Si Tangan Halilintar Jilid 09 karya Kho Ping Hoo - Kiranya ketika Hong Lian melihat Heng San terluka oleh gin-piauw, hatinya merasa kasihan dan ia tidak bergerak dan tidak lagi ikut mengeroyok, hanya memandang dengan gelisah. Darah yang semakin banyak ke luar dari pundak Heng San, membasahi pakaiannya itu amat mengharukan hati Hong Lian sehingga ketika tiba-tiba hui-to yang tertendang oleh Heng San itu menyambar ke arahnya, ia tidak sempat mengelak dan tanpa dapat dicegah lagi hui-to yang tajam runcing itu menancap di dadanya sampai dalam!
Melihat peristiwa yang tidak disangka-sangkanya ini, Heng San menjerit keras dan dia melompat dan menubruk tubuh gadis itu. Dia tidak memperdulikan apa-apa lagi, mengangkat kepala gadis itu ke pangkuannya dan berulang-ulang memanggil. "Hong Lian...! Hong Lian....."
Akan tetapi tubuh gadis itu terkulai lemas dalam rangkulannya. Perlahan-lahan kelopak mata gadis itu terbuka dan melihat Heng San memeluknya, ia tersenyum lemah.
"Hong Lian....!"
Gadis itu menggerak-gerakkan bibirnya akan tetapi yang keluar hanya suara bisikan lemah. Melihat ini Heng San mendekapnya dan mendekatkan telinganya pada mulut gadis itu. "Hong Liang, engkau hendak memesan apakah? Katakan padaku, tentu akan kulaksanakan permintaanmu....."
"Kau.... engkau harus bebaskan ayahku...." sehabis berkata demikian, gadis itu terkulai dan tak bernapas lagi, menghembuskan napas terakhir di pangkuan Heng San.
Heng San ingin menjerit, ingin menangis, ingin mengamuk. Dia menganggap kematian gadis itu adalah kesalahan orang-orang yang sekarang mengepungnya. Para pemberontak jahat ini telah menyesatkan Hong Lian dan kini gadis itu menjadi korban, mati dalam keadaan menyedihkan.
Mati di bawah tikaman senjata pemimpin mereka sendiri, digerakkan oleh tendangannya, mati dalam tangannya, padahal dia amat mencintai Hong Lian. Dan ini semua gara-gara para pemberontak itu. Ini semua gara-gara tosu jahanam dan pengemis gila itu! Heng San mengangkat kepala dan memang ke kanan kiri dengan sinar mata nyeramkan.
Kawan-kawan Hong Lian melihat betapa serangan mereka malah menewas gadis itu, dan melihat betapa pemuda yang menjadi lawan mereka itu menubruk dan menangisi mayat Hong Lian menjadi terheran-heran, kesima dan tidak mampu bergerak. Kini, melihat pemuda bangkit berdiri dengan sikap dan pandangan mata liar mengerikan, mereka siap dengan jantung berdebar tegang. Wajah Heng San saat itu seperti wajah seekor harimau terluka yang sudah nekat dan haus darah.
"Kalian telah membunuhnya! Kalian orang-orang jahat telah menyeretnya ke jurang maut. Kalian harus membayar untuk itu!" teriaknya, dengan suara parau, mengandung tangis, menyeramkan seperti suara iblis yang penuh dendam.
Setelah mengeluarkan kata-kata itu dengan suara yang menyeramkan, Heng San lalu meloncat ke depan menubruk orang yang terdekat. Seorang yang bersenjata golok terpegang olehnya. Heng San menotok pemuda itu sehingga tidak mampu bergerak, lalu memegang kedua kakinya dan memutar-mutar tubuh itu, dipergunakan sebagai senjata dan menyerang semua orang yang mengepungnya.
Melihat pengamukan Heng San yang seperti kesetanan itu, bahkan Ang Jit Tojin dan pengemis aneh itu menjadi gentar juga dan mereka melangkah mundur. Dua orang pemuda lain yang mencoba untuk menyerang, dalam beberapa detik saja sudah terkena tendangan kaki Heng San dan terpukul tubuh kawan sendiri sehingga roboh dan tidak mampu bangkit kembali.
Melihat pemuda yang dijadikan senjata itu telah menjadi mayat pula dengan kepala pecah, Heng San melemparkan mayat itu dan mengamuk dengan kedua tangan kakinya. Ang Jit Tojin dan pengemis aneh itu lalu menghujani Heng San dengan senjata rahasia mereka. Dua orang itu memang ahli melempar senjata rahasia. Heng San harus bersikap hati-hati dan mempergunakan kegesitan gerakan tubuhnya untuk mengelak ke sana sini. Dua orang lawan yang sudah merasa jerih itu mempergunakan kesempatan ini melarikan diri ke dalam hutan.
"Jangan lari..." Heng San membentak mengejar. "Kemanapun kalian pergi sebelum aku dapat membunuh kalian, jangan harap dapat lolos dari tanganku!"
Dengan cepat sekali dia mengejar dan karena ilmunya berlari cepat memang luar biasa, sebentar saja dia dapat menyusul si pengernis Tan Kok yang lebih lemah gin-kangnya. Dia menyerang pengemis itu dengan dahsyat dan Tan Kok melawan dengan tongkatnya. Melihat ini Ang Jit Tojin juga berlari kembali untuk membantu kawannya.
Biarpun dikeroyok orang yang merupakan tokoh-tokoh dunia persilatan dengan ilmu silat yang sudah tinggi tingkatnya, tetap saja Heng San dapat mendesak mereka. Tingkat ilmu silat tangan kosong Heng San memang sudah hebat sekali bukan hal berlebihan kalau Liok-tai-jin memberi julukan Sin-kun Bu-tek (Tangan Sakti Tanpa Tanding) kepadanya.
Setelah bertempur selama puluhan jurus, tiba-tiba Heng San yang sudah mendesak kedua orang lawannya itu mendapatkan peluang baik. Sambaran lengan baju Ang Jit Tojin dapat dia tangkap dengan tangan kanan, sedangkan dia menggunakan tangan kiri untuk menghantam ke arah leher si pengemis Tan Kok dengan tangan miring.
Pada saat itu, tongkat pengemis itupun menyambar ke arah dadanya. Namun Heng San tidak perduli akan serangan pada dadanya itu. Dia memang bertekad untuk mengadu nyawa dan membiarkan dadanya menyambut pukulan tongkat itu.
"Prakkk.... bukkk...!"
Dua pukulan itu hampir berbareng mengenai sasaran. Akan tetapi kalau pukulan tangan kiri Heng San membuat tulang leher Tan Kok patah dan pengemis itu roboh dan tewas seketika, sebaliknya pukulan tongkat pengemis itu yang mengenai dada Heng San yang amat kokoh kuat hanya mendatangkan rasa nyeri dan luka yang tidak berbahaya. Walaupun demikian, karena dia terluka dalam, dia merasa dadanya panas lalu muntahkan darah segar.
Melihat kawannya tewas dan tahu bahwa dia sendiri tidak akan mampu menandingi lawan, Ang Jit Tojin lalu melompat dan melarikan diri. Heng San mengejar terus. Sebenarnya, walaupun ilmu berlari cepat tosu itu lebih tinggi dari ilmu berlari cepat si pengemis aneh, namun masih belum dapat menandingi kecepatan lari Heng San.
Sekarang, dalam keadaan terluka oleh hantaman tongkat Tan Kok tadi, hal ini tentu saja mengurangi kecepatan lari Heng San, maka kecepatan mereka menjadi berimbang dan sampai lama jarak antara mereka tetap. tak berubah. Setelah berlari beberapa li jauhnya, tibalah Ang Jit Tojin di depan sebuah kelenteng (kuil) tua yang berdiri di kaki sebuah bukit. Tosu itu lalu melompat memasuki kuil itu dan lenyap.
Heng San berhenti, berdiri di depan pintu kuil dan berteriak-teriak. "Tosu siluman! Keluarlah engkau untuk terima binasa. Jangan engkau mengotorkan tempat ibadah suci ini dengan darahmu yang kotor! Hayo keluar, atau aku akan menyeretmu ke luar!" Heng San terengah-engah dan merasa dadanya panas dan nyeri.
Karena tidak mendengar tosu Itu menjawab dan tidak melihat dia ke luar, Heng San menjadi marah sekali. Dia melompat maju, menendang daun pintu kuil sehingga terdengar suara gaduh. Pintu terbuat dari kayu tebal itu pecah berantakan dan pecahannya terbang ke sana-sini.
"Tosu siluman, engkau hendak lari ke mana?" bentaknya sambil melompat ke belakang untuk menjaga kalau-kalau diserang senjata rahasia yang ampuh dari tosu itu.
Tiba-tiba sesosok tubuh tua tampak keluar dari daun pintu yang sudah pecah ambrol itu. Seorang kakek tua renta berpakaian pengemis yang melangkah perlahan lalu berdiri di depan pintu, berhadapan dengan Heng San dalam jarak empat meter. Heng San memandang wajah kakek itu dan dia membelalak-belalakkan kedua matanya, lalu menggunakan punggung kedua tangannya untuk menggosok-gosok kedua matanya.
Dia tak percaya akan apa yang dilihatnya mengira bahwa itu adalah akibat luka dalam dadanya. Setelah menggosok-gosok kedua matanya, dia kembali memandanng penuh perhatian. Seorang kakek pengemis yang tua sekali dan wajah..., wajah itu, tubuh yang kurus kering itu, pakaian tambal-tambalan itu....! Kakek pengemis dengan sepasang mata mencorong marah. Dan dia melihat lawannya tadi berada di belakang si kakek dengan sikap tegang dan jerih.
Dan belakang tosu itu muncul pula lima orang yang kesemuanya tampak gagah perkasa yang sikapnya keren dan penuh semangat. Heng San merasa betapa matanya berkunang dan seluruh tubuhnya lemas. Dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek pengemis tua renta itu.
"Suhu....!" suaranya yang dalam keadaan biasa pasti akan terdengar gembira dan girang itu kini terdengar penuh keraguan melihat betapa Pat-jiu Sin-kai (Pengemis Sakti Tangan Delapan), yaitu gurunya sendiri, kini memandang marah dan betapa Ang Jit Tojin ternyata bersahabat dengan gurunya.
"Heng San sudah gilakah engkau?" Pat-jiiu Sin-kai menegur dengan suara yang terdengar lebih sedih dari pada marah.
"Suhu, kalau teecu bersalah, silahkan suhu menghukum teecu. Akan tetapi, sesungguhnya teecu tidak mengerti apa kesalahan teecu sehingga suhu menjadi marah kepada teecu."
"Hemm, murid durhaka! Tahukah engkau siapa orang-orang yang kau bunuh itu? Tahukah engkau, siapa Ma Giok yang kau tawan itu?"
Heng San memandang wajah suhunya dan melihat sepasang mata suhunya masih memancarkan sinar kemarahan, dia menunduk kembali dan menjawab dengan suara tetap walaupun dibayangi keraguan.
"Orang-orang yang teecu basmi itu adalah pemberontak-pemberontak jahat yang melakukan kekacauan dan merampok rakyat. Ma Giok adalah seorang pemimpin gerombolan perampok, seorang penjahat berbahaya, suhu." Kemudian, setelah berhenti sebentar dia menambahkan dengan cepat. "Dan juga dia seorang ayah yang jahat yang menyeret puterinya sendiri ke dalam jurang kejahatan!"
Pat-jiu Sin-kai memandangnya dengan mata melotot, akan tetapi dia menahan perasaannya dan bertanya "Dan tahukah kau siapa Ngo-jiauw-eng yang kau bunuh tadi?"
"Ngo-jiauw-eng (Garuda Kuku Lima)? Suhu maksudkan pengemis aneh tadi? Ah, dia orang yang jahat pula. Dia menggunakan kepandaiannya untuk menjadi penjahat dan dia merupakan pemimpin gerombolan pengacau itu."
Wajah pengemis tua itu menjadi merah sekali, dadanya serasa hampir meledak saking marahnya dan terasa amat nyeri seperti ditusuk di bagian kiri dadanya. Dia maklum bahwa tekanan perasaan yang amat berat ini membuat penyakitnya kambuh kembali dan jantungnya terserang hebat. Akan tetapi dia masih menekan perasaan hatinya dan bertanya,
"Dan tahukah engkau, hai anak durhaka, hai murid murtad, siapakah Thio-ciangkun yang kau bela itu?"
Terkejutlah Heng San mendengar gurunya mencaci maki dengan marahnya. Dia memandang gurunya dan merasa semakin heran melihat gurunya memandang kepadanya dengan marah, wajahnya merah dan tangannya menekan dadanya yang sebelah kiri. Dia menjawab dengan bibir gemetar dan suara meragu.
"Thio-ciangkun... adalah seorang pembesar yang.... bijaksana.... seorang yang mengutamakan keadilan yang membela dan menjaga keamanan rakyat yang membasmi para penjahat...."
"Cukup! Tutup mulutmu yang kotor, engkau.... engkau manusia rendah budi. Engkau... tidak saja melumuri muka gurumu dengan kotoran, akan tetapi engkau bahkan mengkhianati orang tuamu sendiri, engkau juga mengkhianati bangsa sendiri.... engkau.... engkau.... terkutuk!"
Pat-jiu Sin-kai terhuyung-huyung kearah Heng San dengan kedua tangan terkepal, sikapnya hendak menyerang tangan kanan terkepal dan tangan kiri menekan dada. Akan tetapi sebelum dia memukulkan tangannya ke arah kepala Heng San, jantungnya yang terserang tekanan hebat itu tidak kuat lagi sehingga ia menyemburkan darah dari mulut, roboh terpelanting.
Heng San melompat dan memeluk tubuh suhunya, tidak peduli betapa darah dari mulut gurunya yang memancar itu membasahi seluruh pakaiannya, bahkan mukanya juga terkena darah. Dia memeluk gurunya dan meratap-ratap.
"Suhu... suhu... ampunkan teecu,... bunuhlah teecu kalau teecu bersalah... tapi jangan... jangan menyiksa diri begini suhu,... ampuuun... suhu...!" Kini San benar-benar menangis seperti anak kecil. Dia memondong suhunya yang kurus dan ringan itu, membawanya lari ke sana sini seperti orang kehilangan akal dan memanggil-manggil suhunya, akan tetapi si pengemis sakti telah mati.
Akhirnya Heng San mengetahui akan kenyataan ini. Dia meletakkan mayat gurunya di atas tanah, lalu berlutut di dekat mayat suhunya, menangis sambil memukuli kepalanya sendiri. Kemudian dia merangkak menghampiri Ang Jit Tosu dan orang-orang gagah lainnya yang berdiri memandang kepadanya dengan sinar mata dingin dan marah.
"Cu-wi (anda sekalian), kalau aku bersalah, mengapa diam saja? Aku, Lauw Heng San, kalau dianggap bersalah, katakanlah apa kesalahanku itu! Kalau kalian tidak mau mengatakan, nah, inilah aku. Bunuhlah, aku tidak akan melawan. Tapi sedikitnya, jelaskan dulu mengapa suhu begitu marah kepadaku agar aku tidak mati penasaran."
Seorang gagah yang tinggi besar mencabut goloknya hendak ditimpakan ke leher Heng San yang sudah mandah saja dan tidak ingin mengelak atau menangkis. Akan tetapi Ang Jit Tojin cepat mencegah.
“Bersabarlah, Cui-enghiong (pendekar Cui). Agaknya anak ini benar-benar telah tertipu. Biarlah aku menceritakan dulu semua hal yang agaknya masih gelap baginya."
Mendengar ini, Heng San segera berlutut di depan Ang Jit Tojin. "Sikap totiang (bapak pendeta) ini saja sudah membuat aku orang she Lauw merasa berterima kasih sekali dan untuk kesalahanku yang sudah-sudah nanti totiang boleh membalas sesuka hatimu!"
Ang Jit Tojin mengangkat bangun Heng San. "Berdirilah dan dengarkan kata-kataku agar engkau mengerti duduknya persoalan."
Heng San lalu bangkit dan dengan mata masih mengalirkan air mata dia mengusap:; dengan punggung tangan dan mendengarkan dengan muka ditundukkan.
"Ketahuilah, Lauw Heng San. Ma Giok yang sekarang menjadi tawanan Thio-ciangkun itu sebenarnya adalah seorang bekas panglima dari pasukan Gouw Sam Kwie, jenderal yang dengan gigih sampai detik terakhir melawan dan menentang pasukan penjajah Mancu. Biarpun pasukan Jenderal Gouw Sam Kwie telah mengalami kekalahan.
"Namun dalam hati Ma Giok masih menyala api patriot yang tidak rela melihat bangsa Mancu menguasai Cina dan memeras rakyatnya. Ma Giok sama sekali bukan pemirripin gerombolan seperti yang kau sangka. Sebaliknya dia adalah seorang pemimpin segolongan pendekar pembela bangsa dan tanah air yang gagah perkasa dan berani mengorbankan dirinya demi membela bangsanya.
"Ma Giok menjadi buruan pemerintah penjajah Mancu dan dia melarikan diri ke selatan dan dia berhasil menggerakkan orang-orang gagah, para pendekar, untuk bersatu melawan pemerintah penjajah Mancu. Akan tetapi usahanya itu mengalami banyak kegagalan karena di antara para pendekar terdapat banyak pengkhianat yang pro pemerintah Mancu. Mereka ini sebetulnya juga orang-orang Han yang tadinya adalah pendekar-pendekar yang berjiwa patriot.
"Akan tetapi karena pemerintah Mancu mempunyai banyak penasihat yang cerdik pandai, maka banyak orang gagah yang terpengaruh oleh harta benda dan wanita cantik, mau saja menjadi kaki tangan pemerintah penjajah Mancu, tidak sadar bahwa mereka tertipu."
Mendengar ini Heng San mengerutkah alisnya, teringat akan pengalamannya sendiri. Apakah dia termasuk orang yang tertipu karena pengaruh harta dan wanita? Apakah isterinya, Kui Siang, juga merupakan umpan baginya?
"Para pembesar Mancu itu amat cerdik. Mereka menggunakan harta, kedudukan tinggi, atau wanita cantik untuk memikat hati para pendekar sehingga mereka tunduk dan dapat diajak bekerja sama tanpa menyadari bahwa mereka dijadikan antek penjajah untuk menindas bangsa sendiri. Karena inilah maka usaha Ma Giok banyak mengalami kegagalan.
"Dengan hati pedih Ma Giok lalu melarikan diri lagi dari pengejaran antek-antek Mancu. Dia lari bersama puteri tunggalnya, yaitu Ma Hong Lian, merantau sambil tiada hentinya melanjutkan perjuangannya. Dia mengumpulkan orang-orang gagah di mana saja untuk membasmi para pembesar kaki tangan kaisar yang menindas rakyat."
Heng San teringat kepada Hong Lian yang sudah tewas. "Ahh, Hong Lian…" dia menengok ke arah mayat gadis itu yang dia tinggalkan tadi.
"Jenazahnya sudah kami urus," kata Ang Jit Tojin. Heng San melihat betapa jenazah gurunya juga sudah diangkat ke dalam kuil oleh beberapa orang gagah.
"Usaha Ma Giok dan puterinya mendatangkan banyak orang gagah yang tadinya tidak acuh, kini timbul dan bangkit kembali semangat mereka. Di antara mereka adalah pin-to (aku) sendiri, dan kawan-kawanku. Bahkan Pat-jiu Sinkai juga tergerak hatinya dan mendukung. Akan tetapi karena dia sendiri sudah sakit-sakitan, dia mencari suhengnya yang ternyata sudah menjadi pertapa di atas puncak bukit dan tidak mau mencampuri urusan dunia. Maka dia hanya dapat mengajak murid keponakannya, yaitu Ngo-jiauw-eng Tan Kok untuk ikut berjuang dan Tan Kok adalah pengemis aneh yang tewas di tanganmu."
Mendengar cerita ini, Heng San menutupi mukanya dengan tangan dan dia menangis penuh penyesalan. Jadi Tan Kok si pengemis aneh itu adalah suhengnya (kakak seperguruannya) sendiri karena gurunya adalah paman guru Ngojiauw-eng Tan Kok. Dia teringat bahwa suhunya, Pat-jiu Sin-kai telah lama berusaha mendapatkan seorang murid untuk dijadikan wakilnya dalam perjuangan.
Yang dimaksud ini karena pengemis sakti itu sering terserang penyakit dan merasa dirinya sudah terlalu tua dan tidak kuat lagi. Dan setelah mendapatkan dirinya sebagai murid, kini dia malah memusuhi kawan-kawan seperjuang gurunya, bahkan telah membunuh mereka.
"Pin-to sendiri adalah seorang sahabat lama Pat-jiu Sin-kai, maka ketika dia datang kepada pin-to minta bantuan, segera pin-to meluluskan permintaannya dengan senang hati. Pin-to berangkat lebih dulu ke Keng-koan untuk menyusul Ngo-jiauw-eng yang sudah lebih dulu menggabungkan diri dengan Ma-enghiong dan puterinya. Adapun Pat-jiu Sin-kai sendiri hendak pergi ke Ciong-yang untuk mengumpulkan beberapa orang kawan lagi."
Heng San mendengarkan cerita itu dengan mata basah dan kini mulailah dia mengerti bahwa dia telah salah sangka, dia telah tertipu oleh ayah mertuanya dan para pembantu Thio-ciangkun.
"Sebagai tempat pertemuan telah ditetapkan di sini dan ternyata hari ini Pat-jiu Sin-kai telah dapat mengumpulkan beberapa kawan yang cukup kuat." Ang Jit Tojin menunjuk kelima orang gagah yang berada di situ. "Mereka ini adalah Ciong-yang Ngo-taihiap (Lima pendekar besar dari Ciong-yang) yang terkenal dengan kepandaian mereka yang tinggi."
Heng San pernah mendengar nama itu sering dipuji-puji gurunya sebagai pendekar-pendekar besar di jaman ini. Kemudian dia berkata kepada Ang Jit Tojin dengan hati penuh penyesalan. "Teecu memang sudah pantas menerima binasa! Akan tetapi sebelum cuwi turun tangan membebaskan teecu dari tubuh yang kotor berlumur darah kawan-kawan ini, teecu mohon sedikit keterangan tentang Thio-ciangkun dan para pembantunya. Thio-ciangkun bukan saja telah menjadi atasan teecu, bahkan menjadi ayah mertua teecu…..!"
"Bersiaplah untuk mendengar kenyataan yang amat pahit ini Lauw Heng San. Kami sudah mengetahui bahwa engkau telah menjadi mantu Thio-dangkun dan bahwa isterimu telah mengandung. Engkau mau tahu siapa itu Thio-Ciangkun? Ketahuilah, engkau orang muda yang terlaIu bodoh sehingga dapat tertipu olehnya. Dia adalah srigala yang berujud manusia, terkenal karena kecerdikan dan kekejamannya.
"Dia berkuasa besar sekali dan mempunyai pengaruh yang amat besar di istana Kaisar Mancu. Dialah tukang membasmi para patriot yang gagah perkasa. Dia pula yang membunuh banyak ahli-ahli sastra yang pandai karena mereka menggerakkan semangat rakyat dan membangun jiwa patriot para orang gagah. Entah sudah berapa banyak orang "gagah”, pendekar-pendekar sejati, pahlawan-pahlawan bangsa, tewas di tangannya yang berlumur darah.
Thio-ciangkun yang kau junjung tinggi, yang menjadi ayah mertuamu itu bukan lain adalah tangan kanan Kaisar Mancu dan dia itulah yang sebenarnya menindas rakyat. Thio-ciangkun itu bukan lain adalah seorang pangeran Mancu yang menyamar sebagai bangsa Han sehingga dia dapat mengelabui banyak orang gagah menjadi pengkhianat bangsa. Dan tahukah engkau, Lauw Heng San, bahwa isterimu itu, Kui Siang, bukan bermarga Thio melainkan bermarga Bu?"
Heng San mengangguk. "Isteri teecu sudah mengatakan bahwa ia adalah anak tiri Thio-ciangkun."
"Hemm, dan tahukah engkau bagaimana ia menjadi anak tiri pangeran jahanam itu dan siapakah ayah kandungnya?"
Heng San menggeleng kepala. "Ayah kandung Bu Kui Siang bernama Bu Kiat, seorang panglima gagah perkasa dalam pasukan Jenderal Gouw Sam Kwi. Panglima Bu Kiat tewas dalam pertempuran. Isteri dan anaknya yang baru berusia dua tahun menjadi tawanan. Karena kecantikannya, maka Thio Ci Gan alias Pangeran Mancu itu mengambilnya sebagai selir. Nyonya Bu terpaksa tunduk demi menyelamatkan anak perempuannya, yaitu Bu Kui Siang."
Heng San mendengarkan dengan heran dan penasaran, menyesali kebodohannya sendiri. Teringatlah dia akan peristiwa malam itu ketika dia seperti mabok dan terjadilah hubungan intim antara dia dan Kui Siang. Tidak mungkin, pikirnya. Dia bukan laki-laki yang demikian lemah sehingga lupa diri oleh nafsu berahi. Ini pasti ada sebabnya! Kalau Kui Siang dijadikan umpan, berarti tentu ada sesuatu dalam minumannya, yang membuat dia lupa diri. Ah, kasihan Kui Siang!
"Tentu engkau juga belum mengetahui siapa sebenarnya orang-orang yang menjadi pembantunya, yang kau anggap sebagai pendekar-pendekar gagah perkasa itu" tanya pula Ang Jit Tojin.
"Sepanjang penglihatan mata teecu yang hampir buta ini, para pembantu itu adalah orang-orang yang gagah perkasa, kecuali seorang hwesio yang baru datang dari kota raja mengiringkan beberapa puluh perajurit bala bantuan."
"Hemm, jadi si iblis itu juga sudah datang?" Ang Jit Tojin berseru.
"Harap to-heng jangan khawatir. Kalau baru Lui Im Hosiang saja, kami masih sanggup melawannya." kata seorang di antara Ciong-yang Ngo-taihiap.
"Sekarang bersedialah untuk mendengarkan ceritaku yang terakhir" kata Ang Jit Tojin kepada Heng San dengan wajah keren.
"Teecu sudah cukup mendengar dan teecu sudah cukup mengetahui akan kebodohan teecu sendiri. Sekarang teecu hanya menyerahkan jiwa raga ke tangan cu-wi. Terserah, mau disiksa, mau dibunuh, teecu tidak akan melawan. Agaknya tidak ada hal lain yang lebih buruk daripada apa yang telah teecu lakukan. Membunuh suheng sendiri, membunuhi orang-orang gagah pembela bangsa, membunuh Hong Lian yang berjiwa patriot, menawan ayahnya yang ternyata seorang pendekar besar, kemudian... membunuh suhu sendiri. Ya! Suhu terbunuh oleh teecu! Ada apalagi yang jahat daripada itu? Teecu sudah selayaknya menerima binasa. Hanya satu... kalau boleh teecu minta... mohon diselamatkan isteri teecu Bu Kui Siang dan anak dalam kandungannya, kalau bukan demi teecu, ya demi mendiang ayahnya yang patriot sejati….." Sekali lagi air mata bercucuran dari kedua mata pemuda malang itu.
"Karena dosamu memang besar sekali, Lauw Heng San, maka biarlah kuceritakan hal ini padamu agar tampak jelas olehmu betapa tolol dan tersesat sikapmu selama ini. Tahukah engkau bahwa selama ini engkau telah membela dan membantu musuh-musuh besarmu sendiri? Musuh besar yang seharusnya kau basmi untuk membalaskan dendam sakit hati ayah-ibumu?"
Heng San terkejut dan memandang wajah pendeta itu dengan muka pucat sekali. "Apa maksud to-tiang? Ada apa dengan ayah ibuku? Bukankah mereka masih berada di Lin-han-koan?"
Ang Jit Tojin menggeleng-geleng kepala dan bayangan pada wajah pendeta itu membuat Heng San menggigil.
"Apa yang terjadi dengan mereka?" Dia berteriak. "Katakan….. demi Tuhan katakanlah….."
"Tenanglah engkau, orang muda!" seorang di antara lima orang gagah itu menegur.
Ang Jit Tojin berkata lirih. "Orang tuamu….. ayah ibumu….. telah mati terbunuh….."
Heng San merasa seakan-akan nyawanya melayang. Tiba-tiba tubuhnya menerima pukulan yang luar biasa hebatnya sehingga dadanya yang menderita luka dalam terasa nyeri bukan main. Dia meloneat ke depan dan menggunakan tangannya untuk mencengkeram ujung baju pendeta itu. Kedua matanya melotot besar dan wajahnya menyeramkan, kedua lututnya menggigil. Demikian kuat ia mencengkeram sehingga ujung kedua lengan baju itu hancur lebur bagaikan kertas tipis saja.
"Tolong….. tolong katakan siapa pembunuh ayah ibuku?"
Datanglah pukulan terakir yang merupakan hukuman hebat bagi Heng San, keluar dari mulut Ang Jit Tojin. "Siapa lagi? Siapa lagi pembunuh mereka kalau bukan orang yang kau puji-puji, kau junjung tinggi, kau bela dan kau sembah itu? Pembunuhnya bukan lain adalah Thio-ciangkun dan kaki tanganya.”
Untuk sejenak Heng San bagaikan berubah menjadi mayat atau patung hidup. Tubuhnya menjadi kaku dan diam tak bergerak, hanya kedua matanya yang bergerak-gerak memandang kepada Ang Jit Tojin dan pindah kepada kelima orang pendekar dari Ciong-yang itu. Kemudian, tiba-tiba ia memekik keras dan dari mulutnya tersembur darah merah. Dia terhuyung-huyung lalu jatuh pingsan di depan kaki Ang Jit Tojin.
Ketika dia sadar kembali, Heng San mendapatkan dirinya telah berbaring di atas sebuah pembaringan dalam sebuah kamar. Dia merasa dadanya hangat dan ketika dia meraba, ternyata dadanya telah ditempeli obat ko-yo (obat tempeI) yang hitam dan hangat. Ketika dia mengerling, dia melihat lain tubuh membujur di atas sebuah pembaringan kayu dan ketika dia memperhatikan, ternyata itu adalah jenazah suhunya. Dia melompat bangun, tidak memperdulikan dadanya yang terasa sakit, lalu dia menubruk dan memeluki jenazah suhunya sambi! menangis.
Ang Jit Tojin berlari masuk dan menegurnya. "Hemm, bagus! Engkau benar-benar seorang jantan! Tadinya tertipu dan menjadi pengkhianat bangsa, kini hanya menangis seperti seorang perempuan cengeng! Ah, sungguh mengecewakan sekali mempunyai murid seperti engkau ini Kasihan sekali sahabatku Pat-jiu Sinkai mempunyai murid bodoh dan lemah!"
"Totiang, kenapa aku tidak dibunuh? Kenapa aku malah diobati? Siapa yang melakukan ini?"
Pendeta itu menghela napas panjang. "Pinto memang berhati lemah. Tidak tega membunuh orang yang sedang terluka dan pingsan. Bagaimanapun juga, engkau tersesat karena tertipu. Pula, kami membutuhkan tenaga-tenaga yang kuat dan engkau tentu suka membantu kami melanjutkan perjuangan gurumu membasmi para durjana antek penjajah itu, untuk membalaskan sakit hati orang tuamu, untuk membalaskan sakit hati gurumu. Ataukah engkau begitu pengecut sehingga tidak berani menentang jahanam she Thio dan para jagoannya?"
"Cukup...!" Heng San membentak, tubuhnya menggigil dan dia tidak memperdulikan lagi sopan santun saking marahnya. "Kau kira aku ini seorang manusia yang berhati binatang dan sedemikian rendahnya? Lihat, akan kubuktikan kejantananku! Akan kuperlihatkan kepadamu bahwa tidak percuma suhu mengambil aku sebagai muridnya. Akan kuperlihatkan kepada ayah bundaku bahwa mereka tidak percuma mempunyai anak seperti aku! Lihat, sebelum jenazah suhu menjadi dingin, sebelum kedua mata, suhu tertutup tanah, akan ada banjir darah di gedung Thio-ciangkun. Lihat dan dengarlah saja!"
Sebelum Ang Jit Tojin dapat menjawab, Heng San sudah melompat keluar dari kuil dan berlari cepat sekali. Ang Jit Tojin menggeleng-geleng kepalanya dan berkata perlahan, "Kasihan anak itu!”
Akan tetapi baru saja dia bangkit berdiri, tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu pemuda itu. telah berdiri di depannya. Wajah pemuda itu sudah berubah, bukan wajah orang biasa lagi, lebih pantas disebut wajah orang gila, atau mayat hidup, atau setan!
"Eh, mengapa engkau kembali lagi?" tanya Ang Jit Tojin heran.
"Satu pertanyaan lagi, totiang. Mengapa mereka membunuh orang tuaku, pedagang obat yang tidak berdosa?"
"Pedagang tidak berdosa? Ah, di mata srigala tidak ada orang berdosa atau tidak berdosa. Yang penting baginya orang itu mencurigakan atau tidak. Mata srigala itu penuh bayangan para patriot. Suhumu, Pat-jiu Sin-kai, telah lama masuk daftar hitam orang-orang yang harus diburu dan dibunuh. Ketika para penyelidiknya mengetahui bahwa Pat-jiu Sin-kai berhubungan baik dengan orang tuamu, maka orang tuamu juga masuk daftar hitam dan harus dibasmi semua."
"Terima kasih, totiang!" Sekali lagi Heng San berkelebat dan menghilang keluar kuil. Ang Jit Tojin segera pergi ke belakang menemui Ciong-yang Ngo-taihiap, menceritakan bahwa Heng San telah berlari keluar dan hendak membuat banjir darah di rumah Thio-ciangkun.
Seorang di antara lima pendekar itu berkata, "Memang tiada jalan lain bagiriya untuk menebus dosa. Akan tetapi kita harus dapat menggunakan saat, dan kesempatan baik ini. Lauw Heng San seorang yang kuat dan tinggi ilmu silatnya. Mari kita mengejarnya dan bersama-sama menggunakan kesempatan ini untuk menghancurkan kekuatan pangeran Mancu yang menyamar sebagai orang she Thio dan kaki tangannya itu dan yang terpenting membebaskan Ma-enghiong."
Demikianlah, merekaberenam mengadakanperundingan, memerintahkan para anak buah untuk mengurus jenazah Patjiu Sin-kai, Ma Hong Lian, dan murid lain. Setelah itu mereka berenam bergegas mempergunakan ilmu berlari cepat mengejar Heng San menuju ke kota Keng-koan.
Heng San berlari secepatnya dan tiada hentinya hati akal pikirannya menyesali semua perbuatannya. Di dalam hatinya bernyala api besar yang seakan-akan hendak membakar dirinya dari dalam. Api kemarahan terhadap Thio-ciangkun dan kaki tangannya. Dia dapat menduga bahwa suhunya tentu singgah di rumah orang tuanya ketika mencari-cari kawan seperjuangan dan karena dia menjadi orang buruan pemerintah.
Maka orang tuanya lalu dicurigai dan dibunuh oleh kaki tangan Thio-ciangkun. Dan dia sudah menjadi pembantu Thio-ciangkun, membelanya mati-matian bahkan menjadi mantunya! Kemarahannya membuat Heng San, berlari lebih cepat lagi dan sebentar saja dia sudah tiba di kota.
Tiba-tiba dia teringat kepada Liok Ham Sai, pembesar yang dulu ditolongnya dari serangan para pejuang yang ketika itu dianggapnya perampok, lalu memperkenalkannya kepada Thio-ciangkun. Ah, ti-koan itupun seorang kaki tangan pemerintah penjajah Mancu, seorang Han yang menjadi pengkhianat...!