Si Tangan Halilintar Jilid 10 karya Kho Ping Hoo - Pikiran ini membuat Heng San berlari menuju ke gedung Liok-tikoan. Ketika itu, matahari telah turun ke barat dan hari telah menjadi sore. Heng San melompat ke atas genteng gedung tikoan dan langsung turun ke ruangan belakang.
Dia melihat dua orang penjaga sedang bercakap-cakap yang menjadi kaget ketika melihat seorang pemuda yang tiba-tiba berdiri di situ. Akan tetapi mereka segera mengenal bahwa pemuda itu adalah komandan Pasukan Garuda Sakti yang terkenal, maka mereka segera menyambut dengan hormat.
"Di mana Liok-tikoan?" tanya Heng San singkat.
"Beliau berada di taman. Apakah Ciang-kun hendak bertemu dengan Liok-taijin?"
Tanpa menjawab, Heng San menggerakkan kedua tangannya dan dua orang penjaga itu terpelanting roboh pingsan seketika! Heng San berlari ke belakang dan dalam taman dia mendapatkan Liok-tikoan sedang duduk makan angin bersama dua orang selir mudanya. Pembesar gendut pendek itu merasa heran sekali melihat Heng San memasuki taman tanpa memberitahu lebih dulu.
Akan tetapi dia segera dapat mengenal pemuda itu dan tersenyum. Sebelum dia dapat menegur atau menyapa, Heng San sudah melompat ke depannya dan sekali kakinya mencuat dengan amat kuatnya ke arah lambung, terdengar suara berdebuk dan tubuh Liok-tikoan terlempar ke udara lalu terbanting jatuh dan tewas seketika!
Kedua orang selir itu menjerit, akan tetapi Heng San menggunakan kedua tangannya menangkap mereka dan melemparkan tubuh mereka ke dalam kolam ikan yang berada dekat situ sehingga saking takutnya kedua orang perempuan itu sudah pingsan sebelum tercebur ke dalam air.
Heng San memandang tubuh Liok-tikoan dengan puas, lalu ia melompat keluar taman dan langsung berlari cepat ke gedung Thio-taijin. Dia teringat akan isterinya dan cepat menuju ke rumahnya terlebih dulu, rumah yang tidak jauh letaknya dari gedung Thio-ciangkun.
Kui Siang menyambutnya dengan mata terbelalak dan muka pucat. Baju suaminya berlepotan darah, darah suhunya dan darahnya sendiri. Segera isteri ini memegang lengan suaminya.
"San-ko...! Apa.... apa yang terjadi....?" Isteri ini merasa ngeri juga melihat wajah suaminya yang tidak seperti biasanya, wajah itu pucat, kedua matanya merah dan garis-garis wajah itu menunjukkan kemarahan besar.
"Kui Siang, isteriku, cepat engkau berkemas. Bawa perhiasan dan bekal secukupnya. Engkau harus pergi dari sini, cepat dan jangan banyak bertanya!"
Tentu saja Kui Sing terkejut dan merasa heran sekali. Akan tetapi ia adalah seorang isteri yang selain amat mecinta suaminya, juga amat taat maka tanpa banyak cakap ia lalu berkemas, membawa sedikit pakaian dan hiasan dalam sebuah buntalan kain.
Sementara itu Heng San mengambil sebuah kitab. Itu adalah kitab pelajaran ilmu silat tangan kosong Ngo-heng Lian-hwan Kun-hoat, ilmu silat tangan Kosong yang dulu dipelajarinya dari Pat-jiu Sin-kai, akan tetapi telah disempurnakannya sendiri, digubahnya menjadi ilmu silat tangan kosong istimewa yang dia beri nama Silat Tangan Halilintar!
"Bawa kitab ini, jangan sampai hilang kelak, engkau harus menyuruh anak kita mempelajari dan mewarisi ilmuku ini. Sekarang, cepat engkau keluar dari kota ini, pergi ke selatan dan cari sebuah kuil di hutan ke dua, di bawah bukit Ayam, dimana ada sahabat-sahabatku yang akan menolongmu!"
"Akan tetapi... apa artinya semua ini? Apa yang terjadi, suamiku?" kata Kui Siang sambil menggendong buntalan itu di punggungnya setelah memasukkan kitab ke dalam buntalan.
"Jangan banyak bertanya, kelak engkau akan mengerti. Yang penting, ketahuilah, kalau engkau berada di sini, nyawamu terancam. Nah, pergilah cepat, isteriku dan selamat berpisah!" Dia merangkul dan mencium muka isterinya. "Aku cinta padamu, Kui Siang."
"Aku.... aku.... pun cinta padamu, San-ko.....!" Wanita itu terisak dan dengan hati yang tidak karuan rasanya, ia lalu berlari keluar, bingung sekali akan tetapi tetap ingin menaati perintah suaminya.
Setelah merasa yakin bahwa isterinya telah pergi menyelamatkan diri dan yakin pula bahwa Ang Jit Tojin yang dia tahu adalah seorang pendeta patriot dan pendekar dan kawan-kawannya tentu mereka akan menolong dan melindungi isterinya. Heng San lalu melompat keluar dan berlari ke arah gedung Thio-ciangkun. Dia langsung masuk dari pintu depan dan yang pertama menyambutnya adalah seorang prajurit anak buahnya sendiri, yaitu anak buah Pasukan Garuda Sakti yang malam itu bertugas jaga di gedung Thio-ciangkun.
"Selamat malam, Lauw-ciangkun. Ciangkun dari mana sajakah? Thio-taijin dan para pembantunya mencari-cari sejak tadi."
"Antar aku padanya!" kata Heng San singkat sehingga anak buahnya itu memandang heran karena sikap Heng San tidak seperti biasa, akan tetapi ia tidak berani membantah dan segera mengantarkan Heng San ke ruangan tamu yang luas.
Setelah memasuki ruangan itu, Heng San melihat bahwa Thio-ciangkun sedang duduk bercakap-cakap dengan Lui Tiong, Ban Hok, Auwyang Sin dan Lui Im Hosiang yang sebetulnya adalah paman guru sendiri dari Lui Tiong. Heng San langsung melangkah, menghampiri Thio-ciangkun. Pembesar ini menerimanya dengan senyum ramah dan bertanya dengan lembut kepada mantunya.
"Heng San, dari manakah engkau? Kami mencarimu sejak tadi untuk kami ajak berunding."
"Jawablah dulu pertanyaanku ini. Benarkah ayah menyuruh bunuh keluarga Lauw Cin tukang obat di dusun Lin-han-kwan?"
Mendengar pertanyaan yang diucapkan kurang hormat oleh mantunya ini, dan melihat pakaian Heng San yang berlepotan darah dan wajahnya yang bengis, Thio-ciangkun menjadi heran, akan tetapi menjawab dengan tenang karena belum timbul persangkaan buruk atau kecurigaan dalam hatinya, hanya keheranan.
"Benar, mereka adalah anggauta pemberontak yang berbahaya, mungkin menjadi mata-mata pemberontak, anak buah Pat-jiu Sin-kai yang menjadi buruan kita."
"Binatang keji! Srigala terkutuk! Mereka adalah orang tuaku. Rasakan pembalasanku!" Dan tiba-tiba Heng San sudah menerjang ke depan dan menggunakan pukulannya yang paling ampuh, dengan mengerahkan seluruh tenagarnya!
"Dukkk!!" Kiranya sebelum pukulan itu mengenai dada Thio-ciangkun, dari samping Lui Im Hosiang telah melompat dan menangkisnya. Dua lengan tangan bertumbuk dan keduanya terpental ke belakang.
"Hemm, aku harus bunuh dulu pendeta palsu inil" Heng San berkata lalu maju menerjang. Lui Im Hosiang segera meyambutnya dan kedua orang itu berkelai mati-matian. Ternyata Lui im Hosing berkepandaian sangat tinggi sehingga dia dapat mengimbangi amukan Heng San. Para jagoan lain tidak tinnggal diam terutama Lui Tiong yang memang menaruh dendam dan merasa tidak suka kepada Heng San. Melihat Heng San sudah bertanding melawan susioknya (paman gurunya), dia berseru nyaring.
"Bangsat rendah tak mengenal budi! Sudah kusangka engkau bukan manusia baik-baik. Hayo kawan-kawan, kepung dan tangkap dia!"
Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan dari luar. "Pengkhianat-pengkhimat kecil, bersiaplah untuk menerima kematian!" Enam bayangan berkelebat masuk dan mereka itu bukan lain adalah Ang Jit Tojin dan lima orang Pendekar besar dari Ciong-yang!
Ang Jit Tojin sudah bergebrak melawan Lui Tiong. Heng San yang sudah terbebas dari pengeroyokan, kini tinggal menghadapi pengeroyokan Auwyang Sin dan Ban Hok yang dibantu pula oleh lima orang perajurit pengawal. Biarpun dia dikeroyok tujuh orang, namun sepak terjang Heng San yang marah seperti kerasukan setan itu dahsyat bukan main sehingga Auwyang Sin dan Ban Hok mengeluarkan keringat dingin dan merasa gentar bukan main.
Ciong-yang Ngo Tai-hiap sudah mengepung Lui Im Hosiang dan terjadilah perkelahian yang seru. Mereka berlima mempergunakan Ngo-heng Kiam-tin (Barisan Pedang Lima Unsur) yang mengangkat nama mereka sebagai pendekar-pendekar besar yang amat terkenal.
Amukan Heng San semakin hebat. Lima orang perajurit itu sudah berpelanting dan disambar tamparan tangan dan tendangan kaki Heng San. Auwyang Sin dan Ban Hok semakin gentar. Akan tetapi mereka tidak sempat melarikan diri karena Heng San terus mendesaknya dan pada suatu kesempatan terbuka, Heng San menyerang sambil memekik dahsyat.
"Haaaiiiiiiittttt...!" Pukulan tangannya menghantam dada Ban Hok dan kaki kirinya mencuat ke arah lambung Auwyang Sin. Kedua orang itu menjerit dan roboh tak berkutik lagi. Tulang-tulang iga Ban Hok patah-patah dan isi lambung Auwyang Sin terguncang hebat dan rusak.
Pada saat itu datang belasan orang perajurit yang mengeroyoknya. Namun, Heng San terus mengamuk. Belasan macam senjata tajam dan runcing menghujani tubuhnya. Pakaiannya koyak-koyak namun tubuhnya terlindung ilmu kekebalan sehingga hanya lecet-lecet dan berdarah-darah. Namun, belasan orang itupun dapat dirobohkan satu demi satu. Sungguh hebat sepak terjang Heng San. Benar-benar dia pantas disebut Pukulan Sakti Tanpa Tanding!
Sementara itu, Ciong-yang Ngo-taihiap yang mengeroyok Lui Im Hosiang dapat pula menjepit pendeta sesat yang kosen itu sehingga pada kesempatan terakhir lima batang pedang dengan berbareng bersarang ke dalam tubuh yang berbulu seperti monyet itu dan Lui Im Hosiang memekik seram lalu terkulai roboh dan tewas seketika.
Setelah merobohkan Lui Im Hosiang lima orang pendekar itu segera menyerbu para perajurit yang masih mengeroyok Heng San. Melihat datangnya bantuan ini, Heng San lalu meninggalkan para pengeroyoknya. karena ia melihat betapa Ang Jit Tojin masih belum berhasil mengalahkan Lui Tiong yang membela diri mati-matian. Heng San berteriak keras dan sebuah serangan tangan kanannya dilancarkan dengan hebat ke lambung si harimau muka kuning.
Lui Tiong mengelak, akan tetapi pada saat itu kebutan ujung lengan baju Ang Jit Tojin menyerempet mukanya sehingga dia terhuyung ke belakang. Saat itu dipergunakan oleh Heng San untuk mengayun kepalan dan dengan mengeluarkan suara keras pecahlah kepala Lui Tiong dihantam kepalan maut Heng San!
Terdengar suara tawa menyeramkan seperti suara iblis sendiri. Bahkan Ang Jit Tojin sendiri merasa bulu tengkuknya meremang melihat betapa Heng San dengan tubuh penuh darah, juga kedua kepalannya menjadi merah karena darah para korbannya, berjalan perlahan sambil menyeringai menghampiri Thio-ciangkun!
Sebagai seorang panglima perang Thiociangkun atau Thio Ci Gan yang nama aslinya adalah Pangeran Abagan, tidak melarikan diri. Dia cukup jantan untuk menghadapi semua itu dengan gagah. Dia berdiri di situ dengan sebatang golok di tangan, menyaksikan betapa para jagoannya tewas seorang demi seorang Pangeran Mancu itu menghela napas panjang melihat kegagahan luar biasa dari Heng San.
Dia merasa menyesal mengapa dia salah tangan membunuh Lauw Cin dan isterinya, tidak tahu bahwa mereka adalah orang tua Heng San. Dia benar-benar merasa kehilangan seorang pembantu yang hebat, yang sudah menjadi mantunya pula. Dia maklum bahwa saat binasanya telah tiba.
Akan tetapi dia hendak mati sebagai seorang panglima yang membela bangsanya, dengan golok di tangan. Maka ketika Heng San menghampirinya dengan sikap yang menyeramkan, dia menanti dengan tenang, dengan golok di tangan, siap untuk melawan sampai darah terakhir!
Tiba-tiba Heng San memekik nyaring dan maju menerjang dengan ganasnya. Akan tetapi ternyata Pangeran Mancu itu bukan seorang lemah. Ilmu silatnya cukup tinggi, gerakannya gesit dan tenaganyapun besar. Dia mengelak dan balas menyerang hebat dengan goloknya. Pada saat itu tenaga Heng San hampir habis. Yang menggerakkan kaki tangannya hanya kenekadan dan hawa amarah yang besar didorong sakit hati yang mendalam.
Ketika itu, para pendekar telah berhasil membasmi para pengawal. Mayat berserakan dan bertumpuk di ruangan yang luas itu. Semua pendekar berdiri dan menonton perkelahian mati-matian antara Heng San dan Pangeran Abagan alias Thio Ci Gan. Ketika Ciong-yang Ngo-taihiap hendak membantu, Ang Jit Tojin mencegah mereka.
"Biarkan dia sendiri yang membalas dendamnya," kata pendeta itu.
Karena sudah merasa letih sekali dan kehabisan tenaga, Heng San merasa bahwa tidak mungkin dia dapat merobohkan lawan dengan cara biasa karena lawannya ternyata cukup tangguh. Maka dia lalu mengambil keputusan nekat, yaitu untuk mengadu nyawa.
Tiba-tiba dia menggunakan jurus Kong-ciak-kaipeng (Burung Merak Membuka Sayap), kedua tangannya terpentang lalu dia menerkam, tidak memberi jalan keluar bagi lawannya untuk mengelak. Melihat kesempatan ini, Pangeran Abagan lalu menusukkan goloknya ke arah dada Heng San.
"Ceppp..... kekkk...!" Golok itu menembus dada Heng San, akan tetapi kedua tangan Heng San yang menjadi seperti cakar-cakar baja itu juga berhasil menceengkeram leher lawan. Keduanya roboh dan Heng San berada di atas tubuh Pangeran Abagan.
Ang Jit Tojin dan kawan-kawannya menghampiri dan ternyata kedua orang itu sudah tewas. Golok Thio Ci Gan atau Pangeran Abagan menembus dada Heng San sedang jari-jari kedua tangan Heng San mencengkeram leher lawan sehingga tulang leher itu patah dan biarpun sudah mati, tetap saja kedua tangan Heng San tidak dapat dilepaskan dari leher itu!
Ang Jit Tojin dan lima orang pendekar dari Ciong-yang itu menundukkan kepala dan menindas rasa haru yang menindih hati mereka. Mereka lalu menceari Ma Giok yang mereka ketemukan terbelenggu di sebuah kamar tahanan. Mereka lalu membebaskan Ma Giok dan juga membebaskan seluruh keluarga Thio ciangkun. Sebagian besar dari keluarga itu memang sudah melarikan diri ketika pertempuran terjadi.
Setelah gedung itu kosong, para pendekar lalu membakar gedung itu sehingga semua yang berada dalam gedung itu menjadi makanan api, termasuk mayat mereka yang tewas, juga jenazah Lauw Heng San.
Tentu saja kota Keng-koan menjadi gempar dan ketika pasukan pembantu dari luar berdatangan, para pendekar sudah melarikan diri dari situ, meninggalkan gedung Thio-ciangkun yang menjadi lautan api.
Sambil menangis terisak-isak wanita muda itu berlari, tersaruk-saruk memasuki kegelapan malam. la adalah Bu Kui Siang, isteri Lauw Heng San yang menaati perintah suaminya untuk melarikan diri ke luar dari rumah, ke luar dari kota Keng-koan dan menuju ke sebelah selatan di luar kota. Hatinya kacau, bingung, gelisah tak menentu. Ia diharuskan membawa buntalan pakaian dan perhiasan melarikan diri ke luar dari kota malam-malam gelap begitu, disuruh pergi ke sebuah kuil yang berada di hutan ke dua di kaki Bukit Ayam.
Padahal ia sama sekali tidak tahu dan tidak dapat menduga mengapa ia harus melarikan diri, tidak tahu apa yang telah, sedang dan akan terjadi! Kalau ia membayangkan keadaan suaminya, dengan pakaian berlepotan darah, pakaian cabik-cabik wajahnya begitu menyeramkan, hatinya terasa seperti diremas-remas. Pasti telah terjadi sesuatu yang amat hebat. Aka tetapi apa? Tidak ada yang dapat ditanyai. Ia tidak tahu apa perlunya harus melarikan diri.
Akan tetapi karena ia percaya sepenuhnya kepada suami yang amat dicintanya, maka iapun menaatinya dengan membuta. Disuruh melarikan diapun melarikan diri, nekat tersaruk-saruk di malam gelap, hanya diterangi sinar bintang yang bertaburan di langit.
Karena malam gelap dan ia tidak mengenal jalan, maka Kui Siang akhirnya hanya melangkah perlahan-lahan. Hatinya diliputi rasa takut yang hebat. Bukan saja takut dan gelisah membayangkan yang bukan-bukan akan terjadi pada suaminya melainkan juga ngeri melihat kegelapan di sekelilingnya. Ketika ia tiba di hutan pertama, ia melihat pohor pohon besar itu di dalam kegelapan seperti berubah menjadi bentuk-bentuk iblis dan hantu yang bergerak-gerak seperti hendak menerkamnya.
Suara pohon tertiup angin berdesir dan berdesah-desah amat menakutkan, diselingi suara burung dan kutu-kutu malam yang saling sahut dari dalam hutan. Hampir pingsan ia ketika tiba-tiba terdengar suara berkerosak, mungkin ada binatang terkejut dan lari dalam semak-semak ketika ia lewat.
"Thian (Tuhan)... lindungilah hambaMu ini...." ia berdoa sambil terus melangkah maju satu-satu dan perlahanhan. Kakinya terasa hampir patah, tubuhny'a sudah lemas dan kulit kakinya lecet-lecet oleh sepatu karena wanita itu tidak biasa melakukan perjalanan jauh di atas jalan yang kasar dan keras penuh batu itu. Hampir ia tidak kuat dan ia berhenti sebentar, berdiri dan mengatur napas tiba-tiba terdengar suara orang dan nampak ada sinar api bergerak dari dalam hutan.
Hati Kui Siang menjadi gembira. Ada orang Ini berarti ia akan mempunyai teman seperjalanan. Dan orang-orang itu membawa obor pula! Sudah tampak bayangan tujuh orang laki-laki dan mereka semua masing-masing membawa sebatang obor. Mereka segera datang mendekat ketika mendengar suara wanita berseru.
"Heii, kawan-kawan.....! Ke sinilah dan tolonglah aku...!"
Setelah tiba dekat, mereka mengepung Kui Siang dan mengangkat obor mereka tinggi-tinggi. Mula-mula tujuh orang yang wajahnya kasar dan bengis itu tampak ketakutan. Siapa yang tidak takut melihat di tepi hutan liar, pada malam hari lagi, seorang wanita yang demikian cantiknya?
Mereka mengira bahwa mereka bertemu dengan sebangsa siluman. Walaupun mereka itu orangorang yang biasa melakukan kekerasan dan tukang-tukang berkelahi, namun kalau disuruh berhadapan dengan siluman tentu saja mereka ketakutan!
"Ia..... ia..... siluman....!" Beberapa buah mulut berbisik ketakutan dan semua kaki sudah siap untuk meiarikan diri. Akan tetapi laki-Iaki brewok yang usianya sekitar empat puluh tahun, membentak mereka.
"Goblok! Jangan lari, jangan takut lihat, kedua kakinya bersepatu dan menginjak tanah. Lihat, matanya tidak liar dan tidak ada ekor menonjol keluar dari pinggulnya. Ia bukan siluman, kawan. Ia manusia, seorang wanita yang cantik sekali!"
Si brewok ini adalah pemimpin gerombolan itu dan mendengar ucapan pemimpin mereka itu, para anak buahnya menjadi berani dan setelah mereka merasa yakin bahwa yang mereka. hadapi adalah seorang wanita muda yang cantik jelita dan bukan siluman, mereka tertawa-tawa. Akan tetapi karena si brewok itu sudah menghampiri Kui Siang, maka merekapun tidak berani mengganggu, hanya menonton dengan mata liar, haus dan kagum.
"Nona, siapakah engkau dan mengapa malam-malam begini berada di hutan ini seorang diri?" tanya si brewok sambil menatap wajah cantik itu dengan sepasang matanya yang besar.
Setelah kini berhadapan dekat dengan tujuh orang itu, Kui Siang menjadi takut karena melihat betapa mereka itu berwajah menyeramkan, tampak bengis dan kasar, memandang kepadanya dengan mata melotot seolah hendak menelannya bulat-bulat dengan pandang mata mereka. Berbagai bayangan menakutkan menyusup di benaknya dan ia menjadi pueat, tubuhnya gemetaran.
Melihat ini, si brewok yang bertubuh tinggi besar itu tertawa bergelak sambil mendongak sehingga tampak perutnya yang gendut terguncang. "Ha-ha-ha-ha! Jangan takut, nona manis. Ketahuilah, aku adalah Teng Bhok, seorang pendekar yang memimpin kawan-kawan ini untuk bergabung dengan para pejuang. Kami adalah orang-orang gagah yang tidak pantas ditakuti. Hayo katakan, siapa engkau dan mengapa malam-malam berada di sini?"
Mendengar inl, timbul keberanian dalam hati Kui Siang. Ia Ingin mempergunakan nama suaminya untuk menakut-nakuti mereka. "Aku bukan nona, melainkan seorang nyonya. Suamiku adalah Panglima Lauw Heng San, komandan Pasukan Garuda Sakti...."
"Wah, ia isteri musuh kita! Bunuh saja, Teng-toako (Kakak Teng)!" teriak seorang anak buahnya dan yang lain juga berteriak-teriak.
"Kalau kita membunuhnya, kita tentu mendapatkan pahala karena membuat jasa besar!" kata yang lain. Tentu saja Kui Siang menjadi semakin ketakutan, apalagi melihat mereka mencabut golok.
"Diam kalian semua!" Teng Bhok membentak. Semua orang terdiam. "Simpan golok kalian!" Dia membentak lagi. Semua anak buahnya menurut.
"Suaminya memang musuh kita, akan tetapi perempuan ini milikku, tidak boleh ada yang mengganggu! Hei, nyonya, mulai saat ini engkau harus menuruti semua kata-kata dan kehendakku. Kalau tidak, engkau akan kuserahkan kepada anak buahku biar dijadikan rebutan!"
Kui Siang menggigil mendengar ancaman ini. Ia dalah seorang wanita lemah akan tetapi cukup cerdik untuk memaklumi bahwa ia berada dalam keadaan yang gawat dan berbahaya sekali. "Aku akan taat..... kasihanilah aku, Teng-enghiong (Pendekar Teng), kasihanilah seorang wanita yang tidak berdaya...."
Teng Bhok tertawa, senang sekali hatinya disebut eng-hiong (pendekar) dan hatinya terasa mongkok (bangga). "Haha, engkau akan selamat di bawah perlindunganku. Coba kulihat isi buntalanmu itu!"
Karena takut orang itu akan mempergunakan kekerasan, terpaksa Kui Siang menyerahkan buntalan pakaiannya. Di bawah sinar banyak obor yang cukup terang, Teng Bhok memeriksa isi buntalan. Dia tertawa girang ketika menemukan perhiasan yang amat berharga itu dan segera menyimpannya dalam kantung bajunya!
Ketika menemukan kitab yang diberikan Lauw Heng San kepada isterinya itu, Teng Bhok menyeringai dan membuangnya ke atas tanah. Dia dan enam orang anak buahnya adalah orang-orang buta huruf, apa gunanya kitab itu? Setelah mengaduk-aduk isi buntalan dan melihat bahwa yang ada hanya pakaian wanita, Teng Bhok mengikat lagi buntalan itu dan menyerahkan kepada Kui Siang.
"Nih, bawalah buntalanmu." Kui Siang menerima buntalan itu tanpa mencela. Kitab yang dibuang tadi telah ia ambil dan ia simpan di balik pakaiannya. Baginya, kitab itu yang terpenting daripada segalanya.
Setelah menyerahkan buntalan, Teng Bhok menoleh kepada enam orang anak buahnya dan sambil menyeringai dia berkata, "Sekarang kalian menjauhlah dari sini, tinggalkan kami berdua dan jangan ganggu aku!"
Enam orang itu tertawa-tawa dan pergi meninggalkan tempat itu. Kini hanya Teng Bhok dan Kui Siang berdua saja yang berada di situ. Teng Bhok lalu menancapkan gagang obornya di atas tanah, lalu dia menghampiri Kui Siang dan berkata. "Siapa namamu?"
"Nyonya Lauw Heng San...."
"Hush! Maksudku nama kecilmu!"
"Namaku Bu Kui Siang....."
"Nama yang bagus, secantik orangnya. Nah, Kui Siang, mulai saat ini engkau menjadi isteriku tersayang!" Si brewok tinggi besar itu makin mendekat.
Kui Siang melangkah mundur dan tiba-tiba timbul keberanian luar niasa dalam hatinya melihat kehormatannya terancam. Lebih baik mati daripada ternoda laki-laki jahanam ini! Ia tidak takut mati. "Teng-enghiong, aku adalah seorang wanita baik-baik. Aku bersedia menjadi isterimu, akan tetapi secara terhormat, dengan pernikahan yang sah. Kalau engkau memaksaku dan memperkosa aku, maka aku pasti akan membunuh diri! Jangan engkau sentuh aku sebelum engkau menikahi aku dengan sah!" Suara wanita itu kini sama sekali tidak mengandung rasa takut, bahkan mengancam!
Akan tetapi Teng Bhok yang sudah dibakar nafsu berahinya itu menganggap ucapan itu hanya gertak sambal belaka. "Ha-ha-ha, bagaimana engkau hendak membunuh diri, manis? Engkau tidak punya racun, tidak punya senjata tajam mau bunuh diri, aku selalu dapat mencegahmu, ha ha ha?”
“Hemmm, kau kira aku begitu bodoh? Aku dapat melompat ke jurang, aku dapat membenturkan pecah kepalaku pada batu, dinding dan lain-lain, atau aku dapat menggigit lidahku sendiri sampai putus dan mati kehabisan darah! Masih ada seribu cara untuk membunuh diri."
Teng Bhok terkejut. Benar juga, pikirnya. Dia sudah tergila-gila melihat wanita yang amat cantik ini. Sayang kalau membunuh diri. Dia ingin Kui Siang menjadi isterinya yang akan menghiburnya selamanya "Aih, jangan lakukan itu, sayang...." Dia menahan diri dan tidak berusaha merangkul lagi.
"Kalau begitu, hentikan niatmu memperkosa aku!" Kui Siang menghardik.
"Tapi engkau benar mau kuperisteri secara terhormat, kunikahi dengan sah?"
"Kita lihat saja perkembangannya nanti. Kalau engkau tidak bersikap kasar dan kurang ajar kepadaku, tentu aku bersedia."
Teng Bhok sudah tergila-gila kepada Kui Siang dan dia tidak ingin kehilangan wanita itu, maka dia mengangguk. "Baik, Kui Siang, aku akan sabar menanti sampai kita menikah dan engkau menyerahkan dirimu dengan suka rela kepadaku!"
Setelah berkata demikian Teng Bhok memanggil enam orang anak buahnya. Mereka bermunculan dan merasa heran mengapa pemimpin mereka tampaknya masih belum melakukan apa-apa terhadap wanita cantik itu. Akan tetapi mereka tidak berani bertanya. "Hayo kita lanjutkan perjalanan. Mari Kui Siang, engkau ikut denganku."
Rombongan itu melanjutkan perjalanm mereka dan Kui Siang terpaksa mengikut laki-laki tinggi besar brewok itu. Bagaimanapun juga, untuk sementara ia selamat dari perkosaan. Dan perasaan wanitanya menyadarkan bahwa laki-laki kasar ini agaknya benar-benar jatuh cinta padanya sehingga menuruti permintaan dan syaratnya. Masih banyak waktu dan kesempatan baginya untuk dapat membebaskan diri dari laki-laki kasar ini.
Dalam hatinya ia tidak percaya bahwa laki-laki seperti ini seorang pendekar patriot, seorang pejuang. Menurut cerita ibunya, seorang pendekar pejuang adalah seorang yang budiman, bukan pengganggu wanita seperti Teng Bhok dan anak buahnya ini yang sepak terjangnya seperti perampok! perhiasannya juga sudah dirampas orang kasar ini. Untung bahwa kitab pemberian suaminya itu tidak dirampas.
Ia hanya mempertahankan kitab itu dengan segala kemampuannya, karena kitab itu diperuntukkan anak yang dikandungnya! Teringat.kan ini, ia teringat kepada suaminya. hampir ia menangis menjerit-jerit kalau teringat suaminya. Apa yang terjadi? Ia belum mengetahui apa yang terjadi dan kini ia terjatuh ke tangan gerombolan orang kasar dan jahat!
Karena perjalanan itu tidak dapat cepat walaupun menggunakan obor, pada keesokan harinya barulah rombongan itu tiba di tempat yang dituju. Ketika melihat bahwa mereka berada di depan sebuah kuil tua di kaki bukit, Kui Siang terbelalak dan jantungnya berdebar keras. Bukankah ini kuil di kaki Bukit Ayam seperti yang diceritakan suaminya, kemana ia harus pergi dan di situ terdapat sahabat-sahabat suaminya? Ia menanti dan memandang ke arah kuil dengan harap-harap cemas.
Di ruangan depan kuil itu tampak ada enam buah peti mati berjajar dan seorang tosu memimpin sembahyangan. Yang bersembahyang ada belasan orang bersama tosu itu. Melihat ini, Teng Bhok memberi isarat kepada Kui Siang dan enam orang anak buahnya untuk maju menghampiri kuil.
Ang Jit Tojin, tosu yang memimpin upacara sembahyang itu, setelah mengetahui akan kedatangan serombongan orang itu, cepat keluar dan menyambut mereka di pekarangan kuil. Dia segera ditemani lima orang gagah yang bukan lain adalah Ciong-yang Ngo-taihiap (lima pendekar besar dari Ciong-yang).
Para pendekar ini siap siaga melihat tujuh orang yang berwajah bengis dan bersikap kasar itu, akan tetapi merekapun merasa heran sekali melihat ada seorang wanita muda yang cantik jelita dan berpakaian seperti bangsawan menggendong buntalan pakaian datang bersama rombongan laki-laki kasar itu.
Teng Bhok yang memimpin rombonganya memandang kepada Ang Jit Tojin dan lima orang pendekar gagah perkasa dari Ciong-yang dan dia mengangkat kedua tangan depan dada sebagai penghormatan secara sembarangan, diturut oleh enam orang anak buahnya. Sebagai orang-orang yang mempelajari tata susila Ang Jit Tojin dan lima orang kawannya membalas penghormatan itu.
"To-tiang," kata Teng Bhok dengan suaranya yang nyaring. "Kami mendengar bahwa para pendekar pejuang berada di kuil ini dan kami ingin menjumpai mereka. Benarkah kami berhadapan dengan para pendekar yang berjuang melawan pemerintah Mancu penjajah?"
Ang Jit Tojin mengangguk dan sambil memandang dengan sinar mata penuh selidik dan berkata, "Benar, kami adalah pimpinan para pendekar pejuang. Pinto bernama Ang Jit Tojin dan lima orang rekan ini adalah Ciong-yang Ngo-taihiap siapakah cu-wi (anda sekalian) dan apa keperluan cu-wi mencari kami?"
Teng Bhok tertawa dengan bangga. "Ha-ha-ha, kebetulan sekali kami dapat menemukan para pendekar pejuang. Perkenalkan, kami adalah pendekar-pendekar dan aku menjadi pemimpinnya. Namaku Teng Bhok berjuluk Pat-jiu Hek-wan (Lutung Hitam Bertangan Delapan)! Keperluan kami menjumpai kawan-kawan adalah untuk bergabung, bersama-sama berjuang melawan para pembesar Mancu!"
"Bagus!" kata Ang Jit Tojin dengan girang. Baginya tidak peduli orang sikapnya halus atau kasar, pintar atau bodoh, asal berwatak pendekar dan bersemangat untuk menentang pemerintah penjajah Mancu, tentu saja dapat diterima sebagai kawan seperjuangan.
"Akan tetapi, siapakah nona ini?" Dia bertanya heran sambil menunjuk kepada Kui Siang yang nampak pucat dan gelisah karena ia sama sekali tidak menyangka bahwa yang dimaksudkan sabahat oleh suaminya adalah para pejuang ini. Bukankah selama ini suaminya membantu ayah tirinya menentang dan membasmi para pemberontak?
"Oh, ha-ha-ha, ia adalah calon isteriku, to-tiang. Setelah kami diterima menjadi anggauta pasukan pejuang, aku akan segera melangsungkan pernikahanku dengan calon isteriku yang cantik jelita seperti bidadari ini, ha-ha-ha!"
Ang Jit Tojin dan Ciong-yang Ngo-tahiap mengerutkan alisnya mendengar ucapan yang kasar itu. Kui Siang melihat sikap tosu dan lima orang gagah itu dan tahu bahwa mereka merasa tidak senang, lalu iapun cepat melangkah maju dan berkata dengan suara lantang.
"To-tiang dan cu-wi tai-hiap! Apa ang dikatakannya itu bohong belaka!"
"Hai, diam kau!" Teng Bhok membentak.
"Biarkan dia bicara!" Tiba-tiba orang tertua dari Ciong-yang Ngo-taihiap yang bertubuh tinggi besar dan kokoh kuat berseru sambil memandang kepada Teng bhok dengan sinar mata mencorong. "Lanjutkan bicaramu, nona!" sambungnya kepada Kui Siang.
"Saya bernama Bu Kui Siang, isteri dari Lauw Heng San komandan Pasukan Garuda Sakti."
"Ha-ha, ia isteri musuh besar kita! Karena itu aku sengaja menangkapnya! Bagaimana, kawan-kawan? jasaku besar, bukan?" kata Teng Bhok bangga.
Akan tetapi Ang Tit Tojin terkejut bukan main mendengar pengakuan Kui Siang ini. Dia sudah mendengar akan wanita ini dari para penyelidik, akan tetapi dia belum pernah melihatnya sendiri sehingga tadi tidak mengenalnya. Setelah mengetahui bahwa wanita itu isteri Lauw Heng San, dengan gerakan cepat sekali Ang Jit Tojin maju dan menyambar lengan wanita itu, ditariknya sehingga kini Kui Siang berdiri di dekatnya, jauh dari Teng Bhok dan enam orang anak buahnya.
"Heii, to-tiang! Apa yang kau lakukan ini?" tanya Teng Bhok sambil mengerutkan alisnya.
"Toa-nio, lanjutkan ceritamu. Bagaimana engkau bisa tertawan oleh mereka itu?"
Mendengar pertanyaan yang nadanya lembut bersahabat itu, hati Kui Siang merasa lega dan ia teringat kepada suaminya lalu mengusap beberapa butir mata yang mengalir turun. "Malam tadi suami saya pulang dalam keadaan yang menyedihkan. Pakaiannya penuh darah, mukanya pucat dan dia menyuruh saya cepat berkemas, membawa pakaian dan perhiasan.
"Tanpa sempat memberi penjelasan dia memerintahkan agar saya malam itu juga melarikan diri ke luar kota dan menuju ke kuil di kaki bukit Ayam ini. Saya tidak tahu apa yang terjadi dan dia juga tidak memberitahu, hanya bilang bahwa berbahaya sekali bagi saya kalau saya tinggal di rumah dan bahwa saya akan mendapat pertolongan dari para sahabatnya di kuil ini.
"Terpaksa saya menaati perintahnya, melarikan diri di malam tadi. Di tengah perjalanan saya bertemu dengan mereka ini. Perhiasan saya dirampas dan dia ini akan memaksa saya menjadi isterinya. Tadinya ia hendak memperkosa saya, akan tetapi saya mengancam akan membunuh diri dan... dan dia mengajak saya ke sini.!"
"Hemmm.....! Jahanam busuk macam kalian ini mengaku pendekar dan hendak menjadi pejuang?" bentak Song Kwan yang berjuluk Kiam-sian (Dewa Pedang), orang pertama Ciong-yang Ngo-tahiap yang berusia empat puluh tahun dan bertubuh tinggi besar.
Ang Jit Tojin memberi isarat kepada Song Kwan agar bersabar dan dia memandang kepada Teng Bhok dengan alis berkerut, "Saudara Teng Bhok, benarkah apa yang diceritakan Nyonya Lauw Heng San ini?"
Teng Bhok tersenyum dan mengangguk. "To-tiang, apa salahnya? ia jelas isteri komandan Pasukan Garuda Sakti, musuh besar kita! Apa salahnya kalau aku merampas barangnya dan hendak memaksanya menjadi isteriku? Ini merupakan tugas kita kaum pejuang, bukan?!"
"Toa-nio, masuklah dan beristirahatlah dalam kuil dan jangan khawatir, kami akan melindungimu." kata Ang Jit Tojin kepada Kui Siang, melihat wanita itu tampak lelah sekali dan gelisah.
"Terima kasih, to-tiang." kata Kui Siang dan la membawa buntalannya memasuki kuil.
"Ang Jit Tojin! Aku minta penjelasan, bagaimana ini? Tidak salahkah penglihatan dan pendengaranku bahwa engkau sebagai pimpinan para pejuang malah melindungi isteri musuh besar kita?" Teng Bhok bertanya dengan marah.
Ang Jit Tojin menatap wajah Teng Bhok dengan sinar mata tajam penuh teguran. "Teng Bhok, engkau merampok dan hendak memperkosa wanita! Perbuatanmu itu sama sekali bukan perbuatan pendekar, melainkan perbuatan penjahat! Penjahat seperti engkau ini hendak menjadi pejuang? Ingatlah, pejuang bukanlah penjahat keji!"
"Ang Jit Tojin, ini tidak adil! Sudah banyak aku mendengar bahwa para pejuang suka mencuri dan merampok harta benda para pembesar kerajaan Mancu yang dimusuhinya! Kenapa kalau kami yang merampok isteri seorang panglima antek Mancu dicela? Apa bedanya?"
"Hemm, jelas besar sekali bedanya. Pejuang mencuri dan merampok barang milik pembesar Mancu bukan untuk dirinya sendiri, melainkan hasilnya untuk biaya perjuangan, akan tetapi engkau merampok demi kesenanganmu sendiri. Seorang pejuang sejati tidak akan mengganggu wanita. Orang-orang seperti engkau ini hanyalah penjahat-penjahat yang berkedok pejuang untuk menutupi kejahatan kalian!
"Orang-orang macam kalian inilah yang mencemarkan perjuangan, yang membuat para pejuang dianggap penjahat dan perampok. Hanya kebetulan saja kalau malam ini yang kau ganggu adalah isteri seorang panglima pemerintah Mancu. Andaikata wanita itu seorang rakyat biasa, tentu akan kau ganggu juga. Adalah kewajiban kami para pendekar pejuang, bukan hanya untuk menentang pemerintah Mancu, akan tetapi juga membasmi orang-orang seperti kalian yang hanya menyusahkan rakyat jelata!"
"Gila! Jauh-jauh kami datang untuk bergabung dan bekerja sama, malah kami ditentang!" Teng Bhok marah dan memaki sambil mencabut goloknya. Dia marah karena ucapan Ang Jit Tojin itu tepat mengenai sasaran dan membuka rahasia hatinya. Memang pada dasar hatinya, Teng Bhok dan enam orang kawannya ini ingin membonceng para pejuang demi keuntungan diri mereka sendiri.
"Sian-cai! Teng Bhok, engkau dan kawan-kawanmu ini sadarlah, bertaubatlah dan hentikan kesesatan kalian sebagai penjahat dan kami akan menerima tenaga bantuan kalian dalam perjuangan ini dengan senang hati. Akuilah kesalahan kalian, kembalikan perhiasan Nyonya Lauw dan kami akan mempertimbangkan permintaan kalian untuk bergabung."
Tentu saja Teng Bhok tidak sudi bergabung kalau dia dilarang merampok atau berbuat sesuka hatinya. Lebih baik menjadi tentara pemerintah penjajah mendapat bayaran tinggi dan kdudukan; daripada harus berjuang tanpa mendapatkan apa-apa!
"Enak saja! Tosu sombong, kami tidak sudi bergabung kalau begitu. Kami dapat bertindak sendiri memusuhi para pembesar. Cepat kembalikan calon isteriku!" bentaknya sambil mengacungkan goloknya mengancam.
Enam orang anak buahnya juga sudah mencabut golok dan siap berkelahi. Mereka ini memang merupakan orang-orang yang sudah terbiasa memaksakan kehendak mereka sendiri. Orang lain harus menurut kehendak mereka atau mereka akan menggunakan kekerasan. Entah sudah berapa banyak orang tewas menjadi korban keganasan mereka.
"Jahanam busuk macam kalian memang tidak pantas dibiarkan hidup, hanya akan mendatangkan kesengsaraan pada rakyat saja!" Song Kwan membentak dan dia juga mencabut pedangnya. "Ang-totiang (pendeta Ang) dan keempat sute, biar aku sendiri yang membasmi mereka!"
Song Kwan, orang tertua dari Ciong-yang Ngo-taihiap ini memang memiliki watak yang keras. Akan tetapi juga ilmu pedangnya paling unggul di antara mereka berlima. Dia melompat ke depan Teng Bhok sambil melintangkan pedangnya didepan dada.
Teng Bhok yang sudah marah sekali lalu menerjang dengan goloknya dan 6 orang anak buahnya tanpa dikomando juga sudah mengepung Song Kwan karena mereka tadi mendengar betapa pendekar itu menyombongkan diri hendak maju seorang diri menghadapi mereka bertujuh!
"Manusia sombong, bersiaplah untuk mampus!" Teng Bhok sudah menggerakkan goloknya menyambar ke arah kepala Song Kwan.
"Singg,gg... Golok itu berdesing menyambar namun Kiam-sian (Dewa Pedang) Song Kwan dengan amat mudahnya mengelak dan tiba-tiba pedangnya berubah menjadi sinar mencuat ke arah lambung Teng Bhok. Kepala gerombolan ini terkejut sekali dan cepat dia membuang diri kebelakang sehingga terhindar dari maut. Demikian cepat dan tak terduga serangan balasan pedang di tangan Song Kwan itu sehingga Teng Bhok mengeluarkan keringat dingin.
Pada saat itu enam orang anak buahnya sudah menyerang, maka Teng Bhok menjadi berbesar hati dan diapun menyerang dengan goloknya sambil mengerahkan tenaga karena yang dia andalkan hanyalah ketajaman golok dan tenaga kasarnya yang sekuat kerbau...