Puing Puing Dinasti Jilid 24 karya Stevanus S.P - HELIAN KONG mengibaskan tangannya sambil tersenyum, "Dia memang Saudara iparku. Kakak isteriku. Dia juga putera dari Menteri Siangkoan yang sangat berbakti kepada dinasti Beng."
Komandan regu pengawal itu memucat mukanya. Ia menjatuhkan dirinya berlutut di depan Siangkoan Heng sambil berkata, "Maafkan aku, Tuan Siangkoan. Tadi aku tidak mempercayai kata-kata Tuan, karena dalam sehari ini sudah ada beberapa orang yang datang mengaku-aku sebagai sanak-keluarga Jenderal Helian."
Siangkoan Heng menarik napas, namun ia puas juga. Katanya, "Tidak apa-apa, sekarang kesalah-pahaman sudah dijernihkan. Hitung-hitung menghangatkan badan di malam yang dingin ini....."
Helian Kong mengajak iparnya masuk ke dalam. Setibanya di dalam, tanpa bertele-tele Siangkoan Heng langsung menceritakan tentang apa yang dilihat dan didengarnya tadi. Hanya saja unsur Ciam Lam-hoa sengaja dihilangkan dari ceritanya, sesuai dengan pesan Ciam Lam-hoa sendiri.
Kata Ciam Lam-hoa tadi, kalau Siangkoan Heng menyebut-nyebut dirinya di depan Helian Kong, tentu Helian Kong takkan percaya laporan itu. Sebab, kata Ciam Lam-hoa, Helian Kong sudah dihasut orang untuk tidak mempercayainya.
Helian Kong kini mendengar laporan Siangkoan Heng itu dengan wajah berkerut tegang dan gusar, tangannya terkepal. "Jadi kau lihat dan dengar sendiri komplotan mata-mata Manchu itu?" Siangkoan Heng mengangguk mantap. "Keparat-keparat Manchu itu, sudah kuduga mereka akan mengail di air keruh. Hanya kalau matahari terbit dari barat aku percaya Manchu takkan mengaduk Lam-khia dalam situasi ini. Rupanya Manchu berharap para pangeran dinasti Beng akan gontok-gontokan, tapi mereka kecewa bahwa yang mereka harapkan tidak terjadi. Maka sekarang mereka hendak membunuh Sri Baginda untuk mengacau negeri ini....." geram Helian Kong.
"Apa yang akan kau perbuat."
"Menumpas mereka malam ini juga, dengan pasukan yang kuat."
"Tetapi..... barangkali masih ada teman-teman mereka yang berkeliaran dalam kota Lam-khia dan belum berkumpul di tempat itu. Teman-teman mereka yang tidak ikut tertumpas itu bisa jadi penyakit di kemudian hari....."
Helian Kong tersadar oleh kata-kata iparnya itu, bahwa keputusannya untuk main tumpas itu terdorong oleh panas hatinya. Maka dia pun mengubah keputusannya, "Baik. Akan kutangkap hidup-hidup mereka, barangkali akan bisa ditanyai di mana teman-teman mereka. Meskipun para mata-mata Manchu terkenal nekad-nekad, lebih suka bunuh diri daripada membocorkan rahasia. Tetapi mudah-mudahan tidak semuanya begitu."
Begitulah, malam itu juga kakak beradik ipar itu menuju ke tangsi pasukan pengawal kota, pasukan bawahannya Helian Kong di Lam-khia itu. Tetapi sebelum berangkat, Helian Kong memberi kesempatan kepada saudara iparnya itu untuk bercengkerama sejenak melepas rindu dengan Siangkoan Yan dan si kecil Helian Beng. Hanya saja Siangkoan Heng mengelak kalau ditanya ke mana saja selama ini perginya.
Mereka kemudian menunggang kuda menuju ke tangsi pasukan Helian Kong. Helian Kong menduga, di tangsi itu tentu masih harus membuang sedikit waktu lagi untuk mengumpulkan para komandan bawahan, memberi pengarahan singkat, menyiapkan pasukan dan sebagainya.
Ternyata dugaan Helian Kong itu meleset. Ternyata pasukan di tangsi itu sudah dalam keadaan siap. Si wakilnya Helian Kong yang bernama Liu Kun-lim juga tidak lepas dari pakaian tempurnya, meski topi besinya tidak dipakai.
Dengan agak heran Helian Kong menanyai Liu Kun-lim, "Liu Cong-peng, seolah-olah kau sudah tahu lebih dahulu akan ada tugas penting. Kulihat kau dan pasukanmu dalam keadaan siap."
Liu Kun-lim menjawab dengan dalih yang masuk akal, "Bukankah Jenderal sendiri berpesan kepada kami, bahwa selama berlangsungnya perayaan penobatan Sri Baginda ini, pasukan kita harus bersiaga senantiasa. Hingga kalau ada keributan di mana saja di bagian-bagian kota ini, pasukan bisa digerakkan ke sana dengan cepat?"
Helian Kong menepuk pundak Liu Kun-lim sambil berkata, "Kau prajurit yang baik, Saudara Liu. Dan malam ini kita memang akan menumpas pengacau."
"Di mana, Jenderal? Siapa pengacaunya?"
"Di luar kota. Sekumpulan kaki tangan Manchu yang besok malam merencanakan membunuh Sri Baginda."
"Kurang ajar. Manchu benar-benar seperti anjing-anjing pemburu yang tahu di mana ada bangkai. Berapa pasukan harus kusiapkan Jenderal?"
"Seribu orang cukup. Ada berapa pucuk senjata api di tangsi ini?"
"Lima puluh. Kalau kurang bisa kuhubungi tangsi lain....."
"Tidak usah. Itu cukup. Siapkan mereka secepatnya."
Karena segalanya memang sudah siap sejak semula, maka tidak lama kemudian keluarlah pasukan itu dari tangsi. Paling depan berjalanlah Helian Kong sendiri, diapit Siangkoan Heng yang berpakaian sipil dan Liu Kun-lim.
Malam itu kemeriahan masih mewarnai seluruh kota Lam-khia. Pasukan itu pun berkali-kali berpapasan di jalan dengan kelompok-kelompok orang yang tengah bergembira. Namun orang-orang itu tidak takut kepada pasukan itu. Dalam waktu singkat di Lam-khia sudah menyebar luas berita bahwa Gubernur Militer yang baru ini orangnya baik, menyayangi rakyat kecil, berbeda dengan Gubernur Militer yang dulu yang suka galak.
Dengan Siangkoan Heng sebagai penunjuk jalan, pasukan itu langsung menuju ke luar kota, ke arah yang dikatakan sebagai "sarang mata-mata Manchu" itu. Waktu tempatnya sudah dekat, Siangkoan Heng berdesis memperingatkan, "Hati-hati, sudah dekat. Kalau kita lewati tikungan di depan itu, rumahnya sudah bisa terlihat."
Helian Kong memecah pasukannya jadi empat bagian, untuk mengepung rumah itu dari empat penjuru. Pesannya kepada para komandan pasukan, "Hati-hati, mungkin di antara mereka ada orang-orang berkepandaian tinggi yang cukup berbahaya. Gertak mereka dengan satu dua kali tembakan senjata api ke udara. Tetapi usahakan penangkapan hidup-hidup sebanyak mungkin orang, supaya bisa kita tanyai tentang jaringan mereka di Lam-khia ini."
Helian Kong sendiri memimpin satu kelompok yang langsung mendatangi rumah itu secara terang-terangan lewat depan. Sementara kelompok-kelompok lainnya mendekati sasaran dengan merunduk-runduk di antara rumput-rumput ilalang yang tinggi-tinggi dan pepohonan. Gelap malam dan kabut yang tergantung rendah, amat membantu kesenyapan gerakan pasukan itu.
Dua orang penjaga pintu bertubuh kekar itu kaget waktu Helian Kong bagai hantu tahu-tahu muncul di depan mereka. Sebelum mereka sempat bereaksi, tahu-tahu seluruh tubuh mereka sudah lumpuh karena Helian Kong menekan belakang telinga mereka dengan jempolnya.
"Ikat mereka....." perintah Helian Kong kepada prajurit-prajuritnya, suaranya hampir berbisik.
Sementara Helian Kong dan orang-orangnya menyelinap ke dalam lewat pintu yang sudah tidak terjaga lagi. Prajuritnya langsung menyebar di halaman. Lapisan terdepan prajurit-prajurit yang bersenjata tameng logam yang besar serta pedang, lapisan kedua adalah prajurit-prajurit bersenjata api yang sumbu bedilnya sudah dipasang dan sudah dalam posisi membidik. Bedil di abad 17 itu larasnya amat panjang, hingga supaya tidak goyang waktu membidik, bagian depan bedil dipegangi oleh seorang prajurit lain.
Helian Kong melihat keadaan rumah itu sunyi senyap dan gelap. Tetapi dari halaman belakang terdengar suara orang bercakap-cakap dan tertawa terbahak-bahak kadang-kadang. Helian Kong menangkap logat Liau-tong dari sebagian besar orang-orang itu, tetapi juga ada yang bicara dengan logat Ho-pak.
"Terang orang-orang Manchu....." pikir Helian Kong gusar.
Logat Liau-tong itulah tandanya. Liau-tong adalah wilayah timur laut, kampung halamannya orang Manchu. "Mungkin karena mereka biasa hidup di daerah utara yang bersalju, dan sekarang mereka di Lam-khia yang agak hangat ini, mereka tidak tahan dalam rumah dan memilih tetap di udara terbuka."
Yakin akan keunggulan pihaknya, juga kemampuan diri sendiri, Helian Kong melangkah mendekati orang-orang tanpa sembunyi-sembunyi setelah melewati halaman samping. Katanya langsung, "Tuan-tuan, Sri Baginda menyediakan penginapan di penjara, aku ditugaskan menjemput kalian....."
Kawanan orang-orang itu berlompatan bangun dan menghunus senjata mereka yang beraneka ragam. Tetapi Helian Kong mentertawakannya sambil menunjuk ke pasukannya sendiri, "Kalian terkepung, dan supaya tidak ada korban jiwa, kuberitahu bahwa ada lima puluh pucuk senjata api di pihak kami yang sumbu bedilnya sudah dipasang. Jadi, menyerah sajalah."
Orang-orang berlogat timur laut itu saling menoleh. Mereka ada yang bicara satu sama lain dengan bahasa daerah mereka. Ada yang mengangguk ada yang menggeleng, agaknya mereka sedang memutuskan mempertimbangkan tawaran Helian Kong itu. Beberapa orang tiba-tiba menjatuhkan senjata mereka, sambil berkata dalam bahasa Han yang terpatah-patah, "Aku..... menyerah. Jangan dibunuh....."
Helian Kong tercengang. Kabarnya para mata-mata Manchu itu amat militan, lebih suka mati daripada menyerah. Yang ini kok begitu gampang menyerah? Tidak seperti yang diberitakan orang. Namun bagaimanapun Helian Kong tidak bisa membuat banyak pertimbangan dengan keadaan yang membahayakan negerinya itu. Tak terbayangkan seandainya Kaisar Beng-te terbunuh, pasti para pangeran akan kembali memperebutkan singgasana yang kosong.
Kemudian, Helian Kong lebih lagi waktu yang lain-lain juga begitu gampang menyerah. Tadinya Helian Kong sudah membayangkan perlawanan sengit, mungkin akan ada banyak korban di kedua pihak, Helian Kong sendiri sudah menyiapkan diri menjadi pembunuh berdarah dingin. Tak terduga begitu mudah musuh menyerah. Baru digertak satu omongan saja tiba-tiba semuanya sudah meletakkan senjata. Apa-apaan ini?
"Apakah mereka sadar tak sanggup menghadapi kami yang berjumlah lebih banyak dan juga jerih melihat senapan-senapan itu." Helian Kong coba menjelaskannya kepada diri sendiri. Bagaimanapun ia merasa lega karena tidak harus jadi pembunuh.
Pasukan-pasukan lain yang berpencaran dipanggil berkumpul kembali, Liu Kun-lim terheran-heran melihat di situ tidak terjadi apa-apa. Tanyanya, "Tidak terdengar suara pertempuran, jenderal. Suara senjata tajam tidak terdengar, letusan bedil juga tidak, teriakan pun tidak. Apa yang terjadi?"
Helian Kong tertawa, "Sobat-sobat kita ini tahu diri dan bersikap tahu diri membuat kita harus perlakukan mereka dengan sopan. Ikat mereka, dan cepat kirim orang untuk melaporkannya kepada Jenderal Wan Heng-kui."
"Maaf, Jenderal Helian, bukannya aku membangkang perintahmu, tetapi ini cuma usul. Apa tidak lebih baik kalau Jenderal Helian sendiri yang melapor? Pahala Jenderal pasti akan dicatat, dan sebaiknya langsung melapor Sri Baginda saja. Kalau lewat Jenderal Wan, aku khawatir....."
"Khawatir apa?"
"Maaf lagi, bukannya menjelek-jelekkan atasan, tapi kalau lewat Jenderal Wan, mungkin yang bakal dapat muka terang dan pahala adalah..... Jenderal Wan. Kita mungkin takkan disebut-sebut sedikit pun di depan Sri Baginda....."
Helian Kong menarik napas, kebiasaan berebut cari muka di berbagai kalangan memang tidak aneh. Helian Kong sebenarnya benci keadaan itu, tetapi ia ingat pesan teman-temannya yang mendukungnya ke kedudukan Gubernur Militer di Lam-khia, teman-teman itu antara lain mengusulkan agar Helian Kong memperkuat posisi. Kalau perlu dengan cari muka, menjilat dan sebagainya yang memang biasa di kalangan politik.
Selama ini Helian Konglah yang terlalu lurus sehingga malah kelihatan aneh sendiri. Namun sekarang demi pesan teman-temannya itu, agar posisi Helian Kong makin kuat untuk bisa menjaga jalannya pemerintahan tetap di relnya, mau tidak mau Helian Kong harus mengikuti "aturan main"nya, ya cari muka dan menjilat tadilah.
Ia pun mengangguk, pesannya kepada Liu Kun-lim, "Baik, Liu Cong-peng, aku sendiri akan melapor kepada Sri Baginda, agar beliau waspada. Biarpun tidak sampai terjadi pertempuran, jasa-jasamu tetap akan kusebut, Liu Cong-peng."
Helian Kong menggunakan taktik "meraih ke atas, berakar ke bawah" yaitu dengan mengambil hati bawahannya juga. Begitulah Helian Kong serta Siangkoan Heng kembali ke kota Lam-khia. Adalah sama sekali di luar dugaan Helian Kong, bahwa sebelum ia mencapai pintu gerbang Lam-khia, dari arah depan terlihat iring-iringan megah pasukan istana yang jumlahnya lima ratus prajurit lebih.
Di bagian depan ada pembawa lampion-renteng yang digantung di atas sebatang bambu. Jumlah lampion cukup banyak, sehingga setiap wajah dalam rombongan itu bisa terlihat. Dan Helian Kong kaget melihat Kaisar Beng-te yang dulunya Pangeran Hok-ong itu pun ada di tengah rombongan itu, menunggangi kuda putih, tapi tidak memakai jubah kekaisarannya. Juga kepalanya hanya memakai pita kuning yang sederhana.
Biar pakaiannya biasa, namun warna serba kuning di pakaiannya sudah menunjukkan siapa dirinya dan kedudukannya. Warna kuning emas adalah warna kerajaan, tidak boleh dikenakan sembarang orang. Yang lebih mencengangkan Helian Kong ialah ketika melihat ada rombongan jenderal dari berbagai daerah yang saat itu memang sedang berhimpun di Lam-khia menghadiri penobatan raja baru.
Di antaranya terlihat jenderal-jenderal yang selama ini bersama Helian Kong ikut berperanan besar menjaga persatuan kerajaan, yaitu Jenderal The Ci-liong dan Jenderal Thio Hong-goan serta Laksamana The Seng-kong. Namun ketiga jenderal yang berperanan penting itu kini nampak "tenggelam" di tengah-tengah belasan jenderal lainnya.
Meskipun dalam hati masih bertanya- tanya, Helian Kong tidak lupa menjalankan peradatan. Ia melompat turun dari kudanya, berlutut di depan Kaisar Beng-te sambil berseru, "Ban-swe! Ban-swe! Hamba menyampaikan sembah kepada Tuanku." Siangkoan Heng ikut memberi hormat. Kaisar mengelus jenggotnya, katanya ramah, "Wah, Jenderal Helian, rajin benar kau dalam tugasmu mengamankan Lam-khia, hingga malam-malam begini sampai keluyuran di belukar luar kota sesepi ini?"
"Hamba hanya menjalankan tugas sebaik-baiknya, bukankah Lam-khia sekarang adalah Ibukota Kerajaan? Ampun Tuanku, hamba juga heran bahwa Tuanku dan sekalian jenderal berjalan-jalan sampai di tempat ini."
Sahut Kaisar, "Tadi kami sebenarnya sedang berpesta, tiba-tiba Kok-su (Penasehat Negara) Lam Peng-hi punya usul, bagaimana kalau keluar dan melihat-lihat keadaan rakyat yang sedang bergembira? Katanya, selain melihat rakyat, juga membiarkan diri dilihat oleh rakyat agar terjadi ikatan batin. Bukankah begitu, Kok-su?"
Lam Peng-hi yang duduk di atas kuda agak di belakang Kaisar, memajukan kudanya sedikit, sambil menjawab, "Benar, Tuanku. Kata kitab nabi, raja dan rakyat ibarat ayah dan anak-anaknya. Bagaimana negara bisa kuat kalau yang menguasai dan yang dikuasai tidak punya hubungan batin?"
Para jenderal yang ikut dalam rombongan itu pun mengangguk-angguk, bertambah simpati mereka kepada kaisar yang "sangat memperhatikan rakyat" itu. Hanya The Ci-liong, Thio Hong-goan serta The Seng-kong yang pernah tahu tindak-tanduk Kaisar waktu masih jadi Pangeran, diam-diam cuma mentertawakannya dalam hati. Namun ketiga jenderal ini tidak bersuara menentang, mereka sadar bahwa Kaisar takkan terlalu menggubris lagi suara mereka. Berbeda ketika masih menjadi pangeran dulu.
Sementara Kaisar berkata pula, "Kami senang melihat rakyat bergembira, mudah-mudahan Langit mengaruniakan kemampuan kepadaku untuk membuat rakyat selalu gembira. Kemudian kami juga memutuskan untuk melihat-lihat keadaan di luar kota, sampai bertemu denganmu, Jenderal Helian."
Helian Kong menjawab dengan hormat, "Tuanku, demi keselamatan Tuanku dan para jenderal yang menjadi pilar-pilar penopang dinasti Beng ini. Sebab hamba khawatir wilayah di luar kota ini belum aman benar."
"Ada apa di sini?"
"Malam ini hamba menerima laporan, di sekitar sini ada gerak-gerik sekelompok orang berlogat daerah Liau-tong yang kami duga sebagai mata-mata Manchu. Hamba berhasil membekuk mereka semua, tapi hamba khawatirkan masih ada yang berkeliaran dan membahayakan rombongan Tuanku."
Kaisar menunjukkan sikapnya yang bernyali besar, "Kalau kau sudah berhasil membekuk mereka, Jenderal Helian, aku pikir keadaan sudah terkendali olehmu. Seandainya, masih ada yang berkeliaran, mereka takkan membahayakan kami, lihat saja pengawal kami....."
Helian Kong menggerutu dalam hati, "Enak saja kau bicara. Kau belum lihat Kun-su (Penasehat Militer) Manchu yang bernama Kat Hu-yong yang punya ilmu Bu-heng To-hoat (Ilmu Golok Tanpa Wujud) yang dapat membacok orang dari jarak beberapa meter hanya dengan ayunan telapak tangannya yang menimbulkan aliran udara setajam golok....."
Helian Kong makin cemas ketika mendengar Lam Peng-hi berkata kepada Kaisar, "Tuanku, mumpung sudah sampai di sini, bagaimana kalau kita lihat tampang orang-orang yang dicurigai sebagai mata-mata Manchu itu. Hamba yang akan menanggung keselamatan Tuanku....."
Mulut Helian Kong sudah bergerak hendak mencegah, tetapi Kaisar sudah berkata dengan bersemangat, "Baik. Mari kita lihat begundal-begundal Manchu itu."
Kaisar sudah memajukan kuda putihnya untuk meneruskan perjalanan, tetapi Helian Kong berlutut di tengah jalan, hingga terpaksa Kaisar menghentikan kudanya. "Ada apa lagi, Jenderal Helian?"
"Ampun Tuanku, hamba rasa..... tetap ada resiko yang kurang baik bagi Tuanku. Tuanku sebagai tali pengikat persatuan negeri ini, tentu akan mendapatkan perhatian istimewa dari pihak musuh."
Bukan Kaisar yang menjawab, malahan Lam Peng-hi si Penasehat Kerajaan yang bekas guru silat di Tiat-ciang Bu-siau itu, "Jenderal Helian, apa yang kau sembunyikan di tempat itu, hingga kau takut kami lihat ke sana?"
Helian Kong panas hatinya, tapi menahan emosinya demi persatuan, "Tidak ada pertimbangan lain kecuali keselamatan Sri Baginda."
"Tidak ada resiko sama sekali. Kau sendiri tadi melaporkan bahwa mereka sudah dibekuk semua, artinya sudah cukup aman. Sri Baginda juga dikelilingi orang sebanyak ini. Kalau tidak ada apa-apa yang ingin kau sembunyikan dari kami, kau takkan merintangi kami."
Helian Kong tidak menggubris kata-kata Lam Peng-hi yang bernada mencurigai itu, namun Jenderal Thio Hong-goan yang rada berangasan itu yang menjawab, "Kami semua kenal betul semangat pengabdian Jenderal Helian terhadap tanah air. Apa yang dikatakannya selalu dikatakan dengan jujur, tidak ada maksud-maksud tersembunyi lain!"
Kaisar cepat-cepat menengahi perselisihan antara bawahan-bawahannya itu, "Sudahlah. Aku ingin lihat mata-mata Manchu itu, aku yakin aku aman."
Demikianlah, rombongan besar itu lalu menuju ke rumah terpencil di luar kota tadi. Helian Kong lalu menunjukkan jalan, sambil meningkatkan kewaspadaannya, sebab kini ia bertanggung-jawab juga atas keselamatan Kaisar. Meskipun ada pula Ma I-thian sebagai komandan pengawal Kaisar, ada pula Lam Peng-hi yang menepuk dada akan melindungi Kaisar.
Mereka pun tiba di rumah itu yang nampak masih dijaga oleh pasukan yang dibawa Helian Kong tadi. Liu Kun-lim dan prajurit-prajurit lainnya bergegas berlutut waktu melihat Kaisar sendiri datang menunggangi kuda putih, meski tidak mengenakan jubah kekaisarannya. Seruan "ban-swe" dari sekalian prajurit itu pun menggema di malam sunyi.
Helian Kong diam-diam cemas kalau seruan itu didengar oleh kaki-tangan musuh yang belum tertangkap dan masih bersembunyi di kegelapan. Itu bisa merangsang musuh untuk melakukan suatu tindakan. Helian Kong masih saja membayangkan si Penasehat Militer Manchu yang berilmu tinggi, Kat Hu-yong, yang pasti takkan tertandingi oleh Lam Peng- hi biarpun Lam Peng-hi besar omongnya.
Tak terduga sikap Helian Kong yang gelisah itu kembali "disodok" oleh Lam Peng-hi, "Jenderal Helian, apa yang membuatmu gelisah?"
Maka pandangan orang banyak kembali diarahkan kepada Helian Kong, dan di bawah cahaya lampion memang terlihat Helian Kong gelisah. Lam Peng-hi kembali memanfaatkan kesempatan itu untuk membentuk pandangan banyak orang atas diri Helian Kong, menurut rencana Lam Peng-hi, "Agaknya ada sesuatu yang dikhawatirkan Jenderal Helian, yang tidak ingin dilihat oleh kita."
Jenderal Thio Hong-goan hampir habis sabarnya. Biarpun dia tahu Lam Peng-hi berilmu silat jauh lebih mahir dari dirinya, tapi Thio Hong-goan sudah menggenggam tangkai pedangnya hendak melabrak Lam Peng-hi. Untung Laksamana The Seng-kong memegangi lengannya sambil membisikinya, "Jangan memperkeruh suasana, Saudara Thio."
Thio Hong-goan menahan diri, lalu menjawab dengan bisikan pula, "Lam Peng-hi mencoba mengguncang kedudukan Helian Kong. Padahal Helian Konglah yang kita andalkan di Lam-khia ini untuk mengawasi pemerintahan yang baru, setelah kita pulang ke daerah masing-masing nanti....."
"Sabarlah. Mungkin benar dia berusaha mengguncang Helian Kong, tetapi usahanya itu belum sampai membahayakan Helian Kong. Kita lihat keadaan dulu."
Akhirnya Thio Hong-goan pun melepaskan telapak tangannya dari gagang pedangnya. Sementara itu, Kaisar sudah turun dari kudanya, lalu bertanya kepada Liu Kun-lim, "Apakah aman kalau aku melihat mata-mata Manchu itu?"
Liu Kun-lim menjawab mengejutkan, "Aman Tuanku. Mereka sudah jadi mayat semua....."
Helian Kong terkesiap hebat. Orang-orang yang diduga kaki tangan Manchu itu sudah jadi mayat semua? Bukankah belum lama berselang, ketika ditinggalkan Helian Kong, mereka sudah menyerah dan diikat dan tidak terjadi pertempuran sedikitpun?
Kembali Lam Peng-hi bertanya, "Komandan Liu, tadi Jenderal Helian bilang, semua tawanan tertangkap hidup-hidup. Kenapa kau bilang mereka mati semua?"
Dengan mimik muka yang meyakinkan, mimik muka seorang pemain sandiwara ulung yang menunjukkan sikap seolah-olah kaget dan heran, Liu Kun-lim menatap Helian Kong. Lalu di depan semua orang, kata-katanya membuat Helian Kong serasa disambar petir kagetnya, "Tentu saja mati semua, sebab tadi Jenderal Helian memerintah agar mereka dibunuh semua tanpa ampun! Kata Jenderal Helian, demi keamanan negara."
Helian Kong sangat gusar mendengar kata-kata wakilnya itu. Tetapi saking gusarnya, ia malah tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun, cuma bibirnya yang pucat itu bergerak-gerak kecil tanpa suara. Nalurinya yang tajam, berdasarkan pengalamannya yang panjang berkecimpung di panggung politik, membuat Helian Kong mulai merasa ada jaring perangkap yang sedang diarahkan kepadanya.
Lam Peng-hi geleng-geleng kepala sambil mengelus-elus jenggot putihnya, "Sayang, mestinya mereka bisa ditanyai tentang rahasia komplotan mereka....."
Waktu itu bukan cuma Helian Kong yang terhempas dalam kebingungan, melainkan juga Siangkoan Heng. Dia pun bukan orang tolol. Biarpun selama ini kelihatan tolol karena sedang mabuk asmara kepada Ciam Lam-hoa yang disangkanya Kongsun Giok, namun saat itu otaknya jernih kembali. Ia merasa bahwa saudara iparnya seperti sedang dipojokkan. Tetapi kalau ia bicara, siapa mau mendengar?
Caranya Lam Peng-hi menggiring pendapat orang banyak dan menimbulkan kecurigaan, memang hebat. Kini para jenderal timbul kesannya bahwa si Gubernur Militer Lam-khia yang baru ini seolah-olah ingin menutup-nutupi sesuatu, dan ini justru menambah penasaran mereka untuk mengetahui apa yang "ditutup-tutupi Helian Kong" itu.
Hanya Jenderal The Ci-liong serta anaknya, Laksamana The Seng-kong, serta Jenderal Thio Hong-goan, yang tahu ketulusan dan kejujuran Helian Kong. Namun mereka bertiga pun sadar, andaikata bicara membela Helian Kong juga akan kalah suara.
Dalam situasi meragukan itulah Sang Kaisar yang baru tampil dengan sikap bijaksananya yang mempesona, "Sudah, selagi kita harus bersatu memperkuat negeri, buat apa kita mempertengkarkan kematian beberapa orang kaki tangan musuh? Barangkali Jenderal Helian sudah melakukan hal yang benar, demi keselamatan tanah air."
Helian Kong yang sudah agak tenang, sekarang dapat membantah dengan mata bernyala marah kepada Liu Kun-lim, namun kata-katanya ditujukan kepada Kaisar, "Ampun Tuanku, hamba benar-benar tidak ingat kapan memerintahkan membunuh orang-orang itu. Orang-orang itu menyerah begitu digertak dengan senjata api, tidak terjadi pertempuran sedikit pun, hamba hanya memerintahkan agar mereka diikat dan dijaga."
"Benar begitu, Komandan Liu?" tanya Kaisar kepada Liu Kun-lim.
Dengan wajah sedih yang meyakinkan, Liu Kun-lim menjawab, "Ampun Tuanku, hamba kira..... Jenderal Helian terlalu lelah dengan tugas-tugasnya yang bertumpuk dalam beberapa hari ini, sehingga jadi pelupa. Tadi benar-benar Jenderal Helian memerintahkan....."
"Keparat!" meledak juga Helian Kong, sambil melangkah ke arah Liu Kun-lim. Liu Kun-lim beringsut menjauh dengan sikap gentar.
Untung Lam Peng-hi cepat-cepat menghadang langkah Helian Kong sambil tertawa-tawa, "Tunggu, Jenderal. Kau tidak boleh begitu saja membungkam orang yang tidak sekata denganmu. Memangnya hanya kau saja yang boleh didengar?"
Kaisar kembali berkata, "Aku bilang, persoalan jangan diperpanjang lagi. Mari kita lihat kaki-tangan Manchu itu, hidup atau matinya mereka, takkan mempengaruhi persatuan yang sedang kita galang dan kita perkokoh."
Ma I-thian sebagai orang yang paling bertanggung-jawab untuk keselamatan Kaisarnya, segera mendahului masuk rumah "sarang mata-mata" itu, setelah ia keluar kembali melaporkan keadaan aman, baru Kaisar dan panglima-panglimanya masuk. Apa yang dilihat di halaman belakang rumah itu memang sangat mengejutkan para panglima, termasuk Helian Kong sendiri yang tidak menyangka keadaannya akan begitu berbeda dengan ketika ditinggalkan tadi.
Sebab yang bergeletakan tewas sebagai "kaki tangan Manchu" itu ada puluhan orang banyaknya. Namun mereka bukan lelaki-lelaki kekar berlogat Liau-tong yang Helian Kong tangkap tadi, melainkan orang-orang yang terdiri dari orang-orang tua, anak-anak, wanita, bahkan ada wanita hamil pula. Semuanya terbunuh.
Helian Kong merasa berkunang-kunang melihatnya. Dengan mata bersinar marah, ia tatap Liu Kun-lim sambil bertanya, "Liu Cong-peng, mana orang-orang yang tadi?"
Liu Kun-lim sebenarnya sudah keder hatinya melihat sikap Helian Kong, namun ia menjawab sesuai "skenario" meskipun tanpa berani menatap mata Helian Kong, "Orang-orang yang mana lagi, Jenderal? Ya orang-orang inilah yang tadi Jenderal perintahkan untuk dibunuh habis....."
"Aku tidak percaya!" kali ini Thio Hong-goan tak tercegah lagi, membela Helian Kong. "Biarpun belum lama kukenal Jenderal Helian, kukenal kepribadiannya. Tidak mungkin dia menyuruh membunuh golongan orang-orang lemah tak bersenjata ini!"
Lam Peng-hi tertawa dingin sambil menunjuk mayat-mayat yang bergelimpangan itu, "Lalu..... bukti-bukti ini, Jenderal Thio?"
"Pasti ada yang ingin memfitnah Helian Kong, menyingkirkan dia dari kedudukannya!"
Lam Peng-hi tidak cepat-cepat membantah, tanyanya, "Mungkin saja. Kira-kira pihak mana, Jenderal Thio? Punya dugaan, dan bukti?"
Thio Hong-goan agak kelabakan, tetapi ia ngotot terus, "Yang ingin Helian Kong tersingkir tentu saja yang menganggap ketulusan dan kesetiaan Helian Kong sebagai duri dalam dagingnya. Pihak yang tidak bisa mengajak Helian Kong ikut dalam komplotan busuknya!" Dalam luapan hatinya yang panas, Thio Hong-goan sudah mulai menjuruskan kata-katanya.
Seorang jenderal berwajah kurus ikut bicara di sela-sela suara napasnya, agaknya ia penderita bengek, "Jenderal Thio, siapa yang kau maksudkan?"
Thio Hong-goan bungkam, ia memang tidak mampu menjawab. Tidak ada bukti yang bisa disodorkan.
Kaisar Beng-te geleng-geleng kepala dan menatap mayat-mayat itu, lalu menatap Helian Kong. Tanyanya, "Jenderal Helian, mereka inikah yang kau anggap sebagai mata-mata Manchu, lalu kau perlakukan begini keras? Wanita, anak-anak dan orang-orang tua tidak bersenjata?"
Jantung Helian Kong serasa menggelegak. Dia mengerti sekarang bahwa agaknya Kaisar sendiri pun ingin menyudutkannya. Masuk akal. Kaisar Beng-te tentu ingin pemerintahannya dikelilingi pembantu-pembantu lama yang bisa dipercaya, bekas anggota-anggota komplotannya ketika ia masih bernama Pangeran Hok-ong dulu. Helian Kong sama sekali bukan komplotannya, bahkan tergolong "susah diatur".
Dan Helian Kong yang susah diatur ini akan menjadi "tulang ikan di tenggorokan" Kaisar Beng-te karena kedudukannya sebagai Gubernur Militer di Lam-khia. Helian Kong bisa maklum kalau Kaisar ini mengangkatnya sebagai Gubernur Militer dengan amat terpaksa, karena menuruti usul Jenderal The Ci-liong dan lain-lainnya.
Yang membuat Helian Kong amat gusar bukan karena ia begitu menyayangi kedudukannya, sebab Helian Kong pun menerimanya hanya setelah didesak Jenderal The dan lain-lainnya, melainkan kematian begitu banyak orang tak berdosa hanya untuk dijadikan bukti palsu untuk memojokkannya.
"Jenderal Helian, Sri Baginda bertanya kepadamu!" kata Lam Peng-hi dengan pongah ketika melihat Helian Kong membungkam sekian lama.
Helian Kong menatap tajam ke arah Kaisar, dan Kaisar bergidik ngeri, tak terasa mundur selangkah. Helian Kong mencopot topi kebesarannya lalu menjatuhkan di tanah. Kata-katanya tidak bernada marah, namun sedih,
"Kau tidak suka aku menduduki jabatan sebagai Cong-tok di Lam-khia, katakan saja baik-baik dan aku akan mengundurkan diri. Kenapa harus mengatur cara yang berbelit, dengan mengorbankan nyawa anak-anak, wanita dan orang-orang tak bersalah ini? Sekarang juga aku meletakkan jabatan. Akan kuambil anak-isteriku dan kubawa pergi dari Lam-khia. Tidak perlu khawatir, aku takkan menjadi duri dalam daging. Aku mencintai negeri ini dan takkan mengeruhkan suasana hanya menuruti kemarahanku..."
Semua orang seolah menjadi patung melihat tindakan Helian Kong itu. Sebagian kecil yang memang tidak suka melihat Helian Kong yang "susah diatur" itu menjabat sebagai Cong-tok di Lam-khia, tentu saja diam-diam gembira melihat sikap itu. Liu Kun-lim yang dijanjikan untuk menjadi Cong-tok, menggantikan Helian Kong, adalah yang paling gembira.
Yang panas hati adalah orang-orang seperti Jenderal The Ci-liong, Jenderal Thio Hong-goan dan Laksamana The Seng-kong. Merekalah orang-orang yang mempercayai kejujuran Helian Kong, mereka yakin Helian Kong tidak mungkin melakukan pembunuhan sebiadab itu. Mereka yakin bahwa Helian Kong dijebak untuk digulingkan dari kedudukannya. Tetapi mereka pun sadar bahwa mereka tidak berdaya membela Helian Kong.
Dulu, sebelum Pangeran Hok-ong dilantik jadi Kaisar Beng-te, mereka bersama Helian Kong memang masih merupakan kekuatan penekan yang harus diperhitungkan baik-baik oleh Pangeran Hok-ong. Dan mereka pula yang berhasil menggolkan usul agar Helian Kong dijadikan Cong-tong di Lam-khia. Tetapi kini, setelah Pangeran Hok-ong bertahta dan dikelilingi kaki tangannya yang setia, Jenderal The dan kawan-kawannya sudah bukan apa-apa lagi.
Apalagi di Lam-khia berkumpul belasan jenderal dari berbagai daerah yang siap mendukung Kaisar yang baru tanpa pikir panjang. Merekalah para jenderal yang sekedar menuruti arah angin supaya kedudukannya aman, tidak berani mengambil pendirian untuk "menentukan arah angin" seperti Jenderal The dan kawan-kawannya.
Golongan ketiga adalah yang baru saja datang di Lam-khia, orang-orang yang tidak tahu ujung-pangkal persoalannya, mereka cuma menduga-duga di balik itu semuanya tentu ada "permainan" tapi tidak tahu permainan apa.
Sementara itu, si Penasehat Kerajaan, Lam Peng-hi yang sedang giat-giatnya cari muka kepada Kaisar baru, telah melangkah ke depan dan berkata, "Jenderal Helian, dengan siapa kau bicara? Sopankah kata-katamu dan sikapmu?"
Helian Kong tidak dapat menahan diri melihat wajah Lam Peng-hi yang munafik itu. Tiba-tiba saja ia melangkah cepat ke arah Lam Peng-hi sambil menjulurkan cengkeramannya ke tulang pundak Lam Peng-hi. Lam Peng-hi terkesiap, serangan itu begitu mendadak. Padahal seandainya tidak mendadak pun belum tentu Lam Peng-hi bisa menandingi Helian Kong.
Tetapi Guru besar Perguruan Telapak Besi itu cukup tangkas. Ia tarik sebelah kakinya selangkah mundur kembali sambil merendahkan diri, sambil telapak tangan kirinya menepuk ke sambungan siku lengan Helian Kong untuk mematahkannya. Namun serangan itu luput, sebab dengan langkah secepat angin Helian Kong telah berganti sudut dan sudah di belakang Lam Peng-hi.
Lam Peng-hi berkeringat dingin, dan tidak sempat mengubah sikap untuk menanggulangi gerak-gerik Helian Kong. Tahu-tahu lengannya telah tercengkeram dan dipelintir ke atas, begitu menyakitkan serasa hampir patah. Untuk mengurangi tekukan di lengannya, ia harus membungkuk.
Helian Kong menendang belakang lutut Lam Peng-hi sehingga Penasehat Negara itu semakin menungging, cengkeraman atas lengannya tidak dilepas. Helian Kong memaksa Lam Peng-hi terus menungging sampai makin dekat debu.
Lam Peng-hi serba salah. Menahan diri untuk tidak lebih membungkuk lagi, lengannya bisa patah. Tetapi kalau mau menyelamatkan lengannya, mukanya harus mencium debu. Dia Guru-besar Perguruan Telapak Besi sekaligus Penasehat Kerajaan, mencium debu di depan orang sebanyak itu?
Melihat Lam Peng-hi masih bersitegang tidak mau mencium debu, Helian Kong gunakan sebelah kakinya untuk menginjak tengkuk Lam Peng-hi sehingga akhirnya muka itu benar-benar melesak ke dalam debu.
Lam Peng-hi merasakan tengkuknya ditindih gunung batu, tak peduli ia mengerahkan kekuatannya, sementara lengannya yang masih dipegangi dan dipelintir itu benar-benar serasa hampir patah. Untung tidak ada yang melihat Lam Peng-hi mencucurkan air mata saking sakit dan malunya!
Helian Kong menatap berkeliling, katanya tajam, "Bukan suatu permulaan yang baik, bahwa saat itu baru saja menemukan persatuan dan menobatkan seorang Kaisar, tahu-tahu di antara kita sudah muncul perpecahan dan saling fitnah. Aku tidak tahu apa peranan si penjilat tua she Lam ini, tetapi peringatanku untuk semua! Biarpun aku akan menghilang dari Lam-khia dan meletakkan jabatan, aku akan terus mendengarkan berita-berita apa yang terjadi. Begitu kudengar ada rakyat kecil yang diperlakukan sewenang-wenang, siapapun yang bertanggung-jawab akan kuambil batok kepalanya!"
Lalu Helian Kong menatap wajah Kaisar Beng-te yang memucat, menuding dengan tangannya yang tidak sedang memegangi lengan Lam Peng-hi, "..... tidak terkecuali kau! Kau perketat penjagaan di istanamu pun aku akan tetap bisa menyelundup masuk dengan seribu satu macam akal! Tetapi bila kau perlakukan rakyat secara baik-baik, aku pun takkan mengusikmu!"
Kaisar Beng-te yang semula pongah itu, sekarang cuma bisa mengangguk-angguk kelu. Helian Kong tertawa dingin, kepada para jenderal ia berkata, "Tuan-tuan, jangan sampai kalian terpecah-belah karena sebagian membela aku dan sebagian memusuhi aku. Jangan. Kalianlah tiang-tiang negeri ini, dan musuh kalian yang sejati ialah penjajah Manchu! Selamat mengabdi!"
Lalu Helian Kong menyentakkan tangannya dan menjeritlah Lam Peng-hi. Kemudian pingsan. Sebelah tangannya betul-betul dipatahkan oleh Helian Kong, maka ia akan menjadi orang yang cacad sebelah tangannya, seumur hidup.
Habis itu Helian Kong berkelebat pergi seperti segumpal asap saja, langsung menghilang ke dalam kegelapan malam. Siangkoan Heng sudah pergi lebih dulu, agaknya tadi menyelinap diam-diam selagi semuanya bertengkar dengan tegang. Siangkoan Heng didera perasaan bersalah, bahwa ia telah dikecoh dan diperalat oleh "Kongsun Giok" untuk menjatuhkan Helian Kong.
Lam Peng-hi merintih-rintih, ia tidak pingsan. Mukanya penuh debu yang melekat. Dalam keadaan kesakitan setengah mati, ia memerintah para prajurit, "Tangkap bedebah Helian Kong itu..... tangkap dia....."
Namun tidak satu pun prajurit yang bergerak menuruti perintahnya, maklum para prajurit itu tidak di bawah Penasehat Kerajaan melainkan di bawah Panglima tertinggi, Jenderal Wan Heng-kui, yang dari tadi cuma berdiri kebingungan saja.
Sementara Helian Kong langsung ke tempat kediaman megahnya, mengambil anak isterinya dan malam itu juga mereka menyelundup keluar dari Lam-khia. Anak isterinya dinaikkan tandu, dan ketika melewati pintu gerbang maka prajurit-prajurit di pintu gerbang tidak menghalanginya sebab masih menyangka Helian Kong sebagai Cong-tok di Lam-khia, atasan mereka.
Baru keesokan harinya, di seluruh Lam-khia ditempelkan gambar wajah Helian Kong sebagai buronan. Penggeledahan besar-besaran dilakukan di Lam-khia, Helian Kong secara resmi dituduh sebagai "pemberontak" dan "membunuh rakyat yang tidak berdosa". Tentu saja penggeledahan Lam-khia dan sekitarnya itu sia-sia.
Malah beberapa malam kemudian Lam-khia gempar. Soalnya, ketika Kaisar Beng-te pagi-pagi bangun dari tidurnya, tahu-tahu di sebelah bantalnya sudah terdapat bangkai burung merak kesayangannya, kepala hewan itu lenyap, ranjangnya berlepotan darah. Kaisar Beng-te sampai hampir pingsan saking kagetnya. Pada tembok tertulis huruf-huruf yang agaknya ditulis dengan darah burung merak. Tulisannya :
"Salam hormat dari hamba yang hina."
Helian Kong.
Itulah bukti dari ancaman Helian Kong beberapa malam sebelumnya, bahwa kalau mau ia bisa mengambil kepala Kaisar, namun hal itu tidak dilakukan mengingat kepentingan negeri. Kaisar pun mencaci habis-habisan komandan pengawal pribadinya, Ma I-thian, tetapi tidak dipecat atau digantikan orang baru. Akan lebih besar resikonya kalau dikawal orang-orang baru yang belum diketahui sampai di mana kesetiaannya.
Namun Kaisar rupanya gentar ancaman Helian Kong itu, sehingga perintah penangkapan terhadap Helian Kong lalu dicabut. Meskipun diprotes Lam Peng-hi yang telah menjadi orang cacad seumur hidup dan dendamnya kepada Helian Kong setinggi langit.
Jenderal Thio Hong-goan pulang ke pasukannya di Ciat-kang. Ayah-beranak Jenderal The Ci-liong dan Laksamana The Seng-kong pulang ke Hok-kian. Namun setibanya di Hok-kian, umur Jenderal The yang memang sudah lanjut itu tidak bertahan lama lagi, meninggal dunia.
Puteranya, merasakan bumi Hok-kian yang diinjaknya makin panas karena sikap tidak bersahabat dari jenderal-jenderal lain yang dikendalikan dari Lam-khia. Maka Laksamana The Seng-kong pun memboyong keluarganya dan seluruh prajuritnya bersama keluarga prajurit-prajuritnya, dengan kapal-kapal armadanya menuju ke Pulau Taiwan. Pangeran Cu Sam, putera Kaisar Cong-ceng almarhum, juga dibawa ke Taiwan.
Di pulau itu, ibaratnya sebuah negara merdeka, The Seng-kong dan armada lautnya merupakan kekuatan yang disegani dari Laut Kuning sampai Laut Cina Selatan. Pengikut-pengikutnya memanggilnya Kong-seng-ya. Catatan pelaut-pelaut Belanda mencatat adanya "raja bajak laut" bernama Coxinga.
Sementara Kaisar Beng-te harus segera menggalang kekuatan untuk menanggulangi tekanan yang makin terasa dari utara.