Si Tangan Halilintar Jilid 21

Cerita silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Si Tangan Halilintar Jilid 21
Sonny Ogawa

Si Tangan Halilintar Jilid 21 karya Kho Ping Hoo - Mereka berdua merasa bingung akan tetapi juga penasaran karena merasa dipermainkan. Dua orang wanita itu membuat gerakan yang aneh sekali, terkadang berloncatan seperti anak kecil menari-nari. Terkadang bertepuk tangan dan berputar-putar, lalu jongkok berdiri dengan lucu dan aneh. Bahkan seolah sengaja membelakangi lawan seperti menantang lawan untuk seperti menantang lawan tubuh mereka!

Novel silat Mandarin Si Tangan Halilintar karya Kho Ping Hoo

Merasa dipermainkan seperti anak kecil, Lu Kiat dan Lu Siong marah sekali dan mereka mengeluarkan seluruh jurus-jurus terampuh mereka dan mengerahkan semua tenaga sakti. Namun tetap saja semua serangan mereka tidak pernah menyentuh tubuh lawan dan setelah lawan membalas, mereka menjadi terdesak hebat.

"Cukup main-main ini. ibu!” terdengar Mayani berseru.

"Nenek Bu terkejut nendang miring. "Bukkk!” Lu Kiat tidak mampu menghindar, terpaksa menangkis dan ketika tangkisannya bertemu dengan kaki menendang, tubuhnya terlempar dan terbanting sampai terguling-guling.

"Pergilah!” Mayani membentak dan tangan kirinya berhasil mendorong pundak Lu Siong sehingga terjungkal lalu bergulingan.

Paman dan keponakan itu terluka, dan mereka berdua menjadi penasaran dan marah sekali. Dua orang wanita itu adalah keluarga Lauw Beng Si Tangan Halilintar, musuh besar mereka yang hendak ditangkap atau dirobohkan.

"Sraattt! Singgg!”

Tampak dua sinar berkelebat ketika Lu Kiat dan Lu Siong mencabut pedang mereka. Akan tetapi mereka adalah orang-orang gagah yang merasa diri mereka pendekar Siauw-lim, maka tentu saja mereka memegang peraturan para pendekar dan tidak menyerang lawan dengan senjata tanpa memberi kesempatan mengeluarkan senjatanya atau tanpa memberi peringatan.

"Keluarkan senjata kalian!” kata Lu Kiat kepada mereka sambil memandang dengan sinar mata menantang. Juga Lu Siong menahan senjatanya, tidak langsung menyerang melainkan menunggu lawan untuk mengeluarkan senjatanya.

Akan tetapi kedua orang wanita itu saling pandang sambil tersenyum dan mereka mengangguk karena saling pandang saja mereka sudah tahu akan isi hati masing-masing.

"Kami tidak takut menghadapi pisau mainan kanak-kanak itu. Kalau kalian hendak menggunakan pisau itu, maju dan lakukanlah, kami tidak biasa menggunakan senjata menghadapi lawan yang bodoh seperti kalian!” kata Mayani dan ucapan itu diikuti suara tawa nenek Bu.

Tentu saja kedua orang wanita itu tidak sekedar membual atau menyombongkan diri. Adanya mereka berdua berani menantang Lu Kiat dan Lu Siong dengan tangan kosong itu karena mereka berdua yakin dari pertandingan tadi bahwa dua orang murid Siauw-lim-pai itu bukan merupakan lawan yang terlalu berat baginya, mereka yakin bahwa dengan tangan kosongpun mereka akan mampu mengalahkan dua orang lawan yang bersenjata pedang.

Lu Kiat mengerutkan alisnya. "Kami bukan laki-laki curang tidak biasa menyerang lawan yang bertangan kosong dengan menggunakan senjata. Hayo keluarkan senjata kalian!” katanya.

"Dengar" kata Mayani. "Kami tidak menganggap kalian curang, melainkan bodoh! Bukan kalian yang menyerang kami yang tidak bersenjata, melainkan kami yang menyerang kalian dengan pedang kalian! Hayo jangan banyak cakap, kalau memang kalian berani, seranglah kami!”

Dua orang murid Siauw-lim-pai itu tentu saja menjadi semakin penasaran. Mereka saling pandang dan Lu Kiat mengangguk kepada keponakannya, tanda berdua menyerang lawan dengan pedang. Mereka lalu mengelebatkan pedang mereka.

"Sambut pedangku!” Lu Kiat membentak sambil menyerang dengan pedangnya, menusuk kearah dada dengan gerakan yang kuat dan amat cepat. Pedangnya meluncur seperti anak panah menuju kearah dada nenek itu.

"Syyuuuttt…!” Pedang di tangan Lu Kiat meluncur cepat kearah dada nenek itu dan Nenek Bu hanya tersenyum saja seolah tidak tahu kalau dadanya terancam pedang yang siap menembus dada dan jantungnya.

Melihat nenek itu sama sekali tidak mengelak atau menangkis, Lu Kiat yang berjiwa gagah itu menjadi ragu sehingga tusukannya menjadi lambat. Akan tetapi ketika ujung pedang hanya tinggal beberapa senti lagi, tiba-tiba dari bawah menyambar tangan kiri Nenek Bu dan tahu-tahu pedang telah di cengkramnya dan sekali tarik, pegelangan Lu Kiat ke atas, ke dekat mulut. Nenek Bu membuka mulutnya, menggigit pedang itu.

"Kreekkk-krekkk-krekkk…!” Pedang itu patah-patah terkena gigitan nenek itu dan beberapa potong kecil berada di mulut Nenek Bu. Lu Kiat terkejut bukan main dan dia cepat melompat ke belakang, memegang pedangnya yang tinggal sepotong.

Pada saat itu, Nenek Bu meniup dengan mulutnya dan tiga potongan pedang meluncur seperti peluru ke arah tubuh Lu Kiat. Tokoh Siauw-lim-pai ini terkejut dan cepat memutar pedang buntungnya menangkis. Potongan-potongan pedang itu terpukul runtuh dah terkejut bukan main sehingga wajahnya menjadi pucat dan keringat dingin membasahi dahi dan lehernya.

"Lihat seranganku!” Lu Siong juga membentak dan pemuda ini menggerakkan pedangnya. Serangan pemuda ini bahkan lebih cepat dan lebih kuat dibandingkan serangan pamannya.

"Sing…!” Pedang di tangan Lu Siong membacok kearah leher Mayani, namun gadis inipun tidak mengelak dan setelah pedang mendekati kearah leher Mayani, kedua tangannya dari kanan kiri mencengkram pedang ini.

"Kreekk-krekk-krekkk…!” Pedang itu patah-patah dalam cengkraman kedua tangan seolah-olah terbuat dari papan tipis yang rapuh saja.

Lu Siong terbelalak dan wajahnya juga pucat. Dia melompat ke belakang, ke dekat pamannya dan mereka berdua memandang kearah pedang di tangan mereka yang tinggal sepotong pendek. Pedang mereka bukanlah pedang biasa, melainkan pedang yang terbuat dari baja yang kuat. Namun dua orang wanita itu dengan tangan kosong menyambut pedang dan mencengkramnya sehingga pedang patah-patah.

Lebih mengerikan lagi ulah nenek itu yang menggunakan giginya untuk menggigit patah-patah pedang Lu Kiat. Sebagai pendekar Siauw-lim, paman dan keponakan yang sudah tahu benar bahwa telah beberapa kali menghela napas panjang, Lu Kiat berkata dengan gagah.

"Kami mengaku kalah. Kalian boleh membunuh kami karena bagaimanapun juga, kami tetap akan mencari Tangan Halilintar dan membunuhnya bersama semua orang Siauw-lim-pai!”

“He-he-he, Kui Siang, apakah orang ini sudah gila? Dia minta dibunuh! Kalau begitu, bunuh saja mereka!”

"Tidak, Ibu. Kita tidak boleh membunuh mereka. Mereka ini memang gila, jangan dengarkan permintaan mereka yang bukan-bukan. He, orang she Lu, kalau kalian memang orang-orang gagah, pendekar-pendekar sejati yang adil bijaksana dan tidak sembrono, mari kita berlomba. Kalian carilah bukti nyata bahwa pembunuh jahat yang menggunakan nama Si Tangan Halilintar itu memang benar Lauw Beng, dan kami akan mencari bukti bahwa penjahat itu bukan dia melainkan orang lain yang hendak melakukan fitnah kepada Lauw Beng." Kemudian wanita itu lalu meninggalkan mereka yang masih berdiri dengan tertegun di tempat itu.

"Paman, mereka itu lihai bukan main! Ilmu silat mereka aneh dan memiliki tenaga sakti yang amat kuat. Sungguh heran, belum pernah aku melihat ilmu silat seperti kacau balau dan aneh namun tangguh bukan main. Paman kira dari aliran manakah ilmu silat mereka itu?”

Lu Kiat menghela napas dan menggeleng kepala. "Aku sendiri tidak yakin karena belum pernah melihat ilmu silat seperti itu. Akan tetapi aku pernah mendengar dari mendiang Thian Hok Losuhu bahwa di dunia persilatan terdapat banyak ilmu silat aneh, diantaranya terdapat ilmu-ilmu sesat yang amat sakti akan tetapi kalau di latih membuat orangnya menjadi seperti gila.

"Melihat keadaan dua orang wanita tadi, terutama nenek yang seperti miring otaknya itu, aku menduga bahwa mereka telah menguasai apa yang disebut Yauw-hu Sin-kun (Silat Sakti Siluman) yang kabarnya merupakan ilmu silat gabungan dengan sihir sehingga yang melatihnya dapat menjadi orang aneh”

"Dan mereka adalah keluarga atau orang-orang yang dekat dengan si jahanam Lauw Beng Si Tangan Halilintar. Sungguh berbahaya sekali keluarga itu. Akan tetapi mengapa mereka tidak mau membunuh kita, bahkan melukai, melihat kesaktian mereka, tentu dengan mudah mereka akan dapat membunuh atau melukai kita, paman?”

Lu Kiat menggeleng-gelengkan kepala. "Memang aneh sekali mereka itu. Melihat sikap mereka, apalagi ucapan nenek itu, mereka adalah orang-orang yang liar, akan tetapi nyatanya mereka tidak mau membuktikan bahwa mereka berdua bukanlah orang jahat, Lu Siong”

"Akan tetapi, si tangan Halilintar yang kejam itu, adalah cucu si nenek dan sahabat baik Puteri Mancu tadi!”

"Inilah yang membuat aku berpikir, Lu Siong. Seorang yang begitu kejam dan jahat tidak mungkin mempunyai keluarga yang demikian baik hati dan pemaaf, bukan? Dan dua orang wanita sakti yang memaafkan merupakan angggota keluarga begitu jahat seperti si tangan halilintar, bukan?”

"Mengaku? Maksud paman?”

"Ya, kurasa ada benarnya kata-kata Puteri Mancu yang jelita tadi. Siapa saja dapat mengaku bahwa dia Si Tangan Halilintar. pembunuh dan pemerkosa itu bahkan aku yang sudah bertanding melawannya."

"Ah, apakah paman bermaksud menghentikan usaha kita untuk melaporkan kepada Lam-liong Ma Giok tentang anak angkatnya yang jahat itu? Apakah kematian paman tidak perlu di balas?”

"Bukan begitu, Lu Siong. Ku rasa tantangan puteri Mancu tadi ada benarnya. Mari kita sambut tantangannya tadi. Kita cari bukti bahwa penjahat pembunuh yang mengaku berjuluk Si Tangan Halilintar itu betul Lauw Beng adanya. Sementara ini dalam laporan kita nanti kepada Lam-liong Ma Giok, kita hanya melapor bahwa ada penjahat berlengan kiri buntung yang mengaku berjuluk Si Tangan Halilintar dan pandai bersilat aliran Siauw-lim-pai. Kita tidak perlu mengatakan dengan pasti tentang Lauw Beng, anak angkat Lam-liong”

"Akan tetapi…..”

"Diapun hanya mengira-ngira saja, Lu Siong. Semua itu belum merupakan bukti nyata, tepat seperti yang dikatakan puteri Mancu tadi. Bukan tidak mungkin ada seorang yang juga buntung lengan kirinya dan lihai sekali, melakukan semua kejahatan itu dengan menggunakan nama julukan Si Tangan Halilintar untuk menjatuhkan fitnah kepada Lauw Beng itu. Tentu saja bukan mustahil bahwa penjahat itu benar-benar Lauw Beng.

"Bagaimana pun juga, kita perlu melaporkan kepada Lam-liong Ma Giok karena ini merupakan kewajibannya untuk menghukum kalau benar anak angkatnya itu yang menjadi penjahat dan untuk membersihkan nama anak angkatnya kalau memang Lauw Beng tidak melakukan kejahatan itu. Bagaimanapun juga, Lu Siong, kita adalah orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran dan keadilan, dan selalu menentang kejahatan. Engkau tidak ingin kalau kita melakukan balas dendam kematian suheng secara membuta, bukan?

"Tentu saja tidak, Paman! Setelah ku pertimbangkan, pendapat Paman itu benar sekali. Baiklah, Paman, mari kita melanjutkan perjalanan dan selain melapor kepada Lam-liong Ma Giok, kita menyelidiki siapa sebenarnya pelaku kejahatan itu, siapa yang menggunakan julukan Si Tangan Halilintar itu, Lauw Beng ataukah orang lain.”

Paman dan keponakan itu lalu melanjutkan perjalanan mereka menuju Thai-san.


Di lereng dekat puncak pegunungan Liong-san terdapat sebuah perkampungan para petani. Jumlah penduduk dusun itu tidak banyak, hanya sekitar lima puluh kepala keluarga. Diantara rumah-rumah di dusun dekat puncak ini terdapat sebuah rumah besar, paling besar di antara rumah-rumah di situ. Inilah rumah Lee Bun Si Muka Tengkorak, orang yang termuda dari Ciong-yang Ngo-taihiap yang berusia sekitar lima puluh dua tahun. Akan tetapi dia tidak pernah menikah dan hidup sebagai seorang pertapa di dusun dekat puncak itu.

Seperti kita ketahui, orang pertama dan kedua dari Ciong-yang Ngo-taihiap (Lima Pendekar Besar Ciong-yang) telah tewas bersama isteri mereka di Souw-ciu diserbu pasukan. Tiga orang anggota Ciong-yang Ngo-taihiap yang lain, yaitu orang ketiga Ciang Hok Sen berusia lima puluh tujuh tahun juga tidak berkeluarga, dan orang ke empat Bhe Kam berusia lima puluh lima tahun bersama isterinya dan puterinya Bhe Siu Cen berusia dua puluh tahun.

Dan orang kelima Lee Bun, dapat lolos dari sergapan pasukan pemerintah. Mereka semua lalu melarikan diri ke Liong-san dan kini tinggal bersama di rumah Si Muka Tengkorak Lee Bun. Mereka pergi dan bersembunyi di tempat ini karena mereka menjadi orang buruan pemerintah. Bersama mereka ikut pula Song Cin, pemuda berusia dua puluh dua tahun putera mendiang Kiam-sian Song-kui.

Seperti kita ketahui, Bhe Siu Cen yang berusia dua puluh tahun, tadinya sudah di tunangkan dengan Song Cun, kakak Song Cin. Akan tetapi kita ketika melihat Song Cin membuntungi lengan Siauw Beng, hati Bhe Siu Cen memberontak dan ia menjadi benci kepada Song Cun yang di anggapnya curang, pengecut dan kejam dan ia menyatakan putus hubungan dengan Song Cun yang kemudian lari meninggalkan rombongan yang mengungsi ke Liong-san itu.

Tiga orang kakak beradik seperguruan ini hidup tenang di dekat puncak Liong-san itu. Mereka hidup sebagai petani, setiap hari bekerja di ladang, mandi sinar matahari dan menghirup udara sejuk dan jernih, menikmati kehidupan yang serba tenang, tentram, dimana tidak terdapat masalah, tidak terdapat kekerasan dan permusuhan seperti yang pernah mereka alami ketika mereka hidup di dunia kang-ouw.

Akan tetapi karena mereka pendekar-pendekar yang tangguh, mereka tidak pernah dapat meninggalkan latihan ilmu silat yang sudah mendarah daging dalam diri mereka. Juga di tempat yang indah ini, Song Cin dan Bhe Siu Cen setiap hari berlatih silat di bawah bimbingan tiga orang pendekar itu.

Tidak keliru pendapat orang-orang tua bahwa cinta kasih tumbuh dari pergaulan yang erat. Demikian pula dengan Bhe Siu Cen dan Song Cin. Bagi Song Cin memang sejak dulu ia menaruh hati kepada Siu Cen. Akan tetapi tadinya Siu Cen telah di tunangkan kepada Song Cun sehingga baik Song Cin maupun Siu Cen, tidak memiliki keinginan yang bukan-bukan.

Song Cin berusaha menghilangkan rasa cintanya kepada gadis yang sudah menjadi tunangan kakaknya itu. Sebaliknya Siu Cen juga tidak pernah memperhatikan Song Cin karena dia merasa bahwa ia akan menjadi jodoh Song Cun, hal yang telah disepakati keluarga kedua pihak. Akan tetapi, Siu Cen memutuskan hubungannya dengan Song Cun karena ia benci melihat watak tunangannya yang di anggapnya curang, pengecut dan kejam itu.

Kini ia tinggal di tempat sunyi dekat puncak Liong-san dan setiap hari ia bergaul dengan Song Cin. Mulai tampaklah olehnya betapa watak Song Cin jauh lebih berbeda dibandingkan watak Song Cun. Song Cin adalah seorang yang lembut, bijaksana, baik budi dan biarpun dia tidak segagah Song Cun, namun pemuda ini juga tampan dan ilmu silatnya juga cukup tangguh. Mulai tumbuh rasa cinta di hati gadis berusia dua puluh tahun itu.

Bhe Kim yang berjuluk Sin-touw (Copek Sakti), orang ke empat dari Ciong-yang Ngo-taihiap bersama isterinya melihat gejala ini. Mereka bersepakat untuk menjodohkan puteri tunggal mereka dengan Song Cin karena Siu Cen sudah menyatakan putus dengan Song Cun dan berkeras tidak mau dijodohkan dengan bekas tunangannya itu.

Bhe Kam mengajak suhengnya, Ciang Hu Seng dan sutenya, Lee Bun untuk berunding mengenai keinginannya menjodohkan puterinya dengan Song Cin. Dua orang pendekar itu pun menyatakan persetujuan mereka mengingat bahwa pertalian jodoh antara Siu Cen dan Song Cun telah putus.

Demikianlah, pada suatu hari di adakan upacara pertunangan antara Siu Cen dan Song Cin. Perjodohan antara mereka di tunda, menanti dua hal. Pertama, perkabungan Song Cin sudah lewat, dan kedua Song Cun belum di beritahu lebih dulu tentang perjodohan bekas tunangannya dengan adiknya itu.

Setelah mereka bertunangan, hubungan antara Song Cin dan Siu Cen menjadi semakin akrab. Namun, keduanya saling menjaga sehingga betapa rindunya hati mereka namun tetap menjaga jarak sehingga tidak akan melanggar tata susila. Dengan kasih sayang yang suci murni terhadap satu sama lain.

Mereka berdua dapat saling menjaga keutuhan kehormatan masing-masing dan kasih murni itu dapat mencegah mereka terseret oleh nafsu birahi. Sebelum menikah, hubungan mereka harus merupakan hubungan antara sahabat, atau antara saudara, tidak di kotori cinta nafsu berahi.

Pada suatu sore, Song Cin dan Siu Cen seperti biasa berlatih silat didalam taman bunga yang mereka pelihara bersama sehingga merupakan taman bunga yang indah. Tiga orang pendekar itu bercakap-cakap di ruangan depan. Ciang Hu Sen yang berusia lima puluh tujuh tahun, kehilangan wataknya yang selalu gembira. Bhe Kam yang berusia lima puluh, jubahnya masih kedodoran seperti dulu, dan Lee Bun yang berusia lima puluh tiga tahun bertubuh tinggi kurus dan mukanya seperti tengkorak, maka ia di juluki Si Muka Tengkorak.

"Melihat keakraban antara anakku dan Song Cin, aku berpendapat sebaiknya mereka segera dinikahkan "kata Bhe Kam Si Copet Sakti kepada dua orang saudara seperguruan itu. "Ciang-suheng, kuanggap dapat menjadi wali mewakili suheng Song Kui yang sudah meninggal. Bagaimana pendapatmu, Suheng?”

Ciang Hu Seng yang gemuk pendek itu tertawa senang. "He-he-he-he, pendapatmu itu baik sekali. Aku akan dapat menikmati arak pengantin sebagai wali pengantin pria tentu aku mendapatkan kehormatan pertama, ha-ha-ha!”

"Aku setuju sekali, Bhe-suheng. Puterimu itu sudah berusia dua puluh tahun dan Song Cin sudah berusia dua puluh dua tahun. Sudah tiba waktunya bagi mereka untuk berumah tangga dan yang penting lagi, kasihan kalau orang-orang muda seperti mereka harus melewatkan masa mudanya di tempat sunyi ini. Setelah menikah mereka dapat turun gunung, kembali ke Souw-Cin dan membentuk keluarga bahagia. Tentu masih ada peninggalan keluarga Song di Souw-ciu, setidaknya para sahabat kedua suheng Song tentu siap membantu Song Cin" kata Lee Bun.

"Akan tetapi bagaimanapun juga, perkabungan yang dilakukan Song Cin atas kematian ayahnya haruslah penuh lebih dulu yang ku kira hanya tinggal dua bulan lagi”

"Tentu saja hal itu sama sekali tidak boleh di langgar!" kata Bhe Kam dan tiga orang itu selanjutnya bercakap-cakap sambil minum arak untuk mengusir hawa dingin yang mulai menyelimuti dusun di dekat puncak itu.

Sementara itu, Song Cin dan Siu Cen selesai berlatih silat. Mereka lalu duduk mengaso di atas bangku panjang dalam rumah itu, menghapus keringat yang membasahi leher dan muka. Wajah Siu Cen tampak segar kemerahan dan rambutnya agak kusut, namun semua itu menambah kecantikannya sehingga Song Cin yang duduk di sebelahnya memandang dengan terpesona.

"Ih, Cin-ko (Kakak Cin), mengapa engkau memandangku seperti itu?”

"Seperti apa?” Song Cin tersenyum tanpa mengalihkan pandang matanya dari wajah gadis itu, terutama kea rah mulutnya yang manis.

"Seperti... Seperti... Mata kucingku memandang aku sewaktu aku makan!”

"Wah, memangnya aku ini kucing dan engkau… Engkau..." keduanya tertawa geli dan gembira.

"Katakan terus terang, Cin-ko. Apa saja yang kau lihat kalau engkau memandang aku seperti itu? Di antara kita harus jujur terbuka dan tidak ada yang menyimpan rahasia, bukan?”

"Cen-moi (Adik Cen), kalau aku berterus terang, engkau tentu tidak akan marah, bukan? Dan engkau mau memaafkan aku kalau keterus-teranganku menyinggungmu dan membuatmu tidak senang?”

"Cin-ko, aku tidak percaya bahwa engkau akan begitu tega untuk menyinggung dan membuat aku tidak senang. Katakanlah!”

"Aku memandangmu dan melihat betapa engkau cantik jelita seperti seorang dewi, Cen-moi dan semakin mendalam rasa cinta di dalam hatiku yang telah tumbuh sejak dulu, sejak engkau dan aku masih remaja. Diam-diam aku mencintaimu, Cen-moi, hanya tentu saja hal itu ku rasakan secara diam-diam. Engkau cantik jelita dan di dunia ini tidak mungkin ada keduanya!”

Wajah Siu Cen menjadi kemerahan, bibirnya terbuka dalam senyum dan matanya bersinar-sinar, wanita mana yang tidak akan merasa bahagia sekali mendapatkan pujian seperti itu? Apalagi kalau yang memuji itu tunangannya sendiri, pemuda yang juga di cintainya. "Aihh… koko, engkau terlalu memuji, jangan merayu...!”

"Sungguh mati, moi-moi, pujianku itu bukan sekedar merayu, bukan hanya di mulut, melainkan timbul dari lubuk hatiku. Aku sudah jatuh kepadamu semenjak engkau remaja dulu”

"Hemm, kalau benar demikian, mengapa sejak dulu engkau diam-diam saja, Cin-ko?”

"Tentu saja, Cen-moi. Aku takut menyatakan perasaan hatiku padamu. Bagiku, engkau seperti bidadari kahyangan, bagaimana aku berani menyatakan cinta ku? Apalagi orang tuaku memutuskan untuk menjodohkan kakak Song Cun denganmu yang di setujui orang tuamu dan engkau bertunangan dengan Cun-ko, aku hanya berani memandang dan mengagumimu dari jauh.”

"Aduh, kasihan engkau, Cin-ko." kata Siu Cen sambil memegang tangan pemuda itu.

Jari-jari tangan mereka saling menggenggam dan meremas selama ini mereka hanya berani menyatakan cinta dan kemesraan dengan saling mempertemukan jari-jari tangan mereka, tidak berani berbuat lebih dari itu karena mereka tetap menjaga harga diri masing-masing dan membatasi kesopanan.

"Maka, biarpun aku merasa kasihan kepada Cun-ko dan timbul harapanku ketika engkau memutuskan hubunganmu dengan Cun-ko dan ternyata sekarang engkau menjadi calon isteriku. Ceng-moi, apakah sebelum ini engkau tidak sedikitpun pernah memandang dan memikirkan diriku?”

Siu Cen tersenyum. "Jangan kecewa kalau aku bicara terus terang, Cin-ko...”

"Tidak, aku bahkan akan merasa senang kalau engkau bicara terus terang, Cen-moi...”

"Begini, ketika remaja dulu, aku menganggap engkau dan Cun-ko hanya sebagai saudara-saudara seperguruan, sama-sama keturunan anggota Ciong-yang Ngo-taihiap. Terus terang saja aku merasa kagum kepadamu dan juga kepada Cun-ko. Sama sekali belum ada perasaan cinta dalam hatiku, bahkan aku tidak mengerti dan apa dan bagaimana perasaan cinta itu. Kemudian, engkau tahu bahwa orang tuamu dan orang tuaku menyetujui untuk menjodohkan aku dengan Cun-ko.

"Aku tidak berani menolak dan setuju saja, apalagi aku melihat bahwa Cun-ko adalah seorang pemuda yang baik dan gagah perkasa. Dan tentu saja sebagai tunangan, aku mencoba untuk menumbuhkan cinta kepada calon suamiku itu dan aku tidak berani memandang pria lain, termasuk engkau yang ku anggap sebagai calon adikku. Akan tetapi…. Lalu terjadi peristiwa yang menjijikkan itu.

"Ketika melihat Cun-ko bertindak begitu curang dan kejam terhadap Lauw Beng, aku menjadi muak dan timbul kebencian di hatiku. Aku tidak sudi menjadi isteri seorang laki-laki securang dan sekejam itu, maka aku langsung memutuskan hubungan. Nah, setelah kita tinggal di sini dan aku mengenalmu lebih baik..." Siu Cen tidak melanjutkan ucapannya, menundukkan muka dengan malu-malu.

"Lalu bagaimana, moi-moi? lanjutkanlah dan katakan saja terus terang”

"Lalu orang tuaku menjodohkan denganmu dan aku... aku setuju...”

"Hemmm, kalau begitu engkau menjadi calon isteriku karena hendak mentaati orang tua saja? Sebetulnya tidak ada perasaan apapun dalam hatimu terhadap diriku? Tidak ada cinta seperti aku mencintaimu?”

"Hushhh..." Siu Cen menggerakkan tangan dan jari-jari tangannya menutup mulut Song Cin. "Jangan berkata begitu, Cin-ko”

"Katakanlah bahwa engkau juga mencintaku, Cen-moi...”

"Aih, mengapa engkau belum juga percaya kepadaku? Apakah sikapku selama ini masih kurang menyakinkan? Baiklah kalau engkau menghendaki, Cin-ko. Aku…. Cinta kepadamu. Nah, puaskah engkau? Kalau aku tidak mencintaimu apa kau kira aku mau di jodohkan dengamu?”

"Cen-moi...!" saking girang hatinya, Song Cin merangkul.

Akan tetapi Siu Cen menghindar dan menggeser duduknya, menangkap kedua tangan pemuda itu sehingga tentu saja Song Cin tidak dapat merangkulnya.

"Eh, Cen-moi? Mengapa engkau menolak? Kita saling mencinta, bahkan kita sudah bertunangan, mengapa engkau selalu menghindar apabila aku hendak memelukmu? Bukankah hal itu hanya merupakan pelepasan rasa rindu dan cinta kita?”

"Engkau benar, Cin-ko. Akan tetapi bagaimanapun juga, kita ini terkurung oleh tata susila yang sudah diterima masyarakat sehingga tidak dapat bebas begitu saja melakukan apa yang kita rasakan. Biarpun kita menganggap hal itu tidak apa-apa dan pantas, namun karena telah menjadi hkum yang diterima masyarakat bahwa itu tidak benar, terpaksa kita juga harus menyesuaikan diri. Maka, kita harus mampu menahan dorongan hati kita sendiri, Cin-ko!”

Song Cin menghela napas panjang dan dia menggunakan jari-jari tangannya untuk membelai tangan tunangannya. "Aku tahu mengapa cumbu dan belaian antara dua orang yang belum menikah di anggap tidak pantas, Cen-moi. Memang harus diakui bahwa perbuatan itu mendatangkan rangsangan birahi dan kalau batin tidak kuat dapat menjurus kearah hal-hal yang melanggar kesusilaan. Baiklah, aku tidak kecewa, bahkan bangga sekali bahwa engkau dapat mengendalikan diri, dan maafkan aku tadi yang menuntut lebih daripada apa yang sepantasnya kau lakukan.”

"Aku girang engkau dapat mengerti, Cin-ko. Mari, kita pergi mandi, sebentar lagi aku harus membantu di dapur menyiapkan makan malam.”

Dua orang ini bergandeng tangan meninggalkan taman dan memasuki rumah melalui pintu belakang. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi ada sepasang mata yang memandang mereka dengan sinar mata berkilat penuh cemburu dan kemarahan.

Malam itu gelap sekali. Hujan yang turun membuat udara menjadi sangat dingin sehingga semua orang yang tinggal di dusun-dusun di sekitar Pegunungan Liong-san lebih suka mengeram dalam kamar yang lebih hangat. Juga semua penghuni rumah Lee Bun lebih suka berada dalam kamar masing-masing setelah mereka makan malam.

Mereka semua merasa tenang dan tentram karena mereka yakin bahwa tidak ada seorangpun yang akan berani mengganggu rumah tempat tinggal mereka, rumah yang cukup besar dengan pekarangan dan taman yang luas. Pemilik rumah itu adalah lee Bun, orang kelima dari Ciong-yang Ngo-taihiap yang terkenal sebagai pendekar-pendekar lihai dan juga sebagai patriot-patriot yang penuh semangat. Lee Bun terkenal dengan pedang hitamnya dan ia tidak pernah berkeluarga, hidup sebatang kara sebagai seorang pertapa perantauan.

Pada waktu itu, setelah perjuangan mereka menentang pemerintah Mancu gagal dan dan dua orang yang pertama dan kedua, kakak beradik Song, tewas oleh pasukan pemerintah penjajah Mancu, tiga orang sisa dari Ciong-yang Ngo-taihiap berkumpul dan tinggal di dusun dekat puncak Liong-san untuk menghindarkan pengejaran pasukan Kerajaan Mancu. Mereka semua tinggal mondok di rumah Lee Bun yang besar.

Selain tuan rumah Lee Bun yang lihai, di situ tinggal pula Bhe Kam, orang ke empat dari Ngo-taihiap (Lima Pendekar Besar) yang dikenal sebagai Sin-touw ( Malaikat Copet), juga memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dia tinggal mondok bersama isteri dan seorang puterinya, yaitu Bhe Siu Cen yang juga merupakan seorang gadis pendekar yang lihai. Terdapat pula di rumah itu Ciang Hu Seng, orang ke tiga dari Ngo-taihiap yang mempunyai tingkat kepandaian lebih tinggi daripada Bhe Kam atau Lee Bun.

Selain empat orang lihai ini, disitu terdapat pula Song Cin, putera mendiang Song Kwan yang berjuluk Kiam-sian (Dewa Pedang), orang kedua dari Lima Pendekar itu. Pemuda ini juga cukup lihai. Lima orang yang lihai ilmu silatnya tinggal di rumah besar itu. Siapa yang akan berani mengganggu? Mengganggu rumah itu sama dengan mengusik sarang harimau!

Akan tetapi, ketika semua orang penghuni rumah itu tertidur pulas karena malam telah larut, sudah lewat tengah malam, ada bayangan berkelebat di atas genteng tidak menimbulkan suara. Ini menunjukkan bahwa gin-kang (ilmu meringankan tubuh) orang itu memang sudah tinggi tingkatnya.

Tak lama kemudian, bayangan hitam itu telah bergerak menyelinap di dalam rumah itu dan berhenti di luar jendela kamar tidur Bhe Siu Cen. Dia mengeluarkan sebatang hio-swa (dupa lidi) dan membakar ujungnya. Tercium bau harum setelah ujung hio-swa terbakar. Cepat dia memasukkan benda itu melalui celah-celah jendela sehingga asap hio-swa itu mengepul dalam kamar.

Bayangan itu mendekam di bawah jendela. Setelah menanti beberapa lama sampai hio-swa yang ujungnya membara mengeluarkan asap itu terbakar habis, dia lalu mengeluarkan dua buah butir pil dan memasukkannya ke mulut. Lalu dengan sedikit pengerahan tenaga, dia sudah dapat membuka paksa daun jendela, melompat masuk dan menutupkan lagi daun jendela. Bau harum memenuhi kamar itu.

Dengan tenangnya, bayangan hitam itu menyalakan sebatang lilin kecil di atas meja sehingga kamar itu tidak gelap sekali, di terangi nyala lilin yang remang-remang. Lalu dihampirinya pembaringan yang tertutup kelambu. Ketika ia menyingkap kelambu, tampak Siu Cen tidur telentang dalam keadaan pulas. Bayangan itu tersenyum. Dupa lidi yang asapnya mengandung racun pembius yang amat kuat itu ternyata telah bekerja dengan baik.

Untuk mendapat keyakinan, dia menguncang-guncang pundak gadis itu, namun Siu Cen tidak terbangun seperti dalam keadaan pingsan. Bayangan hitam itu tersenyum senang dan melanjutkan perbuatannya yang telah di rencanakannya sejak sore tadi, tanpa gangguan karena selain seisi rumah telah tidur nyenyak, juga Siu Cen sendiri dalam keadaan tidur pulas oleh pembius itu.

Menjelang pagi, setelah Siu Cen mengeluh dan menggerakkan tubuhnya, barulah si bayangan hitam itu turun dari pembaringan. Siu Cen terkejut sekali. Nalurinya yang tajam tidak terpengaruh pembius lagi yang sudah mulai meninggalkannya. Ia tahu bahwa ada sesuatu yang tidak wajar terjadi. Ia cepat menyingkap kelambu dan melompat turun dari atas pembaringan. Akan tetapi ia menjerit ketika mendapat kenyataan bahwa dirinya tidak berpakaian!

Cepat ia menyambar selimut untuk menyelimuti tubuhnya dan pada saat itu, ia melihat bayangan hitam melompat ke atas kosen jendela. Lilin kecil di atas meja masih menyala dan dalam cuaca yang remang-remang itu Siu Cen melihat seorang laki-laki yang masih muda dan yang mendatangkan kesan adalah bahwa laki-laki itu buntung lengan kirinya! Lengan baju kiri itu menggelantung kosong, jelas nampak bahwa lengan kirinya telah buntung.

"kau… kau…. Siauw Beng….!” seru Siu Cen.

Laki-laki itu tertawa dan sekali berkelebat tubuhnya lenyap dari situ. "Siu Cen hendak mengejar, akan tetapi teringat bahwa ia telanjang. Maka cepat ditanggalkannya selimutnya dan ia memakai pakaiannya yang berserakan di atas tempat tidur. Pada saat itu baru ia mendapat kenyataan yang membuat ia terkejut dan iapun menangis tersedu-sedu, menelungkup di atas pembaringannya. Ia telah diperkosa orang! Ia menjerit dan menangis oleh kenyataan yang amat mengguncang batinnya itu.

Jerit tangis Siu Cen membangunkan semua penghuni rumah. Empat orang laki-laki yang kesemuanya ahli-ahli silat yang tangguh, segera berlompatan keluar dari kamarnya dan dengan cepat mereka berdatangan ke depan kamar Siu Cen karena dari kamar itulah keluarnya jerit tangis itu. "Siu Cen, apa yang terjadi?” teriak Bhe Kam sambil mengetuk-ngetuk daun pintu kamar puterinya. Tidak ada jawaban, hanya tangis mengguguk yang terdengar.

"Cen-moi…. Bukalah pintunya….!!!” Song Cin juga mengetuk dan dia merasa khawatir sekali.

"Siu Cen, kalau tidak segera kau buka, akan ku jebol daun pintu ini!” kata Lee Bun.

Akan tetapi tetap saja pintu tidak buka bahkan tangis itu semakin mengguguk.

"Kita buka pintu ini dengan paksa!” kata Lee Bun dan mendengar ini, Bhe Kam dan Song Cin yang sudah tidak sabar lagi lalu mendorong daun pintu.

"Brakkk…!” Daun pintu terbuka dan semua orang menyerbu masuk.

"Siu Cen, apakah yang terjadi?” Bhe Kam menghampiri pembaringan dimana gadis itu rebah menelungkup sambil membenamkan mukanya di bantal dan menangis.

Lee Bun lalu menyalakan sebatang lilin besar sehingga keadaan di dalam kamar itu menjadi terang. Kini semua orang melihat daun jendela yang terbuka dan hidung mereka mencium bau harum yang di tinggalkan asap pembius yang sudah meninggalkan kamar itu.

"Ceng-moi, mengapa engkau menangis….?” Song Cin menghampiri pembaringan dan hendak menyentuh pundak gadis itu. Akan tetapi ia melihat bercak darah pada tilam pembaringan yang awut-awutan itu. Tiba-tiba Bhe Kam memegang lengan Song Cin dan menariknya menjauh dari pembaringan.

Pada saat itu, Nyonya Bhe berlari memasuki kamar. "Siu Cen, ada apakah, anakku…..?” Nyonya itu segera menubruk anaknya.

Akan tetapi, Ciang Hu Seng yang gemuk pendek itu tiba-tiba sudah melompat ke arah jendela dan keluar diikuti oleh Lee Bun. Dua orang pendekar tua ini sudah dapat menduga apa yang terjadi dan mereka berusaha untuk melakukan pengejaran. Akan tetapi setelah tiba di atas, mereka tidak melihat bayangan orang, maka mereka turun dan kembali ke kamar Siu Cen.

Siu Cen sudah duduk di atas tempat tidur, di rangkul ibunya. Song Cin terduduk di atas kursi, kepalanya menunduk sampai dagunya menempel leher. Bhe Kam mengerutkan alis dan ketika Ciang Hu Seng dan Lee Bun memasuki kamar, dia sedang bertanya.

"Siu Cen, hayo katakan apa yang terjadi! Kamar ini bau keharuman aneh, mungkin obat bius dan engkau….. hayo katakan apa yang terjadi semalam?”

Siu Cen menahan isaknya, mengangkat muka dan memandang kearah Song Cin yang duduk di atas kursi di sudut kamar. "…Cin-ko….. maafkan… aku….." dan iapun menangis lagi, terkulai lemas dalam rangkulan ibunya.

"Siu Cen, beginikah sikap seorang yang gagah? Hayo, katakan, siapa yang telah melakukan kekejian terkutuk ini!” bentak Bhe Kam lagi, mukanya merah sekali karena marah.

Gadis itu kembali memandang kepada Song Cin. Pemuda itu pun memandangnya. Dia tahu bahwa gadis itu merasa berat untuk bercerita karena kehadirannya, maka ia lalu bangkit berdiri dan melangkah hendak keluar dari kamar itu.

"…Cin-ko …. Jangan pergi …. ! Engkau berhak mengetahui. Engkau harus mendengar…." tiba-tiba Siu Cen berkata dan seolah timbul tenaga baru dalam dirinya. Isaknya terhenti dan biarpun air matanya masih berderai, ia dapat bicara dengan jelas.

"Ayah, Ibu, Paman Ciang dan Paman Lee, juga Cin-ko, ketahuilah bahwa ada seseorang semalam telah… menodaiku! Dia memperkosaku selagi aku dalam keadaan terbius dan tidak ingat apa-apa….“

Semua orang tidak merasa kaget karena semua sudah menduga akan kejadian itu.

"Kami tahu, akan tetapi siapa yang melakukan ini? Hayo ceritakan!” Bhe Kam yang marah sekali membentak lagi. "Baru saja, ketika aku terbangun, aku melihat bayangan melompat dan berdiri di kosen jendela itu. Dia tidak bicara, juga wajahnya tidak dapat kulihat jelas karena cuaca hanya remang-remang dan gelap, akan tetapi yang jelas sekali dia…. Lengannya…. Lengan kirinya buntung…..”

"Lauw Beng…..!” teriak Song Cin.

"Keparat, jahanam! Dia itu Lauw Beng, bukan?” Tanya Bhe Kam kepada puterinya. "Aku pun mengira demikian dan kuteriaki nama Siauw Beng. Akan tetapi dia tidak menjawab dan melompat pergi. Aku tidak dapat mengejar karena aku….. aku… harus berpakaian dulu….“

"Jahanam! Kurang ajar anak itu. Agaknya dia membalas dendam karena kita menghajarnya dulu!" kata Lee Bun.

"Ya, sudah jelas dia orangnya. Selain bukti bahwa pelakunya berlengan kiri buntung, juga besar alasannya yang mendorong dia melakukan perbuatan terkutuk itu. Tentu dia membalas dendam karena lengannya juga dibuntungi" kata Ciang Hu Seng.

Song Cin juga marah, akan tetapi pemuda itu diam-diam merasa sangsi. "Akan tetapi para susiok (paman guru), kalau benar Siauw Beng yang melakukan, mengapa ia membalas dendam kepada Cen-moi? Cen-moi tidak bersalah apapun terhadap dia!”

"Hemm, orang yang sudah bergaul akrab dengan seorang Puteri Penjajah Mancu, mana mungkin pantang melakukan segala kejahatan? Tentu dia telah menjadi penjahat cabul pula dan dia hendak menghancurkan perasaan kita dengan perbuatannya terhadap Siu Cen!”

Sementara itu, Siu Cen sudah menangis lagi dalam rangkulan ibunya yang juga menangis.

"Kita harus bertindak! Kita harus cari jahanam itu dan membunuhnya!” kata Bhe Kam sambil mengepal kedua tangannya.

"Tenanglah, Sute (adik seperguruan), kita harus membicarakan hal ini dengan kepala dingin agar dapat diambil tindakan yang tepat. Mari kita biarkan Siu Cen bersama ibunya dan kita bicarakan soal ini!" kata Song Cin keluar dari kamar Siu Cen yang masih menangis dalam rangkulan ibunya.

"Sudah, hentikan tangismu, anakku, ayahmu pasti akan membalaskan sakit hati ini!”

"Ibu, bagaimana aku dapat berhadapan dengan Sin-ko? Setelah terjadi peristiwa dengan diriku ini, apakah Sin-ko masih mau melanjutkan perjodohan ini? Ah, ibu dia tentu akan memandangku dengan hina, menganggap aku kotor…. Ah lebih baik mati saja daripada begini, ibu…..”

Nyonya Bhe menguatkan hatinya. Sebagai seorang wanita, iapun tahu benar bahwa pada umumnya, seorang wanita yang sudah bukan perawan lagi akan dicemooh dan di anggap rendah oleh laki-laki! Akan tetapi demi membesarkan hati puterinya ia berkata,

"Aku kira Song Cin bukan laki-laki seperti itu, anakku. Biarpun masih muda, dia bersikap bijaksana. Aku yang akan bicara dengannya, Siu Cen dan aku yang akan menjelaskan bahwa engkau tidak melakukan kesalahan apapun. Peristiwa ini merupakan kecelakaan, suatu perkosaan, sama sekali tidak mencemarkan kehormatanmu sebagai wanita!”

Nyonya Bhe maklum bahwa apa yang dikatakannya itu sebetulnya berlawanan dengan isi hatinya. ia tahu benar bahwa pada umumnya, kaum pria memandang keperawanan seorang wanita sebagai sesuatu yang suci, sesuatu yang amat berharga, sesuatu yang menjadi syarat mutlak bagi seorang calon isteri.

Ucapan ibunya itu setidaknya menghibur hati Siu Cen. "Ibu…. Benar… benarkah itu…?”

"Tentu saja ibu benar, Nak. Sekarang mandilah, bertukarlah pakaian dan keluarlah dari kamar seperti biasa. Urusan ini hanya di ketahui oleh anggota keluarga saja, jangan sampai diketahui orang lain.”

Siu Cen merasa terhibur dan timbul harapan baru dalam hatinya. Ia lalu pergi mandi dan Nyonya Bhe menyusul suaminya yang sedang berunding dengan Ciang Hu Seng, Lee Bun dan Song Cin...

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.