Puing Puing Dinasti Jilid 19

Cerita silat Mandarin serial Helian Kong seri ketiga, puing-puing dinasti jilid 19 karya Stevanus S.P
Sonny Ogawa

Puing Puing Dinasti Jilid 19 karya Stevanus S.P -.HELIAN KONG tahu bahwa pergaulan di kalangan atas begini membutuhkan banyak basa-basi, maka ia pun menyesuaikan. Ia membalas salam dan pujian Ma I-thian, "Saudara Ma terlalu memuji. Tetapi Saudara Ma berjasa juga, dengan kedatangan pasukanmu yang tepat pada waktunya sehingga bandit-bandit itu tidak sempat beraksi lebih jauh."

Novel Silat Mandarin, karya Stevanus S.P

Setelah saling menyanjung, barulah Jenderal The bertanya, "Kami ingin menghadap Pangeran....."

"Kebetulan sekali Pangeran sedang tidak ada tamu. Silahkan, Jenderal The."

The Ci-liong hendak keluar dari joli untuk mendaki undakan batu yang ratusan tingkat itu, tetapi Ma I-thian buru-buru mencegahnya, "Pangeran sudah memberi ijin khusus kepada Jenderal The untuk tetap naik joli sampai ke atas, ke depan pintu. Mengingat usia dan kesetiaan Jenderal kepada dinasti."

Maka joli pun dibawa menaiki tangga, sedang Helian Kong harus turun dari kuda, menitipkan kudanya kepada salah seorang pengawal Jenderal The, lalu ikut naik dengan berjalan kaki di samping joli. Berkeringat juga para penggotong joli itu, selain harus naik tangga ratusan tingkat, juga karena berat tubuh Jenderal The sendiri yang agak gemuk. Tetapi joli itu berhasil juga dibawa sampai ke depan pintu.

Mereka menjumpai Pangeran Hok-ong sedang duduk membaca sebuah buku di sebuah pondok tanpa dinding di tengah-tengah kolam teratai. Melihat kedatangan The Ci-liong dan Helian Kong diantar Ma I-thian, Pangeran Hok-ong buru-buru menyongsongnya ke jembatan di atas kolam. Jenderal The dan Helian Kong memberi hormat, Pangeran Hok-ong lalu mempersilahkan mereka duduk dalam pondok.

"Kenapa, Jenderal?" tanya Pangeran Hok-ong.

"Apakah semua pasukan sudah disuruh meninggalkan Lam-khia ke pos-pos semula di luar kota, Pangeran?"

"Sesuai dengan usul kalian, untuk meredakan kecurigaan keponakan-keponakanku, maka sejak kemarin sore pasukan demi pasukan sudah berangsur-angsur meninggalkan Lam-khia. Pagi ini beberapa pasukan lagi. Sengaja tidak dilakukan secara serempak dan besar-besaran supaya tidak mengejutkan rakyat. Nanti rakyat menduga-duga mungkin tentara Manchu sudah dekat Lam-khia, atau bagaimana....."

"Pangeran, hamba mohon jangan semua pasukan disuruh pergi dulu. Sisakan sedikit untuk keamanan Pangeran."

Pangeran Hok-ong menunjukkan wajah heran, "Lho, memangnya ada apa?"

Kata The Ci-liong kepada Helian Kong, "Ceritakan kepada Pangeran, Helian Cong-peng."

Dengan singkat Helian Kong menceritakan apa yang ia lihat dan dengar di terowongan air. Helian Kong tidak menyebut-nyebut nama Pangeran Kui-ong.

Pangeran Hok-ong mengerutkan alisnya, "Tetapi belum pasti aku yang diarahkan? Aku merasa tidak punya musuh satu pun. Apalagi sejak aku menyatakan diri keluar dari gelanggang persaingan, hati ini rasanya begitu damai. Satu-satunya keprihatinanku hanyalah nasib negeri, terutama belahan utara yang sudah dikuasai Manchu."

"Pangeran begini tulus, tetapi orang lain belum tentu setulus Pangeran," kata The Ci-liong. "Meski rencana jahat itu tidak terang-terangan menyebutkan siapa sasarannya, kami anjurkan Pangeran berhati-hati."

"Ah, susah benar hidup di jaman penuh kecurigaan ini," keluh Pangeran Hok-ong. "Lalu apa yang harus kulakukan?"

"Jangan semua pasukan disuruh kembali ke pos mereka di luar Lam-khia. Sisakan sebagian tetap di kota ini, untuk mengawal kediaman Pangeran ini."

"Wah, kalau keponakan-keponakanku melihat tempat ini penuh pasukan, mereka akan berprasangka buruk kepada Paman yang malang ini. Mereka akan menyangka bahwa undangan pertemuan yang bakal kusebar hanyalah perangkap, mereka takkan mau memenuhi undangan, dan berantakanlah rencana menyusun masa depan negeri ini."

Wajah Pangeran Hok-ong benar-benar berhasil menampilkan mimik seorang "paman yang malang" yang menimbulkan iba, bahkan juga di hati Helian Kong yang berhati tegar. "Paman malang" yang sudah mengalah sedemikian rupa namun masih juga dijahati dan dicurigai oleh keponakan-keponakannya yang ambisius semuanya.

"Pangeran, kalau begitu tinggalkan saja pasukan dari tangsi yang terdekat dengan kediaman Pangeran ini. Yang setiap saat bisa dengan cepat dihubungi dari tempat ini, kalau ada apa-apa."

Bukannya menjawab dengan tegas "ya" atau "tidak", Pangeran Hok-ong masih meneruskan "akting"nya sebagai "paman yang malang", "Kenapa jadi begini? Apa yang salah denganku? Aku hanya ingin melihat tanah air diselamatkan, kenapa salah paham masih juga terjadi?"

Helian Kong diam-diam merasa agak kesal juga melihat sikap Pangeran Hok-ong. Kasihan memang kasihan, tetapi kenapa tidak bersikap agak tegas dan berhenti mengiba-iba seperti itu?

The Ci-liong berkata pula, "Pangeran, biarlah separuh dari pengawal pribadi hamba akan hamba suruh kemari."

"Jangan! Memangnya keselamatanmu kurang penting dari keselamatanku? Pengawalku di sini, cukup kuat, yang kusedihkan bukan keselamatan pribadiku, melainkan keselamatan negeri ini."

"Pangeran, keselamatan negeri bisa kita rundingkan dalam pertemuan lengkap nanti. Saat ini yang penting adalah terselenggaranya pertemuan itu sambil bersiap-siap menangkal rencana jahat itu."

Helian Kong yang mulai tidak sabar itu pun menukas, "Usul kami adalah, sisakan pasukan yang memadai di tangsi terdekat. Yang setiap saat bisa digerakkan kemari. Beriba-iba terus tak banyak menolong....." kata Helian Kong terhenti, karena The Ci-liong menyikutnya diam-diam. Omongan Helian Kong dianggap terlalu tajam.

Pangeran Hok-ong mengangguk-angguk, "Aku paham. Baiklah kuterima usul kalian. Aku berterima kasih bahwa kalian memperhatikan keselamatanku. Mudah-mudahan semuanya berjalan lancar, nasib negeri ini dipertaruhkan di tangan kita."

"Kami mohon pamit, Pangeran."

Lalu dengan diantar oleh Ma I-thian yang tadi diikutkan mendengarkan selama pembicaraan, Jenderal The Ci-liong dan Helian Kong meninggalkan tempat itu. Pangeran Hok-ong punya dua jenis orang-orang yang jadi kaki-tangannya. Ada kaki-tangan "di atas permukaan" alias "kaki-tangan terang", dan ada juga kaki-tangan "bawah permukaan" alias kaki-tangan gelap. Ma I-thian ini tergolong pengikut yang "di tempat terang" yang boleh ikut mendengarkan hal-hal yang terlalu rahasia.

Begitu kedua tamunya pergi, Pangeran Hok-ong pun menuju ke sebuah ruangan tertutup, bagian dari istananya itu. Dalam ruangan itu Ang Tiok-lim sedang berlatih dengan telanjang dada. Tetapi begitu melihat Pangeran Hok-ong memasuki ruangannya, Ang Tiok-lim menghentikan semua gerakannya dan memberi hormat.

"Jenderal The dan Helian Kong baru saja meninggalkan istana ini," Pangeran Hok-ong langsung mengambil tempat duduk sambil tersenyum-senyum. "Agaknya sampai tahap sekarang ini, semua rencana kita berjalan lancar."

"Boleh hamba mengetahui apa yang mereka katakan?"

"Mereka mencemaskan keselamatanku, karena Helian Kong mencium adanya sebuah rencana jahat yang ditujukan kepadaku. Kau benar-benar hebat, Ang Tiok-lim. Kau lebih memakai otak dibandingkan Au Ban-hoa yang bisanya main seruduk saja itu."

"Terima kasih, Pangeran. Semuanya tidak lepas dari takdir Langit yang sudah memilih siapa yang bakal duduk di singgasana kelak."

Mendengar sanjungan itu, Pangeran Hok-ong tak terasa menegakkan punggungnya, seolah-olah sudah benar-benar duduk di singgasana. "Kita benar-benar telah berhasil memanfaatkan Helian Kong untuk menimbulkan kesan yang kita inginkan di antara para jenderal, tanpa Helian Kong sendiri menyadarinya. He-he-he....."

"Hamba mengucapkan selamat kepada Pangeran."

"Ucapan selamat masih terlalu pagi. Rencana kita masih ada langkah-langkah lanjutannya. Kuharap kau awasi seluruh bagian rencana itu sampai yang sekecil-kecilnya. Jangan ada yang meleset."

"Baik, Pangeran."

"Tetaplah adakan kontak dengan 'si kembang biru' agar gerak-gerik Helian Kong tetap dapat kita ketahui. Orang ini berbahaya, sebab suka telusupan di bawah tanah, mencari tahu hal-hal yang seharusnya tidak boleh diketahui."

"Jangan khawatir, Pangeran."


Akhirnya hari itu pun tiba, hari di mana segenap sisa pendukung dinasti Beng akan berkumpul. Semua pangeran yang menguasai potongan-potongan wilayah di selatan, semua jenderal dan perwira yang menguasai pasukan-pasukan yang tersebar, wakil-wakil dari beberapa wilayah kebangsawanan, meskipun rombongan orang-orangnya Bangsawan Bok Thiam-po dari Hun-lam masih prihatin karena lenyapnya pimpinan rombongan, Im Hai-lip Si Kipas Prahara.

Tamu demi tamu pun berdatangan. Yang datang pertama kali adalah Pangeran Kong-ong dan lebih kurang lima puluh orang pengawal pribadinya. Tidak lupa adalah dua penasehatnya, yaitu Liao Lun si penasehat soal politik dan militer, dan Mo Hun-tong si penasehat dalam hal-hal gaib seperti keberuntungan, hari baik dan hari buruk dan sebagainya.

Pangeran Kong-ong yang terlalu mempercayai setiap kata-kata Mo Hun-tong itu pun melakukan hal yang aneh waktu mendaki tangga batu di depan pintu gerbang kediaman Pangeran Hok-ong itu. Pangeran Kong-ong melangkah hati-hati di setiap anak tangga sesuai dengan petunjuk Mo Hun-tong. Ada anak-anak tangga yang harus dilompati, karena kalau diinjak akan menimbulkan ketidak-beruntungan, kata Mo Hun-tong.

Maka perjalanan mendaki dari bawah sampai ke pintu gerbang itu pun jadi lambat sekali. Setiap kali Pangeran Kong-ong berhenti cukup lama di satu anak tangga, sementara Mo Hun-tong menghitung-hitung sesuai ilmunya sebelum memberitahu mana anak tangga yang harus diinjak dan mana yang harus dilangkahi.

Komandan pengawal pribadi Pangeran Hok-ong, yang bertugas menyambut Pangeran Kong-ong, merasa tidak sabar juga karena harus mendampingi terus. Tetapi ia harus menahan diri, mengingat-tamunya ini adalah orang penting.

Karena lamanya rombongan Pangeran Kong-ong menyusuri telundakan batu itu, maka ketika mereka masih di tengah-tengah telundakan dan Mo Hun-tong masih menghitung-hitung, tahu-tahu di ujung bawah tangga sana sudah muncul rombongan lain. Rombongan yang orang-orangnya berpenampilan sederhana gaya militer di medan perang, tak lain adalah rombongan Pangeran Kui-ong. Penampilan rombongannya diharapkan akan menarik simpati para jenderal.

Pangeran Kui-ong tidak naik joli melainkan menunggang kuda, juga dalam seragam militer. Setelah kuda-kuda dari rombongan itu diterima oleh para penyambut dari pihak Pangeran Hok-ong, rombongan itu lalu mulai menaiki tangga batu. Karena mereka berjalan tanpa menghitung-hitung pantangan segala, maka mereka segera menyusul rombongan Pangeran Kong-ong.

Ketika tiba di dekat sepupu jauhnya yang amat percaya takhayul, Pangeran Kui-ong berhenti melangkah dan bertanya sambil melangkah, "Wah, Adinda Kong-ong, langkahmu hati-hati benar, apakah di anak-anak tangga itu ada pakunya?"

Pangeran Kong-ong melotot gusar, Mo Hun-tonglah yang menjawab, "Pangeran boleh meremehkan kepercayaan kami, tetapi Pangeran lihat saja nanti hasilnya. Antara kami yang bertindak menyelaraskan diri dengan semangat alam, dibanding yang mengabaikannya sama sekali!"

Pangeran Kui-ong malah tertawa keras mendengar itu, "Lalu apa hasilnya kalian memakai cara-cara ganjil itu?"

Kembali Mo Hun-tong yang menjawab, "Pangeran Kong-ong sudah empat kali bermimpi tubuhnya dimasuki naga emas!"

Naga emas sering dipercaya sebagai lambang kekaisaran, dengan jawaban itu Mo Hun-tong seperti berkata bahwa Pangeran Kong-onglah yang sudah mendapat Thian-beng (Mandat dari Langit) untuk menjadi kaisar dinasti Beng.

"Ooooo....." sahut Pangeran dipanjangkan, pura-pura percaya ejekan. "Kalau begitu, kuucapkan kami jalan dulu ya?" Kui-ong dengan suara namun jelas mengandung selamat lebih dulu. Nah, Lalu rombongan Pangeran Kui-ong pun mendahului rombongan Pangeran Kong-ong.

Mo Hun-tong geleng-geleng kepala melihatnya, sambil berdesis, "Sembrono sekali mereka. Mereka tidak akan mendapat Thian-beng." Lalu ia pun meneruskan menghitung-hitung anak tangga demi anak tangga dan Pangeran Kong-ong begitu mematuhinya.

Pangeran Hok-ong menyambut para pangeran keponakannya itu di pintu gerbang. "Selamat datang, Yu-long," katanya menyambut Pangeran Kui-ong yang nama aslinya memang Cu Yu-long. "Aku senang kau datang dengan mengesampingkan kecurigaanmu. Setidak-tidaknya sebelum Pamanmu yang tua ini masuk kubur, masih sempat akan kulihat dinasti kita memilih Kaisar yang tepat."

Di pintu gerbang itu juga ada para jenderal dan tokoh-tokoh masyarakat di kota Lam-khia, antara lain si guru silat dari Tiat-ciang Bu-siao (Sekolah Silat Telapak Tangan Besi) Lam Peng-hi, yang pengikutnya ribuan orang dan banyak yang berhasil menduduki posisi penting di kalangan kemiliteran di Lam-khia dan sekitarnya. Juga beberapa tokoh berpengaruh lainnya, dari kalangan pemerintahan, perdagangan maupun persilatan.

Di depan tokoh-tokoh ini, Pangeran Kui-ong berusaha menunjukkan sikapnya yang baik agar memperoleh dukungan, "Terima kasih Paman mengundang aku. Kedatanganku bukan untuk memperebutkan kedudukan, tetapi sekedar ikut menyumbangkan pikiran demi masa depan negeri ini."

Waktu penyambut-penyambut lainnya hendak berlutut, Pangeran Kui-ong mencegahnya dengan simpatik, "Aku mohon, jangan. Aku belum pantas menerima kehormatan sebesar itu dari kalian, penopang-penopang dinasti yang sesungguhnya. Aku belum berbuat banyak buat negeriku, sedangkan kalian sudah berbuat banyak dan bahkan mempertaruhkan nyawa kalian."

Itulah jurus "merendahkan diri merebut simpati" dari Pangeran Kui-ong yang dicemaskan oleh Pangeran Hok-ong. Tetapi demi Pangeran Hok-ong ingat rencananya yang sejauh ini lancar, ia tepis jauh-jauh kecemasannya. Tamu-tamu terus berdatangan, sehingga ruangan perjamuan di ruangan tengah itu amat meriah.

Dari para keturunan dinasti Beng hadirlah Pangeran Hok-ong sebagai penyelenggara, lalu Pangeran Kui-ong yang didampingi panglima tentaranya, Lim Kui-teng. Ada lagi Pangeran Kong-ong, Pangeran Lou-ong dan Pangeran Tong-ong.

Dari pihak para tokoh militer ada Jenderal The Ci-liong yang amat berwibawa, puteranya Laksamana The Seng-kong yang memiliki gelar kebangsawanan Yan-peng-kun-ong yang saat itu mengemban tugas melindungi putera almarhum Kaisar Cong-ceng, yaitu Pangeran Cu Sam, yang dititipkan oleh Puteri Tiang-ping. Pangeran Cu Sam yang masih bocah itu sekarang ada di kediaman Laksamana The Seng-kong di Hok-kian sana.

Di ruang pertemuan Pangeran Hok-ong itu juga ada Jenderal Thio Hong-goan dari Ciat-kang, lalu Li Teng-kok dan kawan-kawannya yang mewakili Jenderal Thio Hian-tiong dari Se-cuan. Ada orang-orang utusan Bangsawan Bok Thiam-po dari Hun-lam. Dan Helian Kong serta Siangkoan Heng. Tokoh-tokoh undangan lain pun sudah lengkap.

Pangeran Hok-ong merasa sudah saatnya untuk membuka pertemuan itu. la berdiri dari duduknya dan mulai berbicara, "Tuan-tuan, aku besyukur bahwa hati kalian telah terketuk akan nasib negeri leluhur kita. Terima kasih paling besar kami berikan kepada para jenderal yang tidak kenal lelah menyelenggarakan kekuatan-kekuatan dinasti agar bersatu..."

Pangeran Hok-ong mengangkat cawan arak dengan dua tangannya, katanya, "Secara khusus aku menyuguhkan tiga cawan arak kepada Jenderal The Ci-Iiong, Jenderal Thio Hong-goan, Laksamana The Seng-kong, Cong-peng Helian Kong,.Cong-peng Li Teng-kok dan rekan-rekan dari Se-cuan dan Hun-lam."

Para pangeran lainnya beramai-ramai ikut mengangkat cawan mereka untuk menghormat para tokoh militer, takut kalau simpati para tokoh militer itu keburu direbut semua oleh Pangeran Hok-ong.

Habis acara penghormatan, Pangeran Hok-ong berkata pula, "Tuan-tuan, agar Tuan-tuan mengetahui gawatnya keadaan negeri kita saat ini, aku mohon dengan hormat Saudara Li Teng-kok menceritakan keadaan di Se-cuan."

Li Teng-kok mulai berkata-kata, "Tuan-tuan, secara singkat kulaporkan bahwa setan-setan Manchu telah menguasai perbatasan Se-cuan Utara dan berusaha mendesak untuk merebut propinsi lumbung pangan itu. Jenderal Thio terluka oleh panah, pimpinan pasukan sekarang dipegang oleh Saudara Sun Ko-bong. Pasukannya mundur ratusan li."

Itu saja yang dikatakan Li Teng-kok, tidak ada kata-kata menghimbau atau menghasut atau membangkit-bangkitkan emosi, tetapi laporan singkat itu telah membuat gambaran betapa gawatnya keadaan negeri, sekaligus terkandung peringatan betapa mereka yang sedang berkumpul di Lam-khia itu memanggul masalah beban berat.

Pangeran Kong-ong yang amat percaya segala ramalan itu cepat-cepat menukas untuk menyanjung diri sendiri, "Yang terjadi itu tepat seperti yang diramalkan oleh penasehatku. Ada naga hitam menyerang dari utara, yang dapat menghalaunya pergi hanyalah naga emas dari selatan."

Semua orang maklum, yang dimaksud "naga emas dari selatan" tidak lain adalah diri Pangeran Kong-ong sendiri. Pangeran itu sudah bercerita kepada banyak orang, kalau ada ahli nujum yang "melihat naga emas di atas kepalanya". Begitulah, laporan kegawatan negara oleh Li Teng-kok langsung disambut laporan ramalan gaib oleh Pangeran Kong-ong, ramalan gaib yang hendak menonjolkan dirinya sendiri.

Liao Lun si penasehat politik militer Pangeran Kong-ong, merasakan kata-kata Pangeran yang terlalu menonjolkan diri itu terlalu menyolok. Maka ia diam-diam memberi isyarat kepada Pangeran Kong-ong agar berhenti bicara. Apa mau dikata, Sang Junjungan menyerocos terus dengan ramalan gaibnya, katanya ada "pagoda bertingkat sembilan yang ambruk" segala.

Keruan Pangeran Kui-ong mendidih darahnya, karena pagoda bertingkat sembilan adalah lambangnya. Pangeran Hok-ong diam-diam mengharapkan agar Pangeran Kong-ong dan Kui-ong bertengkar, agar mereka kehilangan simpati semua jenderal. Tak terduga Pangeran Kui-ong yang biasanya berangasan itu kini menahan diri dengan hebat.

Waktu itu, di luar ruangan tiba-tiba terdengar suara ribut orang berkelahi dalam jumlah besar, suara itu makin lama makin dekat. Tokoh-tokoh dinasti Beng yang sedang berkumpul dalam ruangan itu, mendengar juga suara-suara itu. Wajah mereka menjadi tegang, saling menoleh dengan pandangan bertanya-tanya.

Pangeran Hok-ong cepat menenangkan tamu-tamunya, "Tenanglah, Tuan-tuan sekalian. Biar kuperintahkan orang-orangku untuk mengatasinya."

Baru saja kata-katanya selesai, Si Komandan pengawal Ma I-thian sudah melangkah masuk dengan tergesa-gesa mendekati Pangeran Hok-ong dan membisikkan sesuatu ke kuping Pangeran. Pangeran juga membisikkan sesuatu ke kuping Ma I-thian, kemudian Ma I-thian bergegas keluar kembali.

"Ada apa, Paman?" tanya Pangeran Lou-ong.

Jawab Pangeran Hok-ong sesuai dengan rencana, "Agaknya kawan-kawan dari para jago bayaran yang kubasmi dari Lam-khia beberapa hari yang lalu, mereka ingin membalas dendam kepadaku rupanya. Mereka rupanya juga tahu pasukan-pasukan yang membantuku sudah meninggalkan kota, maka mereka berani menyatroni tempat ini."

"Si naga emas dari selatan" Pangeran Kong-ong yang baru saja bicara menggebu-gebu, tiba-tiba wajahnya menjadi pucat ketakutan. Lalu duduk kembali di kursinya sambil menyuruh Mo Hun-tong membaca mantera penangkal bahaya. Sedangkan Pangeran Tong-ong dari Hok-kian yang pengawalnya cukup banyak, sekitar tiga puluh orang jagoan, memerintahkan pengawal-pengawalnya bersiaga di sekitar dirinya.

Tetapi agar mendapat simpati di antara tamu-tamu, dia pun berkata kepada pengawal-pengawalnya dengan suara keras sampai didengar semua orang di tempat itu, "Lindungi juga Paman Hok-ong, para jenderal dan tamu-tamu lainnya. Aku sendiri tidak begitu penting!"

Begitulah ia hendak menimbulkan kesan bahwa dirinya tidak memikirkan diri sendiri saja tetapi juga memikirkan orang lain. Tetapi dari luar ruangan tiba-tiba terdengar suara tertawa mengejek, lalu sebatang lembing pendek meluncur dari luar dan tahu-tahu amblas di dada dari salah seorang tamu. Korban pertama dalam ruangan itu pun jatuh.

Dalam ruangan itu banyak orang yang tidak mampu membela diri sendiri, maka mereka jadi panik melihat jatuhnya korban. Orang-orang segera lari bertabrakan, ada yang jatuh dan diinjak-injak oleh yang lain. Pangeran Kong-ong yang selama ini bersikap gagah, sekarang pun ikut terbirit-birit bersama orang-orang lain. Pangeran-pangeran lainnya tetap di tempat duduk masing-masing dikelilingi pengawal-pengawal mereka.

Semuanya berwajah cemas, meski coba ditahan-tahan. Tetapi Pangeran Kui-ong alias Cu Yu-long menunjukkan ia memang berjiwa prajurit. Ia tidak cuma gagah-gagahan mengenakan seragam militernya, tetapi juga menunjukkan sikapnya yang tidak gentar. Sambil mengawasi ke arah pintu masuk ke ruangan itu, juga sambil tetap makan dan minum dengan tenangnya.

Meski jago utama andalan Pangeran Kui-ong adalah Bhe Ting-lai, namun setelah Bhe Ting-lai "lenyap entah ke mana" bukan berarti di sekitar Pangeran Kui-ong tidak ada lagi jagoan-jagoan tangguh.

Sementara Helian Kong memperhatikan lembing pendek yang melesat masuk tadi, dan ia segera teringat seseorang. Orang itu adalah Hek-yan-cu (Si Walet Hitam) Nyo Tiang-le yang ahli melempar-lemparkan lembing pendek macam itu. Nyo Tiang-le pernah disewa entah oleh pihak mana, untuk membunuh Jenderal The Ci-liong ketika jenderal itu dalam perjalanan hendak bertemu Pangeran Hok-ong.

Tetapi waktu itu Nyo Tiang-le gagal, sebab Jenderal The mengambil rute lain, yang ditemui Nyo Tiang-le adalah Helian Kong yang menyamar sebagai Jenderal The. Munculnya Nyo Tiang-le tidak membuat Helian Kong kaget. Di terowongan air, Helian Kong sudah melihat tokoh ini menerima bayaran dari Ang Tiok-lim, begitu pula banyak jago tangguh lainnya.

Para pengawal Pangeran Hok-ong agaknya tidak dapat menahan serbuan mendadak para jago bayaran, selain jumlah musuh puluhan, juga semua adalah orang-orang yang tangguh. Si Walet Hitam Nyo Tiang-le adalah yang paling dulu berhasil menerobos ke ruang pertemuan.

Keadaan begitu gawat, tetapi Pangeran Hok-ong menunjukkan sikap yang mengagumkan. Ia berdiri menghadang di tengah-tengah ruangan, bersikap melindungi tamu-tamunya. Jenderal The tersentuh hatinya. Ia menoleh kepada Helian Kong dan berkata pelan, "Helian Cong-peng, lindungi Pangeran Hok-ong!"

Helian Kong menghunus pedang Elang Besinya. Karena saat itu Helian Kong sedang tampil terang-terangan, tidak sedang menyamar, maka ia bawa pedang yang menjadi salah satu identitasnya itu. Ia melangkah mendampingi Pangeran Hok-ong. Waktu itu, suara ribut senjata yang berdentangan dan orang berteriak saling memaki maupun berteriak kesakitan, sudah terdengar merata di sekeliling ruang pertemuan itu.

Dua sosok tubuh masuk melalui pintu, merekalah dua orang pengawal pribadi Pangeran Hok-ong yang sudah tak berdaya. Lalu muncullah Nyo Tiang-le dengan langkah seenaknya memasuki ruangan itu. Biasanya ia menyandang delapan lembing pendek, empat mencuat di pundak kanan, empat mencuat di pundak kiri, tetapi saat itu yang di pundak kanannya sudah berkurang satu.

Sikap Nyo Tiang-le nampak begitu seenaknya, agaknya ia tidak memandang sebelah mata semua orang di ruangan itu. Ia anggap isi ruangan itu hanyalah bangsawan yang gendut-gendut dan tidak bisa bersilat, atau para tokoh militer yang jago dalam peng-hoat (ilmu militer) tetapi tidak hebat dalam pertarungan silat, atau para pengawal mereka yang cuma "prajurit-prajurit biasa". Demikianlah anggapan Nyo Tiang-le.

Maka dibayangkannya tugas untuk menangkap Pangeran Hok-ong itu semudah mengambil barang di kantongnya sendiri. Sambil bertolak pinggang, ia berseru, "Yang mana Pangeran Hok-ong?"

Di luar dugaan siapapun, Pangeran Hok-ong bersikap amat tabah. Ia maju selangkah sambil membusungkan dada dan berkata, "Akulah Pangeran....."

Tetapi Helian Kong maju dua langkah sehingga berdiri di depan Pangeran Hok-ong sambil berkata, "Akulah Pangeran Hok-ong. Kau mau apa?"

Sikap Helian Kong yang melindungi itu, membuat Pangeran Hok-ong bersorak dalam hati, yakin bahwa sejauh ini rencananya berjalan lancar, tidak meleset seujung rambut pun. Namun di luarnya ia pura-pura mencemaskan Helian Kong. Bisiknya di belakang punggung Helian Kong, "Helian Cong-peng, bandit ini mencari aku. Jangan sampai orang lain menjadi korban, aku telah memutuskan rela berkorban bagi semua tamu yang ada di ruangan ini."

Sikap Pangeran Hok-ong sendiri sebenarnya cukup membingungkan Helian Kong yang biasa berpikir kritis. Sungguh-sungguh atau pura-purakah sikap itu? Kalau sungguh-sungguh, rasanya susah diterima akal bahwa Pangeran Hok-ong tiba-tiba bersikap begitu patriotik dan rela berkorban, mengingat tindakan-tindakannya di masa lalu yang kurang terpuji. Tetapi kalau pura-pura, kenapa segalanya terlihat begitu bersungguh-sungguh? Sepertinya tidak ada setitik pun hal yang patut dicurigai bahwa semuanya itu hanya sandiwara.

Namun betapapun bimbangnya Helian Kong, ia tetap bertekad melindungi Pangeran Hok-ong demi kewibawaan dinasti Beng. Ia takkan membiarkan orang-orang mengejek kalau sampai tahu bahwa pertemuan tokoh-tokoh dinasti Beng tak berdaya menghadapi pengacauan bandit-bandit jalanan. Rakyat tentu akan kehilangan kepercayaan. Kalau menghadapi bandit-bandit jalanan saja tidak mampu, bagaimana mampu menghadapi bala tentara Manchu yang dahsyat?

Bisik Helian Kong tanpa menoleh kepada Pangeran Hok-ong di belakangnya, "Minggir, Pangeran. Orang ini yang pernah menghadang Jenderal The, namun waktu itu sebenarnya akulah yang dia hadang. Ia tak mampu mengalahkan aku."

Pangeran Hok-ong berbisik, "Hati-hatilah, Helian Cong-peng. Kau salah satu harapan bangkitnya kembali dinasti Beng....." Lalu ia beringsut minggir.

Suara perkelahian massal di luar ruangan itu semakin hebat. Teriakan-teriakan yang menggiriskan hati terdengar jelas dari ruangan itu, membuat menggigil orang-orang yang bernyali kecil. Apalagi waktu beberapa bandit berhasil pula menerobos masuk ke dalam ruangan.

Lalu dari pintu yang lain, Ma I-thian si komandan pengawal pribadi Pangeran Hok-ong juga melangkah masuk dengan pundaknya berdarah. Suatu pertanda yang kurang baik. Tetapi Ma I-thian dengan gagah berdiri di depan Pangeran Hok-ong sambil menyilangkan pedang di depan tubuh, bersikap siap melindungi junjungannya. Begitu pula beberapa pengawal lainnya.

Lagi-lagi Pangeran Hok-ong memperagakan kemurahan hatinya, katanya kepada Ma I-thian, "Lindungi semua tamu, aku tidak penting."

Pangeran Kui-ong tidak ingin simpati hadirin terus-menerus diborong untuk pamandanya. Inilah saat-saat pertaruhan demi masa depan yang gemilang, harus berani sedikit mempertaruhkan keselamatannya sendiri, jangan kelihatan egois seperti Pangeran Tong-ong di mana pengawal-pengawalnya hanya berada dekat di sekitar majikannya sendiri.

Maka Pengeran Kui-ong pun memerintahkan orang-orangnya dengan suara keras agar terdengar para tamu, "kalian bahu-membahu dengan Helian Cong-peng untuk manghalau keluar bandit-bandit itu!"

Tak terduga, pengawal-pengawalnya tidak segera menghunus senjata lalu terjun ke gelanggang, melainkan mereka saling pandang dan tidak segera bertindak. Ada yang sudah berdiri sambil menyambar tombaknya, tetapi malah duduk lagi perlahan-lahan dengan muka kebingungan.

Tingkah-laku para jago pengawal Pangeran Kui-ong itu mengherankan Pangeran Kui-ong, saking berangasannya sehingga ia membentak anak buahnya sendiri di depan orang banyak, "He, kenapa kalian?"

Seorang pengawal yang terdekat membisiki Pangeran Kui-ong, "Kami tidak bisa bertempur. Tenaga kami tiba-tiba lenyap entah kemana, minuman yang disuguhkan kepada kami agaknya..... tidak beres....."

Yang membisiki Pangeran Kui-ong itu adalah jago pribadinya yang cukup bisa dipercaya di samping Bhe Ting-lai yang lenyap tak tentu rimbanya itu. Omongannya diterima oleh Pangeran Kui-ong, maka air muka Pangeran Kui-ong pun berubah hebat.

Nalurinya sebagai orang politik yang sudah biasa "bermain" dengan menghalalkan segala cara, segera menangkap adanya ketidak-beresan dalam semua kejadian itu. Mungkin semacam tipu-daya untuk memojokkan dirinya, menjatuhkan namanya di depan sekalian pendukung dinasti Beng ini. Nalurinya itu diperkuat, ketika mendengar salah seorang tamu tiba-tiba berkata,

"Pangeran Kui-ong, kenapa anak buahmu tidak segera menjalankan perintahmu? Apakah anak buahmu tahu kalau perintahmu itu cuma basa-basi?"

"Siapa kau, orang tua, sehingga berani bicara begitu kepadaku?" tanya Pangeran Kui-ong kasar. Dalam bingungnya, ia lupa untuk bersikap mengambil simpati.

Orang tua itu berjubah biru laut, usianya hampir tujuh puluh tahun namun kulit wajahnya masih kemerah-merahan, matanya tajam, pundaknya tegap dan pinggangnya tetap ramping. Sahutnya kepada Pangeran Kui-ong, "Namaku Lam Peng-hi. Cuma seorang guru silat kecil-kecilan di Lam-khia ini."

Begitulah ia pura-pura merendahkan diri, padahal sekolah silatnya yang diberi nama Tiat-ciang Bu-siao (Sekolah Silat Telapak Besi) itu adalah sekolah silat terbesar di Lam-khia, banyak murid-muridnya yang berhasil menduduki jabatan-jabatan tinggi di dalam pasukan pemerintah di Lam-khia dan sekitarnya, sehingga Lam Peng-hi amat berpengaruh di Lam-khia itu. Itu yang diketahui umum, tetapi hanya segelintir orang tahu bahwa Lam Peng-hi terlibat secara sadar dalam "sandiwara besar" yang sedang digelar Pangeran Hok-ong.

Pangeran Kui-ong masih coba mengendalikan emosinya, agar tidak merugikan dirinya. "Maaf, Tuan Lam, bukannya orang-orangku tidak menuruti perintahku, melainkan mereka tiba-tiba kehilangan tenaganya setelah minum arak itu. Entah arak itu diberi racun apa."

Yang diucapkan Pangeran Kui-ong itu suatu fakta, tetapi terdengar menggelikan dan mengada-ada. Dan itu memang dikehendaki terjadi dalam "sandiwara besar itu. Lam Peng-hi tertawa terbahak sambil berkata,

"Aneh, arak yang kita minum sama semua, tetapi kenapa yang kuminum tidak mengakibatkan apa-apa? Kalau begitu, biarlah aku yang akan mencoba tulang-tulang keroposku ini untuk membantu Helian Cong-peng menanggulangi para pengacau!"

Lalu Lam Peng-hi pun melangkah gagah ke tengah arena. Perbantahan pendek itu menimbulkan kesan bahwa Pangeran Kui-ong kurang menggubris keselamatan orang lain dan hanya mementingkan keselamatan diri sendiri, menahan pengawal-pengawalnya agar tetap di dekatnya.

Sementara itu, Si Walet Hitam Nyo Tiang-le dengan congkak berkata kepada Helian Kong, "He, perwira keroco, minggirlah kau sebab aku hanya ingin Si Hok-ong itu."

"Siapa menyuruhmu?" tanya Helian Kong, meski hampir pasti bahwa yang ditanya takkan menjawabnya.

Jawab Nyo Tiang-le, "Kami bertindak hanya berdasar setia kawan terhadap teman-teman kami yang dibunuh dan ditangkap Hok-ong!"

Helian Kong tertawa, "Setia-kawan? Lucu benar kata-kata itu keluar dari mulut manusia bayaran macam kau. Setia kawan, atau karena diberi uang emas di terowongan air itu?"

Nyo Tiang-le terkejut sebentar, tetapi lalu tertawa, "Tidak aneh kalau begundal-begundal Hok-ong juga bisa menyusup ke antara kami dan mengetahui yang terjadi di tempat itu. Waktu itu kami juga menangkap seorang begundal, seorang imam bertubuh pendek. Tetapi pasti ada begundal lain yang tidak kami ketahui. Yang penting, malam ini kami harus berhasil membunuh Hok-ong!"

"Aku akan menghalangimu!" kata Helian Kong singkat.

"Aku juga!" sambung Lam Peng-hi si jago tua.

Nyo Tiang-le tertawa dingin, "Kalau nama Lam Peng-hi si guru silat kelas kambing memang pernah kudengar, tetapi kau, prajurit kecil, kau kira siapa dirimu sehingga kau bisa menghalangi aku?"

"Aku pernah mengalahkanmu, waktu aku menyamar sebagai Jenderal The Ci-liong," sahut Helian Kong kalem. "Dan malam ini kau akan mengalaminya untuk kedua kalinya."

Nyo Tiang-le kaget, sekarang ia tidak berani cengengesan lagi. Kegagalannya membunuh "Jenderal The Ci-liong" dulu masih membuatnya penasaran sampai detik ini, siapa tokoh yang menyamar sebagai The Ci-liong itu? Yang begitu hebat sehingga ia hampir-hampir tak berhasil menyelamatkan diri?

"Be..... benarkah kau..... or..... orangnya?"

Helian Kong tersenyum. "Ya. Kalau mau kabur masih ada kesempatan."

Sebagai tokoh jalan hitam yang punya nama besar, sudah tentu Nyo Tiang-le tidak sudi dilecehkan di depan begitu banyak orang. Langsung ia mengeluarkan senjatanya, seutas rantai panjang, di kedua ujungnya ada bandulan besinya sebesar jeruk. Dengan kedua tangannya ia memutar-mutar kedua ujung rantai itu, sehingga berdesing-desing hebat.

Kepada kawan-kawannya yang berhasil menerobos masuk ke ruangan itu, ia memerintah, "Habiskan semua orang di sini, kecuali Pangeran Kui-ong!"

Itulah perkataan yang sangat merugikan Pangeran Kui-ong! Menimbulkan kesan seolah-olah Pangeran Kui-ong bersekutu dengan para pembunuh bayaran itu, sehingga dikecualikan untuk tidak dibunuh.

Pangeran Kui-ong tentu saja amat gusar, teriaknya dari tepi arena, "Hei, bangsat, siapa mengharap belas kasihanmu? Siapa menyuruhmu mengucapkan hal itu di depan orang banyak ini?"

Sesungguhnya Nyo Tiang-le sendiri tidak tahu kenapa Pangeran Kui-ong harus dikecualikan, ia hanya diperintah demikian oleh pihak yang membayarnya, dan sekarang ia mengucapkannya di depan banyak orang. Tak peduli merugikan Pangeran Kui-ong, ia cuma menjalankan "pesanan" karena sudah dibayar.

Sementara Pangeran Kong-ong yang mulutnya jahil itu sekarang bersuara pula, "Wah, kalau demikian rasanya tidak sulit untuk menebak siapa yang mendalangi penyerangan ini."

Itulah yang diharapkan Pangeran Hok-ong, tetapi dengan sikap prihatin ia pura-pura melerai keponakan-keponakannya, "Keponakan-keponakanku, jangan saling tuduh! Kita sedang membutuhkan persatuan. Sabarlah, berkepala dinginlah....."

Sikap amat bijaksana itu kembali menimbulkan simpati banyak orang. Sementara Pangeran Kui-ong yang canggung bukan kepalang, tak tahu harus bersikap bagaimana. Bahkan ingin menyuruh orang-orangnya untuk ikut bertempur pun, ternyata orang-orangnya sudah kehilangan tenaga secara aneh. Ia disudutkan, tetapi tidak tahu bagaimana harus membantahnya, tidak bisa mengajukan apa buktinya, setiap kata-katanya terdengar mengada-ada di kuping orang lain.

Akhirnya Pangeran Kui-ong cuma bisa mengutuk dalam hati, "Bhe Ting-lai keparat, goblok, gentong nasi, kemana kau menghilang selama ini, bangsat? Kenapa rencana sejahat ini sampai tidak kau laporkan kepadaku?"

Sementara itu Nyo Tiang-le sudah mulai bertindak, bandring kirinya tiba-tiba meluncur lurus ke wajah Helian Kong dengan gerak Liu-seng-kan-goat (Bintang Meluncur Mengejar Rembulan). Helian Kong menunduk sambil meluncur maju, merapatkan jarak. Tetapi Nyo Tiang-le sudah menggeser tempat, bandring kanan yang gagal itu disentakkan mundur lalu bandring kiri menimpa dari atas ke punggung Helian Kong.

Sepasang tangan Nyo Tiang-le itu benar-benar hidup dan amat terlatih, seolah-olah dua tangan memiliki pikiran sendiri-sendiri tetapi mampu bekerja sama dengan baik. Kalau yang satu menarik serangan, yang lain meluncurkan serangan. Yang satu menjebak, yang lain menyerang sungguhan. Yang satu menjerat, yang lain membandring. Bergantian secara tangkas. Rantai panjang tidak membuatnya repot atau rantainya jadi saling berbelit.

Helian Kong yang sedang merunduk maju itu pun cepat menjatuhkan dirinya terlentang, menyongsong bandring yang dari atas itu dengan sabetan pedang Tiat-eng Po-kiamnya. Terdengar suara berdering lunak, tahu-tahu bola bandringan itu sudah terlepas dari rantainya dan terpental ke atas. Helian Kong melompat bangkit kembali dengan gerak Le-hi-tah-teng (Ikan Lele Melejit). Lalu sambil tertawa ia berkata,

"Maaf, sobat yang bergelar Si Walet Hitam. Prajurit kecil tak berarti ini tadi lupa memperingatkanmu, bahwa pedang yang kupakai adalah pedang pusaka yang amat tajam."

Wajah Nyo Tiang-le berubah-ubah, sebab ujung kiri rantainya sudah putus, tak berbola besi lagi. Tetapi ia pun tidak sudi tertangkap, ia akan disiksa dan ditanyai siapa yang menyuruh, padahal ia sendiri tidak tahu pasti siapa. Ia hanya menduga, mungkin Pangeran Kui-ong.

Sementara Pangeran Kui-ong sendiri dari luar gelanggang berteriak, "Bagus, Helian Cong-peng! Tangkap dia hidup-hidup, paksa dia mengaku siapa yang menyuruh dia bersikap dan berkata-kata yang menimbulkan kesan aku yang menyuruh mereka!"

Nyo Tiang-le ternyata masih ingin melawan. Sesuai dengan gelarnya sebagai Hek-yan-cu, kemahiran ilmu meringankan tubuhnya luar biasa. Tubuhnya tiba-tiba mencelat ringan, lalu bandringnya yang tinggal satu itu pun bagaikan menderu memenuhi gelanggang, mengepung sekujur tubuh Helian Kong dari segala arah.

Helian Kong pun mengimbangi gerak cepatnya. Namun ia tidak mau didikte lawannya, ia tidak mau ikut bergerak dalam irama gerak lawannya, melainkan menuruti iramanya sendiri. Helian Kong tidak banyak berlompatan, tetapi banyak berdiri teguh dengan sekali-sekali menggeser langkah. Sekokoh gunung, pedangnya seperti siap menyambut dari manapun arah bandringan lawannya.

Apabila Helian Kong balas menyerang, maka dia pun seakan melejit terbang, sehingga bayangan tubuhnya serta pedangnya lebih memenuhi arena dibandingkan bayangan tubuh Nyo Tiang-le dan bandringannya. Maka keduanya seperti sepasang burung elang yang berlaga dan saling sambar di udara.

Orang-orang di sekeliling gelanggang benar-benar mendapat tontonan menarik. Tak jarang penonton-penonton itu berdecak kagum bersama-sama apabila salah satu atau kedua petarung itu melakukan gerakan-gerakan yang hebat. Lam Peng-hi si pendekar tua di Lam-khia, diam-diam kagum juga, terutama kepada Helian Kong.

Para bandit lainnya nampaknya menjadi bimbang melihat rekan mereka, Nyo Tiang-le, tahu-tahu ketemu lawan hebat yang tak dapat diatasinya. Ternyata isi ruangan itu "tidak seempuk" seperti yang dikatakan oleh pemberi kepingan-kepingan emas itu.

Lam Peng-hi kemudian mulai gatal tangan, suaranya mengguntur ke arah bandit-bandit lain yang berhasil menerobos masuk itu, "He, sampah-sampah jalanan, kalian susah-susah menerobos kemari bukan cuma untuk menonton teman kalian berkelahi, bukan? Ayolah, lanjutkan niat kalian! Hadapi si tua ini!"

Seorang bandit bertubuh besar tetapi kepalanya kecil dan lancip, rupanya ingin menjajal Lam Peng-hi. Ia bersenjata toya yang disebut Ce-bi-kun (Toya Setinggi Alis) yang terbuat dari tembaga kuning. "Tua bangka, biarpun namamu disegani di Lam-khia, tetapi jangan jadi katak di bawah tempurung. Perlu kau belajar kenal kekuatan-kekuatan di luar tempurungmu yang sempit itu!" katanya sambil menjinjing senjatanya ke arah Lam Peng-hi.

Lam Peng-hi mengelus jenggot putihnya sambil tertawa, "Dengan senang hati mohon kau mengajar aku tentang 'kekuatan-kekuatan di luar tempurung' yang kau katakan tadi, Sobat."

Si Kepala Kecil tertawa, "Kau bukan saja akan kubuat keluar dari tempurung kepicikanmu, bahkan keluar dari dunia ini ke dunia arwah."

Lam Peng-hi merah padam wajahnya, sebagai tokoh yang biasa dihormati di Lam-khia, perkataan itu menyinggung juga. Si Kepala Kecil itu pun tanpa sungkan-sungkan segera mengayun toya perunggunya, tak peduli lawannya tidak bersenjata. Caranya yang buas dan tak kenal aturan itu menunjukkan kalau ia memang orang jalan hitam sampai ke tulang sumsumnya.

Lam Peng-hi sudah lanjut usianya, tidak mungkin melakukan gerak serba cepat seperti Helian Kong dan Nyo Tiang-le. Namun dia pun ingin memamerkan sesuatu yang dibanggakannya, yaitu kekuatan telapak tangannya. Maka toya perunggu lawannya itu tidak dihindarinya melainkan ditangkisnya dengan tamparan telapak tangan, meski tidak langsung melainkan menyamping.

Toya itu oleng, tetapi Si Kepala Kecil dengan tangkas menyodokkan ujung lain dari toyanya ke pinggang Lam Peng-hi sambil berseru, "Lumayan juga kau, Pak Tua! Nih, berikutnya!"

Kedua orang itu pun bergebrak, memang tidak seramai antara Helian Kong dan Nyo Tiang-le, tetapi hebat juga. Sementara itu, bandit-bandit lainnya telah bertarung dengan orang-orang yang mampu bertarung di ruangan itu. Li Teng-kok bersama dua orarg rekannya, Gai Leng-ki dan Lau Bun-siu, harus bertiga melawan seorang pemuda berwajah pucat bersenjata sepasang pedang pendek...

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.