terberat. Tetapi biar anak buahku yang melaksanakannya!"
Lalu Ang Tiok-lim berkata kepada bawahan-bawahannya, "Bawa keluar begundal busuk ini! Cincang dulu, lalu bakar sampai jadi abu!"
Si Imam Pendek pun meratap, sungguh-sungguh ketakutan tetapi bercampur pura-pura juga, "Ampun.... ampun....."
Namun ia sudah diseret keluar. Helian Kong sebenarnya mengkhawatirkan bahwa kejadian itu akan memanaskan hubungan Pangeran Hok-ong dan Pangeran Kui-ong, namun Helian Kong tidak mampu berbuat apa-apa di tengah-tengah emosi massa yang demikian itu.
Dasar jago-jago mata duitan, kemarahan mereka pun berganti dengan kegirangan, ketika mereka melihat kantong-kantong uang diangkut masuk, lalu isinya dibagikan kepada mereka. Nama mereka juga dicatat. Helian Kong dan Yo Kian-hi dalam penyamaran mereka sebagai Ek Beng-ti dan Diam San-tong juga mendapat bagian, dan dicatat dengan nama samaran mereka pula, disertai pesan agar besok berkumpul kembali. Lalu mereka meninggalkan tempat itu.
"Ternyata mereka belum memberitahukan apa yang harus dilakukan jago-jago bayaran sebanyak itu....." gerutu Yo Kian-hi di tengah jalan. "Mereka cuma bagi-bagi duit."
"Kalau dikatakan sekarang, dikhawatirkan akan bocor beritanya lebih dulu. Mungkin besok malam baru diberitahukan secara mendadak."
"Sekarang kita bagaimana?"
"Aku ditunggu rekan-rekanku," sahut Helian Kong.
"Kalau aku, pulang dan tidur. Mau apa lagi?" kata Yo Kian-hi. "Besok ajak aku lagi, ya?"
"Tentu."
Mereka berpisah, Helian Kong langsung menuju ke tempat kediaman Jenderal The Ci-liong di mana rekan-rekannya berjanji akan menunggunya. Untuk mempersingkat waktu, Helian Kong tidak melewati jalan-jalan, melainkan berlompatan cepat dan ringan dari genteng rumah ke genteng rumah lainnya. Tak ada yang melihatnya, sebab kota Lam-khia masih disungkup gelap gulita.
Ternyata para jenderal masih menunggunya, biarpun sudah mengantuk. Mereka coba menahan kantuk dengan makan makanan kecil dan minum minuman hangat. Tetapi kantuk mereka lenyap begitu melihat Helian Kong datang. Pertanyaan langsung diajukan bertubi-tubi.
"Bagaimana? Sudah tahu apa yang mereka rencanakan?"
"Siapa yang mendalangi mereka?"
"Siapa yang mereka incar?"
Helian Kong duduk, lalu menuturkan secara ringkas, "Orang suruhan itu cukup cerdik dengan tidak menyebutkan siapa yang menyuruhnya. Tetapi ceroboh juga dengan membagikan uang emas yang ada capnya Pangeran Kui-ong. Yang diincar kelihatannya adalah Pangeran Hok-ong."
Jenderal Thio Hong-goan menggebrak meja, "Pangeran Hok-ong justru terancam pada waktu sedang menunjukkan itikad baiknya? Bukankah Pangeran Hok-ong sudah mengalah, tidak mencalonkan diri jadi Kaisar, menarik pasukan-pasukannya kembali ke luar kota, hendak menyelenggarakan pertemuan semua pangeran? Masa itikad baik itu malah hendak dibalas secara begini?"
Laksamana The Seng-kong menenangkan rekannya dari Ciat-kang itu, "Tenanglah dulu, Saudara Thio. Mungkin sikap Pangeran Kui-ong akan berubah setelah besok melihat pasukan-pasukan Pamandanya meninggalkan Lam-khia ke posnya masing-masing."
"Apakah Pangeran Hok-ong sudah menyuruh pergi semua pasukannya?" tanya Helian Kong.
"Sore ini sudah kulihat beberapa pasukan berbaris meninggalkan kota," sahut Li Teng-kok. "Yang lain-lainnya mungkin besok pagi."
"Pangeran Hok-ong bersungguh-sungguh menunjukkan niat baiknya," komentar Thio Hong-goan pula, "Ia tidak boleh mengalami bencana, supaya jangan sampai orang-orang saling kehilangan kepercayaan kepada suatu itikad baik."
"Besok pagi-pagi, biar kutemui Pangeran Hok-ong," kata Jenderal The Ci-liong. "Kita akan meminta agar jangan semua pasukan disuruh pergi dulu. Tinggalkan satu pasukan di Lam-khia untuk mengamankan Pangeran Hok-ong dari tindakan curang yang direncanakan pihak lain."
Jenderal ubanan itu tidak menyebut nama "pihak lain" itu, tetapi semuanya langsung membayangkan "pihak lain" itu adalah Pangeran Kui-ong. Siapa lagi? Semua petunjuk mengarah ke Pangeran Kui-ong, meskipun tidak mudah menuduh terang-terangan.
"Helian Cong-peng, kau harus menemani aku besok menghadap Pangeran Hok-ong. Kau bisa menceritakan lebih teliti apa yang sedang direncanakan terhadapnya. Kau tidur di sini saja, besok pakai saja pakaiannya Seng-kong."
"Baik, Jenderal."
Malam itu Helian Kong tidur di kediaman Jenderal The. Paginya, dengan pakaian yang bagus yang dipinjamkan oleh Laksamana The Seng-kong, ia bersama-sama Jenderal The menuju ke kediaman Pangeran Hok-ong. Jenderal The naik joli, Helian Kong naik kuda. Dengan puluhan pengawal pribadi Jenderal The yang berseragam mentereng.
Sepanjang jalan, mereka semakin diyakinkan oleh itikad baik Pangeran Hok-ong, karena mereka beberapa kali melihat pasukan-pasukan besar yang berbaris ke luar kota.
"Pangeran Hok-ong benar-benar terpukul waktu mendengar kalahnya pasukan kita yang membela Propinsi Se-cuan." kata Jenderal The Ci-liong dari dalam jolinya. "Keprihatinannya itulah yang mewarnai seluruh tindakannya."
Helian Kong cuma berdiam diri di atas kudanya yang berjalan perlahan di samping joli. Sementara The Ci-liong terus memperdengarkan pendapatnya "Sementara pangeran-pangeran lainnya bertindak hanya menuruti ambisi dan cita-cita pribadinya, sedikit pun tidak ada keprihatinannya akan nasib negeri."
Helian Kong tetap diam.
"Helian Cong-peng, kau tidak sedang tidur sambil duduk di atas kudamu, bukan?"
Helian Kong tertawa. "Tidak, Jenderal."
"Aku ingin mendengar komentarmu."
"Pikiranku agak capek, Jenderal."
Jenderal The tidak berkata apa-apa lagi, maklum bahwa Helian Kong sebenarnya memang cukup lelah, lahirnya dan batinnya. Maka sisa perjalanan sampai ke purinya Pangeran Hok-ong itu The Ci-liong ikut-ikutan membungkam. Dalam perjalanan, mereka melewati pula beberapa tempat pembagian bubur gratis yang diselenggarakan Pangeran Hok-ong untuk para pengungsi dari utara yang belum mendapat tempat mapan di masyarakat Lam-khia.
Tiba di kediaman Pangeran Hok-ong yang megah dan letaknya tinggi, terlihat penjagaannya ternyata masih seperti biasa. Tidak lebih ketat dari biasanya. Anak buah Pangeran Hok-ong yang berjaga di sekitar pintu gerbang hanya belasan orang, dengan seragam biru muda mereka. Semuanya hanya membawa pedang, tidak terlihat tameng atau tombak seperti dalam suasana perang.
"Pangeran Hok-ong betul-betul tidak berprasangka ada rencana jahat terhadap dirinya." desis The Ci-liong.
Waktu rombongan Jenderal The tiba, kebetulan komandan pengawal pribadi Pangeran Hok-ong, Ma I-thian yang muda dan ganteng itu sedang memeriksa kesiagaan anak buahnya. Melihat joli Jenderal The, Ma I-thian berlari-lari kecil menuruni undakan ratusan tingkat di depan puri Pangeran Hok-ong itu, menyongsong dengan sangat hormat.
"Selamat datang, Jenderal The dan Helian Cong-peng." sambutnya ramah dan kelihatannya memang tidak dibuat-buat. "Apakah Anda berdua tidak mengalami sesuatu di perjalanan kemari?"
"Tidak. Para bandit benar-benar sudah pecah nyalinya setelah dilaksanakannya tindakan tegas oleh Pangeran Hok-ong." sahut The Ci-liong.
"Dan lebih-lebih karena kegagah-perkasaan Helian Cong-peng yang menyamar sebagai Jenderal The....." Ma I-thian menambahkan pujian untuk Helian Kong...