Si Tangan Halilintar Jilid 24 karya Kho Ping Hoo - Siauw Beng menghentikan makannya dan keluar dari gubuk, berdiri tegak dan memandang ke sekeliling dari bawah capingnya yang lebar. Diam-diam dia terkejut bukan main melihat bahwa yang mengepungnya itu adalah tujuh orang Kang-lam Jit-hiap yang tempo hari mengeroyok dia dan Ai Yin.
Akan tetapi yang lebih mengejutkan lagi adalah ketika dia melihat empat orang yang lain, yang bukan lain adalah Ciang Hu Seng, Bhe Kam, Lee Bun dan Song Cin, empat orang dari Ciong-yang Ngo-taihiap bersama keponakannya mereka, putera kedua dari mendiang Song Kui!
Akan tetapi orang yang dulu membuntungi lengan kirinya, bahkan yang telah memperkosa Mayani, yaitu Song Cun, Kakak Song Cin itu, tidak tampak. Sebelas orang itu agaknya sudah sejak tadi membayanginya dan kini mereka mengepung dengan senjata di tangan dan wajah bengis membayangkan kemarahan besar!
Berdebar juga rasa jantung Siauw Beng. Bukan karena takut, melainkan karena merasa tidak enak. Sebelas orang itu adalah pendekar-pendekar yang gagah perkasa. Tentu saja dia tidak ingin melukai mereka. Akan tetapi untuk melarikan diri begitu saja agaknya juga amat sukar. Maka, dia lalu mengangkat tangan kiri, dimiringkan depan dada sambil membungkuk sedikit sebagai tanda penghormatan.
"Kalau saya tidak salah duga, cuwi (anda sekalian) mencari saya? Sadarlah bahwa cuwi telah salah sangka. Bukan saya pelaku kejahatan yang mengaku berjuluk Si Tangan Halilintar itu!”
"Keparat busuk, engkau telah memperkosa dan membunuh seorang murid wanita kami! Engkau harus menebusnya dengan nyawamu untuk membuat perhitungan dengannya di alam baka!” bentak orang pertama dari Kang-lam Jit-hiap yang bermata sipit, berwajah pucat dengan jenggot panjang sambil mengelebatkan pedangnya.
"Lauw Beng, manusia terkutuk kau ! Engkau telah merusak kehidupan puteriku!” bentak Bhe Kam dengan muka berubah merah.
"Engkau harus mencuci aib yang kau lemparkan kepada Cen-moi tunanganku dengan darahmu!” Song Cin juga membentak marah.
Siauw Beng terkejut. Dia mengetahui bahwa Bhe Kam mempunyai seorang puteri dan agaknya puterinya itu, yang menjadi tunangan Song Cin, juga menjadi korban penjahat itu. Dalam hatinya dia mengutuk penjahat itu. "Cu-wi, saya bersumpah tidak melakukan semua itu!” katanya tenang.
"Huh, tidak ada maling mengakui perbuatannya!” kata pemimpin Kang-lam Jit-hiap.
"Engkau bahkan membunuh murid Siauw-lim-pai dan puterinya!” kata Ciang Hu Seng. ”Lauw Beng, menyerahlah saja untuk kami bawa ke Siauw-lim-pai menerima pengadilan!”
"Sungguh, saya tidak bersalah.” kata Siauw Beng. ”Bagaimana saya harus menyerah? Saya tidak melakukan semua kejahatan itu!”
Kang-lam Jit-kiam sudah mengatur Jit-seng-kiam-tin (Barisan Pedang Tujuh Bintang) dan empat orang dari Liong-san juga sudah siap dengan pedang mereka. Siauw Beng memandang dan dia tahu betapa dia kini dikepung lawan-lawan yang amat tangguh. Tak mungkin dia melawan mereka dengan sebelah tangan yang kosong. Terpaksa dia mencabut Lui-kong Sin-kiam (Pedang Sakti Halilintar) yang tadinya dipakai sebagai ikat pinggangnya. Dia harus menggunakan pedang itu untuk melindungi dirinya.
"Maafkan, saya sungguh tidak ingin berkelahi dan bermusuhan dengan cuwi” katanya.
”Kalau tidak ingin berkelahi, menyerahlah!” Ciang Hu Seng membentak.
"Saya tidak mungkin menyerah karena saya tidak merasa bersalah.”
"Lihat pedang!” bentak orang pertama dari Kang-lam Jit-kiam dan barisan pedang tujuh bintang itu sudah bergerak menyerang secara sambung menyambung dan saling melindungi. Gerakan mereka mantap dan kuat, juga teratur rapi sekali.
Siauw Beng menggerakkan pedangnya, di putar cepat melindungi dirinya dan tampaklah sinar pedang menyambar-nyambar seperti kilat, bergulung-gulung membentuk lingkaran sinar yang menutupi tubuhnya dari semua serangan. Terdengar bunyi dentang dan dencing logam di susul muncratnya bunga api berpijar-pijar.
Kini tiga orang pendekar Ciang-yang itu menerjang dengan gerakan pedang mereka yang cepat dan kuat, di ikuti pedang di tangan Song Cin yang juga menyerang dengan pengerahan tenaga sekuatnya karena pemuda ini membalaskan dendam penghinaan yang menimpa diri tunangannya.
Setelah puluhan jurus telah lewat, Siauw Beng merasa repot. Mana mungkin berkelahi hanya menangkis terus? Dikeroyok sebelas orang yang memiliki ilmu pedang tinggi lagi, apalagi barisan pedang itu sungguh amat berbahaya. Kalau saja dia mau menggunakan pedangnya untuk balas menyerang, mungkin dia dapat merobohkan satu dua orang sehingga makin meringankan pengeroyokan itu.
Akan tetapi dia tidak mau melakukan hal ini. Dia maklum bahwa sebelas orang itu adalah pendekar-pendekar dan mereka semua tidak bersalah karena agaknya mereka yakin benar bahwa dia telah melakukan semua perbuatan jahat yang terkutuk itu. Dia mulai mencari kesempatan untuk melarikan diri. Kalau aku membiarkan terluka, mungkin hal ini mengendurkan desakan mereka dan membuka kesempatan baginya untuk melarikan diri, pikirnya.
Setelah membuat perhitungan masak-masak, tiba-tiba setelah lingkaran sinar pedangnya dapat menangkis dan membuat semua pedang para pengeroyok terpental, Siauw Beng membuat dirinya terpeleset dan sengaja membuka pundak kirinya agar dapat dimasuki serangan lawan. Para pengeroyok yang rata-rata ahli pedang itu melihat kesempatan ini, maka secepat kilat Ciang Hu Seng menusukkan pedangnya kearah pundak kanan Siauw Beng itu.
"Tranggg….!” Pedang Ciang Hu Seng terpental seperti ditangkis benda yang keras dan kuat sekali. Ternyata yang menangkisnya itu adalah sebuah batu sebesar kepalan tangan yang dilontarkan orang, menangkis pedang yang nyaris melukai pundak Siauw Beng. Ciang Hu Seng terkejut dan melompat kebelakang. Akan tetapi pada saat itu, terjadi hujan batu yang paling besar hanya sekepalan tangan. Akan tetapi batu-batu itu meluncur dengan cepat dan kuat sekali.
Terdengar suara berkerontangan dan semua pedang dihantam batu sehingga hampir terlepas dari tangan pemegangnya. Kemudian ada batu-batu sebesar ibu jari kaki meluncur dan mengenai tubuh sebelas orang itu. Semua tepat mengenai jalan darah sehingga mereka semua tergetar kesemutan hampir lumpuh. Selagi sebelas orang itu mengaduh dan berlompatan dengan terhuyung terdengar suara nyaring.
"Orang-orang tak tahu diri! Pantaskah kalian disebut pendekar-pendekar sejati kalau mengeroyok seorang seperti ini? Dan kalau orang itu sudah mengalah, tidak membalas serangan kalian, akan tetapi kalian tidak tahu diri! Sungguh tidak tahu malu!”
Dua bayangan berkelebat cepat dan tahu-tahu di dekat Siauw Beng telah berdiri dua orang yaitu Nanek Bu dan Puteri Mayani! Yang bicara tadi adalah Puteri Mayani. Gadis itu berdiri tegak dan matanya memandang sebelas orang itu satu demi satu.
Ketika ia bertemu pandang dengan Song Cin, sinar matanya berkilat dan Song Cin teringat betapa dia dan Song Cun dulu menyeret gadis itu ke depan makam orang tuanya dan betapa Song Cun memperkosa puteri itu sedangkan dia walaupun tidak ikut melakukan bahkan tidak setuju, namun diam saja tidak mencegah perbuatan terkutuk itu dilakukan!
Nenek Bu yang berdiri di dekat Mayani, hanya tersenyum-senyum dan seolah tidak peduli kepada sebelas orang itu. Sebelas orang itu terkejut dan mereka siap dengan pedang di tangan karena maklum bahwa ada lawan tangguh membela Siauw Beng.
Empat orang dari Liong-san itu memandang kepada puteri Mayani dan Nenek Bu. Mereka tentu saja mengenal Puteri Mayani yang dulu dibela oleh Siauw Beng, dan mengenal pula nenek itu sebagai nenek gila yang dulu membawa lari Puteri Mayani!
"Mayani….. jangan….. jangan serang mereka…..!” Siauw Beng berseru, khawatir kalau-kalau Mayani dan nenek itu membunuh sebelas orang itu akan tetapi suaranya juga mengandung keharuan dan kegirangan dapat bertemu kembali dengan puteri yang selalu menjadi kenangan itu, yang kini muncul menyelamatkan dirinya dari bahaya.
"Siauw Beng, orang-orang ini tidak tahu diri dan tidak tahu malu. Mengapa engkau melarang aku menghajar mereka?”
"Tidak, Mayani. Mereka bukan orang jahat. Mereka menyerangku karena mereka mengira aku yang memperkosa gadis-gadis itu dan melakukan pembunuhan-pembunuhan. Tentu saja mereka mendendam.”
"Hemmmm, gadis-gadis mana yang kau perkosa, Siauw Beng?”
"Hush, bukan aku yang memperkosanya!”
"Hik-hik, aku tahu, akan tetapi orang-orang ini menyangka engkau yang melakukannya. Gadis siapa saja yang menjadi korban?”
"Yang seorang adalah murid dari Kang-lam Jit-hiap ini, dan yang kedua adalah… tunangan saudara Song Cin itu.”
"Ah, begitukah?” Puteri Mayani memandang kepada Song Cin. ”Baru tahu rasa sekarang!” katanya seperti kepada diri sendiri, akan tetapi Song Cin menundukkan mukanya. Dia merasa disindir. Karena dulu membiarkan kakaknya memperkosa Mayani, maka kini Mayani menganggap tunangannya diperkosa orang sebagai pembalasan terhadap dirinya!
"Kui Siang….. kau tadi bilang apa? Siauw Beng…… atau Lauw Beng….? Yang mana dia….?” Suara nenek itu tergetar, bahkan seluruh tubuhnya menggigil.
"Inilah, dia cucumu Lauw Beng alias Siauw Beng!” kata Mayani sambil menudingkan kearah pemuda itu. ”Siauw Beng, ini adalah nenekmu, Nyonya Bu, ibu dari ibumu Bu Kui Siang!”
Siauw Beng terkejut sekali. Dia terbelalak memandang nenek itu dan nenek itu pun memandang kepada Siauw Beng dengan mata terbelalak dan wajahnya berubah pucat sekali.
"Lauw Beng… engkau… Anak Kui Siang…..? Ya.… ya! Engkau mirip ayahmu, Lauw Heng San….. dan matamu itu... Itu mata Kui Siang….!”
Siauw Beng merasa terharu sekali dan dia segera menjatuhkan dirinya berlutut depan kaki nenek itu. "Nenek….!” serunya dan Siauw Beng tidak dapat menahan keharuan hatinya sehingga beberapa tetes air mata menuruni kedua pipinya.
"Siauw Beng… Ah, cucuku… Ahhhh….!” Nenek itu terkulai dan jatuh pingsan ke dalam rangkulan lengan kanan Siauw Beng.
Melihat nenek yang mereka takuti itu pingsan dan Siauw Beng memondongnya, sebelas orang itu bergerak lagi hendak menyerang. Puteri Mayani mencabut sebatang pedang bengkok hendak mengamuk. Akan tetapi Siauw Beng cepat berkata.
"Mayani, kita lari!” Lalu dengan lengan kanan memanggul tubuh nenek itu di atas pundaknya, dia melompat jauh dan melarikan diri, di ikuti oleh Puteri Mayani yang mengomel panjang pendek.
Ketika mereka telah tiba jauh dan tidak tampak lagi ada yang mengejar karena yang mengejar tertinggal jauh, Siauw Beng berhenti dalam sebuah hutan. Mayani juga berhenti dan gadis itu mengomel.
"Sialan kau, Siauw Beng! Mengapa mengajak lari? Aku tidak takut kepada mereka! Biar ditambah sepuluh orang lagi aku tidak takut. Akan ku buntungi lengan mereka satu demi satu!”
"Sudahlah, Mayani, maafkan aku. Sekarang paling penting merawat nenek!” Dia lalu menurunkan tubuh Nenek Bu ke atas tanah berumput dan memeriksa denyut nadinya. "Hemmm, dia mengalami guncangan batin yang hebat, Mayani.” katanya sambil mengerutkan alisnya, merasa khawatir sekali.
Mayani ikut memeriksanya, lalu berkata. ”Siauw Beng, nenekmu ini menguasai ilmu-ilmu aneh dengan cara latihan yang aneh-aneh pula. Ia mengajarkan beberapa macam ilmu kepadaku dan yang hebat adalah Hwe-tok-ciang (Tangan Racun Api). Mungkin dalam latihan itu ia membuat kesalahan.
"Ketika aku menerima ajaran darinya, aku telah memiliki dasar sinkang sehingga aku dapat melindungi tubuh bagian dalam. Menghimpun tenaga untuk Hwe-tok-ciang mendatangkan hawa yang luar biasa panasnya dan mungkin saja latihan itu yang membuat nenek Bu mudah terluka apabila ia mengalami sesuatu yang mengguncang perasaannya.”
"Engkau benar, Mayani. Sebelum aku mencoba untuk merawatnya, ceritakan dulu pertemuanmu dengannya sehingga aku dapat mengerti latar belakangnya.”
Mayani lalu menceritakan betapa ia dahulu diselamatkan Nenek Bu ketika akan dibunuh keluarga Ciong-yang Ngo-taihiap, lalu dibawa pergi nenek itu. Ia disangka Bu Kui Siang oleh nenek itu dan dilatih ilmu-ilmu yang tinggi. Ia menceritakan kepada Siauw Beng betapa nenek itu bersikap seperti orang yang lupa keadaan dan sakit ingatannya.
"Kemudian setelah aku digembleng selama satu tahun, aku meninggalkannya didalam pondok yang berada di atas pohon raksasa dalam hutan, dengan alasan akan mencari cucunya bernama Siauw Beng yang tentu saja di anggap sebagai anakku karena baginya aku adalah Bu Kui Siang. Aku pulang dan memberitahu orang tuaku tentang nenek itu. Orang tauku setuju kalau Nenek Bu di ajak tinggal di rumah kami.
"Maka aku lalu kembali ke hutan menjemputnya. Kami sedang melakukan perjalanan menuju kota raja ketika kami mendengar tentang Si Tangan Halilintar yang melakukan kejahatan. Aku tidak percaya, lalu mengajak Nenek Bu untuk melakukan penyelidikan dan tadi kebetulan melihat engkau dikeroyok itu.”
Siauw Beng mengangguk-angguk. Neneknya itu telah menderita sakit ingatan dan mungkin benar dugaan Mayani bahwa ia melakukan kekeliruan ketika berlatih menghimpun tenaga sinkang yang berhawa panas itu. Siauw Beng lalu duduk bersila dekat tubuh nenek Bu yang panas sekali. Napas nenek itu agak terengah seperti orang kepanasan.
Siauw Beng menempelkan tangan yang tinggal sebelah itu di tengah dada bagian atas dekat leher, lalu mengerahkan sinkang. Hawa lembut dingin menyusup ke tubuh nenek itu, perlahan tapi pasti mengusir hawa yang amat panas. Pernapasan nenek itu mulai normal kembali dan panasnya menurun. Siauw Beng lalu menotok kedua pundak Nenek Bu dan mengurutkan tengkuknya.
Tiba-tiba Nenek Bu mengeluarkan teriakan dan kedua tangannya mendorong. Siauw Beng menangkis dengan tangan kanannya dan tubuhnya terpental sampai beberapa meter jauhnya! Mayani terkejut sekali melihat nenek itu dengan gerakan cepat melompat berdiri. Siauw Beng dan Mayani melihat betapa nenek itu berdiri, memandang kepada Siauw Beng dengan alis berkerut dan pandang mata heran.
"Orang muda, siapakah engkau dan apa yang kau lakukan terhadap diriku?” pertanyaannya itu mengandung teguran dan keheranan, akan tetapi dalam kalimat yang halus teratur. Mayani dan Siauw Beng girang bukan main karena tanda-tanda ini menunjukkan bahwa Nenek Bu kini telah sembuh dari sakit ingatannya yang membuat ia lupa segalanya.
Siauw Beng segera maju menghampiri dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan nenek itu. ”Nenek, apakah nenek lupa kepada saya? Saya adalah Lauw Beng, cucu nenek!”
Nenek itu membelalakkan mata, lalu mengangguk-angguk dan menyentuh dahinya. ”Ya… ya… aku teringat sekarang… Ah, seperti mimpi rasanya. Engkau Lauw Beng cucuku!”
Nenek itu maju dan memegang kedua pundak pemuda itu. Ketika ia menariknya, Siauw Beng merasa betapa neneknya itu memiliki sinkang besar sekali. Nenek Bu merangkul Siauw Beng dan menangis!
"Cucuku… cucuku Lauw Beng… ah, dimana ibumu, Kui Siang anakku. Rasanya aku sudah bertemu dengan anakku Kui Siang…..!”
"Aku berada di sini, ibu!”
Nenek itu melepas rangkulannya dari pundak Siauw Beng lalu memutar tubuhnya, memandang kepada Mayani dengan alis berkerut. Ia tampak keheranan. "Engkau? Engkau bukan Bu Kui Siang, anakku, walaupun aku… rasanya wajahmu tidak asing bagiku…!” kembali nenek itu meraba dahinya.
Siauw Beng menggunakan tangan kanannya merangkul nenek itu dan berkata dengan lembut. ”Nek, marilah kita duduk dan akan kami ceritakan semua yang telah terjadi.”
"Benar, Nek, Aku adalah Mayani yang selama ini engkau anggap sebagai Bu Kui Siang dan selama setahun engkau mengajariku ilmu silat.”
"Ya… Ya… Aku ingat, aku bertemu Kui Siang dan melatihnya silat dalam hutan. Ah, mengapa aku berada dalam hutan? Lauw Beng, cucuku, apakah yang telah terjadi dengan diriku?”
"Nenek yang baik dan tersayang, Mayani ini menemukan engkau dalam keadaan seperti orang kehilangan ingatan. Apakah nenek tidak dapat teringat akan apa yang nenek alami dulu, setelah nenek menghilang dari kota Keng-koan?”
Mereka duduk di bawah pohon dan Nenek Bu meraba dahinya, mengingat-ingat. "Ah, aku ingat… Ketika itu aku melarikan diri.setelah melihat ayahmu, mantuku Lauw Heng San mengamuk dan melawan Thio Ciangkun (Panglima Thio) dan para jagoannya, melihat ayahmu itu tewas ketika berkelahi melawan Thio ciangkun. Aku melarikan diri keluar kota menunggang kuda dan dalam sebuah hutan, aku di serang lima orang perampok. Ya, aku ingat jelas sekarang. Ketika diserang lima perampok itu, aku di tolong oleh seorang nenek gila. Ia adalah Pek Sim Kui-bo dan aku menjadi muridnya. Mempelajari ilmu-ilmu aneh selama belasan tahun. Subo (ibu guru) itu meninggal dunia dalam usia yang sudah tua sekali. Setelah itu… nah, setelah itu… Wah, aku lupa sama sekali…”
Siauw Beng mengangguk-angguk. ”Agaknya mulai saat itulah Nenek kehilangan ingatan.”
"Benar, Nek. Engkau muncul menolongku ketika aku akan di bunuh orang-orang yang menamakan dirinya para pendekar namun picik itu. Engkau menganggap bahwa aku adalah Bu Kui Siang anakmu. Karena kasian aku membenarkannya saja dan aku menjadi muridmu selama setahun dalam hutan di Kui-san itu.
"Aku lalu bicara tentang cucumu yang bernama Lauw Beng, dan mengajakmu untuk pergi ke rumah orang tuaku di kota raja. Dan kebetulan sekali kita melihat Siauw Beng dikeroyok banyak orang tadi. Ketika engkau bertemu dengan Siauw Beng cucumu, engkau begitu girang dan tiba-tiba roboh pingsan. Begitulah ceritanya, Nek!”
Nenek itu mengangguk-angguk, wajahnya berseri. ”Ah, aku senang sekali! Bukan saja bertemu dengan engkau cucuku, akan tetapi aku juga sudah ingat semua. Akan tetapi engkau, Nona yang selama ini ku anggap puteriku, siapakah engkau dan dimana sekarang puteriku Bu Kui Siang?”
"Aku bernama Mayani, Nek. Ayahku adalah Pangeran Ceng San di Kota raja. Menurut keterangan ayahku, dia juga mengenal baik Pangeran Abagan atau Thio Ciangkun yang tinggal di Keng-koan.”
"Pangeran Ceng San? Ah, apakah dia Pangeran Gunam?”
"Benar, Nek...!”
"Aku ingat sekarang. Pangeran Gunam dan isterinya adalah orang-orang yang baik dan ramah, dahulu keluarga kami menjadi sahabat baik. Akan tetapi, Lauw Beng dimana adanya Bu Kui Siang ibumu?”
Siauw Beng menghela napas panjang. ”Harap tenangkan hatimu, Nek. Sesungguhnya, Ibu Bu Kui Siang telah... meninggal dunia ketika melahirkan saya...”
"Ah, Kui Siang…!” Nenek Bu tiba-tiba menangis. ”Alangkah buruk nasibmu…”
Siauw Beng dan Mayani memandang dengan haru dan membiarkan nenek itu menumpahkan kesedihannya dalam tangis. Akan tetapi tidak lama nenek itu menangis. "Baiklah, sekarang aku sudah tahu benar siapa kalian. Nah, sekarang ceritakan, Lauw Beng, mengapa lengan kirimu buntung? Dan mengapa pula tadi engkau dikeroyok banyak orang?”
Dengan sabar, jelas namun singkat Siauw Beng menceritakan semua pengalamannya sampai lengan kirinya dibabat buntung oleh Song Cun. Dalam kesempatan ini. Mayani juga terus terang menceritakan betapa ia nyaris di bunuh orang-orang dari Ciong-yang Ngo-taihiap karena di tuduh menyebabkan kematian dua orang dari mereka. Juga ia menceritakan betapa ia diperkosa oleh Song Cun dan ia pasti sudah tewas kalau tidak di tolong Siauw Beng.
"Aih, mengapa orang-orang yang menamakan dirinya para pendekar itu demikian jahat dan kejam? Hanya Ma Giok itu saja yang baik. Dahulu, sebelum menjadi selir Pangeran Abagan, aku adalah isteri pendekar pejuang Bu Kiat yang mengenal baik Ma Giok. Ma Giok telah melindungi Bu Kui Siang sampai meninggalnya anakku itu, kemudian dia merawat dan mendidikmu, Lauw Beng. Bagaimana dia dapat terpengaruh fitnah dan masih tidak percaya kepadamu? Dan sekarang, bagaimana sampai engkau dikeroyok banyak orang?”
"Mungkin engkau tidak ingat lagi, Nek. Sebelum engkau sadar dan pulih kembali ingatanmu, kita berdua sudah mendengar bahwa ada fitnah baru terhadap diri Siauw Beng. Ada penjahat berlengan kiri buntung melakukan perkosaan dan pembunuhan keji dan ia mengaku berjuluk Si Tangan Halilintar, yaitu julukan Siauw Beng. Maka mereka semua menduga bahwa Siauw Beng penjahat itu.”
"Wah-wah, mengapa engkau menjadi bulan-bulanan fitnah orang, Lauw Beng. Apakah engkau benar-benar melakukan semua kejahatan itu?” Tanya Nenek Bu sambil memandang tajam wajah cucunya.
"Sama sekali tidak, Nek! Aku yang menjadi saksi dan menanggung bahwa cucumu ini adalah seorang pendekar sejati!” seru Mayani dengan suara penuh semangat.
"Kalau benar begitu, sudah pasti ada orang yang amat benci padamu, yang sengaja melakukan perbuatan itu dengan memakai nama julukanmu. Coba ingat-ingat, siapakah yang begitu membencimu?” Tanya Nenek Bu.
Siauw Beng menggeleng kepalanya. ”Saya tidak tahu, Nek. Saya sendiri tidak pernah membenci siapapun.”
"Banyak sekali, Nek!” tiba-tiba Mayani berkata. ”Memang Siauw Beng ini terlalu baik hati sehingga dia tidak pernah membenci orang. Akan tetapi banyak orang membencinya, menduganya pengkhianat dan mengatakan bahwa mendiang ayahnya juga pengkhianat. Mungkin orang-orang yang iri hati terhadap dirinya. Juga karena dia akrab dengan aku, maka banyak orang menuduhnya menjadi antek Pemerintah Ceng!”
"Hemmm, coba katakan, siapa di antara mereka itu yang paling membenci Lauw Beng?”
"Akan tetapi, Nek, setahuku tidak ada orang berlengan buntung yang bermusuhan dengan Siauw Beng. Apakah mungkin ada dan aku tidak mengetahuinya, Siauw Beng?” Tanya Mayani kepada pemuda itu.
Siauw Beng menggeleng kepala. ”Ku rasa tidak ada orang berlengan buntung yang menjadi musuhku!”
"Nah, ini anehnya, Nek. Padahal yang menjadi penjahat menggunakan nama Si Tangan Halilintar itu adalah seorang yang lengan kirinya buntung seperti Siauw Beng!”
"Heh-he, kalian ini anak-anak yang bodoh! Apa sih sukarnya berpura-pura buntung dengan menyembunyikan lengan kirinya dibalik baju?” kata bebek itu.
Mayani dan Siauw Beng saling pandang. ”Wah, benar juga! Aih, mengapa aku tidak pernah memikirkan kemungkinan besar ini? Siauw Beng, penjahat itu agaknya pasti tidak buntung lengannya, dan ku rasa aku dapat menduga siapa orangnya yang melakukan kejahatan dan menggunakan namamu itu!”
"Siapa, Mayani?” pertanyaan ini keluar dari mulut Nenek Bu dan Siauw Beng.
"Siapa lagi kalau bukan si jahanam keparat Song Cun itu?”
"Hemmm, dia? Tidak mungkin, Mayani. Dia itu putera dari Kiam-mo Song Kui, pendekar pejuang, orang ke dua dari Ciong-yang Ngo-taihiap!” kata Siauw Beng dengan alis berkerut.
"Apanya yang tidak mungkin?” kata Nenek Bu. ”Song Cun itu sudah memperkosa Mayani dengan keji, lalu hendak membunuh kalian berdua sehingga membuntungi lengan Siauw Beng! Perbuatan ini saja sudah jelas membuktikan bahwa dia adalah seorang yang jahat dan kejam. Mungkin sekali dia yang melakukan semua perkosaan dan pembunuhan itu, menggunakan nama julukanmu untuk mencelakai engkau yang dibencinya!”
Siauw Beng diam-diam terkejut dan mulai timbul kecurigaannya terhadap Song Cun. ”Akan tetapi, Nek. Bagaimana kita dapat menuduh dia? Tidak ada buktinya bahwa dia yang melakukan semua itu.”
"Karena itu kita harus mencari buktinya! Kita harus menangkap basah jahanam itu! Mayani, aku tidak akan ikut ke kota raja sebelum dapat menangkap penjahat yang menyamar sebagai cucuku itu!”
"Baik, Nek. Akupun tidak akan pulang sebelum jahanam itu ditemukan dan di hukum. Aku ingin membuntungi kedua lengannya!” kata Mayani.
Demikianlah, tiga orang itu lalu melakukan perjalanan mencari jejak penjahat itu. Atas usul Nenek Bu, mereka melakukan perjalanan dengan sembunyi, selain agar jangan bertemu dengan para pendekar dan pasukan pemerintah yang mengejar Siauw Beng, juga agar dapat mencari penjahat itu tanpa disadari oleh yang di cari.
Wong Ai Yin dan Cun Song memasuki kota Kwi-cu dan memasuki rumah penginapan yang berada di pinggir kota. Kota Kwi-cu tidak terlalu besar dan tidak begitu ramai. Karena hari itu menjadi agak ramai dikunjungi para pedagang hasil bumi, maka rumah penginapan itu pun sepi dari tamu. Hanya beberapa buah kamar saja yang terisi, di antaranya dua kamar disewa Cun Song dan Ai Yin. Setelah makan siang, dua orang muda itu duduk di ruangan depan kamar mereka.
Ai Yin nampak agak murung. Pagi tadi mereka berdua sudah berkunjung ke rumah Tung Ci yang berada di luar kota. Mereka menemukan bekas perampok tunggal yang lengan kirinya buntung itu menggeletak dalam keadaan sakit, dirawat seorang wanita setengah tua. Kiranya Tung Ci sudah lama tidak melakukan pekerjaan sesat itu dan bahkan sudah dua bulan dia rebah di atas pembaringan saja karena menderita sakit.
Orang yang sudah berusia enam puluh tahun ini memang sakit-sakitan, wajahnya menjadi pucat dan tubuhnya kurus dan lemah! Baru melihat keadaannya saja Ai Yin sudah kehilangan selera untuk bertanya lebih jauh. Sama sekali mustahil kalau orang ini yang melakukan semua kejahatan dan menggunakan nama Si Tangan Halilintar itu.
Bagitu lemah tak berdaya! Maka ia lalu mengajak Cun Song meninggalkan Tung Ci dan menyewa kamar di rumah penginapan itu karena dalam kekecewaannya Ai Yin tiba-tiba merasa lemas dan lelah! Inilah yang menyebabkan ia tampak murung sejak tadi. Mereka duduk berhadapan dalam ruangan itu.
”Yin-moi, harap jangan kecewa dan murung seperti itu. Aku merasa amat bersedih melihat engkau kecewa dan murung begini. Yin-moi, sekarang sudah jelas bahwa bukan Tung Ci yang melakukan kejahatan dengan memakai nama Si Tangan Halilintar itu. Dan aku yakin tidak ada yang memalsukan nama itu.”
"Maksudmu?” Ai Yin menatap wajah Cun Song dengan pandang mata penuh selidik.
"Maksudku, tidak ada yang memalsukannya. Memang benar penjahat itu adalah Si Tangan Halilintar sendiri!”
"Tidak mungkin!” kata Ai Yin dengan suara tegas. ”Siauw Beng tidak mungkin melakukan hal itu. Hal ini aku yakin benar karena selama ini dia melakukan perjalanan bersama aku!”
"Akan tetapi, Yin-moi. Bagaimana engkau begitu yakin? Hati orang siapa mampu menjajaginya? Kalau malam, ketika engkau tidur, bisa saja diam-diam dia keluar dari kamarnya dan melakukan semua kejahatan itu. Bukanlah peristiwa kejahatan itu selalu dilakukan di waktu malam? Ingat, dia lihai dan bisa saja dia pergi tanpa kau ketahui.”
"Tidak, aku tetap tidak percaya! Siauw Beng adalah seorang pemuda yang baik sekali, pemuda yang paling baik yang pernah ku kenal! Tidak, tidak mungkin dia melakukan kejahatan seperti itu!”
Cun Song menghela napas dan diam-diam merasa iri. ”Yin-moi, apakah engkau... jatuh cinta kepada Siauw Beng itu?”
Ai Yin memandang Cun Song dengan alis berkerut dan mukanya berubah kemerahan. ”Song-ko, mengapa engkau bertanya seperti itu?”
"Begini, Yin-moi. Engkau membela pemuda buntung itu mati-matian, itu tandanya engkau jatuh cinta padanya. Aku pun siap membelamu dengan taruhan nyawaku, Yin-moi, aku mau melakukan apa saja untukmu karena… terus terang saja, semenjak pertemuan pertama kali, aku telah jatuh cinta padamu.”
Terharu juga rasa hati Ai Yin mendengar pemuda itu menyatakan cinta kepadanya secara terbuka itu. Maka ia berkata dengan lembut. ”Song-ko, aku minta agar engkau tidak bicara soal cinta kepadaku sebelum semua urusan besar ini selesai.”
"Maksudmu urusan perjuangan kita menumbangkan Kerajaan Ceng?”
"Itu juga, akan tetapi sebelum itu, aku harus dapat menemukan penjahat yang mencemarkan nama baik Siauw Beng! Aku akan mencari terus!”
"Akan tetapi aku harus membantu Can-twako mengerahkan tenaga para pejuang untuk urusan besar itu, Yin-moi.”
"Kalau begitu, lakukanlah urusanmu. Aku akan mencari sendiri dan sebelum urusan ini beres, aku tidak mau di ganggu urusan lain. Aku harus membuktikan bahwa Siauw Beng bukan penjahat itu.”
"Atau sebaliknya, buktinya bahwa Siauw Beng benar-benar penjahat itu?”
"Tidak mungkin! Akan tetapi… Ya begitulah, dia atau bukan pelakuknya, aku harus menemukan buktinya!”
"Ah, mana mungkin aku meninggalkanmu, Yin-moi? Aku harus membantumu dan melindungmu. Aku akan menemanimu mencari, akan tetapi aku harus memberi kabar dulu kepada Can-toako. Biarlah malam ini aku harus mencari seorang yang dapat ku suruh memberi kabar kepada Can-toako bahwa aku belum dapat membantunya.”
"Baiklah, Song-ko. Sebetulnya aku tidak ingin engkau terganggu oleh keputusanku ini. Aku dapat mencari sendiri.”
"Tidak, Yin-moi. Hatiku akan selalu gelisah mengingatmu. Biar aku pergi sekarang mencari orang yang dapat ku utus. Kalau malam ini aku tidak kembali, pasti besok pagi-pagi aku akan kembali ke sini, dapat atau tidak orang yang akan ku suruh itu.”
Demikianlah, Cun Song meninggalkan Ai Yin di rumah penginapan itu. Ai Yin di rumah penginapan itu. Ai Yin tinggal seorang diri dalam kamarnya di rumah penginapan itu. Ketika malam tiba ia minta disediakan makan malam oleh pelayan. Tanpa ada yang mengetahui sesosok bayangan menyelinap ke dalam dapur dan bayangan itu memasukkan sedikit bubuk putih ke dalam poci air teh yang akan dihidangkan oleh pelayan.
Ai Yin makam malam seorang diri. Ia masih agak murung karena tidak berhasil menemukan penjahat yang dicari-cari itu. Omongan Cun Song bahwa ada kemungkinan Siauw Beng diwaktu malam ketika ia tidur keluar melakukan kejahatan itu mengganggu pikirannya, membuat ia bertanya-tanya dalam hati. Namun, ia lebih condong untuk tidak percaya.
Setelah makan minum Ai Yin merasa mengantuk sekali. Ia memanggil pelayan untuk membersihkan meja. Setelah membersihkan mulut, ia menutup jendela dan pintu, langsung merebahkan diri di atas pembaringan untuk tidur. Rasa kantuk yang amat sangat itu di anggapnya sebagai akibat kelelahan tubuh dan kekecewaan hatinya. Tak lama kemudian Ai Yin sudah tertidur pulas.
Ia sama sekali tidak terbangun ketika ada bayangan membuka daun jendela dan bayangan itu melompat masuk seperti seekor kucing, tidak menimbulkan suara apapun. Di lain saat kedua kaki dan tangan Ai Yin sudah terikat kuat-kuat. Di ikat seperti itupun Ai Yin tidak terbangun. Ini menunjukkan bahwa gagis itu telah terpengaruh obat bius yang tadi tercampur dalam minuman air teh.
Api lilin kecil di kamar itu belum padam sehingga mendatangkan cuaca remang-remang. Bayangan itu lalu mengeluarkan botol kecil, membuka tutupnya dan mendekatkan botol ke hidung Ai Yin. Tak lama kemudian Ai Yin terbangun dan membuka matanya. Ia terkejut sekali ketika tidak mampu menggerakkan kaki tangannya dan di lihatnya orang yang tadi dekat dengannya itu melompat ke jendela berdiri sejenak di lubang jendela.
Ai Yin terbelalak. Bayangan itu adalah Siauw Beng! Tidak salah lagi. Lengan kiri bayangan itu buntung dan bentuk tubuhnya juga tegap. Sayang ia tidak dapat melihat wajahnya karena cuaca hanya remang-remang dan jendela itu agak jauh dari pembaringannya.
"Siauw Beng....!” Ia berseru memanggil dan bayangan itu melompat ke atas wuwungan rumah. Ai Yin meronta dan berusaha melepaskan diri dari ikatan kaki tangannya akan tetapi ikatan itu kuat sekali.
Sementara itu, ketika bayangan itu dengan ringan dan gesitnya melompat ke atas atap, dia terkejut karena di situ berdiri tiga orang. Kegelapan malam membuat dia tidak dapat melihat siapa mereka. Akan tetapi bayangan itu menyangka buruk, maka cepat dia menerjang dan memukul orang terdekat dengan pukulan yang amat dahsyat.
Angin berdesir ketika tangannya memukul ke arah dada orang itu. Akan tetapi yang di pukulnya dengan gerakan aneh menangkis pukulan tangan kanan si lengan buntung ini dan berbareng tangan kanannya menyambar.
"Wukkk.. plakkkk!” Tangan orang yang di serang itu sudah menampar dada si bayangan berlengan kiri buntung.
"Auhh…!” Bayangan itu berseru, kaget dan heran akan tetapi dia ternyata cerdik. Maklum bahwa lawannya amat tangguh, dia sudah menggulingkan tubuhnya seperti orang jatuh oleh tamparan tadi, menggelinding ke bawah atap!
Tiga orang itu bukan lain adalah Nenek Bu, Mayani dan Siauw Beng. Seperti kita ketahui, tiga orang ini melakukan penyelidikan dan ketika tiba di kota Kwi-cu, mereka segera pergi ke rumah Tung Ci. Dari seorang penduduk dusun di luar kota Kwi-cu mereka mendengar akan adanya seorang perampok berlengan satu bernama Tung Ci yang tinggal di luar kota Kwi-cu. Maka mereka bertiga segera mengunjungi rumah itu dan mendapatkan Tung Ci rebah dalam keadaan sakit dan lemah.
Tung Ci menceritakan bahwa siang tadi dia juga kedatangan seorang pemuda tampan dan seorang gadis cantik yang bertanya tentang Si Tangan Halilintar. Mendengar ini, Nenek Bu bertanya di mana adanya dua orang itu. Tung Ci mengatakan bahwa mungkin mereka berada di kota Kwi-cu.
Demikianlah, karena tidak mau memperlihatkan diri di waktu siang, tiga orang itu memasuki Kwi-cu dimalam hari dan langsung saja berlompatan ke atas atap rumah-rumah kota itu untuk melakukan penyelidikan.
Ketika mereka tiba di atas atap rumah penginapan, kebetulan sekali mereka melihat bayangan hitam yang berlengan satu melompat naik dan tiba-tiba menyerang Nenek Bu. Mungkin si bayangan hitam berlengan satu itu tidak menduga bahwa yang di serang adalah seorang yang tinggi ilmunya, maka dia menjadi lengah dan dengan mudah menerima tamparan pada dadanya oleh Nenek Bu.
"Kalian kejar dia, aku akan memeriksa ke bawah!” kata Siauw Beng dan dia sudah melompat ke bawah. Ketika tadi mendengar keterangan Tung Ci yang menggambarkan keadaan gadis dan pemuda itu, dia sudah menduga bahwa gadis itu tentu Ai Yin. Akan tetapi dia tidak dapat menduga siapa pemuda itu yang agaknya membantu Ai Yin melakukan penyelidikan untuk menangkap Si Tangan Halilintar palsu.
Ketika melewati kamar Ai Yin, Siauw Beng mendengar gerakan-gerakan dalam kamar itu. Dia melihat jendela terbuka, maka cepat dia melompat ke dalam kamar. Pada saat itu, Ai Yin sudah berhasil melepaskan ikatan kaki tangannya. "Ai Yin…!” Siauw Beng segera mengenal Ai Yin.
"Jahanam, engkau jahat…!” Ai Yin sudah mencabut pedangnya dan menyerang Siauw Beng. Pemuda itu cepat mengelak dan melompat keluar.
"Ai Yin, bukan aku…”
"Keparat busuk, masih menyangkal lagi?” Ai Yin menyerang lagi dengan lebih sengit saking marahnya.
Namun Siauw Beng hanya mengelak dan ketika pedang Ai Yin kembali menyambar, ada pedang bengkok menangkis.
"Traanggg…!” Ai Yin terkejut bukan main karena lengan kanannya terasa bergetar hebat ketika pedangnya tertangkis. Ia melihat seorang wanita cantik sekali dan dari pakaiannya tahulah ia bahwa gadis itu adalah seorang gadis bangsawan Mancu.
Ia marah dan jengkel sekali, akan tetapi maklum bahwa ia tidak akan menang melawan mereka. Baru melawan Siauw Beng saja, kalau pemuda itu membalas, ia tidak akan menang. Apalagi di situ ada gadis Mancu ini yang membela Siauw Beng. Gadis Mancu...?
Ah, ia teringat sekarang. Tentu ini Puteri Mayani yang di bela Siauw Beng sampai lengannya buntung! Hatinya semakin panas dan ia melompat pergi sambil terisak! Keributan itu memancing datangnya banyak orang.
Mendengar ini, Nenek Bu yang sudah muncul pula berkata, ”Lebih baik kita pergi sebelum orang-orang itu datang ke sini.”
Siauw Beng dan Mayani setuju dan mereka bertiga lalu berkelebat dengan cepat meninggalkan rumah penginapan itu dan sudah pergi jauh ketika orang-orang berdatangan ke tempat itu. Mereka ramai membicarakan keributan yang terjadi di rumah penginapan itu dan menduga-duga apa yang telah terjadi.
Pengurus rumah penginapan hanya dapat menceritakan bahwa dua orang tamunya seorang pemuda tampan dan seorang gadis cantik, telah pergi meninggalkan kamar mereka sebelum membayar uang sewanya! Setelah tiba di luar kota Kwi-cu, mereka bertiga berhenti berlari dan Siauw Beng lalu bertanya tentang bayangan lengan satu yang dikejar Nenek Bu dan Mayani.
"Kami kehilangan dia, karena malam gelap sekali dan dia menghilang tanpa meinggalkan jejak” kata Mayani.
Nenek Bu menggeleng kepala. ”Aku tidak membunuhnya dan membatasi tenagaku, akan tetapi aku yakin bahwa kulit dadanya hangus dan ada bekas telapak tanganku di dadanya yang tidak mudah dia hilangkan.”
"Siauw Beng, siapakah gadis tadi? Tampaknya ia marah sekali padamu dan berusaha membunuhmu. Akan tetapi mengapa engkau tidak melawan sama sekali?” Mayani bertanya heran.
Siauw Beng menghela napas panjang. ”Ia adalah Wong Ai Yin, puteri Bu-tek Sin-kiam yang dilarikan orang Mongol ketika ia dan aku di keroyok banyak orang itu. Kami melakukan perjalanan berdua mencari jejak Si Tangan Halilintar palsu. Ketika aku bertemu dengannya tadi, ia langsung memaki dan menyerangku. Jelas bahwa ia mengira bahwa aku benar-benar penjahat itu.”
"Hemmm, aku ingat, Bu-tek Sin-kiam adalah seorang pendekar pejuang yang gigih. Kalau sikapnya berubah seperti itu, hal ini jelas bahwa tadi ia sudah atau hampir menjadi korban penjahat itu, maka begitu melihatmu langsung menyerang.” kata Nenek Bu.
"Agaknya memang begitu. Kami bersahabat baik dan kalau ia bersikap memusuhi seperti tadi, berarti ia yakin bahwa sayalah penjahat itu, Nek. Keyakinan ini tentu timbul karena ia melihat penjahat itu. Akan tetapi melihat keadaannya, ia belum menjadi korban. Nek, kita harus dapat menangkap penjahat itu agar dia tidak menimbulkan korban lagi!” Kalimat terakhir ini di ucapkan dengan nada penasaran dan marah oleh Siauw Beng.
"Benar, kurasa dia belum berlari jauh. Mari kita mengejarnya!” kata Mayani dan tiga orang itu lalu melanjutkan pencarian mereka...