Si Tangan Halilintar Jilid 22 karya Kho Ping Hoo - TIGA orang sisa anggota Lima Pendekar Besar itu merasa yakin bahwa pelaku jahanam itu pastilah Lauw Beng, putera mendiang Lauw Heng San yang pernah menjadi antek penjajah Mancu. Apalagi Lauw Beng mendatangkan perasaan benci dalam hati mereka karena pemuda itu bergaul akrab dengan Puteri Mayani, puteri seorang Pangeran Mancu dari kota raja!
Dan lebih dari itu, Lauw Beng ini yang menjadi biang keladi sehingga dua orang rekan mereka yang tertua, yaitu Song Kwan dan Song Kui tewas dikeroyok perajurit Mancu. Kini, Siu Cen diperkosa orang dan sungguhpun Siu Cen tidak dapat melihat wajah pemerkosanya karena gelap, namun bukti lengan kiri yang buntung, membuat mereka yakin bahwa pemerkosanya tentu Lauw Beng yang buntung lengan kirinya!
Setelah merundingkan dan mempertimbangkan dari segala sudut pandangan, Ciang Hu Seng berkata, "Tak dapat diragukan lagi, Lauw Beng yang melakukan perbuatan biadab ini! Persoalannya sekarang apa yang harus kita lakukan?”
"Apalagi yang harus kita lakukan kecuali mencari dan membunuh keparat itu?” kata Bhe Kam yang marah dan merasa sakit hati sekali mengingat apa yang menimpa diri anak tunggalnya.
"Bhe-sute, kita harus ingat bahwa Lauw Beng memiliki ilmu kepandaian yang tinggi" bantah Ciang Hu Seng.
"Kami tidak takut!” seru Lee Bun. "Kami akan maju berempat dan tentu akan dapat membunuhnya!”
Ciang Hu Seng tertawa. Hanya sebentar dia tadi terpengaruh peristiwa yang menimpa diri murid keponakannya, akan tetapi sekarang dia sudah pulih dan tenang kembali sehingga muncul tawanya yang memang selalu berada di mulutnya.
"Ha-ha, aku juga tidak takut Lee-sute. Aku hanya memperhitungkan dan bersikap hati-hati. Apa artinya kalau kita maju bersama kemudian gagal? Kita tidak boleh hanya mengandalkan keberanian, akan tetapi harus memakai perhitungan. Ingat, perjuangan kita menentang penjajah Mancu juga mengalami kegagalan karena kita hanya mengandalkan keberanian tanpa perhitungan matang. Keberanian tanpa perhitungan hanya merupakan kenekatan yang ngawur.
"Selain itu, harus diingat bahwa disana ada Lam-liong (Naga Selatan) Ma Tai-hiap yang menjadi ayah angkat dan guru Lauw Beng. Juga ada Siuw lim pai karena Lauw Beng sudah di anggap sebagai murid Siauw lim pai. Kalian tentu tidak suka kalau sampai terjadi kesalah-pahaman dan bentrok dengan Ma Tai-hiap dan Siauw-lim-pai”
"Hemmm, Ciang-suheng, kalau begitu, apa yang harus kita lakukan?” Tanya Bhe Kam penasaran karena tentu saja dia tidak mau menghentikan keinginannya untuk membalas dendam kepada pemerkosa puterinya.
"Itulah yang harus kita pikirkan sekarang, yakni mengambil cara yang terbaik. "Song Cin, mengapa engkau diam saja sejak tadi? Bagaimana menurut pendapatmu?” Ciang Hu Seng bertanya kepada pemuda yang sejak tadi hanya diam saja seperti orang bingung.
"Saya hanya menurut saja apa yang sam-wi Su-siok (Paman guru bertiga) putuskan" katanya.
"Sekarang begini saja. Agar tidak salah paham dengan Lam-liong Ma Giok dan Siauw-lim-pai, juga agar kedudukan kita lebih kuat sehingga tidak akan gagal menghukum si jahat Lauw Beng, sebaiknya kita bersama pergi melapor ke Siauw-lim-pai dan kepada Ma Taihiap untuk minta pertanggung jawabnya. Bagaimana pendapat kalian?”
Semua menyatakan setuju dan demikianlah, pada keesokan harinya, empat orang itu berangkat meninggalkan puncak Liong-San. Song Cin merasa agak gelisah karena sejak malam tadi, Siu Cen tidak pernah menampakan diri. Bahkan Bhe Kam dan isterinya memasuki kamarnya dan minta agar ia keluar karena semua orang akan pergi, gadis itu menolak. Ia hanya menggelengkan kepala dan mengerutkan alisnya.
Ia tidak menangis lagi, akan tetapi wajahnya membayangkan kesedihan luar biasa. Melihat keadaan anaknya ini, Bhe Kam hanya menghela napas panjang dan memesan kepada isterinya agar dapat menghibur anak mereka dan menjaga agar anak mereka tidak melakukan hal yang bukan-bukan, misalnya membunuh diri.
Setelah mereka semua pergi, Siu Cen didekati ibunya dan dihibur, dengan suara gemetar ibunya berkata, "Siu Cen, jangan engkau terlalu tenggelam kedalam kesedihan. Ayahmu tadi khawatir kalau-kalau engkau mengambil keputusan pendek untuk membunuh diri. Jangan, anakku…”
"Tidak, Ibu. Aku tidak ingin mati sebelum melihat jahanam itu dihukum berat atas kekejiannya terhadap diriku. Kalau semua orang gagal menghukumnya, aku sendiri yang akan pergi mencari dan membalas dendam ini. Aku hanya bersedih membayangkan bagaimana sikap Cin-ko sekarang terhadap diriku...”
"Tidak perlu disedihkan, Siu Cen. Kalau dia mengubah sikapnya, di dunia ini bukan selebar telapak tangan. Kita anggap saja dia bukan jodohmu! Sebagai puteri pendekar yang gagah perkasa, engkau sama sekali tidak patut kalau berputus asa dan berkecil hati, kehilangan semangat. Nah, minumlah obat ini. Sengaja kubuatkan untukmu.”
Melihat semangkok obat rebusan berwama kehitaman itu, Siu Cen memandang ibunya dengan heran. "Ibu, obat apakah itu? Kesehatanku baik-baik saja, tidak perlu minum obat.”
"Untuk pencegahan, Siu Cen. Jahanam keparat itu telah menodaimu, obat ini untuk mencegah akibatnya.”
"Maksud ibu…. Aku… aku akan hamil….?”
"Kalau tidak diberi obat pencegah ini, ada kemungkinannya, Siu Cen, walaupun kemungkinan itu kecil sekali. Akan tetapi obat ini akan membersihkan semua kekotoran ini.”
Mendengar ucapan ini, cepat-cepat Siu Cen mengambil cawan dan meminumnya sampai habis. Barulah tenang rasa hatinya ketika ia merasa betapa perutnya terasa panas disebelah dalam. "Baiklah ibu. Aku akan menenangkan hatiku. Ibu benar. Kalau Cin-ko mengubah sikapnya berarti diapun picik seperti semua laki-laki yang selalu merendahkan kaum perempuan.”
Mulai saat itu, Siu Cen benar-benar telah pulih kembali hatinya, mulai dapat membebaskan diri dari tekanan. Iapun semakin tekun berlatih silat.
Lauw Beng bersembahyang di depan makam mendiang Lauw Heng San, ayah kandungnya. Makam itu berada di kota Keng-koan, di tanah kuburan umum yang keadaannya menyedihkan, tidak terawatt. Masih untung bagi Lauw Beng, makam itu mempunyai batu nisan yang ada ukiran nama ayahnya itu sehingga dia dapat menemukannya. Tadi bersama Ai Yin, dia membeli perabot sembahyang di kota Keng-koan dan kini dia bersembahyang memasang hio-swa (dupa lidi), ditemani Ai Yin yang juga bersembahyang.
Setelah bersembahyang dan membersihkan makam itu, mencabuti rumput liar, Lauw Beng duduk di depan makam, bersila dan termenung. Ai Yin duduk didekatnya dan menatap wajah pemuda itu yang menunduk. Semilir angin mendatangkan udara sejuk dipagi itu. "Hai, Siauw Beng, melamun, ya? Diam saja sejak tadi! Apakah kau bersedih mengingat ayahmu?”
Lauw Beng yang biasa disebut Siauw Beng (Beng kecil) itu, memandang kepada Ai Yin dan tersenyum. "Tidak, Ai Yin. Aku tidak sedih memikirkan ayahku. Aku belum pernah melihat ayahku, belum pernah melihat ibuku.”
"Engkau sudah berkunjung ke makam ibumu?”
"Sudah pernah satu kali. Makam ibuku terletak disebuah dusun di kaki bukit!”
"Lalu mengapa kau termenung sejak tadi seakan-akan lupa bahwa aku berada di sini?”
"Kalau aku duduk di depan makam ini aku teringat betapa ayah dan ibuku, juga semua manusia lain di dunia ini, yang selagi hidupnya melakukan bermacam-macam perbuatan, pada akhirnya hanya menjadi gundukan tanah yang sunyi dan ditinggalkan sendiri. Apa artinya menjadi kaya atau miskin, berkuasa atau tidak, gagah perkasa atau lemah?
"Akhirnya sama juga, menjadi tanah dan tidak diperhatikan lagi, mungkin hanya setahun sekali atau dua kali di kunjungi sanak keluarga, lalu di tinggalkan lagi sepi sendiri... ahh, apa gunanya semuanya dalam hidup ini kalau akhirnya hanya menjadi timbunan tanah terlantar seperti ini?”
"Aih, Siauw Beng, jangan teruskan! Jangan bicara tentang kematian dan dikuburkan, ditinggalkan sendiri. Aku menjadi ngeri!”
"Hemmm, ini masih belum, Ai Yin. badan ini di kubur, di injak-injak, menjadi busuk dan hancur. Dan jiwa ini diseret ke dalam neraka yang katanya penuh dengan siksaan, penuh derita….”
"Aih, sudahlah, Siauw Beng! Aku menjadi takut! Takut mati….!” Gadis itu berteriak. "Yang penting bukan memikirkan sesudah mati, akan tetapi memikirkan selagi masih hidup ini kita harus bagaimana? Apa sih sebenarnya tujuan hidup ini?”
Lauw Beng tersenyum memandang wajah yang cantik dan manja kekanak-kanankan itu ketika memandang dan tampak begitu ingin memperoleh jawaban. "Kalau ditanyakan kepada kita, tentu saja kita dilahirkan ini tanpa tujuan pribadi masing-masing. Berpikirpun kita ini belum mampu ketika di lahirkan, bagaimana kita dapat mempunyai tujuan?
"Yang mempunyai tujuan akan kehidupan kita tentu saja yang menciptakan kita, yang membuat kita hidup dan terlahir di dunia ini sebagai manusia. kalau kehendak Thian (Tuhan) itu dapat kita namakan tujuan, sungguhpun semua rencana Thian merupakan rahasia bagi kita, namun Thian itu Maha Baik, karena itu tujuannya terhadap kita tentu saja juga baik!
"Thian membuat kita terlahir di dunia dengan segala perlengkapan yang ada pada kita. Kiranya tidak terlalu salah kalau dikatakan bahwa tujuan Thian tentu saja agar kita melaksanakan tugas kita membantu pekerjaan-Nya, agar kita menjadi Alat-Nya. Thian mengatur dan memelihara segala sesuatu di alam maya pada ini agar baik dan benar, memberkati seluruh dunia seisinya melalui angin, air, sinar matahari, tanah dan tumbuh-tumbuhan. Juga melalui kita manusia.
"Tugas kitalah untuk melaksanakan atau menyalurkan berkat Thian itu kepada seluruh isi alam, terutama kepada manusia, kepada semua mahluk hidup, kepada alam. Kalau kita merusak segalanya itu dengan perbuatan yang jahat demi memenuhi keinginan kita sendiri, demi kesenangan kita sendiri yang dikendalikan nafsu, berarti kita menentang rencana, tujuan, atau kehendak-Nya.”
"Hemm, jadi kesimpulannya, tujuan kita dihidupkan sebagai manusia di dunia ini, agar kita hidup melaksanakan kebaikan, kebenaran dan keadilan, begitu? Dan kalau kita melakukan yang sebaliknya, yaitu melakukan kejahatan berarti kita merusak rencana Thian?”
"Kurang lebih begitulah. Thian itu Maha Kuasa, akan tetapi juga Maha Kasih sehingga Dia memberi kebebasan kepada kita untuk memilih. Menjadi manusia bajik yang menjadi alat Thian ataukah menjadi manusia jahat yang menjadi alat Setan!”
Ai Yin menghela napas panjang. "Ayahku seringkali bicara seperti engkau ini. Agaknya semua orang juga tahu akan kebajikan dan kejahatan. Akan tetapi mengapa di dunia ini lebih banyak orang yang jahat daripada yang baik. Jarang aku bertemu orang yang baik budi, akan tetapi terlalu sering aku bertemu orang-orang yang jahat.”
"Memang patut disayangkan, akan tetapi sesungguhnya memang demikian, Ai Yin. Akan tetapi hal itu tidak aneh. Setan memang menggunakan umpan yang serba enak dan nikmat sehingga lebih banyak manusia yang terpancing melakukan kejahatan demi memperoleh kenikmatan, kesenangan yang serba enak!”
Karena asyik bicara, dua orang ini sama sekali tidak tahu bahwa ada tujuh orang laki-laki yang mengintai mereka dari luar tanah kuburan. Kemudian, tujuh orang itu saling berbisik-bisik dan ketika mereka memasuki tanah kuburan menghampiri dua orang muda yang duduk di bagian tengah tanah kuburan, barulah Siauw Beng dan Ai Yin mengetahui bahwa ada orang-orang datang menuju ke tempat mereka.
Akan tetapi tempat itu merupakan kuburan umum. Mereka mengira bahwa tujuh orang itu tentu akan mengunjungi makam sanak keluarga mereka masing-masing. Siauw Beng dan Ai Yin hanya tertarik karena melihat betapa tujuh orang itu membawa pedang yang tergantung di punggung masing-masing. Pada waktu itu, Pemerintah Mancu melarang rakyat membawa senjata dan akan merampas senjata yang dibawa orang, maka pada umumnya orang tidak berani membawa pedang.
Yang berani membawa senjata adalah mereka yang menentang penjajah itu, dan inipun sebagian besar menyembunyikan senjata mereka, tidak dibawa terang-terangan. Maka, mereka berdua dapat menduga bahwa tujuh orang yang memasuki tanah kuburan itu pastilah para pendekar yang menentang Kerajaan Ceng, yaitu nama Kerajaan yang didirikan Bangsa Mancu sejak mereka menguasai Cina dalam tahun 1645.
Maka, ketika tujuh orang itu ternyata menghampiri mereka, Siauw Beng dan Ai Yin merasa heran dan mereka segera bangkit berdiri. Tujuh orang itu kini berdiri berhadapan dengan Siuw Beng dan Ai Yin, mata mereka ditujukan kepada Siauw Beng, terutama pada lengan kirinya yang buntung.
Siauw Beng dan Ai Yin mengamati tujuh orang itu. Mereka berusia antara empat puluh sampai lima puluh tahun dan dari pakaian mereka yang ringkas itu mudah diketahui bahwa mereka adalah orang-orang yang pandai dalam ilmu silat atau orang-orang kang-ouw (sungai telaga, dunia persilatan).
Seorang diantara mereka, yang matanya sipit wajahnya pucat dan jenggotnya panjang beruban, agaknya yang paling tua dan berusia sekitar lima puluh dua tahun, berkata dengan suara penuh wibawa. "Orang muda, apakah engkau yang dijuluki Si Tangan Halilintar?”
Siauw Beng tidak segera menjawab karena sebetulnya dia merasa sungkan untuk mengakui sendiri bahwa dia adalah Si Tangan Halilintar, julukan yang mengandung sikap pamer. Akan tetapi melihat Siauw Beng tidak segera menjawab, Ai Yin sudah mendahuluinya.
"Tepat sekali! Dia inilah yang berjuluk Si Tangan Halilintar yang terkenal sakti, bijaksana dan budiman!”
"Ai Yin…!” Siauw Beng menegur temannya karena dia tidak ingin namanya dipuji-puji seperti itu. Akan tetapi tujuh orang itu mengerutkan alis dan mengira bahwa pemuda yang buntung lengan kirinya itu mencegah nama julukannya di perkenalkan karena takut dan merasa bersalah!
"Hemmm, bagus sekali, akhirnya kami dapat menemukan engkau, penjahat muda yang kejam dan seperti iblis! Menyerahlah untuk kami tangkap dan kami hadapkan ke pengadilan untuk memberi hukuman setimpal dengan kejahatan-kejahatan yang kau lakukan!”
"Wah-wah-wah, sejak kapan Kang-lam Jit-hiap (Tujuh Pendekar Selatan Sungai) menjadi antek Mancu?” tiba-tiba Ai Yin berkata dengan nada mengejek. Tujuh orang itu terkejut dan di jenggot panjang memandang kepada Ai Yin penuh selidik. "Engkau mengenal kami, Nona? Siapakah engkau?”
"Dengar baik-baik, Kang-lam Jit-hiap. Aku bernama Wong Ai Yin, puteri Bu-tek Sin-kiam Wong Tat dan selamanya kami adalah pendekar penentang kejahatan dan tak sudi menjadi antek Mancu!”
Sikap tujuh orang itu berubah dan pembicara yang mewakili kawan-kawannya itu berkata. "Ah, kiranya Nona adalah puteri Pendekar patriot Buk-tek Sin-kiam (Pedang Sakti Tanpa Tanding). Kami sama sekali bukan antek pemerintah Mancu, Nona. Kami hendak menangkap si jahat ini untuk dihadapkan pengadilan para orang gagah.”
"Eh, jangan ngawur! Kalian ini orang-orang tua seenaknya saja menuduh temanku ini jahat. Si Tangan Halilintar Lauw Beng ini sama sekali bukan penjahat, sebaiknya dia adalah seorang pendekar pembela kebenaran dan keadilan yang selalu menentang kejahatan!”
"Nona Wong, agaknya engkau yang masih amat muda dan belum berpengalaman mudah saja terbujuk oleh iblis ini. Ketahuilah, Si Tangan Halilintar ini melakukan banyak kejajatan yang menggegerkan dunia kang-ouw. Dia membunuh banyak orang kangouw, dan yang lebih jahat lagi, dia memperkosa wanita lalu membunuh mereka. Sadarlah, Nona, engkau telah tertipu oleh penjahat ini.”
Ai Yin hendak membantah, akan tetapi Siauw Beng memegang lengannya. "Ai Yin, biar aku yang menghadapi mereka”. Lalu dia memberi hormat kepada tujuh orang itu lalu berkata, "Jit-wi Lo-cian-pwe (Tujuh Orang Tua Gagah), terus terang saja, saya sungguh tidak mengerti akan tuduhan jit-wi ( kalian bertujuh) ini. Saya tidak pernah melakukan kejahatan seperti yang kalian tuduhkan itu.”
"Hemmm, mana ada penjahat mengakui kejahatannya? Si Tangan Halilintar, selama beberapa bulan ini entah berapa banyak yang kau bunuh, harta engkau curi dan wanita engkau perkosa lalu kau bunuh! Semua orang mengetahui bahwa Si Tangan Halilintar yang buntung lengan kirinya adalah seorang penjahat yang teramat keji. Sekali lagi, menyerahlah dengan baik, atau terpaksa kami akan menggunakan kekerasan untuk menangkapmu, hidup atau mati!”
"Heiii, Kam-lam Jit-hiap! Kalian ini benar-benar pendekar atau siauw-jin (orang rendah) yang bicara ngawur dan menyebar fitnah! Akulah yang selama ini melakukan perjalanan bersama Siauw Beng dan bersama-sama menentang kejahatan dan menolong orang-orang yang tertindas. bagaimana kalian dapat menuduhkan semua kejahatan itu? Akulah saksinya, dan aku berani bersaksi dan bersumpah di depan siapapun juga!”
Tujuh orang itu saling pandang. Nama besar Bu-tek Sin-kiam membuat mereka meragu. Kalau gadis ini benar puteri Bu-tek Sin-kiam kiranya tidak mungkin ia berdusta. Akan tetapi siapa tahu? Jangan-jangan gadis ini sudah terpikat dan jatuh cinta kepada Si Tangan Halilintar. Kalau perempuan sudah jatuh cinta, bisa saja dia berusaha melindungi pria yang dicintainya!
Nona Wong, dengarlah baik-baik. Kami adalah orang-orang sepaham dan segolongan dengan ayahmu, Bu-tek Sin-kiam dan tentu saja kami tidak ingin berselisih apalagi bermusuhan dengan puteri Bu-tek Sin-kiam. Akan tetapi mungkin saja engkau tidak tahu bahwa engkau berteman dengan seorang penjahat yang amat keji!
Kalau engkau hendak menjadi saksi yang mengatakan bahwa dia tidak bersalah, di sana ada puluhan orang sakti yang menyatakan bahwa Si Tangan Halilintar ini telah membunuh dan memperkosa banyak orang! Bagaimana kesaksian satu orang dapat melawan kesaksian puluhan orang?”
"Aku tidak peduli! Yang jelas, Siuaw Beng ini tidak bersalah dan aku akan membelanya terhadap tuduhan siapapun juga!”
"Nanti dulu, Ai Yin, biarkan aku yang mengambil keputusan" kata Siauw Beng lalu dia menghadapi tujuh orang itu. "Lo-cian-pwe, aku siap untuk dihadapkan di pengadilan manapun karena memang aku sama sekali tidak pernah melakukan semua kejahatan yang dituduhkan tadi. Aku tidak takut menghadapi fitnah ini.”
"Bagus, kalau begitu tugas kami menjadi ringan dan kami tidak harus mempergunakan kekerasan!” kata si jenggot panjang.
"Tidak…..!” Dengan suara melengking Ai Yin melompat kedepan Siauw Beng seolah hendak melindunginya. "Ai Yin…!”
Gadis itu membalik dan menghadapi Siauw Beng. Matanya mengkilat mukanya merah karena marah. "Siauw Beng, jangan bodoh! Semua yang dituduhkan padamu itu hanya ada dua kemungkinan. Pertama, mungkin hanya fitnah yang disebarkan orang-orang yang tidak suka kepadamu. Kedua, mungkin saja ada orang yang menyamar sebagai engkau dan melakukan semua kejahatan itu semata-mata untuk merusak namamu agar engkau dimusuhi semua orang!
"Kalau engkau menyerah, berarti engkau menyerahkan nyawa karena orang-orang yang sudah termakan fitnah seperti tujuh orang tua bodoh itu pasti akan membunuhmu. Sebaiknya kita menyelidiki sendiri siapa yang menyebar fitnah ini dan menangkap pelakunya untuk membersihkan namamu!”
Mendengar ucapan Ai Yin yang keras ini Siauw Beng tertegun. Benar juga, pikirnya, dan ia mengangguk. "Kurasa engkau benar, Ai Yin” Lalu dia menghadapi tujuh orang itu. "Jit-wi Lo-cian-pwe, maafkan aku. Aku akan pergi sendiri melakukan penyelidikan dan aku akan menyerat orang yang menyebar fitnah itu ke hadapan Lo-cian-pwe!”
"Si Tangan Halilintar! Seperti yang kami katakan tadi, engkau harus ikut kepada kami untuk menghadap pengadilan. Kami tidak dapat melepas engkau begitu saja setelah engkau memperkosa dan membunuh seorang murid wanita kami! Menyerahlah, atau terpaksa kami akan menyerangmu!”
"Seranglah kalau kalian berani, kalian orang-orang tua yang mengaku pendekar akan tetapi bodoh dan ngawur!” Ai Yin berdiri menghalang seolah hendak melindungi Siauw Beng. Tujuh orang itu mencabut pedang mereka dan dengan muka membayangkan kemarahan mereka mengepung. Ai Yin juga marah dan ia mencabut Liong-cu-kiam, melintangkan pedang itu depan dada dan siap melawan Kang-lam Jit-hiap!
Siauw Beng memperhatikan gerakan tujuh orang yang mengepung itu dan diam-diam terkejut. Mereka itu membentuk kiam-tin (barisan pedang) dan melihat kedudukan mereka, tujuh orang pendekar pedang itu membentuk Jit-seng Kiam-tin (Barisan Pedang Tujuh Bintang). Agaknya Ai Yin, yang menjadi puteri tunggal Si Pedang Sakti Tanpa Tanding, juga mengenal barisan pedang yang tangguh itu, maka sambil berteriak melengking ia sudah mendahului mereka dan menerjang sambil berseru, "Lihat pedang!”
Sinar pedang bergulung-gulung menyambar kearah tujuh orang itu. Tujuh orang itu terkejut sekali. Mereka maklum bahwa puteri Bu-tek Sin-kiam, biarpun masih begitu muda, tentu memiliki ilmu pedang yang amat dahsyat, maka mereka membentuk barisan bintang dan mereka bergerak secara sambung menyambung dan saling melindungi.
Kemanapun sinar pedang Ai Yin menyambar, selalu pedangnya bertemu dengan tangkisan-tangkisan tujuh buah pedang. Memang tujuh orang itu merasa betapa tangan mereka yang memegang gagang pedang tergetar hebat, akan tetapi bagaimanapun juga, sebatang pedang Ai Yin tentu saja kewalahan menghadapi pengeroyokan tujuh pedang lawan.
Tiba-tiba Siauw Beng menangkap lengan kiri Ai Yin dan menarik gadis itu untuk melarikan diri. "Ai Yin, kita pergi!” katanya sambil menerjang ke kiri. Dua orang yang berada di kiri cepat menggerakkan pedang mereka untuk mencegah larinya Siauw Beng akan tetapi dua kali kaki kiri Siauw Beng menyambar dan dua orang itu terpelanting roboh.
Kesempatan itu dipergunakan Siauw Beng untuk menarik Ai Yin lari dengan cepat meninggalkan para pengeroyok itu. Setelah berlari jauh dan tidak dapat di kejar Kang-lam Jit-hiap, Ai Yin meronta, melepaskan lengan kirinya yang dipegang tangan kanan Siauw Beng.
"Eh, Siauw Beng! Engkau ini bagaimana sih? Aku membelamu dari mereka, malah engkau memaksa dan mengajak aku lari! Memalukan benar! Kau kira aku takut melawan Jit-seng Kiam-tin mereka?”
"Bukan begitu, Ai Yin. Aku bahkan yakin engkau akan mampu mengalahkan mereka. Akan tetapi kalu kita kesalahan tangan melukai atau membunuh mereka, namaku menjadi semakin terkenal sebagai seorang penjahat yang memusuhi para pendekar!”
"Akan tetapi mereka keras kepala, hendak menangkapmu!”
"Untuk itu, mereka tidak dapat disalahkan, Ai Yin. Coba bayangkan, andaikata kita yang mengalami hal seperti itu, anaknya diperkosa lalu di bunuh orang, bagaimana rasanya? Tentu saja mereka menjadi mata gelap, pikirannya tidak begitu jernih lagi, adanya hanya luapan nafsu amarah dan dendam. Apalagi tanda-tandanya sudah begitu jelas! Penjahat itu lengan kirinya buntung dan berjuluk Si Tangan Halilintar! Keadaan dan julukan penjahat itu sama benar denganku, maka dapat dimaafkan kalau mereka menjadi marah sekali, setiap bantahan dan alasan kita dianggap bohong.”
Ai Yin mengangguk-angguk. "Setelah aku mendengar omonganmu, memang benar demikian, Siauw Beng. Mata mereka di butakan nafsu amarah, pikiran mereka di gelapkan dendam sakit hati. Akan tetapi yang terkutuk adalah penjahat itu. Bukan saja dia kejam dan jahat dengan pembunuhan-pembunuhan dan perkosaan-perkosaan itu, akan tetapi dia juga licik dan curang sekali menggunakan namamu sehingga engkau yang makan getahnya.”
Mendengar suara gadis itu penuh gelora amarah Siauw Beng berkata. "Tenangkan hatimu dan usir kemarahan itu, Ai Yin. Dengan pikiran jernih dan hati tenang, kita dapat berpikir lebih terang. Mendengar pengakuan Kang-lam Jit-hiap tadi bahwa seorang murid perempuan mereka di perkosa dan dibunuh penjahat itu, maka jelas bahwa ini bukan sekedar fitnah bohong.
"Jelas memang ada orang yang menyamar sebagai aku dan melakukan semua kejahatan itu, tentu dengan maksud agar aku yang menjadi bulan-bulan kemarahan orang. Hal ini mengingatkan aku akan pengalamanku dahulu ketika aku di musuhi Ciong-yang Ngo-taihiap dan ayah angkatku sendiri, Ma Giok. Akan tetapi hal itu terjadi karena salah paham.
"Mereka mengira aku menjadi pengkhianat dengan membela Puteri Mancu yang mereka sangka mengerahkan pasukan membunuh kakak beradik Song yang menjadi orang pertama dan kedua dari Lima Pendekar Besar itu. Akan tetapi sekarang jelas ada orang yang agaknya teramat membenci aku dan dengan caranya yang licik itu dia hendak mencelakai aku.”
"Tapi dia juga berlengan kiri buntung. Apakah engkau tahu, siapa orang yang buntung lengan kirinya dan membencimu, Siauw Beng?”
Siauw Beng menggeleng kepalanya. "Bahkan seorang yang berlengan kirinya buntung saja belum pernah aku melihatnya, apalagi yang mengenal dan membenciku.”
"Siauw Beng, apakah ada orang yang membencimu, amat membencimu?” Tanya Ai Yin pula, alisnya berkerut dan matanya memandang tajam seperti seorang penyelidik kelas berat sedang menyelidiki sebuah kasus rumit!
"Entahlah, mungkin saja banyak sekali walaupun, puji sukur kepada Thian, aku sendiri tidak mempunyai perasaan benci kepada siapapun!”
"Siauw Beng, jalan satu-satunya adalah menyelidiki tentang penjahat itu. Kita mencari berita tentang dirinya dan dimana ada berita penjahat itu beraksi, kita harus cepat mengejar ke sana!”
Demikianlah, Siauw Beng dan Ai Yin mulai mendengar-dengarkan dan mencari berita tentang sepak terjang penjahat yang memakai nama Si Tangan Halilintar yang buntung lengan kirinya itu. Akan tetapi sejak bertemu dengan Jit-hiap (Tujuh Pendekar) Siauw Beng terpaksa harus menyembunyikan diri dari orang banyak.
Apalagi dia pernah dikejar dan di serang pasukan Pemerintah Mancu, dan sekali lagi oleh serombongan pendekar. Si Tangan Hlilintar berlengan kiri buntung yang membunuhi banyak orang, baik orang itu pembesar Mancu ataukah pendekar. Juga dimana-mana dia melakukan perkosaan dan pembunuhan terhadap wanita!
Yang terkadang hampir tak dapat menahan rasa penasaran dan kemarahannya adalah Ai Yin. Ketika mereka berdua mendengar bahwa Si Tangan Halilintar itu melakukan perkosaan dan pembunuhan di sebuah dusun, mereka cepat masuk dusun itu. Akan tetapi begitu orang melihat Siauw Beng, mereka berduyun-duyun datang dengan segala macam senjata di tangan, di pimpin oleh kepala dusun dan beberapa orang yang tampaknya ahli silat!
"Bunuh Si Tangan Halilintar! Bunuh si lengan buntung!” Demikian mereka berteriak-teriak dan hendak menyerbu.
"Tahaaannnn….!” Tiba-tiba Ai Yin berteriak melengking, mengejutkan semua orang yang menahan langkahnya dan memandang gadis yang sudah melayang naik ke atas sebuah atap rumah bersama seorang pemuda berlengan kiri buntung yang mereka yakini sebagai penjahat yang sedang tersohor itu, yang semalam memperkosa dan membunuh seorang gadis dusun itu.
"Kalian semua dengarlah baik-baik! Penjahat yang melakukan pembunuhan dan perkosaan, yang menggunakan nama julukan Si Tangan Halilintar itu adalah palsu! Si Tangan Halilintar yang asli adalah pendekar ini, seorang pendekar bernama Lauw Beng yang tidak pernah melakukan kejahatan bahkan selalu menentang kejahatan! Aku, Wong Ai Yin, puteri Bu-tek Sin-kiam, menjadi saksinya! Aku selalu bersamanya dan tidak pernah melihat dia melakukan kejahatan. Penjahat itu adalah Si Tangan Halilintar palsu!"
Akan tetapi, dengan suara penuh gemuruh penduduk itu menyatakan tidak percaya dan mereka lalu memungut batu dan menyambitkan batu-batu itu kea rah Siauw Beng dan Ai Yin! Ai Yin jengkel sekali dan membanting kakinya, tidak ingat bahwa ia berdiri di atas genteng sehingga ada genteng yang remuk.
"Menyebalkan! Monyet-monyet bodoh itu!”
Siauw Beng yang juga repot menangkis batu-batu itu seperti halnya Ai Yin berkata, "Percuma saja, Ai Yin. Hayo pergi dari sini!” Dia menggandeng tangan gadis itu dan mereka melayang turun ke belakang rumah itu dan melarikan diri.
Sambil berteriak-teriak penduduk mengejar dan berteriak-teriak penduduk mengejar dan mencari mereka, akan tetapi dua orang muda itu telah pergi jauh. Setelah tiba di tempat yang jauh dari dusun itu, Ai Yin berhenti dan ia membanting-banting kaki kanannya saking jengkel. "Sialan dangkalan! Masa kita dilempari batu dan di kejar-kejar seperti anjing!”
"Sudahlah, Ai Yin. Bukan kesalahan mereka. Kita harus mencari penjahat itu dan mulai sekarang aku tidak akan memperlihatkan diri kepada umum sebelum penjahat itu tertangkap!”
Mereka melanjutkan perjalanan, tetap mengikuti jejak si penjahat yang berpindah-pindah dan meninggalkan jejaknya berupa pembunuhan dan perkosaan.
Ketika pada suatu siang Siauw Beng dan Ai Yin tiba diluar sebuah hutan, tiba-tiba bermunculan orang-orang berpakaian sebagai pendekar. Ada belasan orang jumlahnya dan dari lain jurusan muncul pula sekitar dua puluh orang pasukan pemerintah Ceng, dipimpin seorang perwira Mancu yang tinggi besar!
"Bunuh penjahat Si Tangan Halilintar!”
"Tangkap pemberontak!”
Siauw Beng dan Ai Yin terkejut sekali. Setiap kali mengejar jejak yang ditinggalkan penjahat itu, selalu saja mereka di hadang orang-orang kang-ouw atau pasukan pemerintah, seakan-akan gerakan mereka telah diketahui orang! Mereka tidak tahu bahwa memang pasukan dan para orang kang-ouw itu mendapatkan berita entah dari siapa datangnya, akan adanya Si Tangan Halilintar di suatu tempat dan ketika mereka mendatangi tempat itu, benar saja mereka bertemu Siauw Beng dan Ai Yin. Tanpa banyak cakap lagi, puluhan orang yang berteriak-teriak itu sudah menyerbu dan menyerang Siauw Beng. Siauw Beng merasa percuma saja kalau dia membela diri menyangkal. Orang–orang itu tidak mau mendengarkan dan mereka semua itu sudah yakin bahwa dialah penjahat Si Tangan Halilintar itu! Ai Yin yang membela Siauw Beng tentu saja juga ikut dikeroyok. Siauw Beng dan Ai Yin merobohkan para pengeroyok terdekat dengan tamparan atau tendangan. Mereka mencabut pedang, akan tetapi pedang itu hanya untuk menangkis saja. Mereka merobohkan pengeroyok akan tetapi tidak mau melukai dengan senjata tajam.
"Ai Yin, lari....!” ketika mendapat kesempatan, Siauw Beng mengajak gadis itu meloloskan diri dari kepungan dan lari. Akan tetapi, baru berlari belasan langkah, tiba-tiba mereka di hadang tiga orang. Ketika melihat bahwa satu di antara tiga orang itu adalah Can Ok, Ai Yin marah sekali.
"Can-susiok (paman guru Can), berani engkau hendak menyerang aku?”
Can Ok berkata kepada seorang laki-laki Mongol yang bertubuh tinggi kurus. "Tangkap nona ini!”
Kemudian Can Ok dan orang Mongol kedua yang bertubuh besar pendek menerjang Siauw Beng. Can Ok sudah mencabut sepasang pedangnya, sedangkan orang Mongol pendek besar itu menyerang Siauw Beng dengan senjatanya yang aneh, yaitu sebuah rantai baja yang panjangnya melebihi tinggi tubuhnya. Rantai itu tebal dan berat, menyambar-nyambar dengan dahsyatnya.
"Tranggg…!” Ketika pedang Lui-kong Sin-kiam yang tipis di tangan Siauw Beng bertemu dengan ujung rantai, bunga api berpijar dan Siauw Beng terkejut karena mendapat kenyataan bahwa tenaga sakti Orang Mongol itu kuat sekali, jauh lebih kuat daripada tenaga sakti Can Ok. Siauw Beng menghadapi pengeroyokan dua orang ini dengan memutar pedangnya sehingga tampak sinar pedang bergulung-gulung dengan dahsyatnya, membuat Can Ok dan orang Mongol itu melangkah mundur dengan kaget.
Akan tetapi, para orang kangouw yang tadi di tinggal lari, sudah mengejar dan merekapun ikut mengeroyok sehingga Siauw Beng dikeroyok banyak sekali orang. Demikian pula dengan Ai Yin. Orang Mongol tinggi kurus itu juga menyerangnya dengan senjata rantai baja yang panjang. Namun, dengan Liong-cu-kiam, pedang pusaka yang ampuh itu, Ai Yin dapat melindungi dirinya dengan baik.
Ia bukan hanya dapat menangkis, akan tetapi juga dapat membalas dengan serangan pedang yang tidak kalah dahsyatnya. Akan tetapi segera pengeroyok yang amat banyak jumlahnya membuat Ai Yin terkepung rapat dan kewalahan sekali. Untung bahwa para pengeroyok itu tidak bermaksud membunuhnya, melainkan hanya ingin menangkapnya tidak seperti pengeroyokan mereka terhadap Siauw Beng yang merupakan serangan maut.
Betapa pun lihainya, menghadapi pengeroyokan belasan orang yang rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup tangguh, setelah merobohkan empat orang pengeroyok akhirnya rantai baja yang panjang di tangan orang Mongol itu digerakkan sedemikian rupa sehingga melibat tubuh termasuk kedua lengan Ai Yin dan sebuah tendangan seorang pengeroyok dari belakang mengenai belakang lututnya membuat ia roboh terpelanting.
Sebelum ia dapat menguasai dirinya, orang Mongol itu telah menubruk dan menotoknya sehingga tubuhnya menjadi lemas tak mampu meronta. Di lain saat orang Mongol yang tinggi kurus itu sudah memanggul tubuhnya dan membawanya lari dari situ.
Para orang kangouw yang tadi ikut mengeroyok Ai Yin tidak menghalangi dan tidak perduli melihat gadis itu dilarikan orang Mongol dan mereka kini mencurahkan perhatian mereka kepada Siauw Beng, lalu beramai-ramai ikut mengeroyok. Memang penjahat pembunuh dan pemerkosa itulah yang menjadi sasaran mereka.
Repot juga Siauw Beng menghadapi pengeroyokan puluhan orang itu. Apalagi di situ ada Can Ok dan terutama orang Mongol gemuk pendek yang amat lihai itu. Tidak ada kesempatan lagi untuk mengajak Ai Yin melarikan diri. Maka diapun mengamuk dan merobohkan sebanyak mungkin pengeroyok, tentu saja membatasi tenaganya sehingga tidak ada yang tewas. Ketika ia melihat Ai Yin roboh dan dibawa pergi orang Mongol tinggi kurus, dia terkejut dan hendak mengejar dan menolong Ai Yin. Akan tetapi, orang Mongol gemuk pendek dan Can Ok menghalanginya. Can Ok menggerakkan sepasang pedangnya.
"Trangg-tranggg….!”
Can Ok terkejut sekali karena sepasang pedangnya itu sudah terpental lepas dari pegangan tangannya. Pada saat itu, secepat kilat rantai baja di tangan orang Mongol pendek gemuk menyambar dan melibat pinggang Siauw Beng. Orang Mongol itu mengerahkan seluruh tenaganya untuk membetot agar tubuh Siauw Beng terguling roboh. Akan tetapi Siauw Beng mempertahankan dan tiba-tiba, pedang Siauw Beng berkelebat.
"Cringgg….!” Rantai itu telah terbabat putus dank arena orang Mongol itu membetot sekuat tenaga, begitu rantai itu putus, rantai itu terbetot dan menghantam muka pemiliknya.
"Syuuttt…. Praakkkk!” Orang Mongol pendek gemuk itu roboh dengan kepala retak dan tewas seketika. Melihat ini, Can Ok melompat ke belakang. Siauw Beng berloncatan dan merobohkan setiap orang yang berani menghalanginya.
Akhirnya dia berhasil keluar dari kepungan dan melakukan pengejaran ke dalam hutan karena tadi dia melihat orang Mongol tinggi kurus itu membawa lari Ai Yin ke dalam hutan. Akan tetapi hutan itu lebat sekali dan Siauw Beng kehilangan jejak. Dia mencari-cari dengan hati gelisah. Satu hal menghiburnya.
Gadis itu di culik dan tidak dibunuh, maka besar harapan Ai Yin tidak akan mati. Pula, ayah gadis itu adalah Bu-tek Sin-kiam, tokoh yang amat terkenal di dunia kangouw, maka kalau orang hendak mengganggu atau membunuhnya, harus berpikir dulu seratus kali Betapa pun juga, hatinya gelisah dan Siauw Beng melanjutkan pencariannya.
Bagaimana Can Ok dapat muncul di situ bersama dua orang jagoan Mongol yang lihai? Seperti kita ketahui, Can Ok mengadakan persekutuan dengan Cun Song, yaitu nama baru yang digunakan Song Cun. Setelah bersepakat, Can Ok lalu pergi mencari Galdan, Pangeran Mongol yang memimpin bangsa Mongol yang sudah lama runtuh.
Tentu saja Galdan menyambut baik uluran tangan Can Ok yang menjanjikan bahwa dia dapat mengumpulkan banyak pejuang bangsa pribumi Han untuk bersama pasukan Mongol meruntuhkan Kerajaan Ceng, bersekutu pula dengan Pangeran Dorbai yang juga ingin merebut tahta Kerajaan.
Can Ok diterima baik dan Pangeran Galdan lalu membuat surat untuk Pangeran Dorbai, mengutus dua orang jagoannya yang paling lihai untuk pergi ke kota raja Ceng bersama Can Ok dan mewakili dia mengadakan perundingan dengan Pangeran Dorbai sambil menyerahkan suratnya.
Demikianlah, ketika tiba di tempat itu, Can Ok melihat Siauw Beng dan Ai Yin dikeroyok pasukan dan belasan orang kangouw. Karena dia amat membenci Siauw Beng maka dia lalu minta kepada dua orang jagoan Mongol itu untuk membantu mereka yang mengeroyok Siauw Beng dan Ai Yin.
Ketika Siauw Beng dapat meloloskan diri dari kepungan dan lari menghilang, Can Ok juga cepat mengejar ke arah larinya jagoan Mongol yang tinggi kurus dan yang menculik Ai Yin tadi. Dia mengenal Kabilai, jagoan tinggi kurus itu, sebagai seorang yang mata keranjang. Bagaimanapun juga, dia tidak rela kalau sampai Ai Yin, puteri suhengnya (kakak seperguruan) itu dinodai Kabilai, maka dia mengejar.
Akan tetapi, seperti halnya Siauw Beng, dia kehilangan jejak orang Mongol itu dan akhirnya dia terpaksa melanjtukan perjalanannya seorang diri ke kota raja untuk menemui Pangeran Dorbai dan menyampaikan pesan Pangeran Galdan, apalagi surat dari Galdan memang ada padanya.
Setelah beberapa lamanya Ai Yin di panggul dan dilarikan Kabilai, jagoan Mongol itu, pengaruh totokan mulai melemah. Akhirnya gadis itu dapat menggerakkan tubuhnya. Sedikit gerakan ini terasa oleh Kabilai. Dengan kaget dia lalu melepaskan tubuh Ai Yin ke atas tanah karena gadis itu menyerangnya selagi berada di atas pundaknya, hal itu dapat membahayakan nyawanya.
Ai Yin terbanting jatuh, akan tetapi hal ini menguntungkannya karena mempercepat pulihnya jalan darahnya. Cepat ia bergulingan untuk menjauhkan diri agar tidak mudah disergap orang Mongol itu sedangkan tenaganya belum pulih benar.
Kemudian ia melompat bangkit dan ia melihat pula pedangnya, Liong-cu-kiam, terselip di pinggang orang itu. Bukan main marahnya Wong Ai Yin. Sebagai seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, walaupun pedangnya sudah dirampas lawan, ia tidak merasa gentar.
"He-he, manis! Engkau sudah dapat bergerak? Bagus sekali! Aku tidak suka mendapatkan seorang kekasih yang tidak mampu bergerak seperti mayat. Mari, marilah, manis, kita bersenang-senang!” kata Kabilai dengan bahasa campuran Han dan Mongol namun cukup dapat dimengerti oleh Ai Yin.
"Jahanam busuk! Engkau tidak tahu dengan siapa engkau berhadapan! Aku adalah puteri Bu-tek Sin-kiam dan aku pantang menyerah! Bersiaplah untuk mampus ditanganku, orang Mongol busuk!”
Akan tetapi Kabilai belum pernah mendengar nama Bu-tek Sin-kiam, maka tentu saja nama itu tidak ada artinya baginya. Dia tertawa semakin keras. Dia tahu bahwa gadis ini lihai sekali. Akan tetapi kini dia yakin akan dapat mengalahkannya dengan tidak terlalu sukar. Sambil menyerengai Kabilai menghampiri Ai Yin dan kedua lengannya yang kurus panjang dengan otot melingkar-lingkar itu dikembangkan seperti orang hendak menangkap seekor ayam!
Ai Yin tadi sudah merasakan kelihaian orang ini, maka ia berhati-hati. ia berdiri dengan sikap siap menghadapi serangan, tak bergerak namun seluruh urat syarafnya menegang, menanti datangnya serangan karena pada saat lawan menyerang itulah ia berkesempatan untuk membalas serangan secara langsung.
"Mari, mari manis, mari datang kepadaku….!” Kabilai meloncat ke depan, menubruk seperti seekor harimau, kedua lengannya yang panjang itu menyambar dari kanan kiri.
"Wuuuttt…. Wirrr…. Desss!” dengan lincah sekali Ai Yin mengelak, menyusup dibawah lengan kanan lawan, kemudian setelah tiba dibelakang tubuh Kabilai, ia membalik dan kakinya mencuat dalam tendangan kilat yang mengenai pinggul orang Mongol itu.
Kabilai menggereng dan membalik, tangannya menyambar untuk menangkap gadis itu. Namun Ai Yin sudah melompat ke belakang dan ia merasa penasaran sekali karena tendangannya tadi seolah tidak terasa oleh Kabilai yang ternyata melindungi tubuhnya dengan kekebalan. Biarpun tidak terluka oleh tendangan itu, namun Kabilai mulai merasa penasaran.
Kini mulailah dia menyerang dengan pukulan, tendangan dan cengkraman, terutama sekali sambaran tangan itu untuk mencengkram karena dia menggunakan ilmu gulat yang merupakan ilmu berkelahi yang popular dan menjadi andalan rakyat Mongol.
Ai Yin mengimbangi cengkraman-cengkraman itu dengan kelincahan tubuhnya mengelak ke sana-sini sambil membalas dengan tamparan dan tendangan kilat. Beberapa kali tendangan atau tamparannya mengenai sasaran, akan tetapi semua itu seolah tidak dirasakan oleh orang Mongol itu.
Karena semua cengkramannya tidak pernah berhasil, Kabilai mulai marah. Dia mengeluarkan suara gerengan seperti seekor biruang, lalu melolos senjatanya, yaitu rantai baja yang panjang itu. Mulailah dia memutar-mutar senjata itu diatas kepalanya sambil berkata.
"Nah, sekarang jawab! Engkau mau menyerah baik-baik atau ingin mampus dan pecah kepalamu oleh rantai ini?”
Dengan gagah Ai Yin berseru, "Lebih baik mati daripada menyerah kepada seekor anjing srigala macam kamu!”
Muka anjing Mongol itu menjadi merah sekali karena marah mendengar ucapan yang menghina ini. Putaran rantai baja itu semakin cepat sehingga terdengar suara bersiutan dan rantai itu berubah menjadi gulungan sinar yang lebar. "Kalau begitu, mampuslah!”
Dia mulai menyerang dan sinar senjata rantai itu menyambar-nyambar kea rah kepala Ai Yin. Gadis ini menggunakan ginkang (ilmu meringankan tubuh) untuk mengelak. Akan tetapi karena rantai itu panjang dan sambarannya cepat sekali sehingga bertubi-tubi datangnya, Ai Yin sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk mendekati lawannya dan balas menyerang.
Maka iapun hanya dapat berloncatan cepat kesana sini untuk menghindarkan diri dari sambaran ujung rantai yang merupakan tangan maut itu. Mulai terpikirlah oleh Ai Yin untuk melarikan diri karena kalau pertandingan ini dilanjutkan, ia pasti akan celaka. Kalau ia memegang pedang tentu ia akan mampu mengadakan perlawanan lebih seimbang dan bukan mustahil ia akan mampu merobohkan lawan ini....