Si Tangan Halilintar Jilid 23

Cerita silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Si Tangan Halilintar Jilid 23
Sonny Ogawa

Si Tangan Halilintar Jilid 23 karya Kho Ping Hoo - Akan tetapi agaknya Kabilai dapat menduga akan kemungkinan ini maka dia memutar rantainya lebih cepat lagi sehingga semua jalan keluar gadis itu tertutup. Untuk menyelamatkan diri, Wong Ai Yin sudah bergerak dengan ilmu silat Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin) yang membuat tubuhnya berkelebatan cepat ke segala penjuru.

Novel silat Mandarin Si Tangan Halilintar karya Kho Ping Hoo

Tiba-tiba, ketika rantai menyambar dahsyat dan ia bergerak ke kanan, lengan kiri Kabilai memukul dan menyambut elakan tubuh Ai Yin itu. Gadis itu terkejut dan tidak mungkin mengelak lagi. Maka ia pun cepat menangkis dengan tangan kanannya sambil mengerahkan tenaga sinkangnya.

"Plaakkk!” Kedua lengan beradu dan tiba-tiba saja jari-jari tangan kiri Kabilai yang panjang itu telah mencengkram pergelangan tangan Ai Yin. Memang telah menjadi kebiasaan keistimewaan ilmu gulat Mongol untuk mengubah pukulan menjadi cengkraman yang cepat tak terduga lawan.

Kemudian dengan gerakan ilmu gulat, sekali tekuk, lengan Ai Yin sudah dipelintir ke belakang tubuhnya dan di lain saat kedua lengan gadis itu sudah ditangkap oleh kedua tangan Kabilai sehingga ia tidak mampu bergerak lagi.

"Ha-ha-ha, engkau mau lari kemana sekarang, manis? Engkau harus menjadi milikku sekarang!” Orang yang jangkung kurus itu menunduk dan berusaha untuk mencium Ai Yin yang meronta-ronta. Pada saat itu, tampak bayangan berkelebat dan sinar hitam menyambar.

"Craakkk!! Aduuuhhh...!” Kabilai melepaskan Ai Yin dan ia terpelanting roboh, merintih-rintih dan tangan kirinya memegang pundak kanan yang terluka parah oleh bacokan pedang sehingga darahnya bercucuran.

Ai Yin yang sudah terlepas dari cengkraman Kabilai, cepat mengambil sebongkah batu sebesar kepala kerbau, lalu sekali lompat ia mendekati tubuh Kabilai dan ia menghantamkan batu itu ke kepala Kabilai sekuat tenaganya.

"Prookkk…!” Karena Kabilai sedang tersiksa rasa nyeri pada pundaknya yang terbabat pedang sampai terluka parah itu, dia tidak sempat menghindarkan diri, bahkan tidak sempat melindungi kepalanya maka pecahlah kepala itu dan diapun tewas seketika.

Ai Yin cepat mencabut pedangnya yang terselip di pinggang Kabilai lalu dengan pedang ditangan ia memutar tubuh menghadapi orang yang telah menolongnya. Didepannya berdiri seorang pemuda yang memegang sebatang pedang hitam, seorang pemuda yang tampan gagah, berusia kurang lebih dua puluh tiga tahun, tubuhnya tegap.

Pemuda itu tersenyum memandang kepadanya. Ai Yin menghampiri dan ia menyimpan pedangnya dalam sarung pedang yang masih tergantung di punggungnya, lalu memandang pemuda didepannya yang juga sudah menyimpan pedang hitamnya.

"Kalau aku boleh bertanya, siapakah engkau, Nona, dan mengapa pula engkau berkelahi dengan orang Mongol ini?” Pemuda ini bertanya dengan sikap lembut dan senyum memikat.

Ai Yin yang berterima kasih karena merasa diselamatkan dari bahaya maut dalam tangan orang Mongol yang lihai itu, berkata dengan wajah berseri. "namaku Wong Ai Yin, anak tunggal Bu-tek Sin-kiam Wong Tat. Terima kasih atas pertolonganmu tadi, sobat. Siapakah engkau?”

Pemuda itu kembali tersenyum. "Ah, apa yang kulakukan sudah semestinya antara kita saling bantu, apalagi menghadapi seorang Mongol yang jahat? Sudah lama aku mendengar dan menganggumi nama besar lo-cian-pwe Bu-tek Sin-kiam. Sungguh beruntung hari ini dapat bertemu dengan puterinya. Nona, namaku Cun Song dan seperti juga ayahmu, aku adalah seorang pejuang yang menentang penjajah Mancu yang menguasai tanah air kita.”

Ai Yin memandang kagum kepada pemuda itu. Tentu saja ia tidak tahu nama pemuda itu sesungguhnya Song Cun. Seperti kita ketahui, Song Cun kini menggunakan nama Cun Song. Tadi ia melihat perkelahian antara Ai Yin dan seorang Mongol yang tidak dikenalnya. Ketika mendengar Ai Yin memperkenalkan diri sebagai puteri Bu-tek Sin-kiam kepada orang Mongol itu, tentu saja dia segera turun tangan membantunya.

Dia sedang mengantur rencana bersama Can Ok untuk bersekutu dengan Pangeran Galdan dari Mongol dan Pangeran Dorbai untuk merampas tahta Kerajaan Ceng dan untuk itu dia perlu mendapat dukungan dari pendekar yang membenci Pemerintah Mancu. Bu-tek Sin-kiam terkenal sebagai seorang bekas pejuang yang gagah perkasa. Juga, pendekar ini adalah suheng dari Can Ok, maka perlu sekali ia dekati. Apalagi, gadis itu demikian cantik jelita dan lihai pula.

"Wahh, kalau begitu kita ini masih segolongan! Aku juga ingin sekali melihat penjajah Mancu pergi meninggalkan tanah air kita!”

"Bagus, Ai Yin-moi (adik Ai Yin), mari kita bekerja sama membasmi orang-orang Mancu!” kata Cun Song penuh semangat. "Tak jauh disebelah selatan ini terdapat sebuah dusun dan di situ tinggal sebuah keluarga Mancu. Mari kita serbu rumahnya di dusun itu dan membunuh seluruh keluarganya!”

Ai Yin mengerutkan alisnya. "Ah, maksudku bukan seperti itu, toako (kakak). Aku tidak setuju kalau kita membunuhi setiap orang mancu. Yang kita musuhi adalah Kerajaannya, bukan orang-orangnya. Kita musuhi semua orang yang jahat, tidak peduli dia bangsa Mancu atau bangsa Han sendiri. Akan tetapi, biarpun dia Mancu, kalau baik budinya dan tidak jahat, tidak semestinya dibunuh, bahkan kalau dia di ganggu orang jahat, wajib pula kita bela.”

"Aih, sungguh aneh pendirianmu ini, Yin-moi (adik Yin)!” seru Cun Song yang membenci segala yang "berbau” Mancu. Kalau dia setuju ketika Can Ok menyatakan hendak bersekutu dengan Pangeran Dorbai, seorang bangsawan Mancu, hal itu adalah merupakan siasat.

Kalau gerakan itu berhasil, kelak dia sendiri yang akan membunuh Pangeran Dorbai yang dia anggap sebagai musuh besarnya karena pangeran itu yang datang bersama pasukan dan menyerbu rumah paman dan ayahnya, beserta isteri mereka, tewas dibantai pasukan.

"Sama sekali tidak aneh, Song-ko (kakak Song). Bukankah seperti pula pendirian setiap orang pendekar? Menegakkan dan membela kebenaran dan keadilan menentang kejahatan?”

"Akan tetapi seorang patriot harus membela tanah air dan menentang mereka yang menjajah tanah air kita." kata Cun Song penasaran.

"Benar sekali, Song-ko. Ayahku dulu juga berjuang mati-matian menentang bangsa Mancu yang datang menjajah tanah air kita. Akan tetapi perang telah usai maka ayahku lebih suka mengasingkan diri, walaupun hatinya kecewa dan bersedih sekali. Kalau sekarang terjadi perang antara bangsa kita dan penjajah Mancu, percayalah, aku akan membantu bangsa kita dengan taruhan nyawa! Itu sudah menjadi kewajiban setiap warga Negara yang baik.

"Perjuangan dalam perang bukan merupakan urusan pribadi lagi, jadi tidak ada permusuhan perorangan, yang ada hanya bangsa melawan bangsa. Akan tetapi sekarang tidak ada perang lagi, maka aku tidak lagi berjuang seperti juga ayah, melainkan bertindak sebagai seorang pendekar yang menentang semua kejahatan, membela kebenaran dan keadilan. Biarpun bangsa sendiri, kalau dia jahat, akan ku tentang dan biarpun orang Mancu atau Mongol atau suku manapun juga, kalau dia baik dan benar pasti akan kubela.”

Cun Song membelalakan matanya dan mukanya berubah kemerahan. "Aih, darimanakah engkau mendapatkan pendapat seperti itu, Yin-moi?”

"Dari ayah, dari aku sendiri dan diperkuat ketika aku bertemu dan bersahabat dengan Siauw Beng!”

Sepasang mata pemuda itu semakin terbelalak. "Siauw Beng? Siapa dia…?”

"Namanya Lauw Beng akan tetapi biasa disebut Siauw Beng. Dia seorang pendekar besar dengan julukan Si Tangan Halilintar.”

Cun Song tampak terkejut sekali. Tentu saja ini hanya pura-pura karena dia tentu sudah tahu ketika gadis itu menyebut nama Siauw Beng tadi. "Si Tangan Halilintar? Akan tetapi... aku mendengar... penjahat keji... dan dia di cari dan dimusuhi semua orang kang-ouw! Diakah yang kau maksudkan?”

Ai Yin tersenyum tersenyum dan memandang wajah pemuda itu. "Tidak salah, twako. Memang dia orangnya yang menjadi sahabatku.”

"Akan tetapi, mengapa engkau dapat bersahabat dengan seorang…. Pemerkosa dan pembunuh yang amat jahat dan keji…..?”

"Itu hanya fitnah belaka, Song-ko. Siauw Beng sama sekali bukan seorang penjahat.”

"Akan tetapi, aku mendengar bahwa selain jahat, diapun seorang pengkhianat, Yin-moi. Dia itu putera seorang pengkhianat pula! Ayahnya pernah menjadi antek pembesar Mancu, bahkan menikah dengan puteri pembesar itu. Dan ayahnya itu dahulu membantu pemerintah Mancu, memimpin pasukan dan membantai para pejuang. Kemudian, penjahat bernama Lauw Beng itu malah bergaul rapat dengan seorang puteri Mancu!”

Ai Yin mengangguk-angguk. "Semua itu aku sudah tahu, Song-ko!” Ia memandang kearah mayat orang Mongol itu.

"Mari kita tinggalkan tempat ini, tidak enak bicara di dekat mayat itu.”

Mereka lalu berjalan perlahan sambil bercakap-cakap. "Song-ko, Siauw Beng sudah menceritakan semua keadaannya kepadaku. Memang ayahnya pernah tertipu orang Mancu, akan tetapi akhirnya ayahnya tewas sebagai seorang patriot. Ibunya bukan keturunan Mancu, hanya menjadi anak tiri pembesar Mancu. Dan tentang pergaulannya dengan puteri Mancu itu, hemmm… menurut keterangannya, puteri itu adalah seorang gadis gagah perkasa dan berjiwa pendekar.”

"Hemmm, gadis Mancu gagah perkasa yang telah menyebabkan kematian banyak pejuang bangsa kita yang menentang pemerintah penjajah Mancu. Yin-moi, agaknya engkau percaya benar kepada Lauw Beng itu. Lalu, apakah dia juga menceritakan bagaimana lengan kirinya sampai buntung?”

Ai Yin menghela napas panjang. "Aih, memang itu gara-gara dia membela Puteri Mancu itu. Dia membela Puteri itu hendak dibunuh para pendekar pejuang karena dia merasa bahwa puteri itu tidak bersalah, dan ketika dia membelanya itulah lengan kirinya buntung, terbabat pedang.”

"Hemmm, siapa yang membuntungi lengannya?”

"Dia tidak mengatakan siapa, mungkin seorang diantara mereka yang hendak membunuh Puteri Mancu itu. Akan tetapi aku berani menanggung dan menjadi saksi bahwa bukan Siauw Beng yang melakukan semua perkosaan dan pembunuhan itu, Song-ko. Hal ini aku yakin benar karena selama terjadi kejahatan itu, aku selalu bersama dia!”

"Yakin benarkah engkau, Yin-moi? Bagaimana kalau dia melakukan hal itu di waktu malam? Aku yakin engkau tentu berada dikamar terpisah…..”

"Tentu saja!" Ai Yin berseru lantang. "Akan tetapi dari sikapnya, sepak terjangnya. Aku yakin bukan dia penjahat itu. Tentu ada orang lain yang melakukan hal itu dan mempergunakan namanya untuk melempar fitnah kepada Siauw Beng.”

"Kalau begitu tentu ada seorang penjahat yang lengan kirinya juga buntung!" kata Cun Song sambil mengerutkan alisnya.

"Aku kira juga begitu. Engkau yang banyak mengenal orang kangouw, tahukah engkah apakah di dunia kangouw ada seorang lihai yang lengan kirinya buntung?”

Setelah berpikir sejenak Cun Song berkata, Ah, aku ingat sekarang. Ada seorang perampok tunggal di daerah Kwi-cu yang lengan kirinya buntung. Diapun lihai sekali, akan tetapi... usianya sudah setengah tua, mungkin sekarang sudah mendekati lima puluh tahun.”

"Hemmm, mungkin saja dia! Menurut desas-desus, orang yang menggunakan nama julukan Si Tangan Halilintar seperti julukan Siauw Beng itu hanya di ketahui bahwa dia seorang laki-laki berlengan kiri buntung, tidak ada yang melihat jelas wajahnya sehingga tidak ada yang dapat mengatakan apakah dia muda atau tua, Song-ko, katakan, dimana adanya perampok itu dan siapa namanya?”

"Dia tinggal di Kwi-cu dan namanya Tung Ci.”

"Terima kasih, Song-ko. Sekarang aku mau pergi ketempat dimana aku dan Siauw Beng tadi dikeroyok banyak orang dan kalau dapat bertemu dengannya akan kuberitahu dia. Kami akan menemui Tung Ci itu di Kwi-cu!”

"Aku akan membantumu, Yin-moi. Aku juga merasa penasaran sekali mendengar bahwa sahabatmu yang tidak berdosa itu difitnah orang!”

Ai Yin menjadi girang sekali. "Terima kasih, Song-ko, aku girang sekali!”

Mereka berdua lalu meninggalkan tempat itu dan menuju ke jalan dekat hutan dimana tadi Ai Yin dan Siauw Beng dikeroyok banyak perajurit Mancu dan orang-orang kangouw. Akan tetapi setelah mereka tiba di tempat itu, disitu sepi saja, tidak tampak ada seorangpun. Hanya di atas tanah terdapat tanda-tanda bahwa di situ baru saja di injak-injak banyak kaki orang dan ada ceceran darah di sana-sini.

"Hemmm, agaknya mereka semua telah pergi." kata Ai Yin. "Apakah tadi mereka mengeroyok engkau dan Lauw Beng itu di sini? Siapa saja yang mengeroyok kalian?” Tanya Cun Song.

"Ah, sungguh menyebalkan!” Ai Yin membanting kaki dengan gemas. "Ada puluhan orang. Mereka terdiri dari perajurit-perajurit Mancu, dan ada pula orang-orang kang-ouw dan yang membuat aku gemas, paman guruku Toat-beng Siang-kiam (Sepasang Pedang Pencabut Nyawa) Can Ok juga datang bersama dua orang Mongol itu. Seorang di antaranya setelah mengeroyokku dengan banyak sekali orang dapat menangkap aku dan membawaku lari ke hutan dimana engkau datang membantuku tadi, Song-ko.”

Diam-diam Cun Song terkejut bukan main, tetapi wajahnya tidak membayangkan sesuatu. Kiranya Can Ok yang muncul bersama dua orang Mongol yang lihai itu! Kalau begitu, dua orang Mongol itu tentu orang-orangnya Pangeran Galdan yang di utus bersama Can Ok mengunjungi Pangeran Dorbai di kota raja. Dan dia telah membunuh seorang diantaranya! Akan tetapi, peristiwa itu tidak diketahui siapapun kecuali dia sendiri dan Ai Yin. Can Ok tidak akan mengetahuinya dan dia tidak akan dipersalahkan.

"Lalu, kemana perginya Lauw Beng?” dia bertanya sambil memandang ke sekeliling karena bagaimanapun juga, dia khawatir kalau-kalau Lauw Beng masih berada di tempat itu. Dia sendiri tidak takut kepada Lauw Beng karena sekarang kepandaiannya telah meningkat tinggi setelah dia digembleng oleh Jit Kong Lama. Dia bahkan merasa yakin akan mampu mengalahkan dan membunuh Lauw Beng. Akan tetapi gadis ini sahabat baik Lauw Beng. Kalau mereka maju berdua mengeroyoknya, tentu akan berbahaya baginya karena juga memiliki ilmu silat tinggi.

Ai Yin lalu berteriak memanggil dengan suara melengking tinggi karena ia menggunakan tenaga saktinya. "Siauw Beng....! Siauw Beng…!“

Beberapa kali ia mengulang panggilannya, akan tetapi hanya gema suaranya yang menyambut. Tentu saja Siauw Beng tidak dapat mendengarnya sama sekali karena pemuda itu telah pergi amat jauh dalam usaha pemuda itu mencari jejak Ai Yin yang dilarikan orang Mongol.

"Dia tidak berada di sini, Yin-moi." kata Cun Song dengan hati lega.

"Ya, agaknya dia sudah pergi dari sini.”

"Atau mungkin dia tertangkap oleh banyak orang itu!”

"Tidak mungkin ! Tidak mungkin Siauw Beng dapat tertawan oleh mereka!”

"Lalu kemana dia pergi?”

"Mungkin dia pergi mencari aku atau melanjutkan pencariannya terhadap orang yang menyamar sebagai dia itu. Kami berdua memang sedang mencari orang itu untuk membuktikan bahwa Siauw Beng bukan pelakunya”

"Hemm, kalau begitu mari kubantu engkau, Yin-moi. Aku juga merasa penasaran sekali mendengar nama baik Si Tangan Halilintar dinodai oleh penjahat itu. Kita juga cari Lauw Beng.”

Wajah Ai Yin berseri. "Ah, engkau sungguh baik sekali, Song-ko! Engkau telah menyelamatkan aku dan kini membantuku mencari Siauw Beng dan penjahat yang memalsukan namanya itu!”

"Ah, bukankah kita harus saling menolong, Yin-moi?” Kedua orang itu lalu melanjutkan perjalanan mereka untuk mencari Siauw Beng dan juga mencari penjahat itu. Sikap Cun Song yang amat sopan dan baik membuat Ai Yin semakin percaya pada pemuda itu.


"Braakkk...!” Meja yang terbuat dari batu marmar tebal dan kokoh kuat itu hancur berantakan ketika Lam-liong (Naga Selatan) Ma Giok memukulkan tangan kanannya yang terbuka ke atasnya.

Enam orang tamu laki-laki yang duduk dalam ruangan itu memandang dengan alis berkerut dan khawatir. Mereka itu adalah Ciang Hu Seng, Bhe Kam, Lee Bun dan Song Cin yang datang dari Liong-san, adapun yang dua orang lagi adalah Lu Kiat dan keponakannya Lu Siong, dua orang murid Siauw-lim-pai yang terkenal.

Seperti kita ketahui, dua rombongan tamu yang kebetulan datang pada saat yang sama itu hendak melapor kepada Si Naga Selatan Ma Giok tentang anak angkat dan juga murid pendekar itu, Lauw Beng yang berjuluk Si Tangan Halilintar.

"Sukar aku mempercayai pendengaranku!” kata Ma Giok dan wajahnya yang masih gagah walaupun usianya sudah enam puluh tujuh tahun itu merah sekali, matanya mencorong. "Harap saudara Ciang Hu Seng mewakili rombongan dari Liong-san untuk sekali lagi menceritakan apa yang telah dilakukan Lauw Beng di sana.”

Ciang Hu Seng, orang ketiga dari Ciong-yang Ngo-taihiap yang pendek gemuk dan biasanya tertawa-tawa lucu itu kini berwajah tegang serius walaupun mulutnya masih membentuk senyum. "Ma-taihiap, sesungguhnya kami juga merasa tidak enak sekali melaporkan hal ini kepadamu, akan tetapi kami tidak berani bertindak lancang terhadap putera angkat dan murid taihiap itu sebelum kami melapor.

"Seperti taihiap ketahui, kami semua tinggal di Liong-san, mondok di rumah sute (adik seperguruan) Lee Bun. Kurang lebih sebulan yang lalu, pada suatu malam, ada orang menggunakan asap pembius memasuki kamar Bhe Siu Cen, puteri sute Bhe Kam dan memperkosanya! Menurut Siu Cen, pelaku kejahatan itu adalah seorang yang lengan kirinya buntung.

"Kami tadinya baru menyangka saja bahwa pelakuknya adalah Lauw Beng, akan tetapi setelah melakukan perjalanan ke sini, kami menjadi yakin karena di sepanjang perjalanan itu kami mendengar bahwa seorang penjahat lengan kiri buntung yang berjuluk Si Tangan Halilintar melakukan banyak pembunuhan dan perkosaan. Maka kami menghadap taihiap dan mohon pertimbangan.”

Jelas tampak betapa dada pendekar tua itu terengah-engah. Agaknya dia masih dapat menahan kemarahannya. Akan tetapi dia masih dapat menekan perasaannya dan kini dia memandang kepada Lu Kiat dan Lu Siong. Dia juga mengenal Lu KIat sebagai seorang murid Siauw lim yang dulu pernah berjuang bersamanya menentang penjajah Mancu. "Saudara Lu Kiat ceritakanlah apa yang engkau ketahui?”

Lu kiat menghela napas. "Saya dan keponakan saya Lu Siong ini juga merasa tidak enak hati sekali, Lo-cianpwe. Akan tetapi kami hendak menceritakan apa adanya, apa yang sebenarnya terjadi. Pada suatu malam, kebetulan saya berkunjung ke rumah suheng Gui Liang yang tentu Lo-cian-pwe juga sudah mengenalnya...”

"Yang menjadi piauw-cu di Ceng-jun itu?”

"Benar, Lo-cian-pwe. Dulu kami juga pernah berjuang dibawah pimpinan Lo-cian-pwe. Nah, malam itu terjadi malapetaka yang mengerikan menimpa keluarga Gui-suheng. Seorang penjahat memperkosa lalu membunuh Gui Cin, puteri suheng, bahkan Gui-suheng juga dibunuhnya ketika melawan. Isteri Gui-suheng juga tewas dibunuh penjahat berlengan kiri buntung itu.

Saya sempat melawannya dan saya mengenal gerakan silat Lo-han-kun dari Siauw-lim ketika dia berkelahi melawan saya. Akan tetapi gerakannya itu luar biasa hebatnya sehingga saya roboh. Untung saya tidak sampai terbunuh dan dia melarikan diri karena keributan itu memancing datangnya banyak orang.”

Wajah yang tadinya agak merah itu berubah menjadi pucat. "Kau… kau mengenal wajahnya?”

"Itulah sayangnya, Lo-cianpwe. Cuaca amat gelap dan saya tidak dapat melihat wajahnya. Hanya saya tahu bahwa dia seorang laki-laki yang buntung lengan kirinya dan amat lihai. Gui Cin itu adalah tunangan keponakan saya Lu Siong ini. Kami lalu pergi menghadap suheng Lauw Han Hwesio, ketua kuil Thian-li-tang di lereng Bukit Ayam dan melaporkan kejadian itu.

"Setelah berunding dengan suheng Lauw Han Hwesio, kami lalu membagi tugas. Suheng Lauw Han Hwesio pergi ke Sung San kepada para pimpinan Siauw-lim-pai sedangkan kami berdua pergi ke sini untuk menghadap lo-cian-pwe. Seperti juga saudara-saudara dari Liong-san ini, di sepanjang jalan kami juga mendengar tentang Si Tangan Halilintar yang membunuh dan memperkosa wanita.”

Setelah Lu Kiat berhenti bercerita, keadaan menjadi sunyi. Ma Giok mengerutkan sepasang alisnya dan memejamkan mata, lalu tanpa membuka mata dia bertanya. "Apakah diantara kalian ada yang melihat sendiri peristiwa bahwa penjahat itu adalah Lauw Beng?”

Orang-orang itu saling pandang dan Ciang Hu Seng berkata, "Di antara kami berempat tidak ada yang melihatnya, taihiap. Akan tetapi semua tanda menunjukkan bahwa dia pelaku kejahatan itu. Siapa lagi yang lengan kirinya buntung, lihai dan berjuluk Si Tangan Halilintar kalau bukan Lauw Beng. Juga kejahatannya terhadap kami ada alasannya, yaitu agaknya dia hendak membalas dendam karena kami membuat lengan kirinya buntung.”

Ma Giok masih memejamkan matanya dan mengerutkan matanya dan mengerutkan alisnya, agaknya belum puas dengan keterangan Ciang Hu Sen yang di anggapnya tidak meyakinkan itu.

"Lo-cianpwe, dalam perjalan, kami berdua bertemu dengan Puteri Mayani dan seorang nenek yang mengaku sebagai nenek Si Tangan Halilintar!” kata Lu Kiat.

Ma Giok membuka matanya dan memandang Lu Kiat dengan mata heran. Juga empat orang dari Liong-san memandang heran. "Saudara Lu Kiat, harap segera ceritakan pertemuan itu!” kata Ma Giok.

"Ketika itu, kami tiba di kota Teng-cun dan mendengar kabar bahwa di situ terdapat seorang nenek yang mengaku sebagai nenek Si Tangan Halilintar. Kami segera mencarinya karena mungkin dari nenek itu kami dapat menemukan cucunya. Kami bertemu dengan nenek itu yang bersama Puteri Mayani. Mereka berdua marah mendengar berita tentang Si Tangan Halilintar dan mengatakan bahwa itu hanya fitnah.

"Kami berkelahi dan ternyata, baik nenek maupun puteri itu luar biasa lihainya. Terus terang saja, kami berdua sama sekali bukan lawan mereka. Bahkan pedang kami di rampas dan dipatah-patahkan. Akan tetapi kami sama sekali tidak dilukai.

"Puteri itu lalu menantang kami berlomba. Kami di suruh mencari bukti-bukti nyata bahwa penjahat yang mengaku berjuluk Si Tangan Halilintar itu benar Lauw Beng orangnya, sementara mereka juga akan mencari dan menangkap orang yang menggunakan nama Si Tangan Halilintar untuk memburukkan nama Lauw Beng. Demikian ceritanya, lo-cian-pwe!”

"Sungguh aneh!” kata Bhe Kam yang pernah bertemu dan bertanding melawan Puteri Mayani. "Kami tahu bahwa puteri itu lihai, akan tetapi kalau dengan tangan kosong mampu mengalahkan ji-wi (kalian berdua) tanpa melukai dan mematah-matahkan pedang, hal ini sungguh luar biasa!” Bhe Kam juga mengenal dua orang itu sebagai murid-murid Siauw-lim-pai yang tangguh.

"Saudara Bhe Kam, apakah engkau tidak ingat akan nenek yang menyebut Puteri Mayani sebagai Bu Kui Siang? Nenek itu adalah Nyonya Bu, ibunya mendiang Bu Kui Siang yang entah bagaimana telah menjadi seorang yang luar biasa lihainya dan juga agaknya pikirannya kacau. Tentu Puteri Mayani telah menerima pelajaran silat yang aneh darinya.”

"Sekarang bagaimana, Ma-Taihiap? Kami mohon pertimbangan taihiap tentang Si Tangan Halilintar!" kata Ciang Hu Seng.

"Kami juga mohon petunjuk, lo-cianpwe." kata pula Lu Kiat.

Wajah pendekar tua itu menjadi merah kembali dan sejenak dia tidak mampu menjawab, agaknya mempertimbangkan dalam hatinya karena apa yang didengarnya itu betul-betul mendatangkan guncangan dan pertentangan dalam batinnya. Kemudian, dia memandang kepada semua orang itu dan berkata dengan suara tegas.

"Cu-wi (saudara sekalian), terus terang saja hatiku belum yakin benar bahwa anak angkatku itu melakukan semua perbuatan keji itu. Bukan sekali-kali aku menganggap keterangan kalian bohong. Akan tetapi karena di antara kalian tidak ada seorangpun yang menyaksikan sendiri bahwa Lauw Beng yang melakukan kejahatan itu.

Juga tidak ada yang dapat mengajukan bukti-bukti kuat, melainkan hanya mendengar atau melihat bayangan laki-laki buntung lengan kirinya yang mengaku Si Tangan Halilintar. Karena itu, benar seperti yang dikatakan Puteri Mayani. Kita harus menangkap orang yang menggunakan namanya.

"Kalau kemudian ternyata bahwa benar Lauw Beng yang melakukan kejahatan itu, aku sendiri yang akan membinasakannya! Nah, sekarang kalian pergi dan carilah Lauw Beng aku sendiri akan menyelidiki peristiwa ini dan andaikata benar dugaan Puteri Mayani bahwa ada orang yang memalsukan Lauw Beng, aku akan berusaha menangkapnya.”

Enam orang itu lalu berpamit dan meninggalkan Thai-san. Lu Kiat dan Lu Siong mengambil jalan sendiri, berpisah dari rombongan Ciong-yang Ngo-taihiap. Setelah para tamunya pergi dan berkemas, Ma Giok terpaksa juga turun gunung karena dia merasa bertanggung jawab kalau benar anak angkatnya itu melakukan kejahatan seperti yang dilaporkan para tamunya tadi.

Akan tetapi biarpun mereka mengambil jalan sendiri, tetap saja tujuan perjalanan mereka itu sama. Untuk mencari kepastian apakah pelaku kejahatan itu Lauw Beng atau bukan, satu-satunya cara adalah menangkap basah penjahat itu. Maka tentu saja mereka ke tempat-tempat dimana penjahat itu meninggalkan jejaknya, yaitu dimana terjadinya pembunuhan dan perkosaan itu.

Dalam perjalanannya, Ma Giok juga mendengar tentang kejahatan dan kekejian yang dilakukan penjahat yang mengaku Si Tangan Halilintar. Tentu saja hal ini membuat perasaannya terpukul sekali. Benarkah Lauw Beng yang melakukan semua ini? Sambil melangkah perlahan dia termenung mengenangkan keadaan pemuda yang telah di anggap sebagai anaknya sendiri dan yang sebetulnya amat disayangnya itu.

Biarpun ayah Lauw Beng, yaitu mendiang Lauw Heng San pernah menjadi kaki tangan penjajah yang menumpas para pejuang, akan tetapi Lauw Heng San berbuat demikian karena tertipu. Dia mengira bahwa yang di tumpas itu adalah gerombolan penjahat. Akhirnya dia menyadari bahkan membunuh Pangeran Abagan yang menjadi mertua tirinya sendiri. Jelas bahwa Lauw Heng San bukan orang jahat.

Juga isteri Lauw Heng San, Bu Kui Siang, adalah seorang wanita yang baik budi, wanita yang amat dicintainya. Maka, Lauw Beng bukan keturunan orang jahat. Lauw Beng pernah di tuduh menjadi pengkhianat bangsa, akan tetapi dia tahu bahwa pembelaan Lauw Beng terhadap Puteri Mancu itu bukan merupakan pengkhianatan. Dia membela karena menganggap Mayani tidak bersalah.

Akan tetapi pembelaannya itu menyebabkan dia kehilangan lengan kirinya, dibuntungi oleh Song Cun. Apakah peristiwa itu kemudian membuat dia mendendam dan dalam sakit hatinya dia menjadi berubah kejam? Ma Giok hampir tidak percaya. Akan tetapi dia bertekat untuk dapat menangkap pelaku kejahatan itu, baik pelaku itu Lauw Beng atau orang lain!


Cun Song dan Ai Yin melakukan perjalanan menuji Kwi-cu. Mereka hendak mencari perampok lengan kiri buntung bernama Tung Ci seperti yang diceritakan Cun Song kepada Ai Yin. Selama beberapa hari dalam perjalanan, Cun Song bersikap ramah dan sopan sehingga Ai Yin semakin percaya dan suka kepada pemuda yang di anggapnya seorang pemuda pejuang yang gagah perkasa, segolongan dengan ayahnya yang dulu juga merupakan seorang pejuang yang gigih.

Pada suatu pagi mereka tiba di sebuah daerah pertanian yang sepi. Hanya ada beberapa orang petani yang menunggu sawah mereka dari serbuan burung-burung yang mencari makan.

"Hei, Cun Song…!” tiba-tiba terdengar teriakan dari belakang mereka.

Cun Song dan Ai Yin membalikkan tubuh mereka dan Cun Song berseru girang. "Can-toako (Kakak Can)…..!”

Ai Yin mengerutkan alisnya ketika mengenal siapa yang datang berlari kearah mereka itu. Orang itu adalah Can ok yang berjuluk Toat-beng Siang-kiam, paman gurunya!. Setelah mereka berhadapan, Can Ok juga terkejut bukan main mengenal siapa gadis yang melakukan perjalanan bersama Cun Song dan tampak akrab itu.

"Eh,…. engkau…. Ai Yin….?”

Ai Yin cemberut dan cepat ia mencabut pedangnya. Melihat ini, Cun Song terkejut dan memegang lengan gadis itu. "Yin-moi, Can-toako ini sahabat baikku, bukan musuh!”

"Ai Yin, aku adalah susiok-mu (paman gurumu) kata pula Can Ok.

"Susiok macam apa engkau? Engkau yang menyerang aku dan Siauw Beng, bahkan menyuruh jahanam Mongol itu menangkap aku! Hayo cabut pedangmu!” Ai Yin berseru marah.

"Jangan marah dulu, Ai Yin. Aku menyuruh tangkap engkau karena hendak menyelamatkan engkau dari bahaya pengeroyokan semua orang itu. Mari ku jelaskan…” kata Can Ok.

"Benar, Yin-moi. Dengarkan dulu penjelasan Can-toako!” bujuk Cun Song.

Akhirnya Ai Yin mereda kemarahannya. ”Baik, coba jelaskan semua perbuatanmu yang busuk itu.”

"Perbuatan yang mana, Ai Yin?” Tanya Can Ok, diam-diam otaknya diputar untuk mencari akal meredakan kemarahan gadis yang dia tahu lihai, galak, namun di anggapnya kurang pengalaman itu.

"Dahulu, engkau bersama kakek guru Hui-kiam Lo-mo dan teman-temanmu telah menyerang Lo-cianpwe Ma Giok pemimpin pejuang besar itu sehingga mengakibatkan ibu kandung Siauw Beng yang di lindunginya meninggal dunia ketika melahirkan Siauw Beng. Perbuatanmu itu sungguh jahat dan kejam!”

Can Ok membelalakkan matanya. ”Ai Yin, bagaimana engkau bisa tahu akan peristiwa yang terjadi dua puluh tahun lebih itu? Ketika itu engkau belum lahir!”

"Tidak peduli dari mana aku tahu. Akan tetapi benar hal itu engkau lakukan, bukan?”

"Tidak kusangkal, Ai Yin. Akan tetapi hal itu kami lakukan bukan tanpa alasan. Pertama, Ma Giok telah berubah, mengkhianati bangsa kita. Kedua, dia menolong putera pembesar Mancu yang di tangkap para pejuang dan ketiga, dia melindungi puteri Abagan yang menjadi istri Lauw Heng San, pengkhianat yang banyak membasmi para pejuang kita ketika dia menjadi mantu Pangeran Mancu itu. Sikapnya yang berkhianat itulah yang membuat aku dan mendiang suhu menyerangnya.”

Can Ok berhenti sebentar, menatap tajam wajah gadis itu dan melanjutkan, ”Suheng Bu-tek Sin-kiam Wong Tat, ayahmu sendiri, tidak menyalahkan perbuatanku itu karena aku memusuhi orang yang membela pembesar Mancu.”

"Hemm, baiklah kalau engkau mempunyai alasan untuk itu. Sekarang, mengapa engkau menyerang kami ketika aku dan Siauw Beng melakukan perjalanan dan di keroyok banyak orang itu. Kalau engkau ini mengaku paman guruku, mengapa melihat aku dikeroyok banyak orang tidak membelaku, bahkan menyruh orang Mongol itu menangkap aku?”

"Jangan salah mengerti, Ai Yin. Sejak dulu aku memang telah menduga bahwa Lauw Beng itu bukan orang baik-baik. Kemudian aku mendengar kabar bahwa dia yang berjuluk Si Tangan Halilintar melakukan banyak perkosaan dan pembunuhan sehingga dimusuhi para pendekar kangouw dan juga pasukan pemerintah.

"Nah, ketika melihat engkau dikeroyok, aku tahu bahwa engkau telah terbujuk oleh Lauw Beng sehingga engkau tersangkut. Karena tidak ingin engkau celaka dikeroyok, maka aku menyuruh Kabilai, orang Mongol itu, untuk menangkapmu dan menyelamatkanmu. Sedangkan aku sendiri sibuk mengeroyok Lauw Beng yang sayang sekali dapat melarikan diri.”

Diam-diam Ai Yin merasa girang mendengar bahwa Siauw Beng dapat menyelamatkan diri dari pengeroyokan demikian banyak orang. Rasa lega dan girang ini setidaknya telah mengurangi kemarahannya terhadap paman gurunya. Juga paman gurunya itu dapat memberi alasan yang masuk akal. Akan tetapi dia masih cemberut ketika berkata.

"Huh, susiok mengira telah berlaku benar ketika menyuruh setan Mongol itu membawa aku keluar dari pengeroyokkan banyak orang itu? Dia itu seorang jahanam keparat busuk, hampir saja mencelakai aku!”

"Eh, aku yang terjadi?” Can Ok bertanya kaget karena dia sama sekali tidak mengira bahwa Kabilai akan berbuat jahat terhadap murid keponakannya itu.

"Dia hendak kurang ajar dan tidak sopan padaku. Hampir aku celaka kalau saja tidak muncul Song-ko ini yang menolongku.”

"Wah, kurang ajar betul dia! Dimana dia sekarang? Aku akan menegurnya dengan keras!”

"Tidak perlu lagi, susiok. Dia sudah mampus kubunuh!”

"Wah, celaka…!” kata Can Ok, terkejut sekali.

"Kenapa Can-toako?” Cun Song bertanya.

"Dia itu orang utusan Pangeran Galdan! Ah, sekarang kedua-duanya telah tewas. Tidak ku sangka Kabilai dapat berbuat kurang ajar seperti itu kepada murid keponakanku! Biarlah, aku akan mencari alasan untuk kelak menjelaskan kepada Pangerang Galdan.”

Ai Yin mengerutkan alisnya. ”Hemmm, susiok. Bukankah Pangeran Galdan itu Pangeran Mongol yang kini berperang di perbatasan utara dengan pasukan Mancu? Apa hubungan paman dengan dia dan mengapa paman berada dengan dua orang Mongol utusan pangeran itu?” Gadis itu memandang curiga.

"Aih, tentu saja engkau merasa heran, Ai Yin. Engkau belum mengetahui apa yang selama ini kami perjuangkan. Mari kita duduk disana agar dapat lebih enak bicara.” Mereka lalu duduk di atas batu-batu yang berada dibawah pohon yang rindang.

"Ceritakan, susiok, agar aku tidak menjadi penasaran”

"Begini, Ai Yin, Aku dan Cun Song ini telah mempunyai rencana yang amat baik untuk menjatuhkan kerajaan Mancu dan mengusir mereka dari tanah air kita”

"Bagus sekali itu! Bagaimana rencana itu?” Tanya Ai Yin penuh gairah. Bagaimanapun juga, ia puteri seorang pejuang yang menentang penjajahan Mancu.

"Rencana itu bahkan sebagian telah kami laksanakan. Pertama-tama kami mengajak orang-orang Mongol yang memiliki pasukan yang besar dan kuat itu untuk bersekutu dan mereka akan menggempur pasukan Mancu dari utara. Dengan demikian mereka memancing pemusatan bala tentara Mancu dari utara.

"Dengan demikian mereka memancing pemusatan bala tentara Mancu ke pertempuran di daerah perbatasan sehingga ke kota raja menjadi lemah. Nah, kami sudah menghubungi para pejuang untuk bersiap-siap, kalau saat itu telah tiba para pejuang akan bersama-sama pasukan yang akan dikerahkan Pangeran Dorbai untuk menyerang dan menguasai istana! Bagaimana hebat, bukan rencana itu?”

"Pangerang Dorbai? Siapa pula itu?” Ai Yin bertanya, kini kepercayaannya terhadap paman gurunya mulai tumbuh.

"Dia adalah seorang pangeran Mancu yang kini memiliki kedudukan tinggi karena dia mengepalai semua pembesar yang bertugas di daerah luar kota raja. Dia yang akan mengerahkan pasukan pengikutnya untuk menyerang istana. Nah, penggabungan antara Pangeran Galdan orang Mongol, Pangeran Dorbai orang Mancu, dan kita para pejuang, akan cukup kuat untuk menggulingkan pemerintah Ceng sekaran ini”

"Wah, itu rencana bodoh sekali, susiok!” Ai Yin mencela.

"Eh, mengapa engkau menganggap rencana itu bodoh, Yin-moi?” Tanya Cun Song.

"Jelas bodoh! Mengapa bersekutu dengan Pangeran Dorbai, seorang pangeran dari Kerajaan Mancu juga. Kalau berhasil Kaisar Kerajaan Ceng digulingkan, tidak urung yang menjadi Kaisar baru tentu Pangeran Dorbai. Sama saja, kita tetap di jajah orang Mancu!”

"Ai Yin, untuk menghadapi kemungkinan itu, kami telah mengatur siasat lanjutan” kata Can Ok bangga. ”Kalau penggulingan kaisar itu berhasil, kami akan menggunakan pasukan Mongol untuk menghantam pasukan pendukung Pangeran Dorbai, sedangkan Cun Song yang dalam gerakan ini mendampingi Pangeran Dorbai akan membunuhnya dengan mudah karena tentu dia tidak curiga kepada kami yang menjadi sekutunya. Dengan demikian, semua orang penting bangsa Mancu tersingkir dan pasukannya akan kami usir dari tanah air.”

"Hemmm, itu pun tidak akan menolong bangsa kita karena Pangeran Galdan tentu akan menguasai istana dan mendirikan Kerajaan Mongol. Apa artinya kalau terlepas dari mulut harimau jatuh ke mulut buaya? Penjajah itu bangsa apapun juga, sama saja, menindas rakyat dan menghisap semua kekayaan tanah air kita.”

"Jangan khawatir, Yin-moi. Untuk kemungkinan itu pun kami telah membuat perhitungan dan persiapan. Setelah kaisar Ceng dijatuhkan dan Pangeran Dorbai dibunuh, kami tinggal menghadapi Pangeran Galdan dan pasukannya. Karena mereka belum mengenal daerah pedalaman dan baru datang, baru saja berperang, tentu mereka masih lemah. Pada saat itu, kita mengerahkan pasukan terdiri dari para pendekar pejuang dan rakyat, maka orang-orang Mongol itupun dapat kami hancurkan dan usir dari tanah air.”

Ai Yin mulai tertarik. Tentu saja, untuk membebaskan tanah air dari cengkraman penjajah yang manapun, sebagai puteri Bu-tek Sin-kiam, ia siap untuk membantu dengan taruhan nyawa!

"Kalau begitu memang bagus sekali!” katanya dengan wajah berseri. ”Akan tetapi setelah bangsa Mancu dan bangsa Mongol dapat di usir, Kerajaan bangsa kita sendiri yang akan berkuasa, lalu siapa yang akan menjadi kaisarnya?”

Cun Song dan Can Ok saling berpandangan dan tersenyum maklum. Tentu saja mereka tidak bodoh untuk membuka rahasia pribadi mereka yang penuh ambisi itu. "Wah, soal itu bagaimana nanti saja, Ai Yin!” kata Can Ok. ”Kita semua setia kepada Kerajaan Beng. Keturunan itulah yang berhak menjadi kaisar!”

"Bagaimana, Yin-moi? Engkau mau membantu gerakan kami ini, bukan? Aku yakin kalau ayahmu mendengar, beliau tentu akan setuju sekali dan siap membantu. Ayahmu akan merasa bangga kalau puterinya ikut berjuang menumbangkan Kerajaan Ceng!”

"Akan tetapi aku harus bertemu dulu dengan Siauw Beng. Aku harus membantu dia menemukan orang yang memalsukan namanya!” Setelah berpikir sejenak Ai Yin berkata tegas. ”Sebelum aku membantu gerakan kalian, aku ingin menemukan dulu Si Tangan Halilintar palsu itu. Kita harus mencari perampok di Kwi-cu yang buntung lengan kirinya itu dulu, Song-ko!”

"Perampok di Kwi-cu? Apa yang dimaksudkan Ai Yin, Cun Song?” Tanya Can Ok.

"Begini, twako. Ai Yin menduga bahwa tentu ada orang yang buntung lengan kirinya yang mempergunakan nama Si Tangan Halilintar dan melakukan semua kejahatan itu. Dan tokoh yang lengan kirinya buntung adalah perampok tunggal di Kwi-cu yang bernama Tung Ci. Sebaiknya sekarang kita berpisah, twako. Engkau melanjutkan persiapan mengerahkan para pejuang untuk bergerak kalau waktunya sudah tiba dan aku akan mengantar dulu Yin-moi ke Kwi-cu mencari Tung-ci.”

Mereka lalu berpisah, dan Cun Song bersama Ai Yin melanjutkan perjalanan mereka ke Kwi-cu.


Lauw Beng atau Siauw Beng berjalan dengan alis berkerut. Dia belum juga dapat menemukan jejak Ai Yin yang dilarikan orang Mongol itu. Kemarin dia menemukan orang Mongol tinggi kurus itu menggeletak di tepi jalan, sudah menjadi mayat dengan kepala pecah! Akan tetapi Ai Yin tidak kelihatan. Bagaimanapun juga, dia merasa agak lega karena kematian orang Mongol itu menunjukkan bahwa Ai Yin telah dapat meloloskan diri. Akan tetapi kemana ia pergi?

Gadis itu sama sekali tidak meninggalkan jejak. Lalu ia teringat bahwa ketika mereka di serang banyak orang, dia dan Ai Yin sedang pergi mencari penjahat pemerkosa dan pembunuh yang menggunakan nama Si Tangan Halilintar. Kiranya tidak salah lagi dugaannya bahwa setelah berpisah darinya, Ai Yin yang sudah lolos dari tangan orang Mongol itu tentu melanjutkan usahanya mencari pembunuh itu!

Maka tidak ada lain jalan bagi Siauw Beng kecuali dia juga meneruskan usahanya mencari pembunuh itu dengan mendengarkan berita tentang dimana dia melakukan kejahatannya. Dua hari kemudian dia mendengar berita bahwa di kota Kian-si terjadi pembunuhan atas diri seorang pembesar Mancu. Mendengar ini Siauw Beng segera menuju ke kota itu dan menjelang tengah hari dia memasuki pintu gerbang kota Kian-ci.

Dia tidak mau bermalam di dalam kota karena keadaannya mungkin akan menarik perhatian orang. Dia memasuki pintu gerbang hanya untuk membeli makanan. Setelah membeli makanan dia membawa itu keluar dari kota. Dia makan di sebuah gubuk yang berada di sawah. Gubuk itu tentu milik petani yang menggunakannya sebagai tempat mengaso setelah lelah bekerja.

Sama sekali dia tidak mengira bahwa kehadirannya yang hanya sebentar di pinggir kota Kian-si untuk membeli makanan itu, yang nampaknya tidak menarik perhatian orang, ternyata telah diawasi beberapa pasang mata dengan penuh perhatian yang mengikuti semua gerak-geriknya. Setelah dia hampir selesai makan, tiba-tiba saja dia melihat bahwa tempat itu telah di kepung belasan orang....

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.