Si Tangan Halilintar Jilid 17 karya Kho Ping Hoo - GADIS yang di panggil Ai Yin itu memandang Siauw Beng dengan alis berkerut. “Benar-benar engkau berani melawan Su-siok Toat-beng Siang-kiam? Dia ini datuk Sungai Huang-ho dan lihai sekali kenapa kalian berdua tidak cepat pergi saja dari sini dan aku yang akan melarang mereka mengganggu kalian!”
“Jangan khawatir, Nona. Kami akan berusaha sekuat tenaga.“
“Akan tetapi lenganmu....“ Gadis itu memandang kearah lengan baju sebelah kiri Siauw Beng yang tergantung kosong bagian bawahnya.
“Aku tidak takut, Nona. Terima kasih atas kebaikanmu dan maafkan kalau kami menolak pembelaanmu.”
Gadis itu mengerutkan alisnya dan cuping hidungnya bergerak-gerak, lalu ia mendengus dan berkata, “Kalau engkau mati jangan bilang bahwa aku tidak membelamu dan membantu paman guruku yang menyeleweng!” Setelah berkata demikian gadis itu keluar dari kepungan.
“He, bocah sombong! Berani kau melawan aku?” Can Ok membentak dan memandang ringan. Dia adalah seorang tokoh besar, menggantikan mendiang gurunya, menjadi datuk Sungai Huang-ho! Terkenal sebagai seorang ahli pedang sehingga mendapat julukan Toat-beng Siang-kiam (Sepasang Pedang Pencabut Nyawa).
Maka tentu saja dia memandang ringan walaupun tadi dua orang pemuda itu telah memperlihatkan kepandaian merobohkan anak buahnya. ”Katakan dulu siapa nama kalian agar jangan menjadi roh penasaran karena sebentar lagi kalian berdua akan mampus!”
A Siong mendahului sutenya menjawab dengan suaranya yang lantang. “Buka telingamu lebar-lebar, kepala bajak sungai! Aku bernama A Siong dan suteku ini yang di kenal sebagai Lui-kong-ciang (Si Tangan Halilintar)!”
Mendengar ini Siauw Beng tersenyum saja karena setiap kali memberi pertolongan kepada orang-orang tertindas dan menentang kejahatan, suhengnya itu selalu memperkenalkan sebutan Lui-kong-ciang itu untuknya. Dia membiarkan saja karena hal itu sesuai dengan pesan ayahnya, Ma Giok, dalam usahanya untuk membersihkan nama ayah kandungnya yang dulu juga di sebut Si Tangan Halilintar.
Karena nama itu dengan sengaja “diobral “oleh A Siong, maka sebentar saja julukan Lui-kong-ciang menjadi terkenal sebagai pendekar berlengan satu yang baru muncul.
Can Ok belum pernah mendengar julukan Si Tangan Halilintar itu, maka dia tertawa mengejek. Suhengnya berwajah dan bersikap seperti orang bodoh, dan sutenya itu hanya seorang pemuda yang bertangan satu, sama sekali tidak perlu di takuti.
“Hemm, bocah-bocah kemarin sore macam kalian berani menentangku! Majulah kalian berdua. Sepasang pedangku ini sudah haus untuk minum darah kalian!”
Dia menggerakkan kedua tangan ke belakang dan tampak sinar berkelebat menyilaukan mata ketika sepasang pedang yang berada di kedua tangannya itu tertimpa sinar matahari. Asiong tertawa. “ha-ha-ha, kami bukan orang-orang yang suka melakukan pengeroyokan seperti pengecut. Engkaulah yang pasti akan mengandalkan pengeroyokan!”
Wajah Can Ok semakin hitam dan matanya mendelik. Baru sekarang tokoh ini tampak galak menyeramkan, padahal tadi ketika menjadi penjual perahu, tampak lemah lembut. “Tidak sudi aku melakukan pengeroyokan! Kalau begitu, hayo engkau sendiri yang maju melawanku, satu lawan satu. Yang lain menjadi saksi!”
“He-he-he, siapa percaya saksi seperti anak buahmu ini? Kalian pasti akan bertindak curang.” Kata A Siong, sengaja memanaskan hati karena biarpun dia tidak cerdik, namun dia tahu benar bahwa kemarahan membuat seorang ahli silat kurang waspada dalam sebuah pertandingan silat.
“Biar aku yang menjadi saksi!” tiba-tiba terdengar suara nyaring dan ternyata yang berteriak itu adalah gadis tadi yang kini sudah duduk di atas sebuah dahan pohon dengan kedua kakinya ongkang-ongkang (tergantung), lagaknya seperti anak kecil yang sedang menonton pertunjukan menarik yang akan dilihatnya di bawah pohon!
“Bagus sekali kalau engkau suka menjadi saksi, Nona!” kata A Siong. Akan tetapi sebelum dia melayani Can Ok bertanding, Siauw Beng yang dapat menduga bahwa orang ini cukup lihai, segera melangkah maju.
“Ha-ha, baiklah, Sute. Kalau kau tidak dapat mengalahkannya, barulah aku yang maju!” katanya, sengaja menyombongkan diri untuk membikin gentar hati lawan.
“Aku akan menjaga agar jangan ada yang main curang!”
Can Ok menghadapi Siauw Beng dengan senyum mengejek. Dia melintangkan kedua pedangnya di depan dada dengan bersilang, membentuk gunting, lalu berseru, suaranya mengejek. “Si Tangan Halilintar, coba keluarkan tangan ampuhmu itu dan bersiaplah untuk mati!”
Dia sudah siap untuk menyerang. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara gadis itu nyaring. “Tahan! Sebagai saksi aku merasa tidak adil kalau yang seorang menggunakan sepasang pedang, padahal lawannya hanya bertangan satu dan tidak bersenjata! Eh, Tangan Halilintar, kalau kau tidak mempunyai senjata, boleh kau pinjam pedangku ini, agar pertandingan menjadi adil. Kalau tidak adil begini, lebih baik batalkan saja!”
Mendengar ini diam-diam Siauw Beng merasa kagum kepada gadis itu. Boleh jadi gadis itu berandalan dan liar, sikapnya kasar, bahkan lebih ugal-ugalan dibandingkan Puteri Mayani. Mendengar ucapan gadis itu, dia lalu menggerakkan tangan kanannya.
Dan Can Ok terkejut karena dia tidak dapat mengikuti gerakan tangan kanan itu, tahu-tahu tangan itu memegang gagang sebatang pedang tipis yang mengeluarkan suara mengaung ketika tiba-tiba berkelebat menjadi sinar kilat itu.
“Bagus, kiranya engkau memiliki sebatang pedang yang amat baik, buntung! Nah, sekarang kalian berdua boleh mulai bertanding!” Gadis itu berseru girang.
“Lihat pedang!” Can Ok membentak dan dua sinar pedang berkelebat menyambar-nyambar tubuh Siauw Beng. Akan tetapi dengan lincah pemuda ini bergerak cepat, tubuhnya bagaikan baying-bayang berkelebat di antara kedua sinar pedang itu. Tentu saja Can Ok terkejut dan dari gerakan yang amat ringan itu saja dia dapat menilai bahwa pemuda buntung yang berjuluk si Tangan Halilintar ini benar-benar lihai.
Maka dia bersikap hati-hati dan mempercepat gerakan sepasang pedang sambil mengerahkan seluruh tenaga saktinya. datuk Sungai Huangho ini memang lihai sekali mempergunakan sepasang pedangnya. Gerakannya kini amat cepat. Sejak dia kalah oleh Ma Giok sekitar dua puluh tahun yang lalu, dia telah memperdalam ilmu pedangnya, di latih gurunya.
Hui-kiam Lo-mo yang kini telah meninggal sehingga kini dia jauh lebih lihai daripada dahulu. Karena serangan sepasang pedang itu menjadi semakin ganas dan berbahaya, Siauw Beng terpaksa menangkis dengan pedangnya sambil mengerahkan tenaga saktinya pula.
“Haiiiitttt... trakk-trakkk…!" Can Ok melompat kebelakang dan matanya terbelalak memandang kedua batang pedangnya yang telah patah ketika bertemu sinar pedang kilat lawan sehingga yang tinggal di tangannya hanya gagang dan sepotong pedang pendek sekali!
Sama sekali tidak di sangkanya bahwa hanya dalam pertandingan belasan jurus saja, padahal pemuda itu sama sekali belum balas menyerang, sepasang pedangnya sudah patah-patah! Tentu pokiam (Pedang pusaka) si lengan buntung itu luar biasa ampuhnya, pikirnya. Kalau bertanding tangan kosong tentu dia akan lebih unggul, mengingat lawannya hanya bertangan satu.
“Orang muda, pedangmu amat ampuh sehingga sepasang pedangku patah. Beranikah engkau melanjutkan pertandingan dengan tanngan kosong?”
“Wah, tidak adil!” kembali gadis itu berseru setelah tadi bertepuk tangan memuji melihat betapa sepasang pedang paman gurunya patah oleh tangkisan pedang Siauw Beng. “Kalau mau adil, tangan susiok yang kiri harus di ikat di pinggang dan tidak boleh di gerakkan!”
Can Ok tidak menjawab, hanya memandang Siauw Beng dengan mata mendelik. “Lui-kong-ciang, bagaimana? Beranikah engkau bertanding dengan tangan kosong melawan aku?”
Siauw Beng melibatkan lagi pedangnya di pinggang. Biarpun tangannya hanya sebelah, namun dia sudah terlatih dan dapat melibatkan pedang itu. Mula-mula gagang pedang yang di jepit di pinggang lalu ujung pedang di tarik dengan tangan kanan, dililitkan pinggang dan ujung pedang itu masuk ke sebuah lubang yang berada di belakang gagang pedang. Setelah melibatkan pedang Lui-kong-kiam, barulah dia menjawab.
“Tentu saja aku berani. Silahkan maju menyerang.”
“Hyaaaaaahhh...!!” Can Ok menyerang dengan ganasnya. Gerakan kedua tangannya mendatangkan angin dahsyat.
Namun dengan keringanan tubuhnya Siauw Beng dapat mengelak dengan amat mudah. Can Ok menjadi semakin penasaran. Kini kedua tangan dan kedua kakinya menyerang sedemikian gencarnya sehingga mau tidak mau Siauw Beng harus menghindarkan diri dengan tangkisan karena kalau hanya mengelak terus, hal itu dapat membahayakan dirinya. Ketika kaki kanan lawan menyambar kea rah lambung kirinya, lengan bajunya berkelebat menangkis.
“Plaakkk!” Can Ok terkejut bukan main. Biarpun lengan baju itu bagian ujungnya kosong karena lengan Siauw Beng hanya sebatas siku, namun lengan baju itu mengandung tenaga yang hebat sehingga kakinya terpental membalik dan terasa panas dan nyeri!
Can Ok merasa terkejut dan penasaran. Dia mengeluarkan semua ilmu silatnya dan mengerahkan selurruh tenaganya. Namun semua serangannya sia-sia belaka. Kalau tidak di elakkan tentu di tangkis pemuda buntung itu. Tiba-tiba kedua tangan Can Ok bergerak di pinggangnya dan begitu tangannya bergerak ke depan, dua sinar kilat menyambar kearah tubuh Siauw Beng.
“Curang!!” terdengar gadis itu berteriak.
Akan tetapi tentu saja Siauw Beng tidak mudah di serang secara gelap dengan dua buah pisau terbang itu. Dia melompat kesamping dan menangkis dengan tangan kanannya. Sebatang pisau terbang meluncur lewat dan yang sebuah lagi dipukulnya runtuh. Can Ok sudah marah sekali, menubruk maju hendak menggunakan kesempatan selagi Siauw Beng menghindar dari sambaran dua batang pisau terbangnya, dia menyerang dengan ganas sekali.
Siauw Beng miringkan tubuhnya dan ujung lengan baju kirinya menyambar dan membelit lengan kanan Can Ok, kemudian dia menarik dengan sentakan sehingga tubuh Can Ok tidak mampu mempertahankan diri dan begitu dia terhuyung ke depan, Siauw Beng menyambar tengkuknya, tangan kanannya menangkap leher baju di bagian tengkuk dan mengerahkan tenaga, tubuh Can Ok sudah terlempar, melayang ke arah sungai.
“Byyuurrr…!” Air sungai muncrat ketika tertimpa tubuh Can Ok.
Tujuh belas anak buah Can Ok yang tadinya menonton, kini mencabut senjata golok mereka yang menyerang kearah Siauw Beng. Akan tetapi A Siong mengeluarkan teriakan marah dan menyambut mereka dengan amukannya.
“Suheng, jangan membunuh orang!” kata Siauw Beng dan dia menjauhkan diri, membiarkan A Siong menghadapi pengeroyokan mereka karena dia maklum bahwa A Siong akan mampu mengalahkan mereka semua.
“Curang! Tidak tahu malu!” terdengar teriakan dan tubuh gadis itu melayang dari atas pohon lalu iapun mengamuk dan membantu A Siong!
Siauw Beng tersenyum menyaksikan sepak terjang A Siong dan gadis itu. Mereka menghadapi sepak terjang A-Siong dan gadis itu. Mereka menghadapi belasan orang bersenjata golok dengan tangan kosong. Akan tetapi tamparan dan tendangan kaki mereka membuat para pengeroyok terpelanting ke sungai! Pertempuran itu tidak memakan waktu lama dan seluruh anak buah Can Ok sudah terlempar ke sungai semua. Mereka berenang ke tepi yang agak jauh dari situ lalu melarikan diri terlebih dulu!
Setelah semua lawan pergi, Siauw Beng menghampiri gadis itu dan memberi hormat dengan tangan kanan depan dada sambil membungkuk. “Nona, kami mengucapkan terima kasih atas kebaikan hati Nona yang telah membantu kami”
“Hemmm, aku tidak membantu kalian. Aku hanya tidak suka melihat sikap paman guruku, maka aku menentang dia dan anak buahnya!” Lalu ia memandang kepada A Siong kemudian kepada Siauw Beng lagi. “Aku telah melihat gerakan kalian berdua dan aku merasa heran sekali, mengapa kepandaian sang sute yang buntung lengan kirinya lebih lihai daripada suhengnya?”
“Ha-ha, tidak usah heran, Nona. Sute ku ini berjuluk si Tangan Halilintar, sedangkan aku tidak mempunyai julukan apapun.”
“Aku juga merasa heran, Nona. Mengapa seorang keponakan murid berani menentang paman gurunya dan juga memiliki kepandaian yang jauh lebih lihai daripada kepandaian paman gurunya? Bukankah ini lebih aneh lagi?” kata Siauw Beng.
“Tangan Halilintar, ku lihat ilmu silat tangan kosong dan silat pedangmu hebat sekali. Aku jadi ingin mencobanya”
“Ah, Nona. Aku tidak ingin berkelahi denganmu!”
“Siapa yang mau berkelahi? Aku hanya ingin menguji sampai dimana hebatnya ilmu silatmu sehingga engkau mendapat julukan Si Tangan Halilintar. Nah, bersiaplah, Tangan Halilintar!” Gadis itu memasang kuda-kuda, kedua kakinya berjungkit, kedua tangannya dikembangkan dengan jari tangan terbuka menunjuk ke atas.
“Sudahlah, Nona. Biar aku mengaku kalah padamu.”
“Tidak bisa! Kalau engkau mengaku kalah sebelum bertanding, berarti engkau pengecut!”
“Sute, nona ini hanya ingin menguji kepandaian, mengapa engkau menolaknya? Tanpa mengenal ilmu masing-masing persahabatan tidak akan menjadi akrab dan dapat saling mencurigai”
Mendengar ucapan A Siong itu, Siauw Beng menghela napas panjang. Sebetulnya dia tidak ingin bertanding dengan gadis yang telah membelanya itu. Akan tetapi gadis itu memaksanya, bahkan kini A Siong juga ikut membujuknya.
Malah dia akan di anggap pengecut kalau mengaku kalah sebelum bertanding, dia akan melayani dan sekaligus mengobati ketinggian hati gadis liar ini, gadis yang bersikap begitu berani terhadap paman gurunya sendiri yang ugal-ugalan namun agaknya memiliki ilmu kepandian yang tinggi.
“Baiklah kalau engkau memaksa. Nah, maju dan seranglah!”
Melihat Siauw Beng tidak memasang kuda-kuda, hanya berdiri dengan santai, gadis itu memberi peringatan dengan seruang nyaring. “Lihat seranganku!”
Ia lalu menyerang maju. Dari kuda-kuda dengan jurus Pek-ho-liang-ci (Bangau Putih Pentang Sayap) ia lalu bergerak maju dan kedua tangannya dengan cepat dan bergantian menotok kea rah jalan darah di tujuh jalan darah terpenting yang terdapat di bagian tubuh Siauw Beng. Ia menyerang dengan jurus Pek-ho-tok-hu (Bangau Putih Mematuk Ikan).
Gerakannya ringan dan cepat sekali, juga dari angin pukulan yang menyambar mendahului jari-jari mungil yang menotok, Siauw Beng tahu bahwa gadis ini memiliki sin-kang (tenaga sakti) yang kuat, bahkan jauh lebih kuat dibandingkan Can Ok tadi. Dia cepat mengelak ke kanan kiri, kecepatan gadis itu sehingga totokan bertubi-tubi itu tak pernah mengenai sasaran.
Setelah mengelak terus dan melihat betapa gadis itu mengejarnya dan bahkan mempercepat serangannya yang bertubi-tubi, Siauw Beng menangkis dengan ujung bajunya yang kosong.
“Wuuuttt….. plak-plak-plak!” Tiga kali totokan gadis itu tertangkis ujung lengan baju dan gadis itu merasa betapa tangannya panas dan tergetar hebat oleh lengan baju yang lemas itu. Ia kagum sekali, maklum bahwa orang yang sudah mampu menyalurkan tenaga ke ujung kain lengan baju itu tentu memiliki tenaga sakti yang amat kuat.
Timbul kegembiraan di hati gadis itu. Tadi ia sudah menduga bahwa pemuda lengan buntung yang memakai julukan Si Tangan Halilintar ini pasti seorang yang lihai sekali dan ternyata benar. Ayahnya pernah mengingatkannya bahwa kalau ia berhadapan dengan seorang wanita atau pria tua, seorang pengemis, seorang penderita cacat atau seorang pendeta, ia harus bersikap hati-hati.
Orang-orang yang tampaknya lemah tadk berdaya itu, kalau sudah menguasai ilmu silat, biasanya amat berbahaya. Orang biasanya condong memandang rendah kepada merak dan karena memandang rendah inilah orang dapat roboh oleh orang-orang yang pada umumnya lemah tak berdaya ini.
Setelah merasa yakin bahwa Si Tangan Halilintar itu benar-benar lihai, gadis itu bersemangat dan kini ia mengeluarkan jurus-jurus ampuhnya untuk menyerang Siauw Beng. Melihat perubahan ini dan merasakan betapa serangan gadis itu, Siauw Beng membela diri dan selain mengelak dan menangkis, dia juga mulai membalas dengan serangan tamparan dan totokan dengan ujung lengan buju kiri.
Walaupun dia berhati-hati agar jangan sampai kesalahan memukul atau menotok bagian tubuh yang berbahaya. Kedua orang itu berkelebatan sehingga tubuh mereka berubah menjadi dua bayangan yang saling serang. Demikian hebatnya gerakan mereka sehingga daun-daun pohon di sekitar tempat itu bergoyang-goyang tertiup angin pukulan mereka!
Melihat serunya pertandingan itu, A Siong berulang kali bertepuk tangan sambil berseru memuji, “Bagus, bagus, hebat!”
Mendengar pujian ini, gadis itu menyerang semakin gencar dan Siauw Beng juga mengimbanginya. Tiba-tiba gadis itu mengubah gerakan silatnya dan berseru nyaring, “sambut seranganku ini!”
Siauw Beng terkejut karena gadis itu kini berkelebat dan membuat gerakan berputar-putar. Gerakan kedua lengannya mengeluarkan angin berpusar seperti angin ribut. Itulah ilmu silat tangan kosong Pat-hong-sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin)!
“Hyaaattt…!!” Gadis itu menyerang dengan ganas sekali dengan jurus Hong-cui-pai-hio (Angin Meniup Daun). Kedua tangan itu menyambar-nyambar dan tubuhnya berkelebat, menyerang Siauw Beng dari delapan penjuru!
Siauw Beng yang bagaimanapun juga tidak mau kalah, mendorong-dorongkan tangan kanannya. Dari telapak tangan itu keluar hawa dorongan yang amat kuat. Pernah gadis itu terserempet dorongan sehingga tubuhnya terhuyung ke belakang. Tiba-tiba gadis itu mengeluarkan bentakan melengking dan tubuhnya melompat ke atas, lalu dari atas ia turun dengan kedua kaki terlebih dulu, menginjak kearah kepala pemuda itu!
Siauw Beng cepat mengelak lalu menyambut sebelah kaki lawan dan mendorongnya ke atas sehingga tubuh gadis itu melayang ke atas sampai melebihi pohon tingginya! Akan tetapi ketika ia meluncur turun, tubuhnya seperti melayang dan ia hinggap di atas dahan pohon seperti seekor burung saja.
A Siong bertepuk tangan. “Bagus sekali! Kalian berdua memang lihai sekali!”
Gadis itu melayang turun ke depan Siauw Beng dan tersenyum. Manis sekali! “Julukanmu Si Tangan Halilintar ternyata bukan omong kosong! Ciang-hwat-mu (Ilmu Tangan Kosongmu) memang hebat, aku telah mengujinya dan aku mengaku kalah. Akan tetapi aku ingin sekali menguji Kiam-hwat (ilmu pedang) yang tadi telah engkau perlihatkan ketika melawan susiok Can Ok!”
Setelah berkata demikian, gadis itu mencabut pedangnya yang berkilauan. “Nah, cabutlah pedangmu, Tangan Halilintar!”
“Nona, kiranya sudah cukup. Mengapa kita harus bertanding lagi? Aku khawatir akan merusak po-kiam (pedang pusaka) yang kau pegang itu. Kalau pedangmu sampai rusak, engkau akan merasa kecewa dan aku akan merasa menyesal sekali”
“Hemm, pedangku ini adalah Liong-cu-kiam (Pedang Naga), tidak mungkin akan terbabat putus oleh pedangmu. Mungkin pedangmu yang akan patah oleh pedangku”
"Kalau begitu lebih berbahaya lagi! Aku tidak ingin pertandingan persahabatan yang main-main ini mengakibatkan pedang kita rusak”
Tiba-tiba A Siong menghampiri mereka sambil membawa dua potong ranting kayu sebesar lengan dan panjangnya seukuran pedang. “Ha-ha, kalian tidak perlu menggunakan pedang pusaka masing-masing. Untuk mengukur ilmu pedang masing-masing, cukup menggunakan ini sebagai pengganti pedang!”
Siauw Beng dan gadis itu agaknya setuju dan mereka berdua menerima sepotong kayu ranting dari tangan A Siong. Gadis itu sudah menyimpan kembali pedangnya. “Bagus, usul ini baik sekali! Nah, Tangan Halilintar, coba perlihatkan ilmu pedangmu!”
“Engkau yang ingin menguji ilmu pedang, nona, maka engkaulah yang harus membuka serangan”
“Hemm, awas, lihat serangan pedangku!” Gadis itu membentak dan iapun sudah menggerakkan rantingnya menyerang dengan tusukan kea rah mata Siauw Beng. Itulah jurus yang amat berbahaya bagi lawan!
Siauw Beng membuat gerakan ke samping untuk mengelak, akan tetapi ranting di tangan gadis itu, begitu tusukannya gagal, sudah di lanjutkan dengan gerakan membabat dari samping kea rah leher lawan. Siauw Beng kagum. Ilmu pedang yang dimainkan gadis ini memang hebat dan dahsyat sekali.
Tenaganya kuat dan gerakannya begitu cepat bagaikan angin sehingga dia terpaksa menangkis dengan rantingnya. “Tukk!” Dua ranting bertemu dan keduanya mundur dua langkah, lalu gadis itu menyerang lagi. Agaknya karena ia yakin akan ketangguhan lawan, maka kini ia tidak mencoba-coba lagi, lalu langsung saja mengeluarkan ilmu pedang intinya, yaitu Sin-liong-kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Sakti).
Pedangnya bergerak-gerak bergelombang seperti seekor naga melayang-layang dan mengamuk. Pedang itu, pada saat itu digantikan ranting, menusuk, membabat, membacok atau berputar menyambar-nyambar, masih dibantu dengan gerakan tangan kiri menampar dan dua kakinya bergantian mencuat dengan tendangan-tendangan maut! Benar-benar seorang gadis ahli pedang yang hebat, pikir Siauw Beng.
Gadis ini tentu saja menjadi seorang ahli pedang yang hebat karena perguruannya juga terkenal dengan ilmu pedangnya. Buktinya Can Ok itu berjuluk Toat-beng Siang-kiam (Sepasang Pedang Pencabut Nyawa) dan kalau tadi sepasang pedang itu tidak patah oleh Lui-kong Sin-kiam (Pedang Sakti Halilintar) di tangannya, tentu dia tidak dapat memperoleh kemenangan dalam waktu singkat.
Menurut ayah atau gurunya, Ma Giok, Can Ok adalah murid datuk Sungai Huangho yang berjuluk Hui-kiam Lo-mo (Iblis Tua Pedang Terbang). Kalau Paman gurunya dan kakek gurunya semua ahli pedang, tentu saja gadis ini pun mahir bermain pedang. Akan tetapi bagaimana ilmu pedang gadis ini jauh lebih lihai dibandingkan ilmu pedang yang dimainkan Can Ok tadi?
Akan tetapi betapa hebatpun permainan “pedang “gadis itu, Siauw Beng yang sudah menguasai ilmu pedang ajaib Lui-kong Sin-kiam, tentu saja tidak merasa terdesak. Dia juga segera mengerahkan tenaga dan mengeluarkan jurus-jurus ampuh dari Lui-kong Sin-kiam. Begitu ia mainkan ilmu pedang ini dan membalas, gadis itu mengeluarkan seruan kaget.
Semua serangannya membalik dan ranting di tangan pemuda itu berubah menjadi sinar kilat berwama kehijauan seperti halilintar menyambar-nyambar! Juga semua serangan bantuan dengan tangan kiri dan kedua kakinya, sama sekali tidak pernah dapat menyentuh sasaran, bahkan kalau ujung lengan baju kiri pemuda itu menangkis, dara ini merasa tangan atau kakinya yang tertangkis amat panas dan nyeri.
“Wuutttt…!” Kini ranting di tangan Siauw Beng mendesak dan berputar-putar. Ketika gadis ini menangkis, dia mengerahkan sin-kang menyambut tangkisan itu.
“Wuuuttt… Kreekkk!” Ranting di tangan gadis itu patah menjadi dua dan ia melompat ke belakang, wajahnya menjadi pucat akan tetapi hanya sebentar dan ia sudah berdiri tegak menghadapi Siauw Beng dengan wajah berseri dan mulut tersenyum gembira!
“Hebat sekali ilmu pedangmu. Senang sekali aku dapat berkenalan denganmu, Tangan Halilintar!”
“Nona, kamilah yang beruntung sekali dapat berkenalan dengan nona yang gagah perkasa dan telah membantu kami menghadapi gerombolan bajak tadi.“ kata A Siong sambil memandang wajah yang manis itu.
“Nona, harap nona jangan menyebut aku Tangan Halilintar. Aku adalah seorang biasa saja dan namaku Lauw Beng dengan sebutan Siauw Beng (Beng Kecil) dan ini adalah suhengku A Siong”
“Baiklah, mulai sekarang aku akan menyebutmu Siauw Beng dan A Siong“ kata gadis itu yang agaknya tidak peduli bahwa dua orang pemuda itu, terutama sekali A Siong, jauh lebih tua daripadanya. “Dan aku sendiri bernama Wong Ai Yin”
Gadis itu lalu duduk di atas sebuah dari empat perahu yang berada di situ, yaitu sebuah perahu kecil milik Siauw Beng dan tiga buah milik para bajak sungai tadi. “Dan jangan kalian menganggap bahwa mereka tadi gerombolan bajak atau perampok. Sesungguhnya mereka adalah segolongan pejuang yang menentang segolongan pejuang yang menentang pemerintah Mancu yang menguasai tanah air kita“
Siauw Beng teringat akan cerita ayah angkatnya. Ayahnya juga menceritakan bahwa Hui-kiam Lo-mo dan muridnya Can Ok, adalah orang-orang golongan hitam, akan tetapi mereka itu pembenci Kerajaan Mancu. Bahkan dulu mereka menyerang Lam-liong Ma Giok karena mereka menuduh Ma Giok pengkhianat karena menolong putera pembesar Mancu yang di ganggu perampok.
Dia menghela napas panjang. Benarkah orang sesat dapat menjadi pejuang, dapat menjadi pahlawan? Ataukah mereka itu berjuang dengan pamrih untuk menguntungkan diri pribadi? Orang sesat selalu bertindak dengan dasar pamrih untuk keuntungan sendiri, maka yang mereka namakan berjuangan itu sesungguhnya hanya untuk menutupi kejahatan mereka.
“Nona Wong...”
“Husshh!” Gadis itu memotong ucapan Siauw Beng. “Kalau aku menyebut kalian Siauw Beng dan A Siong, mengapa engkau menyebut aku pakai nona-nonaan segala? Namaku Wong Ai Yin dan sebutanku Ai Yin begitu saja, tanpa nona-nonaan!”
“Baiklah, Ai Yin. Terus terang saja, kami merasa heran sekali melihat keadaanmu. Bagaimana engkau menyebut Toat-beng Siang-kiam Can Ok tadi sebagai paman gurumu? Dan kalau dia paman gurumu, mengapa aku mendapat kenyataan bahwa ilmu silat tangan kosong maupun pedangmu jauh lebih lihai daripada dia?”
Gadis itu memandang wajah Siauw Beng dengan sinar mata mencorong, wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum. “Siauw Beng, sudah sepatutnya kalau laki-laki memperkenalkan diri lebih dulu kepada perempuan. Karena itu, sebelum aku menceritakan keadaanku, engkau harus lebih dulu menceritakan tentang kalian, darimana kalian datang dan hendak pergi kemana, lalu mengapa kalian sampai bentrok dengan paman guru Can Ok dan anak buahnya di sini”
Siauw Beng dan A Siong saling berpandangan. Ai Yin berkata, “Hayo, duduklah kalian, tidak enak bercakap-cakap sambil berdiri seperti anak wayang!”
Siauw Beng dan A Siong tersenyum. Gadis ini lucu dan ramah. Mereka lalu duduk dalam perahu, berhadapan dengan Ai Yin dan Siauw Beng menceritakan keadaannya secara singkat. “Aku tidak mempunyai ayah ibu lagi, mereka sudah meninggal dunia ketika aku masih… Bayi, dan…”
“Aduh, kasihan sekali kau, Siauw Beng“ Ai Yin memotong.
“Sejak bayi aku di pelihara ayah angkatku, juga guruku, dan aku menjadi muridnya bersama suhengku A Siong ini. Dia juga sudah yatim piatu. Ayah angkatku itu adalah seorang pejuang pula, mungkin engkau sudah mendengar namanya, Ai Yin”
“Siapa sih namanya?”
“Namanya Ma Giok dan sekarang tinggal di Thai-san!“
“Aih, kau maksudkan Ma Giok yang berjuluk Lam-liong (Naga Selatan) itu?”
“Benar, kau kenal dia?”
“Aku pernah mendengar namanya di puji-puji ayahku, akan tetapi susiok Can Ok pernah menceritakan bahwa Lam-liong mengkhianati perjuangan dan membela pembesar Mancu”
Dari ucapannya ini saja, tahulah Siauw Beng bahwa gadis ini jujur dan terbuka, menceritakan apa adanya tanpa khawatir menyinggung perasaan orang.
“Aku tidak heran mendengar Can Ok bercerita seperti itu kepadamu, Ai Yin. Ketika itu, dua puluh tahun lebih yang lalu, guruku itu melihat rumah seorang pembesar Mancu diserbu segerombolan perampok yang selain merampok juga membunuh orang dan menculik wanita. Putera pembesar itu yang masih pengantin baru di culik oleh segerombolan perampok dan pengantin wanitanya, seorang perempuan Han, akan di perkosa di depan suaminya.
"Melihat ini, suhu turun tangan menyelamatkan mereka dan mengusir para perampok, walaupun gerombolan itu mengaku sebagai pejuang yang membenci Kerajaan Mancu. Nah, kalau engkau yang melihat peristiwa seperti itu terjadi didepanmu, apakah engkau tidak akan menolong mereka dan menentang para gerombolan itu?”
Ai Yin mengangguk-angguk. “Sudah ku duga demikian, maka akupun tidak percaya kepada cerita susiok Can Ok. Buktinya, dia tadi juga bermaksud buruk kepada kalian. Aku tidak segan-segan menentang siapapun juga yang melakukan kejahatan”
“Nah, setelah kami berdua selesai belajar ilmu-ilmu dari ayah angkatku dan dari mendiang suhu Pek In San-jin kami lalu di suruh turun gunung oleh ayah angkatku”
“Hemm, Pek In San-jin? Nama itupun pernah ku dengar dari ayahku yang memuji-muji dia sebagai seorang tokoh sakti yang setia kepada Kerajaan Beng yang sudah runtuh oleh orang Mancu” Ai Yin memandang kepada Siauw Beng dengan kagum. “Pantas engkau lihai, kiranya mendapat gemblengan dari orang sakti itu. Lalu kemana kalian hendak pergi?”
“Kami hendak melihat-lihat keadaan Kota Raja” Kata Siauw Beng yang tidak bercerita tentang ditemukannya Pedang Lui-kong Sin-kiam dan pelajaran ilmu silat di dinding gua.
“Ketika kami tiba di tepi Sungai Huang-ho, kami membeli sebuah perahu kecil ini dari orang yang menawarkannya. Kami lalu melanjutkan perjalanan dengan perahu dan setibanya di sini, kami dihadang gerombolan tadi dan baru kami tahu bahwa yang menjual perahu kepada kami adalah Can Ok tadi. Mungkin dia melihat kantung uang kami ketika kami membayar perahu kecil itu. Nah, sekarang tiba giliranmu, untuk bercerita, Ai Yin. Ceritamu tentu jauh lebih menarik“
“Namaku Wong Ai Yin. Aku tidak mempunyai ibu lagi. Ibu meninggal ketika aku masih kecil. Aku hidup bersama ayahku di dusun besar Po-keng di lereng gunung Beng-san. Ayahku bernama Wong Tat, akan tetapi lebih dikenal dengan julukannya Bu-tek Sin-kiam”
“Aku pernah mendengar nama besar Bu-tek Sin-kiam. Menurut ayah angkatku, Bu-tek Sin-kiam adalah seorang pejuang yang ditakuti Kerajaan Mancu“ kata Siauw Beng.
“Memang ayahku dahulu seorang pejuang yang gigih melawan orang-orang Mancu, akan tetapi karena semua perjuangan itu gagal, kini ayah lebih banyak bertapa di lereng Beng-San. Ayah pernah menjadi murid kakek guru Hui-kiam Lo-mo, maka ayahku menjadi suheng (Kakak seperguruan) Toat-beng Siang-kiam Can Ok yang kusebut susiok (paman guru)“
“Akan tetapi bagaimana tingkat kepandaianmu dapat lebih tinggi daripada tingkat kepandaian paman gurumu, Ai Yin?” Tanya A Siong.
“Tingkat kepandaian ayahku jauh lebih tinggi daripada tingkat kepandaian kakek guru Hui-kiam Lo-mo karena setelah tamat belajar pada kakek guru, ayah memperdalam ilmunya dari para pendeta Lama Jubah Merah di Tibet”
Siauw Beng dan A Siong mengangguk-angguk maklum. “Ayah sudah bertahun-tahun mengasingkan diri di gunung Beng-san dan tidak mencampuri urusan dunia ramai. Akan tetapi ayah selalu memesan kepadaku untuk membantu perjuangan para pendekar yang menentang kekuasaan pemerintah penjajah, juga agar aku bersikap dan bertindak sebagai seorang pembela kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan.
"Setelah ayah menganggap aku cukup kuat untuk melindungi diri sendiri, ayah memperkenankan aku pergi turun gunung dan memesan agar aku mengunjungi susiok Can Ok untuk membantunya kalau dia masih melakukan kegiatan melawan Kerajaan Mancu. Akan tetapi, ketika aku melihat dia mengganggu kalian yang bukan orang Mancu, aku menjadi penasaran dan menentangnya. Sekarang aku tidak sudi lagi membantunya karena ternyata perjuangannya hanya menjadi kedok bagi gerombolannya yang sesungguhnya hanyalah gerombolan bajak sungai dan perampok!”
Siauw Beng menghela napas panjang. “Yah, begitulah keadaannya, Ai Yin. Memang, menurut cerita ayahku, dahulu pemerintah Kerajaan Beng menjadi lemah karena para pemimpinnya hanya mementingkan kesenangan diri pribadi, melakukan korupsi dan kecurangan sehingga Negara menjadi lemah, rakyatnya tidak bersemangat sehingga mudah saja mereka ditaklukan oleh Bangsa Mancu.
"Ketika itu, beberapa orang pendekar, termasuk ayahmu itu, berusaha untuk menentang pemerintah penjajah. Akan tetapi semua usaha itu gagal dan pemerintah Kerajaan Mancu menjadi semakin kuat sehingga seluruh wilayah daratan telah mereka kuasai. Kini, tidak ada kesempatan lagi bagi kita untuk melanjutkan perjuangan puluhan tahun yang lalu itu karena kita tidak akan mendapat dukungan rakyat jelata.
Pemerintah Mancu ini lebih bijaksana, memperhatikan kesejahteraan rakyat jelata. Juga para pemimpin bangsa Mancu membuka kesempatan besar kepada pribumi Han untuk itu mendorong roda pemerintahan. Bahkan para bangsawan Mancu tidak segan-segan untuk menggunakan nama Han, menerima kebudayaan kita sebagai kebudayaan mereka, kehidupan keluarga mereka juga disesuaikan dengan kehidupan kita.
"Tidaklah mengherankan kalau rakyat akhirnya dapat menerima kepemimpinan bangsa Mancu, bahkan para pendekar pun banyak yang mulai mendukung usaha pemerintah demi kesejahteraan rakyat. Aku sendiri sudah beberapa kali bertemu orang-orang Mancu yang berwatak baik. Juga ayah angkatku menganjurkan kepadaku agar kami membela kebenaran dan keadilan sebagai pendekar karena sekarang bukan waktunya untuk memberontak terhadap Kerajaan Mancu.
"Menurut ayahku, pemberontakan menggulingkan pemerintah Mancu bukanlah hal yang mudah karena tidak mungkin kita lakukan tanpa dukungan sepenuhnya dari rakyat jelata. Sekarang kami berdua harus melakukan perantauan dan siap menentang siapa saja yang melakukan kejahatan, tidak peduli apakah dia orang Mancu ataukah orang Han sendiri. Dengan cara itu pun kita sudah membantu memerangi kejahatan dan menentramkan kehidupan rakyat.”
“Benar sekali, Siauw Beng. Ayahku juga berpendapat seperti itu. Kau tadi mengatakan bahwa kalian hendak pergi ke kota raja?”
“Ya, akan tetapi sebelum ke Kota raja, kami hendak pergi dulu ke kota Keng-koan. Aku ingin berkunjung ke makam ayah kandungku.”
“Ayahmu dimakamkan di sana? O ya, engkau belum mengatakan siapa mendiang ayah kandungmu itu, Siauw Beng.”
“Mendiang ayah yang belum pernah ku lihat itu bernama Lauw Heng San”
“Setelah mengunjungi makam ayahmu, engkau lalu pergi ke kota raja?”
“Ya, kami ingin melihat-lihat kota raja dan menyaksikan sendiri apakah benar Kaisar Kang Shi merupakan Kaisar Kerajaan Ceng (Mancu) yang bijaksana dan kabarnya kini sedang berperang melawan bangsa Mongol. Dari keadaan penghidupan rakyat di kota raja kita dapat melihat bagaimana sikap rakyat terhadap kaisar itu”
“Bagus! Kalau begitu, aku akan pergi ke sana bersama kalian!” Ai Yin tampak gembira sekali, wajahnya berseri.
Siauw Beng dan A Siong saling pandang, agaknya terkejut mendengar ucapan gadis yang mengatakan hendak ikut dengan mereka ke kota raja! Tentu saja kedua orang pemuda ini terkejut dan ragu karena baru saja mereka mengenal Ai Yin dan tiba-tiba saja gadis itu hendak melakukan perjalanan bersama!
“Akan tetapi sebelum kita pergi ke sana, aku ingin minta bantuan kalian lebih dulu”
“Bantuan? Tentu saja kami siap membantumu, Ai Yin!” kata A Siong.
“Bantuan apakah yang dapat kami berikan kepadamu, Ai Yin?” Siauw Beng juga bertanya.
“Begini, aku sudah berada di sini, mengikuti kelompok yang di pimpin susiok Can Ok selama hampir tiga bulan. Aku mendengar bahwa di Bukit Menjangan di sana itu terdapat gerombolan jahat yang suka mengganggu penduduk, bukan hanya melakukan perampokan, melainkan juga suka menculik wanita.
"Semua itu ku dengar dari para nelayan dan sudah kuusulkan kepada susiok untuk menyerbu dan menentang gerombolan itu. Akan tetapi susiok selalu menolak dan mengatakan bahwa gerombolan itu adalah Perkumpulan Hek-houw-pang (Perkumpulan Macan Hitam) yang juga merupakan sekumpulan patriot yang menentang Pemerintahan Mancu.
"Selama ini aku masih ragu untuk turun tangan sendiri karena menurut keterangan yang ku dapat, gerombolan itu mempunyai anggota sebanyak lima puluh orang lebih dan mereka semua ganas dan kejam, memiliki senjata sepasang cakar harimau dan di pimpin oleh seorang laki-laki tinggi besar berjuluk Hek-houw Mo-ko (Iblis Macan Hitam) yang sakti. Aku khawatir kalau gagal jika pergi sendiri.
"Akan tetapi aku mendengar laporan dari dusun di kaki bukit itu bahwa kemarin puteri kepala dusun di culik dan lima orang penduduk dusun yang membela gadis itu telah di bunuh. Sekarang aku kebetulan bertemu dengan kalian maka aku minta bantuan kalian untuk menolong penduduk dusun di sekitar dusun itu dan menghajar gerombolan jahat itu”
“Wah, aku siap membantumu, Ai Yin. Biar ku hajar si Harimau Hitam itu!” kata A Siong sambil mengepal tinjunya.
“Benar, Ai Yin. Kami berdua siap membantumu”
Gadis itu menjadi girang sekali. Ia meloncat berdiri dan berkata, “kalau begitu, kita tunggu apa lagi? Mari kita berangkat. Kasihan puteri lurah dusun itu yang telah mereka culik kemarin!”
Mereka bertiga lalu berangkat, menumpang perahu kecil milik Siauw Beng. A Siong mendayung perahu, Ai Yin duduk di tengah dan Siauw Beng duduk di depan. Perahu meluncur cepat ke hilir dan tak lama kemudian Ai Yin berseru agar A Siong mendayung perahu itu ke tepi sungai sebelah kanan. Mereka lalu mendarat dan A Siong menambatkan tali perahu ke sabatang pohon.
“Inikah Bukit Menjangan itu?” Tanya Siauw Beng sambil memandang kea rah sebuah Bukit tak jauh dari situ. Bukit itu penuh dengan hutan lebat sehingga tampak hijau kehitaman, menyeramkan.
“Benar, mari kita cepat mendaki sebelum matahari condong ke barat.“ kata Ai Yin.
Mereka bertiga mempergunakan ginkang (ilmu meringankan tubuh) dengan cepat berlari mendaki bukit itu. Ada jalan setapak mendaki ke atas. A Siong berjalan ke depan sambil memegang dayung perahu. Dengan dayung itu dia siap untuk menjaga diri kalau-kalau ada serangan mendadak.
Ai Yin berjalan di belakangnya dan Siauw Beng mengikuti dari belakang. Karena mereka belum pernah datang ke situ dan asing dengan daerah yang penuh hutan di bukit itu, maka tentu saja mereka kini tidak dapat melakukan perjalanan cepat...