Si Tangan Halilintar Jilid 07

Novel silat Mandarin Si Tangan Halilintar Jilid 07 karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Si Tangan Halilintar Jilid 07 karya Kho Ping Hoo - Mereka kembali ke gedung Panglima Thio membawa Ma Giok sebagai tawanan. Thio-ciangkun menyambut mereka dengan gembira sekali. Setelah mengeluarkan pujian terhadap Lui Tiong dan Heng San, Panglima Thio memperkenankan mereka mengaso.

Novel silat Mandarin Si Tangan Halilintar karya Kho Ping Hoo

Dan Ma Giok lalu dimasukkan ke dalam penjara yang berada di bagian belakang gedung itu, dikurung dalam sebuah kamar tahanan yang kokoh dilapis baja dan berjeruji baja pula, masih dijaga oleh enam orang perajurit di luar kamar tahanan.

Heng San yang masih terkenang dengan rasa prihatin kepada Ma Hong Lian, segera memasuki kamarnya dan merebahkan diri di atas pembaringan tanpa berganti pakaian atau melepas sepatunya. Dia rebah telentang dan termenung memikirkan keadaan Hong Lian.

Wajah gadis itu tak dapat dia lupakan, selalu terbayang dan ia merasa kasihan sekali. Dia merasa menyesal mengapa gadis sehebat itu demikian tersesat dan mau menjadi anggauta pengacau dan pemberontak.

Teringat dia akan pertemuan mereka pertama dahulu. Ketika itupun Hong Lian sedang melakukukan pencurian dan menotok tuan rumah dan isterinya. Sekarang malah menjadi anggauta gerombolan pengacau dan pemberontak. Sungguh sayang! Sayang gadis sejelita dan segagah itu, yang amat menawan hatinya, menjadi seorang penjahat!

"Ahh... Hong Lian... Hong Lian….!" Dia berbisik dan mencoba untuk memejamkan matanya, mencoba untuk tidur, melupakan segalanya, melupakan rasa nyeri di pundaknya yang terluka yang tidak berapa hebat kalau dibandingkan dengan rasa nyeri di dalam hatinya.

Heng San sama sekali tidak tahu bahwa pada saat itu, Lui Tiong yang baru saja memasuki kamarnya sendiri, harus keluar pula karena dipanggil Thio Ci Gan. Panglima itu menerimanya dalam kamar rahasia, di mana kini hanya mereka berdua yang duduk berhadapan.

"Ciangkun memanggil saya…” tanya Lui Tiong setelah memberi hormat.

Dia dipersilakan duduk dan panglima i tu bertanya dengan suara tegas. "Sekarang, ceritakanlah sejelasnya tentang, penyerbuan itu dan bagaimana mungkin sampai Lauw Heng San terluka oleh gadis puteri kepala gerombolan mata-mata pemberontak itu."

Lui Tiong merasa bahwa dalam suara atasannya terkandung kebimbangan dan kecurigaan. Hal ini menyenangkan hatinya karena dia sendiripun sudah menaruh hati curiga dalam peristiwa itu. Di samping itu, di dasar hatinya Lui Tiong memang merasa tidak senang kepada Heng San, rasa tidak senang yang timbul dari iri hati.

Bagaimanapun juga pemuda itu telah menggeser kedudukannya sebagai orang ke dua dalam jajaran para jagoan di situ sedangkan pemuda itu menjadi orang pertama walaupun sikap Panglima Thio masih condong percaya kepadanya.

"Saya sendiri juga merasa heran ciangkun. “Saya dan Kam Eng berjaga di luar dan kami berdua bertemu dan bertanding melawan Ma Ciok dan seorang muridnya. Ma Ciok itu lihai sekali, akan tetapi setelah Kam Eng merobohkan lawannya kemudian Kam Seng datang pula membantu, saya dapat melukai dan menangkapnya. Akan tetapi saya merasa heran mengapa Lauw-te yang memiliki ilmu Silat sedemikian tingginya, dapat terluka oleh gadis itu dan membiarkan ia lolos!"

Panglima Thio mengelus jenggotnya dan kedua alisnya berkerut. Tiba-tiba dia bertanya, "Lui-sicu, engkau yang pernah melihat gadis itu, bagaimana wajahnya? Apakah dia cantik?"

"Gadis itu cantik jelita sekali, ciangkun. Usianya sekitar delapan belas tahun dan iapun memiliki bentuk tubuh yang menggairahkan. Tarian pedangnya indah sekali. Pendeknya, ia memiliki daya tarik yang luar biasa bagi pria."

"Hemm…. hemmm…. apakah tidak mungkin Heng San sengaja melepaskannya karena dia jatuh hati kepada gadis itu?" Thio-ciangkun menggumam, mengerutkan alisnya semakin dalam.

"Hal itu besar sekali kemungkinannya, ciangkun. Lauw-te adalah seorang pemuda yang sudah cukup dewasa, tidak akan mengherankan kalau dia tergila-gila kepada wanita cantik."

"Akan tetapi setahuku, selama di sini dia tidak pernah keluar bersenang-senang dengan wanita seperti yang lain."

"Mungkin dia malu-malu dan takut-takut karena tidak ada pengalaman. Akan tetapi saya melihat sinar matanya bercahaya ketika dia melihat…. melihat…. Nona Siang... eh, maafkan kelancangan saya, ciangkun."

"Melihat Kui Siang maksudmu?" tanya Thio-ciangkun sambil memandang pembantunya dengan sinar mata penuh selidik "Tidak apa, aku tidak marah, ceritakan bagaimana ketika Heng San melihat Kui Siang."

Yang disebut Nona Siang adalah seorang gadis berusia sembilan belas tahun yang tinggal di gedung itu dan disebut Siang Siocia (Nona Siang) oleh semua orang seperti yang dikehendaki gadis itu sendiri. Ia seorang gadis yang cantik jelita dan lemah lembut, halus budi dan ramah. Semua. orang mengetahui bahwa biarpun ibu gadis itu merupakan seorang isteri kedua dari Panglima Thio yang amat disayang, namun Kui Siang bukanlah anak kandungnya, melainkan anak tirinya.

Dan agaknya gadis itu juga tidak merahasiakan bahwa ia bukan puteri kandung Thio Ci Gan, karena kalau ditanya she-nya (nama marganya) ia akan menjawab bahwa nama marganya adalah Bu, nama lengkapnya Bu Kui Siang! Akan tetapi ia pandai membawa diri sehingga biarpun di dalam hatinya Thio-ciangkun tidak mempunyai perasaan sayang seorang ayah kepada anaknya, namun sikap pembesar itu cukup baik.

"Begini, ciangkun. Ketika untuk pertama kalinya Heng San melihat Nona Siang, dia seperti terpesona. Kemudian setelah kami berdua saja, dia banyak hertanya tentang Nona Siang dan terang-terangan mengatakan bahwa selama hidupnya dia belum pernah melihat seorang gadis secantik Nona Siang yang dikatakannya seperti bidadari. Oleh karena itu, saya tidak akan merasa heran kalau sekali ini dia sengaja meloloskan gadis pemberontak Itu karena dia tergila-gila. Ternyata dia adalah seorang pemuda mata keranjang, dan lemah terhadap kecantikan wanita."

Kini Thio-ciangkun mengangguk-angguk, menundukkan muka, mengelus jenggotnya dan tiba-tiba dia berkata, "Bagus! Aku mendapatkan gagasan bagus sekali. Heng San amat lihai, kami amat membutuhkan dia dan sekarang ada jalan untuk mengikatnya kepada kami, untuk selamanya dan akan tetap setia sampai mati"

Lui Tiong memandang heran. "Apa... apa maksud ciangkun?"

"Aku akan menikahkan dia dengan Kui Siang!"

Hampir saja Lui Tiong melompat dari kursinya saking heran dan kagetnya. Dia melapor dengan niat untuk memburukkan Heng San, untuk menjatuhkan terdorong oleh rasa irinya, tidak tahunya laporannya itu malah membuat pemuda itu akan diambil mantu oleh atasannya! Walaupun gadis itu puteri tiri, namun cantik jelita. Thio-ciangkun merupakan kehormatan besar sekali yang membuat kedudukan Heng San akan lebih terangkat tinggi!

"Ciangkun...! Akan tetapi... tetapi..."

"Tetapi apa? Heng San masih muda, tampan dan gagah, ilmu kepandaiannya tinggi. Dia cukup pantas menjadi suami Kui Siang." Panglima itu kembali mengangguk-angguk.

"Maksud saya... bagaimana kalau Heng San tidak mau, kalau dia menolak?" kata Lui Tiong penuh harap.

"Ha-ha-ha, bukankah engkau sendiri yang melaporkan bahwa Heng San jatuh cinta kepada Kui Siang? Aku yang akan mengatur agar dia mau, pasti mau dan harus mau. Ha-ha-ha!"

Dia lalu memberi isarat agar pembantunya itu mundur. Thio-ciangkun tetap tertawa ketika Lui Tiong keluar dari ruangan itu, kembali ke dalam kamarnya, membanting diri di atas pembaringan dan bersungut-sungut.

Biarpun dia sudah pulas, namun ketika suara langkah lembut itu memasuki kamarnya, pendengaran Heng San yang terlatih baik dapat menangkapnya. Seketika dia terbangun, namun begitu dia melihat siapa yang memasuki kamarnya sambil membawa sebuah baki dengan beberapa mangkok di atasnya, melangkah dengan lenggang yang lembut dan lemah gemulai, Heng San tidak dapat bergerak atau mengeluarkan suara saking herannya.

Mula-mula dalam pandangannya yang baru saja terbangun dari pulas, dia seolah melihat Ma Hong Lian yang melenggang memasuki kamarnya. Hatinya tidak percaya dan dibantahnya penglihatannya sendiri dan perlahan-lahan bayangan Ma Hong Lian itu berubah dan tahulah dia bahwa yang memasuki kamarnya adalah Nona Siang.

Dia merasa seperti dalam mimpi. Sudah beberapa kali dia bertemu dengan gadis ini, hal yang tidak dapat dihindarkan karena mereka tinggal di bawah satu atap walaupun gedung itu luas sekali. Dalam setiap pertemuan, mereka hanya saling pandang dan Heng San selalu memberi hormat dengan membungkuk dan gadis itupun mengangguk sambil memandang dan tersenyum kepadanya.

Belum pernah mereka saling bertegur sapa dan sekarang, gadis itu memasuki kamarnya seorang diri. Seperti dalam mimpi dia melihat gadis itu meletakkan baki di atas meja, lalu duduk di atas kursi dekat pembaringan di mana dia masih rebah telentang. Kemudian dia memaksa diri bangkit duduk dan berkata,

"Eh... ah…. Nona Siang…., apakah artinya penghormatan yang diberikan kepadaku ini? Kenapa nona memasuki kamar saya?"

Gadis itu memandang dan tersenyum. Heng San terpesona dan wajah itu sungguh mirip wajah Hong Lian. Begitu manis, begitu cantik. Bibir yang merah basah itu merekah, tampak deretan gigi putih mengintai sejenak dan mulut yang tersenyum itu seperti menebarkan beribu bunga, seperti meneteskan sari madu. Mata itu seperti mata burung Hong dalam dongeng.

"Kenapa? Apakah tidak boleh aku. memasuki kamar ini, Lauw-sieu?" suara itu demikian lembut, merdu seperti nyanyian indah.

"Ah, tentu, tentu saja boleh sekali, nona. Akan tetapi aku tidak mengerti….." Heng San hendak turun dari pembaringan, akan tetapi gadis itu bangkit berdiri dan menggerakkan kedua tangan mencegah dia turun.

"Berbaringlah saja, sicu. Dengarlah, aku disuruh oleh ayah untuk merawatmu, untuk mengobati luka di pundakmu dan memberimu obat. Karena itu, rebahlah saja, biar aku memeriksa keadaan luka di pundakmu."

"Akan tetapi..." Heng San hendak membantah.

Dengan lembut kedua tangan gadis itu mendorong pundak Heng San sehingga pemuda itu apa boleh buat merebahkan diri lagi, telentang. "Lauw-sicu, aku adalah puteri seorang panglima dan aku telah banyak mempelajari ilmu pengobatan, khusus untuk mengobati luka-luka yang terjadi dalam pertempuran. Karena ayah sayang kepadamu, maka dia menyuruh aku sendiri yang merawatmu. Nah, biarlah aku memeriksa luka di pundakmu."

Dengan jari-jari lembut namun cekatan, gadis itu lalu merobek baju di pundak yang sudah berlubang itu agar dapat memeriksa lukanya dengan lebih teliti. "Hemm, luka ini cukup lebar dan yang paling buruk adalah bahwa senjata rahasia itu agaknya mengandung racun sehingga luka ini agak kehitaman. Aku akan mencucinya lebih dulu."

Gadis itu lalu mengambil air dalam tempayan, lalu mencuci luka itu dengan cekatan. Heng San diam saja. Biarpun matanya menatap ke langit-langit kamar, namun dia mera¬sa betapa dekatnya gadis itu dengan dia sehingga dia dapat mencium keharuman yang keluar dari pakaian gadis itu dan seolah terasa kelembutan jari-jari tangan mengusap pundaknya, kehangatan tubuh itu seolah membakarnya.

Setelah menaburkan obat bubuk ke atas luka di pundak itu dan membalutnya, Kui Siang mengambil sebuah mangkuk yang terisi ramuan obat godok ber wama coklat.

"Lauw-sicu, ayahku sengaja membuatkan obat ini untukmu. Aku tidak mengenal obat ini, akan tetapi kata ayah, obat ini baik sekali untuk menguatkan tubuh dan menjaga agar pengaruh racun tidak menjalar lebih jauh. Minumlah, sicu."

Heng San melihat obat dalam mangkok itu masih mengepulkan uap panas. "Biarlah agak dingin dulu, nona. Thio-ciangkun sungguh baik sekali kepadaku, dan aku amat berterima kasih kepadanya."

"Ah, sicu. Ayah tentu saja suka kepada sicu karena sicu adalah orang kepercayaannya dan sicu sudah banyak membuat jasa besar membantu ayah."

“Akan tetapi engkaupun amat baik kepadaku, nona. Aku hanya mengenalmu sebagai Nona Siang. Sebetulnya, kalau boleh aku bertanya, siapakah nama lengkapmu?"

Gadis itu tersenyum dan menatap wajah yang tampan itu. Diam-diam, sejak bertemu dengan Heng San, la memang merasa kagum dan tertarik. Pemuda Ini tak pernah memandang dengan kurang ajar seperti para jagoan lain kepadanya, melainkan bersikap sopan sekali. Sepasang mata bertemu pandang dan bertaut, lalu gadis itu menundukkan muka.

"Namaku….. Bu Kui Siang."

Heng San memandang heran. "She….. Bu....?"

"Ah, belum tahukah engkau, sicu? Thio-ciangkun itu adalah ayah tiriku. Ketika ibuku menjadi isterinya, ibu sudah janda dan aku ketika itu baru berusia dua tahun."

"Dan….. ayah kandungmu?"

"Kata ibu, ayah kandungku dahulu adalah seorang perwira pengikut pasukan Gouw Sam Kui dan tewas dalam perang. Ibu dan aku menjadi tawanan dan akhirnya ibu diperisteri oleh ayah tiriku itu. Ah, sudahlah, sicu. Kau minumlah obat pemberian ayah ini." kata Kui Siang yang agaknya tidak suka menceritakan riwayat ayah kandungnya.

Sedikit keterangan ini mendatangkan keharuan dalam hati Heng San dan diapun tidak menolak lagi ketika disuruh minum obat. Dia bangkit duduk dan gadis itu membantunya, memberi minum obat dari mangkok itu. Obat itu rasanya agak pahit namun baunya sedap sehingga diminumnya sampai habis. Rasanya hangat sekali ketika memasuki perutnya.

Kui Siang membantu dia rebah kembali. "Sekarang mengasolah saja, sicu. Aku akan melaporkan kepada ayah bahwa keadaanmu sudah membaik." Gadis itu meletakkan mangkok kosong di atas baki yang masih berada di meja.

Akan tetapi tiba-tiba ia terkejut mendengar Heng San mengeluh. la cepat membalik dan menghampiri. Dilihatnya pemuda itu gelisah sekali, mengeluh, memejamkan mata dan mukanya berubah merah sekali. Ketika ia mendekat dan meraba dahi pemuda itu, ia terkejut karena terasa kulit mukanya panas sekali.

"Lauw-sicu…. kau….. kau kenapakah...?" Gadis itu menjadi panik, memegangi kedua pundak Heng San.

Heng San tiba-tiba terserang panas yang amat aneh. Dia merasa dirinya dilambungkan ke atas, lalu diombang-ambingkan seolah berada di lautan yang amat kuat ombaknya, membuat kepalanya pening sehingga dia tidak berani membuka matanya, seperti terapung-apung di Iangit. Ketika mendengar suara gadis itu memanggil-manggil dan kedua pundaknya diguncang-guncang, dia memaksa diri membuka kedua matanya. Dilihatnya wajah itu!

Wajah yang selama ini menjadi buah mimpinya. Wajah Ma Hong Lian yang membuatnya tergila-gila, wajah gadis yang telah merebut hatinya, yang dicintanya. Gairah yang teramat kuat merangsangnya, membakar berahinya dan diapun merangkul leher itu, ditarik dan didekapnya muka itu, diciuminya.

"Hong Lian…." desahnya.

Kui Siang terkejut setengah mati. la hendak meronta melepaskan diri namun tidak mampu karena dekapan itu kuat sekali. Ketika mukanya, pipinya, hidungnya dan bibirnya dihujani ciuman oleh pemuda yang dikaguminya itu, tiba-tiba ia menjadi lemas lunglai.

"Lauw-sicu… ah, Lauw-sicu..." ia menangis ketika mukanya didekap di dada Heng San.

Pada saat itu, daun pintu kamar terbuka dari luar dan seorang wanita melangkah masuk. Wanita itu menahan jerit ketika melihat Kui Siang dipeluk Heng San, menelungkup di atas dada pemuda itu. Wanita itu adalah ibu kandung Kui Siang yang baru saja diberitahu suaminya bahwa anak gadisnya bermain gila dengan Lauw Heng San dan sekarang berada di kamar pemuda itu. Mendengar ini, ibu ini tidak percaya dan langsung lari memasuki kamar itu dan apa yang dilihatnya membuat ia hampir pingsan.

"Kui Siang….!" lbu itu menjerit. "Apa yang kau lakukan ini…..?? Ya Tuhan, anak durhaka, anak tak tahu malu, mencemarkan nama orang tua….!" Ibu itu menjerit-jerit sehingga banyak pelayan berlari-lari mendatangi dan berkumpul di luar kamar yang pintunya terbuka.

Mereka semua melihat Nona Siang masih duduk di tepi pembaringan di mana Heng San rebah telentang dan keduanya tampak terbelalak kaget dan kebingungan. Walaupun dia merasa betapa tubuhnya melayang-layang, kepala. pening dan rangsangan gairah berahi seperti membakarnya, namun jeritan ibu Kui Siang itu seolah menyeretnya kembali ke alam kesadaran dan membuat Heng San terkejut setengah mati menyadari akan perbuatannya dan keadaannya.

Tiba-tiba Thio-dangkun muncul dan dia melompat ke dalam kamar itu, memandang kepada dua orang muda di pembaringan itu dengan muka merah dan mata melotot. "Bagus sekali perbuatan kalian!" bentaknya.

Kui Siang lebih dulu menguasai diri¬nya dan ia menangis sambil berlari dan menjatuhkan dirinya berlutut didepan ayah tirinya. Sambil menangis ia berkata tersendat-sendat, "...Ayah... anak telah bersalah... ampuni saya atau... hukumlah, bunuhlah saya, ayah……" Gadis itu merasa malu bukan main. Peristiwa tadi sungguh di luar dugaan. Ia merasa seperti lumpuh ketika dirangkul dan diciumi Heng San.

Tiba-tiba Heng San melompat dan berlutut di sebelah Kui Siang. Biarpun dia berada dalam keadaan tidak normal, namun dia masih dapat menguasai dirinya dan dia tahu bahwa gadis itu terancam bahaya besar, akan rusak nama dan kehormatannya, bahkan mungkin akan dihukum mati. Dia tidak mungkin membiarkan hal itu terjadi!

"Ciangkun, bukan Nona Siang yang bersalah, melainkan saya yang bersalah! Saya mengaku salah, saya bersedia menerima hukuman apapun juga."

Ibu Kui Siang yang bagaimanapun juga menyayang puterinya, melihat puterinya terancam lalu ikut pula berlutut di depan suaminya sambil menangis. "...pandanglah mukaku dan ampuni Kui Siang...." ia meratap.

Thio Ci Gan menghela napas panjang dan mengelus jenggotnya. "Hemm, sudahlah. Kalau memang kalian berdua sudah saling mencinta, kami akan segera mengatur pernikahan kalian." Setelah berkata demikian, Thio-ciangkun meninggalkan kamar itu dan segera mengeluarkan perintah agar segera dipersiapkan pernikahan yang harus dilangsungkan tiga hari kemudian!.

Hanya Lui Tiong seorang yang dapat menduga bahwa semua itu tentu sudah diatur oleh atasannya. Teringat dia akan kata-kata panglima itu bahwa Heng San pasti dan harus mau menikah dengan Kui Siang! Akan tetapi apa yang dapat dia lakukan? Dia hanya menyesali nasibnya sendiri dan semakin iri akan nasib baik Heng San yang mendapatkan gadis jelita dan menjadi mantu Panglima Thio!

Di dalam hatinya, Heng San merasa menyesal sekali akan kejadian itu. Dia menyesal mengapa dia sampai hanyut oleh rangsangan berahi. Padahal, sesungguhnya dia harus mengaku pada diri sendiri bahwa walaupun dia suka kepada Kui Siang, namun sebetulnya cintanya adalah pada Ma Hong Lian! Akan tetapi, dia tidak mungkin membiarkan Kui Siang celaka dan tercemar namanya karena dia.

Maka, diapun mau melaksanakan pernikahan dan memaksa dirinya agar jujur terhadap Kui Siang, agar dapat memperlihatkan kasih sayangnya sebagai suami kepada gadis yang tidak berdosa itu. Dan ternyata setelah menikah, Kui Siang bersikap amat mesra dan mencintanya sehingga mau tidak mau timbul pula perasaan sayang dalam hati Heng San kepada isterinya.

Suami isteri ini tampak mesra dan saling mengasihi sehingga ibu Siang-siocia (Nona Siang) juga ikut merasa bahagia. Demikian pula Thio-ciangkun merasa gembira sekali karena dia sudah dapat mengikat Heng San menjadi mantunya, berarti orang muda itu kini menjadi pembantunya yang tak dapat diragukan lagi kesetiaannya.

Enam bulan telah lewat sejak Lauw Heng San menikah dengan Bu Kui Siang, anak tiri PanglimaThio Ci Gan. Harus diakuinya bahwa Bu Kui Siang amat mencintanya dan watak gadis itu memang baik sekali, seperti watak ibunya. Halus, lembut dan berperasaan peka. Ia telah mendengar cerita Kui Siang tentang riwayat ibunya. Ayah kandungnya bernama Bu Kiat, seorang panglima pembantu dalam pasukan Go Sam Kui yang dahulu melakukan perlawanan terhadap bala tentara Mancu.

Setelah pasukan Go Sam Kui hancur, Panglima Bu Kiat gugur dalam perang. Isterinya bersama puterinya, yaitu Nyonya Bu dan Kui Siang, menjadi tawanan. Ketika itu, yang menjadi komandan pasukan Mancu adalah Thio Ci Gan, seorang Han yang terpikat bangsa Mancu menjadi seorang panglima. Demikianlah, karena tertarik oleh kecantikan Nyonya Bu, Thio Ci Gan mengambilnya sebagai isteri kedua.

Nyonya Bu terpaksa menerimanya untuk menyelamatkan puterinya. Kui Siang lalu menjadi anak tiri Thio-ciangkun dan iapun disayang oleh ayah tirinya. Dari isterinya ini pula Heng San mendengar bahwa para pemberontak itu, menurut persangkaan isterinya yang mendengar dari ibunya, adalah pemberontak-pemberontak yang menentang pemerintah Mancu.

Malam itu Heng San duduk termenung memikirkan itu semua. Biarpun ia selalu teringat kepada Ma Hong Lian, namun harus diakuinya bahwa kelembutan dan cinta kasih Kui Siang membuat dia dapat menyayang isterinya pula. Apalagi isterinya kini telah mengandung dua bulan. Akan tetapi dia tidak dapat melupakan Hong Lian, gadis yang amat dikaguminya itu.

Dia merasa menyesal mengapa Hong Lian menjadi anggauta pengacau, anggauta pemberontak sehingga terpaksa berhadapan dengan dia sebagai musuh. Teringat dia betapa dalam pertemuannya yang pertama dengan Hong Lian, gadis itupun telah menjadi seorang pencuri.

Kui Siang tentu saja tidak mengetahui dengan jelas keadaan para pemberontak itu karena ia hanya mendengar penuturan ibunya dan ia baru berusia dua tahun ketika ayah kandungnya gugur dalam perang sebagai seorang pejuang patriot melawan bangsa Mancu yang datang menjajah tanah air. Sebetulnya rombongan penari itu adalah serombongan pendekar patriot yang bertugas menghubungi para orang gagah di dunia kang-ouw untuk rencana pemberontakan terhadap pemerintah Mancu.

Pemimpin rombongan itu bernama Ma Giok, seorang guru silat yang terkenal gagah perkasa dan berjiwa patriot. Ma Hong Lian adalah anaknya yang sejak kecil telah ditinggal mati ibunya. Hong Lian dididik ilmu silat oleh ayahnya sendiri sehingga setelah dewasa ia menjadi seorang pendekar wanita yang gagah perkasa dan berjiwa patriot pula. Di dunia persilatan Ma Hong Lian dikenal dengan julukan Tit-Ie Li-hiap (Pendekar Wanita Tit-Ie).

Karena merasa penasaran melihat sepak terjang para pembesar, baik bangsa Mancu maupun bangsa Han yang menjadi pengkhianat dan menghambakan diri kepada pemerintah Mancu, melihat betapa mereka itu memperkaya diri sendiri dengan menindas rakyat, memaksa rakyat membayar pajak untuk dikorup demi menggendutkan perut sendiri, para orang gagah di daerah selatan segera mengumpulkan kawan-kawan seperjuangan untuk menggerakkan pemberontakan.

Akan tetapi usaha mereka itu selalu kandas karena pemerintah memang cerdik dan mendapat dukungan banyak orang pribumi yang berilmu tinggi dan menjadi pengkhianat, orang-orang yang sudah dipengaruhi dengan umpan harta, kedudukan tinggi, atau wanita.

Oleh karena gerakan besar mereka selalu gagal untuk menyerang pasukan pemerintah penjajah Mancu, maka kini sisa-sisa para patriot hanya bergerak dengan hati-hati dan sangat terbatas sekali. Mereka lebih mengutamakan gerakan menentang para pembesar korup yang menindas rakyat dan membasmi kaki tangan mereka.

Untuk memberontak terhadap pemerintah, mereka tidak mampu. Maka, jalan satu-satunya untuk membela rakyat adalah secara langsung menentang pembesar-pembesar setempat dan kaki tangan mereka yang menyengsarakan kehidupan rakyat jelata.

Ma Giok atau yang biasa disebut Ma-kauwsu (Guru silat Ma) mendapat tugas untuk menghubungi orang-orang di utara yang berjiwa patriot dan memiliki kegagahan. Di samping itu juga bertugas menyelidiki para pembesar yang menjadi kepercayaan kaisar, para pembesar yang memiliki pengaruh besar.

Dalam perjalanan untuk melaksanakan tugas ini, Ma Giok menyamar sebagai pemimpin serom¬bongan penari silat. Para pembantunya adalah puterinya sendiri, Ma Hong Lian, dan dua orang murid yang sudah dapat diandalkan. Dia mendengar bahwa di Keng-koan tinggal seorang pembesar militer yang berpengaruh dan mempunyai banyak kaki tangan yang pandai.

Juga dia mendengar bahwa Thio-ciangkun (Panglima Thio) itu kini membentuk seregu pasukan yang terdiri dari perajurit-perajurit pilihan, dipimpin oleh perwira-perwira yang amat lihai sehingga merupakan pasukan yang tangguh yang diberi nama Pasukan Garuda Sakti. Ma Giok segera mengajak rombongannya melakukan penyelidikan ke kota Keng-koan.

Akan tetapi, sekali ini Ma Giok terlalu memandang rendah kepada Pembesar Thio itu. Thio-ciangkun terlalu cerdik baginya. Sebelum Ma Giok dan rombongannya sempat berbuat sesuatu, sebaliknya keadaannya malah sudah diketahui para penyelidik yang disebar oleh Thio-ciangkun. Sama sekali Ma Giok tidak tahu bahwa di dalam kuil di mana dia serombongannya bermalam, atau ditempat-tempat makan dan di mana saja, telah tersebar mata-mata yang lihai dari Thio-ciangkun.

Kemudian, sama sekali tidak tersangka-sangka olehnya, terjadilah penyerbuan itu. Dia sendiri tertawan dan dua orang muridnya tewas, sedangkan anaknya Ma Hong Lian, tidak diketahui bagaimana nasibnya. Malam itu Ma Giok duduk termenung dalam kamar tahanannya. Sudah berbulan-bulan, sedikitnya sudah enam bulan, dia dikurung dalam kamar tahanan ini. Dia dapat menduga mengapa sampai sekarang dia belum juga dibunuh atau dihukum.

Tentu Thio-ciangkun ingin mengorek semua rahasia kawan-kawannya dari mulutnya. Namun dia tidak pernah mau mengaku. Yang dia tidak tahu adalah bahwa dia tidak disiksa itu karena usaha Lauw Heng San yang membujuk kepada Thio-ciangkun agar Ma Giok tidak dipaksa dengan kekerasan, melainkan dibujuk dengan halus.

"Orang itu berwatak keras," demikian Heng San berkata kepada atasannya yang juga kini telah menjadi ayah mertuanya. "Semakin diancam, semakin dia menantang kematian. Sebaliknya kalau diperlakukan dengan halus, ada harapan dia akan tunduk. Pula, puterinya belum tertawan dan saya yakin bahwa kawan-kawannya tentu akan berusaha membebaskannya. Dengan demikian, dia dapat kita umpankan sebagai umpan untuk memancing datangnya kawan-kawannya."

Nasehat ini diturut dan Ma Giok tidak disiksa, dan memang hal ini yang dikehendaki Heng San yang merasa kasihan kepada ayah dari Ma Hong Lian, gadis yang tak pernah dilupakannya itu. Malam semakin larut, Ma Giok duduk sambil melamun. Enam bulan telah lewat. Dia tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi dengan dirinya. Akan tetapi dia tidak peduli akan nasib dirinya. Dia sudah cukup kenyang dan lama hidup di dunia, cukup banyak menderita, kematian isterinya dan mengalami kegagalan dalam perjuangan.

Dia tidak takut dan tidak sedih kalau harus mati. Akan tetapi dia teringat kepada anaknya. Dia tidak tahu di mana adanya Hong Lian dan bagaimana dengan nasib puterinya itu. Namun dia tidak putus asa. Hong Lian lolos, berarti puterinya itu tentu selamat. Apalagi dia pernah melihat pengemis gila itu yang bukan lain adalah Tan Kok yang berjuluk Ngo-jiauw-eng (Garuda Kuku Lima), paman gurunya sendiri!

Dia juga percaya bahwa setiap saat susioknya (paman gurunya) itu pasti akan muncul untuk membebaskan dkinya. Ma Giok memandang ke luar pintu dan melihat enam orang perajurit pengawal duduk minum arak sambil main catur dengan gembira. Tidak ada seorangpun di antara mereka memperhatikannya. Saking lamanya dia dikeram di situ, para penjaga itu sudah terbiasa dan menganggap dia sebagai seorang tawanan biasa yang tak berdaya.

Ma Giok mencari-cari dengan pandang matanya, namun dia tidak melihat perwira Lihai yang dulu merobohkannya sehingga dia tertawan. Dia masih merasa penasaran mengingat betapa perwira tinggi kurus itu dapat merobohkannya, padahal untuk daerah selatan, permainan goloknya jarang terkalahkan.

Dia sama sekali tidak tahu bahwa yang menjatuhkannya adalah Lui Tiong yang berjuluk Ui-bin-houw (Harimau Muka Kuning), seorang tokoh ahli pedang yang sebelum Lauw Heng San datang, menjadi jagoan nomor satu di antara para pembantu Panglima Thio...!

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.