Si Tangan Halilintar Jilid 12

Novel silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Si Tangan Halilintar Jilid 12
Sonny Ogawa

Si Tangan Halilintar Jilid 12 karya Kho Ping Hoo - Nyonya Bu terkejut sekali, akan tetapi tentu saja ia tidak tahu harus berbuat apa. Untuk tertawa ia takut kalau-kalau disangka mentertawakanJ nenek itu, kalau tidak, nenek itu marah-marah dan menyangka ia tidak suka melihat nenek itu tertawa. Sungguh seba salah.

Novel silat Mandarin Si Tangan Halilintar karya Kho Ping Hoo

"Ti.... tidak, Kui-bo.... tentu saja aku senang melihat engkau tertawa..." akhirnya Nyonya Bu berkata membela diri.

”Kalau senang, mengapa tidak ikut tertawa? Hemm, aku mau membuat engkau ikut tertawa sampai puas!" setelah berkata demikian, nenek itu tertawa lagi, akan tetapi sekarang suaranya berbeda, terdengar aneh sekali, mengikik seperti bukan suara manusia.

Dan tiba-tiba terjadi keanehan nyonya Bu tiba-tiba tertawa bergelak ada sesuatu yang membuat ia harus tertawa, seolah perutnya digelitik. Ia hendak bertahan, akan tetapi tidak mampu dan iapun tertawa bergelak, lalu terkekeh-kekeh, merasa geli bukan main sampai ia menekuk pinggangnya, membungkuk-bungkuk sambil menekan perutnya, terus tertawa terpingkal-pingkal.

”....ha ha ha.... heh heh.... hi hi hih.... aduuhh.... ampun.... ha ha ha.... he he he.... ampun, Kui-bo... hi hi hi...?”

Tiba-tiba tubuh nenek itu melayang turun dari atas pohon dan sekali ia menepuk punggung Nyonya Bu, wanita itu berhenti tertawa. Tubuhnya terasa lemas dan iapun terkulai ke atas tanah, lalu menangis terisak-isak, sesenggukan.

Sikap nenek itupun berubah seketika Ia berhenti terkekeh, lalu berloncat-loncat seperti anak kecil bermain-main ia mengitari Nyonya Bu, kemudian melihat betapa wanita itu tetap saja menangis sedih, nenek itu tiba-tiba mendekam di samping Nyonya Bu dan ikut pula menangis. Tangisnya amat lantang, berkaok-kaok seperti anak kecil digebuk!

Mendengar tangis ini, Nyonya Bu yang sedang berduka karena teringat akan nasibnya yang buruk, menjadi terkejut dan heran. Ia berhenti menangis 5aking herannya dan mengangkat muka memandang ke arah nenek yang menangis berkaok-kaok itu. Ia terbelalak melihat nenek itu menangis sungguh-sungguh bukan sekedar berteriak-teriak, melainkan juga air matanya bercucuran.

"Kui-bo.... kenapa engkau menangis?' Nyonya Bu yang lupa kesedihannya dan tangisnya berhenti sama sekali, bertanya merasa kasihan.

Nenek itu menghentikan tangisnya dan mengambil sehelai saputangan dari balik ikat pinggangnya, lalu menyusut hidungya dengan suara nyaring. "Heh? Engkau bertanya mengapa aku menangis? Tanyalah kepada dirimu sendiri, kenapa engkau menangis karena aku menangis hanya mengikutimu saja."

Nyonya Bu menghela napas. Ia maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang nenek gila, akan tetapi nenek gila yang amat lihai. Nenek gila yang sakti, yang membunuh banyak orang dengan begitu mudahnya, hanya mengguakan daun-daun! Ia mengerling ke arah mayat-mayat itu dan bergidik.

"Kui-bo, aku merasa ngeri sekali melihat mayat-mayat itu. Marilah kita pergi ke tempat lain untuk bicara dan akan kuceritakan mengapa aku bersedih dan menangis."

Nenek itu menoleh ke arah mayat-mayat dan ia terkekeh. Tertawa dengan air mata masih membasahi mata dan pipinya. "Heh-heh-heh, kenapa ngeri? Ketika mereka masih hidup dan dapat bergerak sekalipun, tidak mengerikan. Kenapa setelah mati dan tidak mampu apa-apa lagi, mereka mengerikan? Kenapa manusia takut kepada orang mati? Heh-heh-heh, alangkah tololnya. Kalau kau merasa ngeri, hayo kita pergi ke tempat lain." Tiba-tiba nenek itu mengulurkan tangan kirinya dan menangkap lengan kanan Nyonya Bu, ditariknya dan diajaknya pergi.

"Nanti dulu, Kui-bo. Kudaku.... Nyonya Bu menengok kearah kudanya yang masih makan rumput.

"Heh-heh, kuda? Untuk apa?" Nenek itu berhenti dan bertanya heran.

"Untuk apa? Tentu saja untuk ditunggangi. Untuk apa lagi?" tanya nyonya Bu, tidak kalah herannya walaupun la sudah tahu bahwa nenek itu berotak miring.

"Bodoh! Tolol banget kamu!" Nenek dan memaki. "Apa engkau tidak mempunyai kaki? Hayo jawab, apa engkau tidak mempunyai kaki?" Nenek itu memegang pundak Nyonya Bu dan mengguncangnya.

"Eh... eh, punya, Kui-bo, punya...."

"Nah, kalau punya kaki, untuk apa kakimu itu? Mengapa untuk berjalan saja, harus meminjam kaki kuda. Malas kau! bodoh kau!" Nenek itu menarik lagi lengan Nyonya Bu, diajak pergi.

"Ya.... ya.... kuda boleh ditinggal, kan tetapi buntalanku itu, berisi pakaian dan uang."

"Untuk apa pakaian dan uang? Kalau butuh itu, ambil saja dari mereka yang memiliki berlebihan. Sudah, jangan cerewet. Kutampar nanti kau!!"

Nyonya Bu tidak berani bicara lagi dan membiarkan dirinya diseret oleh nenek itu menjauhi tempat di mana mayat-mayat itu menggeletak. Nenek itu berhenti di bawah sebuah pohon besar, melepaskan tangan Nyonya Bu dan duduk di atas sebuah batu. "Hayo duduk dan ceritakan mengapa tadi engkau menangis!" katanya.

Nyonya Bu duduk dan tidak berani membantah. Nenek gila ini berbahaya sekali, pikirnya. Kalau tidak dituruti permintaannya, mungkin saja ia dibunuh. Kalau hanya dibunuh masih mending, bagaimana kalau ia disiksanya? la bergidik ngeri. Maka berceritalah ia dengan sejujurnya.

"Aku bernama Nyonya Bu, delapan belas tahun yang lalu, suamiku tewas dalam perang dan aku menjadi tawanan lalu dipaksa menjadi isteri Thio-ciangkun dan tinggal di kota Keng-koan."

"Mengapa suamimu tewas perang?"

"Suamiku bernama Bu Kiat dan menjadi seorang perwira dalam pasukan Jenderal Gouw Sam Kwi menentang penyerbuan pasukan Mancu."

Nenek itu melompat turun dari batu dan berjingkrak menari-nari. "Heh-heh, bagus, bagus! Kalau begitu suamimu itu masih rekan seperjuanganku... Heh-heh-heh!" Akan tetapi tiba-tiba ia berhenti tertawa dan menari, lalu bertanya kepada Nyonya Bu, nadanya penuh teguran.

"Eh, siapa itu Thio-ciangkun?"

Dengan terus terang Nyonya Bu menjawab. "Thio Ciangkun (Perwira Thio) adalah Thio Ci Gan, akan tetapi dia sebetulnya adalah Pangeran Abagan."

"Heee? Seorang pangeran Mancu?"

"Benar, kui-bo."

"Keparat! Dan engkau lalu menjadi isterinya setelah suamimu tewas?" Tiba-tiba tangan kiri nenek itu mencengkeram leher Nyonya Bu.

Nyonya Bu yang sudah merasa putus asa hidup di dunia ini menjadi nekat. ”Hik-hik!" la terkekeh walaupun lehernya dicekik. "Mau bunuh aku? Lekas bunuh, akupun tidak suka lagi hidup di dunia ini bunuhlah, kui-bo!"

Aneh sekali. Ditantang begitu nenek malah hilang marahnya. Ia melepaskan cekikannya dan mengomel. "Tak tahu malu, suaminya yang pejuang terbunuh malah menjadi isteri orang Mancu! Huh, wanita macam apa kau ini!"

Teguran seperti itu lebih menyakitkan daripada kematian sekalipun. Wajah Nyonya Bu menjadi merah. Ia turun dari atas batu dan dengan dada membusung ia menentang pandang mata nenek itu dan berkata lantang.

"Kui-bo, jangan sembarangan saja menuduh. Kalau saja tidak ada hal yang memaksaku, sampai matipun aku tidak sudi menjadi isteri pangeran Mancu. Akan tetapi aku terpaksa. Aku tertawan bersama anak tunggalku, anak perempuan yang baru berusia dua tahun. Kalau aku menolak, tentu anakku itu akan dibunuh! Demi menyelamatkan anakku maka terpaksa aku mengorbankan diri menjadi isteri Pangeran Mancu itu.”

Nenek itu mengangguk-angguk, agaknya otaknya yang miring itu dapat memahami hal ini. Tiba-tiba ia menjadi marah. "Di mana pangeran Mancu iblis laknat itu kini berada? Akan kuhancurkan kepalanya?”

"Percuma, Kui-bo. Dia sudah mampus."

"Eh? Siapa yang lancang mendahului aku membunuhnya? Akan kuhajar pembunuh lancang itu. Dia mengecewakan hatiku!" Nenek yang miring otaknya itu mencak-mencak marah.

Nyonya Bu menghela napas panjang dasar orang gila, pikirnya, bicaranya tidak karuan. "Tidak ada gunanya, kui bo. Pembunuhnya juga sudah mati."

Nenek itu memandang dengan mata terbelalak dan tampak bingung. "Heh? Bagaimana ini? Lalu siapa yang harus kubunuh? Apa yang terjadi, Nyonya Bu?"

"Begini, Kui-bo. Setelah anakku itu berusia dua puluh tahun, ia menikah dengan seorang pendekar bernama Lauw Heng San. Pendekar itu terbujuk oleh Thio-ciangkun.…"

"Huh, nama palsu. Sebut saja Pangeran Abagan!" bentak nenek itu.

"Lauw Heng San yang menjadi mantuku itu terbujuk oleh Pangeran Abagan. Dia mengira bahwa Pangeran Abagan adalah seorang ayah mertua dan pembesar yang baik. Maka diapun ikut dan membantu para pembesar untuk menlumpas para pejuang yang menentang pemerintah Mancu dan menganggap mereka itu pengacau dan penjahat."

"Wah, tolol benar mantumu itu, Mantu apa itu, pecat saja dan ceraikan dari anakmu!" Nenek itu kembali marah dan kalau marah sinar matanya mencorong seperti mata kucing di waktu malam gelap.

"Nanti dulu, Kui-bo, kulanjutkan ceritaku. Mantuku itu kemudian menyadari bahwa Pangeran Abagan adalah orang Mancu yang jahat, bahkan ia mendengar bahwa Pangeran Abagan membunuh banyak pendekar pembela negara dan bangsa. Maka, kemarin, Lauw Heng San mengamuk, dikeroyok para jagoan anak buah Pangeran Abagan. Heng San mengamuk, banyak jagoan dibunuhnya, dan dia akhirnya mati saling bunuh dengan Pangeran Abagan.

"Melihat keributan ini, aku melarikan diri naik kuda, tidak tahu ke mana perginya puteriku yang melarikan diri lebih dulu. Sampai akhirnya aku tiba di sini bertemu denganmu, Kui-bo. Ahh, rasanya aku lebih baik mati saja. Sejak suamiku, Bu Kiat, tewas, nasib diriku terus dirundung malang. Harapanku satu-satunya hanya pada puteriku. Kalau puteriku berbahagia, akupun rela berkorban dan menanggung kesengsaraan. Akan tetapi sekarang... ah, lebih baik aku mati saja, Kui-bo…" Nyonya Bu menangis lagi.

"Stop, stop! Jangan menangis lagi, nanti aku ikut menangis. Kau ingin mati? Tidak tahan hidup lagi? Pengecut, penakut, tidak pantas kau menjadi isteri seorang pendekar patriot seperti Bu Kiat apa kau tidak ingin membalas kejahatan perwira anjing Mancu?"

"Aduh, Kui-bo, bagaimana mungkin? Aku hanya seorang wanita yang Ielah dan sudah mulai tua. Tentu saja aku ingin membasmi penjajah Mancu yang telah membunuh suamiku dan kini membuuh mantuku dan membuat puteriku melarikan diri entah ke mana. Hidupku sengsara semenjak bangsa Mancu menjajah tanah air kita. Aku ingin membalas dendam, akan tetapi bagaimana?"

"Ho-ho-heh-heh, dasar perempuan goblok! Lihat aku ini. Apa aku ini kurang tua? Akan tetapi aku sudah membunuh banyak anjing Mancu. Jadilah muridku dan engkau akan dapat membunuh banyak musuh!"

Mendengar ini, Nyonya Bu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki nenek itu. "Su-bo (Ibu guru), tee-cu (murid) suka sekali kalau Subo sudi mengajarkan ilmu kepada tee-cu:"'

"Hemm, kalau engkau benar-benar ingin menjadi muridku, mulai sekarang engkau harus tunduk dan taat kepadaku, melaksanakan semua perintahku, Engkau sanggup?"

“Tee-cu sanggup, su-bo!"

"Nah, perintahku yang pertama. Mulai saat ini engkau tidak boleh menyebut Subo kepadaku. Sebut saja Kui-bo karena aku dikenal sebagai Pek-sim Kui-bo (Biang Iblis Berhati Putih). Dan aku akan tetap menyebutmu Nyonya Bu!"

"Baik, Kui-bo..." kata Nyonya Bu dengan sikap taat. Ia tahu bahwa gurunya ini seorang nenek yang sakti sekali akan tetapi wataknya aneh, seperti orang gila. Kalau tidak di turuti kehendaknya, bisa repot dan berbahaya sekali.

Mungkin ia akan dibunuhnya seketika. Nyonya Bu tidak tahu bahwa nenek itu, biarpun seperti orang gila, namun ia dapat membunuh dengan kejam hanya kepada orang jahat, dan tidak pernah mengganggu orang baik-baik, bahkan selalu menolong orang yang tertindas. Karena itu dunia kangouw (sungai telaga, persilatan) memberinya julukan Biang iblis Berhati Putih.

"Bagus! Nah, sekarang mari kita pergi." Pek-sim Kui-bo memegang tangan Nyonya Bu dan membawanya berlari.

Nyonya Bu terkejut bukan main. la menggerakkan kedua kakinya untuk ikut berlari, akan tetapi tiba-tiba ia merasa tubuhnya terangkat, kedua kakinya tidak menyentuh tanah, akan tetapi tubuhnya meluncur dengan cepatnya. la melihat nenek itu berlari cepat sekali dan ia merasa seolah dirinya dibawa terbang!

Setelah matahari condong ke barat, barulah Pek-sim Kui-bo berhenti. Mereka. telah berlari jauh sekali, melewati dua buah bukit dan keluar masuk beberapa buah hutan besar. Ketika Pek-sim Kui-bo berhenti di sebuah hutan, ia melepaskan tangan Nyonya Bu dan sambil menengadahkan mukanya ke atas, hidungnya kembang-kempis mencium-cium.

Melihat ini, Nyonya Bu otomatis juga memperhatikan dan menyedot-nyedot dengan hidungnya untuk dapat mencium apa yang agaknya menarik hati nenek itu. Akhirnya ia mencium bau sedap dari daging dibakar dan tahulah ia mengapa nenek itu berhenti. Agaknya bau daging dibakar itulah yang membuat nenek itu berhenti. Kalau tidak, agaknya ia tidak akan pernah menghentikan larinya yang seperti terbang.

"Aduh-aduh….!" Tiba-tiba Pek-sim Kui-bo terbungkuk-bungkuk dan menekan perutnya dengan kedua tangannya dan mukanya tampak seperti orang kesakitan. Melihat ini, Nyona Bu terkejut dan cepat menghampiri "Kui-bo, ada apakah? Apamu yang sakit?"

“Aduh... aduh... perutku!" nenek itu mengeluh.

“Ada apa dengan perutmu? Sakitkah?"

Nenek itu mengangguk sambil menekan perutnya. "Sakit apakah, Kui-bo? Mulas?"

"Tidak, akan tetapi perih sekali.... lapar!”

Mendengar ini, tak tertahankan lagi. Nyonya Bu tertawa terkekeh-kekeh saking gelinya melihat ulah nenek itu mencium bau daging bakar mendadak perutnya terasa lapar dan ia mengerang kesakitan.

Nenek itu begitu mendengar orang tertawa lalu tertawa bergelak, akan tetapi segera tawanya berubah menjadi tangis dan ia berteriak-teriak, "lapar! Lapar….!”

"Mari, Kui-bo, kita datangi orang yang memanggang daging itu. Mungkin dia mau membagi sedikit untuk kita." kata Nyonya Bu yang tiba-tiba juga merasa betapa lapar perutnya.

Menurutkan nalurinya sebagai seorang ibu yang menghadapi seorang anaknya yang rewel,. Nyonya Bu juga menggandeng tangan Pek-sim Kui-bo dan menariknya, mengajaknya memasuki hutan menuju ke arah dari mana datangnya bau sedap daging panggang itu. Pek-sim kui-bo menurut saja dengan lagak manja. Seperti anak kecil merengek kepada ibunya.

Ketika mereka tiba disebuah lapangan rumput yang terbuka di tengah hutan itu, mereka melihat asap mengepul dan ternyata memang ada seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun duduk menghadapi api unggun dan memanggang dua ekor kelenci gemuk yang sudah dikuliti.

Agaknya laki-laki itu memberi bumbu kepada dua ekor kelenci yang dipanggangnya maka tercium bau yang sedap seperti bau bawang dimasak. Bahkan Nyonya Bu sendiri yang juga merasa lapar itu terpaksa menjilat bibir dan menelan ludah melihat daging yang kemerahan dan mengeluarkan bau sedap itu.

Ketika mendengar langkah orang laki-laki itu menoleh dan melihat dengan heran kepada dua orang wanita itu. Tentu saja ia merasa heran melihat dua orang wanita tiba-tiba muncul dalam hutan lebat itu. Apalagi melihat nyonya Bu yang dalam usia kurang lebih empat puluh tahun masih tampak cantik jelita dengan bentuk tubuh yang menggairahkan.

Melihat laki-laki itu menengok dan tampak wajahnya yang berkumis, berjienggot dan bercambang tebal, Nyonya Bu lalu melangkah maju dan merangkap kedua tangan depan dada sambil mem)ungkuk sebagai penghormatan.

"Sobat, kami berdua sedang merasa lapar sekali. Kalau boleh kami ingin minta sedikit daging yang kau panggang itu." kata Nyonya Bu dengan halus dan sopan.

Laki-laki itu bangkit berdiri menghadapi Nyonya Bu, mengamati wanita itu dari rambut sampai ke kakinya, kemudian nenyeringai lebar, tangan kiri bertolak pinggang dan tangan kanan meraba-raba jenggotnya. “Nona yang baik, apakah kalian hanya datang berdua saja?”

Nyonya Bu mengangguk, tidak perduli walaupun orang menyebutnya nona.

"Tidak ada laki-laki yang mengantar kalian?"

Kembali Nyonya Bu menjawab dengan gelengan kepala saja.

Laki-laki itu tampak gembira, lalu melirik ke arah Pek-sim Kui-bo dan dia lalu berkata, "Nona, makanan tidak dapat diberikan dengan cuma-cuma begitu saja."

"Aku mau membelinya, menukamya dengan cincin ini...." Nyonya Bu hendak mencabut sebuah cinci kecil dari jari manisnya.

"Wah, aku tidak ingin cincinnya. Yang kuinginkan adalah jarinya!" kata laki-laki itu.

Nyonya Bu mengerutkan alisnya dan memandang heran. "Jarinya? Mana mungkin jariku ini kuberikan padamu?” tanyanya, masih tidak mengerti.

"Ha-ha-ha, kalau jarinya tidak bisa diberikan karena menempel pada tangannya, berikan saja tanganmu kepadaku!"

“Tapi... tapi....” Nyonya Bu membantah sambil memandang kirinya. Mana mungkin… diberikan?"

"Ha-ha-ha-ha, tangan yang menempel pada tubuhmu. Semua anggauta tubuhmu tidak dapat dipisah-pisahkan, maka berikan saja seluruh tubuhmu padaku, nona."

Wajah Nyonya Bu menjadi merah. “Apa maksudmu?" tanyanya ketus.

"Masa engkau tidak tahu? Mari makan bersamaku, nona manis, kemudian kita berdua pergi bersenang-senang. Adapun nenek ini…. nenek buruk gila seperti setan ini, biar saja ia kelaparan dan nasuk ke neraka….. heiii! Apa yang kau lakukan itu? Kembalikan dagingku!" laki-laki bertubuh tinggi besar itu melihat betapa Pek-sim Kui-bo tiba-tiba maju dan menyambar seekor kelinci panggang yang langsung menggigit dan memakan.

Tentu saja dia marah sekali dan cepat dia menerjang maju hendak nerampas kembali daging kelenci itu. Akan tetapi sekali kakinya mencuat, laki-laki itu tertendang dan terlempar ke belakang lalu terbanting roboh! Laki-laki itu menjadi marah sekali dan dia sudah mencabut sebatang golok dari ikat pinggangnya, kemudian sambil menggereng seperti seekor binatang dia berlari ke arah Pek-sim Kui-bo lalu menyerangnya dengan golok di tangan. Golok itu menyambar ke arah ke arah kepala nenek itu.

Nenek itu masih memegang kelinci panggang di tangan kiri, lalu menggunakan tangan kanannya menyambut golok yang menyambar ke kepalanya. Dengan tangan kosong ia menyambut golok tajam yang membacok itu. Golok bertemu dengan tangan yang kurus dan jari-jari tangan nenek itu telah dapat menangkap golok. Laki-laki itu tentu saja merasa heran dan penasaran melihat goloknya ditangkap begitu mudah oleh tangan si nenek.

Dia mengerahkan tenaga untuk menarik dan mengiris tangan nenek itu agar terbabat putus. Akan tetapi, ia sama sekali tidak mampu menggerakkan goloknya. Golok itu seperti menempel pada tangan itu, sama sekali tidak dapat ditarik kembali. Bahkan nenek itu menarik dengan sentakan dan sekali tangannya merenggut, golok itu telah terlepas dari pegangan pemiliknya.

Kemudian, sambi! Terkekeh membawa golok ke mulutnya dan nenggigit lalu makan golok itu seperti yang dilakukan kepada daging kelenci tadi. Terdengar suara krek-krek berkerontokan seperti orang makan krupuk! Laki-laki itu, juga Nyonya Bu sampai bengong terlongong melihat nenek itu makan golok.

Hanya sebentar laki-laki itu terbengong, karena ia segera maklum bahwa lia berhadapan dengan seorang nenek yang memiliki kesaktian seperti iblis. Maka dia menjadi takut sekali. Tanpa pamit lagi dia memutar tubuhnya dan nelompat hendak melarikan diri meninggalkan nenek yang berbahaya itu.

Akan tetapi, Pek Sim Kui-bo tiba-tiba menyemburkan pecahan-pecahan golok dari mulutnya ke arah tubuh laki-laki yang melarikan diri itu. Tampak beberapa sinar kecil meluncur dan nengenai punggung laki-laki itu. Orang tu menjerit kesakitan lalu roboh tertelungkup, berkelojotan sebentar lalu terdiam, mati karena potongan-potongan golok itu menancap dalam sekali di tubuhnya.

Nenek itu membuang sisa golok lalu bersila dekat api unggun, melanjutkan makan daging kelinci dan berkata kepada Nyonya Bu. "Hayo, Nyonya Bu. Kau menunggu apa lagi? Bukankah tadi kau bilang mau makan! Nih, kelincinya masih seekor. Makan dan duduklah di sini!"

Nyonya Bu memang tadi tertegun. Bukan saja melihat kehebatan ilmu kepandaian nenek itu yang amat luar biasa, akan tetapi juga melihat betapa nenek itu demikian mudahnya membuhuh orang. Ia tidak berani membantah, lalu duduk di dekat si nenek, menghadapl api unggun dan ia mengambil kelinci ke dua dan makan daglng kelinci sambil berusaha keras melupakan mayat orang yang menggeletak tak jauh di belakangnya.

la tidak mau banyak bertanya tentang peristiwa tadi karena ia tahu bahwa nenek itu tentu akan menjawab dengan kacau dan malah membingungkan hatinya. Ia ingin memikirkan dan mengambil kesimpulan sendiri. Laki-laki itu memang bukan Orang baik-baik, pikirnya.

Jelas bahwa laki-laki itu hendak kurang ajar kepadanya, dan andaikata dilanjutkan, mungkin saja laki-laki yang kelihatan kasar itu akan mempergunakan kekerasan untuk memperkosa atau memaksanya menuruti semua kehendaknya yang mesum. Seperti yang dilakukan Pangeran Abagan!

Betapa banyaknya laki-laki macam itu. Kalau melihat wanita yang menarik hatinya, selalu berusaha sekuatnya untuk memilikinya, untuk memuaskan nafsu-nafsunya, kalau perlu menggunakan cara apapun, cara kasar, keji dan jahatpun akan dilakukannya demi tercapai keinginan hatinya yang terdorong nafsu birahi. Akan tetapi, mengapa harus dibunuh'?

Tiba-tiba nenek itu terkekeh. "Heheh-heh, engkau menyayangkan bahwa anjing jantan itu kubunuh?"

Ditanya secara tiba-tiba demikian, padahal ia memang sedang memikirkan tentang laki-laki itu, tentu saja ia terkejut sekali. "Ah, sama sekali aku tidak menyayangkan hal itu, Kui-bo. Hanya aku tidak mengerti mengapa dia harus dibunuh?"

“Ooo, begitu, ya? Jadi engkau, suka melihat laki-laki itu hidup, memperkosamu dan membunuhku? Begitu maumu?"

Nyonya Bu terkejut. Hal ini sama sekali tidak ia bayangkan. "Oh, tidak! Tidak! Ah, kalau begitu memang engkau yang benar. Sebaiknya dia dibunuh seratus kali dibunuh!"

Nenek itu tidak berkata-kata lagi, hanya terkekeh-kekeh sambil menggerogoti daging kelinci yang gemuk dan meneteskan gajih yang berminyak. Setelah makan kenyang, Nyonya Bu mengajak Pek-sim Kui-bo mencari air untuk minum. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan seperti tadi, Pek-sim Kui-bo menggandeng tangan Nyonya Bu dan membawanya lari seperti terbang cepatnya.

Pek-sim Kui-bo membawa Nyonya Bu ke lereng dekat puncak gunung Kui san dan di sanalah ia menggembleng Nyonya Bu yang mempelajari ilmu silat dengan amat tekunnya serta dapat mewarisi semua kesaktian Pek-sim kui-bo. Akan tetapi celakanya, Nyonya Bu tidak hanya mewarisi kesaktiannya, akan tetapi ia juga mewarisi atau ketularan gilanya!


Bu Kui Siang menunggang kuda yang dijalankan perlahan-lahan. la tidak mau melarikan kudanya cepat-cepat karena merasa kasihan kepada Ma Giok yang berjalan di samping kudanya. Perjalanan ke Thai-san merupakan perjalanan yang amat jauh dan selama ini, Ma Giok hanya berjalan kaki dan ia menunggang kuda.

"Paman Ma, apakah Thai-san yang menjadi tujuan kita itu masih jauh?" tanya Kui Siang. Mereka sudah melakukan perjalanan hampir sehari suntuk hari itu dan saat itu sudah hampir senja.

"Masih, Kui Siang. Mungkin satu bulan lagi kita baru akan tiba di sana...“

"Satu bulan lagi? Ah, betapa jauhnya. Engkau yang berjalan kaki tentu lelah sekali, paman!"

"Ah, tidak. Aku sudah biasa berjalan. Oya, di depan sana terdapat sebuah dusun yang cukup besar. Kalau aku tidak salah ingat, itu dusun Lian-ki-jung dan di sana terdapat rumah penginapan berikut rumah makan. Kita dapat beristirahat, mandi dan makan enak malam ini"

Kui Siang merasa bahwa pria ini, sengaja mengalihkan perhatiannya tentang perjalanan jauh yang harus ditempuh dengan jalan kaki. "Paman Ma, di dusun itu tentu ada orang menjual kuda!"

"Ya, memang ada. Akan tetapi kuda kita ini masih kuat dan belum perlu diganti."

"Bukan untuk mengganti kuda ini, paman. Akan tetapi kita harus membeli seekor kuda untukmu."

"Ah, tidak perlu, Kui Siang. Aku masih kuat berjalan."

"Tidak, paman. Aku masih mempunyai gelang dan perhiasan, masih berlebihan kalau hanya untuk membeli seekor kuda yang baik!"

Ma Giok menggeleng kepalanya. “Tidak perlu membeli kuda, Kui Siang. Biarlah aku berjalan saja."

Kui Siang mengerutkan alisnya. “Kalau begitu, setibanya di dusun itu, aku mau menjual saja kuda ini, paman."

"Eh? Dijual? Kenapa? Kuda ini pemting sekali untuk tungganganmu!"

"Kalau paman ber jalan kaki, akupun ingin berjalan saja. Kita ini hanya berdua, paman. Kita melakukan perjalanan bersama sehingga sepatutnya kalau berat sama dipikul dan ringan sama dijinjing. Mana mungkin aku enak-enakan saja menunggang kuda dan engkau bersusah payah berjalan kaki? Nah, pendeknya aku sudah mengambil keputusan tetap untuk senasib sependeritaan denganmu, paman. Kalau aku menunggang kuda, engkaupun harus menunggang kuda. kalau engkau berjalan kaki, akupun harus lerjalan kaki!"

Ma Giok dapat menangkap keputusan yang tidak dapat diubah lagi dalam ucapan Kui Siang itu dan dia merasa senang. Wanita muda ini memiliki watak yang baik, tidak ingin senang dan enak sendiri, juga mengenal budi, "Baiklah, Kui Siang. Biarlah aku juga akan menunggang kuda. Tidak mungkin membiarkan engkau berjalan kaki. Kandunganmu sudah besar, jalan kaki terlalu jauh amat tidak baik bagi engkau dan bagi anak dalam kandunganmu."

Mereka memasuki dusun Lian-ki-jung. Siang telah berganti sore dan begitu memasuki dusun itu, mereka mendengar suara ribut-ribut di depari sana. Rumah-rumah penduduk di kanan kiri jalan tampak tertutup pintu dan jendelanya dan di luar rumah tampak sepi. Agaknya semua orang telah bersembunyi dalam rumah masing-masing. Akan tetapi di sana, di depan sebuah mewah, sedang terjadi keributan dan agaknya sedang terjadi perkelahian banyak orang.melihat ini, Ma Giok berkata kepada Kui Siang.

"Engkau berhenti dulu di siri, Kul Siang. Bawa kudamu masuk pekarangan rumah di sebelah kiri itu." Setelah melihat Kui Siang dan kudanya bersembunyi, Ma giok lalu berlari cepat ke depan.

Setelah tiba di depan rumah gedung tu, di pekarangan rumah dan juga di atas jalan raya depan rumah, banyak orang sedang berkelahi menggunakan senjata tajam. Dia melihat dua belas orang berpakaian seperti perajurit pemerintah sedang melawan pengeroyokan lebih dari tiga puluh orang. Dia cepat nendekati dan karena dia tidak tahu sebab perkelahian dan tidak mengenal siapa puluhan orang itu, dia merasa ragu untuk berpihak siapa.

Tentu saja dia akan membantu orang-orang yang pakaiannya menunjukkan bahwa mereka rakyat biasa yang melawan seregu pasukan perajurit Mancu, kalau saja dia nengenal orang-orang itu. Akan tetapi dia melihat betapa orang-orang itu sikapnya buas. Empat orang perajurit Mancu telah menggeletak mandi darah dan yang delapan orang lagi sudah terdesak hebat.

Tiba-tiba Ma Giok mendengar jeritan beberapa orang wanita. Dia memasuki pekarangan dan melihat beberapa orang berwajah bengis sedang memondong tiga orang wanita dan dibawa lari. Dan juga ada lima orang sedang mengangkut barang-barang berharga dari dalam rumah itu. Ma Giok mengerutkan alisnya. Kalau mereka itu pejuang, tentu tidak akan menculik wanita dan merampok.

Alisnya berkerut. Dia sudah sering melihat penjahat-penjahat yang memakai kedok pejuang untuk melakukan perampokan dan penculikan wanita. Orang-orang seperti itu lebih jahat dari pada perampok dan lebih merugikan daripada musuh yang sebenarnya. Perbuatan mereka itu mencemarkan kehormatan para pejuang dan mngotori arti perjuangan mempertahan nusa dan bangsa.

Ma Giok tidak ragu-ragu lagi. Dia melompat dan menghadang tiga orarg yang memondong tiga orang wanita yang menjerit-jerit itu. Kaki tangannya bergerak cepat dan tiga orang itu berpelantingan. Tiga orang wan ita yang tadinya mereka pondong itu terlepas dari pondongan dan ikut jatuh pula. Mereka menjerit dan segera melarikan diri lagi ke dalam gedung.

Ma Giok tidak berhenti di situ. Cepat dia menerjang lima orang yang mengangkut barang-barang dan seperti tiga orang tadi, lima orang inipun berpelantingan jatuh ketika Ma Giok menyerang mereka dengan gerakan cepat sekali.

Melihat ini, mereka yang masih bertempur melawan delapan orang perajurit itu menjadi panik dan kacau karena di antara delapan orang yang dirobohkan Ma Giok itu terdapat tiga orang pemimpin mereka. Maka, setelah delapan orang itu bangkit dan memberi tanda suitan-suitan, mereka semua lalu berloncatan dan melarikan diri meninggalkan pekarangan rumah gedung itu.

Para perajurit menolong empat orang rekan mereka yang terluka parah, dan sebagian lagi ada yang memberi hormat kepada Ma Giok dan mengucapkan terima kasih. Akan tetapi pada saat itu terdengar jerit tangis dari dalam gedung. Beberapa orang perajurit cepat lari masuk gedung dan tak lama kemudian mereka keluar lagi.

Seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih yang tampak bingung dan sedih keluar bersama para perajurit tadi. Dari pakaiannya, tahulah Ma Giok bahwa orang itu tentu seorang pembesar pemerintah baru Mancu. Rasa tidak suka memenuhi hati Ma Giok.

Sebagai seorang pejuang yang setia kepada kerajaan Beng yang sudah jatuh dan yang memusuhi orang Mancu yang menjajah, tentu saja dia merasa tidak suka kepada pembesar Mancu ini. Agaknya pembesar Mancu itu sudah mendengar laporan para perajurit. Dia segera memberi hormat kepada Ma Giok dengan mengangkat kedua tangan depan dada.

"Tai-hiap (pendekar besar), banyak terima kasih atas pertolonganmu. Akan tetapi.… harap tai-hiap tidak kepalang menolong kami. Putera kami... dan isterinya, yang baru sepekan menikah…. tadi dilarikan penjahat lewat pintu belakang. Tolonglah, tai-hiap... tolong selamatkan mereka…" Dia memberi hormat berulang-ulang, mengangkat kedua tangan dan memmbungkuk-bungkuk.

Mendengar ini, Ma Giok mengerutkan alisnya. "Aku titip keponakanku di sini!” katanya.

“Di mana keponakanmu, tai-hiap? Kalian cepat ikut tai-hiap dan mengawal keponakannya ke sini!! perintah pembesar itu kepada para perajurit.

Lima orang perajurit lalu mengikuti Ma Giok yang kembali ke tempat di mana Kui Siang menanti. Kui Siang girang melihat Ma Giok muncul, akan tetapi ia memandang kepada lima orang perajurit Mancu dengan alis berkerut. Melihat mereka, teringatlah ia akan para perajurit pengawal ayah tirinya. Betapa dahulu para perajurit Mancu bersikap sangat hormat kepadanya karena ia adalah puteri Pangeran Abagan dan isteri Lauw Heng San, komandan dari pasukan Garuda Sakti yang terkenal.

"Kui Siang, engkau ikut mereka dan menunggu aku di rumah pembesar itu. Aku harus mengejar para penjahat yang menculik putera dan mantu sang pembesar itu..." kata Ma Giok dan tanpa menanti jawaban dia sudah melompat dan berlari cepat mengejar ke arah larinya para penjahat tadi.

Karena sudah dipesan Ma Giok, pula karena bagi ia sendiri, para perajurit Mancu tidak mendatangkan kesan buruk karena biasanya mereka itu bersikap baik kepadanya, Kui Siang mengangguk ketika lima orang itu memberi hormat kepadanya dan mempersilahkan ia menjalankan kudanya menuju ke rumah gedung pembesar itu. Lima orang perajurit itu mengawalnya dan Kui Siang bertanya kepada perajurit yang berjalan di dekat kudanya.

"Siapakah nama pembesar atasan kalian itu? Dan apa pangkatnya?"

Perajurit itu menjawab dengan sikap hormat. "Beliau adalah seorang pembesar pemungut pajak dan bernama Souw Bu Lai, baru beberapa bulan datang dari kota-raja Peking."

Kui Siang dapat menduga bahwa pembesar yang bernama Souw Bu Lai itu tentu nama aselinya Sabulai, nama Mancu. Setelah tiba di depan gedung itu, pembesar Souw Bu Lai yang bertubuh jangkung kurus bersama isterinya menyambut Kui Siang. Melihat Kui Siang adalah seorang wanita muda yang sedang mengandung, Nyonya Souw lalu membantunya turun dari kuda, dibantu pula oleh dua orang pelayan.

"Marilah, nak, mari istirahat di dalam." kata nyonya gemuk itu dengan ramah, sambil mengandeng tangan Kui lang. Juga Souw-taijin (pembesar Souw) memberi hormat dan bersikap ramah.

"Maafkan kami kalau kami mengganggu, sehingga perjalananmu dengan pamanmu menjadi terganggu, toanio (nyonya)." kata Souw-taijin.

Melihat sikap mereka yang ramah dan horrmat itu, senang juga hati Kui Siang dan iapun ikut memasuki gedung. Karena memang sejak kecil sudah terbiasa bergaul dengan keluarga bangsawan, maka Kui Siang tidak merasa canggung. Melihat sikap Kui Siang yang pandai menyesuaikan diri dan tidak malu-malu, keluarga itu juga merasa suka kepada nyonya muda itu.

Ketika Kui Siang diajak makan dan berbincang-bincang di ruangan daJam, keJuarga pembesar itu bertanya tentang keadaan keluarganya. Tentu saja pertanyaan yang wajar ini tidak dapat dihindarkan Kui Siang dan terpaksa ia harus menjawab dan menceritakan riwayatnya.

Akan tetapi, ia tidak mau bercerita tentang ayah tirinya, Pangeran Abagan atau pembesar Thio Ci Gan, juga ia tidak menceritakan bahwa mendiang suaminya adalah seorang perwira yang memimpin pasukan Garuda Sakti yang terkenal.

"Nama saya Bu Kui Siang," ia memperkenalkan diri dengan suara lembut, "Suami saya sudah meninggal dunia terbunuh orang-orang jahat. Pamanku Ma Giok yang kini mengejar penjahat menyelamatkan diriku sehingga tidak ikut terbunuh."

“Ah... kasihan sekali engkau, nak!" kata Nyonya Souw sambil memegang lengan Kui Siang.

Menerima sikap mereka yang akrab dan mengasihaninya itu, Kui Siang menjadi terharu dan ia tidak dapat menahan menetesnya beberapa butir air mata. "Hemm, penjahat-penjahat itu harus dihukum berat!" geram Souw-taijin gemas, teringat akan keadaannya sendiri yang diganggu penjahat.

"Mereka sudah dihajar oleh Paman Ma Giok dan sahabat-sahabatnya." kata Kui Siang, teringat betapa pangeran Mancu yang menjadi ayah tirinya dan para anak buahnya telah terbunuh oleh mendiang suaminya dan para pendekar, termasuk Ma Giok.

"Dan sekarang, engkau dan pamanmu hendak pergi ke manakah?" tanya Nyonya Souw.

"Karena saya tidak mempunyai keluarga lain lagi, Paman Ma Giok mengajak saya untuk pergi ke Thai San, di mana dia akan tinggal." kata Kui Siang dengan suara sedih karena ia teringat akan ibu kandungnya yang tidak ketahui ke mana lari atau perginya.

"Sudahlah, toa-nio, harap kuatkan hati dan jangan terlalu menuruti hati sedih, terlalu berduka amat tidak baik bagi kandunganmu." kata Souw-taijin.

"Benar, Kui Siang... eh, kupanggil namamu begitu saja, ya? Aku merasa dekat denganmu seolah engkau anggauta keluarga kami sendiri. Jangan terlalu bersedih. Kalau engkau sudah tidak mempunyai keluarga lagi, anggaplah kami sebagai keluargamu dan engkau tinggallah saja di sini bersama kami." kata Nyonya Souw dengan ramah.

"Wah, usul yang baik sekali itu!" kata, Souw-taijin. "Aku setuju, Kui Siang., Tinggallah di sini bersama kami, kalau tidak selamanya ya sampai engkau melahirkan dan anakmu menjadi besar. Kami tidak tega melihat engkau yang sedang mengandung begini melakukan perjalanan jauh yang amat melelahkan." Kata-kata ini terdengar wajar, tidak dibuat-buat atau sekedar pemanis bibir belaka...

Selanjutnya,

Post a Comment

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.