Puing Puing Dinasti Jilid 20

Cerita silat Mandarin serial Helian Kong seri ketiga, puing-puing dinasti jilid 20 karya Stevanus S.P
Sonny Ogawa

Puing Puing Dinasti Jilid 20 karya Stevanus S.P - LI TENG-KOK bertiga ditambah Sun Ko-bong yang tetap di Se-cuan bersama Jenderal Thio Hian-tiong, dijuluki "empat macan" tapi dalam hal memimpin pasukan di medan laga, bukan karena ketrampilan pertempuran perseorangan.

Novel Silat Mandarin, karya Stevanus S.P

Maka sekarang biarpun tiga dari "empat macan" sudah menggabungkan tenaganya, mereka tetap tidak bisa mengatasi lawan mereka yang hanya satu itu. Nampaknya, keadaan di pihak Pangeran Hok-ong benar-benar kritis.

Bukan hanya di dalam ruangan itu, melainkan di luar ruangan juga. Pengawal istana Pangeran Hok-ong lebih banyak, namun penyerbu-penyerbu itu jauh lebih ganas. Sudah belasan korban jatuh di pihak pengawal istana. Para penyerbu juga sudah berhasil menyalakan beberapa bangunan menjadi api unggun raksasa yang menerangi malam.

Saat pengawal istana dalam keadaan makin sulit, tiba-tiba di tengah-tengah arena itu bermunculan beberapa sosok tubuh ringan dengan kain kedok di wajah mereka. Semula para pengawal menyangka mereka adalah kawanan bandit pula, dan hampir menyerang orang-orang berkedok itu. Tetapi orang-orang berkedok itu malahan melabrak ke kawanan bandit. Jumlah orang-orang berkedok itu hanya enam atau tujuh orang, namun merupakan bantuan berharga buat para pengawal.

Jiat-so (Si Tali Maut) Duan Po tengah mengganas dengan tali hitamnya. Dalam pertempuran yang ribut itu, ia tidak kebingungan memainkan tali hitamnya. Setiap kali talinya berhasil menjerat leher seorang pengawal puri, lalu tubuh itu ditarik dan dimain-mainkan di udara bagaikan layang-layang saja sampai mati kehabisan napas, baru dilepas. Caranya melepas juga tidak usah dengan tangan, melainkan cukup menggetarkan talinya maka jeratan di ujung sana mengendor dan jatuhlah "layang-layang manusia".

Nampak sekali bahwa Duan Po melakukan pekerjaannya itu tidak sekedar karena upah, melainkan benar-benar dijadikan permainan yang mengasyikkan. Terbukti ia melakukannya sambil tertawa-tawa senang, benar-benar tak ubahnya anak-anak bermain layang-layang. Para pengawal di istana Pangeran Hok-ong merasa ngeri terhadap orang ini.

Para pengawal mencoba menjauhinya, tetapi tali maut Duan Po yang panjangnya belasan meter itu bisa memungut leher siapa saja, tanpa suara, tahu-tahu leher korbannya terjerat begitu saja lalu "dijadikan layang-layang" sebelum dihempaskan mampus. Dalam suasana hiruk-pikuk mengawasi musuh di segala penjuru, sungguh sulit menjaga datangnya serangan tali maut itu, apalagi talinya pun berwarna hitam, sewarna dengar warna malam.

Sampai keasyikan Duan Po terganggu. Suatu kali ia berhasil menjerat leher seorang pengawal, lalu "diterbangkan"nya pengawal itu. Tetapi tiba-tiba ada sesosok tubuh dengan sepasang golok liu-yap-to (golok daun liu-golok tipis), memutuskan talinya di tengah udara. Korban Duan Po jatuh, megap-megap sebentar karena di lehernya masih ada tali yang melingkar ketat, namun kemudian berhasil melepaskannya.

Sedang Duan Po menjadi gusar, menatap orang yang mengganggu keasyikannya itu. "Siapa kau? Belum kenal aku?"

Pengusik tadi tertawa, "Tentu saja kenal. Siapa tidak kenal Si Tali Maut Duan Po? Permainanmu tadi hebat, tapi kejam. Makanya kuhentikan."

"Siapa kau?"

"Namaku Toan Ai-liong. Julukanku kebetulan sama dengan namaku, Ai-liong (Naga Kerdil)."

Duan Po melihat tubuh lawannya itu memang pendek dan kecil, namun nama dan julukan yang diperkenalkan itu membuat Duan Po berwaspada. Nama itu tidak kalah tenar dengan namanya sendiri. "Tuan Ai-liong, kalau tidak salah kau pernah berada juga di terowongan air itu juga bukan?"

"Betul. Waktu Pangeran Hok-ong mengadakan pembersihan orang-orang bersenjata dari jalanan-jalanan di Lam-khia, aku pun ikut dikejar-kejar dan terpaksa bersembunyi di terowongan air itu."

"Kenapa sekarang kau malah jadi begundalnya Hok-ong?"

"Aku tidak menghamba siapa pun, kecuali keselamatan tanah leluhur ini. Kau pun bisa berbuat sama denganku, kalau kau tinggalkan gelanggang ini dan ajak pergi teman-temanmu...."

Duan Po tertawa, "Aku tidak mau sok patriotik. Aku jujur saja bahwa aku tidak peduli keselamatan tanah leluhur segala, pokoknya aku dapat uang, lain perkara boleh kukesampingkan."

Darah Toan Ai-liong mendidih melihat sikap macam itu, ia gesekkan sepasang golok tipisnya sambil menggeram, "Kalau begitu, harus kumusnahkan manusia tak bertanggung-jawab sepertimu dari muka bumi!"

Sahut Duan Po sambil tertawa, "Jangan terlalu yakin. Bisa-bisa malah kau yang mampus dijerat Tali Mautku!"

Kata-kata Duan Po terputus karena Toan Ai-liong sudah menubruk maju dengan sepasang golok tipisnya menebas sejajar. Toan Ai-liong berharap suatu pertempuran jarak dekat, di mana ia menyangka tali panjang dan hitam Duan Po akan kehilangan sebagian besar daya gunanya dalam pertempuran rapat demikian.

Ternyata Duan Po juga gesit serta terampil menggunakan tali hitamnya dalam pertarungan jarak pendek. Tali itu dilipat-lipat sehingga pendek, dan dimainkan dengan baik. Kadang disabetkan sebagai cambuk, kadang dipegangi dua ujungnya untuk mencoba "mengalungkan"nya ke leher, menjerat, dan sebagainya. Tipu-tipunya ternyata cukup beraneka ragam.

Orang-orang berkedok yang baru datang itu memang adalah sisa-sisa kaum Pelangi Kuning. Kali ini mereka meIupakan permusuhan dengan dinasti Beng dan membantu Pangeran Hok-ong mengamankan purinya. Mereka berbuat demikian tak lain karena merasa prihatin akan keselamatan negeri. Mereka menghadang pihak penyerbu, terutama menghadapi bandit-bandit yang kelihatan cukup kuat. Para pengawal istana segera tahu bahwa orang-orang berkedok itu adalah kawan, bukannya lawan.

Kemudian ternyata pihak penyerbu tidak dapat lagi berbuat sesuka hati. Pertama mereka memang mampu membuat kejutan dan membuat para pengawal keteteran, bahkan para penyerbu sempat menimbulkan kebakaran di beberapa tempat. Tetapi setelah para pengawal hilang kagetnya dan perlawanan mereka mulai mapan, ditambah munculnya orang-orang Pelangi Kuning yang bertempur di pihak pengawal istana, para penyerbu pun akhirnya kehilangan gerak maju serangannya.

Keadaan bertambah gawat bagi para penyerbu, ketika para pengawal istana berhasil menghubungi tangsi prajurit terdekat untuk minta bantuan. Seribu prajurit segera dikirimkan dari tangsi itu, ada regu pembawa senjata api pula. Maka pihak penyerbu pun segera menghadapi titik balik serangannya. Waktu senjata-senjata api mulai "bernyanyi" maka banyak diantara bandit-bandit itu pun mulai bertumbangan ditembus peluru.

Toan Ai-liong dan kawan-kawannya agaknya sadar bahwa kehadiran mereka tidak diperlukan lagi di situ. Dengan isyarat-isyarat rahasia, mereka menarik diri dari gelanggang. Regu senjata api dari tangsi hampir saja menembak mereka karena melihat pakaian mereka dan kedok-kedok di muka mereka, menyangka mereka pun termasuk kawanan pengacau. Untung pengawal-pengawal puri memberitahu para prajurit bahwa mereka bukan musuh.

Sementara itu, di dalam ruangan, Nyo Tiang-le semakin jatuh di bawah tekanan Helian Kong. Selain kemampuannya yang jelas di bawah Helian Kong, juga karena semangatnya mulai merosot setelah mendengar dentuman-dentuman senjata api di luar. Sambil bertempur melawan Helian Kong, Nyo Tiang-le diam-diam mengutuk Ang Tiok-lim dalam hatinya,

"Terkutuklah Ang Tiok-lim bersama nenek-moyangnya delapan belas generasi. Dia memberi keterangan yang salah tentang kekuatan di puri ini. Katanya dengan mudah akan bisa kami habisi orang-orangnya lalu kami rampok hartanya. Katanya juga tidak perlu takut karena para prajurit sudah dikembalikan ke luar kota. Ternyata omongannya tidak sesuai kenyataan, dan sekarang malah batang hidungnya sendiri tidak kelihatan."

Nyo Tiang-le juga sadar kalau dirinya tidak cepat-cepat kabur, maka ia pun akan ditinggalkan sendirian oleh teman-temannya. Kelompok penyerbu itu adalah kumpulan orang-orang mata duitan semuanya, tak ada rasa setia-kawan satu sama lain apabila kesulitan menghadang. Kalau "setia kawan" dalam keberhasilan memang mungkin saja, tetapi begitu kesulitan tiba masing-masing akan mementingkan diri sendiri bahkan kalau perlu mengorbankan teman sendiri.

Nyo Tiang-le sadari itu. Ia ingin kabur lebih dulu, mendahului teman-temannya. Sulitnya, Helian Kong terus menekan dengan rapat. Pedang Tiat-eng Po-kiam bahkan sudah memotong bandringan di ujung rantai yang satu lagi, kemudian memotong rantainya sekalian hingga senjata kebanggaan Nyo Tiang-le itu jadi benda rongsokan yang tak ada gunanya lagi.

Nyo Tiang-le menggeram campur putus-asa. Keunggulannya yang dibanggakan di kalangan rimba-hijau, yaitu dalam hal meringankan tubuh, ternyata juga tidak berarti di hadapan Helian Kong. Helian Kong mampu menyamai lompatan-lompatan panjangnya, bahkan melebihinya dan sering menghadangnya.

Si Walet Hitam ini kemudian membuang rantainya, lalu menghunus dua lembing pendek dari belakang pundaknya. Senjata-senjata itu biasanya untuk dilontar-lontarkan, tetapi dalam keadaan terjepit ia bisa juga memainkannya bagaikan memainkan siang-khek (sepasang tombak pendek).

Helian Kong agaknya jemu terhadap orang-orang macam Nyo Tiang-le ini. Orang-orang yang sanggup melakukan apa saja asal dibayar. Selagi orang lain berprihatin akan nasib negeri, orang-orang macam Nyo Tiang-le malah mempergunakan kesempatan untuk memperkaya diri sendiri, tak peduli apa pun akibatnya bagi tanah airnya. Karena rasa jemu itulah maka Helian Kong bertekad menghabisi saja manusia macam ini.

Jantung Nyo Tiang-le bagaikan rontok ketika mendengar di luar ruangan terdengar letusan senapan lagi, dan jerit kematian. Entah berapa lagi teman-temannya yang tubuhnya ditembus kelereng logam panas yang terluncur dari moncong bedil. Nyali Nyo Tiang-le makin berantakan ketika tahu di bagian lain dari gelanggang dalam ruangan itu, beberapa bandit yang tadi masuk ruangan itu bersamanya, satu persatu ditangkap atau dibunuh oleh pengawal Pangeran Hok-ong yang dibantu pengawal Jenderal The dan jenderal-jenderal lainnya.

Lalu raksasa berkepala kecil yang bertoya perunggu itu pun agaknya sulit mengimbangi kegagahan si jago tua Lam Peng-hi yang bertangan kosong. Hantaman-hantaman toya perunggu yang bisa menjebol tembok tebal itu, ternyata hanya ditepis dengan telapak tangan kosong Lam Peng-hi saja. Rupanya Lam Peng-hi menggunakan kesempatan itu untuk sekalian "mengiklankan" sekolah silatnya yang bermerek Tiat-ciang Bu-siao (Sekolah Silat Telapak Besi) agar makin banyak muridnya dan makin banyak pula uang masuk.

Si raksasa berkepala kecil itu makin kalap, juga putus asa melihat kawan-kawannya tertangkap atau terbunuh, sementara untuk lari dari situ juga harapannya kecil. Ia meluapkan keputus-asaannya itu dengan serangan-serangan tak terkendali, disertai teriakan-teriakan kata-kata kotor yang membuat telinga bising. Beberapa perabotan meja dan kursi di ruang itu hancur kena toya perunggunya, patahan meja kursi berhamburan siap melukai siapa saja yang dikenai. Penonton di tepi arena pun minggir sampai merapat tembok, takut kena gebukan nyasar.

Lam Peng-hi merasa mendapat kesempatan untuk tampil sebagai pahlawan penyelamat. Tingkah laku lawannya kebetulan mirip siluman jahat dalam dongeng, maka di mana ada siluman jahat, di situ akan muncul dewa kebajikan yang sakti sebagai tandingannya. Bentak Lam Peng-hi gagah, "Orang jahat, cukup sampai di sini kau menakutkan orang-orang tak berdosa!"

Kemudian di tengah-tengah hujan gebukan toya perunggu, Lam Peng-hi justru menerobos maju, sepasang telapak tangan besinya melakukan banyak gerakan seperti menyodok, menebas, menepis, menusuk dengan ujung jari. Lengannya yang hanya sepasang seakan berubah jadi beberapa pasang karena bayangannya, lengan bajunya yang berwarna biru laut itu berkibaran seperti dewa sedang terbang di langit. Ia benar-benar tampil mempesona, sehingga beberapa orang di antara penonton tak terasa bertepuk tangan, lupa sejenak akan gawatnya keadaan.

Sebetulnya Lam Peng-hi merasa telapak tangannya agak sakit juga karena sekian puluh kali diadu dengan toya perunggu, tetapi sang dewa kebajikan sudah tentu akan berkurang keanggunannya kalau cengar-cengir kesakitan, makanya Lam Peng-hi tidak menunjukkan rasa sakitnya itu, melainkan dengan gagah terus melabrak maju.

Beberapa kali Si raksasa berkepala kecil itu toyanya kena ditepis pergi. Ia tambah kewalahan, Lam Peng-hi makin dekat dan toya perunggu makin kehilangan ruang geraknya. Sampai suatu kali telapak tangan Lam Peng-hi berhasil menyelonong mendarat di rusuk Si Kepala Kecil. Si Kepala Kecil sempoyongan mundur sambil menggelogokkan darah dari mulutnya. Toya perunggunya terlepas jatuh.

Lam Peng-hi tidak memberi ampun, ia mendesak maju sambil membentak garang, "Hari ini kubasmi satu sampah masyarakat, demi keamanan umum!"

Lalu kedua telapak tangannya menepuk berbareng ke arah kuping lawannya. Lawannya langsung berputar-putar seperti ayam disembelih dengan kuping mengalirkan darah, isi batok kepalanya guncang berantakan. Lalu roboh tak bergerak-gerak lagi.

Nyo Tiang-le tahu apa yang terjadi di sekitarnya, meskipun tak sempat memperhatikannya. Ia semakin panik. Sepasang lembing pendeknya dapat ditebas putus oleh pedang Helian Kong. Sebelum ia mengambil lagi dari belakang punggungnya, ujung pedang Helian Kong menyusup ke jantungnya dan mengakhiri riwayat pembunuh bayaran terkenal itu.

Sementara itu, pengawal puri dibantu pasukan yang datang dari tangsi pun akhirnya berhasil menguasai keadaan sepenuhnya. Korban jiwa di kedua pihak cukup banyak, yang luka-luka lebih banyak lagi. Pangeran Hok-ong sebagai tuan rumah, menunjukkan kegusarannya, dan memberi perintah kepada Ma I-thian, "Periksa orang-orang itu. Selidiki siapa yang menyuruh mereka!"

Waktu itu, Pangeran Kui-ong sudah tidak tenteram perasaannya. Ia tidak menyuruh orang-orang itu, namun ia merasakan adanya suatu rencana rahasia yang tersusun rapi untuk memojokkannya, tanpa pihaknya sendiri mampu memberi bantahan yang meyakinkan. Rasa-rasanya, acara-acara berikutnya sudah membuatnya tidak tertarik lagi. Tetapi kalau ia meninggalkan ruang pertemuan sekarang, ia akan makin dicurigai dan akan makin disudutkan oleh si pembuat rencana rahasia itu.

Ma I-thian sudah bergerak hendak melaksanakan perintah junjungannya itu, tetapi Lam Peng-hi yang sedang jadi pusat perhatian di samping Helian Kong, berkata dengan suaranya yang menggeledek biarpun tidak berteriak, "Pangeran, rasanya tidak perlu merepotkan Komandan Ma. Rasanya kita bisa menyimpulkan siapa yang mendalangi tindakan keji ini!"

Pangeran Hok-ong masih berpura-pura bijaksana, "Tuan Lam, harap jangan mengambil kesimpulan secara gegabah. Kita sedang mencoba menggalang persatuan demi keselamatan tanah air. Jangan sampai persatuan ini retak kembali."

Lam Peng-hi memainkan peranannya dengan baik. "Tidak, Pangeran. Hamba tidak menuduh dengan gegabah, hamba tarik kesimpulan dari kenyataan-kenyataan yang bisa dilihat banyak orang di sini. Kenyataan yang bukan hanya reka-rekaan atau prasangka hamba pribadi."

Pangeran Hok-ong menarik napas, "Sudahlah. Yang penting, semua yang berkumpul di sini selamat. Serangan orang jahat itu bisa dikatakan gagal total."

Lam Peng-hi geleng-geleng kepala. "Tidak, Pangeran. Selama ular berbisa itu masih bersembunyi dengan aman di antara kita, ada kemungkinan di kemudian hari ia masih akan mematuk punggung kita selagi kita lengah dan membuat berantakan urusan besar."

Jenderal Thio Hong-goan adalah orang jujur, tetapi ia masih terpengaruh kemarahan akibat peristiwa tadi. Ia langsung saja mendukung usul Lam Peng-hi, sambil gebrak meja segala, "Betul! Kalau bukti-buktinya cukup kuat, kenapa kita takut menunjuk hidung si biang kerusuhan ini? Tuan Lam, coba kau kemukakan bukti-buktimu!"

Lam Peng-hi tidak berkata apa-apa, melainkan langsung membungkuk dan mengambil sesuatu dari dalam baju Si Kepala Kecil yang dibunuhnya tadi. Tangannya mengangkat sekeping uang emas, katanya, "Tuan-tuan semuanya, aku yakin emas seperti ini ada di semua tubuh para bandit yang tertangkap maupun terbunuh. Pemilik uang emas inilah yang mengupah bandit-bandit itu untuk mencoba mencelakai Pangeran Hok-ong!"

Dengan kata-kata itu, secara tidak langsung Lam Peng-hi sudah lebih dulu mengeluarkan Pangeran Hok-ong agar tidak termasuk dalam daftar tersangka. Nalar yang umum, mana ada orang mengupah pembunuh bayaran untuk menyerang diri sendiri?

"Siapa pemilik uang emas itu?" tanya Laksamana The Seng-kong, meskipun sudah bisa menduga, sebab Helian Kong juga pernah menunjukinya uang emas serupa itu.

Lam Peng-hi memeriksanya, dan berkata, "Ada gambar pagoda yang puncaknya berselimut mega....."

"Itu lambangnya Kakanda Cu Yu-long!" sambung Pangeran Kong-ong penuh suka cita. Suka cita karena salah satu saingannya, Pangeran Kui-ong nampaknya malam itu bakal terpental keluar dari gelanggang persaingan dengan tidak terhormat.

Si "paman bijaksana" Pangeran Hok-ong masih geleng-geleng kepala sambil berkata, "Jangan gegabah saling menuduh. Bisa saja uang emas itu dicuri dari Yu-long."

"Tidak, Pangeran....." tukas Lam Peng-hi. "Suatu bukti barangkali kurang kuat. Tetapi kalau ditopang bukti lain, rasanya kecurigaan kita akan makin beralasan. Tuan-tuan, coba diingat-ingat, tadi waktu terjadinya keributan, rombongan siapa yang paling enggan turun ke gelanggang untuk ikut menghalau para bandit?"

Serempak orang banyak pun menoleh ke arah Pangeran Kui-ong dan rombongannya. Ditatap sekian banyak pasang mata, Pangeran Kui-ong dan pengiring-pengiringnya jadi seperti cacing kepanasan. Wajah Pangeran Kui-ong memancarkan rasa penasaran tetapi tidak sanggup menerangkannya.

Dan Pangeran Hok-ong yang biasanya melerai sebagai "paman yang bijaksana" kali ini kelihatannya menyetujui kecurigaan banyak orang ke arah Pangeran Kui-ong. Meski tidak diucapkan dengan kata-kata, melainkan hanya dengan helaan napas masygul dan wajah yang sedih.

Pangeran Kui-ong tidak tahan lagi, "Omong kosong semuanya! Ada suatu rencana busuk yang dirancang untuk menjerat dan menyudutkan aku! Dimulai dengan hilangnya orang kepercayaanku yang bernama Bhe Ting-lai, lenyap tanpa jejak..."

Lam Peng-hi agaknya diberi peranan sebagai "jaksa penuntut umum" dalam "skenario" rancangan Pangeran Hok-ong itu. Ia cepat menukas perkataan Pangeran Kui-ong, "He-he, jadi Bhe Ting-lai adalah orang kepercayaanmu?"

"Betul?" dalam gusarnya Pangeran Kui-ong menjawab tanpa pikir panjang lagi.

Lam Peng-hi terus berusaha menyudutkan. "Aku menyusupkan beberapa orang-orangku untuk memasuki kalangan jalan hitam yang bergerak di bawah tanah, tujuanku agar dapat memantau gerak-gerik bandit itu. Dan anak buahku ada yang melapor, bahwa ada orang bernama Bhe Ting-lai yang coba menghimpun kekuatan dari jalan hitam itu. He-he-he, sekarang mulai jelas hubungannya....."

Lam Peng-hi sudah tahu kalau Helian Kong sering bersama-sama kalangan jalan hitam dengan selubung penyamaran sebagai Ek Beng-ti. Maka Lam Peng-hi berani mengucapkan itu, karena pasti akan dibenarkan Helian Kong meski hanya dalam hati. Lam Peng-hi tidak menyadari kalau perkataan terakhirnya tadi sebenarnya juga mengandung sedikit kelemahan. Kalau benar orang-orangnya menyelinap di kalangan jalan hitam itu, kenapa sampai tidak tahu gerakan para penyerbu itu?

Sayang kelemahan itu tidak ditangkap oleh Pangeran Kui-ong yang sedang emosi itu. Katanya keras, "Ya, kukirim Bhe Ting-lai untuk menghimpun dukungan dari kalangan bawah tanah itu. Tetapi memangnya hanya aku yang melakukannya? Memangnya yang lain-lain mau cuci tangan dari soal ini? Hem, setan pun akan tertawa kalau ada pangeran lain yang mengaku tidak memakai jasa orang-orang jalan hitam!"

Helian Kong diam-diam membenarkan kata-kata Pangeran Kui-ong dalam hatinya. Helian Kong pernah bertemu dengan orang jalan hitam yang diduganya diperalat oleh pangeran-pangeran yang lain kecuali Kui-ong. Helian Kong sendiri dalam samaran sebagai Ek Beng-ti, bahkan pernah dibayar untuk "membunuh Helian Kong dengan meninggalkan bendera lambangnya Pangeran Kui-ong, jelas semacam usaha untuk memfitnah Pangeran Kui-ong. Mungkinkah mata uang emas bergambar pagoda bermega itu juga untuk memfitnah Pangeran Kui-ong?

Tetapi Helian Kong belum mampu ikut bicara, tidak punya bukti. Cuma dalam hati ia berkata, "Setidak-tidaknya Pangeran Kui-ong lebih jujur dan lebih terang-terangan."

Jenderal Thio Hong-goan angkat bicara pula, "Tuan-tuan, kita tidak perlu bertele-tele. Semua orang bisa mengaku sebagai calon pemimpin negeri, tetapi peristiwa malam ini menyingkapkan mana yang emas dan mana yang loyang. Pertimbangan lain, makin berlarut-larut singgasana dalam keadaan kosong, makin kacau negeri kita ini. Yang keenakan adalah orang-orang Manchu dan para bandit bayaran. Aku tidak ingin berbelit-belit, aku mendukung Pangeran Hok-ong sebagai Kaisar!"

Kata-kata yang "tembak langsung" itu mengejutkan banyak orang. Pangeran Lou-ong Cu Gi-yap yang selama bertahun-tahun akrab dengan Jenderal Thio Hong-goan, dan mengharapkan dukungan jenderal itu, sekarang memucat wajahnya mendengar keputusan dukungan Thio Hong-goan malah untuk Pangeran Hok-ong.

Pangeran Hok-ong sendiri menunjukkan sikap kaget, katanya tergagap-gagap, "Jenderal Thio, jangan gegabah! Memangnya kau lupa bahwa aku sudah menyatakan tidak mengingini singgasana? Banyak yang lebih pantas dari aku!"

Tetapi Thio Hong-goan yang berwatak keras itu agaknya sudah jemu akan pertikaian berlarut-larut yang menghasilkan banyak kekacauan itu. Maka ia berlutut di depan Pangeran Hok-ong, sambil memegang pisau belati yang ditodongkan ke ulu hatinya sendiri. Katanya nekad, "Pangeran, terimalah kembali pencalonan itu. Atau aku mati di depanmu!"

Suasana jadi gempar di ruangan itu. Pangeran Hok-ong sangat puas dalam hati, tujuan terakhir dari rencananya sudah di ambang pintu. Tetapi sandiwara belum berakhir. Ia menunjukkan sikap gugup menghadapi ancaman Thio Hong-goan itu, "Jenderal Thio, jangan..... jangan nekad. Segalanya masih bisa dirundingkan."

Lalu Lam Peng-hi berlutut pula, "Pangeran, kaulah orang paling tepat untuk menduduki singgasana. Keadaan negeri sudah gawat, dan kami sudah melihat kebijaksanaanmu, keprihatinanmu, kerendahan hatimu. Jangan kecewakan kami!"

Suara dukungan bergema di mana-mana. Hanya Helian Kong yang tetap terdiam tersipu-sipu, kebingungan. Pangeran Hok-ong mula-mula masih berkata dengan sungkan, tapi dukungannya makin kuat. Akhirnya Pangeran Hok-ong merasa sudah saatnya untuk mengakhiri "babak" itu. Sambil menarik nafas, pura-pura dengan sangat berat, ia pun berkata, "Kalian memaksaku. Kalian tidak memberiku pilihan lain."

Seketika itu gemuruhlah ruangan itu dengan sorak kegirangan orang banyak, baik yang memang menjadi begundal-begundal Pangeran Hok-ong, maupun orang-orang tulus yang termakan oleh sandiwara yang dirancang rapi itu. Orang-orang tulus itu misalnya Thio Hong-goan, The Ci-liong dan sebagainya.

Hanyalah Li Teng-kok yang bergelar "Sai Khong-beng" atau "seperti Khong-beng" karena akalnya yang tajam, beserta Helian Kong, yang termangu-mangu. Kedua-duanya sama-sama merasa tidak beres di balik semuanya itu, tetapi takkan dapat menyebut yang tidak beres itu apanya dan oleh siapa? Yang merasa masygul lainnya adalah para pangeran. Berarti harapan mereka sudah tertutp. Namun mereka pun tidak berani menentang arus.

Waktu itu Jenderal The Ci-liong sebagai panglima paling senior sudah melangkah ke tengah arena yang masih berantakan itu. Seluruh ruangan sunyi senyap, menunggu apa yang akan dilakukan jenderal paling senior itu. Ternyata The Ci-liong berlutut, lalu berseru, "Ban-swe! Ban-swe!"

"Ban-swe" atau "Selaksa Tahun" adalah seruan yang hanya untuk seorang kaisar. Dengan seruan The Ci-liong itu, berarti dia sudah mengangkat Pangeran Hok-ong sebagai Kaisar dinasti Beng berikutnya. Orang-orang di ruangan itu pun semuanya berlutut dan menyerukan "Ban-swe", termasuk "golongan terpaksa" seperti Helian Kong, Li Teng-kok dan para pangeran yang lain.

Pangeran Hok-ong cepat-cepat membangunkan Jenderal The dari berlututnya, "Jangan begitu, Jenderal. Kalian baru boleh menjalankan penghormatan itu setelah aku secara resmi duduk di singgasana." Dengan kata-kata itu, Pangeran Hok-ong menerima pengangkatan dari para pendukung dinasti Beng itu, baik pendukung terpaksa maupun pendukung yang terkecoh.

Dengan demikian, suasana yang semula kacau dan menegangkan, berubah menjadi suasana pesta. Meja-meja yang berantakan karena pertempuran tadi, disingkirkan, diganti meja-meja baru dan hidangan-hidangan baru pula. Para pangeran, termasuk Pangeran Kui-ong, dengan terpaksa mengucapkan selamat kepada paman mereka.

Habis mengucapkan selamat, Pangeran Kui-ong dan pengikut-pengikutnya lalu meninggalkan perjamuan dengan alasan tubuhnya kurang sehat. Menyusul Pangeran Kong-ong juga meninggalkan pesta, dan baru sampai di tengah jalan, pangeran ini sudah memecat kedua penasehatnya. Baik penasehat politik militer Lioa Lun, maupun penasehat "kerohanian"nya Mo Hun-tong, sama-sama dipecat.

Pangeran Lou-ong dan Pangeran Tong-ong sama-sama menahan diri untuk mengikuti perjamuan itu sampai selesai. Mereka cukup pintar bersandiwara dengan menunjukkan mimik muka "ikut bergembira" dan "ikut lega bahwa dinasti Beng akhirnya menemukan penerusnya". Ada lagi yang mengundurkan diri dari pesta sebelum pestanya selesai. Dialah Helian Kong.

Waktu ia berpamitan kepada Pangeran Hok-ong, Pangeran Hok-ong membekalinya dengan sanjung-puji kepada Helian Kong sambil berpesan agar Helian Kong banyak membantunya. Helian Kong cuma nyengir-nyengir kikuk mendengar kata-kata Pangeran Hok-ong itu.


Sementara itu, orang-orang Pelangi Kuning yang terdiri dari Yo Kian-hi, Toan Ai-liong dan beberapa orang lainnya, telah berada dalam kegelapan lorong-lorong kota Lam-khia setelah mereka meninggalkan puri Pangeran Hok-ong yang baru dilanda kemelut itu. Mereka berhenti berlari-lari dan membuka kain kedok muka mereka. Yo Kian-hi menghitung jumlah kawan-kawannya, ternyata masih lengkap seperti ketika berangkatnya tadi. Jumlahnya tidak berkurang satu pun. Ia lega.

"Ada yang luka?" tanya Yo Kian-hi.

Toan Ai-liong menjawab, "Hanya Saudara Eng Siang agaknya terluka pundaknya sedikit....."

"Biar lukanya sekecil apa pun, harus segera ditaburi obat dan dibalut. Tempat ini sepi, Saudara Eng, obati lukamu," perintah Yo Kian-hi.

Sejak Yo Kian-hi bergabung dengan sisa-sisa kaum Pelangi Kuning, ia dianggap pemimpin. Menggantikan Im Hai-lip yang belum sembuh dari lukanya. Semuanya menuruti kata-katanya yang masuk akal dan selalu mengutamakan seluruh negeri daripada dendam golongan Pelangi Kuning.

Selagi Eng Siang diobati dan dibalut, Toan Ai-liong menggerutu, "Para pangeran keturunan dinasti Beng itu benar-benar gila. Tega-teganya mereka mengerahkan orang-orang jalan hitam untuk mengacau pertemuan kalangan mereka sendiri. Entah pangeran sinting mana yang mendalangi keributan tadi."

Yo Kian-hi menyahut, "Kita boleh berbangga, bahwa kita telah menunjukkan sikap yang lebih dewasa dan lebih bertanggung-jawab dari mereka. Kita tidak mengambil kentungan dari kekacauan mereka, malah ikut meredakan kekacauan itu. Demi keselamatan sisa negeri kita agar jangan sampai dicaplok Manchu."

Yang terluka itu selesai diobati dan dibalut. Lalu orang-orang itu menuju ke tempat tinggal sementara mereka, di belakang rumah obat Yok-ting. Begitu berada dalam rumah itu, ada yang langsung merebahkan diri di antara tong-tong dan langsung mendengkur. Ada yang ke sumur dulu untuk membersihkan badan meski udara malam cukup dingin. Ada yang menyalakan api untuk menghangatkan arak dan makanan.

Yo Kian-hi sendiri, biarpun pemimpin, tidak berada di tempat terpisah yang jauh lebih nyaman, melainkan tidur di antara tong-tong pula di gudang rumah obat itu. Waktu Yo Kian-hi melepaskan sepasang pedangnya, kemudian menguap lebar sambil membaringkan tubuhnya, tiba-tiba hatinya merasa tidak enak. Lalu ia bangun kembali dan merogoh ke dalam sebuah tong di sebelahnya. Tangannya tidak menyentuh benda yang diharapkannya, maka terkejutnya bukan kepalang. Ia bangkit kembali dan berdesis, "Abu jenazah Sri Baginda dicuri orang!"

Orang-orang yang sudah mengantuk itu pun terkejut. Toan Ai-liong bertanya, "Betulkah? Coba periksa lagi, Komandan Yo. Jangan-jangan cuma bergeser tempatnya."

Yo Kian-hi menggeleng-gelengkan kepala, wajahnya menampilkan percampuran rasa sedih dan gusar. Maklum, ia mengemban amanat Kaisar Tiong-ong sebelum ajalnya, agar menanam abu itu di kampung halaman Kaisar Tiong-ong di barat laut sana. Tetapi Yo Kian-hi terlalu asyik dalam kemelut di Lam-khia, sehingga perjalanannya tertunda. Tahu-tahu sekarang guci abu jenazah Kaisar Tiong-ong itu sudah lenyap.

Toan Ai-liong juga nampak tidak kalah sedih dan gusarnya, begitu pula yang lain-lainnya. Mereka menjunjung kesucian abu jenazah seakan-akan Kaisar Tiong-ong sendiri masih hidup dan di tengah-tengah mereka dan memimpin sendiri perjuangan mereka. Dan kini tiba-tiba guci itu hilang.

"Keparat, siapa malingnya?" Tiba-tiba Yo Kian-hi ingat seseorang, "Im Hai-lip....."

Orang-orang itu berlompatan bangkit, semuanya hendak berebut keluar dari pintu, menuju ke tempat Im Hai-lip. Selama ini, karena lukanya setelah berkelahi dengan Yo Kian-hi, Im Hai-lip ditempatkan di ruang tersendiri untuk mempercepat kesembuhannya. Kini semua orang menuju ke tempat itu. Dan ruang itu sudah kosong.

Cuma ada secarik kertas yang agaknya ditinggalkan Im Hai-lip dengar pesan, "Abu jenazah itu di tanganku sekarang. Kalian di bawah perintahku dan tunggu perintah lebih lanjut. Kalau kalian tidak patuh, akan kutaburkan abu itu ke lubang jamban di kakus umum!"

Itulah ancaman yang luar biasa buat orang-orang Pelangi Kuning yang setia kepada Kaisar Tiong-ong itu. Rasanya, lebih suka leher mereka yang dipotong daripada abu itu dibuang ke lubang jamban.

"Im Hai-lip, keparat....." Yo Kian-hi gemetar meremas surat itu. "Bagaimana orang macam kau berani mengaku sebagai salah seorang dari kami? Tidak ada rasa hormatmu sedikit pun juga kepada abu jenazah itu."

Toan Ai-liong menyambung, "Selama dia menderita, kukira dia sempat merenungkan kesalahannya dan bertobat. Ternyata malah makin gila. Sekarang dia mencoba mengendalikan kita semua dengan abu jenazah itu."

"Barangkali dia belum lari jauh. Lukanya kan belum sembuh benar?"

Yo Kian-hi pun mengambil keputusan cepat, "Kalau begitu, kita cari di sekitar sini. Tetapi jangan sampai bikin ribut dan menarik perhatian orang!"

Begitulah, orang-orang yang sebenarnya sudah hendak tidur dan amat kelelahan itu sekarang kembali berkeliaran di lorong-lorong gelap kota Lam-khia di bawah dinginnya malam. Begitu dinginnya sehingga kabutnya begitu rendah.

Namun Yo Kian-hi sendiri bukan cuma pandai main perintah, melainkan ia sendiri ikut mencari. Bahkan ia bersama Toan Ai-liong berlompatan dari genteng yang satu ke genteng yang lain di atas rumah-rumah, sambil setiap kali berhenti untuk mengamat-amati sekeliling mereka. Namun dalam suasana malam berkabut, sulitlah pandangan mata untuk menjangkau jauh.

Tiba-tiba dari suatu arah yang tidak terlalu jauh, terdengar suara suitan pendek dua kali. Itulah isyarat yang ditetapkan antara Yo Kian-hi dan teman-temannya itu, apabila mereka menemukan sesuatu. Semuanya serempak menuju ke arah suitan itu.

Yo Kian-hi yang melewati atap-atap rumah itulah yang paling dulu tiba di tempat asal suitan. Begitu meluncur datang dan mendarat di tanah, Yo Kian-hi melihat salah seorang bekas pejuang Pelangi Kuning itu sedang berdiri di dekat sesosok tubuh lelaki yang tertelungkup diam di tanah.

"Ia kutemukan sudah mati," orang itu menjelaskan.

Tubuh yang tertelungkup diam itu memang bukan lain adalah Im Hai-lip. Diam-diam Yo Kian-hi menaksir, orang yang mampu membunuh Si Kipas Prahara itu pastilah berkepandaian hebat. Entah siapa? Namun perhatian utama Yo Kian-hi ialah guci tembaga berisi abu jenazah rajanya itu.

"Abu jenazahnya?" tanyanya kepada si penemu tubuh Im Hai-lip.

"Tidak ada padanya waktu kutemukan Kakak Im di sini. Yang mengambilnya pastilah tahu arti pentingnya dari abu jenazah itu. Kalau tidak tahu arti pentingnya, apa harganya seguci abu jenazah bagi dia?"

Yo Kian-hi mengangguk-angguk menyetujui pendapat itu. Ia lalu berjongkok meraba-raba tubuh Im Hai-lip, coba menemukan penyebab kematiannya. Ia juga merasa bahwa tubuh itu belum terlalu dingin, menandakan matinya belum terlalu lama. Yang Istimewa, ketika tubuh itu dibalik, lehernya terkulai lemas seperti bantal tak berisi kapuk. Tulang lehernya remuk total, dan di sekujur tubuhnya tidak ada darah setitik pun.

Yo Kian-hi berkata kepada orang Pelangi Kuning itu, "Pembunuhnya belum jauh, mungkin. Jaga di sini. Kalau yang lain-lain datang, rawat tubuh Saudara Im baik-baik."

Di ujung kalimatnya, tubuh Yo Kian-hi sudah melesat belasan langkah jauhnya. Yo Kian-hi seperti seekor burung raksasa yang terbang berkeliling dengan cepatnya. Ketajaman matanya dilipat-gandakan. Sampai di suatu tempat yang sepi, ia melihat sesosok tubuh bergerak di antara kabut malam, dengan kecepatan tinggi menjahuinya.

Tetapi Yo Kian-hi yang sudah menemukan jejak itu, mana mau melepaskannya begitu saja. Ia mengejar cepat, sambil membentak, "Berhenti! Kita akan bicara sebentar dan aku tidak akan melukaimu!"

Yo Kian-hi pun heran ketika mendengar orang itu menjawab sambil tertawa dan suaranya adalah suara perempuan muda, "Seandainya kau ingin melukai aku, belum tentu sanggup. Buat apa harus kuturuti perintahmu?"

Sambil bicara, larinya bukan melambat tetapi malah makin cepat. Yo Kian-hi penasaran, merasa ditantang, maka ia pun menghimpun semangatnya untuk mempercepat langkahnya. Begitulah, di malam dingin itu malah terjadi acara "kejar-kejaran" antara kedua orang itu. Kadang-kadang melalui sepanjang lorong, kadang-kadang menyisir di atas tembok, atau melejit di atas atap-atap rumah orang.

Seorang penjual makanan pikulan yang kemalaman, karena menghalangi jalan di sebuah gang sempit, dilompati begitu saja oleh perempuan itu, juga oleh Yo Kian-hi. Si penjual makanan hanya melihat dua bayangan amat cepat melompatinya tanpa terlihat jelas bentuknya, maka ia pun terbirit-birit ketakutan meninggalkan pikulannya.

Dalam hal lari cepat dan ringannya tubuh, agaknya perempuan itu mengungguli Yo Kian-hi, tetapi daya tahan dan napas Yo Kian-hi lebih panjang. Maka setelah kejar-mengejar berlangsung setengah jam dengan masing-masing mengerahkan kekuatannya, lari Si perempuan mulai kendor. Yo Kian-hi makin dekat di belakangnya.

Satu hal yang mengherankan Yo Kian-hi, orang itu tidak berlari menjauh, melainkan hanya berputar-putar di sekitar situ saja. Hingga ada lorong-lorong yang sampai berulang kali dilewati. Maka sambil mengejar, Yo Kian-hi berpikir, "Apakah ada teman-temannya di sekitar sini dan ia sedang menantikan bantuan teman-temannya itu? Kalau ia pergi jauh-jauh dari sini, ia khawatir tidak diketemukan teman-temannya?"

Maka sambil mengejar, Yo Kian-hi juga meningkatkan kewaspadaannya apabila melewati tikungan-tikungan yang gelap, atau tempat-tempat lain di mana ada kemungkinan dilakukan penyergapan. Yo Kian-hi selalu berusaha melewati tempat-tempat semacam itu dari perhitungan yang seaman mungkin. Maklum, saat itu kota Lam-khia ibarat "kubangan naga". Di mana-mana, di segala sudutnya bersembunyi jago-jago yang punya berbagai macam tujuan.

Karena harus berhati-hati itulah maka Yo Kian-hi tidak segera berhasil menangkap buruannya. Namun demi abu jenazah rajanya, Yo Kian-hi terus menguber, sambil memutar otak juga. Rupanya, biarpun Yo Kian-hi mengejar dalam kehati-hatian, kelebihan daya tahannya tetap membuat ia makin dekat dengan buruannya, biarpun untuk memperpendek sejengkal pun harus dilalui dengan perjuangan yang alot.

Herannya, orang itu masih saja tidak berlari jauh-jauh melainkan berputar-putar di sekitar situ. Di gang yang itu-itu juga, persimpangan yang itu-itu juga. Muncul dugaan lain Yo Kian-hi, "Mungkin dia menaruh sesuatu yang berharga di sekitar sini, dan ia tidak sampai hati meninggalkannya jauh-jauh. Mungkinkah abu jenazah itu? Kalau kuuber terus dia, dia takkan kembali ke benda yang ditinggalkannya. Harus ada suatu alasan, aku berhenti mengejar, lalu diam-diam akan kubuntuti dan kulihat kemana perginya."

Kebetulan, waktu Yo Kian-hi berpikir begitu, perempuan itu tiba-tiba mengibaskan tangannya ke belakang, gerakannya seperti melempar sesuatu. Hanya saja, tidak ketahuan apa yang dilempar itu. Namun Yo Kian-hi bermata tajam dan berkuping tajam pula, dia bahkan pernah lolos dari jeruji-jeruji kipas Im Hai-lip yang ditembakkan dari jarak dekat di malam gelap, meski ada satu yang kena lengannya saat itu.

Apalagi sekarang jaraknya tidak sedekat dulu, masih ada belasan langkah, lagi pula kupingnya menangkap desis lembut sejenis am-gi (senjata gelap) yang entah apa bentuknya. Dengan gerak cepat, Yo Kian-hi meraupkan tangan ke depan, dan menangkap senjata gelap itu. Namun akal Yo Kian-hi pun bekerja cepat, sambil menangkap, ia juga pura-pura mengaduh kesakitan lalu menjatuhkan diri sambil merintih-rintih.

Perempuan yang dikejar itu kelihatan lega sekali, dalam gelapnya malam dia tidak melihat bahwa Yo Kian-hi sebenarnya berhasil menangkap senjata rahasianya, bukannya roboh terkena. Ia lalu berhenti dan tertawa dingin, "Rasakan sekarang kelihaian Si Jarum Kembang Biru Ciam Lam-hoa. Sebentar lagi kau takkan kesakitan lagi sebab racun di jarumku akan mengantarmu bertemu nenek-moyangmu....."

Yo Kian-hi yang tergeletak di tanah dengan mata tetap terbuka lebar mengawasi sosok buruannya tadi, diam-diam membatin, "Jadi inikah Si Jarum Kembang Biru yang tega menghabisi saudara seperguruannya sendiri karena ingin merebut pacar dari saudara seperguruannya? Namanya Ciam Lam-hoa, julukannya Lam-hoa-ciam....."

Ciam Lam-hoa agaknya begitu yakin bahwa Yo Kian-hi sudah mati kena jarumnya, maka dengan kalem dan tidak terburu-buru lagi, ia meninggalkan tempat itu. Ia tidak melihat bagaimana Yo Kian-hi mengantongi senjata rahasia jarum kembang biru itu, kemudian juga tidak merasa Yo Kian-hi membuntutinya.

Yo Kian-hi melihat Ciam Lam-hoa pergi ke sebuah tempat sepi, dan mengambil sesuatu dari atas sebuah pohon. Biarpun malam amat gelap, Yo Kian-hi yakin bahwa dari bentuk benda yang diambil itu, tak salah lagi kalau itulah guci berisi abu jenazah itu. Darah Yo Kian-hi mendidih, ingin rasanya melompat menerkam si pembunuh wanita yang beritanya menggemparkan itu. Tetapi sebuah gagasan lain melintas di benaknya,

"Orang ini mencuri abu jenazah dan bukan mencuri barang berharga lainnya, sudah tentu dia paham arti penting dari abu jenazah itu. Kalau tidak, buat apa mengambilnya? Mungkin dia punya suatu komplotan, biar kubuntuti dia dulu dan kulihat siapa saja komplotannya."

Maka Yo Kian-hi tidak jadi menyergap, malah terus membuntutinya secara diam-diam. Perempuan itu menyelinap masuk ke sebuah rumah dengan cara melompati tembok. Melihat rumah itu, Yo Kian-hi tercengang, ternyata letaknya tidak jauh dari rumah obat Yok-ting tempat orang-orang bekas Pelangi Kuning bersarang.

Rumah obat Yok-ting di ujung selatan dan rumah ini di ujung utaranya dari sebuah lorong pendek. Yo Kian-hi beberapa kali melewatinya dan melihatnya selalu dalam keadaan tertutup. Rumah ini beradu belakang dengan reruntuhan sebuah kuil yang kata orang banyak hantunya. "Kiranya di sini sarang komplotan itu....." geram Yo Kian-hi dalam hati. "Tidak mustahil cerita tentang hantu di reruntuhan kuil itu pun buatan komplotan ini, untuk mengamankan tempat persembunyiannya dari perhatian orang."

Yo Kian-hi menunggu sesaat, lalu dia pun melompati tembok itu, melihat halaman dalam rumah itu sunyi. Ia melompat dari tembok ke atas genteng. Tetapi belum sempat kakinya berjejak di atas genteng, terdengar bentakan dari bawah, "Sobat, apa yang kau cari dengan bertamu malam-malam begini?"

Lalu sesosok tubuh dalam gelap meluncur naik ke atas atap, menyergap Yo Kian-hi. Dua sosok tubuh itu beradu beberapa gebrakan cepat dan dahsyat di atas udara, Yo Kian-hi kaget akan kehebatan orang itu. Tetapi waktu kedua orang itu sama-sama menghentikan gerakan mereka, maka mereka pun sama-sama berteriak kaget dengan sepatah kata yang sama dan bersamaan waktunya,

"Kau!"

"Saudara Yo....."

"Saudara Helian, kenapa kau di sini?"

"Inilah tempatku, Saudara Yo. Maaf kalau selama ini kusembunyikan, aku cuma ingin menghindari urusan-urusan yang tidak perlu."

Pikiran Yo Kian-hi teraduk-aduk, selama ini ia dan Helian Kong telah saling menjalin kepercayaan tanpa mengingat permusuhan silam, karena keduanya sama-sama memprihatinkan nasib negeri yang terancam Manchu. Tetapi setelah Yo Kian-hi melihat sendiri pencuri abu jenazah Kaisar Tiong-ong itu masuk ke rumah ini, dan ternyata Helian Kong berdiam di sini, kecurigaan Yo Kian-hi sempat terusik juga. Adakah Helian Kong bersangkut-paut dengan pencuri abu jenazah itu?

Melihat Yo Kian-hi bersikap ragu-ragu, tidak ceplas-ceplos seperti biasanya, Helian Kong jadi heran. "Saudara Yo, ada apa? Ada yang ingin kau katakan?"

"Maaf, Saudara Helian, kutanya siapa saja yang ada di rumahmu ini?"

Helian Kong heran, pertanyaan Yo Kian-hi kok seperti pertanyaan petugas sensus penduduk saja? Tetapi Helian Kong menjawab juga, "Aku sendiri. Isteriku Siangkoan Yan. Anakku Helian Beng yang umurnya belum satu tahun. Saudara iparku Siangkoan Heng, dan....." Helian Kong ragu-ragu sejenak sebelum menyebutkan penghuni rumah yang terakhir, "..... Lam-kin Sian-li (Bidadari Selendang Biru) Kongsun Giok....."

Bulu tengkuk Yo Kian-hi serasa tegak semua ketika mendengar nama itu di sebutkan. Tetapi sebelum ia bertanya lagi, dari bawah terdengar suara Siangkoan Yan,

"A-kong, kau berbicara dengan siapa di atas genteng?"

Lalu terdengar suara anak kecil menangis.

"Maaf saudara Helian, aku jadi mengganggu ketenteraman keluargamu yang seharusnya sudah beristirahat di malam selarut ini."

"Tidak jadi soal, Saudara Yo. Kita di sini tidak sedang melancong. Maukah kuperkenalkan kau dengan seisi rumah ini?"

Kalau menuruti rasa sungkannya, ingin Yo Kian-hi menolak ajakan itu, tetapi tiba-tiba saja timbul keinginannya untuk melihat siapa saja di rumah itu. Mungkin ada seseorang yang patut dicurigainya sebagai pencuri abu jenazah Kaisar Tiong-ong sekaligus pembunuh Im Hai-lip itu.

Namun sebelum menerima tawaran itu, Yo Kian-hi masih pura pura sungkan, "Tetapi nanti aku mengganggu....."

"Jangan sungkan, saudara Yo. Isteriku dan Saudara iparku pernah menikmati perlindungan simpatik Jenderal Li Giam, ketika mereka ada di tengah-tengah kota Pak-khia. Mereka mengenalmu, Saudara Yo, meski tidak secara akrab, dan mereka sering membicarakanmu dengan berterima kasih."

Sebenarnya yang ingin dilihat Yo Kian-hi adalah orang yang mengaku sebagai Lam-kin Sian-li Kongsun Giok itu. "Baiklah."

Mereka bersama-sama melompat turun dari atas genteng, Ternyata tidak perlu membangunkan seisi rumah, sebab sudah bangun semuanya, meski dengan mata setengah terkatup dan sebentar-sebentar menguap. Tetapi demi mengenali Yo Kian-hi yang pernah melindunginya di Pak-khia (dalam kisah Kembang Jelita Peruntuh Tahta II), Siangkoan Yan dan Siangkoan Heng memberi hormat,

"Selamat bertemu kembali, Tuan Yo. Sampai sekarang kami tetap teringat kebaikan Tuan Yo yang melindungi kami. Kalau tidak, tentu kami sudah dihukum mati oleh Jenderal Gu Kim-sing....."

"Itu adalah kebijaksanaan Jenderal Li Giam, aku cuma bawahannya yang menjalankan kebijaksanaannya....." sahut Yo Kian-hi, sambil celingukan, mencari yang mengaku bernama Kongsun Giok kok belum muncul?

"Oh, ya, aku lupa. Akan kuperkenalkan dengan seorang lagi....." Helian Kong maklum melihat sikap Yo Kian-hi. Lalu Helian Kong menoleh kepada iparnya sambil bertanya, "Apakah A-giok sudah tidur?"

"Ya. Sejak sore tadi ia sudah di kamarnya dan cahaya lilin di kamarnya tidak kelihatan lagi. Ia memang perlu banyak istirahat," jawab Siangkoan Heng.

"Apakah dia sakit?" tanya Yo Kian-hi.

Terhadap Yo Kian-hi, Helian Kong berusaha mempererat saling percaya yang akan menguntungkan negeri, sahutnya, "Dulu kami temukan A-giok itu dalam keadaan terluka kena pukulan Telapak Pasir Besi karena mengetahui suatu komplotan jahat untuk membunuh Jenderal The Ci-liong. Ternyata informasinya benar. Dia masih ketakutan berkeliaran di luar, maka kami tampung dulu di sini agar aman."

Yo Kian-hi mengangguk-angguk, ia ingin melihat sendiri seperti apa tampangnya. Lalu muncul juga Kongsun Giok, dengan pakaian acak-acakan dan rambutnya juga acak-acakan seperti habis bangun tidur. Sambil menggendong Helian Beng yang tidak menangis lagi setelah digendong "Bibi Giok" yang baik ini. Dengan sikap amat wajar, ia bertanya kepada semua orang,

"Ada apa ini? Sampai tidak ada yang memperhatikan Si kecil ini menangis. Untung Si kecil ini diam setelah kugendong."

Siangkoan Heng sudah menjulurkan kedua tangannya hendak menyambut si kecil Helian Beng. "Mari ikut Paman, anak manis....."

Kongsun Giok mempertahankannya sambil membuat tertawa anak kecil itu, katanya seolah-olah ditujukan kepada si kecil, "Tidak mau ya, sayang? Sama Bibi Giok saja....."

Semuanya kelihatan begitu wajar di mata orang lain, namun Yo Kian-hi sendiri yang merasa bahwa sikap Kongsung Giok itu semacam ancaman halus kepada Yo Kian-hi. Sekali Yo Kian-hi berniat membongkar kedok Kongsun Giok, maka si kecil Helian Beng itulah yang akan jadi korban pertama kali.

Demi keselamatan anak kecil itu, Yo Kian-hi pun bersikap wajar, katanya sambil tertawa, "Maaf, kedatanganku jadi mengganggu kalian semua yang seharusnya sedang tidur. Tadi kebetulan saja aku lewat sini, lalu mampir....."

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.