Si Tangan Halilintar Jilid 20 karya Kho Ping Hoo - Gui Liang bekerja sebagai seorang piauwsu (pengawal pengiriman barang) dan terkenal di kota Ceng-jun karena selama kiriman yang di kawalnya tentu selamat sampai di tempat tujuan dan dia dapat menghalau gangguan perampok. Gui Liang tinggal dan hidup tenang, bersama isterinya dan puteri mereka, Gui Cin yang cukup cantik.
Pada hari itu Keluarga Gui menerima seorang tamu bernama Lu Kiat yang masih sute (adik seperguruan) sendiri dari Gui Liang. Kedatangan Lu Kiat selain mengunjungi keluarga suhengnya (kakak seperguruannya) juga membawa usul perjodohan dengan seorang pemuda masih keponakan sendiri dari Lu Kiat yang bernama Lu Siong.
Keponakan ini juga seorang murid Siauw-lim-pay yang pandai dan semuda itu, berusia dua puluh tiga tahun, dia sudah berdagang, memiliki toko hasil bumi yang cukup besar. Pemuda itu pun juga bukan orang asing bagi keluarga Gui, maka usul ini di terima dengan baik. Bahkan Gui Cin sendiri juga tidak menolak karena iapun mengenal Lu Siong yang ganteng dan gagah perkasa.
Malam itu, karena hawa udara dingin, maka setelah bercakap-cakap, Gui Liang mempersilahkan sutenya mengaso dan tidur di kamar sebelah kiri. Dia sendiri bersama isterinya tidur di kamar besar yang berada di tengah, sedangkan puterinya tidur di ujung sebelah kanan kamar mereka.
Demikian ringan gerakan maling tadi sehingga Gui Liang yang lihaipun tidak mendengar apa-apa, padahal dia belum pulas. Akan tetapi tiba-tiba dia berkata kepada isterinya yang juga belum tidur.
"Aku mendengar suara rintihan. Hemm, agaknya dari kamar anak kita. Ada apakah dengan anak itu? Apakah ia sakit?”
Isterinya sudah bangkit duduk dan turun dari pembaringan, lalu bersama suaminya ia keluar dari kamar mereka langsung menghampiri pintu kamar puteri mereka. Kini dari depan pintu mereka mendengar suara itu. Suara seperti rintihan.
"Tok-tok-tok!” Gui Liang menggedor pintu. "Gui Cin, engkau mengapakah? Hayo buka pintunya!”
Akan tetapi tidak ada jawaban dan daun pintu juga tidak dibuka dari dalam. Bahkan suara seperti rintihan di kerongkongan itu menjadi semakin kuat. Gui Liang menjadi tidak sabar dan karena khawatir terjadi sesuatu dengan puterinya, dia lalu mengerahkan tenaganya dan mendorong dengan kedua tangannya ke arah daun pintu.
"Braakkk….!” Daun pintu itu jebol dan suami isteri itu melihat seorang laki-laki berdiri dekat pembaringan. Puteri mereka rebah telentang tak bergerak dan tidak bersuara, dan yang membuat mereka terkejut sekali adalah melihat keadaan puteri mereka itu yang telah bertelanjang bulat.
Sepintas saja Gui Liang yang sudah berpengalaman dapat menduga apa yang terjadi. Dia melompat ke dalam kamar itu dan membentak. "Siapa engkau?”
Akan tetapi laki-laki yang hanya tampak bayangannya itu tiba-tiba menerjang dan menyerangnya. Gui Liang bukan orang yang lemah. Dia seorang murid Siauw-lim-pay yang tangguh dan sebagai seorang piauwsu dia tentu saja memiliki benyak pengalaman bertanding. Maka dia yang melihat serangan hebat itu cepat melompat keluar kamar mencari tempat yang lebih luas dan agak terang.
Maling itu mengejarnya dan ketika tiba di luar kamar, Gui Liang dan isterinya melihat betapa orang itu adalah seorang pemuda tampan yang memakai sebuah caping, dan lengan kirinya buntung! Gui Liang terkejut dan dia teringat akan berita menggegerkan dunia kangouw tentang penjahat besar berjuluk Si Tangan Halilintar.
"Tangan Halilintar!” Dia berteriak lalu menyerang dengan pedang yang sudah dicabutnya.
Maling itu tertawa bergelak, suara tawanya bergema dan dia melayani serbuan pedang Gui Liang dengan gerakan tubuhnya yang lincah bukan main. Berkali-kali Gui Liang mengirim serangan bertubi-tubi, namun semua serangannya dapat di hindarkan maling itu dengan elakan dan tangkisan. Hebatnya, dengan tangan kosong dia berani menangkis pedang yang tajam!
Suara rebut-ribut itu terdengar oleh Lu Kiat yang tidur di kamar sebelah. Ketika dia membuka pintu kamar, dia terkejut melihat suhengnya sedang berkelahi melawan seorang laki-laki muda yang lengan kirinya buntung. Dia pun segera teringat akan nama Si Tangan Halilintar yang tersohor itu dan melihat betapa si lengan buntung itu dapat menghadapi pedang suhengnya dengan lincah sekali, dia cepat memasuki kamarnya kembali untuk mengambil pedangnya.
Ketika dia keluar dia mendengar teriakan suhengnya dan jeritan isteri suhengnya. Bukan main kagetnya melihat suheng dan isteri suhengnya itu telah terkapar di atas lantai dan si lengan buntung itu sekali menggerakkan tangan kanannya, lampu gantung yang berada di luar kamar itu pecah berantakan sehingga keadaan di situ menjadi remang-remang karena hanya mendapat sinar lampu kecil yang menyorot keluar kamar Gui Cin. Lu Kiat dapat melihat jelas wajah penjahat itu. Dengan marah sekali dia melompat menerjang.
"Jahanam! Engkau tentu Si Tangan Halilintar!” bentaknya sambil menggerakkan pedangnya menyerang dengan dahsyat. Tingkat kepandaian Lu Kiat ini masih lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Gui Liang karena dia lebih lama tinggal di Siauw-lim-si (Kuil Siauw-lim).
"Ha-ha-ha, kalian para pemberontak Siauw-lim harus di basmi!” Maling itu tertawa dan berkata mengejek.
Lu Kiat mempercepat serangannya akan tetapi dia merasa terkejut dan juga heran karena orang itu menghadapinya dengan silat tangan kosong Lo-han-kun (Silat Orang Tua) dari Siauw-lim-pai! Akan tetapi gerakannya lincah bukan main dan yang lebih hebat lagi, orang yang hanya bertangan satu itu berani menangkis pedang dengan tangannya.
Dan setiap kali tangan kanannya itu bertemu pedang, terdengar suara berdencing nyaring seolah tangan itu terbuat dari baja yang kuat! Orang ini jelas orang Siauw-lim-pai, memiliki ilmu silat Siauw-lim akan tetapi dengan tingkat yang sudah tinggi sekali dan memiliki tenaga sakti yang amat kuat!
"Keparat busuk!” Lu Kiat kembali menyerang setelah belasan serangannya selalu dapat di hindarkan lawan. Kini pedangnya membacok kea rah leher. Namun dengan mudah lawannya mengelak dengan loncatan ke belakang. Pada saat itu, suara rebut-ribut memancing datangnya sisa penghuni rumah itu, ialah para pembantu rumah tangga dan tiga orang piauwsu pembantu yang tinggal di begian belakang rumah.
Melihat bala bantuan datang dan di antara mereka membawa teng (lampu gantung) Lu Kiat cepat menyerang lagi dengan pedangnya, menusuk ke arah dada maling itu. Akan tetapi yang di tusuk hanya miringkan tubuh dan begitu tangan kanannya membuat gerakan membacok kearah pedang, pedang itu patah menjadi dua.
Sebuah tendangan menyambar dan tubuh Lu Kiat terlempar, menabrak dinding dan roboh dengan dada terasa nyeri. Akan tetapi dia tidak terluka amat parah sehingga tidak membahayakan keselamatan nyawanya. Maling itu tertawa lalu berkelebat lenyap ke atas wuwungan rumah.
Geger rumah keluarga itu ketika orang-orang mengetahui bahwa Gui Liang dan isterinya tewas dan lebih ngeri lagi hati mereka melihat dalam kamar Gui Cing juga tewas dalam keadaan telanjang bulat! Lu Kiat tidak tewas dan murid Siauw-lim-pai ini merasa yakin bahwa pelaku pembunuhan dan perkosaan ini adalah Si Tangan Halilintar yang tersohor, penjahat keji yang berlengan satu dan amat lihai itu.
Akan tetapi ada satu hal yang membuat dia merasa sekali yaitu melihat kenyataan bahwa Si Tangan Halilintar itu mahir memainkan ilmu silat Siauw-lim-pai! Jelas bahwa orang itu adalah seorang murid Siauw-lim-pai yang pandai dan lihai sekali. Akan tetapi Lu Kiat sebagai seorang tokoh Siauw-lim-pai, merasa tidak mengenal murid Siauw-lim-pai yang buntung lengan kirinya.
Peristiwa pembantaian terhadap keluarga Gui Liang ini tentu saja menggegerkan dunia kang-ouw. Nama Si Tangan Halilintar semakin tersohor dan para komandan pasukan keamanan dan para pendekar, walaupun mengambil jalan masing-masing, mempergiat usaha mereka mencari Si Tangan Halilintar.
Setelah sembuh dari luka di dadanya akibat tendangan Si Tangan Halilintar yang untungnya tidak membuat Lu Kiat tewas, tokoh Siauw-lim-pai ini lalu pulang ke dusun Tong-cun, dimana dia tinggal bersama isterinya dan seorang keponakannya yang di anggapnya seperti anak sendiri karena dia tidak mempunyai anak, yaitu Lu Siong.
Ketika dia menceritakan tentang peristiwa yang terjadi di Ceng-jun dan bencana yang menimpa keluarga Gui, Lu Siong mengerutkan alisnya dan mengepal tinju. "Paman, aku akan mencari dan membunuh jahanam Si Tangan Halilintar itu!”
"Hemm, tidak begitu mudah, Lu Siong. Penjahat itu lihai bukan main. Dia ahli ilmu silat Siauw-lim-pai yang tingkatnya sudah tinggi sekali. Bayangkan saja, dengan jurus-jurus Lo-han-kun yang sudah kukuasai dengan baik, dia mampu mengalahkan aku yang berpedang. Dan tenaga saktinya kuat bukan main sehingga tidak mengherankan kalau dia berjuluk Si Tangan Halilintar. Pukulan tangan kanannya seperti sambaran halilintar.”
"Akan tetapi saya tidak takut, paman!” kata Lu Siong dengan gagah.
"Memang tidak ada yang takut menghadapi penjahat, betapapun lihainya dan tewas dalam perjuangan menentang kejahatan merupakan hal yang membanggakan bagi setiap orang pendekar. Akan tetapi karena penjahat itu seorang ahli silat Siauw-lim-pai, maka semua kejahatannya itu merupakan perbuatan yang mencemarkan nama baik Siauw-lim-pai.
"Kewajiban Siauw-lim-pai lah untuk membasmi penjahat ini untuk membersihkan nama Siauw-lim-pai yang ternoda. Karena itu, aku hendak pergi ke Siauw-lim-si (kuil Siauw-lim) di kaki Gunung Sungsan untuk menghadap para suhu dan melaporkan tentang Si Tangan Halilintar ini. Aku sendiri tidak mengenalnya, akan tetapi para suhu tentu mengenal ahli silat Siauw-lim tangan satu yang amat lihai ini.”
"Paman benar sekali. Saya akan menemani Paman pergi menghadap para suhu di Sungsan.”
"Sebelum kita berangkat ke sana, aku mau mengunjungi Suheng Lauw Han Hwesio ketua Thian-li-tang di Bukit Ayam, luar dusun ini. Dia juga murid Siauw-lim-pai, maka berhak pula mengetahui akan peristiwa yang menimpa Suheng Gui Liang sekeluarga.”
Dua orang itu lalu meninggalkan dusun menuju ke sebuah kuil yang cukup besar, yang terletak di lereng Bukit Ayam. Kuil itu cukup besar dan setiap hari ada saja orang datang sembahyang. Mereka datang dari berbagai dusun di sekitar bukit itu.
Lauw Han Hwesio, murid Siauw-lim-pai yang menjadi suheng dari Lu Kiat itu berusia lima puluh tahun, bertubuh tinggi kurus dengan mata bersinar lembut. Dia menyambut kedatangan Lu Kiat dan Lu Siong dengan gembira dan mereka bertiga lalu duduk di sebelah dalam kuil, bercakap-cakap. Akan tetapi ketika mendengar akan malapetaka yang menimpa Gui Liang dan anak isterinya, Lauw Han Hwesio terkejut bukan main.
"Omitohud... alangkah menyedihkan nasib sute Gui Liang sekeluarganya.”
"Suheng, aku sendiri telah bertanding melawan pembunuh itu dan ternyata dia adalah penjahat yang terkenal sekali belakangan ini, yaitu Si Tangan Halilintar dan sungguh mengejutkan sekali bahwa dia itu mahir ilmu-ilmu silat Siauw-lim-pai kita!”
"Hemmmm, mungkinkah itu? Mungkinkah dia murid Siauw-lim-pai?”
"Itulah yang harus kita selidiki, suheng. Kalau dia benar murid Siauw-lim-pai, hal itu sungguh amat mencemarkan nama baik perguruan kita. Aku dan Lu Siong akan pergi ke Sung-san untuk melapor kepada para suhu di Siauw-lim-si”
"Kalau begitu, tunggu sebentar, Sute. Pinceng (aku) harus ikut pula. Hal ini sudah menjadi kewajiban pinceng pula sebagai murid Siauw-lim-pai untuk menangkap murid Siauw-lim-pai yang lalim dan murtad.”
Mereka bertiga lalu berangkat, melakukan perjalanan menuju Sung-san di mana terdapat kuil Siauw-lim yang menjadi pusat dari perguruan Siauw-lim-pai. Akan tetapi baru mereka melakukan perjalanan setengah hari, di tengah perjalanan mereka bertemu dengan seorang pemuda. Mereka berpapasan jalan dan tiba-tiba pemuda itu berhenti, menghadang di depan mereka, memandang kepada Lauw Han Hwesio dan bertanya dengan suara lembut dan sikap sopan.
"Mohon maaf kalau saya mengganggu. Akan tetapi, apakah suhu ini seorang pendeta Siauw-lim-pai?”
Lauw Han Hwesio, Lu Kiat dan Lu Siong mengamati pemuda yang menghadang itu dengan penuh perhatian. Pemuda berusia sekitar dua puluh empat tahun, bertubuh tinggi tegap dan gagah, wajahnya juga tampan, dan sikapnya menunjukkan bahwa dia adalah seorang pemuda bersusila dan tahu aturan.
"Omitohud! Kalau pinceng seorang murid Siauw-lim-pai, apa hubungannya denganmu? Siapakah Sicu (saudara yang gagah)?”
"Suhu, nama saya Cun Song. Saya kemarin melewati Kota Ceng-jun dan mendengar akan pembunuhan yang terjadi pada sebuah keluarga piauw-su Gui. Saya sudah sering mendengar akan pemubunuhan-pembunuhan yang di lakukan Si Tangan Halilintar itu dan kebetulan sekarang saya bertemu seorang tokoh Siauw-lim... Eh, apakah benar suhu seorang hwesio Siauw-lim-pai?”
"Hemmm, memang benar, Cun Sicu. Apa yang hendak kau bicarakan tentang Si Tangan Halilintar?”
"Kalau suhu seorang tokoh Siauw-lim-pai berarti yang saya duga, sungguh kebetulan sekali. Saya sudah banyak mendengar tentang kegagahan para pendekar Siauw-lim-pai yang selalu menentang kejahatan. Karena itu, saya merasa yakin bahwa suhu juga tentu menentang kejahatan yang di lakukan Si Tangan Halilintar”
"Omitohud, tentu saja pinceng dan semua murid Siauw-lim-pai selalu siap untuk menentang kejahatan. Lalu apa maksud sicu menghadang perjalanan kami?”
"Suhu, saya mengetahui siapa adanya Si Tangan Halilintar itu!”
Tiga orang murid Siauw-lim-pai itu terkejut dan menatap wajah Cun Song penuh perhatian. "Omitohud, benarkah ucapan Cun Sicu ini? Siapakah dia?”
"Namanya Lauw Beng...!”
"Cun Sicu, engkau berhadapan dengan kami para murid Siauw-lim-pai. Pinceng adalah Lauw Han Hwesio ketua Kuil Thian-li-tang dan ini suteku Lu Kiat dan murid keponakanku Lu Siong. Kami memang sedang menyelidiki tentang Si Tangan Halilintar. Sekarang sicu menghadang kami dan mengatakan bahwa Si Tangan Halilintar bernama Lauw Beng. bagaimana kami dapat yakin bahwa keterangan sicu ini benar? Bagaimana sicu dapat mengetahui bahwa namanya Lauw Beng?”
"Begini, suhu. Terus terang saja saya belum pernah bertemu dengan Si Tangan Halilintar yang akhir-akhir ini merajalela melakukan banyak pembunuhan. Akan tetapi saya yakin bahwa dia adalah Lauw Beng. Dugaan saya ini tidak ngawur. Saya pernah tahu akan seorang pemuda yang menjadi murid dari pejuang yang kenamaan bernama Ma Giok”
"Ma Giok yang berjuluk Lam-liong (Naga Selatan) itu?” Lu Kiat bertanya. Tentu saja mereka bertiga tahu siapa Lam-liong Ma Giok karena tokoh itupun merupakan murid Siauw-lim-pai yang disegani, bukan saja karena kelihaiannya akan tetapi terutama akan kegigihannya menentang pemerintah penjajah Mancu.
"Benar, guru pemuda itu adalah Lam-liong. Akan tetapi pemuda itu adalah putera seorang pengkhianat bernama Lauw Heng San yang menjadi antek Mancu. Kemudian pemuda itu juga mengkhianati bangsa kita. Dia menjadi antek Mancu dan bergaul dengan puteri seorang pangeran Mancu, bahkan membantu puteri pangeran itu memusuhi para patriot Ciong-yang Ngo-taihiap sehingga membunuh orang pertama dan kedua dari Ciong-yang Ngo-taihiap, yaitu Song Kwan dan Song Kui berikut isteri mereka.
"Karena Lauw Beng itu berkhianat, maka para pendekar patriot menghukumnya dan membuntungi lengan kirinya. Akan tetapi dia memang lihai dan kejam. Nah, sekarang muncul Si Tangan Halilintar, julukan yang dulu menjadi julukan ayahnya, maka mudah saja di duga bahwa penjahat itu pastilah Lauw Beng yang sebutannya adalah Siauw Beng.”
"Omitohud, pinceng mengenal baik Lam-liong Ma Giok. Dia seorang pendekar dan patriot sejati. Bagaimana mempunyai seorang murid seperti itu?”
"Bukan hanya muridnya, Suhu akan tetapi Lauw Beng atau Siauw Beng itu malah anak angkatnya!” kata Cun Song.
"Ahhh!” Lu Kiat dan Lu Siong berseru kaget.
"Omitohud...! kalau begitu, Lam-liong Ma Giok harus bertanggung jawab! Sute, kalau begitu lebih baik langsung saja kita mencari Lam-liong. Dia harus bertanggung jawab terhadap perbuatan murid juga anak angkatnya itu!”
"Akan tetapi kemana kita harus mencarinya, suheng? Sudah bertahun-tahun kita tidak pernah mendengar nama Lam-liong di dunia kang-ouw. Kita tidak tahu dimana dia berada?" kata Lu Kiat.
"Saya tahu, lo-cian-pwe (orang tua gagah)!” kata Cun Song kepada Lu Kiat. "Dahulu Lam-liong Ma Giok tinggal di puncak Thai-san.”
"Hemmm, kalau begitu, sute. Biarlah pinceng yang pergi ke kuil Siauw-lim-si di Sung san untuk melaporkan hal ini kepada pimpinan Siauw-lim-pai, sedangkan Lu Sute dan Lu siong mencari Lam-liong Ma Giok di Thai-san”
"Baiklah, suheng. Kami pergi sekarang", kata Lu Kiat yang segera pergi bersama Lu Siong.
Lauw Han Hwesio ini memandang Cun Song. "Cun-sicu, kami bertiga amat berterima kasih atas semua keteranganmu yang sungguh amat menolong dan memudahkan penyelidikan kami. Akan tetapi agaknya engkau juga membenci Si Tangan Halilintar. Kalau boleh pinceng mengetahui, apakah yang menyebabkan sicu memusuhinya?”
"Suhu, sungguh tidak ada permusuhan pribadi antara saya dan Si Tangan Halilintar. Akan tetapi sejak kecil saya mendapat didikan menentang Kerajaan penjajah Mancu. Maka, melihat Si Tangan Halilintar adalah seorang yang menjadi antek Mancu, dan kini melakukan kejahatan membunuhi orang-orang tidak berdosa, tentu saja saya membencinya. Cuma saja, dengan kebodohan dan kelemahanku, bagaimanapun juga saya tidak berdaya untuk menentang apalagi menangkap atau membunuhnya”
"Hemm, bagaimanapun juga keteranganmu kepada kami tadi sudah merupakan bantuan yang besar sekali artinya”
"Sekarang saya mohon diri, Suhu. Saya hendak melanjutkan perjalanan saya. Kalau kelak saya dapat bertemu lagi dengan para pendekar yang mencari Si Tangan Halilintar dan kebetulan saya mengetahui dimana dia berada, saya pasti akan membantu mereka dan memberitahu”
Mereka saling memberi hormat dan berpisah. Lauw Han Hwesio melanjutkan perjalanannya menuju pegunungan Sungsan untuk menghadap para pimpinan Siauw-lim-pai.
Mayani melompat ke atas pohon raksasa itu. Gerakannya seperti seekor burung melayang naik. Ia hinggap di dahan depan pondok kecil yang di bangun di puncak pohon, merupakan sarang. Selama setahun ia dulu tiap malam tidur di dalam sarang ini, bersama Nenek Bu. Ia memasuki sarang itu akan tetapi nenek itu tidak berada di dalam pondok.
Akan tetapi masih ada tanda-tanda bahwa tempat itu masih didiami orang. Ia keluar dari pondok, berdiri di atas dahan yang paling tinggi dan memandang ke sekeliling. Akan tetapi hutan itu lebar sekali sehingga sukar untuk mencari orang dalam hutan itu. Pandangannya terhalang daun-daun pohon yang amat lebat.
"Ibuuuuu…." Ia berteriak sambil mengerahkan tenaga saktinya sehingga suaranya melengking dan mengandung getaran sehingga dapat terdengar sampai jauh. Karena tidak ada jawaban, ia memutar tubuh. Sekarang ia menghadap ke selatan dan berteriak memanggil lagi. "Ibuuuu...!”
Setelah gema teriakan itu mereda, terdengar teriakan lain. "Kui Sianggg….!”
Mayani menjadi girang sekali dan cepat tubuhnya melayang ke bawah pohon, lalu ia berlari menuju ke arah suara teriakan tadi. "Ibuuuu!”
Mereka saling lari menghampiri dan ketika bertemu mereka saling berangkulan. "Ibuuu....”
"Kui Siang, anak nakal, engkau baru pulang? Mana dia cucuku?”
"Ibu, cucumu Lauw Beng, sedang merantau. Marilah ibu ikut bersamaku dan kita bersama nanti mencari dan mengajak Lauw Beng pulang. Nasib Siauw Beng…..”
"Siauw Beng?” nenek itu bertanya heran.
"Ah, namanya Lauw Beng, Ibu, akan tetapi sudah biasa di sebut Siauw Beng (Beng kecil). Nasibnya buruk sekali, Ibu. Lengannya…. Lengan kirinya….. sebatas siku telah buntung….!” Bicara sampai di sini Mayani terisak menangis. Ia teringat betapa dibuntunginya lengan Siauw Beng adalah karena pemuda itu membelanya!
"Apa? Lengan kirinya buntung? Mengapa bisa buntung?”
Mendengar pertanyaan nenek itu yang di ajukan dengan kata-kata yang teratur, Mayani mengerti bahwa nenek itu kini telah tenang pikirannya, tidak kacau seperti dahulu. Diam-diam ia merasa girang dan menyusut air matanya. Nenek itu membelalakkan matanya dan ia mengangkat kedua tanganya keatas, membentuk cakar lalu ia mencengkram ke atas barang pohon besar.
"Krekkk!” Jari-jari kedua tangannya masuk ke dalam kayu pohon dan begitu ia menarik, batang pohon itu terobek sebagian. "Siapa yang membuntungi lengan cucuku? Siapa? Hayo katakan, siapa?”
Dengan gemas dan penuh kebencian Mayani berkata, "Dia seorang jahanam keparat yang jahat sekali, Ibu. Namanya Song Cun. Dia anak orang kedua dari Ciong-yang Ngo-taihiap, gerombolan pemberontak yang di pimpin Lam-liong Ma Giok. Mereka itu orang-orang yang amat kejam, ibu. Akan tetapi mereka itu pun kuat, terdiri dari orang-orang lihai.”
"Aku akan menghadapi mereka semua dan akan ku pecahkan kepalanya satu demi satu!” teriak Nenek Bu.
"Kita akan hadapi bersama, Ibu. Akan tetapi mari ibu ikut bersama aku ke Kota Raja dulu. Nanti perlahan-lahan kita cari dimana adanya cucumu Siauw Beng dan dimana pula musuh-musuh besar kita, terutama di jahanam busuk Song Cun!”
Tadinya Nenek Bu bersikap ragu-ragu, akan tetapi setelah di bujuk-bujuk Mayani, akhirnya ia menurut juga di ajak pergi Mayani keluar dari hutan lebat itu. Dengan pandai Mayani membujuknya, mengganti pakaiannya dengan pakaian yang pantas, menyisir dan merapikan rambutnya. Kini Nenek Bu menjadi seorang Nyonya berusia sekitar enam puluh dua tahun yang cukup pantas karena mengenakan pakaian yang memang telah disediakan dan dibawa Mayani ke hutan itu.
"Eh-eh, pakaian apa ini? Dan rambutku, mengapa engkau tata seperti ini. Aku akan kelihatan jelek dan lucu, kau anak nakal!” Nenek itu terkekeh.
"Mari, Ibu, Lihat bayanganmu di air. Ibu tampak cantik!”
Mayani membawa nenek itu ke tepi danau kecil yang terdapat di hutan itu dan ketika Nenek Bu melihat bayangannya di air, ia tertawa. "He-he-he, aku seperti nyonya bangsawan!”
"Aih, bagaimana sih ibu ini? Ibu memang seorang bangsawan, apa ibu telah lupa?”
"He-he-he, ya… aku seorang nyonya bangsawan… he-he-he!”
Mayani merasa senang. Gurunya ini memang masih agak aneh kelakuannya, namun sudah tidak ngaco lagi, tidak tampak gila dan kata-katanya sudah mulai teratur. ia merasa yakin bahwa kalau Nenek Bu tinggal di rumahnya, wanita tua itu akan dapat pulih kembali ingatannya. Ayah ibunya tentu akan menerima dengan senang.
Bukan hanya karena wanita itu telah menjadi gurunya dan telah menyelamatkannya dari tangan para pendekar yang hendak membunuhnya, akan tetapi karena Nenek Bu adalah isteri dari Mendiang Pangeran Abagan. Masih ada hubungan keluarga antara mendiang Pangeran Abagan dan ayahnya Pangeran Gunam.
Dalam perjalanan ini, Nenek Bu tampak gembira sekali. Hal ini dapat dimaklumi karena semenjak ia menjadi murid nenek gila Pek Sim Kuibo yang amat sakti, ia terus mengasingkan diri dan tinggal di dalam hutan selama dua puluh tahun lebih dan hanya kadang-kadang saja ia keluar hutan. Itu pun tidak lama karena ia merasa betapa dunia di luar hutannya aneh dan asing, membuat ia merasa ngeri dan ia selalu kembali ke dalam hutannya.
Kini, melakukan perjalanan bersama Mayani yang ia anggap sebagai Bu Kui Siang, puterinya, ia merasa gembira dan tidak merasa aneh atau asing. bahkan perlahan-lahan ingatannya mulai terang kembali dan sedikit demi sedikit ia kembali normal walaupun ia masih kukuh menganggap Mayani sebagai Bu Kui Siang, puterinya.
Dalam perjalanan menuju ke Kota Raja, Mayani mendengar berita menggegerkan tentang sepak terjang Si Tangan Halilintar yang amat jahat dan kejam. Tentu saja ia tidak percaya akan berita itu. Seorang penjahat muda yang bertangan satu, lengan kirinya buntung sebatas siku, membunuh banyak orang yang tak berdosa dan memperkosa wanita, berjuluk Si Tangan Halilintar! Tanda-tanda dan nama julukan itu menunjukkan bahwa penjahat itu adalah Lauw Beng! Tidak mungkin!
"Paman, benarkah berita yang kau ceritakan itu?” Mayani bertanya kepada pelayan rumah penginapan yang mengabarkan tentang Si Tangan Halilintar itu.
"Tentu saja benar, nona. Nona dapat bertanya kepada seluruh penduduk kota ini atau daerah lain, mereka semua tentu sudah mendengar akan berita itu. Si Tangan Halilintar penyebar maut itu amat tersohor dan semua orang merasa ngeri dan ketakutan kalau mendengar namanya.
"Bahkan belum lama ini, di kota Teng-cun, penjahat kejam itu telah membunuh seorang piauw-su murid Siauw-lim-pai bernama Gui Liang, juga membunuh isterinya dan memperkosa lalu membunuh anak gadisnya. Kejam sekali dia, mudah-mudahan saja dia tidak akan datang ke kota kami ini.”
Nenek Bu sejak tadi mendengarkan percakapan itu. Biarpun biasanya ia bersikap tidak acuh terhadap hal-hal yang tidak mengenai dirinya, dan merasa gembira melihat segala sesuatu dalam kota seolah baru kembali ke kampung halaman setelah bertahun-tahun kehilangan itu semua, namun mendengar pelayan itu menyebut-nyebut Si Tangan Halilintar ia mulai memperhatikan.
"Hei, bukankah Si Tangan Halilintar itu cucuku Siauw Beng?”
Pelayan rumah penginapan itu terkejut, memandang terbelalak kepada Nyonya Bu dan Mayani juga terkejut lalu menggandeng tangannya dan menariknya untuk masuk kamar. "Ibu, mari kita masuk kamar dan mengaso.”
Pelayan itu segera pergi tergesa-gesa dan tampak ketakutan. Nyonya tua itu memang sudah tampak aneh dan tidak wajar, tidak banyak bicara hanya terkadang senyum-senyum sendiri, memandangi segala benda dengan sikap kagum dan terheran-heran. Kini sekali membuka mulut, mengatakan bahwa Si Tangan Halilintar adalah cucunya!
Siapa tidak merasa ngeri dan takut? Akan tetapi di samping perasaan ngeri, ada juga perasaan bangga. Maka dia segera berpamer diluaran, mengatakan dengan bangga bahwa rumah penginapannya dimana dia bekerja, kedatangan tamu agung, yaitu nenek dari Si Tangan Halilintar yang tersohor dan dia sendiri sudah melayani tamu agung itu!
Sementara itu Mayani menutupkan daun pintu dan duduk di tepi pembaringan dimana Nenek Bu sudah merebahkan diri. "Ibu, yang diceritakan oleh pelayan tadi bukan cucumu Siauw Beng.”
"Akan tetapi, bukankah Si Tangan Halilintar itu julukan Siauw Beng seperti yang kau ceritakan padaku?”
"Memang benar, Ibu. Dulu Siauw Beng menggunakan julukan Si Tangan Halilintar. Akan tetapi dia sama sekali bukan orang jahat dan tidak pernah berbuat jahat membunuh orang-orang yang tidak berdosa, apalagi memperkosa wanita. Tidak, aku tidak percaya Siauw Beng yang melakukan itu semua!”
"Oh-oh, aku jadi bingung, Kui Siang. Kalau bukan Siauw Beng lalu siapa lagi yang berjuluk Si Tangan Halilintar?”
"Ini yang perlu kita selidiki, Ibu. Siauw Beng tidak mungkin melakukan semua kejahatan itu. Aku yakin benar. Maka tentu ada orang lain yang menggunakan nama julukan Si Tangan Halilintar yang melakukan semua kejahatan itu, mungkin sekali dia sengaja memakai nama julukan itu untuk mencemarkan nama Siauw Beng. Dengan tersohornya nama Si Tangan Halilintar yang jahat, tentu Siauw Beng akan di musuhi banyak orang. Ini jelas fitnah dan kita harus menyelidiki hal ini untuk menolong Siauw Beng!”
"Tapi orang tadi menceritakan bahwa pembunuh itupun buntung lengan kirinya.”
"Ya, itulah yang aneh. Mungkin orang-orang yang memusuhi Siauw Beng sengaja menggunakan seorang yang buntung lengan kirinya untuk memalsukan nama Si Tangan Halilintar, tentu saja dengan maksud agar Siauw Beng di tuduh melakukan itu semua dan dimusuhi banyak orang.
"Bahkan menurut orang tadi, si penjahat itu telah membunuh suami isteri murid Siauw-lim-pai dan memperkosa lalu membunuh anaknya. Jelas perbuatan ini akan membuat perguruan Siauw-lim marah sekali dan mereka tentu akan mencari Si Tangan Halilintar untuk menuntut balas. Ah, kasihan Siauw Beng, tentu ia akan di musuhi banyak pihak dan terancam bahaya!”
Nenek itu bangkit duduk. "Kui Siang, ini adalah tugasmu sebagai seorang ibu! Engkau harus menyelamatkan anakmu!”
"Tentu saja, Ibu. Akan tetapi juga tugas ibu sebagai neneknya! Kita berdua akan membuktikan bahwa Siauw Beng bukan pelaku kejahatan itu. Aku yakin bahwa penjahat itu adalah Si Tangan Halilintar palsu dan kita harus dapat menangkapnya, Ibu!”
"Ho-ho, aku akan tangkap dia dan membuntungi lagi lengannya yang tinggal satu!”
Karena adanya berita yang menggelisahkan tentang Si Tangan Halilintar, apalagi adanya jawaban yang meyakinkan dari semua orang yang di tanyai Mayani bahwa berita itu memang benar, Mayani menunda kembalinya ke kota raja dan bersama nenek Bu ia berputar haluan, hendak melacak dan mencari Si Tangan Halilintar yang menyebar maut itu.
Mereka hanya menginap semalam di kota itu dan pada keesokan harinya ia mengajak Nenek Bu untuk melanjutkan perjalan ke Kota Teng-cun dimana Si Tangan Halilintar muncul seperti yang diceritakan pelayan rumah penginapan itu. Pagi-pagi mereka meninggalkan kota itu menuju ke kota Teng-cun yang jaraknya ada seratus li (mil) dari kota yang baru mereka tinggalkan.
Akan tetapi baru saja mereka berjalan sejauh belasan li, tiba-tiba mereka mendengar suara orang berlari dari belakang mereka. Mayani dan Nenek Bu berhenti melangkah dan dua orang sudah tiba di depan mereka. Mayani tidak mengenal dua orang laki-laki itu, yang seorang setengah tua berusia empat puluhan tahun, sedangkan yang muda berusia sekitar duapuluh tiga tahun. Mereka ini bukan lain adalah Lu Kiat dan keponakannya, Lu Siong.
Seperti kita ketahui, paman dan keponakan ini sedang melakukan perjalanan menuju ke Thai-san untuk mencari Lam-liong Ma Giok dan melaporkan tentang kejahatan Si Tangan Halilintar, murid atau juga anak angkat Naga selatan itu. Malam tadi mereka bermalam di kota yang sama dengan yang diinapi Mayani. Pagi tadi mereka mendengar kabar yang di sebar pelayan rumah penginapan bahwa di rumah penginapannya ada tamu agung, yaitu nenek dari Si Tangan Halilintar.
Mendengar ini tentu saja Lu Kiat dan Lu Siong menjadi kaget dan mereka cepat mengunjungi rumah penginapan itu. Akan tetapi di sana mereka mendengar bahwa pagi tadi nenek itu telah meninggalkan rumah penginapan. Mendengar ini, Lu Kiat dan Lu Siong cepat melakukan pengejaran. Mereka bertanya-tanya dan mudah mendapat keterangan bahwa nenek dan gadis muda itu keluar dari pintu gerbang barat.
Keterangan ini mudah di dapat karena orang tidak melupakan Mayani yang cantik jelita kalau melihat ia lewat. Segera dua orang murid Siauw-lim-pai itu melakukan pengejaran dan di tempat sunyi itu mereka berhasil menyusul dan kini mereka berdua sudah saling berhadapan dengan Nenek Bu dan Mayani.
"Tunggu dulu, kami ingin bicara!” Lu Kiat berkata dengan suara keren karena hatinya sudah panas mendengar bahwa nenek ini adalah nenek Si Tangan Halilintar yang amat jahat dan kejam.
Nenek Bu memandang dengan mulut tersenyum mengejek. Mayani yang menjawab sambil menantap wajah Lu Kiat penuh selidik. "Kami tidak mengenal kalian dan sungguh tidak sopan laki-laki menegur perempuan yang tidak dikenalnya di tengah jalan!”
Mendengar ucapan itu, wajah lu Kiat menjadi kemerahan. Dia adalah seorang pendekar Siauw-lim-pai dan biasanya selalu menggunakan peraturan tata susila. "Maaf, Nona. Terpaksa kami melakukan pengejaran dan ingin bertanya apakah benar nenek ini adalah nenek dari Si Tangan Halilintar Lauw Beng?” Sambil berkata begini, Lu Kiat menatap tajam wajah nenek Bu yang masih tersenyum-senyum.
"He-he! Tentu saja aku nenek dari Lauw Beng Si Tangan Halilintar! Mau apa engkau bertanya-tanya?” jawaban ini ketus akan tetapi mulut itu tersenyum lebar.
Lu Kiat mengamati nenek itu, dari sanggul rambutnya sampai dandanannya, lalu berkata ragu. "Nyonya... Nyonya seorang berbangsa Mancu….?”
"He-he, tentu saja, apa engkau tidak melihat? Aku ini Nyonya Pangeran!”
Lu Kiat saling pandang dengan keponakannya, Lu Siong. "Kalau begitu, Si Tangan Halilintar Lauw Beng adalah cucu pangeran mancu?”
Kini Mayani tidak sabar lagi. "Hei, kalian ini siapakah dan apa maksudmu menanyai orang seperti hakim saja? Kalau Lauw Beng seorang cucu pangeran mancu, kalian mau apa? Aku adalah seorang gadis Mancu, ayahku seorang pangeran. Nah, kau mau apa?”
Dua orang paman dan keponakan she Lu yang amat mendendam kepada Si Tangan Halilintar, mendengar bahwa penjahat itu cucu seorang pangeran, sekarang mengerti mengapa penjahat itu membunuhi penduduk pribumi. Kebencian dan sakit hati mereka kepada Si Tangan Halilintar manjadi-jadi setelah mendengar bahwa pembunuh keluarga Gui itu cucu pangeran mancu. Otomatis merekapun membenci dua orang wanita ini, seorang nenek yang mengaku isteri pengeran Mancu, dan seorang gadis yang mengaku anak seorang pengeran mancu pula.
"Kalian harus kami tangkap dan kami jadikan sandera sampai Lauw Beng Si Tangan Halilintar menyerahkan diri kepada Siauw-lim-pai!” bentak Lu Kiat.
"Kalian mau menangkap kami?” Mayani berkata mengejek. "Bagaimana tikus-tikus macam kalian akan dapat menangkap kami?”
"Ho-ho, kalian ini dua orang budak dari mana, siapa namamu, begitu kurang ajar dan berani kepada kami, nyonya-nyonya majikanmu?” Nenek Bu juga membentak, akan tetapi sambil tertawa-tawa.
Lu Kiat tidak memperdulikan Nenek yang bicaranya tidak normal itu, akan tetapi dia segan juga terhadap Mayani, seorang gadis yang cantik dan berwibawa. Dia merasa keterlaluan kalau ingin menangkap dua orang wanita tanpa memperkenalkan diri dan memberitahu alasannya.
"Ketahuilah, aku bernama Lu Kiat dan ini adalah keponakanku Lu Siong. Kami adalah murid-murid Siauw-lim-pai. Suhengku, Gui Liang dan anak isterinya telah di bunuh oleh Lauw Beng Si Tangan Halilintar. Sebagai murid-murid Siauw-lim-pai tentu saja kami tidak menerimanya begitu saja. Mengingat bahwa kalian adalah keluarga keluarga Lauw Beng Si Tangan Halilintar, maka kami terpaksa harus menangkap kalian dan menjadikan sandera sampai Lauw Beng menyerahkan diri kepada Siauw-lim-pai!”
"Hemmm, orang she Lui! Bicaramu ngawur dan engkau menuduh tanpa bukti. Apa buktinya bahwa penjahat yang membunuh banyak orang itu adalah lauw Beng?” Tanya Mayani.
"Aku sendiri berada di rumah itu ketika pembunuhan terjadi. Aku menjadi saksi, bahwa aku telah berkelahi melawan penjahat berlengan kiri buntung itu dan dia mengaku Si Tangan Halilintar. Masih kurang jelas bagaimana?”
Mayani mengerutkan alisnya. "Hemmm, itu masih belum jelas. Coba gambarkan bagaimana bentuk wajah dan badannya, juga cirri-ciri yang lain agar kami dapat menentukan apakah kalian hanya menfitnah saja ataukah keterangan kalian itu benar-benar!”
"Malam itu gelap, aku tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas, akan tetapi dia jelas seorang laki-laki yang masih muda dan tubuhnya tegap. Cirinya yang jelas bahwa lengan kirinya buntung. Sudah jelas bahwa dia itu Lauw Beng Si Tangan Halilintar, tak perlu di sangsikan lagi. Karena kalian masih keluarganya, apalagi nyonya ini neneknya, maka kami harus menangkap kalian untuk dijadikan sandera sampai dia menyerahkan diri.”
"Hemm, keteranganmu itu belum merupakan bukti yang sah, engkau bukan saksi yang sudah pasti memberi keterangan benar. Bagaimana juga, harus di akui bahwa setiap orang dapat menyamar sebagai Lauw Beng. Mudah saja melakukan pembunuhan lalu mengaku sebagai Si Tangan Halilintar, bukan? Engkaupun dapat melakukannya karena keadaan gelap dan orang tidak dapat membedakan wajah!”
"Tidak mungkin orang lain! Jelas bahwa lengan kirinya buntung. Jelas dia adalah Lauw Beng yang berjuluk Si Tangan Halilintar. Memang sejak dulu dia itu telah mengkhianati bangsanya, menjadi antek pemerintah penjajah sehingga lengan kirinya dibuntungi para pendekar.”
"Omong kosong! Siapa yang menceritakan itu semua kepadamu?”
"Tak perlu engkau tahu, aku percaya bahwa kenyataannya memang begitu! Kabarnya ia bergaul akrab dengan seorang puteri Mancu. Semuanya sudah jelas, dia antek penjajah membunuhi bangsa sendiri, orang-orang pribumi yang tidak berdosa.”
"Engkau manusia tolol, tidak mampu membedakan mana kabar yang benar dan yang salah, merupakan fitnah. Akulah puteri Mancu yang menjadi sahabat baik Lauw Beng dan aku menjadi saksi bahwa dia bukan orang jahat! Kalian inilah dan semua orang yang mengaku sebagai pendekar dan patriot, yang berpemandangan sempit dan pada dasarnya berhati jahat!”
"Bagus, kiranya engkau puteri sahabat baik Si Tangan Halilintar Lauw Beng? Kalian berdua akan kami tangkap dan kami bawa ke Thai-san.”
"Mau apa di bawa ke Thai-san?” Tanya Mayani heran.
"Akan kami hadapkan kepada Lam-liong Ma Giok, guru dan ayah angkat si jahat Lauw Beng sebagai bukti akan pengkhianatan dan kejahatan Lauw Beng!”
"Anakku, mengapa melayani si cerewet ini bercakap-cakap? Biar ku hancurkan kepala mereka!” kata Nenek Bu.
Mayani khawatir kalau Nenek Bu benar-benar hendak membunuh orang. Kalau hal itu terjadi, maka akan semakin buruklah nama Lauw Beng yang telah diaku sebagai cucu nenek itu. "Ibu, harap jangan bunuh orang. Mereka ini ku kira bukan jahat, melainkan tolol dan cukup diberi hajaran saja agar sembuh dari kebodohan mereka.”
Mendengar ucapan dua orang wanita itu, Lu Kiat dan Lu Siong marah sekali. Mereka adalah pendekar-pendekar Siuw-lim-pai yang lihai. Kini dijadikan bahan ejekan seorang nenek dan seorang gadis muda! "Lu Siong, kau tangkap gadis itu, biar aku tangkap si nenek bawel!” kata Lu Kiat dan dua orang itu lalu dengan sigap dan cepat maju menjulurkan tangan hendak menangkap pergelangan tangan dua orang wanita itu.
Nenek Bu mengeluarkan suara terkekeh dan Mayani menggerakkan tangan menangkis seperti yang di lakukan Nenek Bu sambil terkekeh itu.
"Dukkk! Dukk...!!”
Tubuh dua orang murid Siauw-lim itu terjengkang dan terlempar sampai beberapa meter ke belakang! Mereka terkejut bukan main dan baru menyadari bahwa dua orang wanita Mancu itu bukanlah orang lemah. Tangkisan mereka tadi mengandung tenaga sin-kang yang kuat sehingga mereka berdua tadi tidak menggunakan sin-kang, maka mereka tidak merasa gentar, melainkan penasaran dan marah.
"Bagus, kiranya kalian memiliki sedikit kepandaian dan hendak melakukan perlawanan? Lebih baik bagi kami karena tidak akan dikatakan menyerang dua orang wanita lemah. Lu Siong, jatuhkan gadis itu, akan tetapi jangan bunuh, agar dapat kita tangkap!” kata Lu Kiat dan dia sendiri maju menerjang nenek yang berdiri sambil tersenyum geli itu.
Akan tetapi dengan gerakan aneh namun lincah, tubuh nenek itu menggeliat dan serangan Lu Kiat itu hanya mengenai angin kosong! Lu Kiat merasa penasaran dan melanjutkan dengan serangan sambung menyambung secara bertubi-tubi, namun kesemuanya itu dapat dihindarkan Nenek Bu dengan amat mudahnya, mengelak dan menangkis.
Lu Siong juga sudah menyerang Mayani. Dia seorang pemuda yang sopan, maka ketika menyerang dia menjaga agar jangan menyerang bagian yang tidak pantas. Dia mencengkram kearah pundak gadis itu dengan maksud kalau sudah dapat mencengkram, membuat gadis itu tidak berdaya dan menelikungnya. Akan tetapi dia kecelik karena hanya dengan merendahkan pundaknya, Mayani sudah dapat menghindarkan diri dengan amat mudahnya.
Tingkat kepandaian silat Siauw-lim yang dikuasai Lu Kiat sudah cukup tinggi dan tingkat kepandaian Lu Siong bahkan lebih tinggi lagi. Namun kini mereka menghadapi dua orang lawan yang memiliki ilmu silat yang aneh....