Puing Puing Dinasti Jilid 22

Novel silat Mandarin serial Helian Kong seri ketiga, Puing Puing Dinasti Jilid 22 karya Stevanus S.P
Sonny Ogawa

Puing Puing Dinasti Jilid 22 karya Stevanus S.P - ANG TIOK LIM membayangkan, ia akan mati penasaran kalau sampai terbunuh malam itu. Penasaran, sebab ia justru sudah diambang kemuliaan yang diimpikannya selama ini. Bukankah junjungan Pangeran Hok-ong, telah berhasil menyingkirkan saingan-saingannya dan memastikan diri menjadi calon kaisar?

Novel Silat Mandarin, karya Stevanus S.P

Bukankah Pangeran Hok-ong berjanji akan memberikan kedudukan tinggi dan harta berlimpah kepada pembantu-pembantu dekatnya, apabila cita-citanya tercapai? Ang Tiok-lim merasa tidak pantas mati malam itu sebelum menikmati janji-janji Pangeran Hok-ong.

Maka dalam keadaan terdesak, ia berkata kepada Ciam Lam-hoa, "Nona Ciam, lebih baik serahkan saja abu jenazah itu. Daripada kita mati konyol di sini."

Ciam Lam-hoa tidak segera menjawab, ia merasa berat. Maklum, abu jenazah itu bisa menjadi barang mahal kalau Pangeran Hok-ong berminat mengokohkan kedudukan yang sudah didapatnya.

Helian Kong yang diam-diam mengintip peristiwa itu, kemudian mengambil suatu tindakan sendiri. Ia tidak mencemaskan Yo Kian-hi dan kawan-kawannya. Maka ia tinggalkan tempat itu untuk kembali ke rumah sewaannya, langsung masuk ke kamar yang biasa dipakai si "Kongsun Giok" gadungan itu. Ia geledah kamar itu dan menemukan guci perunggu berisi abu jenazah itu. Untuk meyakinkan tidak keliru, ia buka tutup kain guci itu dan memeriksanya, memang abu jenazah. Lalu sambil membawa guci itu, ia menyelinap keluar.

Tidak beruntung, waktu ia menyelinap keluar, justru kepergok Siangkoan Heng yang rupanya hendak buang air kecil di malam yang dingin itu, lagi pula pengaruh ilmu gaib yang menidurkan orang dari Ciam Lam-hoa, agaknya sudah pudar. Siangkoan Heng tercengang kaget melihat saudara iparnya keluar mengendap-endap dari kamar kekasihnya di malam buta. Sebagai seorang lelaki yang sedang dimabuk asmara terhadap "Kongsun Giok" mudah pula bagi Siangkoan Heng untuk curiga.

"Saudara Helian....."

Helian Kong jadi agak canggung sejenak, kalau gagal menerangkan kepada iparnya ini, bukan saja dirinya bisa dituduh menggerayangi Kongsun Giok gadungan sebagai hidung belang, isterinya sendiri pun bisa cemburu. "Saudara Siangkoan, kamar ini kosong....." Helian Kong coba memulai penjelasannya dari sudut yang paling jauh dari kecemburuan dan kecurigaan. "Gadis itu tidak di kamarnya....."

"Lalu, kemana perginya Adik Giok?"

"Menyesal sekali kukatakan ini kepadamu, Saudara iparku. Dia bukan Bidadari Selendang Biru Kongsun Giok seperti pengakuannya terhadap kita."

Siangkoan Heng geleng-geleng kepala, "Mustahil, mustahil ia bohong kepadaku. Ia mencurahkan seluruh isi hatinya kepadaku, dia sudah siap menyerahkan dirinya kepadaku, mengarungi kehidupan bersamaku. Dia bukan pembohong! Ia mencintai aku dan tidak akan membohongi aku!"

Helian Kong merasa kasihan juga. Perkara orang jatuh cinta lalu tiba-tiba sangat dikecewakan, Helian Kong sendiri pernah merasakan betapa pedihnya. Dulu ia mencintai Tan Wan-wan, tahu-tahu Tan Wan-wan mengalami nasib yang sulit diduga. Sekarang ia lihat Siangkoan Heng sama pecahnya hatinya, tetapi Helian Kong sadar bahwa cepat atau lambat iparnya ini harus mengetahui kenyataan.

Katanya hati-hati, "Mungkin juga dia mengasihimu benar-benar, Saudara Siangkoan. Jangan kau kira aku membencinya, aku pun bersimpati kepadanya. Adikmu yang jadi isteriku juga bersimpati kepadanya dan suka kalau dia jadi isterimu. Bahkan si kecil A-beng juga senang kalau digendong-gendong olehnya dan diajak bermain-main olehnya. Tetapi dia bukan Kongsun Giok."

"Lalu, siapa dia?"

"Saudara seperguruan Kongsun Giok, namanya Ciam Lam-hoa. Julukannya Si Jarum Kembang Biru. Kongsun Giok yang asli dibunuh olehnya....."

"Kau percaya omong kosong itu?"

"Ini bukan....."

"Aku tidak percaya..... dia sejahat itu, sampai membunuh saudara seperguruannya sendiri. Kalau pun pembunuhan itu benar-benar terjadi, pastilah saudara seperguruannya itu yang jahat, yang menyudutkan dia sehingga tidak ada pilihan lain kecuali membunuhnya!"

Begitulah kalau sedang mabuk cinta, susah benar diberitahu kenyataan yang kurang baik tentang kekasihnya. Tetapi agaknya Siangkoan Heng sedikit terpengaruh juga oleh Helian Kong. Ia tahu macam apa Helian Kong ini, pasti omongannya tidak sembarangan. Maka Siangkoan Heng dalam kata-katanya yang paling akhir tadi hanya berani bilang "dia" dan tidak berani menyebut nama, entah Kongsun Giok entah Ciam Lam-hoa.

Helian Kong menarik napas, untuk menjaga agar pembicaraannya dengan Siangkoan Heng tidak buntu, Helian Kong berkata, "Siapapun dia, asal dia orang baik-baik dan kalian saling mencintai, pasti dia cocok menjadi isterimu."

"Apa yang kau dengar tentang dia?"

"Sebagian kudengar, sebagian kuselidiki sendiri....." kata Helian Kong. "Saudara Siangkoan, kau tahu bahwa aku bukan manusia yang gampang menentukan sikap hanya dengan mendengar berita yang belum tentu bisa dipercaya. Aku selalu menyelidikinya dulu....."

Lalu Helian Kong membeberkan kesimpulan-kesimpulannya yang menduga bahwa Ciam Lam-hoa sengaja ditaruh di rumah itu oleh pihaknya Pangeran Hok-ong, agar senantiasa dapat mengawasi gerak-gerik Helian Kong.

Sementara Helian Kong bicara, Siangkoan Heng masih saja geleng-geleng kepala, berusaha tidak percaya. Namun kentara kalau sikapnya itu makin lama makin lemah, biarpun kadang-kadang ia masih ngotot. "Saudara Helian, kau anggap terlukanya dia oleh Telapak Pasir Besi itu hanyalah pura-pura? Padahal lukanya begitu sungguh-sungguh?"

"Tidak bisa kupastikan. Aku hanya merasakan ada jarak antara kata-katanya dan kenyataan. Misalnya, dia bilang dilukai dengan pukulan Telapak Pasir Besi oleh sebuah komplotan jahat yang dipergoki olehnya. Tetapi kulihat di antara para penghadang Jenderal The, tak satu pun kelihatan bisa pukulan Telapak Pasir Besi."

"Tetapi laporannya benar, kan? Ia laporkan ada komplotan hendak mencelakai Jenderal The Ci-liong, dan ternyata komplotan itu benar-benar ada, untung Jenderal The sudah mengambil jalan lain dan kaulah yang menyamar jadi Jenderal The."

Helian Kong mengangguk. Jawabannya tidak diucapkan, hanya dikatakannya dalam hati, "Ya, dan aku curiga bahwa wanita itu sendiri sebenarnya adalah anggota komplotan itu sendiri. Untuk memperoleh kepercayaanku sehingga dapat mengawasi gerak-gerikku dengan leluasa, sudah tentu keterangannya harus dipercaya, apa yang dia katakan harus terjadi benar-benar. Dan bukan suatu kebetulan pula, kalau kemudian orang-orangnya Pangeran Hok-onglah yang muncul menolong. Ini siasat untuk menarik hati para jenderal agar lebih condong ke Pangeran Hok-ong sebagai persiapan merebut tahta."

"Kita lihat saja....." hanya itu yang dikatakan Helian Kong.

"Ya. Akan terbukti bahwa dia tidak sejahat prasangka kita!" kata Siangkoan Heng bersemangat. "Mungkin dia menyembunyikan beberapa hal dari kita, tetapi bukan berarti dia itu pembohong besar."

"Ya. Mudah-mudahan."

"Eh, apa itu?" kali ini Siangkoan Heng menatap ke guci abu jenazah yang tadi dibawa keluar Helian Kong dari kamar Ciam Lam-hoa.

"Abu jenazah Li Cu-seng, Si Raja kaum Pelangi Kuning."

"Kenapa bisa di tanganmu?"

"Abu jenazah ini diambil dari tempat persembunyiannya sekelompok orang-orang Pelangi Kuning, dan kutemukan di kamarnya."

Siangkoan Heng membungkam. Kemudian katanya, masih mencoba membela Ciam Lam-hoa, "Bukan merupakan suatu kejahatan, kalau dalam situasi di Lam-khia ini seseorang mendukung salah satu pihak."

"Ya. Bukan kejahatan."

"Kalau begitu, yang dia lakukan itu wajar saja. Ia hanya menjalankan suatu siasat yang dirancang oleh junjungannya, dan bukan dosa pula kalau siasat pihaknya itu berhasil. Bukankah kita sendiri pun melakukan upaya-upaya yang terang-terangan maupun tersembunyi untuk menggolkan rencana kita? Misalnya saja penyamaranmu sebagai Ek Beng-ti."

"Ya," kembali Helian Kong mengiyakan. "Di Lam-khia ini ada banyak pihak mengadu siasat, termasuk pihak kita. Yang siasatnya menang, tidak berdosa. Namanya juga dunia politik."

Bahwa Helian Kong terus-menerus mengiyakannya tanpa membantah, membuat Siangkoan Heng kebingungan sendiri. Suaranya meninggi karena emosinya, "Lalu kenapa kita harus memusuhinya?"

"Lho, apa aku pernah mengatakan sepatah kata pun soal memusuhi dia? Aku akan hanya memberitahukan beberapa kenyataan kepadamu? Soal dia mau mendukung pihak yang manapun, itu sah saja. Sama sahnya aku mendukung pihak yang kusenangi dalam pertarungan politik di Lam-khia! Kau mau terus berhubungan dengan dia, silahkan, asal tahu saja siapa sebenarnya dia. Dengan demikian tidak ada salah satu pihak yang tertipu."

"Kau bilang tidak memusuhinya, kenapa kau ambil barang dari kamarnya?"

"Abu jenazah ini akan kukembalikan ke pihak yang memilikinya dengan sah. Orang-orang Pelangi Kuning."

"Kalau kau anggap..... dia tidak jahat, apa salahnya abu jenazah itu berada di tangannya?"

"Bukan soal salah atau benar, tetapi soal setuju dan tidak setuju."

"Maksudmu?"

"Dia akan menjual abu ini ke Pangeran Hok-ong, untuk memancing orang-orang Pelangi Kuning lalu menumpas mereka. Ini akan menambah kecemerlangan Pangeran Hok-ong di mata orang-orang dinasti Beng, tetapi membahayakan persatuan negeri. Aku tidak menyetujuinya, jadi kuambil abu jenazah ini."

"Prasangka lagi?"

"Tidak. Malam ini kupancing dia. Aku pura-pura keluar, padahal tetap mengawasi rumah ini. Lalu dia pun keluar, berbicara dengan orang-orangnya Pangeran Hok-ong yang selama ini menjadi komplotannya. Dalam percakapan itu, kudengar sendiri ia mengatakan niatnya itu. Jadi aku balik dulu ke sini, mendahului dia mengambil abu jenazah ini."

Baru selesai kata-kata itu, di halaman luar terdengar suara orang melompat dari tempat tinggi. Lalu Ciam Lam-hoa melangkah masuk dengan terhuyung-huyung dan gugup. Melihat Helian Kong dan Siangkoan Heng masih duduk-duduk di ruang tengah, ia tercengang sejenak, lalu katanya, "Kakak Kong dan Kakak Heng, aku sedang dikejar orang jahat yang....."

Ciam Lam-hoa masih ingin berperan sebagai Kongsun Giok dan hendak memanfaatkan Helian Kong serta Siangkoan Heng untuk menghadapi pengejar-pengejarnya. Namun demi melihat abu jenazah itu sudah di tangan Helian Kong, maka Ciam Lam-hoa kaget dan berhenti bicara dan sadar bahwa dirinya mungkin tidak bisa lebih lama lagi berpura-pura.

Helian Kong tersenyum, bibirnya sudah bergerak hendak mengatakan sesuatu. Tetapi mendadak Ciam Lam-hoa bergerak ke arah pintu kamar yang ditiduri Siangkoan Yan dan anaknya. Hanya saja, sebelum ia sampai ke pintu itu, Helian Kong tahu-tahu sudah bergerak lebih cepat untuk menghadang di pintu itu, sehingga langkah Ciam Lam-hoa terhenti.

Dengan tergagap-gagap Ciam Lam-hoa coba menjelaskan tindakannya barusan, "Aku.... aku cuma kangen kepada A-beng dan ingin melihat dia sehat atau tidak. Kemarin kan dia agak demam. Dia sudah seperti anakku sendiri....."

Tanpa beranjak sedikit pun dari depan pintu, Helian Kong tersenyum sambil berkata, "Terima kasih atas perhatianmu terhadap anakku, Nona Ciam Lam-hoa....."

Ciam Lam-hoa memucat wajahnya mendengar Helian Kong menyebut nama aslinya. Selagi ia kebingungan, Yo Kian-hi yang mengejarnya muncul di tempat itu dengan sepasang pedang di tangannya. Rupanya pertempuran yang tidak jauh dari tempat itu sudah bubar, entah bagaimana kesudahannya. Yang Helian Kong ketahui hanyalah, Ciam Lam-hoa diuber-uber Yo Kian-hi sampai ke rumahnya itu.

Yang kebingungan menentukan sikap adalah Siangkoan Heng. Ia sudah begitu mencintai gadis itu, entah namanya Ciam Lam-hoa entah namanya Kongsun Giok. Yang paling ditakutinya, bagaimana kalau ternyata gadis itu memang membohonginya selama ini? Alangkah sakitnya dibohongi orang yang dicintainya.

Begitu muncul, Yo Kian-hi langsung hendak melabrak Ciam Lam-hoa dengan gusar, tetapi Helian Kong menahan dengan kata-katanya, "Sabar, Saudara Yo."

Helian Kong berkata kepada Ciam Lam-hoa, "Nona Ciam, kau benar-benar lihai sehingga sekian lama aku terkecoh olehmu. Tetapi aku tidak marah dan tidak akan menganggapmu musuh, dalam situasi seperti di Lam-khia saat ini, saling mengecoh adalah hal biasa. Aku tidak keberatan kau bekerja untuk Pangeran Hok-ong, aku juga tidak keberatan Pangeran Hok-ong akhirnya menang dalam persaingan. Toh akhirnya negeri ini memang harus memiliki seorang raja, satu dari lima orang keturunan dinasti Beng yang ada."

Kata-kata Helian Kong yang bernada begitu lunak, padahal Helian Kong sudah unggul di atas angin, sangat mengherankan Ciam Lam-hoa. Ia pun mencoba menenangkan diri, coba menebak-nebak maksud Helian Kong di balik sikapnya itu.

Kata Helian Kong pula, "Kau tidak usah berniat menahan anakku yang masih kecil agar tidak kami apa-apakan, Nona Ciam. Kami memang tidak akan memusuhimu, asal kau tidak melakukan tindakan yang merugikan tanah air demi kepentingan diri sendiri. Misalnya, menyerahkan abu jenazah kepada Pangeran Hok-ong untuk memancing dan menumpas orang-orang Pelangi Kuning. Itu mengungkit-ungkit luka lama dan merugikan persatuan. Itu yang kucegah....."

Sadar dirinya dalam keadaan terjepit, sementara Siangkoan Heng juga meragukan untuk dimintai tolong, Ciam Lam-hoa bersikap agak mengalah dengan pura-pura insyaf, "Aku minta maaf kepada Kakak Helian. Keluargamu sudah begitu baik kepadaku, tetapi aku malah membohongimu. Aku juga minta maaf telah mencuri abu jenazah itu dari sobat-sobat Pelangi Kuning."

Bagi Yo Kian-hi lebih sulit memaafkan Ciam Lam-hoa begitu saja. Dari pihaknya sudah kehilangan Im Hai-lip yang dibunuh Ciam Lam-hoa, dan dalam perkelahian tadi juga ada seorang temannya yang kena jarum beracun Ciam Lam-hoa.

"Pertama, kembalikan abu jenazah itu!" Yo Kian-hi menuding abu jenazah di atas meja dengan pedangnya. "Kedua, aku minta obat penangkal racun untuk temanku yang kena jarummu. Ketiga, Nona Ciam harus mempertanggung-jawabkan kematian seorang teman kami, Im Hai-lip!"

Biarpun Im Hai-lip ini senantiasa berselisih paham dengan Yo Kian-hi, Im Hai-lip juga punya sifat haus akan nama besar serta licik dan pernah melukai Yo Kian-hi dengan jeruji kipasnya, tetapi di hadapan orang luar golongan, Yo Kian-hi menunjukkan pembelaannya kepada rekan segolongan itu.

Siangkoan Heng berhutang budi kepada Yo Kian-hi. Dulu ia dan ayahnya serta adiknya yang tengah mengandung, di tengah kota Pak-khia yang dikuasai kaum Pelangi Kuning, ia mendapat perlindungan dari Jenderal Li Giam melalui Yo Kian-hi. Tetapi sekarang hatinya sedang condong kepada Ciam Lam-hoa, maka katanya kepada Yo Kian-hi, "Tuan Yo, permintaanmu itu apakah tidak terlalu banyak, selagi semua pihak sedang mencari kecocokan satu sama lain demi negeri kita bersama?"

Yo Kian-hi mengerutkan alis, lalu jawabnya, "Baik. Soal ketiga, soal pertanggungjawaban kematian Im Hai-lip, bisa diurus lain waktu. Tetapi soal abu jenazah dan soal obat penangkal racun, harus kulakukan sekarang juga!"

"Permintaan yang adil," dukung Helian Kong. Ia melangkah ke meja mengambil guci abu itu, lalu menyeberangi ruangan dan menyerahkannya kepada Yo Kian-hi. Gerak-geriknya begitu wajar, namun tidak mengurangi kewaspadaan sedikit pun atas Ciam Lam-hoa. Ciam Lam-hoanya sendiri tidak berbuat apa-apa. Ia sadar sedang terjepit di tengah kekuatan-kekuatan yang tidak dapat diatasinya, harus pandai-pandai menjaga diri.

Setelah Yo Kian-hi menerima guci abu jenazah, Helian Kong menatap Ciam Lam-hoa dan berkata ramah tetapi mengandung tekanan, "Obat pemunah racunnya, Nona Ciam."

Ciam Lam-hoa mengeluarkan bungkusan kertas kecil dari dalam bajunya, diserahkan kepada Yo Kian-hi sambil berkata, "Ada dua bungkusan di dalam. Bubuk yang berwarna coklat ditaburkan ke mulut luka, yang berwarna putih dicampurkan air hangat dan diminumkan. Jangan lebih dari fajar menyingsing. Kalau sudah lewat fajar menyingsing, dewa yang turun dari langit pun takkan dapat menyelamatkan jiwanya." Dalam kata-kata itu ada nada membanggakan keampuhan racun jarum kembang birunya.

Yo Kian-hi menerimanya sambil menjawab, "Kalau sampai kawanku tak tertolong, dewa dari langit pun takkan dapat menyelamatkanmu dari kejaran sepasang pedangku, Nona Ciam....."

Ciam Lam-hoa coba tersenyum seolah-olah tidak gentar, tetapi dalam hatinya sebenarnya ia gentar ancaman itu. Dalam pertempuran tadi, sudah dirasakannya kehebatan sepasang pedang Yo Kian-hi itu. Rasanya, biarpun ia bergabung dengan Ang Tiok-lim, juga takkan bisa menandingi Yo Kian-hi.

Setelah menerima abu jenazah serta obat pemunah racun, Yo Kian-hi meninggalkan tempat itu. Ia harus segera menolong temannya yang kena jarum kembang biru. Tidak lupa ia mengucapkan terima kasih kepada Helian Kong.

Helian Kong sendiri sebenarnya amat gusar kepada watak dan kelakuan Ciam Lam-hoa. Kelakuannya yang amat lunak terhadap Ciam Lam-hoa ini bisa dibilang demi menjaga hubungan baik dengan iparnya, Siangkoan Heng.

Setelah Yo Kian-hi pergi, Ciam Lam-hoa bertanya kepada Helian Kong. "Kakak Helian, apakah aku pun boleh pergi?"

Sebelum Helian Kong menjawab, malah Siangkoan Heng yang menjawab dulu, "Kau tidak diusir, Nona Ciam....."

Ciam Lam-hoa menatap sayu ke arah Siangkoan Heng, katanya sambil menarik napas, "Biarpun tidak diusir juga harus tahu diri. Kakak Siangkoan, aku pun minta maaf kepadamu. Tetapi meski aku sudah membohongimu dalam beberapa hal, tidak semua yang kau lihat pada diriku adalah kebohongan atau kepalsuan. Tidak semua. Ada yang sejati....."

"Misalnya?" tanya Siangkoan Heng.

Ciam Lam-hoa menunduk tersipu-sipu, katanya, "Misalnya..... perasaanku....."

Hati Siangkoan Heng guncang. Sementara Helian Kong mengeluh dalam hati dan mengutuk kelicikan wanita ini. Ternyata ia masih saja melepaskan jeratnya kepada Siangkoan Heng. Helian Kong sudah mendengar dari Yo Kian-hi wanita macam apa Ciam Lam-hoa ini, wanita yang kesusilaannya hampir tidak ada. Pengejar lelaki, bahkan tidak segan membunuh saudara seperguruannya sendiri demi merebut pacarnya.

Namun dalam pandangan Siangkoan Heng yang sedang mabuk cinta, kata-kata Ciam Lam-hoa itu sungguh menggetarkan hati dan mengharukan. Namun Siangkoan Heng tidak berkata apa-apa, cuma termangu-mangu menatap Ciam Lam-hoa. Dalam hatinya Ciam Lam-hoa mentertawakan tampang Siangkoan Heng yang seperti kerbau dicucuk hidungnya. Namun di wajahnya dia sudah tentu harus bersandiwara, pura-pura merasa berat dengan perpisahan itu.

Ciam Lam-hoa masuk ke kamarnya untuk mengambil bekalnya. Sekali lagi ia berpamitan kepada Helian Kong dan Siangkoan Heng dengan gaya yang sendu, lalu meninggalkan rumah itu. Helian Kong tak menduga bahwa gadis jagoan yang jahat itu sebenarnya masih punya suatu rencana, sebab ia belum puas sebelum memiliki pedang pendek Gu-hong-kiam itu.

Setelah Ciam Lam-hoa pergi, Helian Kong berkata kepada Siangkoan Heng, "Kita tetap tidak memusuhinya. Kita hanya mencegahnya melakukan beberapa perbuatan yang bisa membahayakan tanah air. Di antara sahabat-sahabat karib pun sering saling mencegah tindakan adalah hal biasa."

Siangkoan Heng cuma mengangguk lesu, "Aku mengerti tindakanmu. Terima kasih kau melakukan semuanya tadi demi aku." Lalu Siangkoan Heng menghilang ke dalam kamarnya.

Helian Kong juga masuk kamar dan membaringkan diri di samping isterinya yang tetap tidur pulas, agaknya bukan hanya karena sirep Ciam Lam-hoa tadi, melainkan juga kelelahan. Ia tidur mendekap si bocah jantung hatinya, Helian Beng. Kalau isterinya begitu lelap di sampingnya, Helian Kong justru hanya berkedip-kedip sampai hampir fajar. Pikirannya yang galau memikirkan seribu satu macam urusan.

Waktu hampir fajar, barulah pikiran Helian Kong agak tenteram setelah ia menyimpulkan sikapnya sendiri dalam sebuah kata yang digumamkan, "Yang harus terjadi terjadilah. Setidaknya sekarang dinasti Beng bisa mengawali kebangkitannya kembali. Biarpun yang duduk di singgasana kurang sempurna, tetapi dengan pengaruh orang-orang berwibawa seperti Jenderal The Ci-liong atau Laksamana The Seng-kong, mudah-mudahan keadaan bisa diarahkan ke yang lebih baik." Lalu ia pun menguap dan mulai pulas.


Kantuk Helian Kong belum hilang sama sekali, ketika isterinya membangunkannya, "Kakak Kong..... Kakak Kong....."

Helian Kong menggeliat bangun, ia lihat kertas jendela kamarnya sudah disoroti matahari pagi. Dan di sisi pembaringan nampak isterinya yang berwajah gugup sambil menggendong anaknya. "Ada apa?"

"Kakak Heng pergi, hanya meninggalkan secarik pesan ini."

Diserahkannya selembar kertas, Helian Kong bangkit dari pembaringan, menerima kertas itu dan membacanya. Tulisannya cuma :

"Aku pergi untuk mencerahkan pikiran. Harap jaga Adikku dan keponakanku baik-baik."
Siangkoan Heng.

Helian Kong menarik napas sambil geleng-geleng kepala. "Ah, dalam keadaan seruwet ini dia malah bertingkah laku seperti anak kecil, menambah beban pikiran saja."

"Apa yang terjadi?"

Dengan jujur Helian Kong menuturkan kejadian semalam. Siangkoan Yan tercengang. Sebelumnya tidak pernah menduga kalau "Kongsun Giok" yang simpati dan menyenangkan itu ternyata manusia macam itu. Siangkoan Yan sendiri jadi merasa kehilangan.

Dengan demikian, mulai hari itu isi rumah tinggal Helian Kong suami-isteri dan anak mereka yang masih kecil. Kalau biasanya Kongsun Giok (biarpun gadungan) bisa membantu mengasuh si kecil, sekarang Siangkoan Yan harus bekerja di dapur dengan si kecil dalam gendongannya. Sementara Helian Kong menimba sumur untuk mengisi air dan membelah kayu bakar.

Bukan kerja berat itu yang membuat suami isteri itu canggung, sebab dulu waktu masih di pegunungan mereka juga sudah terbiasa bekerja berat, namun tidak hadirnya "Kongsun Giok" dan Siangkoan Heng membuat mereka merasakan situasi yang berbeda juga. Kemudian, baru saja mereka selesai membersihkan diri dan makan bersama, suatu urusan lain muncul.

Waktu itu Siangkoan Yan sedang bertanya kepada suaminya, "Hari ini kau pergi ke mana?"

Pertanyaan itu juga diucapkan Siangkoan Yan di hari-hari sebelumnya, namun oleh Helian Kong belum pernah dirasakan setajam sekarang. Kemarin-kemarin kalau Helian Kong pergi ada yang menemani isterinya di rumah, sekarang Helian Kong pergi maka berarti isterinya tinggal hanya dengan seorang anak kecil. Benar Siangkoan Yan cukup mampu membela diri, tetapi di kota Lam-khia yang penuh peristiwa tak terduga, rasanya kurang tenteram juga.

Jawab Helian Kong, "Tidak ke mana-mana. Bahkan agaknya urusan kita di Lam-khia ini sudah hampir selesai. Kita bisa bersiap-siap untuk kembali hidup tenteram di pegunungan atau di desa....."

"Syukurlah. Bagaimana kira-kira masa depan negeri, jika Pangeran Hok-ong menduduki tahta?"

"Pangeran Hok-ong hanya akan menjadi simbol pemersatu, tetapi nasib negeri akan berada di tangan pengendali-pengendali situasi yang sejati, yaitu para jenderal yang berpengaruh di daerah-daerah."

"Kakak tidak ingin..... ikut berperanan kembali?"

Helian Kong tertawa, tahu yang dimaksud "berperanan kembali" oleh isterinya itu adalah "memegang suatu jabatan resmi". Ia cuma menjawab, "Entahlah. Tetapi membela negeri tidak harus punya kedudukan dalam pemerintahan. Kalau punya kedudukan malah sering lupa membela rakyat. Pernah terpikir untuk membentuk semacam barisan sukarelawan yang terdiri dari bekas orang-orang liok-lim (rimba hijau), yang bersembunyi di gunung-gunung berhutan untuk mengacau gerak-gerik pasukan Manchu."

"Seperti 108 kesatria dari Liang-san terhadap penjajah Kim dulu?"

"Betul."

Sampai di situ, tiba-tiba terdengar pintu depan diketuk orang. Helian Kong bangkit membukakannya, dan tercengang melihat yang berdiri di depan pintu adalah Ma I-thian. Komandan pengawal pribadinya Pangeran Hok-ong. "Bagaimana orang ini bisa mengetahui kediamannya?" pikir Helian Kong. Karena tempat kediamanku tersembunyi dari pihak manapun juga demi menghindari keruwetan dari semua pihak. Tetapi Helian Kong sadar, gara-gara Ciam Lam-hoa, pastilah tempatnya ini sudah bukan rahasia lagi.

Dilihatnya Ma I-thian berpakaian jauh lebih mentereng dari dulu-dulu, maklum karena sekarang ia bukan sekedar komandan pengawal pribadi seorang pangeran, melainkan komandan pengawal pribadi seorang Kaisar dinasti Beng. Biarpun Pangeran Hok-ong belum punya gelar kekaisaran sampai hari pelantikannya nanti.

Namun demikian, sikap Ma I-thian tetap seramah dulu. Ia lebih dulu memberi hormat, lalu menyodorkan surat yang dipegangnya kepada Helian Kong, "Helian Cong-peng, kau mendapat undangan dari Sri Baginda....." Yang dimaksud "Sri Baginda" sudah tentu adalah Pangeran Hok-ong.

"Undangan untuk apa?"

"Mungkin sekedar pembicaraan sebelum hari pelantikan nanti. Jenderal The, Laksamana The dan Jenderal Thio juga diundang."

"Para pangeran diundang?"

"Sri Baginda berniat begitu, tetapi para pangeran sudah meninggalkan Lam-khia semua, kecuali Pangeran Lou-ong Cu Gi-yap yang entah mau hadir entah tidak. Undangan kepada pangeran-pangeran lain tidak sempat disusulkan sebab pertemuannya hari ini."

Helian Kong membuka surat itu dan membacanya, isinya ternyata undangan biasa. Bahkan apa yang akan dibicarakan juga tidak disebut-sebut. Helian Kong bimbang menanggapi undangan tersebut. Mengingat anak isterinya akan sendirian di rumah.

Tetapi kalau tidak menanggapi undangannya, juga bisa menimbulkan kesalah-pahaman, bukan mustahil Ciam Lam-hoa sudah bercerita kepada Pangeran Hok-ong tentang hubungan baik Helian Kong dengan kaum Pelangi Kuning golongannya Yo Kian-hi. Bisa saja ceritanya dibumbu-bumbui atau diputar-balikkan sehingga merugikan Helian Kong.

"Bagaimana, Cong-peng?" desak Ma I-thian. "Kapan saatnya pertemuan dimulai?" "Kalau sudah berkumpul semua."

"Kalau begitu, Komandan Ma, eh, maaf, apa pangkatmu sekarang?"

Ma I-thian tertawa, "Jangan canggung melihat pakaianku. Pangkatku belum berubah kok. Masih komandan pengawal pribadi beliau."

"Baiklah, Komandan Ma. Pulanglah dulu, nanti aku datang. Tentunya aku harus bersiap-siap, aku tidak dapat menghadap Pangeran..... eh, Sri Baginda, dengan dandanan macam ini bukan? Aku harus bersiap-siap dulu."

Suatu alasan yang baik, sebab pakaian Helian Kong saat itu adalah pakaian sehari-hari yang amat sederhana, bahkan lengan bajunya buntung. Ternyata sikap Ma I-thian masih tetap tulus dan ramah seperti dulu. "Baiklah, Helian Cong-peng. Nanti apakah perlu tandu, kalau ya akan kutinggalkan tandunya dan pemikul-pemikulnya."

Helian Kong tertawa, "Macam aku ini pembesar tinggi saja. Aku rasa tidak perlu."

"Aku rasa perlu, Helian Cong-peng. Demi kewibawaan Cong-peng sendiri dan juga kehormatan Sri Baginda yang mengundang Cong-peng. Masa ke istana dengan jalan kaki?"

Helian Kong akhirnya mengalah. Maka sebelum Ma I-thian pergi, tandu dan dua pemikulnya ditinggalkan di depan rumah. "Aku diundang ke istana Pangeran Hok-ong," kata Helian Kong kepada isterinya. "Begitu pula Jenderal The, Laksamana The dan Jenderal Thio."

"Untuk apa?"

"Entahlah."

"Berangkatlah, jangan cemaskan aku dan A-beng."

"Betul!" terdengar suara dari pintu menyambung.

Waktu Helian Kong dan Siangkoan Yan menoleh, mereka melihat Yo Kian-hi. Dalam dandanan sehari-harinya yang tidak menyolok perhatian. Ia dan teman-temannya memang bersarang di rumah obat Yok-ting yang letaknya di ujung lain dari gang di depan rumah sewaan Helian Kong. "Saudara Yo, bagaimana dengan temanmu?"

"Untung tertolong. Terima kasih, saudara Helian. Aku minta maaf, gara-gara urusan abu jenazah itu maka tempat yang ingin kau sembunyikan ini jadi tidak tersembunyi lagi."

"Jangan katakan demikian, Saudara Yo. Aku tidak bisa lupa bagaimana di Pak-khia dulu kau dan Jenderal Li Giam mempertaruhkan kedudukan kalian yang empuk demi melindungi keluargaku....."

"Sekarang pun, kalau Saudara Helian mau pergi, percayakan keselamatan keluargamu kepada kami. Maaf kalau aku ikut campur. Aku berfirasat, Pangeran Hok-ong akan memberimu kedudukan yang baik demi memperkuat pihaknya....."

"Kalau betul firasatmu, enaknya diterima atau tidak?" tanya Helian Kong.

Lucu juga, seorang panglima dinasti Beng minta pendapat kepada seorang hulubalang Pelangi Kuning yang pernah menjadi musuhnya. Tetapi persahabatan antara kedua lelaki jantan itu sudah melompati tembok-tembok kecurigaan, bahkan meruntuhkannya. Kesamaan sikap dalam memprihatinkan keselamatan negeri.

Jawab Yo Kian-hi, "Jujur saja, kunilai Pangeran Hok-ong takkan bisa menjadi pemegang kendali yang kuat dan meyakinkan. Tapi harus ada yang mendampinginya, sehingga Manchu tidak mengambil keuntungan dari kelemahannya. Kupikir, kaulah orangnya yang tepat, Saudara Helian."

"Jadi seandainya dia menawari aku jabatan....."

"Terima sajalah. Pupuk kekuatan dan pengaruhmu dan gunakan untuk keselamatan tanah air. Capailah posisi setinggi mungkin. Aku percaya kepadamu, Saudara Helian. Bahkan seandainya....."

"Seandainya apa? Kenapa ragu-ragu berkata?"

"Seandainya muncul suatu kesempatan bahwa kaulah yang menjadi Kaisar....." Kata-kata Yo Kian-hi itu terputus sejenak oleh tawa geli Helian Kong, tetapi Yo Kian-hi nekad melanjutkannya, ".....aku dan teman-temanku akan mendukungmu."

"Terima kasih, Saudara Yo. Senang punya teman seperti kau. Baiklah, aku akan berangkatvke istananya Pange..... eh, Sri Baginda. Titip keselamatan anak isteriku."

"Percayalah kepada kami."

Helian Kong memakai pakaiannya yang pantas untuk menghadap di istana, lengkap dengan topinya segala. Lalu berangkatlah ia menaiki tandu. Sementara tandu dipikul dan bergerak-gerak dalam irama yang membuatnya mengantuk, Helian Kong merenung-renungkan kata-kata Yo Kian-hi tadi. Rasanya masuk akal juga. Cuma soal "jadi kaisar" itu Helian Kong tidak berani membayangkannya. Tetapi soal memupuk pengaruh sebesar-besarnya, rasanya boleh juga. Bukankah ia takkan menggunakan itu untuk kepentingan pribadi, tetapi untuk membentengi tanah airnya?

"Pikiranku terlalubmuluk....." Helian Kong memperingatkan diri sendiri dalam hatinya. "Padahal belum tentu aku diundang untuk diberi jabatan, tetapi hanya diberi ucapan terima kasih lalu sekedar bekal untuk pulang ke pegunungan."

Ternyata, setelah Helian Kong sampai ke istana Pangeran Hok-ong, dilihatnya seragam pengawal-pengawal pribadi Pangeran Hok-ong sudah menjadi jauh lebih mentereng. Jumlah pengawalnya juga berkali lipat. Agaknya, setelah Pangeran Hok-ong memastikan diri untuk duduk di singgasana, dia pun melipat-gandakan kekuatan pelindung di sekitarnya...

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.