Puing Puing Dinasti Jilid 23 karya Stevanus S.P - HELIAN KONG mendapat perlakuan hormat. Waktu ia dibawa masuk aula pertemuan, dilihatnya Jenderal The Ci-liong, Laksamana The Seng-kong dan Jenderal Thio Hong-goan sudah di ruangan itu.
Pangeran Hok-ong duduk di sebuah kursi yang letaknya agak tinggi, tetapi bukan singgasana. Pakaiannya masih pakaian sehari-harinya. Agaknya berusaha menimbulkan kesan, bahwa meski ia "dengan terpaksa menerima" dijadikan kaisar, ia masih "tetap sederhana".
Meskipun demikian, Helian Kong tetap menjalankan kehormatan seperti layaknya di hadapan seorang raja, agar tidak timbul masalah. Ia berlutut sambil menyerukan, "Ban-swe! Ban-swe!"
Buru-buru Pangeran Hok-ong membangunkan Helian Kong dari berlututnya sambil mengucapkan kata-kata merendah, dan mendudukkan Helian Kong di sebuah kursi. Ternyata, mereka masih menunggu beberapa orang lagi. Mereka yang ditunggu pun bermunculan satu persatu.
Yaitu si guru silat Lam-peng-hi, si gubernur militer untuk Lam-khia dan sekitarnya yaitu Jenderal Wan Heng-kui yang dulu pasukannya membersihkan jalanan kota Lam-khia dari para jago bayaran, dan ternyata Ma I-thian si komandan pengawal pribadi itu pun ikut duduk di dalam pula, bukannya berjaga di luar. Tanggung-jawab penjagaan di luar diserahkan ke wakilnya.
Pangeran Hok-ong membuka pertemuan itu dengan sebuah pidato, yang isinya mengulang lagi kata-katanya yang dulu bahwa ia "sebenarnya sudah tidak bersedia" diangkat, dan sebagainya. Kata-kata yang makin menjemukan Helian Kong, apalagi setelah semalam Helian Kong mengetahui siasat yang digunakan Pangeran Hok-ong setelah mencuri dengar percakapan Ciam Lam-hoa dengan Ang Tiok-lim dan Si Imam Pendek.
Namun demi teringat kata-kata Yo Kian-hi agar ia memupuk pengaruh sebesar-besarnya, Helian Kong pun menahan diri. Ia sadar, memang beginilah panggung kekuasaan. Penuh orang berpura-pura dan penjilat-penjilat. Bahkan Helian Kong pun sadar bahwa agar ia bisa memupuk pengaruh, ia pun harus mulai belajar cari muka, menjilat, berpura-pura dan macam-macam "jurus" lainnya. Mau tidak mau harus menurut aturan-mainnya.
Bagian kedua pidato Pangeran Hok-ong ialah ucapan terima kasih kepada semua orang. Kepada Jenderal The, Laksamana The dan Jenderal Thio serta Helian Kong pula. Dengan kata-kata yang manis, Pangeran Hok-ong memohon dukungan mereka.
Jenderal The Ci-liong mengangguk-angguk puas sambil mengelus jenggotnya yang sudah putih. Helian Kong pun harus "mulai belajar" mengangguk-angguk, kelihatan setuju biarpun dalam hati jemu. Mulanya memang agak canggung, tapi lama-lama bisa luwes juga.
Bagian ketiga pidato Pangeran hok-ong adalah yang paling penting. Pangeran Hok-ong mengatakan, "Dengan pertimbangan yang matang, mempertimbangkan kemampuan dan kesetiaan masing-masing pribadi, aku dengan rendah hati memohon agar orang-orang yang akan kusebut nanti bersedia membantu aku menjalankan pemerintahan....."
Wajah para hadirin jadi tegang. Mula-mula Pangeran Hok-ong menyebut nama Lam Peng-hi untuk diangkat sebagai Kok-su (Penasehat Kerajaan). Kontan muka Lam Peng-hi jadi berseri-seri, lalu berlutut mengucapkan terima kasih sambil merendah dengan kata-kata.
Lalu Pangeran Hok-ong menunjuk Gubernur Militer di Lam-khia, Jenderal Wan Heng-kui, sebagai Panglima Tertinggi. Itu artinya panglima-panglima senior semacam Jenderal The dan sebagainya ada di bawah perintah Wan Heng-kui.
Helian Kong merasa tidak enak hatinya. Kalau orang-orang macam The Ci-liong dibawahi orang macam Wan Heng-kui yang tidak ketahuan mana kiblatnya, rasanya agak rawan. Tetapi Helian Kong heran melihat Jenderal The dan lain-lainnya tenang-tenang saja. Hanya Helian Kong sendirian yang gelisah.
Sesaat kemudian, baru Helian Kong tahu kenapa mereka tenang-tenang saja. Kiranya Jenderal The dan lain-lainnya sudah punya "penangkal" untuk membendung pengaruh Wan Heng-kui, dan "penangkal" itu bukan lain adalah Helian Kong.
Helian Kong mendengar Pangeran Hok-ong kemudian menyebutkan namanya untuk menjadi Gubernur Militer di Lam-khia, menggantikan Jenderal Wan Heng-kui. Helian Kong tercengang pada awalnya, Gubernur Militer di Lam-khia berarti menggenggam denyut kehidupan seisi kota terbesar di daratan Cina itu, termasuk Pangeran Hok-ong dan keluarganya.
Kedudukan sepenting itu, kenapa Pangeran Hok-ong tidak menyerahkannya ke tangan seorang kaki tangannya yang bisa disetir, malahan kepada Helian Kong yang tidak segan-segan berbeda pendirian dengan orang yang berpangkat lebih tinggi sekalipun?
Waktu Helian Kong menoleh ke arah Jenderal The Ci-liong dan lain-lainnya, dilihatnya mereka juga memandangnya sambil mengangguk, menyuruh Helian Kong menerima posisi itu. Laksamana The Seng-kong bahkan mengedipkan sebelah matanya sambil menahan senyumnya.
Maka tahulah Helian Kong bahwa pemberian posisi Gubernur Militer Lam-khia itu bukan keluar dari hati Pangeran Hok-ong yang rela, melainkan hasil kompromi dengan Jenderal The dan lain-lainnya. Pastilah para jenderal itu yang mengusulkan agar Helian Kong diberi kedudukan itu, supaya Helian Kong bisa "mengendalikan" Pangeran Hok-ong atas nama para jenderal itu.
Helian Kong pun berlutut menerima pengangkatan itu. Sekaligus juga menerima kenaikan pangkat menjadi Jenderal. Kemudian Ma I-thian, kepala pengawal pribadi Pangeran Hok-ong itu pun kecipratan rejeki. Seperti sudah diramal banyak orang, dia menjadi Komandan Gi-cian-si-wi (Bhayangkara Pengawal Raja). Suatu pasukan kecil yang terdiri dari jago-jago tangguh, yang bertanggung jawab atas keselamatan raja dan keluarganya.
Lalu pengangkatan-pengangkatan lainnya, menteri ini-itu, semua adalah pendukung-pendukung Pangeran Hok-ong. Bisa dibilang, yang bukan pendukung Pangeran Hok-ong hanyalah Helian Kong. Usai pengumuman itu, dilanjutkan dengan perjamuan meriah. Dalam suasana yang agak kendor dan kurang resmi itu, orang-orang saling memberi selamat.
Jenderal The Ci-liong yang ubanan itu mendekati Helian Kong dan berkata perlahan, "Kau tahu tugas tidak resmimu, Jenderal Helian. Secara resmi seluruh kekuatan militer, termasuk pasukanku di Hok-kian, dicakup di bawah perintah Wan Heng-kui. Tetapi kau kami pasang di Lam-khia untuk mencegah dia melakukan hal-hal yang merugikan pasukan-pasukan di daerah."
Helian Kong cuma mengangguk. Namun dari situ, ia dapat menangkap bahwa para jenderal pun sebenarnya kurang yakin sepenuhnya akan kepemimpinan Pangeran Hok-ong. Barangkali para jenderal mendukung Pangeran Hok-ong hanya karena terpaksa, karena keadaan negeri yang makin gawat dan membutuhkan satu pemimpin di pusat.
Makin santer beritanya bahwa pasukan besar Manchu di bawah Jenderal Ni Kam, sudah bergerak ke selatan. Sementara di sebelah barat, pasukan Manchu lainnya di bawah Bu Sam-kui yang diberi gelar Peng-se-ong (Raja Muda penakluk wilayah barat) sudah berhasil mendesak pasukan Beng di Se-cuan, bahkan Jenderal Thio Hian-tiong sudah tewas digantikan Sun Ko-bong.
Maka para jenderal di samping mendukung Pangeran Hok-ong, juga "memasang" Helian Kong yang mereka percayai untuk menempati kedudukan yang cukup menentukan, sebagai Gubernur Militer (Cong-tok) di Lam-khia. Perjamuan berjalan meriah. Usai perjamuan, para tamu pun bubar.
Pelantikan Pangeran Hok-ong sebagai kaisar akan dilaksanakan beberapa hari lagi, menurut hari baik yang ditetapkan seorang peramal. Sebelum hari pelantikan itu, Jenderal The dan jenderal-jenderal lainnya belum pulang ke daerahnya, ingin mengikuti pelantikan. Bahkan ada beberapa panglima daerah lainnya yang berdatangan ke Lam-khia untuk menghadiri penobatan. Para pangeran yang gagal merebut tahta hanya mengirim wakil-wakil mereka.
Selama beberapa hari, Helian Kong masih sempat berkumpul dengan Jenderal The, Laksamana The dan juga Jenderal Thio Hong-goan untuk bertukar pikiran secara blak-blakan. Mereka belum berani mengajak panglima-panglima lain yang baru berdatangan dari berbagai daerah, karena belum bisa menjajaki isi hati mereka. Maka ya hanya mereka berempatlah yang sering berbicara.
Kepada jenderal-jenderal yang lebih senior itu, Helian Kong terang-terangan membeberkan kelicikan Pangeran Hok-ong sampai bisa meraih singgasana. Mengatur suatu serangan ke pihaknya sendiri, tapi kesannya dibuat seolah-olah Pangeran Kui-onglah yang mendalangi serangan itu.
Ternyata para jenderal tidak kaget mendengar laporan itu, malah The Seng-kong berkata sambil tertawa, "Saudara Helian ini kok seperti anak kemarin sore saja di dunia politik. Yang dilakukan Pangeran Hok-ong itu tidak aneh. Malah ganjil kalau ada yang berhasil mewujudkan ambisinya dengan cara yang bersih dan jujur."
Ayahnya, The Ci-liong, menyambung, "Yang dilakukan Pangeran Hok-ong memang lihai. Menggerakkan orang-orang bayaran melalui kaki tangannya, untuk menyerang diri sendiri sehingga orang-orang akan melihat seolah-olah ia diserang pihak lain. Simpati jadi terkumpul di pihaknya. Kami akui, kami pun terlalu gegabah mendukung ia menjadi Kaisar di malam keributan itu.
"Setelah kami renung-renungkan memang ada beberapa hal ganjil. Tetapi sudahlah. Yang penting kita awasi Pangeran Hok-ong dan pembantu-pembantunya. Itulah sebabnya kami desakkan kau masuk jajarannya Pangeran Hok-ong untuk menjadi mata dan telinga kami."
"Terus terang, bukan hanya mata dan telinga kami, tetapi juga tangan kami....." sambung The Seng-kong.
Helian Kong mengerutkan alis, "Maksud Laksamana?"
"Kau punya pasukan cukup besar di Lam-khia ini. Sebagai Cong-tok, pasukan itu di bawah komandomu. Jadi kalau ada apa-apa, kau tidak hanya bisa melapor kepada kami, tetapi juga langsung menggunakan kekuatan untuk mempengaruhi perkembangan. Itulah artinya kau menjadi tangan kanan di Lam-khia ini."
Helian Kong mengangguk-angguk. Namun ia membayangkan betapa ia bakal kesepian. Ia akan dikelilingi pembantu-pembantu setianya Pangeran Hok-ong, orang-orang yang tidak mungkin dijadikan tempat menumpahkan isi hati Helian Kong. Sementara sahabat-sahabat sejati berada di tempat-tempat jauh dan belum tentu bertemu setahun sekali.
Tiba-tiba Helian Kong ingat Yo Kian-hi. Ia berharap mudah-mudahan Yo Kian-hi akan terus di Lam-khia sebagai teman bertukar pikiran. Jenderal Thio Hong-goan berpesan kepada Helian Kong, "Saudara Helian, kuanjurkan jangan kau hentikan kegiatan bawah tanahmu, berhubungan dengan orang-orang kalangan hitam itu. Dari sudut pandang orang-orang macam itu, kita bisa memandang wajah asli tokoh-tokoh di Lam-khia ini. Wajah-wajah asli yang tidak terlindung kedok mereka."
"Benar, Saudara Helian," dukung The Seng-kong. "Meski samaranmu sebagai Ek Beng-ti sudah tersingkap dan diketahui oleh kaki-tangannya Pangeran Hok-ong, tetapi aku yakin kau bisa menyamar dalam seribu satu selubung samaran lainnya."
Helian Kong cuma mengangguk-angguk. Nampaknya para jenderal di hadapannya ini juga kurang yakin Pangeran Hok-ong akan dapat memerintah dengan baik. Tetapi demi keselamatan tanah air, toh mereka sepakat untuk menutup mata terhadap kekurangan-kekurangan Pangeran Hok-ong, lebih baik memusatkan pikiran untuk memperbaiki yang masih kurang, daripada mengungkit-ungkit keburukan yang sudah terlanjur. Sikap Helian Kong jadi semakin mantap.
Kota Lam-khia, kota terbesar di daratan Cina itu tenggelam dalam suasana meriah selama berhari-hari lamanya. Suasana pesta besar yang mengiringi penobatan Pangeran Hok-ong menjadi Kaisar. Ia sekarang disebut Kaisar Beng-te.
Bukan hanya di istana saja ada perjamuan besar, akan tetapi di seluruh sudut Lam-khia. Ada berbagai macam hiburan yang digelar untuk menggembirakan rakyat, seperti sulap, akrobat, wayang boneka dan sebagainya. Dari rumah-rumah ibadat, bau dupa mengepul tak henti- hentinya, mendoakan Kaisar yang baru.
Dalam suasana pesta, tetap terlihat penjagaan ketat di mana-mana. Prajurit-prajurit garnisun ibukota dengan seragamnya yang khas, di bawah panglima baru mereka, Jenderal Helian Kong, berusaha sebaik-baiknya mengamankan suasana pesta yang meriah itu.
Para pengungsi yang selama ini menikmati pembagian bubur gratis dari Pangeran Hok-ong, sekarang ikut bersuka-ria melihat "dewa penolong" mereka akhirnya yang berhasil menduduki tahta.
"Pangeran Hok-ong memang pantas menduduki singgasana," puji seorang rakyat kecil yang lugu. "Orangnya dermawan, berbelas-kasihan kepada orang-orang kecil macam ini."
"Ya, padahal beliau sudah mengumumkan tidak berambisi menjadi Kaisar. Tetapi memang tidak ada calon yang lebih baik dari dia, maka para jenderal pun mendukungnya."
"Pilihan yang tepat."
"Eh, kabarnya sebentar lagi akan diadakan pendaftaran untuk prajurit-prajurit baru. Akan dibentuk pasukan-pasukan baru untuk merebut bagian utara tanah air yang sudah dijajah Manchu. Kau mau ikut?"
"Kau?"
"Aku agak tertarik. Desa kelahiranku di utara sana dirampok habis tentara Manchu. Aku ingin membalas mereka. Aku ingin bergabung dengan pasukan-pasukan baru yang akan dibentuk."
"Ah, tidak. Kau saja. Aku punya penyakit tulang, tidak cocok jadi prajurit."
Di suatu bagian kumuh kota Lam-khia, Siangkoan Heng sedang meloloh dirinya nyaris tanpa henti dengan arak murahan. Wajahnya murung, tak cocok dengan suasana pesta di sekitarnya. Kumis dan janggutnya yang sudah berhari-hari tak dicukur membuat tampangnya mirip gelandangan tulen. Ia juga tak peduli waktu mendengar bahwa iparnya, Helian Kong, mendapat kedudukan penting dalam pemerintahan Kaisar Beng-te sebagai Cong-tok di Lam-khia dan sekitarnya.
Bagaimana Siangkoan Heng bisa gembira, kalau pikirannya terus dipenuhi gadis idamannya. Baginya, tak ada bedanya gadis itu bernama Kongsun Giok atau Ciam Lam-hoa atau bahkan disebut kuntilanak sekalipun. Karena ia berkeliling Lam-khia tanpa menemuinya, maka pelarian termudahnya ialah minum arak.
Setelah belasan cawan besar dihabiskannya, ia masih saja berteriak kepada si tukang warung, "Tambah lagi araknya!"
Si tukang warung mulai sangsi. Tampang dekil tamunya yang satu ini membuat bayangan kerugian bagi warungnya yang bermodal kecil. Ia khawatir Si dekil ini setelah minum banyak lalu minggat begitu saja, kalau ditagih malah mengamuk, seandainya Si tukang warung berhasil memukulinya pun takkan ada gunanya, arak yang sudah terlanjur masuk perut takkan terbayar.
Maka mendengar permintaan Siangkoan Heng itu, Si tukang warung malah bertanya, "Mana uangmu, sobat? Tunjukkan dulu, baru kulayani. Maklum, warung bermodal kecil."
Siangkoan Heng yang wajahnya sudah merah dan setengah mabuk itu, melotot kepada Si tukang warung. "He, kau belum tahu siapa aku?"
"Siapapun kau, tunjukkan uangmu."
"Tukang warung busuk, kau tahu siapa yang menjadi Cong-tok di Lam-khia? Dia Adik iparku. Suami Adik perempuanku!"
Si tukang warung tertawa geli, begitu pula beberapa pengunjung warung. Mana mereka mau percaya pemabuk dekil tidak punya uang ini iparnya Jenderal Helian Kong? Secara bercanda Si tukang warung menjawab, "He, kau tahu siapa aku? Hai-liong-ong (Raja Naga) yang menguasai lautan itu adalah suaminya keponakanku! Mana uangmu?"
Orang-orang di warung itu berkelakar mendengarnya. Siangkoan Heng jadi gusar, ia bangkit dari duduknya hendak memukul, namun seorang gadis berpakaian ringkas serba biru muncul di pintu warung dan berkata, "Kakak Siangkoan!"
Siangkoan Heng menoleh dan melihat Ciam Lam-hoa yang dirindukannya selama beberapa hari ini. "Adik Giok!"
Siangkoan Heng tetap saja memanggilnya dengan nama yang pertama kali dikenalnya. Lalu sempoyongan menyongsong, tetapi ambruk sebelum tiba di depan Ciam Lam-hoa. Ciam Lam-hoa melangkah maju dengan sebat dan menyambut tubuh Siangkoan Heng. Orang-orang di warung melongo heran melihat gadis itu dengan ringan sanggup mengangkat tubuh Siangkoan Heng yang tergolong tegap, diangkat ke pundaknya, lalu hendak dibawa pergi.
Si tukang warung memberanikan diri menagih, "Maaf, Nona, teman Nona itu belum membayar....."
Ciam Lam-hoa sedang banyak uang, sebab ia baru saja menerima upah sebagai hasil kerjanya bagi Pangeran Hok-ong sebelum ini. Maka sekenanya saja ia letakkan setahil perak di atas meja, lalu pergi begitu saja sambil menggendong Siangkoan Heng.
Si tukang warung tentu saja kegirangan. Uang yang diterimanya jauh lebih banyak dari harga arak yang diminum Siangkoan Heng. Sambil mengantongi uang itu, ia bergumam gembira, "Mudah-mudahan lain kali dia minum di sini lagi."
Sementara itu, dalam keadaan teler, Siangkoan Heng dibawa oleh Ciam Lam-hoa ke sebuah rumah yang terjepit di antara ribuan rumah yang ada di Lam-khia itu. Lalu dengan ramuan yang terbuat dari kulit jeruk, ramuan yang biasa digunakan untuk menyadarkan orang mabuk, Ciam Lam-hoa menyadarkan Siangkoan Heng.
Waktu kesadaran Siangkoan Heng berangsur-angsur pulih, ia menatap Ciam Lam-hoa dan memanggilnya, "Adik Giok....."
Ternyata Ciam Lam-hoa tidak menyangkalnya, malah mempersalahkan orang lain, "Ya, aku memang Kongsun Giok. Tetapi ada orang yang tidak senang kepadaku, yang memaksa aku mengaku sebagai Ciam Lam-hoa. Sayang, Kakak Helian Kong juga terpengaruh oleh hasutan orang-orang yang memfitnahku itu. Tetapi asal kau masih mempercayai aku, Kakak Heng, biar seluruh dunia memusuhi aku juga aku tak peduli. Asal kau di sisiku."
Gabungan antara mabuk asmara ditambah sedikit mabuk arak, membuat perasaan Siangkoan Heng seolah melayang di awan-awan. Ia merangkul pundak "Kongsun Giok" sambil berkata, "Aku akan membelamu, Adik Giok. Berhadapan dengan siapapun, aku membelamu....."
Ciam Lam-hoa senang dalam hati, agaknya rencananya akan berjalan lancar dan ia akan menerima tambahan upah yang tidak sedikit dari Pangeran Hok-ong yang sekarang disebut Kaisar Beng-te. Maka ia sengaja bersikap kemanja-manjaan untuk makin memikat Siangkoan Heng. Siangkoan Heng yang masih setengah mabuk itu jadi lupa diri, dan Si Kongsun Giok gadungan meladeninya saja.
Begitulah, beberapa hari mereka di rumah sempit itu hanya berdua saja, kelakuan mereka tanpa batas seperti layaknya suami isteri saja. Siangkoan Heng pun makin terjerat oleh kecantikan perempuan yang mengaku sebagai Kongsun Giok itu. Keramaian di kota Lam-khia belum berakhir. Pesta menyambut penobatan kaisar yang baru masih bergemuruh di sana-sini. Bunyi petasan masih terdengar di mana-mana.
Sepasang kekasih itu rupanya jemu juga kalau berkurung terus di kamarnya. Suatu sore yang cerah, Siangkoan Heng dan Ciam Lam-hoa berjalan-jalan menikmati situasi Lam-khia yang meriah. Siangkoan Heng tentu saja sudah tidak dekil lagi. Ia bercukur bersih, memakai jubah satin yang cukup bagus, rambutnya diikat pita coklat muda, warna kesayangannya. Pedangnya tidak dibawa, sebab di Lam-khia masih berlaku larangan membawa senjata, tidak peduli sekarang Gubernur Militer adalah ipar Siangkoan Heng.
Selama beberapa hari ini, sambil menggunakan jerat asmaranya, Kongsun Giok gadungan sudah mencekoki pikiran Siangkoan Heng bahwa dirinyalah yang benar dan Helian Konglah yang keliru. Dan itu baru langkah pertama dari rencananya.
Mereka berjalan di jalan yang ramai. Menonton tukang sulap, tukang akrobat jalanan, bahkan tukang jual obat pun dilihatnya juga. Begitu pula wayang boneka, pertunjukan kembang api, ikut mengejar tukang copet, makan di pinggir jalan. Bukan suasananya yang terasa amat indah bagi Siangkoan Heng, melainkan karena kekasih idamannya sudah di sampingnya.
Mereka juga mengunjungi ahli nujum berjubah kuning di depan sebuah kuil. Tukang nujum itu mengangkat tangannya memberi salam ketika pasangan muda-mudi itu mendekati meja prakteknya di pinggir jalan.
"Beritahukan masa depan kami, Pak.'' mohon Si Kongsun Giok palsu.
Tukang nujum itu menyuruh kedua pasangan itu mengocok batang-batang bambu bernomor. Hasil nujumannya benar-benar membahagiakan Siangkoan Heng. Katanya, Siangkoan Heng akan hidup bahagia sampai tua dengan "Kongsun Giok" dan dianugerahi lima anak dan empat belas cucu. Salah satu cucunya, kata Si tukang nujum pula, akan menjadi seorang yang berderajat amat tinggi.
Ciam Lam-hoa masih bertanya-jawab beberapa hal lagi dengan Si tukang nujum, tanpa disadari oleh Siangkoan Heng bahwa kedua orang itu sebenarnya bertukar kata-kata sandi. Kata-kata sandi yang berselubung bahasa yang sangat umum, sehingga andai ada yang mendengar pun takkan curiga. Begitu pula Siangkoan Heng juga tidak curiga.
Waktu pasangan itu meninggalkan meja praktek Si tukang nujum yang sebenarnya gadungan dan nujumannya ngawur, maka tukang nujum itu didekati seorang pengemis. Mereka berkata-kata perlahan beberapa saat, lalu Si pengemis menyelinap menghilang di antara banyak orang.
Siangkoan Heng dan Ciam Lam-hoa yang tengah berjalan-jalan itu, segera memergoki sesuatu. Diawali ketika Ciam Lam-hoa tiba-tiba memegang erat-erat lengan Siangkoan Heng sambil mendesis, "Kakak Heng....."
Siangkoan Heng menoleh kepada gadisnya itu dan heran melihat wajahnya yang tegang menatap ke suatu arah. Siangkoan Heng ikut menatap ke arah yang sama, tetapi terlalu banyak orang di sana, entah siapa yang sedang ditatap oleh kekasihnya.
Sebelum ia bertanya, Ciam Lam-hoa sudah menjelaskannya dengan suara perlahan, "Kakak lihat orang yang berjubah pendek berwarna biru tua itu? Dengan topi kapas menutup kepalanya? Orangnya kurus dan....."
"Ya, ya aku lihat. Yang membawa lampion itu?"
"Betul."
"Siapa dia?"
"Bandit terkenal Ho-pak, namanya Han Seng-lim. Aku pernah berkelahi dengannya."
"Karena dia menculik gadis-gadis?"
"Lebih gawat dari itu. Ia sudah dibeli oleh pihak Manchu dan menjadi kaki tangan Manchu."
Biarpun selama beberapa hari ini Siangkoan Heng seperti terlena di lautan asmara bersama "Kongsun Giok" gadungan ini, tetapi jiwa patriotnya tidak luntur. Sebagai keturunan almarhum Menteri Siangkoan Hi yang amat setia kepada tanah air, Siangkoan Heng mewarisi sebagian sifat ayahnya.
Mendengar ada "kaki tangan Manchu" berkeliaran di Lam-khia, justru di saat wilayah sisa dinasti Beng menobatkan Kaisarnya, Siangkoan Heng langsung curiga jangan-jangan "kaki tangan Manchu" itu punya rencana tertentu?
"Adik Giok, maaf kalau kesenangan kita jadi sedikit terganggu. Tetapi kaki tangan Manchu itu tidak boleh kudiamkan saja, mungkin ia punya rencana jahat....."
Jawaban "Kongsun Giok" ternyata tidak kalah "patriotik"nya, "Kakak Heng, Kakak pikir aku ini orang macam apa? Aku pun bangsa Han, tidak bisa kubiarkan orang asing mengacau negeri kita!"
Siangkoan Heng diam-diam bangga mendengar jawaban kekasihnya itu, sambil berkata dalam hati, "Gadis seperti ini kok dituduh membunuh saudara seperguruannya segala. Benar-benar salah alamat."
"Kakak Heng, kita bekuk dia?"
"Jangan. Kita buntuti saja. Barangkali dapat kita temui kawan-kawan mereka!"
Maka kedua orang itu pun mengikuti orang yang dicurigai sebagai kaki tangan Manchu itu. Ternyata orang yang dibuntuti itu memang kelakuannya mencurigakan juga. Di tempat-tempat sepi, sering ia mencoret tembok dengan arang.
"Pasti berita rahasia buat kawan-kawannya....." desis Siangkoan Heng cemas. "Entah berapa banyak kawan-kawannya dalam kota ini, kota ini dalam bahaya....."
Ternyata kemudian orang itu menuju ke luar kota. Selama perayaan penobatan Kaisar Beng-te, memang pintu-pintu gerbang Lam-khia dibuka siang-malam, meskipun dijaga amat kuat oleh pasukan-pasukan garnisun bawahan Helian Kong. Pembukaan pintu gerbang Lam-khia siang-malam itu untuk memungkinkan penduduk desa-desa di luar kota juga dapat menikmati keramaian malam hari di Lam-khia yang sekarang menjadi ibukota.
Kaisar yang baru ingin menunjukkan bahwa dirinya adalah "cinta rakyat" dan ingin sebanyak mungkin rakyatnya menikmati suasana pesta. Orang yang dibuntuti Siangkoan Heng dan Kongsun Giok gadungan itu tiba di luar Lam-khia, mulai masuk daerah yang sepi, kiri-kanan jalanan banyak belukar dan ladang penduduk, gelap.
Siangkoan Heng dan "Kongsun Giok" harus lebih hati-hati membuntutinya, sebab di tempat sepi itu kalau yang dibuntuti menoleh tentu akan melihat mereka berdua. Untung orang itu berjalan tanpa menoleh sekalipun ke belakang, lagi pula lampion yang dibawanya malah jadi seperti penuntun bagi orang yang membuntutinya.
Siangkoan Heng mulai bimbang melihat keganjilan itu. Langkahnya diperlambat, sambil berkata perlahan, "Aneh dan mencurigakan. Orang itu berjalan tidak menoleh ke belakang sekalipun, juga membawa terus lampionnya, seperti tidak takut dibuntuti. Atau malah sengaja memancing yang membuntuti agar masuk perangkap?"
Ciam Lam-hoa cepat-cepat menghapus kecurigaan itu dengan dalih yang cukup kuat, "Soal perangkap, entah ada entah tidak. Tapi mungkin si bangsat kaki tangan Manchu itu terlalu yakin akan kerahasiaan tempat persembunyiannya dan teman-temannya. Para petugas sandi Manchu biasanya terlalu menganggap remeh orang-orang bangsa Han kita. Mereka terpengaruh oleh keberhasilan mereka dalam jaringan mata-mata di Pak-khia dan San-hai-koan dulu."
Siangkoan Heng menimbang-nimbang sebentar, lalu mengangguk-angguk sambil berkata, "Baik. Kita buntuti terus. Kita lihat siapa yang dia temui, dan kalau bisa mendengar rencana mereka."
"Hati-hatilah. Aku teringat ketika dulu terpukul Telapak Pasir Besi....." kata Ciam Lam-hoa seperti mengingatkan "jasa"nya yang dulu.
Mereka pun melanjutkan penguntitan itu. Sampai dilihatnya orang itu masuk ke sebuah bangunan besar yang penerangannya remang-remang. Pintunya dijaga dua orang bertubuh tegap. Orang yang dibuntuti itu berbicara dengan dua penjaga itu. Terdengar kedua penjaga itu berbicara dalam logat Liau-tong, logat wilayah timur laut yang menjadi kampung halaman orang Manchu. Siangkoan Heng yang mendengarnya pun makin yakin bahwa rumah itu benar-benar menjadi sarang komplotan Manchu yang hendak mengacau.
Bisiknya kepada Ciam Lam-hoa, "Adik Giok, kau tahu caranya masuk ke dalam, untuk mengetahui terjadi apa saja dalam rumah itu?"
Ciam Lam-hoa menggeleng, "Agaknya untuk masuk terang-terangan adalah tidak mungkin. Anggota komplotan macam ini biasanya punya kata sandi yang tidak diketahui orang luar. Tetapi kita bisa memanjat tembok, asal hati-hati. Di balik tembok mungkin ada penjaganya."
Siangkoan Heng menunjuk ke suatu arah, "Di sudut gelap itu ada pohon besar berdaun rimbun yang letaknya dekat tembok. Kalau kita panjat pohon itu, kita bisa lihat di balik tembok."
"Baiklah. Mari."
Mereka merunduk ke tempat yang dituju, dan dengan tangkas naik ke pohon rimbun itu. Daunnya yang lebat menutupi mereka, sebaliknya dengan sedikit menyibakkan dedaunan, mereka bisa melihat halaman belakang rumah besar itu. Kalau penerangan di bagian luar sangat minim, sebaliknya penerangan di halaman belakang itu berlimpah-limpah obor yang dinyalakan di segala sudut.
Banyak orang bersenjata hilir-mudik. Yang duduk-duduk di udara terbuka juga banyak. Semuanya berlogat Liao-tong. Dan waktu mereka membuka topi, ternyata rambut mereka dikuncir. Kalau mereka masuk kota Lam-khia, kuncir itu digulung dan ditutupi topi.
Siangkoan Heng gemetar saking gusarnya, "Hem, mereka benar-benar iblis-iblis Manchu."
"Ya, tapi ada juga yang bukan orang Manchu. Orang-orang bangsa kita sendiri yang rela menghamba kepada bangsa asing....." desis Ciam Lam-hoa dengan kelihatan marah pula. "Ingin rasanya kupotong-potong tubuh pengkhianat-pengkhianat itu....."
"Tahan dirimu, Adik Giok. Mereka jauh lebih banyak dari kita, dan mungkin ada jagoan-jagoan tangguh di antara mereka. Mungkin kita agak sulit mengetahui apa yang mereka rencanakan, sebab kita sulit menangkap bahasa mereka."
Baru saja Siangkoan Heng mengeluh demikian, terdengar di antara orang-orang itu ada yang bicara bahasa Han dengan logat Ho-pak, propinsi kelahiran Siangkoan Heng. Pembicara tadi bukan lain adalah orang yang dibuntuti tadi, yang menurut "Kongsun Giok" namanya Han Seng-lim.
Kata orang itu, "Ada penjagaan memang, tetapi tidak istimewa, wajar-wajar saja. Besok malam adalah saat yang tepat untuk membunuh Si Hok-ong itu, selagi dia berada di tengah-tengah penduduk Lam-khia."
Siangkoan Heng kaget mendengarnya. Sementara ia mendengar seorang Manchu bicara dalam bahasa Han yang lumayan, meski agak kaku, "Kerjamu bagus, Sobat. Besok, bangsa Han akan kehilangan tali pengikat persatuan mereka. Pangeran-pangeran dan jenderal-jenderal ambisius akan saling gontok-gontokan memperebutkan tahta yang kosong. Ada juga jenderal-jenderal setia macam si tua-bangka The Ci-liong dan kawan-kawannya mungkin akan berusaha mengendalikan situasi, namun akan gagal, He-he-he....."
"Ini tidak boleh terjadi....." bisik Siangkoan Heng di pinggir kuping Ciam Lam-hoa.
"Iparmu, Helian Kong, harus segera diberi tahu. Tetapi jangan aku, sebab..... dia agaknya sudah dihasut oleh orang-orang Pelangi Kuning untuk tidak mempercayai aku."
"Aku yang akan bicara padanya, malam ini juga."
Mereka berdua meninggalkan tempat itu dengan hati-hati, lalu memasuki kota Lam-khia kembali. Dalam benak Siangkoan Heng, apa yang dia lihat dan dengar tadi dianggapnya amat serius, hingga ia merasa Helian Kong sebagai Cong-tok di Lam-khia harus segera mengambil tindakan.
Sejak meninggalkan rumah sewaan yang sederhana dulu, Siangkoan Heng belum pernah melihat tempat tinggal baru Helian Kong yang besar dan megah, sesuai dengan pangkatnya. Maklum, waktu itu Siangkoan Heng hanya bergelandangan dari warung arak yang satu ke warung arak yang lain untuk mencari jantung hatinya.
Kini, begitu berhadapan dengan gedung megah yang ditunjukkan Ciam Lam-hoa, ia terlongong heran. Gedung itu Jebih besar dari kediaman keluarga Siangkoan waktu ayah Siangkoan Heng masih menjadi menteri di Pak-khia dulu.
"Ini rumahnya? tanyanya heran.
Ciam Lam-hoa tertawa, "Ya. Kau lupa siapa iparmu sekarang? Gubernur Militer di Lam-khia."
"Aku akan masuk. Kau ikut atau tidak?"
Dengan wajah sendu Ciam Lam-hoa menggeleng, "Begitu melihat aku bersamamu, Kakak Helian pasti akan menganggap laporan ini tidak layak dipercaya. Dianggap dibuat-buat....."
"Jangan sedih. Suatu kali nanti jasa-jasamu akan diakui orang banyak, dan mereka akan tahu bahwa mereka yang keliru. Iparku itu pikirannya luas kok, aku kenal dia sejak dulu, sejak belum menikah dengan Adikku."
"Ya, sudahlah. Masuklah sana. Sebetulnya aku kangen juga kepada si kecil A-beng, tetapi lain kali sajalah aku temui dia."
Sementara Ciam Lam-hoa menunggu di sebuah sudut yang gelap, Siangkoan Heng menyeberangi jalan, langsung kepada empat prajurit penjaga di depan rumah kediaman Helian Kong. Penjaga-penjaga itu bersiaga melihat ada orang mendekat, saat itu sudah hampir tengah malam, meskipun di kejauhan masih terdengar suara keramaian, dan langit yang kelam sebentar-sebentar diterangi kembang api.
"Aku ingin menemui..... Cong-tok!" kata Siangkoan Heng terus terang.
"Siapa kau?"
"Siangkoan Heng."
Rupanya para penjaga belum pernah mendengar nama itu, maka sahut salah satu dari mereka, agaknya adalah komandan regu jaganya, "Keperluanmu apa hendak menemui Jenderal Helian di larut malam begini?"
"Boleh percaya boleh tidak, menyangkut kelangsungan negeri ini....."
"Wah, omonganmu seram juga," kata Si komandan regu santai sambil cengengesan, kentara kalau meremehkan keterangan Siangkoan Heng itu. Ketiga prajurit bawahannya pun tertawa.
"Aku iparnya, Kakak dari isterinya!"
Tertawa Si komandan makin keras, "Hari ini ada dua gelandangan mengaku Pamannya, dua lagi mengaku tetangga dekatnya. Setelah diberi sedekah, mereka pun kabur."
Siangkoan Heng habis sabarnya, tinjunya melayang dan Si komandan regu terkapar pingsan. Tiga prajuritnya gusar, mereka mulai menyerang, langsung dengan senjata-senjata mereka. Tentu saja mereka bukan tandingan Siangkoan Heng, dalam beberapa gebrakan mereka roboh semua.
Tetapi bukan berarti urusan selesai, penjaga di rumah Helian Kong bukan hanya empat orang itu melainkan masih ada belasan lagi di bagian dalam. Dan yang di dalam itu berhamburan keluar ketika mendengar ribut-ribut di luar. Siangkoan Heng sekarang harus berkelahi dengan belasan orang penjaga di rumah saudara iparnya sendiri.
Urusan baku-hantam itu tentu akan berlarut-larut seandainya Ciam Lam-hoa tidak melakukan sesuatu, demi keberhasilan rencananya. Selagi Siangkoan Heng sibuk berkelahi dengan para penjaga, maka Ciam Lam-hoa menyeberangi jalan lalu menyelinap ke samping rumah megah kediaman resmi Helian Kong itu.
Dari situ ia melemparkan sebuah batu besar ke atap, batu yang menimbulkan suara keras, yang Ciam Lam-hoa harapkan akan "membangunkan" Helian Kong yang bertelinga tajam itu. Siangkoan Heng harus dapat bertemu dengan Helian Kong untuk melaporkan tentang "sarang mata-mata Manchu" itu. Kalau bagian yang ini gagal, seluruh rencana pun akan gagal.
Perhitungan Ciam Lam-hoa tepat. Helian Kong memang terbangun, lalu bergegas menuju ke pintu gerbang rumahnya karena mendengar ada suara perkelahian dari sana. Helian Kong muncul di tempat perkelahian itu dan tercengang melihat bahwa yang sedang dikeroyok para pengawal rumahnya itu bukan lain adalah saudara iparnya.
"Hentikan!" ia memerintah, para pengawal pun berlompatan mundur. Beberapa orang babak-belur, tapi untung belum ada korban jiwa, agaknya dalam kemarahannya Siangkoan Heng masih menahan diri.
Si komandan regu pengawal menuding Siangkoan Heng sambil melapor, "Maaf, keributan ini telah mengganggu tidurmu, Jenderal. Gelandangan ini harus kami usir karena berani mengaku-aku sebagai....."