Si Tangan Halilintar Jilid 18 karya Kho Ping Hoo - HUTAN-HUTAN bukit itu ternyata lebat bukan main. Ketika mereka melihat bekas jejak kaki banyak rusa dan setelah tiba di lereng bukit melihat ratusan ekor menjangan yang melarikan diri setelah melihat mereka, tahulah mereka mengapa tempat itu disebut Bukit Menjangan. Kiranya memang terdapat banyak sekali rusa di situ.
Saking lebatnya hutan dan jalan setapak itu kini tidak tampak lagi karena banyaknya semak belukar dan rumput tebal tumbuh dengan liar, maka beberapa kali tiga orang itu menjadi bingung karena jalan mereka terhalang jurang yang curam sehingga terpaksa mereka harus mencari jalan lain.
Juga berkali-kali mereka menemukan jalan yang tadi pernah mereka lalui sehingga mereka menjadi bingung. Padahal, matahari mulai turun ke barat karena perjalanan mereka yang tersesat dalam hutan itu membuat mereka berputar-putar dan makan waktu yang lama.
“Ah, mengapa aku begini bodoh? Kalian tunggu sebentar, aku akan meneliti keadaan dari atas“ kata Ai Yin, lalu tubuhnya melayang ke atas seperti seekor burung terbang. Ia hinggap di atas cabang sebatang pohon besar, lalu memanjat naik sampai ke puncak pohon yang tinggi itu. Dari tempat tinggi itu Ai Yin memandang ke sekeliling. Tak lama kemudian ia sudah melayang turun.
“Nah, sudah tahu aku dimana sarang mereka!“ katanya. “Mari ikut aku!” Ia lalu menjadi penunjuk jalan menuju kea rah tertentu. Matahari yang sudah condong ke barat menjadi penentu arah sehingga mereka menuju ke arah yang benar, yaitu menuju sebuah perkampungan kecil yang terlihat dari puncak pohon oleh Ai Yin tadi.
Akan tetapi karena mereka tidak dapat menemukan jalan rahasia yang dibuat perkumpulan Hek-houw-pang untuk keperluan mereka sendiri, dan terpaksa harus mengambil jalan pintas yang harus melalui daerah sukar yang penuh dengan semak belukar dan berduri, maka setelah senja barulah mereka tiba di depan sebuah perkampungan.
Cuaca mulai agak gelap dan ketika mereka bertiga berdiri di depan pintu gerbang yang amat kokoh itu, tiba-tiba pintu gerbang itu terbuka dan dari dalam bermunculan puluhan orang dengan pakaian serba hitam dan sambil berlari-lari mereka membuat lingkaran mengepung tiga orang itu.
Tiga orang muda itu tampak tenang-tenang saja menghadapi pengepungan sekitar empat puluh orang itu, bahkan Ai Yin tersenyum-senyum mengejek. Gadis yang pemberani ini menyapu para pengepung dengan pandang matanya yang tajam, lalu setelah memutar tubuhnya satu kali berkata dengan suara nyaring.
“Heeiii! Macan-macan kecil, kami datang untuk bicara dengan pemimpin kalian. Mana dia Hek-houw Mo-ko? Apakah dia tidak berani keluar menemui kami?”
Tiba-tiba, seolah menyambut seruan Ai Yin tadi, terdengar auman harimau dari dalam perkampungan, gerengan suaranya menggetarkan keadaan sekeliling tempat itu. Tiga orang muda itu maklum bahwa orang yang mengeluarkan gerengan sehebat itu tentu menggunakan sin-kang (tenaga sakti) sehingga suaranya mengandung getaran yang amat kuat.
Lalu dari dalam gapura itu muncul seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun. Pakaiannya dari sutera hitam. Tubuhnya tinggi besar dan kokoh kuat, mukanya penuh brewok dan matanya yang lebar mencorong penuh wibawa. Kedua tangan orang ini disambung cakar harimau, tidak seperti para anak buah yang kedua tangan mereka memegang sepasang cakar harimau yang bergagang sepanjang lengan.
Dengan langkah perlahan namun tegap bagaikan langkah seekor harimau, laki-laki itu berjalan dan para pengepung di bagian gapura memberi jalan dengan sikap hormat, dia maju terus sampai berhadapan dengan tiga orang muda itu.
Dengan matanya mencorong dia mengamati tiga orang itu, pandang matanya berhenti pada Ai Yin dan gadis itu merasa seoalah pandang mata laki-laki tinggi besar itu menggerayangi tubuhnya dari kepala sampai ke kakinya sehingga mukanya berubah merah dan matanya mencorong merah.
“Jahanam busuk, apakah engkau yang berjuluk Hek-houw Mo-ko dan menjadi pemimpin gerombolan Hek-houw-pang yang suka mengganggu penduduk, merampok barang dan ternak, juga menculik gadis-gadis itu?”
Hek-houw Mo-ko mendengus, matanya seolah hendak menelan gadis itu hidup-hidup dan jelas tampak bahwa dia terpesona oleh kecantikan Ai Yin. “Nona, engkau tinggallah di sini menjadi biniku dan dua orang pemuda ini boleh pergi dari sini dengan aman dan tidak akan kami ganggu”
Ai Yin membelalakkan matanya. Beraninya orang itu! Mukanya serasa di bakar oleh api kemarahan yang berkobar dihatinya. “Keparat bermulut busuk!” bentaknya dan Ai Yin sudah mengunus pedangnya lalu tanpa banyak cakap lagi karena saking marahnya gadis itu tidak mampu mengeluarkan kata-kata lagi, ia sudah menerjang Hek-houw Mo-ko dengan dahsyat sekali.
Hek-houw Mo-ko terkejut bukan main. Sebagai orang yang banyak pengalaman dia segera mengenal serangan yang luar biasa hebatnya dan tahulah dia bahwa gadis cantik itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan! Dia cepat mengelak sambil menggerakkan kedua tangannya yang disambung cakar harimau terbuat dari baja yang sudah di rendam racun.
Segera Ai Yin sudah bertanding seru melawan ketua Hek-houw-pang dan laki-laki tinggi besar brewok ini diam-diam memberi tanda kepada anak buahnya untuk bergerak. Empat puluh orang lebih itu segera mengepung dan mengeroyok Siauw Beng dan A Siong. Mereka bermaksud membunuh dulu dua orang pemuda itu, baru mereka akan membantu ketua mereka menangkap gadis yang cantik itu. Akan tetapi, mereka disambut dengan kejutan hebat.
Begitu kedua orang pemuda itu menggerakkan tubuh mereka, dalam beberapa detik saja delapan orang pengeroyok sudah roboh dan tidak mampu bangkit kembali karena tulang patah atau terluka dalam. Tamparan dan tendangan Siauw Beng dan A Siong terlalu kuat bagi mereka sehingga mereka mengeroyok dengan hati gentar dan kacau. Akan tetapi hal ini justeru membuat pengeroyok mereka semakin lemah dan kembali delapan orang berpelanting!
“Hyaattt….!” Ai Yin menyerang dengan hebat. Kebenciannya terhadap kepala gerombolan yang berani kurang ajar kepadanya itu membuat ia menyerang dengan dahyat untuk membunuh. Hek-houw Mo-ko melihat serangan yang amat ganas itu, segera menggerakkan tangan menangkis. Cakar harimau baja itu bertemu dengan pedang.
“Criinggg….!” Tampak bunga api berpijar dan Hek-houw Mo-ko terhuyung ke belakang. Dia semakin terkejut dan mulai merasa gentar. Cakar harimaunya dari baja itu kuat sekali dan biasanya kalau bertemu dengan lawan yang bersenjata cakarnya mampu mematahkan pedang atau golok lawan. Akan tetapi sekali ini, cakarnya tidak mampu mematahkan Liong-cu-kiam, sebaliknya malah sebuah jari cakar itu patah!
Maka dia mulai panic, apalagi ketika di liriknya dan dia melihat betapa belasan anak buahnya sudah roboh dan tidak mampu bangkit kembali, hanya duduk dan merintih-rintih sambil memegangi bagian tubuh yang patah tulangnya. Dia mulai takut dan cepat dia menyelinap dan menyusup kedalam kelompok anak buahnya yang banyak.
Melihat kepala gerombolan itu menghilang di antara anak buahnya, Ai Yin menjadi marah sekali. Pedangnya berkelebatan menyambar-nyambar, menjadi gulungan sinar terang dan berturut-turut terdengar teriakan dan tubuh bergelimpangan mandi darah di sambar sinar pedang itu.
Sementara itu, ketika A Siong sedang mengamuk, dia melihat Hek-houw Mo-ko melarikan diri memasuki pintu gerbang perkampungan. Melihat Ai Yin mengamuk dengan pedangnya dan Siauw Beng masih menggunakan kaki dan tangan kanannya untuk merobohkan para pengeroyok yang kini sudah berkumpul semua di situ.
A Siong lalu melakukan pengejaran kepada kepala gerombolan itu. Dengan gerakan ringan ia melewati kepala para pengeroyok di depannya dan mengejar ke dalam perkampungan yang sunyi karena semua anggota gerombolan telah berkumpul di depan pintu gapura untuk mengeroyok.
A Siong masih sempat melihat Hek-houw Mo-ko melompat dan memasuki sebuah bangunan yang paling besar di perkampungan itu. Karena malam mulai tiba, maka cuaca sudah remah-remang. Namun dalam rumah besar itu terdapat penerangan. Dia melompat ke serambi rumah dan melihat di situ sunyi, dengan hati-hati dia lalu memasuki ruangan depan.
Dia harus waspada dan hati-hati karena amat berbahaya mengejar seorang penjahat kejam yang memasuki rumahnya. Dia dapat di serang dengan tiba-tiba, bahkan ada kemungkinan rumah itu di pasangi alat-alat rahasia untuk menjebaknya. Ruangan depan itupun kosong tidak nampak seorangpun manusia. Berindap-indap A Siong mencari orang yang dikejarnya.
Agaknya rumah itu telah ditinggalkan semua penghuninya karena sepi sekali. Namun di ruangan dalam terdapat lampu penerangan. Dengan berani dia memasuki ruangan yang sebelah dalam. Di sini pun sunyi dan dari ruangan ini dia dapat melihat melalui pintu bahwa ada pula ruangan sebelah belakang. Akan tetapi menembus ruangan dalam itu terdapat pintu-pintu kasar yang daun pintunya tertutup.
Selagi dia bingung tidak tahu harus mencari kemana, tiba-tiba dia mendengar suara orang bicara di ruangan belakang. Cepat dia melangkah ke ruangan itu dan suara itu datang dari sebuah kamar besar yang pintunya tertutup. Dia menghampiri pintu dan mendengarkan suara laki-laki dan wanita yang terdengar berbantahan.
“Aku tidak sudi! Bunuh saja aku, aku tidak sudi ikut denganmu!” terdengar suara wanita itu. Lalu A Siong mendengar suara laki-laki yang sudah dikenalnya, suara Hek-houw Mo-ko!.
“Gadis bodoh tak mengenal budi! Kalau aku tidak benar-benar cinta kepadamu, sejak kemarin engkau tentu telah ku paksa, ku perk0sa seperti para gadis lain, lalu ku berikan kepada anak buahku. Akan tetapi aku tidak mau melakukan itu terhadap dirimu karena aku sungguh cinta padamu dan aku ingin engkau menjadi isteriku. Maka, sekali lagi, menurutlah. Mari ku ajak engkau pergi dari sini dan kita hidup berbahagia di tempat lain. Engkau dapat hidup mewah dan terhormat di sana. Marilah manis.”
“Tidak, aku tidak sudi ikut denganmu. kalau engkau memaksaku, aku akan bunuh diri, daripada menjadi isterimu. Terkutuk engkau, laki-laki jahanam yang jahat dan kejam!”
“Hemmm, kalau begitu aku akan memaksamu ikut denganku, mau atau tidak mau engkau harus menjadi isteriku!”
A Siong mendengar suara gedebukan dan kain robek. Maka dia lalu menendang daun pintu kamar itu. “Braakkkk....!” Daun pintu jebol dan A Siong melompat masuk. Dia melihat Hek-houw Mo-ko hendak memaksa dan meringkus seorang gadis bertubuh tinggi tegap. Akan tetapi gadis itu meronta dan bajunya yang di cengkram Hek-houw Mo-ko menjadi robek dari leher sampai pinggang, sehingga tubuh bagian atasnya kini hanya tertutup pakaian dalam berwarna merah muda yang tipis dan tembus pandang.
Mendengar suara pintu jebol, Hek-houw Mo-ko terkejut sekali. Cepat dia melepaskan gadis yang meronta-ronta dengan gigih itu dan menghadapi A Siong dengan marah. Dia tadi gentar menghadapi Ai Yin dan dia tahu bahwa dia tidak akan menang melawan dara perkasa itu. Akan tetapi kini melihat A Siong yang tidak membawa senjata, dia memandang rendah. Dia marah sekali. A Siong merupakan seorang di antara tiga orang muda yang mengacaukan perkampungannya, maka tanpa bicara apa-apa lagi dia sudah menerkam dengan kedua cakarnya ke arah A Siong.
A Siong yang sudah waspada sejak tadi, maklum bahwa kedua tangan yang di sambung cakar harimau itu berbahaya sekali, maka dia cepat mengelak ke samping, lalu membalas serangan lawan dengan sebuah tendangan. Akan tetapi Hek-houw Mo-ko juga mampu mengelak dengan cepat. Maka bertandinglah dua orang laki-laki yang sama tinggi besarnya itu dalam kamar. Untung bahwa kamar itu cukup luas sehingga mereka dapat bertanding dengan leluasa.
Akan tetapi segera ternyata bahwa A Siong masih lebih unggul walaupun lawannya memiliki sepasang cakar berbisa yang menyambung kedua tangannya dan A Siong sendiri bertangan kosong. Selain tingkat kepandaian A Siong memang agak lebih tinggi dan dia memiliki tenaga sakti yang jauh lebih kuat karena dia telah makan daging ular kembang merah, juga pada saat itu hati Hek-houw Mo-ko sudah terlanda panik dan ketakutan.
Setelah dia mendapat kenyataan bahwa lawannya inipun lihai sekali, hatinya merasa gelisah dan dia mulai mencari kesempatan untuk melarikan diri. Tadinya dia ingin memaksa gadis yang kemarin di culik, puteri lurah itu, untuk menemaninya karena dia jatuh cinta kepada gadis itu. Akan tetapi sekarang yang terpenting baginya adalah menyelamatkan diri. Maka dia lalu menyerang dengan nekat, mencakar dengan tangan kanannya kea rah muka A Siong sambil menggereng bagaikan seekor harimau terluka.
A Siong sudah waspada. Melihat serangan nekat itu, dia cepat miringkan tubuhnya dan setelah memutar tubuh ke kanan dia menangkap lengan kanan lawan dan dengan pengerahan tenaga sakti dia memutar lengan itu ke belakang tubuh lawan. Sekali dia mendorong lengan itu ke atas, terdengar bunyi berkretekkk dan sambungan tulang pundak kanan Hek-houw Mo-ko terlepas! Kepala perampok itu mengeluh karena rasa nyeri seperti menusuk jantungnya dan dia membungkuk untuk menahan rasa nyeri.
A Siong menggunakan kesempatan itu untuk menangkap kedua pergelangan kaki kepala perampok itu dengan kedua tangannya dan sekali angkat dan tarik, tubuh kepala gerombolan itu telah tergantung dan dia lalu memutar-mutar tubuh itu, kemudian dia lemparkan keluar kamar melalui pintu yang jebol. Tubuh itu meluncur dan kepalanya menghantam dinding. “Praakkk….!” Tubuh itu terbanting dan kepalanya retak. Hek-houw Mo-ko tewas seketika.
A Siong menghampiri gadis yang berlutut sambil memegangi bagian depan bajunya yang robek. Ia tadi menonton perkelhaian itu dengan muka pucat, mata terbelalak dan tubuh gemetaran. Kini, melihat A Siong menghampirinya ia memandang wajah pemuda tinggi besar itu. A Siong melihat betapa sepasang mata yang lebar dan jeli itu terbelalak seperti mata kelinci yang ketakutan. Maka dia tersenyum dan berkata lembut,
“Nona, jangan takut. Aku datang untuk menolongmu dan membawamu pulang pulang ke rumah orang tuamu.”
Mendengar ucapan itu dan bertemu pandang mata dengan sepasang mata pemuda tinggi besar yang membayangkan kejujuran itu, gadis agaknya baru yakin bahwa pemuda ini benar-benar datang untuk menolongnya. Maka kalau tadi ia sama sekali tidak menangis, kini ia mengeluh dan menubruk kedua kaki A Siong dan terkulai pingsan!
Melihat gadis itu kini rebah telentang di atas lantai dengan tubuh bagian atas depan hanya tertutup pakaian dalam yang tipis sehingga lekuk lengkung dadanya membayang, jantung A Siong berdebar tegang. Belum pernah selama hidupnya dia melihat pemandangan seperti ini. Dan wajah gadis itu mendatangkan kesan mendalam di hatinya.
Gadis yang tabah, berani mati dan lebih baik mati daripada menyerahkan diri kepada kepala perampok, seperti yang di dengarnya tadi ketika gadis itu berbantahan dengan Hek-houw Mo-ko. Dan wajah gadis yang bertubuh tinggi tegap ini begitu memelas, dan begitu manis menimbulkan rasa suka dan iba di hatinya yang belum pernah tersentuh oleh seorang wanita.
Dengan jari-jari gemetar dia mencoba untuk menutupkan baju luar yang robek, akan tetapi karena dada yang membusung itu membuat bajunya menjadi ketat, maka begitu dia melepaskan tangan, baju itu terbuka kembali.
Dia menjadi gugup dan bingung, lalu dia melepas baju luarnya sendiri dan mengenakan bajunya itu pada tubuh atas gadis itu dia harus merangkul dan memasukkan lengan gadis dengan mengangkat tubuh itu dan mendudukannya lalu menyangganya. Bajunya terlalu besar, akan tetapi dapat menutup dan menyembunyikan dada yang setengah telanjang itu. hatinya merasa lega dan dia lalu memondong tubuh gadis itu, membawanya keluar dari rumah. Setelah tiba di pintu gapura, A Siong melihat bahwa perkelahian telah berakhir. Siauw Beng dan Ai Yin pada saat itu keluar dari rumah, memasuki perkampungan itu.
“Suheng, siapa yang kau pondong itu?” Tanya Siauw Beng, heran melihat A Siong memondong tubuh seorang gadis. Mereka berhenti di depan sebuah rumah dimana tergantung lampu penerangan sehingga birapun remang-remang, Siauw Beng dan Ai Yin dapat melihat bahwa gadis itu seperti orang tertidur.
Jantung A Siong berdebar dan dia merasa malu sekali. “Ia... ia.… adalah puteri kepala dusun yang kemarin di culik. Ia gadis yang tabah dan gagah berani mempertahankan kehormatannya. Ketika ia hendak di paksa pergi oleh Hek-how Mo-ko, aku datang dan aku berhasil menewaskan kepala gerombolan itu. Gadis ini jatuh pingsan dan kubawa keluar”
Pada saat itu, gadis itu bergerak dalam pondongan A Siong sehingga pemuda ini cepat menurunkannya dengan hati-hati seketika ia teringat akan peristiwa tadi dan kembali ia menjatuhkan diri berlutut merangkul kedua kaki A Siong. “In-kong telah menyelamatkan saya dari malapetaka yang lebih mengerikan daripada maut. Tidak ada yang dapat saya lakukan untuk membalas budi kebaikan in-kong (tuang penolong) kecuali menyerahkan jiwa raga saya kepada in-kong.”
“Eh, apa… apa maksudmu, Nona? Nanti….. atau besok pagi kami akan mengantarmu pulang ke rumah orang tuamu.“
“Tidak, in-kong! Tidak… saya tidak mau pulang…..“ gadis itu kini menangis lirih.
“Sudahlah, A Siong, soal ini kita bicarakan nanti, perlahan-lahan kita bujuk. Sekarang yang penting kita perlu memeriksa keadaan dalam kampung untuk mengumpulkan barang-barang yang mereka rampas dari penduduk dan menemukan kembali para gadis lain”
“Benar, suheng. Kau temani saja nona ini, aku dan Ai Yin akan memeriksa keadaan dalam perkampungan“ kata Siauw Beng.
“Baik, sute!” Setelah Siauw Beng dan Ai Yin mulai memeriksa ke dalam rumah-rumah di perkampungan gerombolan itu, A Siong mengajak gadis itu keluar pintu gerbang karena dia tidak mau menganggur di situ.
“Mau apa kita keluar, in-kong?”
“Kita lihat keadaan para penjahat itu. Aku harus mengerahkan tenaga mereka untuk membantu mengangkut kembali barang-barang dan ternak yang di rampok oleh gerombolan. Enak saja kalau dia dibiarkan pergi tanpa harus bertanggung jawab atas semua perbuatan mereka yang jahat. Mari…. Eh, siapakah namamu, Nona?”
“Nama saya Lu Bi Hwa, anak tunggal puteri lurah dusun Ki-Cun di kaki bukit ini sebelah utara.”
Mereka tiba di luar pintu gerbang atau gapura perkampungan itu dan di sana masih ada belasan orang yang mengeluh dan saling menolong. Yang lain mungkin telah pergi sambil membawa mayat kawan-kawan mereka yang tewas.
Ketika tujuh belas orang itu melihat A Siong muncul bersama Bi Hwa, mereka terkejut dan nampak ketakutan, bahkan ada yang siap melarikan diri. Bulan telah muncul sejak senja tadi, bulan sepotong yang masih redup sinarnya namun lumayan dapat memberi sedikit penerangan sehingga keadaan di situ remang-remang.
“Jangan ada yang berani melarikan diri. Aku akan membunuh mereka yang mencoba untuk melarikan diri!” A Siong membentak.
Belasan orang itu semakin ketakutan. Mereka tadi sudah melihat kehebatan sepak terjang pemuda tinggi besar ini, yang dengan tangan kosong dapat merobohkan banyak orang yang bersenjata sepasang cakar harimau. Mereka serentak berlutut menghadap A Siong dan berseru, “Ampunkan kami, taihiap (Pendekar besar)“
“Hayo kalian semua masuk ke perkampungan dan berkumpul di rumah besar tempat tinggal ketua kalian. Urus dan kuburkan mayat ketua kalian yang berada di sana dan tunggulah perintah kami selanjutnya. “Hayo jalan!”
Semua orang itu sudah mati kutu. Mereka takut kalau melarikan diri akan benar-benar di bunuh pendekar tinggi besar itu. Maka mereka semua lalu memasuki perkampungan itu, di iringkan A Siong dan Bi Hwa. Diam-diam Bi Hwa merasa kagum bukan main melihat sepak terjang penolongnya. Belum pernah selama hidupnya ia bertemu dengan seorang yang demikian gagah perkasa, tegar dan berwibawa.
Sampai berusia dua puluh tahun Bi Hwa ini belum menikah karena ia selalu menolak pinangan para pemuda dari dusunnya atau dusun-dusun lain karena ia merasa tidak cocok dengan mereka. Sudah banyak ia melihat gadis yang menikah lalu hidup bagaikan bujang bagi suaminya.
Melayani semua kebutuhan suami, mengurus anak-anak, mencuci, masak, membersihkan rumah dan pekarangan, masih di tambah membantu pekerjaan di sawah ladang kalau sang suami terlalu sibuk. Pendeknya, tenaga wanita diperas habis-habisan. Kawan-kawannya sedusun yang sudah menikah, rata-rata bertubuh kurus dan wajahnya cepat tua!
Ketika ia berada dalam ancaman malapetaka yang hebat, akan di paksa menjadi isteri kepala gerombolan dan akan di perkosa, ketika ia sudah putus asa dan pasti akan membunuh diri kalau di perkosa, tiba-tiba muncul pemuda gagah perkasa ini yang menyelamatkannya! Maka ia sudah mengambil keputusan bulat dalam hatinya.
Ia akan menjadi isteri pemuda ini, akan menyerahkan jiwa raganya. Ia akan sanggup bekerja keras seperti para isteri lain. Ia akan melakukan semua itu dengan senang hati, tidak seperti kawan-kawannya, karena ia melakukannya untuk membalas budi kebaikan pemuda itu.
Setelah mereka tiba di rumah kepala gerombolan, ternyata Siauw Beng dan Ai Yin juga sudah selesai memeriksa semua rumah di perkampungan itu. Mereka menemukan barang-barang rampasan, juga hewan ternak yang di kumpulkan di belakang perumahan. Selain itu, mereka juga menemukan lima orang gadis dusun yang keadaanya amat menyedihkan.
Wajah mereka pucat, sikap mereka ketakutan dan tubuh mereka kurus. Lima orang gadis itu adalah korban penculikan yang sudah berbulan-bulan berada di situ dan menjadi korban keganasan kepala gerombolan dan anak buahnya.
Mereka berlima itu menangis sedih, mengingat nasib mereka walaupun mereka kini telah terbebas dari cengkraman para penjahat. Mereka melihat batapa suramnya masa depan mereka. Akan sukar mendapatkan pria yang mau memperistri gadis yang pernah menjadi permainan para penjahat keji itu.
Lu Bi Hwa segera menghampiri lima orang gadis itu dan ia menghibur mereka sehingga akhirnya mereka berhenti menangis. Para anak buah gerombolan itu lalu mengubur jenazah Hek-houw Mo-ko dan malam itu mereka di haruskan berkumpul di ruangan depan rumah besar itu.
Siauw Beng dan Ai Yin mengambil keputusan bahwa besok pagi para anggota gerombolan itu diharuskan mengangkat barang-barang rampokan itu kembali ke dusun. Mereka bertiga akan mengawal para gadis kembali ke rumah orang tua masing-masing.
“Ai Yin, engkau malam ini mengaso dan tidurlah. Biar aku dan suheng yang melakukan penjagaan agar mereka tidak melarikan diri dan untuk berjaga-jaga kalau ada teman-teman mereka yang berani masuk perkampungan ini “, kata Siauw Beng setelah mereka semua makan hidangan yang dimasak oleh Lui Bi Hwa dan lima orang gadis itu. Di rumah kepala gerombolan itu tersedia bahan makanan yang cukup banyak.
Malam itu Ai Yin tidur di senuah kamar rumah besar itu. Kamar yang bersih dan Ai Yin yang sudah kecapaian itu dengan mudah tertidur pulas. Siauw Beng duduk di serambi depan, bersila di atas lantai yang di gelari tikar tebal. Para gadis juga tidur di sebuah kamar besar. Mereka berlima baru malam ini dapat tidur nyenyak dengan hati tentram. Akan tetapi Bi Hwa tidak mau tidur dan ia duduk menemani A Siong yang juga duduk di serambi depan bersama Siauw Beng.
Di serambi ini, A Siong membuat api unggun, bukan untuk mendapatkan penerangan karena di situ juga ada sebuah lampu gantung, akan tetapi untuk mengusir nyamuk yang terdapat banyak di tempat itu. Dari serambi mereka dapat melihat ke luar. Bulan sepotong sudah naik tinggi dan cahayanya mulai agak tering sehingga cuaca di luar rumah itu remang-remang namun masih dapat di tembus pandang mata.
Siauw Beng memejamkan matanya seperti orang tidur. Sebetulnya dia hanya duduk diam seperti sedang siu-lian (samadhi), akan tetapi dia menyadari keadaan di luar dirinya sehingga dia dapat mendengar ketika Bi Hwa dan A Siong bercakap-cakap.
“In-kong, saya sudah mengambil keputusan tetap. Saya tidak akan kembali ke rumah orang tua saya. Saya akan ikut denganmu ke manapun engkau pergi, In-kong.”
“Akan tetapi aku seorang perantau miskin, bahkan rumah tinggalpun tidak punya!”
“Tidak mengapa, In-kong. Saya sanggup hidup bagaimanapun juga bersamamu. Saya akan melayanimu, mengerjakan semua keperluanmu, mencuci, memasak dan engkau suruh apapun akan saya lakukan dengan senang hati dan rela”
A Siong menghela napas panjang lalu menengok kea rah Siauw Beng. Kemudian dia berkata lirih. “Mari kita bicara di sana saja”
Dia menambahkan kayu kepada api unggun, lalu bangkit mengajak Bi Hwa pergi ke pekarangan agar dapat bicara dengan leluasa tanpa di dengar orang lain. Setelah cukup jauh mereka duduk di atas dua buah batu besar, berhadapan. Bahkan A Siong sendiri tidak tahu bahwa Siauw Beng membayangi mereka, lalu bersembunyi di balik batu-batu bukit dan mendengarkan percakapan mereka.
“Bi Hwa, keputusanmu itu keliru. Tidak mungkin engkau ikut bersamaku terus. Engkau akan hidup serba kekurangan, sengsara dan terkadang di ancam bahaya. Aku adalah seorang petualang yang tidak memiliki apa-apa, tiada keluarga, tiada rumah tinggal, tiada harta benda. Aku tidak dapat menerima engkau ikut bersamaku, Bi Hwa”
Gadis itu menundukkan mukanya menangis perlahan. “In-kong, apakah engkau tidak kasihan kepadaku?” tanyanya di sela isaknya.
“Tentu saja aku kasihan padamu, Bi Hwa. Engkau seorang gadis yang baik, tabah, teguh mempertahankan kehormatanmu, engkau pantas di hormati. Aku kagum kepadamu, Bi Hwa”
“Kalau begitu, mengapa engkau tidak mau menerima saya, In-kong?” tanyanya dengan suara memelas.
“Sudah ku katakan bahwa aku seorang perantau miskin. Engkau akan hidup serba kekurangan dan sengsara, sekali waktu mungkin sehari tidak dapat makan”
“Aku rela, in-kong. Biar hidup sebagai pengemis gelandangan sekalipun, saya rela. Saya rela menjadi pelayanmu, in-kong”
Hening sejenak, hanya terdengar beberapa kali A Siong menghela napas panjang, berulang-ulang. Kemudian dia berkata dengan suara sedih. “Percayalah Bi Hwa seandainya aku ini seorang pemuda biasa yang memiliki tempat tinggal, memiliki kebebasan dan harapan masa depan, sungguh mati aku akan menerima permintaan mu ini dengan senang hati. Akan tetapi, dalam keadaanku seperti sekarang ini, hal itu tidak mungkin ku lakukan. Aku harus membantu sute Siauw Beng, aku sudah berjanji kepada guruku untuk menemani sute, untuk membantunya, bahkan untuk melayaninya. Tidak mungkin aku menerimamu, Bi Hwa”
“Apakah…. Apakah…. Tidak ada jalan keluarnya… in-kong…?”
A Siong menghela napas berat, lalu terdengar suaranya lirih. “Maaf, Bi Hwa, ku rasa tidak ada….”
Isak tangis itu semakin kuat dan tiba-tiba Bi Hwa melompat turun dari atas batu. Ia terguling roboh, akan tetapi bangkit lagi dan berlari sambil menangis ke arah jurang yang berada tak jauh dari situ. Perkampungan itu berada di lereng dekat puncak bukit Menjangan, maka terdapat banyak jurang di sekitar perkampungan. Dengan nekat Bi Hwa setelah tiba di tepi jurang, hendak meloncat ke dalamnya. Akan tetapi tiba-tiba dua buah lengan yang kuat merangkul pinggalnya. Ia meronta-ronta, namun tidak dapat terlepas dari rangkulan A Siong.
“Bi Hwa, apa yang hendak kau lakukan ini?” A Siong memaksa, menarik tubuh gadis itu menjauhi jurang.
“Lepaskan, In-kong, lepaskan. Biarkan saya mati saja! Tiada gunanya hidup lebih lama kalau in-kong tidak mau menerima saya....“ Gadis itu menangis sesunggukan.
“Akan tetapi mengapa, Bi Hwa? Mengapa engkau menjadi nekat begini? Engkau masih mempunyai keluarga, bahkan ayahmu adalah seorang kepala dusun yang hidupnya serba kecukupan!” bujuk A Siong tanpa melepaskan rangkulannya karena gadis itu masih meronta, berusaha melepaskan dekapan A Siong.
“Tidak, tidak! Nama saya sudah tercemar, semua orang akan membicarakan saya, semua orang akan mencemooh dan memandang hina! Bahkan orang tuaku juga akan menderita karena aib. Biarkan saya mati, In-kong!”
“Husshhh! Mengapa engkau berkata demikian? Aku mendengar sendiri ketika engkau bicara dengan kepala perampok itu. Engkau belum ternoda atau... sudahkah tercemar maka sekarang menjadi putus asa?”
“Tidak, In-kong! Kalau saya sudah ternoda, tentu saya sudah tidak hidup lagi. Tentu saya sudah membunuh diri.”
“Kalau begitu, mengapa engkau merasa namamu tercemar?”
"In-kong tidak tahu, semua gadis yang sudah di culik oelh iblis itu telah ternoda. Siapa yang akan percaya bahwa saya belum tersentuh? Tidak akan ada yang percaya dan orang sekampung akan mencemooh” Ia berhenti sebentar sambil terisak. “Bahkan ayah ibuku tidak akan percaya kalau saya mengatakan bahwa saya belum ternoda. Ah, malu sekali, In-kong. Mati jauh lebih baik daripada hidup menghadapi itu semua!”
“Bi Hwa, biarlah aku yang akan bicara dengan orang tuamu. Aku yang akan menyakinkan mereka bahwa engkau masih bersih, belum ternoda. dan kalau ada orang di dusunmu yang tidak percaya dan mengejekmu, dia akan ku hajar!”
“Saya tidak menginginkan itu, In-kong. Saya hanya menginginkan agar diperbolehkan ikut dengan mu, kemana pun In-kong pergi.”
“Akan tetapi aku tidak mungkin dapat menerimamu, betapa pun berat rasa hatiku. Aku tidak enak kepada sute, kepada suhu dan....“
“Engkau keliru, suheng!” tiba-tiba ucapan A Siong itu terputus oleh suara ini dan muncullah Siauw Beng bersama Ai Yin di tempat itu. Ternyata tadi ketika Siauw Beng mendengarkan percakapan A Siong dan Bi Hwa sambil bersembunyi dibelakang batu besar, datang Ai Yin menyusulnya dan gadis inipun ikut mendengarkan.
“Sute….! Ai Yin…! Kalian… kalian di sini….?“ A Siong bertanya gagap sehingga dia lupa bahwa kedua lengannya masih mendekap pinggang ramping Bi Hwa! Adapun gadis itu yang melepaskan rangkulan lengan A Siong dengan kedua tangannya. Baru A Siong menyadari dan cepat dia melepaskan rangkulannya dan mundur dua langkah.
"Suheng, Bi Hwa, Mari kita bicara di serambi.“ kata Siauw Beng dengan suara serius.
Mereka berempat lalu pergi ke rumah besar itu. Api unggun di serambi itu masih menyala dan Siauw Beng segera menambahkan kayu sehingga api unggunnya bernya semakin besar, mengusir hawa dingin dan nyamuk. Mereka duduk dekat api unggun, A Siong menundukkan mukanya yang menjadi merah, sedangkan Bi Hwa mengambil tempat duduk di atas lantai dekat pemuda itu, memandang kepada Siauw Beng dan Ai Yin dengan harap-harap cemas.
“Maaf, suheng. Tadi aku telah melihat dan mendengar semua tentang keadaan kalian berdua. Engkau keliru kalau merasa tidak enak kepadaku dan kepada ayahku. Suheng, engkau berhak menentukkan jalan hidupmu sendiri. Apalagi mengenai perjodohan. Ayah tentu akan menyetujui dan merestui kalau engkau berjodoh dengan nona ini. Aku juga rela sepenuhnya, suheng. Hanya engkau yang dapat menolong Bi Hwa dan kalau kalian sudah saling mencinta, mengapa mesti ragu-ragu lagi?”
“Siauw Beng berkata benar, A Siong. Tidak ada aib menimpa dari Bi Hwa dan keluarganya kalau ia menikah denganmu. Biarlah aku yang akan membicarakan dengan orang tua Bi Hwa, melamarnya untukmu agar kalian berdua dapat menikah dengan sah.”
“Tepat sekali, suheng. Jangan pikirkan tentang diriku. Aku bukan anak kecil lagi yang perlu kau bantu dan lindungi terus menerus. Engkau dapat menjadi suami Bi Hwa dan tinggal di sini, membantu usaha kepala dusun agar menyejahterakan kehidupan rakyat.”
Di hujan desakan Siauw Beng dan Ai Yin itu, A Siong tak mampu berkata apa-apa lagi dan tiba-tiba Bi Hwa berlutut menyembah kepada Siauw Beng dan Ai Yin.
“Ih, jangan begitu, Bi Hwa!” kata Ai Yin dan cepat ia memegang kedua pundak Bi Hwa untuk di paksa bangkit dan duduk kembali.
Setelah Siauw Beng menyakinkan hati A Siong bahwa dia tidak keberatan bahkan girang kalau A Siong berjodoh dengan Lu Bi Hwa dan tinggal di dusun tempat tinggal gadis itu, dan menyakinkannya pula bahwa Ma Giok, ayah angkatnya, juga guru mereka pasti tidak akan merasa keberatan atau marah, akhirnya A Siong menerima juga.
Memang hatinya sudah tertarik kepada Bi Hwa. Dia merasa kasihan dan juga jatuh cinta karena selain dalam penglihatannya tidak ada wanita yang lebih cantik menarik daripada Bi Hwa, juga dia merasa kagum akan watak gadis itu.
Pada keesokan harinya, tiga orang pendekar itu, sambil mengajak Bi Hwa, mengiringkan lima orang gadis korban para penjahat dan memerintahkan belasan orang anggota Hek-houw-pang untuk mengakut semua barang rampokan dan menggiringkan beberapa ekor kerbau dan kambing, menuruni bukit itu menuju ke dusun Ki-cung.
Rombongan ini di sambut oleh seluruh penduduk dusun yang sudah mendengar akan turunnya rombongan ini dari Bukit Menjangan. Para gadis itu di sambut dengan tangisan oleh keluarga mereka. Kepala dusun Lu dan keluarganya juga menyambut Bi Hwa dengan girang.
Ketika penduduk melihat bahwa yang mengangkut barang rampokan dan menggiring ternak adalah para anggota gerombolan, mereka menjadi marah dan tentu belasan orang anggota perampok itu akan di keroyok dan di bunuh kalau saja A Siong, Siauw Beng dan Ai Yin tidak melarang mereka.
Semua penduduk bergembira ria mendengar bahwa gerombolan perampok itu telah terbasmi dan pemimpin mereka yang di takuti telah tewas. Setelah semua barang rampokan dan ternak di terima oleh penduduk dan di kembalikan kepada pemilik masing-masing, belasan orang bekas anggota Hek-houw-pang itu lalu diperkenankan pergi setelah diberi ancaman keras oleh Siauw Beng.
Mereka mengucapkan terima kasih dan meninggalkan dusun itu. Mereka inilah yang menyebarkan berita tentang munculnya seorang pendekar baru berjuluk si Tangan Halilintar, pendekar yang buntung lengan kirinya akan tetapi amat lihai.
Sebentar saja julukan itu tersebar sampai luas. Siauw Beng, A Siong dan Ai Yin di jamu pesta makan oleh Lurah Lu, kepala dusun ayah Lu Bi Hwa beserta beberapa orang yang di anggap sebagai tua-tua dusun Ki-cung. Mereka makan minum dengan gembira dan dalam kesempatan ini, Ai Yin berkata kepada Lurah Lu dan isterinya.
“Paman dan bibi berdua, kami tadi telah menceritakan tentang puteri kalian Bi Hwa yang nyaris celaka akan tetapi dapat di selamatkan oleh A Siong. Sekarang kami akan memperkenalkan keadaan A Siong kepada paman berdua sekeluarga. Ketahuilah bahwa A Siong ini telah yatim piatu dan tidak mempunyai keluarga lain kecuali kami berdua sebagai sahabat baiknya dan gurunya yang tinggal jauh di Thai-san. A Siong sahabat kami ini adalah seorang pendekar yang gagah perkasa dan bijaksana, usianya sekarang sudah... Eh, berapa usiamu, A Siong?”
Dengan kedua pipi kemerahan A Siong menjawab sambil menundukkan mukanya. “Tiga puluh tiga tahun.”
“Ya, tiga puluh tiga tahun. Akan tetapi dia masih perjaka tulen, belum pernah menikah, belum pernah berpacaran. Setelah dia menyelamatkan kehormatan dan bahkan nyawa Bi Hwa, maka terdapat hubungan kasih di antara mereka berdua. Karena A Siong tidak mempunyai keluarga, maka kami berdua sebagai sahabat baiknya menjadi wakil keluarganya untuk meminang puteri kalian Lu Bi Hwa untuk menjadi jodoh A Siong! Bagaimana pendapat Paman berdua dan keluarga?”
Siauw Beng mendengarkan dengan kagum. Bukan main gadis ini. Dapat bicara tentang pinangan sedemikian lancarnya. Padahal kalau dia di suruh mewakili dan mengajukan pinangan seperti itu, dia pasti tidak akan mampu bicara!
A Siong menundukkan mukanya. Dia merasa malu dan juga hatinya berdebar tegang. Mungkinkah kepala dusun dan keluarganya dapat menerima dia yang tidak mempunyai apa-apa itu sebagai jodoh Lu Bi Hwa? Sambil tunduk dia melirik kea rah Bi Hwa yang juga duduk di situ, di sebelah ibunya dan dia melihat gadis itu juga menundukkan muka.
Mendengar ucapan Ai Yin, Lurah Lu dan isterinya saling pandang. Sungguh pinangan itu sama sekali tidak mereka sangka-sangka! Puteri mereka yang telah di culik perampok, kini di lamar seorang di antara tiga pendekar yang telah menyelamatkan, bukan saja puteri mereka, bahkan seluruh penduduk dusun itu dari gangguan gerombolan perampok? Hampir mereka tidak dapat percaya!
“Bi Hwa, bagaimana pendapatmu?” Tanya ayah dan ibu itu kepada puteri mereka hampir berbareng.
Bi Hwa yang tadinya menunduk malu, kini mengangkat muka dan pandang matanya penuh keberanian dan kepastian, “Ayah dan ibu, In-kong A Siong telah menyelamatkan nyawa dan kehormatanku. Aku sudah mengambil keputusan bulat untuk ikut dengannya dan menjadi pelayannya. Kalau hal itu tidak dapat terlaksana, aku akan bunuh diri saya karena hidup hanya akan mendatangkan aib bagiku.”
Lurah Lu dan isterinya tertegun mendengar ucapan putrinya itu. Telah banyak pinangan di ajukan orang terhadap Bi Hwa, namun gadis mereka itu selalu menolak keras dan sekarang Bi Hwa telah begitu pasrah kepada penolongnya, A Siong yang bertubuh tinggi besar dan gagah itu. Terdengar suara tawa dari seorang kakek yang rambutnya sudah putih semua. Kakek ini adalah paman dari Lurah Lu.
“Ha-ha-ha, kalian ini termangu-mangu mempertimbangkan apa lagi?” katanya kepada Lurah Lu dan istrinya. “Bi Hwa sudah berusia dua puluh tahun dan selama ini selalu menolak pinangan yang datang sehingga meresahkan hati keluarga kita. Sekarang dia menemukan jodoh yang begini baik! Mereka sudah saling cocok dan dengan adanya pendekar… A Siong, eh siapakah nama keluarganya…..?”
Siauw Beng menjawab, “Nama keluarga suheng adalah Tan, akan tetapi dia sudah terbiasa di sebut A Siong.”
“Ya, dengan adanya Pendekar Tan Siong sebagai cucu mantuku di sini, bukan saja keluarga kita akan terjamin keselamatannya, bahkan keselamatan seluruh dusun dapat di lindungi. Dimana lagi Bi Hwa bisa mendapatkan seorang suami seperti dia?”
Lurah Lu dan istrinya tertawa dan mereka memandang kakek yang menjadi paman mereka itu. “Aih, Paman, siapa yang termangu-mangu dan ragu? Kami hanya terheran-heran mendengar pinangan itu! Bagaimana mungkin seorang pendekar besar seperti Taihiap ini sudi jodoh dengan anak kami…?”
A Siong yang memang berwatak jujur dan terbuka, merasa lega melihat gelagat keluarga Bi Hwa menyetujui ikatan perjodohan itu sehingga kini dia berani mengangkat muka dan dia berkata dengan suara lantang. “Ah, harap paman jangan berkata begitu. Saya yang merasa takut, kalau-kalau di tolak karena saya hanyalah seorang yatim piatu yang miskin.“
“Hai, A Siong! Mengapa engkau menyebut paman kepada calon ayah mertuamu?” Ai Yin menegur sehingga kembali A Siong tersipu dan semua orang tertawa.
Bi Hwa merasa begitu girang sehingga ia merangkul ibunya yang duduk di sebelahnya, mencium pipi ibunya lalu saking malunya ia berlari ke belakang meninggalkan ruangan itu dimana mereka berpesta tadi. Kembali semua orang tertawa.
“A Siong, sebaiknya engkau kejar Bi Hwa, ia pasti berada di taman belakang dan kalian rundingkan berdua kapan perayaan pernikahan akan di langsungkan!“ kata Lurah Lu.
“Sebaiknya secepat mungkin, suheng!” kata Siauw Beng.
Dengan muka kemerahan A Siong bangkit lalu mengejar Bi Hwa ke belakang, di ikuti suara tawa gembira semua orang yang berada dalam ruangan itu.
Demikianlah, karena Siauw Beng dan Ai Yin akan melangsungkan pernikahan antara A Siong dan Lu Bi Hwa di langsungkan dua hari kemudian. Pernikahan itu berlangsung meriah, di hadiri oleh seluruh penduduk dusun Ki-Cung dan para lurah dan sesepuh dusun tetangga yang semua merasa gembira mendengar gerombolan jahat di Bukit Menjangan itu telah di basmi oleh Pendekar Si Tangan Halilintar bersama dua orang temannya.
Lebih gembira lagi ketika mereka mendengar bahwa puteri Lurah Lu di Ki-cung kini menjadi suami istri seorang di antara para pendekar itu sehingga semua orang di sekitar daerah itu akan merasa tentram.
Setelah perayaan pernikahan selesai, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Siauw Beng dan Ai Yin berpamit untuk melanjutkan perjalanan mereka ke kota raja. A Siong dan istrinya mengantar Siauw Beng dan Ai Yin menuju ke Sungai Huang-Ho, meninggalkan para penduduk yang mengantar sampai ke pintu gerbang dusun.
Setelah tiba di pantai dimana Siauw Beng meninggalkan perahu kecilnya, A Siong memegang kedua tangan sutenya dan berkata dengan suara parau karena terharu. “Sute, tolong sampaikan kepada suhu tentang keadaanku di sini dan sampaikan permohonan maafku”
“Tentu saja, suheng. Jangan khawatir akan hal itu“ kata Siauw Beng yang merasa terharu pula. Selama ini, sejak kecil sampai sekarang, dia tidak pernah berpisah dari A Siong. Berlatih, bermain, makan dan tidur selalu berdua dan kini mereka harus berpisah!
“Sute, yakinkah engkau bahwa aku tidak harus menemami perjalanmu?” Tanya A Siong dengan suara gemetar.
Siauw Beng merasa terharu dan dia mempererat pegangan tangannya, lalu menggeleng kepala, tidak berani bicara karena dia tahu bahwa suaranya pasti terdengar gemetar pula. Apalagi ketika dia mengangkat muka memandang wajah suhengnya yang merah dan sepasang mata A Siong basah dan berlinang air mata.
Siauw Beng tak dapat menahan keharuan hatinya dan diapun menundukkan mukanya agar tidak nampak bahwa kedua matanya juga basah, bahkan kini ada air mata menetes dari pelupuk mata mereka.
“Hai... hai! Apa-apaan ini? Kalian ini pendekar-pendekar gagah perkasa kini bertangisan seperti nenek-nenek cengeng saja!” terdengar Ai Yin berseru dengan suara mencela.
Dua orang pemuda itu cepat-cepat mengusap dua titik air mata dan mereka tersenyum. Untung ada Ai Yin di situ, kalau tidak ada, tentu mereka akan hanyut oleh keharuan yang akan membuat perpisahan itu menjadi terlalu berat bagi mereka. Keduanya memaksa senyum dan saling melepaskan tangan. Siauw Beng dan Ai Yin lalu mendorong perahu ke air setelah talinya di lepas dari batang pohon oleh A Siong. Dua orang laki-laki itu tidak bicara lagi sampai Siauw Beng dan Ai Yin masuk ke dalam perahu.
“Sute, jaga dirimu baik-baik!“ kata A siong.
“Engkau juga, suheng. Berbahagialah engkau bersama isterimu. Selamat tinggal, suheng, aku akan selalu mengenangmu!”
“Aku juga, sute. Selamat jalan!”
Perahu meluncur menurut arus air. Siauw Beng yang duduk di perahu menoleh memandang suhengnya sambil melambaikan tangan. A Siong juga mengikuti kepergian sutenya dan melambaikan tangannya sampai perahu itu lenyap di sebuah tikungan. Baru dia berhenti melambai dan kembali beberapa tetes air mata keluar dari mata dan membasahi pipi.
Tiba-tiba Lu Bi Hwa berlutut dan merangkul kedua kakinya. “Aduh, ampunkan aku suamiku, akulah yang telah membuat engkau terpaksa berpisah dari sutemu itu...” Lu Bi Hwa meratap sambil menangis terharu.
A Siong membungkuk, memegang kedua pundak istrinya, mengangkatnya bangkit berdiri. Mereka berpandangan, keduanya dengan mata basah, lalu A Siong mendekap Bi Hwa ke dadanya, menekan kepala istrinya itu ke dadanya. “Bi Hwa, istriku. Engkau tidak bersalah, akulah yang lemah. Marilah, istriku, mari kita pulang. Kita songsong kehidupan baru bersama!”
Dia mencium isterinya dan mereka berjalan pulang sambil saling rangkul. Suami itu merangkul pundak istrinya dan si isteri merangkul pinggang suaminya.
“Siauw Beng, engkau menyesal membujuk suhengmu menikah sehingga sekarang terpaksa engkau berpisah darinya?” Tanya Ai Yin ketika ia melihat pemuda itu termenung di kepala perahu sehingga pemuda itu lupa bahwa sejak tadi ia yang mendayung perahu itu.
Mendengar pertanyaan ini, barulah Siauw Beng seolah terseret kembali ke dunia nyata. Cepat dia berkata, ”Ah, maaf Ai Yin. Sini biar aku yang mendayung perahu ini.”
“Biarlah, Siauw Beng. Biar aku dulu yang mendayung, nanti kau gantikan kalau aku sudah lelah. Kau duduklah dan tenangkan dulu hatimu, aku tahu betapa berat hatimu harus berpisah dengan A Siong. Akan tetapi engkau harus ingat bahwa kini A Siong telah menemukan jodoh dan rumah tinggal keluarga baik-baik. Bi Hwa amat mencintainya dan dia juga menyayang gadis itu. Mereka akan hidup sebagai suami isteri yang berbahagia. Tentu keadaannya jauh lebih baik daripada kalau dia selalu mengikutimu sebagai seorang kelana yang tidak mempunyai tempat tinggal dan tidak mempunyai keluarga.”
Siauw Beng menarik napas panjang. “Engkau benar Ai Yin. Aku berharap dan bahkan yakin bahwa dia tentu akan hidup berbahagia. Aku juga ikut merasa senang kalau suheng hidup bahagia. Akan tetapi engkau tentu dapat mengerti, Ai Yin. Hubunganku dengan suheng A Siong bukanlah hubungan kakak dan adik seperguruan belaka. Jauh daripada sekedar saudara seperguruan!
"Sejak aku kecil dan mulai dapat berpikir, dialah orang yang selalu menemaniku. Bahkan dia yang mengasuhku, mengajak aku bermain, menghiburku kalau aku menangis, menggendongku. Kemudian setelah aku mulai belajar silat, dia pula yang selalu menemaniku berlatih. Dia itu seolah segala-galanya bagiku, satu-satunya orang yang paling dekat dengan aku, latihan bersama, makan bersama, tidur bersama. Dan ini terjadi selama hidupku sampai sekarang...”