Si Tangan Halilintar Jilid 14

Cerita silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Si Tangan Halilintar Jilid 14
Sonny Ogawa

Si Tangan Halilintar Jilid 14 karya Kho Ping Hoo - BIDAN itu merasa heran dan gembira melihat Ma Giok demikian cepat kembali membawa obat yang diperlukan. Dengan petunjuk bidan itu, Ma Giok memasak obat dan setelah airnya tinggal semangkok, dibawanya semangkok obat itu ke dalam kamar.

Novel silat Mandarin Si Tangan Halilintar karya Kho Ping Hoo

"Wah, tidak diminum sekarang, sicu. Ambil saja anglo (perapian) dari dapur ke sini, buat Api yang kecil saja dan letak-kan panci obat di atas tungku dengan api kecil itu agar obatnya selalu hangat."

Pada saat itu, terdengar suara ribut-ribut di luar rumah, lalu daun pintu rumah itu digedor orang. Bidan itu terkejut dan memandang kepada Ma Giok. "Sicu, apakah ramai-ramai di luar itu? Kenapa pintu rumahku digedor?"

"Tenanglah, nyonya. Lanjutkan pertolonganmu kepada Kui Siang. Biar aku yang membereskan mereka yang membikin ribut di luar." Setelah berkata demikian, Ma Giok melompat keluar. Dia membuka daun pintu dan melihat enam orang berdiri di depan rumah.

Empat orang di antara mereka adalah sisa anak buah gerombolan yang masing-masing memegang sebuah obor yang diangkat tinggi-tinggi sehingga keadaan di situ cukup terang. Yang dua orang lagi adalah Can Ok dan seorang kakek berusia kurang lebih enam puluh lima tahun yang bertubuh tinggi kurus dan rambutnya sudah putih semua. Lima batang pedang pendek terselip di ikat pinggangnya dan sebatang pedang panjang tergantung di punggungnya.

Melihat pedang-pedang ini, Ma Giok terkejut dan menduga bahwa orang ini tentulah Hui-kiam Lo-mo, Si Iblis Tua Pedang Terbang yang namanya terkenal sebagai datuk Sungai Kuning, tokoh sesat yang mengaku sebagai pemimpin pejuang!

Can Ok menudingkan telunjuknya ke arah muka Ma Giok. "Ma Giok pengkhianat, anjing bangsa Mancu, bersiaplah engkau untuk menerima hukuman mati!"

Kakek itu juga memandang kepada Ma Giok sambil mengerutkan alisnya dan terdengar suaranya melengking tinggi seperti suara seorang wanita, juga nada dan lagaknya seperti seorang wanita, agak genit.

"Aih, inikah yang bernama Ma Giok dengan julukan Naga Selatan itu? Hemm, sayang sekali. Namamu sudah terkenal sebagai pemimpin pejuang dan engkau juga gagah perkasa dan tampan menarik, akan tetapl kini engkau merendahkan diri menjadi antek penjajah Mancu!"

Baru mendengar ucapan dan melihat lagak kakek berambut putih itu saja Ma Giok sudah merasa muak. Orang seperti ini mana dapat dipercaya? "Kalau aku tidak salah duga, tentu engkau yang berjuluk Hui-kiam Lo-mo, datuk Sungai Kuning. Benarkah?"

"Ha-ha-ha, kiranya matamu tajam juga, Lam-liong. Sesudah mengenalku, kenapa engkau tidak memberi hormat?" kata kakek yang suaranya seperti wanita itu.

"Hui-kiam Lo-mo, aku tidak pernah bermusuhan denganmu. Sekarang aku ada urusan yang teramat penting. Kalau ada urusan dengan aku, kuharap engkau suka datang lagi besok pagi!" kata Ma Giok yang suaranya gelisah sekali mendengar rintihan Kui Siang yang terdengar dari tempat dia berdiri.

"Heh-·heh-hi-hik, Lam-liong. Engkau bersikap gagah dan ganas menghadapi muridku dan anak buahnya. Setelah ber-hadapan dengan aku, tiba-tiba berubah menjadi pengecut. Kalau engkau tidak berani melawanku, akui saja dan cepat kau berlutut minta ampun kepadaku!" kata kakek itu dengan lagak sombong.

Akan tetapi Ma Giok menahan diri dan bersabar karena ia tidak ingin berkelahi dalam keadaan seperti sekarang ini, di mana keselamatan Kui Siang terancam maut. "Tolonglah, Hui-kiam Lo-mo, demi hubungan antara kita sebagai sama-sama tokoh dunia kang-ouw, aku minta sekali lagi kepadamu agar menangguhkan urusan ini sampai besok pagi. Malam ini aku sungguh menghadapi urusan yang lebih penting lagi!.

"Heh-heh-ha-ha!" Hui-kiam Lo-mo terkekeh. "Engkau harus mati sekarang juga!" Sambil bicara kakek itu meraih ke atas punggungnya dan sebatang pedang yang berkilauan tajam tertimpa sinar empat buah obor itu telah berada di tangannya.

Pada saat itu terdengar jeritan dari dalam. "Ah, itu tentu suara perempuan yang dilindunginya. Kita bunuh saja dulu perempuan itu!" teriak Can Ok. Agaknya orang ini sudah mengandalkan gurunya untuk menghadapi Ma Giok yang membuatnya jerih. Dia hendak melompat ke dalam, akan tetapi Ma Giok mendahuluinya. Karena terkejut mendengar jeritan Kui Siang dan ingin sekali dia melihat.

Setibanya di depan kamar, Ma Giok membuka daun pintu dan dia melihat Kui Siang berguling ke kanan kiri dengan gelisah dan agaknya menderita kesakitan hebat, sedangkan Ngo-ma sibuk mengurut perut Kui Siang untuk membantunya melahirkan bayinya.

"Tekan terus, kuat-kuat...!" terdengar Ngo-ma mendesak, suaranya parau, diseling jerit tangis Kui Siang. Ma Giok merasa ngeri dan ilia sekali, akan tetapi dia tahubahwa dia tidak mampu berbuat apapun untuk menolong wanita yang dikasihinya itu.

Pada saat itu Ma Giok merasa angin serangan yang menyambar dahsyat dari belakang. Cepat dia menyambar gagang pedangnya, mencabutnya dan sambil memutar tubuh dia menangkis.

"Trangggg...!" Sepasang pedang di tangan Can Ok yang membacoknya itu terpental. Kiranya Can Ok sudah tiba di situ, diikuti oleh empat orang anak buahnya dan juga Hui-kiam La-mo! Ma Giok berdiri tegak di depan pintu kamar dan ketika enam orang itu majl! menyerang, dia memutar pedangnya menangkis. Ketika pedang dl tangan Hui-kiam Lomo menyambar dengan dahsyatnya, Ma Giok mengerahkan tenaganya menangkis.

"Trangggg....!" Keduanya merasa betapa tangan mereka yang memegang pedang tergetar hebat, tanda bahwa tenaga sakti mereka seimbang. Ma Giok hanya menjaga agar jangan ada yang memasuki kamar itu, menjaga pintu kamar dengan sekuat tenaga. Dia tidak balas menyerang, hanya menangkis serangan bertubi-tubi darl enam orang itu. Telinganya dkurahkan untuk memperhatikan keadaan dalam kamar. Dia mendengar suara Ngo-ma masih mendesak Kul Siang, kini suara bidan itu gemetar ketakutan melihat perkelahian di luar kamar.

Sementara itu, masih terdengar Kui Siang merintih dan menangis, dan suara inllah yang membuat Ma Giok gelisah bukan main. Rintihan itu demikian mengerikan hatinya, apalagi ketika dia mendengar betapa rintihan itu diselingi suara Kui Siang menyebut dan memanggil-manggil namanya. Ingin sekali dia masuk dan mendekati Kui Siang, namun hal itu tidak mungkin dia lakukan karena dia harus mencegah agar jangan ada orang jahat dapat memasuki kamar dan mengganggu Kui Siang.

"Singggg....!" Ma Giok cepat mengelak dengan merendahkan tubuhnya. Sebatang pedang pendek menyambar dan Iewat di atas kepalanya, menancap di papan daun pintu. Hui-kiam Lo-mo sudah mulai mempergunakan senjata andalannya yang membuat namanya terkenal, yaitu Iblis Tua Pedang Terbang. Datuk itu mulai menyerangnya dengan sebatang pedang terbangnya.

"Thian (Tuhan)....!!" terdengar jerit melengking keluar dari mulut Kui Siang.

"Ouwah ouwah ouwah...!“ Tangis bayi yang baru ditahirkan menyusuI jerit melengking itu.

Mendengar dua suara ini, tiba-tiba Ma Giok seperti mendapat tambahan semangat dan tenaga baru. Bayi itu telah lahir! Keharuan dan kegembiraan bercampur dengan kekhawatiran dan kemarahan terhadap enam orang pengeroyoknya. Dengan dahsyat sekali dia menerjang mereka. Pedangnya berkelebatan seperti kilat menyambar-nyambar dan empat orang anak buah gerombolan telah terbabat roboh oleh pedangnya! Bahkan pedangnya yang mengamuk itu melukai pundak Can Ok yang cepat melompat mundur.

Melihat ini, bahkan Hui-kiam Lo-mo sendiri menjadi gentar dan ia lalu memegang Iengan muridnya dan melompat jauh Ialu melarikan diri. Ma Giok tidak memperdulikan mereka, cepat memasuki rumah dan begitu masuk kamar, dia melihat Ngo-ma sedang membersihkan seorang bayi laki-laki yang bertubuh montok dan sehat. Bayi itu menangis owek-owekan, suaranya nyaring sekali dan Ngo-ma sibuk menggunting tali pusarnya dan membersihkannya dengan air hangat.

Ma Giok terpesona melihat bayi itu. Kemudian ia menoleh ke arah pembaringan. Kui Siang rebah telentang dengan rambut kusut terurai itu di atas bantal, membuat wajahnya yang jelita tampak pucat sekali. Tubuhnya tertutup selimut, akan tetapi di bagian bawah, sekitar paha dan kakinya, berlepotan darah! Ma Giok merasa ngeri dan cepat dia menghampiri, lalu duduk di tepi pembaringan, tidak perduli pakaiannya terkena darah.

"Kui Siang....?" Dia berkata lirih, menjulurkan tangannya dan menyentuh pipi yang masih basah air mata itu. Dia terbelalak, sentuhan itu menyadarkannya bahwa sesuatu yang tidak beres telah terjadi. Cepat jari-jari tangannya pindah ke leher wanita itu untuk merasakan denyutnya. "Kui Siang.….!" Ma Giok berseru dan memegang kedua pundak Kui Siang, diguncangnya seperti hendak membangun-kannya dari tidur nyenyak.

"Saya menyesal sekali, aku aku tidak dapat menolongnya. Bayi dapat lahir dengan selamat, akan tetapi ibunya.... ia terlalu lemah dan tidak kuat...." terdengar suara Ngo-ma yang seolah datang dari tempat jauh sekali bagi pendengaran Ma Giok.

"Kui Siang.... aduh Kui Siang....” Ma Giok terkulai lemas dan dia menciumi muka Kui Siang yang masih basah air mata itu sambil menangis. Ma Giok, Si Naga Selatan itu menangis! Sungguh merupakan kenyataan yang sangat aneh.

Pendekar yang sudah digembleng dan digodok banyak pengalaman pahit sejak tanah air dijajah Mancu itu, kematian isterinya, kehilangan segala harta mWknya, menjadi pelarian dan buruan pemerintah Mancu, belakangan ini. Malah kematian puterinya yang menjadi anak tunggalnya, yang seolah sudah lupa bagaimana rasanya berduka apalagi menangis, kini terisak-isak di atas jenazah Kui Siang!

Kini Ma Giok menyadari benar bahwa sesungguhnya dia telah jatuh cinta kepada wanita itu. Perasaan cinta yang belum pernah dia rasakan semenjak isterinya meninggal dunia. Akhirnya Ma Giok mampu menekan perasaan dukanya dan dia berbisik ke dekat telinga jenazah itu.

"Kui Siang, beristirahatlah dengan tenang dan tenteram. Jangan khawatirkan anakmu. Aku bersumpah akan memelihara dan mendidiknya seperti anakku sendiri. Dia terlahir dalam keadaan sengsara sebagai. akibat jatuhnya kerajaan Beng, maka ketahuilah, Kui Siang. Anakmu itu, anak kita, akan kuberi nama Beng (Terang), Lauw Beng. Semoga kelak dia akan dapat menegakkan kembali Kerajaan Beng-tiauw (Dinasti Beng) atau setidaknya dia akan menjadi seorang pendekar budiman, berbakti kepada nama orang tua, negara,dan bangsa dengan melakukan perbuatan baik, gagah perkasa, pembela kebenaran dan keadilan, penentang kejahatan."

Setelah dapat menenangkan hatinya, biarpun masih merasa amat sedih dan kehilangann yang membuat hidup ini terasa sepi dan kosong, Ma Giok lalu mengurus pemakaman jenazah Kui Siang. Para tetangga Ngo-ma di dusun itu membantunya. Ma Giok juga segera lapor kepada kepala dusun tentang penyerbuan orang-orang jahat yang sebagian dapat dibunuhnya itu.

Kemudian, atas bantuan Ngo-ma, dia wanita dusun yang juga belum lama melahirkan seorang anak. Terpaksa, demi perawatan bayi itu, Ma Giok tinggal di dusun itu selama tiga bulan. Selama tiga bulan itu, awan duka menyelubungi kehidupan Ma Giok. Jarang dia keluar dari rumah janda tua itu, hanya melamun dan termenung. Hiburan satu-satunya adalah kalau dia memondong anak itu yang dia beri nama Beng dan tentu saja she (bermarga) Lauw, sesuai dengan nama ayah kandung anak itu, adalah Lauw Heng San.

Akan tetapi dia selalu menyebut Lauw Beng dengan Siauw Beng (Beng Kecil), sebuah sebutan yang kelak akan dipakai terus oleh anak itu. Dengan kematian Kui Siang yang diam-diam amat dicintanya, berarti Ma Giok telah kehilangan segala-galanya. Dahulu dia kematian isterinya, lalu kematian puteri tunggalnya. Kini kematian Kui Siang. Kalau saja tidak ada Siauw Beng, mungkin pendekar besar yang pernah menjadi pemimpin para pejuang penentang penjajah Mancu itu sudah putus harapan dan bosan hidup.

Hampir tidak ada manusia di dunia ini, kecuali mungkin para nabi atau manusia-manusia pilihan Tuhan, manusia-manusia tertentu saja, yang dapat bertahan untuk hidup bebas, dalam arti kata hidup di antara orang-orang lain, di antara benda-benda yang menjadi kepunyaannya, namun batinnya bebas dari semua itu, bebas dari kemelekatan.

Nafsu-nafsu daya rendah sudah diikutsertakan kepada manusia sejak dia lahir, dan nafsu-nafsu inilah yang membentuk keakuan, membentuk ego yang selalu membutuhkan sesuatu di luar dirinya untuk dapat melekat. Padahal, justeru kemelekatan inilah yang melahirkan duka. Isteriku, anakku, keluargaku, hartaku, namaku, semua yang diembel-embeli dengan AKU inilah yang mendatangkan pertentangan, permusuhan, dan berakhir dengan kedukaan.

Manusia yang bijaksana menyadari bahwa dia tidak memiliki apa-apa, semua yang berada di alam semesta ini mutlak adalah milik Tuhan, Sang Pencipta Maha Pemilik. Bahkan dirinya, jiwanya, adalah milik Tuhan. Memang dia boleh jadi mempunyai banyak hal, mempunyai keluarga, mempunyai harta, mempunyai nama. Akan tetapi mempunyai untuk sementara saja dan akhirnya tentu akan dipisahkan darinya.

Bukan MEMILIKI. Dia tidak kuasa sedikitpun akan apa yang dipunyainya, termasuk badan dan jiwanya. Kalau YANG MEMILIKI berkenan mengambilnya, dia tidak akan mampu menolak karena sesungguhnya dia bukan sang pemilik. Yang ngaku-aku memiliki itu hanhyalah nafsudaya rendah, yang senantiasa menginginkan yang nikmat dan yang menyenangkan.

Kesadaran akan ini semua akan membuat manusia waspada dan tidak terlalu tenggelam dalam duka apabila ditinggal mati seseorang yang dicintanya. Sadar bahwa orang yang dicintanya itu bukanlah miliknya, seperti juga dirinya sendiri bukan miliknya. Maka, apabila. YANG MAHA MEMILIKI mengambilnya, dia akan menyerahkan dengan segala keikhlasan hati. Kesadaran ini akan banyak mengurangi, bahkan menghapus, penderitaan karena kedukaan.

Setelah tinggal di dusun itu selama tiga bulan dan Siauw Beng tampak sudan sehat dan kuat, Ma Giok lalu meninggalkan dusun itu. Dia membawa Siauw Beng dan melakukan perjalanan menunggang seekor kuda menuju ke Thaisan. Kuda bekas tunggangan Kui Siang dia berikan kepada Ngo-ma sebagai hadiah.

Tentu saja bukan suatu perjalanan yang mudah bagi Ma Giok membawa seorang bayi berusia tiga bulan dalam perjalanan yang demikian jauhnya. Setiap hari, sedikitnya tiga kali, dia harus mencarikan seorang ibu yang dapat menyusui Siauw Beng. Dan apabila dalam perjalanannya, Siauw Beng dalam gendongannya menangis, dia hanya dapat gelisah tanpa dapat menolongnya.

Terkadang ia terpaksa membiarkan anak itu menangis teroweh-oweh dalam gendongannya sambil membalapkan kudanya, sampai anak itu lelah sendiri dan menghentikan tangisnya sendiri karena tertidur. Ada kalanya pula dia berhenti dan tertawa terbahak-bahak kalau anak itu, setelah mendapat air susu seorang ibu di dusun yang mereka lewati mau tertawa-tawa dan ngoceh.

Alangkah senang dan bahagianya hati Ma Giok kalau sedang begitu. Ditimangnya anak itu, dilemparkan ke atas, diajak bermain-main sehingga bayi itu lambat laun menjadi terbiasa dan tidak menangis malahan tertawa kalau dilempar-lemparkan ke atas oleh Ma Giok yang tentu saja canggung dan kaku itu. Ma Giok memang belum berpengalaman mengasuh bayi.

Baru satu kali dia mempunyai anak kandung, itupun ada ibunya sehingga dia hampir tidak pernah tahu betapa susahnya mengasuh seorang bayi. Dan sekarang, dia terpaksa harus mengganti pakaiannya kalau anak itu ngompol, harus membersihkannya kalau anak itu berak, harus mengayun-ayun dan menghiburkannya kalau menangis.

Perjalanan sejauh seribu li (mil) lebih itu ditempuh Ma Giok selama hampir empat bulan. Untung baginya bahwa tidak pernah mendapat halangan atau rintangan dalam perjalanan. Dia menganggapnya sebagai berkah Thian (Tuhan) kepada Siauw Beng. Memang segala sesuatu merupakan berkah Thian, akan tetapi kalau di ditinjau dalam penalaran manusia, penjahat manakah yang mau mengganggu seorang laki-laki yang membawa seorang bayi?

Tidak ada sesuatu yang berharga dapat diharapkan dari laki-laki dan bayinya itu. Mungkin inilah yang membuat para perampok segan untuk mengganggu Ma Giok. Juga boleh jadi karena mereka melihat sikap Ma Giok yang gagah berwibawa, dan melihat pedang yang tergantung dipunggungnya. Ada pula yang mengenal bekas pemimpin pejuang yang pernah menjadi tokoh dunia kangouw dengan julukan Lam-liong (Naga Selatan) ini dan tentu saja mereka menjadi jerih untuk mengganggunya.

Akhirnya, dalam keadaan letih namun lega, Ma Giok tiba di lereng dekat puncak Gunung Thai-san, di mana terdapat sebuah pondok kayu sederhana namun kokoh kuat. Inilah tempat pertapaan Pek In San-jin, yang hidup berdua saja dengan seorang pemuda remaja, berusia dua belas tahun yang menjadi pelayannya. Biarpun Ma Giok belum pernah berkunjung ke tempat itu, namun dia sudah mendapat keterangan mengenai tempat dari suheng mendiang Pat-jiu Sin-kai dan menjadi guru mendiang Ngo-ji-auw-eng (Garuda Lima Cakar) Tankok itu.

Pondok kayu di dekat puncak itu sudah tampak dari bawah. Tinggal satu putaran lagi dan Ma Giok akan sampai di sana. Tiba-tiba sebuah batu besar jatuh berdebuk di depannya. Batu gunung itu sebesar perut kerbau dan tentu beratnya seratus kati lebih. Ma Giok yang meninggalkan kudanya di dusun terakhir di lereng gunung itu dan melanjutnya pendakian dengan jalan kaki, terkejut. Batu itu datang dari depan, namun tidak langsung menyerangnya karena jatuh berdebuk di depannya, dalan jarak tiga meter.

Ketika dia mengangkat muka, dia melihat seorang anak laki-laki berusia dua belas tahun menyangga sebuah batu yang sama besarnya dengan yang jatuh di depannya itu, menyangga dengan tangan kiri. Tangan kanannya kosong dan agaknya bocah itu yang tadi melontarkan batunya mungkin tadinya disangga tangan kanannya.

Ma Giok memandang terbelalak, hampir tak percaya. Benarkah anak itu. yang melontarkan batu tadi? Agaknya demiki-an karena tangan kiri anak itu masih menyangga sebongkah batu lain yang sama besarnya, dan tampaknya sama sekali tidak merasa berat.

Padahal, batu itu tentu lebih dari seratus kati beratnya. Bahkan seorang laki-laki dewasa yang bertubuh kokoh sekalipun belum tentu mampu menyangga batu seberat itu dengan sebelah tangan, apalagi melontarkannya dalam jarak kurang lebih sepuluh meter itu.

"Eh, siauw-ko (kakak kecil), engkaukah yang melontarkan batu itu di depanku tadi?" Ma Giok bertanya sambil meng-hampiri. Dia memandang penuh perhatian.

Anak yang usianya sekitar dua belas tahun itu bertubuh tinggi besar, matanya lebar, hidungnya pesek dan bibirnya tebal. Muka yang tak dapat dikatakan tampan, bahkan tampak kasar dan bodoh, akan tetapi sinar matanya mengandung kejujuran. Sebelum menjawab, anak itu melontarkan batu sebesar perut kerbau yang disangga dengan tangan kirinya ke atas, ada tiga meter tingginya, lalu disambut dan dilontarkan lagi sampai tiga kali. Kemudian dia menurunkan batu itu dan melompat ke atas batu sehingga kini tingginya sama dengan tinggi Ma Giok.

"Benar, aku yang melontarkannya di depanmu." jawabnya jujur. Suaranya nyaring dan logatnya masih menunjukkan logat khas desa.

"Akan tetapi mengapa kau lakukan itu, siauw-ko? Seorang tuan rumah yang baik tidak akan menyambut seorang tamu seperti itu."

"Tamu yang baik tentu disambut dengan baik pula. Akan tetapi engkau adalah tamu yang tidak diundang dan kunjunganmu yang tiba-tiba ini tentu hanya akan mengganggu ketenangan suhu." jawab anak itu.

Ma Giok tersenyum. "Aku bukan tamu, melainkan sahabat segolongan, siauwko. Apakah lo-cian-pwe (orang tua gagah) Pek In San-jin berada di rumah? Aku ingin menghadap dia."

"Hemm, engkau adalah sin-khek (tamu baru), bagaimana aku tahu apakah engkau ini sahabat segolongan ataukah bukan?" anak itu membandel.

Ma Giok tersenyum. Anak ini tentu bukan bocah biasa dan tadi menyebut suhu, tentu yang dimaksudkan adalah Pek In San-jin. Jadi anak ini adalah murid Pek In San-jin? Pantas dia bersikap penuh curiga dan agaknya dengan demonstrasi kekuatan mengangkat dan melemparkan batu itu dia hendak mengusir orang yang dianggapnya akan mengganggu gurunya. Orang biasa tentu akan ketakutan dan segera pergi dari situ melihat tenaga bocah yang dahsyat itu.

Ma Giok melangkah maju, mendekati batu yang dilontarkan tadi. Kemudian dengan kaki kanannya, dia mengungkit batu itu dan melontarkan dengan tendangannya ke atas, kemudian selagi batu itu melayang di atas kepalanya, dia menggunakan tangan kanan, memukul batu itu dengan tangan miring sambil mengerahkan sin-kang (tenaga sakti). "Pyarrrr...!" Batu sebesar perut kerbau itu pecah berantakan terkena pukulan tangan Ma Giok.

"Nah, siauw-ko, katakan kepada Pek In San-jin bahwa aku mohon menghadap untuk menyampaikan berita tentang Pat-jiu Sin-kai dan Ngo-jiauw-eng Tan Kok."

Mendengar disebutnya dua nama ini, anak itu cepat melompat turun dari atas batu, lalu memberi hormat dengan kedua tangan dirangkap di depan dada sambil berkata. "Mari, silakan ikut saya, lo-sicu (orang tua gagah)."

Anak itu bersikap hormat dan mendahului Ma Giok berlari naik ke arah puncak di dekat mana berdiri sebuah pondok kayu itu. Agaknya anak itu sengaja hendak memamerkan kebolehannya berlari cepat sambil berloncatan. Akan tetapi tentu saja dengan mudah Ma Giok dapat mengimbangi, bahkan melampaui kecepatannya.

Di depan. pondok itu, dia berhenti dan menoleh kepada Ma Giok. "Silakan tunggu sebentar, lo-sicu. Saya akan melapor kepada suhu."

Setelah berkata demikian, anak itu masuk ke dalam pondok yang cukup besar itu. Ma Giok berdiri di luar. Siauw Beng tertidur pulas dalam gendongannya. Agaknya hawa sejuk dekatpuncak itu membuat dia keenakan tidur. Ma Giok menikmati keindahan panorama dari atas tempat tinggi itu.

Tak lama kemudian, anak itu keluar. "Lo-sicu dipersilakan masuk. Suhu telah menanti. Silakan."

Ma Giok melangkah, melewati ambang pintu dan memasuki sebuah ruangan depan yang luas. Seorang kakek duduk di atas dipan kayu, bersila seperti arca. Kakek itu usianya sudah tujuh puluh tahun lebih. Rambut, kumis dan jenggotnya yang panjang sudah putih semua. Kepalanya botak dan tubuhnya tinggi kurus. Namun dia duduk bersila dengan tubuh tegak lurus. Matanya masih bersinar, tajam ketika dia mengamati wajah Ma Giok. Di dekatnya tampak sebatang tongkat bambu putih.

Melihat kakek ini, walaupun tidak mengenalnya, Ma Giok dapat menduga bahwa tentu dialah yang bernama Pek In San-jin, seorang pertapa yang telah berpuluh tahun mengasingkan diri di tempat sunyi ini dan tidak mau mencampuri urusan duniawi. Sambil menggendong Siauw Beng, dia memberi hormat dan berkata dengan suara lantang namun penuh hormat.

"Mohon maaf kepada lo-cianpwe kalau kunjungan saya ini mengganggu ketenangan lo-cianpwe. Saya bernama Ma Giok dan saya mohon menghadap lo-cianpwe Pek In San-jin untuk menyampaikan berita tentang lo-cianpwe Pat-jiu Sin-kai dan pendekar Ngo-jiauw-eng Tan Ok."

"Sian-cai (pujian damai)....! Kiranya si-cu adalah pendekar Ma Giok yang berjuluk Lam Liong? Sudah lama aku mendengar bahwa engkau adalah seorang pemimpin pejuang yang gigih melawan penjajah Mancu. Duduklah, Ma-si-cu (orang gagah Ma)!"

Melihat sikap ramah kakek itu, Ma Giok Giok merasa lega dan dia lalu duduk di atas sebuah bangku yang tersedia di ruangan itu, berhadapan dengan Pek In San-jin.

"Ma-sicu datang hendak menyampaikan berita tentang su-te (adik seperguruan) Pat-jiu Sin-kai dan muridku Tan Kok? Apakah itu berita tentang kematian mereka yang akan kau sampaikan, sicu?"

Ma Giok terkejut. Apakah kakek ini sudah mengetahuinya? "Apakah lo-cianpwe sudah mendengar akan hal itu?"

Pek In San-jin tersenyum dan menggeleng kepalanya. Luar biasa sekali, ketika dia tersenyum, tampak giginya masih berderet-deret utuh dan rapi!

"Aku tidak pernah pergi dari puncak ini, dan A-song, kacungku itu, juga paling jauh pergi turun ke dusun di lereng ba-wah. Tentu saja aku tidak pernah mendengar tentang mereka. Akan tetapi kalau engkau datang membawa berita tentang mereka yang menjadi pejuang, berita apalagi yang lebih berharga bagi seorang pejuang kecuali berita kematian?

"Seorang pejuang baru disebut pahlawan kalau dia mati dalam perjuangan, itupun kalau kebetulan ada yang memperhatikannya. Kalau dia tidak gugur, siapa yang akan memperhatikan dan ingat bahwa mereka itu adalah bekas pejuang? Kecuali kalau mereka kini memperoleh kedudukan tinggi tentunya. Nah, berita apa yang kau bawa, Ma-sicu?"

Dengan lembut, jelas dan panjang lebar Ma Giok menceritakan tentang kematian Pat-jiu Sin-kai yang sudah sakit-sakitan itu, yang tewas saking marahnya melihat muridnya yang bernama Lauw Heng San dapat terbujuk dan tertipu sehingga Lauw Heng San menjadi perwira pembesar Mancu, yaitu Pangeran Abagan yang mengubah nama menjadi Thio Ci Gan dan dikenal sebagai Thio-ciangkun (Panglima Thio).

Karena ketidaktahuannya itu, Lauw Heng San bahkan dengan pasukan istimewanya membasmi para pejuang yang dianggapnya sebagai penjahat-penjahat dan gerombolan pemberontak! Bahkan Lauw Heng San juga khilaf telah membunuh Ngo-jiauw-eng Tan Kok, murid Pek In San-jin.

Mendengar penuturan itu Pek In San-jin menghela napas panjang. "Aiih, bagaimana sute Pat-jiu Sin-kai begitu bodoh dan lengah sehingga mengangkat seseorang yang seperti itu menjadi muridnya?"

"Lo-cianpwe, sebetulnya Lauw Heng San itu bukan orang jahat atau sesat. Dia seorang gagah yang berjiwa pendekar. Dia hanya tertipu, terbujuk oleh Pangeran Abagan yang dia kira seorang pembesar Han sejati, bahkan dia diambil mantu, dijodohkan dengan puteri tiri pembesar itu. Akan tetapi setelah bertemu dengan lo-cianpwe Pat-jiu Sin- kai, dia menyadari kesalahannya dan dia lalu mengamuk, membunuh Pangeran Abagan dan para jagoannya, akan tetapi dia sendiri juga tewas."

Dengan panjang lebar Ma Giok menceritakan tentang Lauw Heng San ketika pendekar itu membalik dan mengamuk di gedung Pangeran Abagan atau Thio-ciangkun.

"Melihat bahwa Lauw Heng San telah menyadari kesalahannya, maka kami semua merasa kasihan kepada isterinya yang sedang hamil tua. Maka, ketika isterinya melarikan diri, saya mengajak Bu Kui Siang, isterinya itu, menyelamatkan diri, meninggalkan kota Keng-koan. Kami tidak tahu apa yang terjadi dengan keluarganya yang lain."

"Sian-cai.... buruk sekali nasib mereka itu." kata Pek In San-jin dengan hati dipenuhi belas kasihan.

"Memang sesungguhnya, lo-cianpwe, buruk sekali nasib mereka, Lauw Heng San, dan isteri serta anaknya. Isterinya itu saya ajak melarikan diri, dengan tujuan ke sini karena saya kira di sinilah tempat yang aman dari pengejaran orang Mancu terhadap isteri Lauw Heng San. Akan tetapi, di tengah perjalanan, nyonya muda Bu Kui Siang melahirkan, pada saat kami diserang oleh Hui-kiam Lo-mo dan muridnya beserta beberapa orang anak buahnya. Saya berhasil menewaskan anak buahnya dan mengusir Hui-kiam Lo-mo dan muridnya dan pada saat itu pula Kui Siang juga melahirkan seorang putera. Akan tetapi... ketika melahirkan itu puteranya selamat dan ia... ia... ia meninggal dunia..."

"Sian-cai, semoga Tuhan memberi tempat yang baik untuk nyonya muda itu..." kata Pek In San-jin.

"Saya menunggu sampai anaknya berusia tiga bulan, baru saya bawa anak itu melakukan perjalanan ke Thai-san dan hari ini saya berhasil membawanya menghadap lo-cian-pwe. Inilah anak itu, lo-cianpwe, namanya Lauw Beng, saya sebut Siauw Beng."

"Akan tetapi, mengapa engkau mengajak dia ke sini, Ma-sicu?"

"Ke mana lagi saya membawanya, locian-pwe? Anak ini adalah putera murid mendiang Pat-jiu Sin-kai, berarti masih cucu murid lo-cian-pwe sendiri. Saya hendak menyerahkan anak ini kepada locian-pwe untuk dididik agar kelak dia dapat melanjutkan perjuangan kami, dapat menjadi orang ho-han (patriot) dan pendekar yang akan berbakti kepada bangsa dan tanah air."

"Akan tetapi, bagaimana mungkin aku dapat merawat seorang bayi sekecil ini, Ma-sicu?" bantah Pek In San-jin yang tentu saja merasa tidak sanggup untuk merawat anak sekecil itu.

"Tentu saja tidak, lo-cianpwe. Saya akan mencarikan ibu pengasuh di pedusunan kaki gunung yang akan merawat dan memeliharanya sampai usianya cukup besar untuk mulai mempelajari ilmu dari lo-cianpwe."

"Hemm, usiaku sudah tua sekarang, Ma-sicu. Aku khawatir, kalau dia sudah besar, aku sudah terlalu tua atau mungkin sudah mati untuk dapat mengajarnya. Karena itu, aku mau menerima Siauw Beng menjadi murid hanya dengan satu syarat."

"Apakah syaratnya itu, lo-cianpwe?"

"Syaratnya adalah bahwa engkau harus pula membantuku untuk mendidik dan mengajarnya, sicu. Aku sudah mendengar banyak tentang engkau, aku tahu bahwa engkau seorang ahli silat aliran Siauw-lim-pai. Aliran Siauw-lim merupakan sumber dari aliran-aliran lain, karena itu aku menghendaki agar anak ini mempelajari dasar-dasar ilmu silatnya darimu, juga engkau yang wajib memberi tuntunan dalam ilmu sastra kepadanya. Setelah dia menyerap semua ilmumu, barulah aku akan mengajarkan apa yang aku bisa kepadanya. Dengan demikian, andaikata aku mati sebelum dia menjadi besar, dia sudah menerima banyak darimu. Kalau syarat itu tidak kau penuhi, sebaiknya engkau membawa dia ke tempat lain saja, Ma-sicu."

Ma Giok terkejut mendengar syarat yang mengikatnya itu. Dia berpikir keras karena syarat itu demikian mendadak dan bersangkutan dengan kehidupan selanjutnya. Dia seolah mendengar suara Kui Siang yang bicara kepadanya tentang tugas seorang patriot dan seorang pendekar. Sekarang bukan masanya untuk menjadi pejuang, karena perjuangan menentang penjajah tidak mungkin dilakukan seorang diri.

Akan tetapi seorang pendekar dapat berjuang di mana saja dan kapan saja seorang diri, menegakkan kebenaran dan keadilan, membela yang lemah tertindas, menentang yang kuat tapi jahat. Dia menghela napas, teringat akan usahanya selama beberapa tahun berjuang namun tanpa hasil karena dia hanya mampu mengumpulkan para pejuang yang amat kecil jumlahnya, dibandingkan dengan pasukan Mancu yang besar dan kuat.

Dia menjadi patah semangat, apalagi kalau dia lihat kenyataan betapa dia menolong putera seorang pembesar Mancu yang berada di pihak yang benar dan tertindas maka harus dibelanya terhadap kejahatan orang-orang yang mengaku sebagai pejuang! Memang sebaiknya dia menerima syarat Pek In Sanjin. Dia menganggap dirinya sebagai pengganti ayah bunda Siauw Beng, maka sudah sepantasnyalah kalau dia yang merawat dan memelihara anak itu.

Dia juga menerima sebuah kitab yang ditemukan di antara pakaian Kui Siang, yaitu kitab Ngo-heng Kun-hoat, peninggalan dari Lauw Heng San yang mengubah sendiri ilmu silat tangan kosong itu, yang membuat dirinya dijuluki sebagai Lui-kongdang (Si Tangan Halilintar).

Dia berkewajiban untuk ikut menggembleng Siauw Beng agar kelak anak itu dapat pula melanjutkan julukan ayahnya, yaitu Si Tangan Halilintar! Dia harus menerima syarat itu, demi Siauw Beng, demi Kui Siang yang suaranya seolah-olah terde-ngar membujuk-bujuknya. Demi cintanya terhadap Kui Siang!

"Baiklah, lo-dan-pwe. Saya terima syarat itu!" katanya dengan suara mantap.

"Sian-cai...! Agaknya kita dan Siauw Beng memang berjodoh, Ma-sicu. Nah, biarlah A-siong mengantarmu ke dusun di bawah sana. Dia mengenal banyak orang dan tentu dapat mencarikan seorang ibu pengasuh untuk Siauw Beng. Engkau sendiri boleh tinggal di mana saja yang kau sukai. Kalau mau tinggal di tempat sepi ini, boleh saja."

Ma Giok mengucapkan terima kasih, lalu dia turun dari puncak, menggendong Siauw Beng dan mengajak A Siong. Sete-lah tiba di dusun pertama, dia mengambil kudanya, kemudian atas petunjuk A Siong, dia menyerahkan Siauw Beng dalam asuhan Bibi Hwa, demikian panggilan seorang janda yang hidup seorang diri di dusun itu. Wanita ini peramah, memiliki sebidang tanah dan rumahnya. Ma Giok memberikan kudanya kepadanya berikut sejumlah emas dan perak untuk biaya merawat Siauw Beng.

Bibi Hwa menerima Siauw Beng dengan senang hati. Sebagai seorang janda yang hidup sebatang kara, tentu saja ia senang tiba-tiba mendapatkan seorang anak yang demikian sehat dan mungil, ditambah seekor kuda dan beberapa potong emas pula! Dalam perbincangan di antara mereka, Ma Giok tahu bahwa wanita itu banyak pengalaman dan mengerti benar bagaimana harus merawat anak kecil.

Bibi Hwa menjelaskan bahwa mula-mula ia akan minta pertolongan para ibu yang masih menyusui anaknya untuk membagi sedikit susunya kepada Siauw Beng. Kemudian, setelah dengan uangnya ia dapat membeli seekor sapi perah, ia akan memelihara anak itu dengan susu sapi. Dan Bibi Hwa sudah berpengalaman memelihara anak kecil karena ia pernah dulu mempunyai dua orang anak yang sekarang telah mati semua terserang wabah penyakit ganas.

Demikianlah, mulai hari itu, Ma Giok Si Naga Selatan seperti lenyap dari dunia kangouw. Para tokoh kangouw kehi-langan dia dan banyak orang menduga bahwa mungkin Lam Liong (Naga Selatan) telah tewas dalam perjuanganhya yang gigih melawan pemerintah penjajah Mancu.

Ma Giok menemukan kebahagiaan tersendiri selama dia mengasingkan diri di puncak Thai-san. Dia memperdalam pengetahuannya tentang agama To dari Pek In San-jin, juga tentang ilmu silat. Bahkan setelah dia berada di situ, dialah yang melatih ilmu silat kepada A Siong yang biarpun di situ bekerja sebagai pembantu atau pelayan, namun dianggap keluarga sendiri dan diberi pelajaran silat.

Walaupun otak A Siong agak tumpul, dan dia hanya dapat mempelajari dan menghafal gerakan silat yang sederhana, namun secara alami dia memiliki tenaga yang amat kuat. Setelah dapat menghimpun tenaga sakti, dia semakin kuat. Wataknya yang terbuka dan jujur, juga setia, membuat Ma Giok amat suka kepadanya. Ma Giok mengharapkan kelak A Siong dapat menjadi teman yang baik dan setia dari Siauw Beng yang dia anggap sebagai puteranya sendiri.

Dalam perawatan Bibi Hwa, Siauw Beng menjadi anak yang sehat dan kuat. Juga sikap Bibi Hwa yang lembut dalam merawat, selain lembut juga Bibi Hwa memang pandai bicara, pandai bercerita yang lucu-lucu, maka dengan sendirinya Siauw Beng berangkat besar dengan watak yang lembut, namun suka melucu, jenaka dan lincah. Dia menganggap wanita yang gendut, yang disebutnya bibi itu sebagai pengganti ibunya dan kepada Ma Giok yang datang berkunjung seminggu dua kali, dia menyebut ayah dan menganggap Ma Giok sebagai ayah kandungnya.

Ketika Siauw Beng berusia tujuh tahun dan sudah mulai mengerti, dia mulai bertanya-tanya tentang ibu kandungnya dan Ma Giok lalu menceritakan bahwa ibu kandungnya tewas ketika melahirkan dia. Mulailah Ma Giok mengajarkan ilmu membaca dan menulis, dan seringkali dia bercerita tentang perjuangannya menentang pemerintah penjajah Mancu.

Juga dia banyak bercerita tentang para pendekar dengan kegagahan mereka, menentang kejahatan membela yang benar tertindas, menegakkan kebenaran dan keadilan dengan modal ketangguhan ilmu silat mereka. Semua cerita ini merupakan pupuk bagi jiwa kependekaran Siauw Beng sehingga semakin besar, Siauw Beng semakin bercita-cita untuk menjadi seorang pendekar yang selalu menegakkan kebenaran dan keadilan!

Ma Giok mulai melatih ilmu silat kepada Siauw Beng. Dasar-dasar ilmu silat Siauw-lim-pai yang kokoh. Dengan pasangan kuda-kudanya yang kokoh, gerakan dasar kedua kaki yang kuat, maka Siauw Beng akan dapat melatih Hmu silat aliran manapun dengan baik karena gerakan kedua kaki itu merupakan pondasi bagi semua llmu silat.

Tentu saja teman berlatihnya adalah A Siong. Biarpun usia A Siong jauh lebih tua, selisih dua belas tahun, namun A Siong yang amat sayang kepada Siauw Beng suka melayaninya berlatih dan banyak mengalah. Setelah Siauw Beng berusia sepuluh tahun, mulailah Ma Giok membawanya ke puncak Thai-san dan Pek In San-jin sendiri yang membimbingnya dalam ilmu-ilmu silat yang lebih tinggi.


Sang waktu bergerak dengan amat cepatnya kalau tidak diamati. Seperti jalannya sang matahari, kalau diamati seolah matahari tidak pernah bergeser dari tempatnya. Akan tetapi kalau kita lengah dan tidak memperhatikan, tahutahu matahari yang tadinya muncul di ujung timur, tahu-tahu sudah hampir tenggelam di ujung barat! Demikian pula, tanpa diperhatikan dan tanpa disadari sang waktu melesat cepat dan tahu-tahu dua puluh tahun telah lewat sejak Siauw Beng, bayi berusia beberapa bulan itu dibawa ke Thai-san oleh Ma Giok!

Pada pagi hari itu, matahari pagi bersinar terang. Udara cerah, tidak berkabut seperti biasanya sehingga semua tanaman dapat menikmati sinar matahari yang menghidupkan sepuas mereka. Sejak pagi-pagi tadi, A Siong telah sibuk mengangkut air dari sumber, menggunakan pikulan yang membawa dua tong air besar, dibawa naik ke puncak dan dituangkan ke dalam bak mandi yang besar dan gentung-gentung di dapur.

Siauw Beng membantunya dan seperti biasa setiap pagi, mereka berlomba siapa yang lebih cepat dan lebih banyak mengangkut air. Dan, seperti sudah terjadi sejak tiga tahun yang lalu, A Siong selalu kalah! Setelah menyelesaikan pekerjaan sehari-hari, A Siong dan Siauw Beng pergi ke taman belakang pondok di mana terdapat sebuah tempat terbuka yang mereka pergunakan untuk berlatih silat. Ketika itu, A Siong sudah berusia tiga puluh dua tahun.

Seorang laki-laki bertubuh raksasa, tinggi besar kokoh kuat seperti batu karang, otot-ototnya menonjol melingkar-lingkar di lengan, bahu dan dadanya, demikian pula pada paha dan betisnya. Pakaiannya sederhana namun cukup bersih. Kepalanya besar, sesuai dengan bentuk tubuhnya. Matanya lebar dan dari sinar matanya saja orang sudah dapat menduga bahwa dia seorang yang terbuka dan jujur.

Dan ada bayang-bayang kebodohan dan kesederhanaan pada sinar matanya. Hidungnya besar agak pesek dan bibirnya tebal namun bentuknya indah dan warna bibirnya merah tanda sehat. Dia berdiri dengan kedua kaki terpentang, merupakan seorang lawan yang menggiriskan hati siapa saja, berhadapan dengan Siauw Beng...

Selanjutnya,

Post a Comment

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.