Si Tangan Halilintar Jilid 25 karya Kho Ping Hoo - NENEK Bu merasa menyesal mengapa ia tadi tidak memukul lebih keras untuk merobohkan penjahat itu. Hal ini adalah karena ia tidak ingin membunuhnya, hanya ingin menangkap dan ia sama sekali tidak menduga bahwa penjahat itu ternyata memiliki sinkang (tenaga sakti) yang amat kuat sehingga tamparannya itu sama sekali tidak mampu merobohkannya.
Sementara itu, Ai Yin melarikan diri sambil menangis. Ia keluar dari kota Kwi-cu. Ia merasa penasaran, marah dan juga sedih bercampur panas hati. Siauw Beng yang ia kagumi, yang ia percaya sepenuhnya, ternyata adalah pelaku semua kejahatan yang keji itu ! Siauw Beng bahkan nyaris memperkosanya! Yang lebih memanaskan hatinya, gadis cantik puteri Mancu itu telah membela Siauw Beng!
Tentu mereka saling mencinta, kalau tidak begitu, tidak mungkin Siauw Beng membelanya dengan mengorbankan lengan kirinya buntung! Panas, sedih, penasaran, cemburu, semua teraduk dalam hati Ai Yin yang berlari sambil menangis. Menjelang pagi, ia sudah berada jauh diluar kota Kwi-cu.
"Yin-moi…!”
Ai Yin terkejut dan menoleh ke kanan. Ia melihat Cun Song berlari menghampirinya. Ai Yin yang sudah kelelahan itu terkulai dalam rangkulan Cun Song, tubuhnya terasa lemas dan tangisnya mengguguk.
"Yin-moi, tenanglah. Mengapa engkau menangis? Apa yang telah terjadi?” pemuda itu menghibur dan mengelus pundak Ai Yin.
Ai Yin melanjutkan tangisnya dan setelah tangis mereda, ia baru menyadari bahwa ia dipeluk Cun Song, maka dengan halus ia melepaskan diri dari rangkulan itu. "Song-ko, engkau benar…” katanya setelah dapat menenangkan dirinya sambil duduk di atas batu melepaskan lelah. Cun Song duduk di depannya. ”Siauw Beng sendiri penjahat buntung Si Tangan Halilintar itu!”
"Hemmm, apa yang telah terjadi? Apa yang dilakukan jahanam busuk itu kepadamu, Yin-moi? Akan ku hancurkan kepalanya, kalau ia berani menjamahmu!” Cun Song bangkit berdiri dan mengepal tinju, mukanya berubah merah saking marahnya.
"Aku beruntung dapat melepaskan diri, Song-ko. Kaki tanganku sudah dia ikat, akan tetapi aku dapat melepaskan diri dan ketika dia muncul, aku menyerangnya. Akan tetapi muncul seorang gadis Mancu membelanya. Aku merasa tidak akan mampu mengalahkan mereka berdua, maka aku lalu melarikan diri. Jahanam keparat itu jelas Siauw Beng sendiri! Aku tertipu!”
"Sudah ku duga sejak dahulu, Yin-moi. Dan gadis Mancu itu tentulah Puteri Mayani. Pasangan busuk itu memang jahat sekali!”
"Mari kita cari mereka, Song-ko. Kita bunuh mereka berdua!”
"Tenanglah, Yin-moi. Aku tahu bahwa mereka lihai bukan main. Kalau kita berdua melawan mereka dan kita kalah, bukan saja usaha kita gagal, bahkan nyawa kita pun terancam. Mari kita mencari bantuan dan kalau sudah kuat, baru kita mencari dan membunuh sepasang manusia busuk itu!”
Mereka lalu pergi dari situ. Di sepanjang perjalanan Ai Yin masih nampak penasaran, marah dan kecewa kalau ia mengingat apa yang telah dilakukan Siauw Beng yang diam-diam telah membuat ia kagum dan jatuh hati itu. Dengan pandainya Cun Song menghiburnya dengan kata-kata lembut dan memberi harapan bahwa mereka pasti akan dapat membalas dan membunuh si jahat tangan buntung Siauw Beng itu.
Ai Yin diam saja, akan tetapi dalam hatinya terjadi pertentangan. Ia sama sekali tidak menghendaki Siauw Beng di bunuh, bahkan mungkin ia akan membelanya kalau pemuda itu akan di bunuh orang.
Akan tetapi yang menyakitkan hatinya melihat Siauw Beng ternyata jahat dan terutama sekali ketika melihat betapa Mayani yang cantik jelita itu saling bela dengan Siauw Beng! Panas dan penuh cemburu rasa hatinya. Dalam perjalanan itu, yang menjadi petunjuk jalan adalah Cun Song karena dia yang akan berusaha mencari bala bantuan untuk menghadapi penjahat Si Tangan Halilintar Siauw Beng dan Puteri Mayani.
Cu Song atau nama aslinya Song Cun telah melakukan penyelidikan dan tahu bahwa rombongan Siauw-lim-pai dan rombongan Lam-liong (Naga Selatan) Ma Giok sedang mencari Si Tangan Halilintar Siauw Beng, maka dia mengajak Ai Yin untuk menghadang mereka. Ai Yin yang kini sudah menaruh kepercayaan besar sekali kepada Cun Song, tidak membantah dan menurut saja kemana pemuda itu mengajaknya pergi.
Pada keesokan harinya, bertemulah Cun Song dengan rombongan Ciong-yang Ngo-taihiap yang terdiri dari Ciang Hu Seng, Bhe Kam, Lee Bun dan Song Cin. Ketika melihat empat orang ini, Song Cun mengajak Ai Yin cepat menyambut mereka dan mereka saling bertemu di jalan umum itu.
"Cun-ko…!” Song Cin berseru ketika melihat kakaknya.
Song Cun segera memberi, mengangkat kedua tangan dengan dada dan membungkuk terhadap tiga orang paman gurunya. "Sam-wi Su-siok (Tiga Paman Guru), apakah selama ini susiok baik-baik saja?” katanya hormat dan lembut.
Mereka memandang kepada Song Cun dan Ai Yin dengan heran, lalu Ciang Hu Seng tertawa, "Ha-ha-ha, Song Cun! Kemana saja engkau selama ini? Dan siapa pula gadis cantik ini?”
"Teecu (saya) selama ini merantau mematangkan kepandaian, su-siok. Ini adalah seorang sahabat teecu bernama Wong Ai Yin, puteri dari lo-cian-pwe Bu-tek Sin-kiam Wong Tat!” Song Cun memperkenalkan.
"Hei, Song-ko, mengapa mereka ini menyebutmu Song Cun dan siapakah orang-orang gagah ini?” Ai Yin bertanya.
"Yin-moi, dulu namaku memang Song Cun. Mereka ini adalah tiga orang paman guruku yang tergabung dalam Ciong-yang Ngo-taihiap, yaitu susiok Ciang Hu Seng, susiok Bhe Kam dan susiok Lee Bun.Sedangkan pemuda itu adalah Song Cin, adik kandungku.”
"Ah, aku sudah mendengar akan nama besar Ciong-yang Ngo-taihiap! Jadi engkau ini putera seorang dari mereka, Song-ko? Mengapa engkau tidak menceritakan hal itu dahulu?”
"Aku sedang merantau dan mengasingkan diri, Yin-moi, maka sengaja menggunakan nama lain.”
Sementara itu, tiga orang dari Ciong-yang Ngo-taihiap memandang kepada Ai Yin penuh perhatian. "Bagus, Nona! Kami juga mengenal baik Bu-tek Sin-kiam Wong Tat sebagai seorang yang gagah perkasa. Kami girang engkau pandai memilih teman, Song Cun.”
"Paman bertiga sedang hendak pergi kemanakah? Mengapa semua meninggalkan Liong-san? Apa yang telah terjadi?” Tanya Song Cun.
"Kami sedang mencari si jahanam Lauw Beng, Si Tangan Halilintar yang kini semakin jahat itu! Kami harus membunuhnya!” kata Lee Bun yang kurus dan mukanya seperti tengkorak.
"Si Tangan Halilintar Lauw Beng harus kita bunuh! Dia telah…”
"Bhe susiok…!” Song Cun memotong ucapan Bhe Kam dan ayah Bhe Siu Cen yang marah itu menghentikan kata-katanya yang tadi hendak menceritakan bahwa Si Tangan Halilintar telah memperkosa puterinya! Teringatlah dia bahwa peristiwa yang celaka itu tidak seharusnya diceritakan kepada orang lain karena merupakan aib yang menimpa keluarganya.
"Si Jahat Lauw Beng? Kami juga sedang mencari bala bantuan untuk menghadapinya, Su-siok!” kata Song Cun.
"Ah, engkau juga sudah mendengar akan semua kejahatan Si Tangan Halilintar?” Tanya Ciang Hu Seng.
"Tentu saja, susiok. Siapa yang belum mendengar akan kejahatannya? Bahkan kami baru kemarin dulu bertemu dengan Si Tangan Halilintar Lauw Beng si jahanam itu!”
"Ah, benarkah? Dimana dia sekarang? Kita harus menangkap dan menghukumnya!” kata Bhe Kam. "Sayang kami tidak dapat menangkap atau membunuhnya beberapa hari yang lalu.”
"Ah, susiok sudah bertemu dengan jahanam itu?” Song Cun bertanya.
"Ya, beberapa hari yang lalu, kami berempat dan Kang-lam Jit-hiap bertemu dengan jahanam Lauw Beng. Kami sebelas orang mengeroyoknya dan pada saat dia sudah terdesak, muncul Puteri Mayani dan nenek gila yang lihai itu. Si Tangan Halilintar itu dapat melarikan diri dan kita kehilangan jejaknya. Kang-lam Jit-hiap berpisah dari kami untuk melacak jejaknya dari lain jurusan.“ kata Bhe Kam dengan nada suara kecewa bahwa penjahat pemerkosa puterinya itu dapat lolos. "Dimana engkau bertemu dengan dia, Song Cun? Cepat ceritakan!”
"Teecu kira nona Woang Ai Yin yang lebih jelas ceritanya karena ia bertemu langsung dengan Si Tangan Halilintar.”
Semua orang memandang Ai Yin dan gadis ini bercerita dengan nada suara penasaran dan marah. "Aku dan Song-ko tinggal di sebuah rumah penginapan di kota Kwi-cu. Ketika itu Song-ko sedang pergi dan aku seorang diri dalam kamarku. Aku tertidur, mungkin terbius dan ketika aku sadar, aku berada dalam keadaan terikat dan aku melihat orang berelngan buntung dikamar itu. Aku dapat melepaskan diri dan bayangan itu lenyap. Kemudian orang itu muncul lagi dan ternyata dia adalah Siauw Beng! Aku sudah hampir membunuhnya dengan pedangku akan tetapi tiba-tiba muncul puteri Mancu itu membelanya. Terpaksa aku melarikan diri karena merasa tidak mampu melawan mereka berdua.”
"Jahanam busuk! Tentu dia itu mempunyai keinginan yang keji terhadap diri adik Wong Ai Yin. Manusia itu harus di bunuh, kalau tidak tentu akan membahayakan masyarakat!” kata Song Cun.
Pada saat itu muncul tujuh orang-orang gagah berusia antara empat puluh sampai lima puluh tahun, semua mempunyai sebatang pedang ronce kuning di punggung mereka.
"Ah, kiranya Kang-lam Jit-hiap yang datang!” kata Lee Bun. "Bagaimana hasil melacak jejak jahanam itu?”
"Kami tidak berhasil menemukannya." kata orang pertama yang wajahnya pucat dan jenggotnya panjang.
"Kebetulan sekali kalian datang. Kami sudah menemukan jejaknya. Dia berada di Kwi-cu. Mari kita cepat melakukan pengejaran!” kata Bhe Kam yang ingin segera dapat membunuh Si Tangan Halilintar Lauw Beng yang telah berani menodai puterinya.”
Mendengar ini, Kang-lam Jit-hiap girang sekali dan mereka semua, tiga belas orang, segera melanjutkan perjalanan mengikuti Song Cun yang menjadi petunjuk jalan, mencari Si Tangan Halilintar Lauw Beng.
Nenek Bu, Puteri Mayani, dan Lauw Beng duduk di bawah sebatang pohon besar di tepi jalan yang sunyi itu. Siang hari itu panasnya menyengat dan mereka telah melakukan perjalanan sejak pagi. Ketika melihat pohon besar yang rindang itu, Nenek Bu mengajak dua orang muda itu berteduh dan mengaso. Nyaman sekali diwaktu siang hari panas berteduh di bawah pohon itu. Angin semilir seperti mengipasi tubuh mereka, terasa sejuk dan nyaman.
Puteri Mayani lalu mengambil makanan dan minuman dari buntalan pakaiannya. Makanan itu dibelinya pagi tadi di sebuah dusun. Ia membuka buntalan dan belasan butir bak-pauw besar tampak, dengan seguci air jernih, mengundang selera makan mereka.
Nenek Bu yang kini merasa berbahagia sekali karena selain keadaannya sudah pulih, juga ia sudah bertemu dengan cucunya, makan dengan lahap dan mereka bercakap-cakap dengan gembira.
"Hemm, kalau kita sudah makan minum seperti ini, jelas terbukti bahwa bukan makanan mahal dan tempat yang megah yang membuat kita dapat makan enak.“ kata Puteri Mayani.
Nenek Bu tertawa. "He-he, tentu saja bukan, Mayani. Yang membikin kita dapat makan enak adalah perut lapar!”
"Ku kira apa yang dikemukakan Mayani dan Nenek tadi hanya merupakan sebagian saja yang menjadi penyebab makanan dapat terasa enak. Bukan hanya makanan mahal, tempat megah, atau hanya perut lapar saja yang membuat kita dapat makan enak, akan tetapi banyak penyebabnya. Yaitu, perut lapar, badan sehat, pikiran tentram, hati senang. Akan lebih menyenangkan lagi kalau empat keadaan itu di tambah dengan makanan lezat mahal, ruangan yang indah mewah. Yang empat itu merupakan hal pokok, satu saja kurang, tak mungkin bisa makan enak. Contohnya, biar perut lapar, badan sehat, pikiran tentram, kalau hati tidak senang, pasti makan tidak terasa enak. Demikian pula kalau perut lapar, badan sehat, hati senang tapi pikiran tidak tentram, atau kalau perut tidak lapar atau kalau badan tidak sehat. Betul tidak?”
Wanita tua dan muda itu tertawa. "Hik-hik, kalau begitu engkau hendak mengatakan bahwa pada saat itu kita bertiga sedang lapar, sehat pikiran tenteram, dan hati senang?” kata Mayani.
"Aku memang sedang dalam keadaan seperti itu, Mayani.“ kata Lauw Beng.
"Kalau begitu, kita tidak membutuhkan banyak untuk mendapatkan kebahagiaan, bukan?” kata Nenek Bu. "Ku rasa yang dimaksudkan Lauw Beng adalah kebahagiaan. Kalau kita berbahagia, maka segala hal juga menjadi enak menyenangkan. dan untuk mendapatkan atau merasakan kebahagiaan itu, ternyata tidak membutuhkan harta benda, kedudukan pangkat tinggi dan segala barang keduniaan lain. Buktinya kini kita, dengan makanan sederhana, di tempat yang lebih sederhana pula, dapat berbahagia.”
"Nenek benar! Jadi kesimpulannya, kita manusia hidup ini sebetulnya sudah dalam keadaan bahagia itu! Thian (Tuhan) menciptakan kita di dunia ini sudah dalam keadaan yang berbahagia. Anggota badan kita serba lengkap untuk alat mempertahankan hidup, juga memberi segala benda, tumbuh-tumbuhan dan hewan untuk makanan penyambung hidup. Segala apa yang terdapat di dunia ini seolah di sediakan untuk melengkapi kehidupan manusia. Kita ini sebetulnya sudah dalam keadaan bahagia.”
"Hanya saja, pikiran kita ini yang terlalu sering mengaburkan bahkan menghilangkan kebahagiaan itu, dengan segala macam persoalan yang timbul karena ulah nafsu kita sendiri. Dendam kebencian, marah, kecewa, iri dan dengki, kemurkaan, ketakutan, iba diri, semua itu seolah asap-asap hitam yang menutupi sinar kebahagiaan sehingga kita tidak lagi merasa bahagia!”
"Walah, dengar itu Nek, khotbah seorang pendeta tua!” Mayani berkata sambil tertawa.”
"Memang, khotbah yang baik sekali, Mayani. Sayang sekali, kita manusia ini biasanya mudah menangkap artinya dan mengerti akan kebenarannya, namun alangkah sukarnya untuk melawan semua perasaan yang timbul dari nafsu-nafsu itu sehingga dalam kehidupan kita ini, kita lebih terombang-ambing antara kesenangan dan kesusahan, kepuasan dan kekecewaan, kesabaran dan kemarahan dan sebagainya sehingga sinar kebahagiaan itu tidak pernah terasa.”
Mereka sudah makan minum dan kenyang. Mayani membungkus sisa makanan dan memasukkannya ke dalam buntalan pakaiannya. Mereka sudah siap untuk pergi melanjutkan perjalanan mereka. Akan tetapi tiba-tiba tampak banyak bayangan orang berkelebatan dan tahu-tahu muncul tiga belas orang yang telah mengepung mereka! Lauw Beng dan Mayani segera mengenal siapa Ciang Hu Seng, Bhe Kam, Lee Bun, Song Cun dan Song Cin.
Juga Lauw Beng mengenal Wong Ai Yin sehingga dia merasa terheran-heran. Mayani tidak mengenal tujuh orang Kang-lam Jit-hiam, juga Lauw Beng tidak mengenal mereka. Melihat Mayani berada di situ bersama Lauw Beng, Song Cun merasa khawatir kalau-kalau puteri Mancu itu akan membuka rahasianya yang telah memperkosa Mayani, maka dia tidak ingin banyak bicara lagi.
"Bunuh Si Tangan Halilintar!” Setelah berkata demikian, dia sudah menerjang maju menyerang Mayani. Pedangnya menyambar kearah leher gadis itu. Ingin dia segera membunuh gadis itu agar tidak sampai membuka rahasianya.
"Singggg… plakkk!” Pedang itu di tampar dari samping oleh tangan Nenek Bu sehingga terpental.
"Pengecut!” bentak Nenek Bu. "Engkau menyerang secara gelap tanpa membuka pembicaraan untuk mengatakan apa sebabnya kalian ini mengepung kami! Engkau hendak membuntungi lengan Mayani seperti yang kau lakukan kepada Lauw Beng secara licik dahulu?”
Bentakan ini membuat muka Song Cun menjadi merah, dan Ciang Hu Seng, seorang yang sejak muda berwatak pendekar gagah perkasa, mengerutkan alisnya dan berkata kepada Song Cun. "Song Cun, biarkan mereka mengakui dulu kesalahan mereka!”
Pada saat itu terdengar seruan orang, suaranya lembut namun mengadung getaran kuat. "Omitohud! Cu-wi (anda sekalian) harap menunggu kami untuk ikut mengadili penjahat!”
Semua orang menengok dan tampaklah serombongan orang terdiri dari Lu Kiat dan Lu Siong, dua orang tokoh Siauw-lim yang pernah dikalahkan Nenek Bu dan Mayani, juga Lauw Han Hwesio wakil ketua Thian-li-tang, juga seorang murid Siauw-lim dan seorang hwesio tinggi kurus yang bukan lain adalah Tiong Hwi Hwesio, wakil ketua Siauw-lim-pai yang membawa tongkat panjang.
Melihat datangnya empat orang lagi, Nenek Bu tertawa. "He-he, semakin ramai! Berapa orang semua?" Ia menghitung mereka yang sudah mengepung itu. "Satu, dua, tiga… enam belas, tujuh belas! Wah, tujuh belas orang yang tampak gagah seperti pendekar, akan tetapi yang hendak mengeroyok dua orang muda dan seorang nenek! Bagus, sungguh kalian semua memperoleh kemajuan pesat dalam hal kecurangan!”
"Nyonya Bu, aku mengenal siapa engkau! Dahulu, engkau adalah isteri pendekar patriot Bu Kiat yang tewas oleh penjajah mancu! Kemudian engkau menjadi selir Pangeran Abagan yang menjadi pejabat tinggi di Keng-koan dan berganti nama menjadi Thio Ci Gan. Engkau juga telah mengkhianati mendiang suamimu dan juga bangsamu! Sekarang engkau hendak melindungi Si Tangan Halilintar Lauw Beng, anak dari mantumu mendiang Lauw Heng San yang juga seorang pengkhianat bangsa?” Ciang Hu Seng yang gemuk pendek itu agaknya marah sekali sehingga dia lupa tertawa seperti biasanya.
Nenek Bu mengangguk-angguk. "Mungkin semua tuduhan itu kalian anggap benar, aku tidak peduli. Aku membela Lauw Beng karena dia cucuku! Sebaliknya kalian ini orang-orang yang mengaku pendekar patriot gagah, akan tetapi bagaimana kenyataannya tindakan kalian? Sekarangpun kalian hendak menggunakan jumlah tujuh belas orang untuk mengeroyok kami yang hanya bertiga. Itukah kegagahan kalian?”
"Omitohudd…! Nyonya Bu, pinceng (saya) mohon agar engkau tenang dan bersabar sedikit. Kami sama sekali bukanlah pengecut-pengecut yang suka mengeroyok orang, apalagi orang yang tidak bersalah. Akan tetapi kalau kami berhadapan dengan seorang penjahat yang berbahaya sekali dan yang tinggi ilmu silatnya, untuk menghukumnya kalau perlu terpaksa kami harus mengeroyoknya. Ini demi keadilan karena penjahat tidak boleh dibiarkan merajalela terus meresahkan kehidupan rakyat, bukan? Pinceng adalah Tiong Hwi Hwesio, wakil ketua Siauw-lim-pai dan curang merupakan satu di antara pantangan kami yang utama.”
"Tiong Hwi Hwesio, aku adalah Puteri Mayani, akulah yang menjadi saksi utama bahwa kami bertiga tidak bersalah apapun. Kalau ada yang menyalahkan seorang di antara kami, itu hanya fitnah belaka!”
"Mayani, biarkan lo-cian-pwe ini bicara. Silahkan, Lo-suhu, kami bertiga siap mendengarkan mengapa cu-wi (anda sekalian) datang menghadang perjalanan kami?” kata Lauw Beng dengan sikap tenang.
"Huh, masih pandai berlagak bodoh dan bersih!” bentak Bhe Kam dengan marah teringat betapa puterinya tersayang telah di perkosa pemuda lengan buntung ini. "Engkau telah memperkosa puteriku Bhe Siu Cen!”
Lauw Beng terkejut bukan main mendengar tuduhan ini. Akan tetapi dia menahan diri dan bertanya lagi. "Barangkali masih ada tuduhan lain? Silahkan mengatakannya semua, satu demi satu.”
"Bukankah engkau juga telah memperkosa nona Gui Cin, lalu membunuhnya dan membunuh pula ayahnya, Paman Gui Ling? Mereka adalah murid-murid Siauw-lim-pai! Aku yang menjadi saksi ketika pembunuhan itu terjadi dan aku melihat bahwa pembunuhnya adalah bayangan orang berlengan satu yang menggunakan ilmu silat Lo-han-kun! Dan engkau tentu telah mempelajari ilmu itu dari Paman Ma Giok yang juga seorang tokoh Siauw-laim-pai!” kata Lu Siong. Dia tidak menuduh langsung, melainkan bertanya karena memang sudah ada keraguan dalam hatinya.
"Hemmm, begitukah? Apakah masih ada lagi?” Tanya Lauw Beng.
"Si Tangan Halilintar! Engkau telah memperkosa seorang keponakan kami, untuk itu engkau sekarang harus bertanggung jawab dan menerima hukuman kami!” kata seorang dari Kang-lam Jit-hiap dengan marah.
"Hemmm, sudah tiga tuduhan? Apa masih ada lagi?” Tanya Lauw Beng sambil memandang Ai Yin.
Gadis itu lalu berkata lagi dengan suara nyaring. "Aku sendiri hampir menjadi korban kebiadaban Si Tangan Halilintar yang buntung lengan kirinya! Masih untung aku dapat meloloskan diri!”
Lauw Beng mangangguk-angguk. "Ah, kiranya begitu, Ai Yin? Pantas engkau marah-marah dan hampir membunuhku. Apa masih ada lagi?”
Karena sudah tidak ada lagi yang melakukan tuduhan, Tiong Hwi Hwesio berkata, "Omitohud, selain mereka yang datang dan menuduhmu ini merupakan bukti akan kejahatanmu, juga kami semua mendengar betapa banyaknya gadis di kota dan dusun yang menjadi korban kebiadabanmu, Si Tangan Halilintar! Karena itu, lebih baik engkau menyerah mempertanggung-jawabkan semua kejahatan untuk menerima hukuman sebagai orang gagah daripada kami keroyok dan tewas sebagai seorang jahat yang mati dikeroyok.“
"Locianpwe Tiong Hwi Hwesio dan cuwi yang gagah perkasa. Saya percaya dan yakin bahwa cuwi (anda sekalian) adalah golongan pendekar yang gagah perkasa, yang selalu membela kebenaran dan keadilan, karena itu tentu cuwi tidak menuduh sembarangan atau menjatuhkan fitnah kepada saya. Akan tetapi, ada sebuah kemungkinan, yaitu bahwa ada seseorang yang sengaja menyamar dan menggunakan nama Si Tangan Halilintar, melakukan semua kejahatan itu untuk menjatuhkan dan merusak nama saya. Oleh karena itu, saya harap cuwi tidak tergesa-gesa menuduh saya, melainkan menyelidiki dulu dengan seksama agar kelak tidak merasa menyesal setelah menghukum saya lalu ternyata bahwa saya tidak bersalah.”
"Jahanam, setelah semua bukti dan saksi, engkau masih berbohong untukmembela diri? Kamu harus mampus!” bentak Song Cun dan dia sudah menyerang lagi dan menusukkan pedangnya kearah dada Lauw Beng. Lauw Beng menggeser kaki miringkan tubuh lalu melompak ke belakang.
"Wuuukkk… bllaarr…!” Dari samping Nenek Bu sudah mendorong dengan tangan kirinya dan Song Cun terhuyung ketika angin pukulan yang amat dahsyat itu menyambar ke arahnya.
"Omitohud, tidak semestinya toanio (nyonya besar) menggunakan kekerasan untuk membela yang bersalah!“ kata Tiong Hwi Hwesio dan dia sudah maju menghadapi Nenek Bu.
Nenek Bu yang sudah marah melihat cucunya di tuduh semua orang itu, kini mendorongkan kedua tangannya ke arah wakil ketua Siauw-lim-pai.
"Omitohud…!” Tiong Hwi Hwesio menyambut dengan dorongan kedua tangannya pula.
"Syuuttt… blaarrr…!” Dua tenaga sakti yang amat kuat bertemu dengan dahsyat dan kedua orang tua itu terdorong mundur beberapa langkah!
"Omitohud…!” Tiong Hwi Hwesio berseru kaget. "Hebat sekali tenagamu, Bu Toanio!”
Akan tetapi Nenek Bu yang di puji sudah menerjang maju dan kedua orang yang memiliki kepandaian tinggi itu sudah saling serang dengan hebatnya. Gerakan mereka tampak lambat saja dan pukulan mereka tampaknya tanpa tenaga, akan tetapi di sekeliling mereka ada angin-angin pukulan yang menyambar-nyambar dengan amat dahsyat sehingga pakaian semua orang berkibar tertiup angin.
Melihat ini, Song Cun sudah menyerang Puteri Mayani karena puteri inilah yang paling berbahaya baginya. Mayani mencabut pedang bengkok dan melawan dengan penuh kemarahan karena iapun ingin membunuh pemuda yang pernah menghina dan memperkosanya itu! Akan tetapi orang-orang yang merasa sakit hati kepada Si Tangan Halilintar, sudah menerjang dan mengeroyok Lauw Beng.
Mereka adalah Bhe Kam, Song Cin, Lu Kiat dan ketujuh Kang-lam Jit-hiap! Lauw Beng terpaksa mencabut pedangnya untuk membela diri karena para pengeroyoknya adalah orang-orang yang lihai. Perkelahian itu berjalan seru dan mati-matian.
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan penuh wibawa, "Tahan semua senjata!”
Mereka yang bertanding berloncatan kebelakang. Ternyata yang muncul adalah seorang kakek gagah perkasa berusia hampir tujuh puluh tahun, dan semua orang mengenalnya karena dia dia adalah Lam-liong (Naga Selatan) Ma Giok yang merupakan guru pertama, juga ayah angkat Lauw Beng.
Para orang gagah dunia kangouw amat menghormati Lam-liong Ma Giok karena pendekar gagah ini pernah memimpin orang-orang gagah untuk menentang pasukan mancu dengan gagah. Walaupun pasukan patriot itu akhirnya kalah, namun Ma Giok masih di pandang dengan hormat oleh dunia kangouw.
Kini ketika dia muncul dan berteriak penuh wibawa, semua orang yang tadi mengeroyok berloncatan ke belakang dan memandang kepada Ma Giok. Pendekar inilah yang paling berhak menghukum Lauw Beng karena dia merupakan guru pertama dan juga ayah angkat pemuda itu.
Sementara itu, ketika melihat Ma Giok, Lauw Beng segera menjatuhkan diri berlutut. "Ayah…!” sebutan ini menunjukkan bahwa sampai saat itu dia masih menganggap Ma Giok sebagai ayahnya, walaupun Ma Giok pernah menyatakan benci kepadanya karena menganggap persahabatannya dengan puteri Mancu menunjukkan pengkhianatan kepada bangsa Han.
"Siauw Beng!” kata Ma Giok lantang. "Aku mendengar akan semua kejahatan yang kau lakukan! Nah, apa jawabmu sekarang?”
"Ayah, baru saja para locianpwe ini telah mengatakan tuduhan mereka terhadap diri saya, bahwa sayalah yang menggunakan nama Si Tangan Halilintar yang melakukan semua kejahatan itu. Pertama, locianpwe Bhe Kam menuduh saya telah memperkosa puterinya, dari pihak Siauw-lim menuduh bahwa saya telah memperkosa lalu membunuh nona Gui Cin dan ayahnya, Kang-lam Jit-hiap menuduh saya memperkosa seorang murid keponakan wanita mereka, dan nona Wong Ai Yin menuduh saya nyaris memperkosanya.”
"Dan yang kedua, mereka semua menuduh bahwa saya telah memperkosa banyak gadis di kota-kota dan dusun-dusun, juga membunuh beberapa orang di antara mereka. Dan jawaban saya, ayah, bahwa semua tuduhan itu tidak benar! Saya sama sekali tidak merasa telah melakukan semua kejahatan yang menggunakan nama Si Tangan Halilintar.”
"Dia bohong!” Song Cun berteriak. "Banyak yang menyaksikan bahwa Si Tangan Halilintar yang melakukan semua kejahatan itu buntung lengan kirinya. Siapa lagi kalau bukan dia? Aku juga yakin bahwa adik Bhe Siu Cen tidak berbohong bahwa pelakunya adalah laki-laki berlengan kiri buntung!” kata pula Song Cun sambil menahan kemarahannya.
"Saya sendiri yang menjadi saksi ketika suheng Gui Liang dan puterinya Gui Cin di bunuh setelah gadis itu diperkosa. Saya telah berkelahi melawan Si Tangan Halilintar yang buntung lengan kirinya dan yang menggunakan ilmu silat Lo-han-kun. Biarpun wajahnya tidak nampak jelas karena gelap, akan tetapi melihat bentuk tubuhnya dan lengan kirinya yang buntung, tidak salah lagi, inilah orangnya!” Lu Kiat menundingkan telunjuknya kearah muka Lauw Beng.
"Juga murid keponakan kami mengatakan bahwa pelakunya seorang laki-laki berlengan kiri buntung dan mengaku sebagai Si Tangan Halilintar!” kata seorang dari Kang-lam Jit-hiap.
Hening sejenak dan Lauw Beng memandang kepada Wong Ai Yin. "Dan engkau, Yin-moi? Apakah engkau tidak hendak bersaksi pula?”
Wajah gadis itu berubah merah dan terpaksa ia berkata, “Akupun melihat bahwa orang yang nyaris memperkosaku itu lengan kirinya buntung. Wajahnya tidak nampak jelas, akan tetapi ketika dia muncul kembali, ternyata dia adalah Lauw Beng ini!”
"Hemmm, Siauw Beng, engkau hendak menyangkal bagaimana lagi kalau begitu banyak saksi melihat bahwa engkaulah pelaku semua kejahatan itu? Ah, sungguh engkau membikin aku malu sekali! Tidak ku sangka anak yang ku pelihara dan ku didik sejak kecil, bukan hanya menjadi pengkhianat dan bergaul dengan puteri Mancu, malah sekarang melakukan banyak kejahatan yang amat terkutuk! Orang murtad dan jahat macam engkau ini harus dienyahkan dari muka bumi dan aku sendiri yang akan membunuhmu!”
Ma Giok bergerak maju, akan tetapi tiba-tiba Mayani sudah melompat dan menghadang di depan Si Naga Selatan itu.
"Bohong dan fitnah semua itu! Akulah saksi hidup yang berani menanggung bahwa Siauw Beng tidak melakukan itu. Semua karena aku selalu berada bersamanya! Dia bukan pelaku kejahatan itu dan jelas ada orang lain yang sengaja menggunakan nama Si Tangan Halilintar untuk menjatuhkan fitnah kepada Siauw Beng!”
"Siapa percaya omongan seorang perempuan Mancu!” Song Cun berteriak. Semua orang juga menjadi berisik dan menentang Puteri Mayani. Terpengaruh oleh suara-suara yang menentang Mayani itu, Ma Giok menjadi marah dan berseru nyaring.
"Minggirlah dan jangan ikut campur, perempuan Mancu!” berkata demikian dia lalu mendorong dengan kedua tangan ke arah Mayani agar gadis itu tersingkir oleh kekuatan tenaga sinkangnya yang menyambar ke depan.
"Wuuuttt… dessss…!” tiba-tiba Nenek Bu sudah melompat dan ia menyambut tenaga pukulan Ma Giok itu dengan tangkisan tangannya sehingga Ma Giok terdorong mundur.
"Bagus! Dahulu aku mendengar bahwa Lam-liong Ma Giok adalah seorang pendekar pejuang yang gagah perkasa dan bijaksana. Akan tetapi apa yang kulihat sekarang? Dia hanya seorang yang lemah, yang mudah dipengaruhi omongan orang lain, yang mudah saja menjatuhkan kesalahan kepada orang tanpa menyelidik lebih dulu apakah benar orang itu bersalah, dan lebih dari itu, dia hanya seorang yang mengandalkan banyak sekali orang-orang tolol untuk mengeroyok seorang yang pernah menjadi anak angkat dan murdinya!
"Bu Toanio, ini bukan sekendar fitnah. Cucumu memang telah melakukan perbuatan yang terkutuk dan memalukan nama baik kami, bahkan mencemarkan pula nama baik mendiang ayah dan ibunya!” bantah Ma Giok.
"Mengapa engkau tidak menyelidiki kalau-kalau ada orang yang memalsukan nama Si Tangan Halilintar untuk menjatuhkan fitnah kepada cucuku Lauw Beng?" nenek itu berseru marah.
"Apa buktinya bahwa ada orang yang memalsukan nama Si Tangan Halilintar dan lengan kirinya buntung pula?” bantah Ma Giok dan semua orang mengangguk menyetujui.
"Buktinya?” Nenek itu berseru lantang. "Akulah yang telah membuktikan sendiri. Ketika malam itu nona Wong Ai Yin nyaris diperkosa orang, Siauw Beng bersama aku dan Mayani melihat seseorang yang lengan kirinya buntung keluar dari kamar itu. Siauw Beng turun untuk melihat keadaan Nona Wong, sedangkan aku dan Mayani menghadang penjahat itu. Sayang kami tidak dapat menangkapnya karena dia menghilang dalam kegelapan malam, akan tetapi aku telah berhasil memukul dadanya!”
Tiba-tiba tubuh Nenek Bu sudah berkelebat cepat ke depan Song Cun dan tangan kanan nenek itu dengan dahsyat mencengkram kearah muka pemuda itu. Demikian hebat serangannya sehingga Song Cun terkejut dan cepat dia menarik mukanya ke belakang sambil mengangkat kedua lengannya untuk melindungi mukanya.
"Breeett…!” Tangan kiri Nyonya Bu mencengkram baju pemuda itu dan sekali sentak terobeklah baju luar dalam Song. Cun sehingga kini tampak dadanya bertelanjang.
"Lihat dadanya itu!” kata Nenek Bu sambil melompat ke belakang.
Semua orang memandang kearah dada Song Cun. Wajah Song Cun pucat dan di kulit dadanya yang putih tampak jelas gambaran telapak tangan menghitam.
"Itulah tanda telapak tanganku! "Nenek Bu berseru. "Akibat pukulan Hwe-tok-ciang! Nah, adakah bukti yang lebih menyakinkan lagi?”
"Bohong!” Song Cun berteriak akan tetapi wajahnya pucat dan suaranya gemetar. "Nenek gila itu bohong! Lihat, lengan kiriku tidak buntung, padahal Si Tangan Halilintar yang melakukan semua kekejian itu jelas buntung lengan kirinya!”
Puteri Mayani maju dan ia berteriak lantang. "Lam-liong Ma Giok, akupun sudah mendengar akan kebijaksanaanmu. Sekarang pertimbangkan baik-baik dan dengan bijaksana! Apa sukarnya menyembunyikan lengan kiri ke dalam dan membiarkan lengan baju kiri tergantung kosong! Semua orang juga dapat berbuat begitu. Dan tentu kalian semua mengetahui bahwa penjahat tukang memperkosa itu adalah seorang yang memang pernah melakukan perkosaan. Siauw Beng jelas tidak pernah melakukannya. Akan tetapi jahanam Song Cun itu? Dahulu, ketika menyeret aku ke depan kuburan orang tuanya, Song Cun ini telah memperkosa aku secara keji sekali!”
"Bohong! Perempuan Mancu ini bohong! Siapa percaya omongannya?” Song Cun berteriak.
Mayani memandang kearah Song Cin. "Song Cin, aku tahu bahwa engkau tidaklah sejahat kakakmu, engkau seorang pendekar muda yang tentu akan membela kebenaran dan keadilan! Sekarang, demi kehormatanmu sebagai seorang pendekar, demi nama dan kehormatan mendiang orang tuamu dan demi nama Cong-yang Ngo-taihiap yang dihormati orang, katakan yang sebetulnya, apakah aku berbohong ketika mengatakan bahwa Song Cun telah memperkosa aku secara keji di kuburan orang tuamu?”
Wajah Song Cin menjadi pucat, lalu merah kembali, wajahnya muram dan bingung.
"Ingat Song Cin, Bhe Siu Cen juga diperkosa oleh Song Cun ini!” kata pula Mayani yang sudah mendengar bahwa gadis itu telah di tunangkan dengan Song Cin.
Mendengar ini, wajah Song Cin menjadi merah dan matanya memandang kearah kakaknya dengan sinar berapi!. "Benar, Song Cun telah memperkosa Puteri Mayani di kuburan orang tua kami!” Akhirnya dia berkata dengan suara lantang.
"Cin-te…!” Song Cun berseru. Semua orang terkejut dan memandang kepada Song Cun yang wajahnya berubah pucat.
"Bukan hanya perbuatan terkutuk itu dia lakukan kepadaku, akan tetapi dia bersama Toat-beng Siang-kiam Can Ok juga telah memperkosa dua orang saudara misanku, dua orang gadis tak berdosa yang sedang melakukan perjalanan ke kota raja. Mereka bernama Thio Bi Goat dan Thio Bi Hwa, keponakan ibuku! Nah, seorang yang telah melakukan perbuatan terkutuk seperti itu, apakah tidak mungkin menyamar sebagai Si Tangan Halilintar melakukan semua perkosaan dan pembunuhan itu?” kata Mayani penuh semangat.
Kembali semua orang menjadi berisik dan semua mata kini memandang kepada Song Cun. Pada saat itu, Ai Yin sudah merasa yakin bahwa pelaku kejahatan itu jelas Song Cun, karena ketika ia nyaris diperkosa malam itu, Cun Song itu pun meninggalkan rumah penginapan dengan alasan hendak menghubungi Can Ok!
"Semua bohong! Lo-cianpwe Ma Giok, perempuan itu adalah puteri Mancu, nenek itu pun bekas isteri Pangeran Mancu, dan Lauw Beng itu jelas seorang pengkhianat bangsa! Sedangkan saya, semua orang tahu, saya adalah seorang patriot pejuang bangsa yang selalu menentang penjajah Mancu! Apakah semua orang terbujuk dan lebih percaya kepada mereka daripada kepada saya, seorang patriot?”
"Song Cun ini yang bohong!” tiba-tiba Wong Ai Yin melompat ke depan dan berteriak nyaring. "Dia pembohong dan penipu sehingga saya sendiri tertipu olehnya, mengira bahwa dia seorang yang baik budi dan seorang pendekar patriot yang terhormat. Akan tetapi, aku menjadi saksinya bahwa diam-diam dia bersekutu dengan golongan sesat macam Toat-beng Siang-kiam Can Ok dan bersama mereka dia mengadakan hubungan pula dengan Pangeran Galdan dari Mongol, dan dengan Pangeran Dorbai dari Kerajaan Mancu untuk merebut kekuasaan kaisar. Mana ada patriot bersekutu dengan Pangeran Mancu dan Pangeran Mongol, juga dengan golongan sesat? Dia itu jahat dan palsu, dan sekarang aku yakin bahwa yang malam itu menyamar sebagai Si Tangan Halilintar adalah Song Cun! Aku mengenal Lauw Beng sebagai seorang pendekar yang bijaksana dan budiman!”
Semua orang kini mengepung Song Cun yang menjadi pucat. Matanya liar memandang ke sekeliling seperti seekor harimau terkepung.
"Song Cun! Kiranya engkau yang amat jahat dan membohongi kami semua. Sejak dulu engkau berusaha untuk mencelakai Lauw Beng dengan tipu muslihatmu yang licik! Apa yang akan kau katakan sekarang setelah kedokmu terbuka?”
Tiba-tiba Song Cun tertawa bergelak, tawa yang tidak wajar karena terdengar seperti setengah menangis. Tawa seorang yang miring otaknya! Segala macam perasaan marah, kecewa dan takut mengaduk hatinya dan membuat jiwanya terguncang.
"Ha-ha-ha-ha! Akulah Si Tangan Halilintar yang melakukan semua itu! Aku melakukannya untuk menghancurkan si bedebah Lauw Beng yang kubenci! Mampuslah Lauw Beng, ha-ha-ha!”
Bukan main marahnya semua orang yang tadinya merasa yakin bahwa pelaku perbuatan keji itu adalah Lauw Beng. Terutama sekali Ma Giok. Dia memandang kearah Lauw Beng dengan muka pucat. Kemudian kemarahan di hatinya memuncak dan dia memandang kearah Song Cun.
"Jahanam keparat! Sejak dulu sudah ku curigai kau! Sambutlah ini!” Ma Giok menerjang kearah Song Cun. Pemuda ini sambil menyerengai menyambut.
"Plakkk! Desss…!” Ma Giok terpental kebelakang sampai terhuyung.
Bhe Kam yang juga marah sekali menerjang. Akan tetapi seperti juga Ma Giok, ketika Song Cun menangkis, dia terpental ke belakang dan hampir roboh terpental ke belakang dan hampir roboh kalau saja Song Cin tidak cepat menangkap lengannya. Song Cun tertawa terbahak-bahak. Ternyata setelah menerima gemblengan dari Jit Kong Lama, kepandaian Song Cun meningkat banyak sehingga Ma Giok sendiri masih kalah kuat ketika mengadu tenaga sakti dengannya!
"Omitohud! Kami semua tertipu oleh orang yang jahat ini. Biar pinceng turun tangan sendiri!” Tiong Hwi Hwesio sudah melangkah maju sambil membawa tongkatnya.
"Lo-suhu, sayalah yang di fitnah. Biarlah saya sendiri maju menghadapinya. Para Lo-cianpwe cukup menjadi saksi saja!" tiba-tiba Lauw Beng atau Siauw Beng melompat ke depan dan berhadapan dengan Song Cun.
"ha-ha-ha-ha! Inilah saat yang kunanti-nanti! Setelah ku rusak namanya, biar sekarang ku bunuh orangnya!” kata Song Cun dan dia sudah menerjang dengan dahsyat, tangan kanannya mencengkram kearah muka Lauw Beng dan tangan kirinya memukul kearah dada. Serangan ini dahsyat dan mematikan.
Lauw Beng dengan tenang mundur selangkah dan menggerakkan tangannya menangkis dari bawah dengan gerakan memutar ke atas dan ke kanan. Akan tetapi begitu kedua tangannya tertangkis, Song Cun sudah mengirim tendangan susulan kearah bawah pusar lawan. Kembali Lauw Beng mengelak dan balas menyerang. Kedua orang ini lalu berkelahi dengan seru dan mati-matian, di tonton oleh semua orang yang berada di situ.
Biarpun Lauw Beng hanya mempunyai lengan kanan saja yang dapat dipergunakan untuk menyerang dan menangkis, namun dia sama sekali tidak terdesak oleh serangan Song Cun yang mengamuk seperti gila. Kekalahan jumlah tangan itu dapat di tutup dengan kemenangan dalam hal kecepatan gerakan dan kekuatan tenaga sakti.
Tiba-tiba muncul sekitar tiga puluh orang perajurit Mancu di pimpin oleh Toat-beng Siang-kiam Can Ok yang mengamuk dan membantu Song Cun! Tentu saja para pendekar yang berada di situ menyambut dan terjadilah pertempuran hebat. Munculnya Can Ok dengan puluhan perajurit Mancu ini meyakinkan para pendekar akan kebenaran keterangan Ai Yin tadi bahwa Song Cun bersekutu dengan Pangeran Dorbai yang hendak memberontak di bantu oleh Pangeran Galdan dari Mongol! Maka, mereka menjadi marah dan menyambut dengan senjata mereka.
Ketika melihat Mayani ikut menyambut serbuan pasukan Mancu itu, nenek Bu juga ikut mengamuk. Ma Giok melihat ini, menjadi heran dan dia mendekati Mayani. "Puteri Mayani, mengapa engkau melawan pasukan Kerajaan Ceng (Mancu) sendiri?”
"Mereka bukan pasukan pemerintah. Kalau pasukan pemerintah tidak mungkin menyerangku. Mereka adalah pasukan yang hendak memberontak terhadap pemerintah Ceng!”
Mendengar ini, Ma Giok lalu ikut pula mengamuk. Menghadapi amukan para pendekar dari Siauw-lim-pai, Kang-lam Jit-hiap, dan keluarga Ciong-yang Ngo-taihiap, di tambah pula dengan Mayani dan Nenek Bu, tentu saja pasukan Mancu itu menjadi kocar-kacir! Ketika melihat keadaan tidak menguntungkan, Toat-beng Siang-kiam Can Ok hendak melarikan diri, akan tetapi sesosok bayangan putih berkelebat dan Wong Ai Yin sudah menghadang di depannya.
"Ai Yin, biarkan aku pergi…!” Can Ok yang memegang sepasang pedangnya itu minta dengan suara memohon. "Aku Paman gurumu…!”
"Hemmm, Can Ok. Dosamu sudah terlalu besar dan engkau mencoreng pula nama ayahku karena perbuatanmu yang kotor!”
Can Ok yang putus asa itu marah dan menyerang dengan sepasang pedangnya. Akan tetapi Liong-cu-kiam di tangan Ai Yin menyambut dan mereka lalu bertanding mati-matian. Dalam belasan jurus saja Can Ok sudah terdesak hebat dan ketika ujung pedang Ai Yin berhasil melukai lengan kirinya sehingga pedang kirinya terlepas, Can Ok mencoba untuk melompat meninggalkan Ai Yin dan melarikan diri.
Akan tetapi dua batang pedang dari seorang anggota Kang-lam Jit-hiap menyambar dan robohlah Can Ok mandi darah dan tewas seketika. Tidak sampai lama pertempuran itu. Para perajurit Mancu, anak buah Pangeran Dorbai itu roboh bergelimpangan dan sisanya, kurang lebih dua belas orang, melarikan diri meninggalkan kawan-kawannya.
Pertempuran selesai dan para pendekar kembali memperhatikan Song Cun dan Lauw Beng yang masih bertanding. Kini kedua orang muda itu bertanding dengan pedang di tangan. Berkali-kali pedang mereka beradu, terdengar bunyi berdencing nyaring di ikuti bunga api yang berpijar. Pertandingan yang amat seru. Biarpun kini ilmu kepandaian Song Cun meningkat banyak.
Namun di bandingkan dengan tingkat kepandaian Lauw Beng, dia masih kalah jauh. Kalau Lauw Beng menghendaki, kiranya sudah sejak tadi Song Cun roboh dan tewas. Akan tetapi Lauw Beng tidak ingin membunuhnya, hanya ingin merobohkannya tanpa melukai berat dan inilah yang membuat Song Cun masih dapat bertahan sampai sekian lama.
Para ahli silat yang berada di situ dan menyaksikan perkelahian itu, harus mengakui bahwa ilmu silat Song Cun sekarang amat hebat, akan tetapi mereka, terutama sekali Tiong Hwi Hwesio, Ma Giok, Kang-lam Jit-hiap dan tiga orang dari Ciong-yang Ngo-taihiap, mengetahui juga bahwa Lauw Beng banyak mengalah dan serangan balasannya tidak sepenuhnya.
Hal ini saja sudah membuat mereka kagum dan menyadari akan kebaikan hati Lauw Beng yang jelas tidak mau melakukan serangan maut. Si Tangan Halilintar yang asli itu tidak mau membunuh Song Cun, padahal Song Cun telah membuntungi lengan kirinya dan telah menyamar sebagai dia dan melakukan banyak kejahatan untuk menghancurkan namanya!
Nenek Bu yang melihat keadaan ini, segera berseru marah kepada cucunya. "Siauw Beng, manusia berwatak iblis seperti Song Cun itu masih juga engkau kasihani? Hayo cepat robohkan dia kalau engkau tidak mau celaka sendiri akhirnya karena orang macam itu licik dan curang sekali!”
Mendengar teriakan neneknya, Lauw Beng baru menyadari bahwa pertempuran telah selesai dan semua orang kini menonton dia yang masih bertanding melawan Song Cun. Song Cun sudah mandi keringat, wajahnya pucat dan napasnya terengah karena setiap kali pedang mereka bertemu, tubuhnya tergetar hebat dan dalam perlawanannya yang mati-matian itu menguras semua tenaganya. Mendengar teriakan neneknya, Lauw Beng berseru keras, pedangnya menyambar dahsyat. Song Cun menangkis dengan pedangnya sambil mengerahkan seluruh tenaganya.
"Singggg… tranggg…!” Pertemuan kedua pedang sekali ini amat dahsyat dan akibatnya, pedang di tangan Song Cun patah.
Lauw Beng melemparkan pedang Kui-kong Sing-kiam ke atas dan tangan kanannya lalu mendorong ke depan. Itulah pukulan Kui-kong-ciang (Tangan Halilintar). Song Cun merasa dadanya seperti di sambar petir. Biarpun Lauw Beng sudah membatasi tenaganya, tetap saja Song Cun terlempar dan terbanting roboh dengan tangan masih memegang gagang pedangnya yang tinggal sepotong!
Melihat pemuda itu sudah roboh, mereka yang merasa sakit hati kepada Song Cun segera berlompatan menghampiri untuk melampiaskan dendam mereka. Akan tetapi Song Cun tertawa bergelak, lalu tangan kanannya menggerakkan pedang buntungnya ke leher sendiri dan diapun tewas dengan leher hampir putus!
Wong Ai Yin berlari menghampiri Lauw Beng dan menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda itu. "Siauw Beng… Ampunkan aku…. Aku telah menuduhmu..." Ia menangis tersedu-sedu sambil menutup muka dengan kedua tangannya.
Lauw Beng tadi menyambut pedangnya yang di lontarkan ke atas dan menyimpan kembali pedang Lui-kong Sin-kiam (Pedang Sakti Halilintar) dan dia menghela napas panjang sambil menundukkan muka memandang kepada Ai Yin. "Sudahlah, Ai Yin. Bukan salahmu, semua orang juga tertipu oleh Song Cun.”
Mereka semua kini merubung Lauw Beng dan berturut-turut mereka minta maaf. Mula-mula Kang-lam Jit-hiap yang minta maaf dan memberi hormat kepada Lauw Beng dengan mengangkat tangan depan dada.
"Maafkan kami bertujuh yang bodoh, mudah dikelabui orang. Kami telah membuat kesalahan besar dengan menuduh Lauw-taihiap (Pendekar besar Lauw) yang tidak berdosa.”
Lauw Beng membalas penghormatan mereka. "Tidak mengapa, setiap orang pasti pernah membuat kesalahan. Jit-wi (Kalian bertujuh) juga hanya tertipu.”
Kemudian Tiong Hwi Hwesio wakil ketua Siauw-lim-pai juga minta maaf, di susul tiga orang pendekar Ciong-yang Ngo-taihiap, terutama sekali Bhe Kam ayah Bhe Siu Cen. Juga Song Cin minta maaf kepada Lauw Beng dan juga kepada Puteri Mayani karena selama ini dia menyimpan rahasia busuk kakaknya yang pernah memperkosa Mayani.
Kemudian Lu Kiat dan Lu Siong. Mereka semua satu demi satu, minta maaf kepada Lauw Beng lalu meninggalkan tempat itu. Song Cin membawa pergi jenazah Song Cun untuk di kuburkan sebagaimana mestinya dan hal ini saja sudah menunjukkan bahwa Song Cin seorang pemuda yang baik, sama sekali berbeda dari Song Cun. Biarpun dia juga merasa sakit hati karena tunangannya diperkosa kakaknya itu, namun dia masih mau mengurus jenazah Song Cun sebagaimana mestinya.
Kini tinggal Ma Giok yang berhadapan dengan Lauw Beng. Pendekar tua ini tampak agak pucat, namun sepasang matanya memandang Lauw Beng penuh kagum dan sayang. Melihat ini, Lauw Beng lalu maju dan berlutut di depan ayah angkatnya yang sejak dia bayi telah merawat dan mendidiknya itu.
"Ayah, ampunkan saya yang membuat ayah menjadi banyak pusing!“, katanya dengan terharu karena dia menyadari bahwa dia belum dapat membalas semua budi ayah angkatnya ini dan hanya mendatangkan kepusingan.
Ma Giok maju dan memegang kedua pundak Lauw Beng, menariknya bangkit berdiri lalu merangkul pemuda itu. "Siauw Beng!“, katanya dengan suara gemetar. "Bukan engkau yang harus minta ampun, sebaliknya aku yang harus minta maaf karena selama ini, aku kurang percaya kepadamu dan mudah dihasut orang sehingga menyangka buruk padamu. Sekarang aku tahu banyak engkau adalah seorang yang telah dapat menjunjung tinggi nama baik ayahmu dan aku ikut merasa bangga. Maafkanlah ayahmu yang bodoh ini, Siauw Beng!”
Mereka berangkulan dan kedua pasang mata mereka basah. Nenek Bu berkata, "Ma Giok, aku pun mengucapkan terima kasih kepadamu atas pembelaanmu terhadap anakku Kui Siang dan atas semua perawatan dan pendidikan kepada cucuku Lauw Beng!”
Setelah saling melepaskan rangkulan, Lauw Beng menghela napas panjang dan berkata, "Ayah, sungguh saya merupakan anak yang tidak berbakti. Saya tidak mampu melanjutkan cita-cita mendiang ayah Lauw Heng San dan cita-cita ayah sendiri untuk menjadi seorang patriot yang memusuhi Pemerintah Ceng. Saya tidak dapat memusuhi orang yang tidak berdosa. Saya akan selalu menentang mereka yang jahat, tidak peduli bangsa apa, dan saya akan selalu membela mereka yang tertindas, tidak peduli bangsa apa pula. Saya sungguh sedih telah menyebabkan semua peristiwa yang mengakibatkan banjir darah ini. Selamat tinggal, ayah!“
Setelah berkata demikian, Lauw Beng lalu meninggalkan tempat itu dengan muka di tundukkan karena dia merasa menyesal sekali bahwa karena urusan dia maka hari ini terjadi pembunuhan begitu banyak orang.
Ma Giok menghela napas panjang dan diapun menjura kepada Nenek Bu dan Mayani, lalu pergi dari situ tanpa berkata apapun. Nenek Bu dan Mayani juga cepat meninggalkan tempat yang dipenuhi mayat para perajurit Mancu pengikut Pangeran Dorbai dan mereka melakukan pengejaran terhadap Lauw Beng yang berjalan pergi dengan santai. Sebentar saja mereka dapat menyusul pemuda itu.
"Siauw Beng, engkau hendak kemanakah?” Tanya Mayani sambil memegang lengan pemuda itu sehingga Lauw Beng terpaksa berhenti melangkah.
"Aku hendak melanjutkan perjalanan, kemana saja kakiku akan membawaku, Mayani!”
"Lauw Beng, cucuku, marilah engkau bersama aku ikut Mayani ke rumah ayahnya, Pangeran Gunam atau yang nama barunya Ceng San. Dahulu keluarga itu merupakan kenalan baikku. Mari kita mulai dengan kehidupan baru di sana dan engkau tentu akan mudah memperoleh kedudukan di kota raja!”
Pada saat itu, Lauw Beng menoleh ke kiri dan tampaklah sesosok bayangan putih berkelebat pergi di antara pohon-pohon. Mayani hendak mengejar, akan tetapi Lauw Beng menahannya. "Biarkan ia pergi!”
"Siapa itu, Siauw Beng?”
"Ia Wong Ai Yin, puteri Bu-tek Sin-kiam!”
"Hemm, gadis galak yang menuduhmu nyaris memperkosanya itu?”
"Ia juga hanya menjadi korban penipuan Song Cun, Mayani.”
"Lauw Beng, engkau belum menjawab ajakanku tadi. Mari kita ke kota raja. Sudah cukup rasanya usiamu untuk mencari kedudukan kemudian menikah!”. Setelah berkata demikian, Nenek Bu mengerling kearah Mayani karena memang di dalam hatinya Nenek Bu sudah mengambil keputusan untuk menjodohkan cucunya dengan Mayani. mayani mengerti maksud kerling itu dan wajahnya tiba-tiba berubah merah dan jantungnya berdebar menanti jawaban Lauw Beng.
"Maaf, Nek. Saya tidak memusuhi pemerintah Kerajaan Ceng, akan tetapi saya juga tidak ingin menjadi pegawainya. Orang-orang akan semakin memandang rendah kepada saya. Tidak, Nek, saya ingin bebas, tidak terikat kedudukan sehingga tidak terpaksa melakukan apa yang diperintahkan atasan saya. Kalau saya bebas, saya dapat melakukan apa saja yang saya rasa benar dan tidak berlawanan dengan suara hati saya sendiri. Nenek ikutlah dengan Mayani, saya percaya Mayani seorang yang baik sekali dan dapat dipercaya. Mayani, saya hanya titip nenekku ini. Sampai di sini saja, selamat berpisah dan kelak kita berjumpa pula!” Setelah berkata demikian, pemuda itu berkelebat dan lenyap dari situ.
Nenek Bu menghela napas panjang, sedangkan wajah Mayani yang cantik tampak muram. Nenek Bu merangkul gadis itu. "Biarlah dia pergi dulu. Percayalah, Mayani, kalau memang kalian berjodoh, kelak pasti akan berkumpul kembali. Mudah-mudahan yang menjadi keinginan hatiku itu akan terkabul.”
Dua orang wanita inipun lalu pergi menuju ke kota raja dan melihat kemuraman wajah Puteri Mayani, Nenek Bu menghiburnya sehingga akhirnya ia mendapatkan kembali harapan dan kegembiraannya. Memang terdapat hubungan batin yang erat antara Mayani dan Nenek Bu,lebih daripada hubungan murid dan guru.
Bhe Siu Cen duduk di bangku taman di puncak Liong-san, menutupi muka dengan kedua tangannya dan menangis sesunggukan. Di depannya, juga di atas bangku, duduk Song Cin.
"Cen-moi (adik Cen), sudahlah, jangan bersedih dan jangan menangis. Seperti sudah engkau dengar dari ayahmu, pelaku perbuatan keji atas dirimu itu sama sekali bukan Si Tangan Halilintar Lauw Beng, melainkan kakakku sendiri, Song Cun. Akan tetapi dia telah mendapatkan balasan yang setimpal. Dia membunuh diri dengan pedangnya, berarti sakit hatimu telah terbalas dan pelakunya telah menerima hukuman dengan tebusan nyawanya.”
Setelah di hibur dan dibujuk, akhirnya Siu Cen dapat menahan tangisnya dan ia menurunkan kedua tangannya. Dua buah mata yang kemerahan dan agak membengkak karena terlalu banyak menangis menatap wajah Song Cin. "Cin-ko, semua itu, bahkan kematiannya tetap saja tidak dapat mengubah keadaanku yang terkutuk...!" Gadis itu menunduk lagi dan menahan isaknya.
“Ceng-moi! Apa maksudmu? Terkutuk, apanya yang terkutuk?”
“Akulah yang terkutuk, Cin-ko. Aku telah menjadi seorang yang kotor dan hina, aku… Aku… bahkan aku tidak pantas untuk berdekatan denganmu.”
“Ah, jangan berkata demikian, Cen-moi ! Bagiku, engkau tetap Bhe Siu Cen kekasihku, tunanganku, calon isteriku!.”
“Tidak, aku akan menyeretmu bersama ke dalam pecomberan. Aku tidak pantas menjadi isterimu.”
“Akan tetapi mengapa begitu, Cen-moi?”
“Ah, engkau masih bertanya lagi, Cin-ko? Apakah engkau pura-pura lupa bahwa aku adalah seorang wanita yang kehilangan kehormatan, kehilangan keperawanan dan tidak suci lagi?”
Song Cin menangkap kedua tangan gadis itu dan dipaksanya gadis itu untuk duduk diam dan memandang kepadanya. "Cen-moi, dengarlah baik-baik! Aku bukanlah laki-laki yang berpandangan sempit seperti itu! Kesucian diukur dari keperawanan seorang gadis! Betapa rendah dan picik pandangan seperti itu! Dengar, Cen-moi dan jawablah pertanyaanku ini sejujurnya. Kita pernah menyatakan saling cinta. Engkau mencinta aku. Nah, katakan, apaku yang kau cinta? Apakah kepalaku ini, tanganku, kakiku, badanku? Apaku yang kau cinta? Jawablah sejujurnya.”
Siu Cen bingung, akan tetapi ia menjawab sejujurnya. "Aku mencinta engkau, Cin-ko, segala yang ada padamu, bukan sebagian-sebagian.”
“Tepat, Cen-moi. Demikian pula aku. Aku cinta engkau, Cen-moi! Cinta engkau seluruhnya, bukan cinta keperawanan. Aku mencinta engkau, apa dan bagaimanapun keadaanmu. aku bukan ingin berjodoh dengan keperawanan. Kalau begitu, bisa saja aku mengambil wanita siapa saja yang masih perawan! Tidak, aku mencinta engkau, bukan keperawananmu! Pula, engkau kehilangan itu karena di paksa, diperkosa orang. Bukan salahmu. Sudahlah, lupakan peristiwa itu, Cen-moi! Orang berbuat jahat dan keji kepadamu, akan tetapi orang itu sudah terhukum, sudah mati. Kita masih hidup. Kita saling mencinta dan aku tetap mencintamu, apapun yang telah, sedang dan akan terjadi dengan dirimu! Percayalah!”
“Cin-ko…!” Siu Cen menjatuhkan diri kedalam pelukan tunangannya sambil menangis, sekali ini penuh kelegaan, penuh kebahagiaan, seolah ia menemukan kembali kebahagiaan hidupnya yang tadinya ia anggap telah menghilang.
Cinta kasih murni dapat mengatasi dan memenangkan segala macam gangguan dan persoalan. Cinta kasih itu abadi dan meresap ke hati sanubari, bukan hanya sekedar di kulit belaka yang mudah hilang. Berbahagialah manusia yang di sinari cinta kasih sejati dalam hatinya karena Kasih itu Suci, Kasih itu Benar, kasih itu Baik dan Kasih itu Abadi...!
TAMAT
Pilih Jilid,