Puing Puing Dinasti Jilid 21 karya Stevanus S.P - HELIAN KONG merasa kata-kata Yo Kian-hi itu tidak wajar meskipun dicoba diwajar-wajarkan. Bukankah tadi sikap Yo Kian-hi seperti sedang mencari sesuatu? Kenapa sekarang di depan Kongsun Giok berkata bahwa kedatangannya karena "kebetulan lewat lalu mampir"?
Tetapi pikiran Helian Kong sendiri sedang butek memikirkan kejadian di istananya Pangeran Hok-ong tadi. Ia merasa para jenderal terlalu gegabah mengangkat Pangeran Hok-ong sebagai kaisar, tapi sudah terlanjur terjadi. Sekarang keanehan antara Kongsun Giok dan Yo Kian-hi itu tidak terlalu digubrisnya.
Ketika Yo Kian-hi berpamitan untuk pergi. Helian Kong pun tidak mencegahnya lagi. Tetapi setibanya di rumah obat Yok-ting, di tengah kawan-kawannya, Yo Kian-hi menunjuk beberapa orang untuk secara bergantian mengawasi rumah di ujung utara gang di belakang rumah obat itu.
"Tidak bertindak apa-apa, hanya mengawasi," pesannya kepada orang-orangnya itu.
Malam itu Helian Kong sedikit pun tidak memikirkan tingkah laku Yo Kian-hi yang ganjil semalam. Ia lebih banyak memikirkan soal dinobatkannya Pangeran Hok-ong yang di luar dugaan itu. Ia merasakan ada sesuatu yang tidak beres, meskipun tidak bisa menyebutkan apa yang kurang beres itu. Rekannya, Li Teng-kok, agaknya juga merasakan hal yang sama, tetapi sama-sama sungkan membicarakan. Mungkin karena sama seperti Helian Kong, khawatir dikatakan omong ngawur tanpa bukti.
Namun malam itu Helian Kong mengambil keputusan, "Besok akan kutemui Li Teng-kok dan kukatakan isi hatiku. Tidak peduli dianggap orang gila....." Pikiran itu agak menenteramkannya.
Esok harinya, begitu bangun pagi dan membersihkan diri, ia langsung ke kuil runtuh di belakang rumah sewaannya. Dari situ, ia berjalan menuju ke rumah Phoa Taijin. Tetapi langkahnya terhenti ketika melihat Yo Kian-hi menghadangnya di keremangan kabut pagi. "Saudara Yo....."
"Saudara Helian, ada sesuatu yang hendak kubicarakan denganmu....."
"Mari ke tempatku."
"Tidak usah. Tempat ini cukup aman dan cukup sepi. Orang-orangku menjaga di sekitar sini."
Helian Kong lalu duduk di atas sebuah batu di tepi jalan, Yo Kian-hi duduk pula di hadapannya. "Apa yang hendak kau bicarakan, Saudara Yo?"
Dengan ringkas dan jelas, Yo Kian-hi menceritakan kejadian semalam. Lengkap. Mulai dari hilangnya guci abu jenazah Kaisar Tiong-ong Li Cu-seng, terbunuhnya Im Hai-lip. Sampai pada soal Im Hai-lip, Helian Kong terkesiap. Bukankah Im Hai-lip ini pemimpin rombongan dari Propinsi Hun-lam, rombongan yang juga datang ke Lam-khia untuk mendukung bangkitnya kembali dinasti Beng? Demikian yang diketahui Helian Kong.
Maka ia pun memotong perkataan Yo Kian-hi, "Im Hai-lip, Saudara Yo? Im Hai-lip yang berjulukan Kipas Prahara?"
"Aku maklum keherananmu, Saudara Helian. Im Hai-lip adalah simpatisan kami. Tujuannya menyelundup ke tengah-tengah kalangan dinasti Beng dengan melalui rombongan dari Hun-lam, tak lain bertujuan mengadu domba antara kekuatan-kekuatan dinasti Beng demi dendam kaum Pelangi Kuning. Tetapi aku berhasil mencegahnya, meskipun harus berkelahi dengannya."
Terpaksa Yo Kian-hi harus menyimpang sebentar dari pokok persoalannya, untuk lebih dulu menjelaskan soal Im Hai-lip ini. Helian Kong merasa tidak tenteram hatinya. Ternyata di antara pentolan-pentolan dinasti Beng yang berkumpul di Lam-khia, ada juga orang-orang macam Im Hai-lip. Untung ada Yo Kian-hi yang menghentikan niatnya.
Yo Kian-hi tidak tahu bagaimana isi hati Helian Kong setelah diberitahu tentang Im Hai-lip. Tetapi ia kembali ke pokok yang ingin dikatakannya kepada Helian Kong tadi. Ia ceritakan kejar-kejarannya dengan Lam-hoa-ciam (Jarum Kembang Biru) Ciam Lam-hoa, sambil menunjukkan senjata rahasia khas itu kepada Helian Kong.
Helian Kong memegangnya dengan hati-hati, jangan sampai terluka sebab senjata-senjata Jarum Kembang Biru itu kelihatannya beracun. Yang membuat Helian Kong berkerut alis ialah ketika mendengar penutup dari cerita Yo Kian-hi itu,
".....Ciam Lam-hoa yang kukejar itu menghilang ke rumahmu, Saudara Helian....."
"Ke rumahku?"
"Ya. Malam tadi waktu kau pergoki aku, aku sedang mengejar dia....."
"Tidak salah lihatkah kau, Saudara Yo?"
"Aku sangat yakin."
"Padahal, yang ada di rumahku adalah Lam-kin Sian-li (Bidadari Selendang Biru) Kongsun Giok....."
"Itulah yang membuatku ragu, waktu kudengar dari kau bahwa Kongsun Giok di rumahmu....."
"Apa yang membuatmu bimbang?"
"Karena aku ini pernah dengar juga kabar orang-orang rimba persilatan tentang Kongsun Giok ini. Dia seorang pendekar wanita berbudi luhur, namanya harum, tetapi....."
"Tetapi kenapa?"
"Ia sudah mati sekitar setahun yang lalu"
Helian Kong terkesiap. "Kalau begitu yang di rumahku itu siapa? Hantu?"
"Mungkin adalah saudara seperguruannya, Ciam Lam-hoa, yang juga gemar berpakaian biru. Bedanya, Kongsun Giok adalah pendekar wanita berbudi luhur, maka Ciam Lam-hoa ini justru penjahat amat busuk, wanita tak bermoral, menggunakan kecantikannya untuk meruntuhkan banyak lelaki dan membuat banyak keluarga berantakan. Ia juga tidak segan-segan menyewakan tenaganya untuk membunuh."
Helian Kong berkeringat dingin. Wanita sejahat itukah yang sekarang ada di rumahnya? Yang tiap hari bermain-main dengan Helian Beng si kecil? Yang membuat Siangkoan Heng tergila-gila? "Kenapa Kongsun Giok mati?"
"Menurut kabar yang kudengar, ia dibunuh oleh Ciam Lam-hoa. Pasalnya sepele. Ciam Lam-hoa menginginkan pacar Kongsun Giok. Dan lelaki itu pun akhirnya dibunuh pula. Selain itu, Ciam Lam-hoa juga iri karena nama Kongsun Giok disanjung di mana-mana, sedangkan nama Ciam Lam-hoa dicaci di mana-mana....."
"Astaga. Kenapa semalam kau tidak mengatakannya, Saudara Yo?"
"Saudara Helian, tidakkah kau lihat dia menggendong anakmu? Kalau wanita iblis itu merasa curiga bahwa kedoknya sudah terlucuti, dia bisa membahayakan nyawa anakmu demi keselamatannya sendiri."
"Kau curiga dia yang mencuri abu jenazah Kaisar Tiong-ong?"
"Bukan curiga. Tapi pasti."
"Abu jenazah itu tidak ada nilainya secara ekonomis, tetapi bisa digunakan sebagai alat politik yang besar pengaruhnya. Kemungkinan besar Kongsun..... eh, Ciam Lam-hoa diperalat suatu kekuatan politik di Lam-khia ini."
"Saudara Helian, abu jenazah itu diamanatkan oleh Sri Baginda sendiri. Tolonglah aku....."
Helian Kong menepuk pundak Yo Kian-hi, "Kudengar dari pengawal-pengawal di istananya Pangeran Hok-ong, semalam kau dan kawan-kawanmu membantu kami mengusir pengacau-pengacau itu. Seluruh pendukung dinasti Beng berterima kasih kepadamu, sekarang kubantu kau mendapatkan abu jenazahnya itu....."
Yo Kian-hi berdiri dari duduknya lalu berlutut, "Terima kasih, aku merasa....."
Helian Kong cepat menahan sahabatnya itu agar tidak berlutut, "He, apa-apaan ini? Jangan begitu, Saudara Yo. Bukankah kita harus tolong-menolong?"
Ternyata Yo Kian-hi begitu menganggap berarti abu jenazah itu, kelihatan dari sikapnya yang amat terharu ketika mendengar janji bantuan Helian Kong. "Tetapi hati-hatilah, Saudara Helian, jangan sampai membahayakan anak isterimu sendiri."
"Tunggulah kabar dariku."
Mereka berpisah, Helian Kong sudah "kehilangan selera" untuk meneruskan perjalanan ke rumah Phoa Taijin untuk menemui Li Teng-kok. Ia malah balik ke rumah sewaannya. Orang-orang seisi rumahnya kelihatan dalam tugas seperti biasanya. Siangkoan Yan di dapur, Siangkoan Heng membelah kayu disusul menimba air, "Kongsun Giok" bermain-main dengan Helian Beng.
Jantung Helian Kong rasanya berdegup sepuluh kali lebih kencang melihat anaknya bermain-main dengan gadis itu. Perasaan yang sebelumnya tidak ada, sekarang jadi mengaduk-aduk hatinya setelah diberitahu Yo Kian-hi tentang siapa perempuan berpakaian serba biru itu. Tetapi Helian Kong ingat pesan Yo Kian-hi, bahwa sikapnya harus sewajar mungkin. Jangan sampai menimbulkan kecurigaan Ciam Lam-hoa yang mengaku sebagai Kongsun Giok itu.
"Kenapa cepat benar kembalinya?" tanya isterinya dari dapur.
Dengan sikap sewajar-wajarnya, Helian Kong berkata, "Aku memang membatalkan niatku untuk bertemu Li Teng-kok hari ini."
"Sebetulnya, apa yang hendak Kakak bicarakan?" dengan gaya amat wajar pula "Kongsun Giok" bertanya.
Helian Kong sadar, kalau ia jawab secara berbelit-belit maka "Kongsun Giok" akan curiga kalau kedoknya sudah terbongkar, dan bisa membahayakan si kecil Helian Beng. Maka Helian Kong pun menjawab seolah-olah polos seperti biasanya, "Seperti biasanya, membicarakan situasi terakhir dan mencoba mengambil langkah-langkah untuk mengantisipasinya."
"Kenapa tidak jadi?"
"Aku pikir, mulai hari ini keadaan akan semakin stabil. Tidakkah kalian ingat bahwa semalam telah kuceritakan, kalau para jenderal sudah sepakat mengangkat Pangeran Hok-ong sebagai Kaisar dinasti Beng?"
"Menurut Kakak bagaimana?" tanya Ciam Lam-hoa sambil tetap menunjukkan keakrabannya dengan Helian Beng.
"Mudah-mudahan dia menjadi raja yang baik dan bisa mempersatukan kekuatan untuk mempertahankan negeri, bahkan merebut kembali wilayah utara yang sudah terlanjur dikuasai Manchu gara-gara ketololan Bu Sam-kui....." sahut Helian Kong. "Itu saja harapan kami, mau apa lagi?"
Kata "Kongsun Giok", "Kakak patut mendapat penghargaan besar karena jerih payah Kakak selama ini....."
Helian Kong tertawa, berkelakar, "Aku sudah mendapatnya. Saat ini, hadiah untukku yang bertumpuk di rumahnya Phoa Taijin, entah berapa besar nilainya. Kalau diuangkan semua, aku adalah seorang maha-jutawan....."
"Maksudku, Kakak bisa menjadi seorang berpangkat tinggi dalam pemerintahan Pangeran Hok-ong mendatang....."
Helian Kong menggeleng. "Tidak perlu. Ada banyak jenderal yang baik mendukungnya, Pangeran Hok-ong sendiri punya orang-orang yang baik. Misalnya Gubernur Militer di Lam-khia, Jenderal Wan Heng-kui. Lalu ada lagi komandan pengawal pribadinya, Ma I-thian."
"Jadi?"
"Aku ingin hidup sebagai warga biasa. Aku percaya, tanpa aku pun dinasti Beng akan jaya kembali."
Sebenarnya Si Kongsun Giok gadungan alias Ciam Lam-hoa itu bukannya tak memiliki kecurigaan sedikit pun, bahwa kedoknya dalam bahaya. Kedatangan Yo Kian-hi semalam pastilah cukup mengherankan Helian Kong, pikirnya. Tetapi pagi ini, sikap amat wajar dari Helian Kong begitu meyakinkan. Membuat "Kongsun Giok" ini masih merasa cukup aman di balik kedoknya.
Namun Ciam Lam-hoa juga sudah nekad, pikirnya, "Tugasku sudah selesai, aku tinggal minta bayaranku. Selanjutnya adalah kepentingan pribadiku untuk mengambil pedang pendek Gu-hong-kiam (Pedang Burung Hong Menangis) itu, tinggal tunggu kesempatannya. Setelah urusan itu selesai, segala kedokku terbongkar pun tidak jadi soal, aku kabur dari sini."
Tak terduga, Helian Kong pun punya suatu rencana dalam hatinya, "Kalau benar yang dikatakan Yo Kian-hi? Bahwa perempuan ini bukan Bidadari Selendang Biru Kongsun Giok melainkan Jarum Kembang Biru Ciam Lam-hoa, maka penyamarannya sungguh hebat. Ia tentu melaporkan semua gerak-gerikku kepada orang yang memakai tenaganya. Bukan saja gerak-gerikku sebagai Helian Kong, tetapi juga sebagai Ek Beng-ti. Sebab di rumah ini, si Ek Beng-ti ini tidak tedeng aling-aling. Nanti malam harus kujebak dia."
Begitulah seharian itu Helian Kong tidak pergi ke mana-mana melainkan tetap di rumah, bersama anak isteri dan iparnya dan Ciam Lam-hoa. Kadang Helian Kong bermain dengan si kecil Helian Beng, tetapi apabila "Bibi Giok" ingin menggendongnya, Helian Kong tidak terlalu ngotot mempertahankannya, khawatir kalau Kongsun Giok palsu itu curiga.
Pada waktu makan malam, di meja makan Helian Kong sengaja mengucapkan kata-kata untuk didengar oleh Ciam Lam-hoa, "Katanya, malam ini aku harus melakukan sesuatu....."
Siangkoan Yan isterinya menantapnya dengan cemas, "Apa lagi? Bukankah katamu sendiri mengatakan kalau situasi sudah mulai stabil sejak semuanya bersepakat memilih Pangeran Hok-ong sebagai penerus singgasana?"
"Ada pihak yang belum menerima," sahut Helian Kong sambil menaruh mangkuk nasinya yang sudah kosong. "Tidak ada salahnya aku cari-cari info dari kalangan bawah tanah. Kita tidak boleh lengah, bukan?"
"Ajak aku....." kata Siangkoan Heng. "Memangnya aku diajak ke Lam-khia ini hanya sebagai tukang potong kayu dan menimba sumur?"
Semua tertawa mendengar protes itu, sahut Helian Kong, "Saudara Siangkoan, jangan kau pikir bagianmu tidak besar dalam situasi yang membaik ini. Aku bisa bekerja dengan leluasa, sebab aku yakin anak isteriku aman di rumah ini karena adanya kau di rumah ini. Kau juga menjaga Nona Kongsun yang sedang memulihkan kesembuhannya."
"Kongsun Giok" diam-diam senang mendengar rencana Helian Kong akan pergi malam ini. Inilah kesempatannya untuk mencuri pedang pendek Gu hong-kiam. Selama Helian Kong masih di rumah, tindakan macam itu rasanya mengandung resiko besar mengingat hebatnya Helian Kong.
Yang tidak diketahui Ciam Lam-hoa, Helian Kong pergi dengan membawa kedua pedang itu. Pedang Tiat-eng Po-kiam dibawanya terang-terangan dengan menggendongnya di punggung, pedang pendek Gu Hong-kiam dibawanya secara sembunyi-sembunyi, tidak nampak di bawah jubah longgarnya. Sebelum berangkat, ia bisiki Siangkoan Yan isterinya, "Malam ini, jaga A-beng baik-baik. Jangan sampai di tangan orang lain....."
Siangkoan Yan heran akan pesan itu. Tetapi ia yakin suaminya itu kalau berpesan pasti ada maksudnya. Ia cuma mengangguk. Helian Kong pun pergi dari rumah itu. Namun ternyata dia tidak pergi jauh, hanya bersembunyi dalam kegelapan di sekitar rumahnya sendiri. Waktu merasa pandangannya kurang leluasa, Helian Kong pindah posisi pengintaian ke atas genteng rumah sebelah. Di situ ia bertiarap sampai hampir rata dengan genteng.
Tetapi dari posisi barunya ini kurang leluasa, karena tidak bisa melihat dalam rumahnya. Maka dengan langkah sehati-hati mungkin agar tidak terdengar siapapun, ia pindah ke atap rumah sewaannya sendiri. Begitulah Helian Kong memata-matai rumahnya sendiri, bahkan ia kemudian mencopot sehelai genteng untuk bisa mengintip ke dalam.
Menjelang tengah malam, apa yang ditunggunya pun terjadi. Ia mendengar suara langkah kaki yang lembut di dalam rumah, Helian Kong yakin itu bukan langkah kaki Siangkoan Heng, sebab Siangkoan Heng terdengar suara dengkurnya. Juga bukan suara langkah isterinya, sebab dari genteng yang dicopot itu dilihatnya isterinya tidur meringkuk mendekap anaknya.
Siapa lagi kalau bukan Ciam Lam-hoa alias Kongsun Giok palsu? Langkah kaki itu malahan menuju ke halaman belakang rumah. Helian Kong menggeser pandangannya dari dalam rumah ke halaman belakang, dan ia melihat Ciam Lam-hoa duduk bersila di tengah halaman. Mengeluarkan sehelai bendera segitiga kecil berwarna hitam yang di kalangan ilmu gaib disebut Co-hong-ki (Bendera Pemanggil Angin).
Sedikit banyak Helian Kong tahu juga kegunaan bendera itu, yaitu untuk mendatangkan rasa kantuk dalam radius tertentu. Biasa digunakan oleh orang-orang yang berniat jahat di malam hari, seperti pencuri, penculik dan sebagainya. Kaum pendekar dari kalangan putih kebanyakan tidak sudi menggunakannya.
Helian Kong pun mempersiapkan ketahanan jiwanya, ia sudah melihat Ciam Lam-hoa mengibar-ngibarkan bendera itu ke empat penjuru sambil mulutnya berkemak-kemik mengucapkan mantra. Helian Kong merasa udara bertambah dingin, disertai rasa kantuk sangat hebat menyerangnya. Itulah akibat dari permainan gaib Ciam Lam-hoa itu.
Untung Helian Kong sudah siap. Ia justru memejamkan matanya, tetapi tidak menyerah kepada rasa kantuk itu, melainkan memusatkan kekuatan pikiran untuk menghalau rasa kantuk. Maka berangsur-angsur rasa kantuk ini tidak mempengaruhinya lagi.
"Hem, benar dugaan Yo Kian-hi. Wanita ini dari kalangan yang tidak beres," pikir Helian Kong. "Kalau Kongsun Giok yang asli, mana mau menggunakan ilmu hitam untuk menyirep orang seperti itu?"
Sementara dilihatnya Ciam Lam-hoa sudah menyimpan kembali bendera hitam kecilnya, lalu melangkah masuk kembali ke rumah. Kali ini tidak perlu mengendap-endap lagi, melainkan bertindak dengan bebas, sebab dianggapnya seisi rumah sudah tidur pulas semua kena ilmu sirepnya. Sama sekali ia tidak menduga kalau Helian Kong yang disangkanya pergi itu masih mengintai di atas atap rumah.
Rupanya Ciam Lam-hoa menyirep lebih dulu sebagai tindakan berjaga-jaga, sebab Siangkoan Heng dan Siangkoan Yan setidak-tidaknya adalah murid-murid tangguh dari Imam Kim-hian. Jadi harus "ditidurkan" dulu supaya gerak-gerik Ciam Lam-hoa leluasa. Seperti sudah diduga oleh Helian Kong, yang dicari Ciam Lam-hoa rupanya adalah pedang pendek Gu-hong-kiam, pedang pendek yang membuat air liur banyak pendekar menetes ingin memiliknya.
Ciam Lam-hoa menggeledah seluruh rumah itu, bahkan sampai ke kamar tidur Siangkoan Heng dan Singkoan Yan. Waktu tidak menemukan apa-apa, ia melompati dinding belakang untuk memasuki reruntuhan kuil di belakang rumah, rupanya hendak menggeledah juga tempat itu karena menyangka Helian Kong menyembunyikannya di situ. Beberapa saat kemudian, ia kembali dengan melompati dinding pula, wajahnya nampak kesal.
Diam-diam Helian Kong mentertawakannya. Didengarnya Ciam Lam-hoa menggerutu sambil membanting-banting kakinya, "Keparat! Rupanya Helian Kong membawa pula pedang pendek itu. Entah apa yang hendak dilakukannya, sehingga dua pedangnya dibawa semua? Pedang panjang Tiat-eng Po-kiam (Pedang Pusaka Elang Besi) dan pedang pendek Gu-hong-kiam (Burung Hong Menangis)?"
Selagi Ciam Lam-hoa uring-uringan sendiri karena kecewa, tiba-tiba di udara malam itu terdengarlah suara burung malam berulang tiga kali. Agaknya suara itu merupakan semacam kode untuk berhubungan. Ciam Lam-hoa mengangkat wajahnya, lalu tubuhnya dengan ringan melompati tembok menuju keluar.
"Aku harus tahu siapa yang ditemuinya....." pikir Helian Kong. Dengan gerak seringan asap dia pun membuntuti Ciam Lam-hoa dari atas genteng.
Di ujung gang, ternyata Ciam Lam-hoa menemui dua orang lelaki. Yang satu berperawakan sedang, yang lain berperawakan agak pendek. Di malam yang begitu gelap dan berkabut, Helian Kong tidak mengenali wajah mereka, tetapi ia mempertajam pendengarannya untuk menangkap percakapan mereka.
"Ada apa kalian memanggil aku?" tanya Ciam Lam-hoa.
Lelaki yang berperawakan sedang menjawab, "Aku belum sempat mengucapkan terima kasih atas bantuanmu, menghabisi Bhe Tiang-lai."
Diam-diam Helian Kong kaget mendengarnya. Pertama, jelaslah sekarang Bhe Tiang-lai, tangan kanan Pangeran Kui-ong, bukan hilang begitu saja, tetapi sudah dibunuh oleh lelaki berperawakan sedang itu, dibantu Ciam Lam-hoa menurut kata-katanya tadi. Hal kedua yang mengejutkan, karena Helian Kong masih mengenali suara lelaki itu sebagai suara Ang Tiok-lim.
Itu orangnya yang membagi-bagikan kepingan-kepingan uang emas kepada para jagoan bayaran yang menimbulkan kesan bahwa dia juga disuruh Pangeran Kui-ong. Bhe Ting-lai orangnya Pangeran Kui-ong, Ang Tiok-lim juga mengesankan orangnya Pangeran Kui-ong, kenapa Ang Tiok-lim membunuh Bhe Ting-lai? Kenapa mereka saling bunuh padahal di satu kubu?
Terdengar Ciam Lam-hoa menjawab, "Ah, tidak usahlah berterima kasih. Itu kan kepentingan kita bersama. Kalau Bhe Ting-lai tidak dihabisi, mana bisa kita ambil-alih gerombolan orang-orang liar itu untuk kita manfaatkan?"
Kemudian terdengar suara Si lelaki pendek, bertanya, "Sekarang bagaimana hasilmu mengamati Helian Kong dari dekat, dari jarak yang memungkinkan kau tahu semua gerak-geriknya bahkan rahasia-rahasianya?"
Helian Kong yang mencuri dengar itu kembali mendapat dua kejutan, bahkan disertai rasa gusar namun ia harus menahan diri. Kejutan pertama, karena ia kenal suara Si Pendek itu bukan lain adalah suara Si Imam Pendek yang dulu pernah bertempur dengan rombongannya ketika sedang menuju ke Lam-khia, imam pendek itu adalah kaki tangan Pangeran Hok-ong. Saat kedua kalinya Helian Kong lihat imam pendek itu ialah di terowongan air, waktu Ang Tiok-lim sedang menghasut para jagoan liar ke pihaknya.
Ketika itu Si Imam Pendek ditangkap beramai-ramai, dituduh sebagai mata-mata Pangeran Hok-ong, lalu waktu itu Ang Tiok-lim dengan garang menyuruh anak buahnya membakar "mata-mata" itu namun tak seorang pun di terowongan air itu benar-benar melihat "pelaksanaan hukuman" itu. Dan kini Helian Kong tiba-tiba melihat Ang Tiok-lim dan imam pendek itu muncul bersama, sebagai kawan.
Hal kedua, yang membuat Helian Kong kaget bercampur gusar adalah waktu mendengar bahwa Ciam Lam-hoa ternyata sengaja diselundupkan ke rumahnya untuk mengawasi gerak-geriknya. "Jadi aku seperti telanjang bulat di depan mata komplotan ini....." geram Helian Kong dalam hati. "Entah sebagai Ek Beng-ti entah sebagai siapa lagi, komplotan ini sudah tahu siapa aku. Semua yang mereka lakukan, mereka sadari bahwa Helian Kong menyaksikan semuanya itu."
Naluri Helian Kong yang tajam pun langsung bisa merasakan, ternyata ada suatu "sandiwara khusus" yang dipentaskan buat Helian Kong, untuk membentuk pendapat Helian Kong, dan tujuan akhirnya apa lagi kalau bukan untuk meminjam mulut Helian Kong untuk menyampaikan pendapat itu kepada para jenderal? Meminjam mulut Helian Kong tanpa disadari oleh yang punya mulut sendiri? "Babak" demi "babak" dari "sandiwara" khusus untuk Helian Kong itu sepertinya terbayang kembali berurutan di pelupuk mata Helian Kong.
Dimulai saat Helian Kong dan Siangkoan Heng menemukan "Kongsun Giok" dalam keadaan mengaku terluka karena memergoki suatu komplotan jahat yang hendak membunuh Jenderal The Ci-liong. Ternyata perkataannya itu benar, ada usaha membunuh Jenderal The dan Helian Kong makin mempercayai "Kongsun Giok".
Lalu saat-saat di mana Helian Kong dalam penyamaran sebagai "Ek Beng-ti" menemui suatu komplotan yang "berniat jahat kepada Pangeran Hok-ong", komplotan yang membagi-bagi keping-keping uang emas bertanda Pangeran Kui-ong, lalu Helian Kong melaporkannya kepada para jenderal dan timbul simpati kuat para jenderal kepada Pangeran Hok-ong, sebaliknya Pangeran Kui-ong jadi terkucil di mata para jenderal. Puncaknya ialah kemarin malam, waktu para jenderal sepakat menobatkan Pangeran Hok-ong sebagai kaisar penerus dinasti Beng.
"Aku tertipu selama ini....." kutuk Helian Kong kepada diri sendiri. "Aku mengira gerak-gerikku di bawah tanah tak diketahui siapapun, padahal mereka tahu semuanya."
Terdengar Ciam Lam-hoa menjawab Si Imam Pendek, "Ya. Sudah kulakukan semua tugas yang menjadi bagianku dengan baik. Dan sekarang tujuan kita sudah tercapai. Pangeran berhasil meraih impiannya, menjadi Kaisar. Cuma aku merasa masih kehilangan sesuatu....."
Perkataan Ciam Lam-hoa yang terakhir itu membuat terang segalanya. Pikir Helian Kong, "Ternyata orang-orang ini semua bekerja untuk Pangeran Hok-ong. Luar biasa. Pangeran Hok-ong merencanakan serangan ke pihaknya sendiri, demi menarik simpati para jenderal."
"Kau kehilangan apa, Nona Ciam?" tanya Ang Tiok-lim.
"Pedang pendek Gu-hong-kiam. Aku incar sejak lama, aku tunggu sampai tugasku selesai dulu, lalu akan kubawa kabur pedang itu. Ternyata sekarang Helian Kong pergi membawa pedang pendek itu."
"Helian Kong pergi?"
"Ya. Malam ini."
"Ke mana?"
"Kenapa masih cemas? Bukankah tujuan kita sudah tercapai?"
"Kemarin, waktu semua orang bersepakat mengangkat Pangeran Hok-ong, Helian Kong kelihatannya tidak sepenuh hati. Mungkin ada yang dia curigai. Kita harus tetap memantau dia, sebab dia masih bisa merubah situasi....."
"Sayang, aku tidak tahu ke mana perginya," sahut Ciam Lam-hoa. "Tadi di rumah dia cuma bilang masih mau cari berita penting, katanya."
Si Imam Pendek menoleh kepada Ang Tiok-lim, "Mungkin dia menuju ke terowongan air itu. Untuk menemui para jagoan liar....."
"Kalau dia ke sana, ia tidak akan ketemu siapa-siapa. Tempat itu sudah kosong. Sejak para jagoan liar terpukul mundur ketika menyerbu kediaman Pangeran kemarin malam, tidak ada lagi yang masih berani menempati tempat itu, khawatir kalau diserbu mendadak oleh para prajurit."
"Ke mana ya, kira-kira perginya?"
"Mungkin menemui Li Teng-kok di rumahnya Phoa Taijin....." celetuk Ciam Lam-hoa.
"Li Teng-kok dan rombongan dari Se-cuan itu juga sudah meninggalkan Lam-khia....." sahut Ang Tiok-lim. "Siang tadi mereka menerima berita dari pangkalan mereka di Se-cuan. Mengatakan bahwa Jenderal Thio Hian-tiong tidak terobati lagi luka-lukanya dan sudah meninggal dunia. Pimpinan pasukan di Se-cuan itu diambil alih oleh orang terdekat Jenderal Thio yang bernama Sun Ko-bong. Waktu mendengar ini, Li Teng-kok dan rombongannya langsung berangkat meninggalkan Lam-khia untuk pulang ke Se-cuan."
Di tempat sembunyinya, Helian Kong kembali kaget mendengarnya. Dengan matinya Jenderal Thio Hian-tiong, dinasti Beng kehilangan seorang lagi tiang penyangganya. Sun Ko-bong yang menggantikan itu, karakternya agak meragukan, Helian Kong meragukan jangan-jangan Sun Ko-bong akan menjadi "Bu Sam-kui Kedua" dan Propinsi Se-cuan akan menjadi "San-hai-koan Kedua"?
"Jangan terlalu tegang, Kakak Ang..." kata Si Imam Pendek menghibur Ang Tiok-lim. "Helian Kong sudah tidak berbahaya lagi buat posisi yang sudah diperoleh junjungan kita saat ini. Seandainya Helian Kong tahu semua rahasia kita, lalu dia bicarakan kepada para jenderal, siapa mau mempercayai dia?"
"Kalau begitu, lebih baik kita pulang dan melapor kepada Pangeran dulu....."
"Tunggu!" cegah Ciam Lam-hoa.
"Ada apa lagi?"
"Katakan kepada Pangeran, aku punya sebuah benda yang mungkin bisa membuatnya tertarik. Sebuah benda yang bisa bernilai politis, dan bisa digunakan untuk memperkokoh kedudukannya sebagai pewaris singgasana."
"Benda apa?"
"Abu jenazah si bandit pemberontak Li Cu-seng, yang kucuri dari sarang orang-orang Pelangi Kuning."
Si Imam Pendek yang otaknya kurang cerdas, bertanya ketolol-tololan, "Abu jenazah, apa gunanya? Biarpun itu abu jenazah Li Cu-seng?"
"Dasar tolol. Kalau abu jenazah itu di tangan Pangeran Hok-ong, Pangeran Hok-ong bisa menggunakannya untuk memancing datangnya tokoh-tokoh Pelangi Kuning yang masih berkeliaran. Kalau mereka sudah terpancing, lalu ditumpas habis. Bukankah Pangeran Hok-ong seperti membalaskan dendam dinasti Beng, dan ia akan semakin cemerlang di mata pendukung-pendukungnya?" dengan bersemangat Ciam Lam-hoa membela nilai "barang dagangan"nya.
"Baik, akan kukatakan kepada Pangeran. Soal Pangeran berminat atau tidak kepada abu jenazah itu, bukan aku yang memutuskannya sekarang, melainkan terserah Pangeran sendiri....." sahut Ang Tiok-lim.
Ciam Lam-hoa pun mengancam, "Kalau Pangeran Hok-ong tidak berminat, aku yakin ada Pangeran lain yang berminat. Kegunaannya ya untuk seperti yang kukatakan tadi....."
"Jangan dulu. Biar kukatakan dulu kepada Pangeran Hok-ong, nanti kuberi kabar lagi."
"Harganya sama dengan tarifku memata-matai Helian Kong."
Di persembunyiannya, Helian Kong geram dalam hati, "Benar-benar bajingan wanita ini hanya memikirkan keuntungan sendiri, tanpa peduli nasib negeri. Kalau benar orang-orang Pelangi Kuning kelak ditumpas setelah terpancing abu jenazah itu, pastilah permusuhan antara kaum Pelangi Kuning dan sisa-sisa dinasti Beng akan menghebat kembali, padahal persatuan sedang dibutuhkan oleh seluruh bangsa Han untuk menyelamatkan negeri."
Dalam hati, Helian Kong sekarang tahu bahwa keberhasilan Pangeran Hok-ong merebut singgasana adalah hasil dari siasatnya yang lihai melalui orang kepercayaannya yang terselubung seperti Ang Tiok-lim ini. Tetapi Helian Kong tidak yakin, seandainya pangeran lainnya yang menjadi kaisar, belum tentu tidak memakai siasat yang tidak kalah kotornya dengan siasat Pangeran Hok-ong.
Harus kuakui, siasat Pangeran Hok-ong memanglah lihai. Di depan umum pura-pura menyatakan emoh jadi kaisar, dengan demikian luput dari pandangan orang seandainya ada kejadian apa pun di Lam-khia. Misalnya ada keributan, tentu pangeran-pangeran lainnya yang dituduh lebih dulu sebagai dalangnya, karena mereka yang masih punya pamrih dan ambisi ke singgasana. Pangeran Hok-ong yang berlagak "sudah tidak punya pamrih" itu pun tentu tidak akan dicurigai.
Setelah itu, Pangeran Hok-ong merancang suatu "serangan keji" yang ditujukan ke arah dirinya sendiri! Itulah yang berhasil merebut dukungan hampir total dari para jenderal. Helian Kong akhirnya memutuskan untuk tidak mengutik-utik lagi posisi Pangeran Hok-ong itu. Biarlah ia jadi kaisar. Toh seandainya ada pangeran lain yang menjadi kaisar, belum tentu lebih baik dari Pangeran Hok-ong.
Yang penting sekarang dinasti Beng sudah ada penerusnya, dan tidak kalah pentingnya ialah bagaimana kekuatan-kekuatan dinasti Beng lainnya seperti para jenderal harus tetap menjadi kekuatan untuk menekan kaisar yang baru nanti agar tetap "berjalan di relnya."
Yang sekarang ingin Helian Kong cegah ialah niat Ciam Lam-hoa untuk "menjual abu jenazah itu ke pihak Pangeran Hok-ong. Kalau sampai Pangeran Hok-ong terbujuk untuk menerima rencana Ciam Lam-hoa itu, persatuan negeri bisa berantakan kembali.
Tanya Ang Tiok-lim kepada Ciam Lam-hoa, "Mana barangnya?"
"Kalau Pangeran Hok-ong sudah setuju harganya, dan aku pun sudah lihat uangnya, baru kuserahkan barangnya....."
"Keterlaluan kau. Kau kira Pangeran Hok-ong mau makan mentah-mentah barangmu itu?"
"Itu kebiasaanku....."
Waktu itulah tiba-tiba nampak beberapa sosok bayangan bermunculan bayangan-bayangan dari beberapa tempat persembunyian di sekitar situ, dalam sikap mengepung.
Tiga orang kaki tangan Pangeran Hok-ong itu serempak membentuk posisi segitiga yang saling membelakangi. Ang Tiok-lim menghunus pedangnya, Si Imam Pendek mengeluarkan dua jenis senjata berpasangannya, yaitu pedang di tangan kanan dan hud-tim (kebut pertapa) di tangan kirinya. Ciam Lam-hoa mengeluarkan senjatanya yang sama dengan saudara seperguruannya yang dikhianatinya, Kongsun Giok yang bergelar Lam-kin Sian-li (Bidadari Selendang Biru). Yaitu sehelai selendang berwarna biru.
Sosok-sosok bayangan yang muncul belakang itu belum terlihat jelas, tetapi Helian Kong sudah dapat menebak siapa mereka. Sosok yang tegap dengan gagang sepasang pedang mencuat di sepasang pundaknya itu tidak salah lagi pasti Yo Kian-hi, yang merasa paling bertanggung-jawab soal abu jenazah itu. Yang pendek kecil dengan sepasang golok tipis di kiri kanan pinggangnya itu pastilah Toan Ai-liong yang berjulukan Si Naga Kerdil.
Yang bertubuh gendut dan perutnya berguncang-guncang kalau berjalan, serta memanggul golok Koan-to (golok bertangkai panjang seperti senjatanya Jenderal Koan Kong) itu pastilah Hoa Liu. Yang bertubuh kurus jangkung menjinjing sepasang kapak bergagang pendek itu pastilah Han Thai-lim. Ditambah tiga orang lainnya yang belum Helian Kong kenal, tapi menilik sikapnya, mereka adalah jago-jago yang tangguh juga.
"Apa mau kalian?" tanya Ang Tiok-lim.
"Abu jenazah junjungan kami," Yo Kian-hi yang menyahut, sambil mencabut sepasang pedang dari pundaknya. "Kalau kalian berikan, kalian boleh pergi. Kalau kalian tahan, kalian kami cincang di sini."
Ang Tiok-lim tertawa dingin, "Hem, memangnya kalian ini siapa? Hingga untuk pergi dari sini pun kami harus kalian ijinkan? Kalian belum kenal kami?"
Yo Kian-hi menjawab mantap. "Sudah. Kalian sudah kami kenal. Perempuan ini adalah Si Jarum Kembang Biru Ciam Lam-hoa yang secara keji membunuh saudara seperguruannya sendiri, Bidadari Selendang Biru Kongsun Giok. Kau adalah Ang Tiok-lim yang pura-pura berlagak sebagai suruhan Pangeran Kui-ong, padahal kaki tangan Pangeran Hok-ong. Dan Imam Pendek ini memang tidak kukenal karena kurang terkenal. Tetapi sering kelihatan luntang-lantung dengan orang-orang dari Koai-to-bun (Perguruan Golok Kilat), kalau berkelahi sering kalah."
Si Imam Pendek menggeram gusar, tetapi Ang Tiok-lim mencegahnya untuk bertindak gegabah. Tanya Ang Tiok-lim, "Memangnya kau sendiri siapa?"
"Yo Kian-hi."
"He-he-he, namamu sendiri kurang terkenal, tetapi berani-beraninya mengejek dan meremehkan kami?"
Nama Yo Kian-hi memang tidak terkenal di kalangan rimba hijau. Yang lebih terkenal malahan kakak seperguruannya, yaitu Oh Kui-hou yang berjuluk Thai-lik-ku-hou (Macan Kurus Bertenaga Besar). Tetapi sebenarnya Si adik seperguruan ini justru yang lebih hebat. Hanya tidak pernah berkecimpung di rimba hijau untuk mencari nama, tetapi lebih banyak ikut dalam perjuangan kaum Pelangi Kuning.
Sahut Yo Kian-hi pula, "Tidak terkenal bukan jaminan tidak bisa mencincang kalian bertiga."
Sementara Ciam Lam-hoa agaknya sudah mengenali Yo Kian-hi, dan dalam hati bimbang juga. Yo Kian-hi ini sudah bertemu Helian Kong untuk membicarakan dirinya atau belum? Sehari tadi nampaknya sikap Helian Kong terhadapnya wajar-wajar saja dan masih memanggilnya "adik Giok", tetapi siapa tahu? Ciam Lam-hoa juga sadar bahwa Yo Kian-hi ini lawan berat, kemarin malam hampir berhasil menangkapnya.
Untuk itu Ciam Lam-hoa sudah menyiapkan sebuah akal licik untuk menyelamatkan dirinya. Perkara keselamatan Ang Tiok-lim serta Si Imam Pendek, ia tidak gubris. Maka diam-diam tangan kirinya sudah menggenggam beberapa jarum kembang birunya yang sangat berbisa.
Waktu itu, Toan Ai-liong sudah tidak sabar lagi, tanyanya dengan nada tinggi, "Kalian mau serahkan abu jenazah itu atau tidak?" Berbareng dengan terhunusnya sepasang golok tipisnya.
Waktu itulah Ciam Lam-hoa mulai bertindak. Selendang birunya tiba-tiba disentakkan naik dan berkibaran memenuhi gelanggang, tapi belum jelas siapa yang hendak diserangnya. Waktu musuh-musuh memperhatikan selendangnya, tangannya yang menggenggam jarum terayun ke arah Toan Ai-liong. Ia tidak berani menyerang Yo Kian-hi yang dianggapnya terlalu tangguh, maka diserangnya Toan Ai-liong yang dikiranya makanan empuk.
Padahal Toan Ai-liong sampai dijuluki Si Naga Kerdil adalah karena ketangkasannya. Jarum Ciam Lam-hoa memang mengejutkannya, tetapi ia berhasil menghindarinya dengan lompatan ke samping. Begitu tergesa-gesa ia menghindar, sampai lupa kalau di belakangnya ada seorang temannya. Dalam kegelapan, lagi pula jarumnya begitu lembut, maka orang yang di belakang Toan Ai-liong itu pun terkena. Ia menjerit dan roboh seketika.
Tindakan Ciam Lam-hoa itu pun menyulut kemarahan orang-orang Pelangi Kuning. Toan Ai-liong melejitkan tubuh kerdilnya ke arah Ciam Lam-hoa sambil menyabetkan sepasang golok tipisnya dengan cara Sip-ji-sik (Serangan berbentuk huruf "sepuluh" atau "×"), yaitu serangan bersilangan.
Ciam Lam-hoa dengan licik menggeser ke samping, membiarkan serangan Toan Ai-liong itu jadi terarah kepada Si Imam Pendek. Sementara selendang biru Ciam Lam-hoa sendiri hendak menyabet ke samping kepala Toan Ai-liong. Si Imam Pendek yang jadi sasaran Toan Ai-liong itu kelabakan karena posisinya sedang menghadap ke arah Yo Kian-hi, tiba-tiba ada serangan dari samping, dari posisi yang "dikosongkan" oleh Ciam Lam-hoa tadi.
Sambil menghindar dengan serba kelabakan, Si Imam Pendek itu diam-diam menggerutu dalam hatinya, "Ciam Lam-hoa ini tahu caranya bertempur dalam kerja sama atau tidak? Seenaknya saja meninggalkan posisi tanpa menghiraukan temannya sendiri."
Sementara Yo Kian-hi pun sudah menyerbu ke dalam gelanggang. Dalam kegusarannya, Yo Kian-hi langsung mengerahkan tenaganya. Maka tekanan berat dari pihaknya langsung terasa oleh ketiga lawannya di gelanggang itu.
Pertarungan di gelanggang itu tidak mengambil bentuk tiga orang melawan tiga orang dalam arena terpisah-pisah, melainkan tiga lawan tiga dalam arena yang tercampur-aduk. Artinya, siapa saja dari pihak sini bisa saja menyerang siapa saja dari pihak sana. Pihak Pelangi Kuning agaknya masih menjaga kehormatan, mereka datang bertujuh, tetapi yang masuk gelanggang hanyalah tiga orang, tidak peduli mereka sedang gusar karena robohnya seorang teman mereka karena serangan curang Ciam Lam-hoa tadi.
Yang masuk arena kebetulan adalah tiga orang yang senjatanya berpasangan semua. Yo Kian-hi dengan sepasang pedangnya, Toan Ai-liong dengan sepasang golok tipisnya dan Han Thai-lim dengan sepasang kapak bertangkai pendeknya. Maka arena itu seakan dipenuhi enam batang senjata dari tiga tokoh Pelangi Kuning itu. Tiga tokoh Pelangi Kuning ini lebih kompak dalam kerjasama, karena mereka punya rasa setia kawan satu sama lain.
Berbeda dengan pihak lawan mereka, yang kelihatan sedikit kompak hanyalah Ang Tiok-lim dan Si Imam Pendek. Sedang Ciam Lam-hoa lebih tepat kalau dikatakan bertempur mementingkan diri sendiri, bahkan apabila perlu ia takkan segan-segan mengorbankan teman-temannya. Maka gelanggang itu sedikit demi sedikit dikuasai oleh pihak Pelangi Kuning.
Apalagi di pihak Pelangi Kuning ada Yo Kian-hi yang tak ada timbangannya di pihak musuh. Ang Tiok-lim yang bangga dengan "Ilmu Pedang Hutan Bambu"nya yang meliuk-liuk mengandalkan kelenturan tubuh itu pun makin megap-megap menghadapi kepungan ketat lawan-lawannya. Kedua kawannya tak banyak membantu. Padahal Ang Tiok-lim inilah yang kepandaiannya paling tinggi di antara tiga kaki tangan Pangeran Hok-ong itu...