Darah Pendekar Jilid 01 karya Kho Ping Hoo - SELAMA beberapa bulan terakhir ini, dunia kang-ouw, terutama kaum sasterawan, menjadi geger oleh perbuatan kaisar yang dianggap sungguh keterlaluan. Kaisar telah memerintahkan agar semua kitab pelajaran Nabi Khong Cu dibakar! Tidak seorangpun diperbolehkan menyimpan kitab dengan ancaman hukuman mati. Tentu saja hal ini mempunyai akibat yang amat hebat.
Perlu diketahui bahwa kitab-kitab pelajaran Nabi Khong Cu telah dianggap sebagai garis-garis kebudayaan, bahkan dianggap sebagai ukuran tentang kemampuan sastera seseorang. Akan tetapi, kaisar berpendapat lain. Pelajaran dalam kitab-kitab itu dianggap melemahkan kedudukan kaisar, dan dianggap mengandung pelajaran kepada rakyat untuk memberontak dan tidak mengindahkan kaisar lagi sebagai satu-satunya Wakil atau Utusan Tuhan di dunia!
Banyak sasterawan yang tidak sudi membakar, atau menyerahkan kitab-kitabnya dan mereka ini mempertahankan pendiriannya dengan mengorbankan nyawa. Para sasterawan itu dibunuh oleh kaki tangan kaisar. Gegerlah dunia!
Seorang menteri yang amat setia dan jujur, yaitu Menteri Ho Ki Liong yang menjabat kedudukan sebagai menteri kebudayaan, terkejut bukan main. Dia maklum bahwa perintah kaisar yang kejam itu terjadi karena hasutan-hasutan kaki tangan kaisar yang menganut agama lain. Kaisar sendiri condong untuk mempelajari Agama To yang sudah bercampur dengan ilmu-ilmu hitam dari See-thian (India).
Padahal, urusan kitab-kitab itu sebetulnya adalah wewenangnya sebagai menteri kebudayaan, Maka, tanpa memperdulikan akibat-akibatnya Menteri Ho lalu menghadap kaisar dan mengajukan protes! Protes dari menteri yang setia ini tentu saja berpengaruh dan kaisar lalu memerintahkan agar memperlunak pelaksanaan pelarangan atau pembakaran kitab-kitab itu.
Dan Menteri Ho sendiri segera pergi ke daerah selatan untuk menangani urusan ini, menghentikan kekejaman-kekejaman yang terjadi di daerah itu, di mana kaki tangan kaisar membakari kitab-kitab dan membunuhi mereka yang menentang dengan kejam.
Akan tetapi kaki tangan kaisar yang membenci para pemeluk Agama Khong-hu-cu, tidak tinggal diam. Dengan cerdik mereka menghasut kaisar dan akhirnya mereka berhasil membujuk kaisar sehingga kaisar menganggap bahwa protes dan penentangan Menteri Ho ini merupakan sikap memberontak kepadanya. Dan diapun mengirim pasukan untuk menangkap menteri yang setia itu.
Peristiwa ini sungguh amat menggemparkan dunia kang-ouw, karena Menteri Ho, selain dikenal sebagai seorang menteri yang pandai dan bijaksana, juga dikenal sebagai orang yang menghargai para tokoh kang-ouw dan bahkan mengenal tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw dan para pemimpin partai persilatan besar di empat penjuru. Dan orang-orang kang-ouw, para pendekar itupun lalu bergeraklah!
Pada suatu hari, dusun Han-kung-ce amatlah panasnya. Dusun yang terletak di sebelah utara kota Kong-goan ini biasanya amat ramai karena dusun itu merupakan tempat simpangan dari para pedagang dan pelancong yang hendak menuju ke kota raja di utara. Juga dusun ini berada di sebelah utara Sungai Yang-ce-kiang, menjadi tempat di mana para pedagang bermalam sebelum mereka berangkat membawa barang-barang dagangan mereka melalui jalan air di Sungai Yang-ce-kiang.
Hari itu amat panas, berbeda dari biasanya sehingga jalan-jalan di dusun itu, terutama jalan rayanya, nampak sunyi. Orang-orang lebih suka berlindung di tempat teduh, minum teh di warung-warung, atau beristirahat di bawah pohon sambil mengobrol.
Namun, di balik kesunyian yang timbul karena panasnya hari itu, terasa adanya ketegangan, walaupun tidak ada di antara para pedagang itu mengetahui apa gerangan yang sedang atau akan terjadi, karena pada siang hari itu memang tidak nampak ada terjadi sesuatu yang luar biasa di dusun itu.
Para penghuni rumah-rumah di tepi jalan raya, kecuali mereka yang mempergunakan rumah itu sebagai toko, tidak ada yang mau duduk di depan, karena jalan raya yang kering berdebu tertimpa cahaya matahari terik itu amat tidak enak bagi mata. Lebih nyaman untuk duduk di belakang rumah, di antara pohon-pohon, bertelanjang dada membiarkan tubuh yang kegerahan dihembus angin semilir. Maka jalan raya itu nampak lengang.
Betapapun juga, panasnya hari itu tidak mampu menghentikan kesibukan para pekerja kasar untuk bekerja. Dari jauh nampak serombongan pekerja kasar itu, memikul keranjang-keranjang besar berisi garam, menempuh jalan yang panas berdebu itu. Jalan mereka terseok-seok seirama, tubuh mereka dipaksa oleh beratnya ayunan keranjang yang tergantung di pikulan mereka, membuat tubuh mereka bergoyang-goyang.
Dan sebelah tangan yang tidak memegang pikulan tergantung kaku dan bengkok, digerak-gerakkan untuk mengatur keseimbangan badan yang dibebani muatan amat berat itu. Pikulan bambu mereka berbunyi kreyat-kreyot, lebih nyaring dari pada bunyi kaki mereka atau mulut mereka yang kadang-kadang bercakap-cakap tanpa menoleh kenada kawan yang diajaknya bercakap-cakap.
Mereka berjalan beriring-iringan satu-satu seperti barisan panjang. Biarpun jumlah mereka hanya ada belasan orang, akan tetapi karena setiap dari mereka memikul garam dengan pikulan bambu yang panjangnya tidak kurang dari satu setengah meter, maka tentu saja jarak di antara mereka agak jauh, ada dua meter sehingga barisan belasan orang itu menjadi panjang juga.
Belasan orang yang sebagian besar bertelanjang dada itu nampak kuat-kuat, seperti pada umumnya para pekerja kasar yang mencari nafkah mengandalkan otot-otot badan mereka. Akan tetapi yang paling menarik adalah orang pertama yang berjalan di depan. Orang inilah yang seolah-olah ditiru oleh orang di belakangnya dan dengan demikian gerakan semua orang itu seperti gerakan pasukan yang terlatih saja.
Orang pertama ini adalah seorang laki-laki setengah tua. Usianya kurang lebih empatpuluh tahun dan dia memakai pakaian sederhana dan kasar. Bajunya tidak ditanggalkan seperti sebagian besar teman-temannya, dan mudah dilihat bahwa tubuhnya tidaklah kekar dan berotot seperti teman-temannya yang lebih muda.
Akan tetapi keranjang-keranjang garam yang dipikulnya itu dua kali lebih besar dari yang dipikul teman-temannya dan hebatnya, kalau teman-temannya yang bertubuh kekar dan masih muda itu bermandi peluh dan kelihatan lelah, sebaliknya orang setengah tua ini tidak nampak repot memikul keranjang-keranjang itu, dan hanya ada sedikit peluh membasahi leher dan dahinya. Napasnya tidak memburu seperti napas teman-temannya yang mulai terengah-engah ketika mereka memasuki dusun itu.
Pria yang agaknya memimpin rombongan tukang memikul garam ini bertubuh sedang, tidak mengesankan, dan dia kelihatan seperti seorang petani atau orang dusun biasa saja. Akan tetapi mukanya putih bersih dengan jenggot dan kumis masih hitam lebat, membuat mukanya nampak semakin putih lagi.
Akan tetapi, muka yang putih itu mengandung sinar mata kehijauan dan ini menunjukkan bahwa dia adalah seorang ahli lweekeh atau ahli tenaga dalam yang telah melatih diri dengan suatu ilmu tenaga dalam yang hebat, dan sepasang matanya juga amat tajam, walaupun dia nampak tenang sekali sikapnya.
Setelah tiba di depan pasar Han-kung-ce, rombongan pemikul garam itu berhenti dan memang benarlah bahwa laki-laki bermuka putih itu adalah pemimpin mereka. Hal ini terbukti bahwa laki-laki setengah tua itu kini memasuki sebuah toko, menjumpai pemilik toko itu yang agaknya biasa menerima dan memborong garam yang datang dari luar daerah.
Ketika pemimpin para pemikul garam ini bercakap-cakap dengan pemilik toko, belasan orang anak buahnya nampak berkumpul di pinggir toko di mana terdapat sebuah gang dan mereka itu berteduh di tempat itu, berlindung dari teriknya sinar matahari yang kini terhalang oleh bangunan toko. Mereka bercakap-cakap dan diselingi sendau-gurau orang-orang muda, nampaknya lega telah tiba di tempat tujuan dan dapat bersantai membiarkan tubuh yang lelah itu beristirahat.
Mereka menggunakan baju yang mereka lepaskan untuk menyusuti badan mereka yang basah oleh peluh, dan ada yang menggunakan caping mereka, yaitu topi-topi bundar lebar dengan ujung sebelah atasnya meruncing, untuk mengipasi tubuh yang gerah.
Kadang-kadang, beberapa orang di antara mereka melayangkan pandang mata mereka ke arah sebatang pohon pek yang besar sekali, paling besar di antara pohon-pohon pek yang banyak tumbuh di tepi jalan dalam dusun itu. Dua orang laki-laki yang agaknya ditugaskan oleh pimpinan pamong praja di dusun itu, sedang menebangi dahan-dahan yang bergantung ke jalan raya.
Pasar itu tidak begitu ramai lagi karena hari telah siang dan sebagian besar dari orang-orang yang datang berbelanja sudah pulang kembali ke rumah masing-masing. Yang tinggal hanya para pedagang pasar yang dengan sabar masih menanti datangnya pengunjung-pengunjung yang kesiangan. Akan tetapi ada beberapa orang di antara mereka yang sudah mulai berkemas-kemas untuk menutup dagangannya dan pulang.
Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan debu di atas jalan raya itu mengebul, membuat suasana menjadi semakin pengap dan panas. Yang datang dari arah utara ini adalah serombongan piauwsu berkuda dan dari bendera mereka, dapat diketahui bahwa mereka adalah rombongan piauwsu dari Hek-coa-piauwkiok (Perusahaan Ekspedisi Ular Hitam).
Mereka mengawal sebuah kereta penuh muatan barang dan di atas kereta ini terdapat bendera yang bergambar seekor ular hitam melingkar disertai empat buah huruf nama perusahaan itu. Belasan orang piauwsu itu dipimpin oleh seorang piauwsu yang tubuhnya tinggi besar bermuka hitam, nampaknya kuat dan menyeramkan. Melihat sikap gagah dan muka hitam orang ini, mudah diduga bahwa dialah kepala atau ketuanya, dan mungkin saja sebutan Ular Hitam itu disesuaikan dengan kulitnya yang hitam.
Rombongan piauwsu ini turun dari kuda masing-masing dan berhenti di depan sebuah kedai arak, menambatkan kuda mereka dan mereka lalu memasuki kedai, makan minum sambil bergurau. Si tinggi besar bermuka hitam duduk di dekat pintu kedai, sesekali dia memandang ke arah toko di mana nampak pria muka putih bercakap-cakap dengan pemilik toko, agaknya mereka itu sedang tawar-menawar garam.
Pemilik toko itupun usianya sudah empatpuluh tahun lebih, tangan kirinya mengisap huncwe tembakau yang panjang, dan orang ini memiliki kumis yang kecil panjang dan bergantung dari bawah hidung melalui sebelah kanan kiri mulutnya.
Setelah melihat bahwa keadaannya sunyi dan di toko itupun tidak ada pembeli lain, yang ada hanya si tuan toko pedagang garam, maka piauwsu tinggi besar ini lalu bangkit berdiri dan menghampiri toko itu dengan lagak seperti orang yang hendak melihat-lihat dan hendak membeli sesuatu.
Akan tetapi, setelah jelas melihat bahwa di sekitar tempat itu tidak ada orang lain yang memperhatikan mereka, diapun segera menghampiri dua orang pria yang sedang bercakap-cakap itu. Ternyatalah bahwa mereka bertiga ini sudah saling mengenal dengan baik. Piauwsu itu menegur dengan suara lirih, akan tetapi dengan sikap gembira dan akrab sekali.
"Heii, Kim-suipoa (Suipoa Emas) dan Pek-bin-houw (Harimau Muka Putih), kiranya kalian sudah datang lebih dulu?"
Melihat si tinggi besar muka hitam ini, dua orang yang sedang bercakap-cakap itu tersenyum gembira. Tentu saja mereka tadi sudah melihat datangnya rombongan piauwsu itu dan kini mereka menyambut dengan tersenyum. "Ah, engkau dan rombonganmu berkuda, akan tetapi datang terbelakang! Dasar Ular Hitam yang malas!" kata mereka.
Pemimpin Hek-coa-piauwkiok itu tertawa, akan tetapi lalu mendekati mereka dan berkata dengan suara serius dan lirih, "Awas, kalian berhati-hatilah. Ternyata jagoan kerajaan yang lihai sekali itu berada dalam rombongan dengan menyamar!" Dia menoleh ke kanan kiri dan jelas nampak kegelisahan membayang di wajahnya yang hitam kasar itu.
Dua orang itu terkejut. "Benarkah ...?" tanya si muka putih atau si pedagang garam yang berjuluk Pek-bin-houw itu. "Bukankah kabarnya dia diutus kaisar memimpin pasukan untuk melakukan pembersihan di sepanjang lembah Yang-ce?"
"Memang kabarnya demikian, akan tetapi entahlah, agaknya fihak istana telah dapat mencium akan gerakan kita. Mata-mata mereka tersebar di mana-mana. Dan agaknya mereka lalu merobah siasat dan mempergunakan jagoan itu untuk mengawal. Hal ini sudah jelas karena anak buah Sin-kauw (Kera Sakti) ada yang berhasil menyelundup ke sana dan dialah yang memberi kabar kepadaku," jawab pemimpin piauwkiok yang berjuluk Hek-coa (Ular Hitam).
"Wah, kalau begitu berbahaya sekali! Orang itu memiliki ilmu silat yang tinggi sekali. Padahal kita tidak memperhitungkan dia, hanya mengira bahwa rombongan itu akan dikawal oleh Ciong-ciangkun saja yang sudah cukup lihai," kata pemilik toko yang berjuluk Kim-suipoa.
"Lalu bagaimana baiknya'?" tanya pedagang garam yang berjuluk Pek-bin-houw atau Harimau Muka Putih itu.
"Kita bukan penakut dan untuk perjuangan kita, mati bukanlah apa-apa. Akan tetapi kita harus waspada dan kita tahu bahwa menghadapi jagoan istana itu satu lawan satu, kita bukanlah tandingannya. Akan tetapi, kalau kita bertiga maju bersama menandinginya, kukira belum tentu kita akan kalah olehnya," kata Kim-suipoa.
"Benar, dan biarlah Sin-kauw yang menandingi Ciong-ciangkun, komandan pasukan pengawal itu," kata Pek-bin-houw.
"Dan anak buah kita berempat akan menyerang pasukan pengawal. Semua ini memang baik dan tepat. Akan tetapi, lalu siapa yang akan bergerak melarikan dan menyelamatkan Ho-taijin (pembesar Ho)?" tanya Hek-coa.
Mereka bertiga mengepal tinju dan menjadi kebingungan mendengar pertanyaan ini. Kim-sui-poa membanting kaki kanannya. "Sungguh di luar dugaan! Kita mengira bahwa dengan mengerahkan empat orang dan kita bersama anak buah kita, urusan ini akan dapat diselesaikan dengan mudah. Tidak tahunya manusia itu ikut datang dan merusak rencana kita. Biarpun Ho-siocia (nona Ho) dapat diharapkan akan berhasil dan datang tepat pada waktunya, namun kita tidak ingin membuatnya terancam bahaya. Kalau tahu begini, aku tentu akan minta persetujuan Ho-siocia untuk mengajak Liu-twako supaya membantu kita."
"Benar, agaknya memang hanya Liu-twako yang akan mampu menandingi iblis itu," kata Hek-coa.
Selagi mereka bercakap-cakap dengan hati agak gelisah karena terjadinya perobahan tiba-tiba itu, muncullah seorang anak buah piauwkiok dengan sikap tergopoh-gopoh. "Rombongan kerajaan yang mengawal kereta tawanan telah tiba di luar dusun," demikian orang itu melapor.
"Baik, atur semua kawan menurut rencana semula. Kurung tempat di depan pasar dan bersembunyi. Laksanakan siasat bumi hangus !" kata Kim-suipoa yang dalam gerakan ini agaknya menjadi pemimpin. Orang itupun memberi hormat dan pergi untuk melaksanakan perintah.
"Mari kita bersiap. Kalian tahu adanya perobahan rencana. Kita bertiga harus menghadapi jagoan istana itu dan biar Sin-kauw menghadapi Ciong-ciangkun yang mengepalai pasukan pengawal. Hek-coa, harap kau cepat beri tahu Sin-kauw yang bersembunyi di pohon itu."
"Baik!" kata si muka hitam yang cepat pergi ke arah pohon. Tak lama kemudian, semua orang ini sudah tidak nampak lagi, akan tetapi sambil bersembunyi mereka telah melakukan persiapan untuk menyerbu dan di belakang rumah-rumah di sekitar pasar itupun telah terjadi kesibukan-kesibukan para anak buah mereka.
Akhirnya terdengarlah derap kaki kuda para perajurit itu. Debu mengebul tinggi dan dari arah selatan nampaklah rombongan itu memasuki dusun. Belasan orang perajurit berkuda nampak paling depan, kemudian sebuah kereta berkuda empat yang dikusiri oleh seorang laki-laki muda yang berpakaian biasa saja, tidak seperti para perajurit sehingga mudah diduga bahwa kereta itu bukanlah kereta pasukan dan kusir itupun bukan perajurit.
Kemudian, di kanan kiri kereta itu nampak beberapa orang perajurit berkuda, lalu di belakang kereta masih ada puluhan orang perajurit lagi. Jumlah seluruh perajurit tidak kurang dari limapuluh orang! Pakaian seragam mereka tertimpa sinar matahari mengeluarkan cahaya berkilauan, bersama kilauan tombak dan golok mereka!
Ketika pasukan ini tiba di depan pasar, tiba-tiba saja terjadi kebakaran di empat penjuru! Suasana menjadi gempar. Teriakan "api! api!" terdengar dan para penduduk menjadi panik. Orang-orang lari berserabutan, keluar dari rumah dan memenuhi jalan raya yang tadinya sunyi itu. Asap yang terbawa angin juga ikut menambah kacaunya suasana.
Kuda para perajurit menjadi ketakutan juga karena para penduduk itu berteriak-teriak, lari ke sana-sini, ada yang mencari anak mereka, ada pula yang lari mencari air dan ada pula yang berteriak-teriak, minta tolong karena rumah mereka kebakaran. Ciong-ciangkun, komandan pasukan itu, nampak keluar dari dalam kereta bersama seorang perajurit yang bertubuh pendek cebol. Keduanya lalu melompat ke atas kereta yang telah dihentikan oleh kusir.
Komandan pasukan yang bertubuh tinggi besar dan nampak gagah itu, lalu berteriak-teriak dari atas atap kereta, mengatur para perajuritnya agar waspada dan berhati-hati karena dia menaruh kecurigaan akan peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba ini. Mana mungkin ada kebakaran rumah terjadi sedemikian tiba-tiba dan sekaligus terjadi di empat penjuru?
Dan kecurigaannya itu memang segera terbukti. Dua orang perajurit mengeluarkan pekik keras dan mereka jatuh terjungkal dari atas punggung kuda mereka. Ternyata mereka telah diserang oleh anak buah para penghadang tadi.
"Awas, jaga kereta tawanan!" teriak Ciong-ciangkun dan dari atas kereta diapun mengeluarkan aba-aba sehingga semua perajurit itu cepat mengepung kereta dan melakukan penjagaan dengan ketat.
Pada saat itu, tidak kurang dari tigapuluh orang, yaitu gabungan dari anak buah para penghadang, tukang-tukang pikul garam, para piauwsu, pegawai-pegawai toko, mulai menyerbu dan terjadilah pertempuran yang ramai di tengah jalan di depan pasar itu. Para penduduk dusun itu yang tadinya dengan panik lari berserabutan, kini menjadi ketakutan dan cepat merekapun lenyap bersembunyi, tidak ingin terbawa dalam pertempuran yang tidak mereka ketahui sebabnya itu.
Terjadilah pertempuran yang seru dan mati-matian tanpa banyak bicara lagi karena kedua fihak sudah tahu mengapa mereka bertempur dan para perajurit itupun dapat menduga bahwa orang-orang ini tentulah orang-orang yang ingin merampas dan menyelamatkan tawanan.
Biarpun jumlah para perajurit itu lebih banyak, akan tetapi karena para penyerbu itu rata-rata memiliki kepandaian silat yang lumayan, maka pertempuran itu dapat berimbang. Setiap orang penyerbu dikeroyok dua orang perajurit, akan tetapi keadaan mereka tidak terdesak, bahkan sebaliknya, fihak pasukan pemerintah mulai kewalahan dan beberapa orang perajurit mulai berjatuhan.
Terutama sekali karena adanya tiga orang pemimpin penyerbu yang mengamuk hebat, yaitu Kim-suipoa yang menyamar sebagai pedagang toko, Pek-bin-houw yang menyamar sebagai pedagang garam, dan Hek-coa ketua piauwsu. Tiga orang ini mengamuk hebat dan makin mendekat ke arah kereta di mana duduk seorang tawanan yang hendak mereka bebaskan.
Melihat sepak terjang tiga orang ini, Ciong-ciangkun, komandan pasukan itu menoleh kepada perajurit pendek cebol yang berdiri di atas kereta pula sambil menonton pertempuran. Ciong-ciangkun berkata dengan sikap hormat, "Harap taihiap suka menjaga kereta. Saya akan menahan mereka!"
"Baik, ciangkun, jangan khawatir," jawab si pendek dengan sikap tak acuh dan melihat sikap komandan itu demikian hormat kepadanya, sungguh amat mengherankan orang. Si pendek itu berpakaian perajurit biasa saja, akan tetapi komandan itu demikian menghormatnya.
Kini Ciong-ciangkun, komandan pasukan yang kelihatan gagah perkasa itu mencabut pedangnya dan meloncat turun dari atas kereta, lalu dia berlari menyerbu ke depan. Lawan tangguh yang paling dekat adalah Hek-coa si ketua piauwkiok, akan tetapi sebelum dia dapat mendekati si muka hitam itu, tiba-tiba saja nampak bayangan berkelebat dan dia telah disambut oleh seorang laki-laki berusia limapuluh tahun yang berpakaian sederhana dan yang gerakannya gesit bukan main.
Laki-laki ini mukanya kecil dan hidungnya pesek seperti hidung seekor monyet. Inilah Sin-kauw, seorang di antara empat orang gagah yang berusaha menghadang pasukan dan hendak merampas tawanan itu. Seperti telah mereka rencanakan, Sin-kauw inilah yang bertugas menghadapi komandan itu, maka begitu melihat komandan itu turun dari kereta, diapun segera menyambutnya dengan senjata tongkatnya.
Melihat munculnya orang ini, Ciong-ciangkun membentak marah. "Bagus sekali! Kiranya si monyet sakti kini telah menjadi pemberontak!"
Komandan ini mengenal Sin-kauw, seperti juga dia mengenal tiga orang pimpinan yang lain itu, karena mereka berempat itu adalah orang-orang kang-ouw yang cukup ternama sebagai tokoh-tokoh yang memiliki kepandaian tinggi dan sebagai pendekar-pendekar yang gagah perkasa.
"Ciong-ciangkun," kata Sin-kauw si Monyet Sakti, "kita sama-sama mengabdi, hanya bedanya, kalau engkau mengabdi kelaliman karena memperoleh bayaran, sebaliknya aku mengabdi kebenaran tanpa mengharapkan upah apapun juga."
"Keparat, pemberontak tetap pemberontak hina!" Dan Ciong-ciangkun sudah menyerang dengan marahnya, mempergunakan pedangnya. Sin kauw menangkis dengan tongkatnya dan membalas dengan cepat dan tidak kalah dahsyatnya, Mereka sudah berkelahi dengan hebat, mempergunakan senjata dan mengerahkan seluruh tenaga, mengeluarkan semua jurus-jurus simpanan mereka.
Dan memang keduanya memiliki kepandaian yang seimbang sehingga perkelahian antara mereka amat hebatnya. Tidak ada anak buah dari kedua fihak berani mencampuri, karena jauhnya tingkat kepandaian mereka membuat pembantu-pembantu itu bukan membantu, malah mengantar nyawa dengan konyol saja.
Melihat betapa komandan itu telah dihadapi oleh Sin-kauw dan kereta tawanan itu ditinggalkan, yang nampak berjaga hanyalah seorang perajurit pendek dan kusir yang nampak ketakutan, juga hanya beberapa orang perajurit di kanan kiri kereta, maka Kim-suipoa menjadi girang sekali. Ternyata, tidak seperti berita yang diterimanya, di situ tidak terdapat jagoan istana yang kabamya amat lihai itu.
"Mari cepat, kita serbu kereta!" katanya kepada dua orang temannya dan tiga orang gagah ini lalu mengamuk lebih hebat, makin mendekati kereta. Setelah mereka berhasil mendekati kereta, Kim-suipoa berseru dengan suara lantang, "Ho-taijin, kami datang membebaskan tuan!"
Akan tetapi begitu mereka tiba di dekat kereta, tiba-tiba saja ada angin puyuh menyambar ke arah mereka. Angin yang mempunyai tenaga berputaran hebat dan sedemikian kuatnya tenaga angin ini sehingga gerakan mereka tertahan dan tiga orang ini tidak mampu bergerak maju, betapa kuatpun mereka berusaha untuk menerjang ke depan!
Tentu saja tiga orang gagah ini terkejut bukan main. Mereka baru tahu bahwa angin puyuh itu timbul dari gerakan tangan perajurit pendek yang berdiri di atas kereta setelah si pendek itu tertawa bergelak dengan suara yang menggeledek, tidak sesuai dengan tubuhnya yang pendek cebol itu.
"Hua-ha-ha-ha.....! Sungguh tak kusangka, ditempat ini benar-benar ada penjahat-penjahat kecil yang tak tahu diri!"
Baru sekarang tiga orang gagah itu sadar. Inilah kiranya jagoan istana yang dikabarkan ikut dalam pasukan pengawal ini! Pantas saja disohorkan orang karena memang ternyata kepandaiannya hebat sekali. Mereka memang hanya mendengar saja tentang jagoan istana yang memiliki kepandaian hebat, dan baru sekarang mereka memperoleh kesempatan untuk bertemu dan merasakan kelihaiannya.
Maka, ketika si pendek itu melompat turun, tiga orang gagah ini sudah menerjang dan mengeroyoknya. Sambil tertawa mengejek, perajurit pendek cebol itu menyambut mereka. Jelaslah bahwa si pendek ini memandang rendah karena dia hanya menggerakkan kaki tangan saja untuk melawan mereka.
Padahal, Kim-suipoa menyerang dengan senjatanya yang aneh, yaitu sebuah alat penghitung (suipoa) yang lingkarannya terbuat dari pada baja, sedangkan biji-bijinya terbuat dari emas. Agaknya senjatanya inilah yang membuat dia memperoleh julukan Suipoa Emas.
Pek-bin-houw menyerang dengan senjata pikulan dan ternyata pikulannya bukan terbuat dari pada bambu, melainkan dari baja yang kedua ujungnya meruncing dan tajam. Orang ke tiga, yaitu Hek-coa mempergunakan sebatang golok besar tipis yang amat tajam. Menghadapi tiga orang gagah yang lihai dan yang semua memegang senjata andalan mereka masing-masing tanpa senjata di tangan, sungguh merupakan hal yang amat berbahaya sekali.
Akan tetapi, si pendek ini benar-benar amat lihai. Dengan kaki dan tangannya yang kecil pendek, tidak saja dia mampu menandingi tiga orang pengeroyoknya, bahkan sebelum lewat duapuluh jurus, tiga orang lawan yang mengeroyoknya itu telah menjadi kalang-kabut!
Tentu saja tiga orang gagah itu merasa penasaran bukan main. Mereka adalah tiga orang tokoh kang-ouw yang cukup terkenal sebagai orang-orang yang berkepandaian tinggi dan jarang bertemu tanding! Mereka terkenal sebagai pendekar-pendekar yang ditakuti para penjahat.
Kim-suipoa adalah seorang pendekar yang pandai berdagang, berkepandaian tinggi dan berhati dermawan, suka membantu fakir miskin dan berani menentang kejahatan, sedangkan alat sui-poa di tangannya itu merupakan senjata ampuh yang sukar dilawan. Pek-bin-houw adalah seorang pendekar yang suka berkelana ke gunung-gunung dan ditakuti para perampok karena dia selalu membasmi gerombolan perampok yang suka mengganggu orang yang berlalu-lintas di hutan-hutan yang sunyi.
Senjatanya berupa pikulan ini menunjukkan bahwa dia berasal dari keluarga petani, dan senjata ini tidak kalah terkenalnya dibanding dengan senjata suipoa itu. Dan orang ke tiga, Hek-coa juga amat ditakuti para bajak di sepanjang Sungai Huang-ho, karena lihainya. Sebagai seorang piauwsu, diapun amat terkenal dan banyak memperoleh kepercayaan orang untuk mengawal barang sangat berharga, bahkan mengawal anggauta keluarga yang melakukan perjalanan jauh melalui tempat-tempat berbahaya.
Ya, mereka adalah tiga orang pendekar yang terkenal, dan berempat bersama Sin-kauw, mereka itu pernah bekerja sama dan dijuluki Huang-ho Su-hiap (Empat Pendekar Huang-ho) karena mereka berempat berhasil membersihkan para penjahat di sepanjang sungai itu ! Akan tetapi, kini menghadapi seorang lawan saja yang bertangan kosong, mereka malah tidak mampu menang dan terdesak hebat.
Mereka pernah mendengar akan nama jagoan istana ini yang hanya mereka ketahui julukannya saja, yaitu Pek-lui-kong (Malaikat Halilintar), seorang aneh yang berilmu tinggi, dan kabarnya merupakan seorang tokoh yang menguasai ilmu dari partai persilatan terkenal yang disebut Soa-hu-pai (Partai Persilatan Danau Pasir).
Menurut penuturan Liu Pang, yaitu seorang bengcu (pemimpin rakyat) amat terkenal di sepanjang lembah Yang-ce-kiang, dan merupakan pendekar dengan siapa mereka berempat itu bekerja sama, Pek-lui-kong memang seorang yang lihai sekali.
Menurut bengcu itu, setahun yang lalu kepandaian Pek-lui-kong itu sudah hebat, akan tetapi masih belum mampu menandingi ilmu kepandaian Liu Pang. Sekarang, melihat kehebatan gerakannya, agaknya hanya Liu Pang saja yang akan mampu menandinginya.
Mereka terus menggerakkan senjata untuk berusaha mengalahkan lawan. Akan tetapi, setiap kaki si pendek itu mengeluarkan seruan sambil mendorong, mereka bertiga tentu terdorong ke belakang oleh hawa pukulan yang amat kuat dan dingin sekali. Tak dapat mereka bertahan, dan betapapun mereka mengerahkan tenaga sinkang, tetap saja mereka terdorong ke belakang, terhuyung dan menggigil kedinginan!
"Haiiiittt......!" Kim-suipoa berteriak panjang sebagai isyarat kepada dua orang temannya untuk melakukan gempuran dengan serentak. Senjata di tangannya menyambar, nampak sinar keemasan berkelebat dan senjata suipoa itu telah menghantam ke arah kepala lawan.
Pada saat itu, Hek-coa juga sudah menyerang dengan babatan goloknya ke arah pinggang lawan, sedangkan Pek-bin-houw memutar tongkatnya yang meluncur dan menusuk ke arah anggauta rahasia si pendek itu. Sungguh tiga serangan ini amat dahsyat dan berbahaya sekali karena satu saja di antaranya mengenai sasaran, tentu akan merupakan cengkeraman maut menyambar nyawa!
Akan tetapi, si pendek itu sama sekali tidak merasa gugup dengan serangan serentak itu. Sambil tersenyum, tiba-tiba tubuhnya melesat ke atas sehingga semua serangan itu mengenai tempat kosong, kemudian dari atas, dia mengeluarkan suara melengking nyaring dan dengan tubuh berjungkir-balik, kepala di bawah, tubuhnya melayang ke bawah dan kedua tangannya melakukan gerakan mendorong. Serangkum angin yang berputar menyerang ke bawah.
Belum pernah tiga orang pendekar itu melihat serangan macam ini, maka mereka menyambut tubuh lawan yang melayang turun itu dengan senjata mereka. Akan tetapi, sebelum senjata-senjata itu sempat menyentuh tubuh Pek-lui-kong, tiga orang itu terpelanting oleh sambaran hawa pukulan yang dahsyat sekali. Rasa dingin menyelinap ke dalam tubuh mereka, menggetarkan jantung dan membuat mereka menggigil.
Sejenak ketiganya tidak mampu bergerak dan saat itulah yang amat berbahaya karena dengan mudah lawan akan dapat mempergunakan kesempatan itu untuk memukul mati mereka tanpa mereka mampu melindungi diri sendiri.
"Suhu, teecu datang.....!" Nampak bayangan berkelebat dan sebatang pedang yang digerakkan dengan sangat cepat, menyerupai segulung sinar yang menyilaukan mata telah menyambar ke arah Pek-lui-kong dan menghalangi si pendek itu untuk mengirim pukulan susulan yang akan mematikan tiga orang pengeroyoknya.
Melihat betapa lihainya gerakan pedang ini, Pek-lui-kong terkejut dan memandang heran. Yang memegang pedang menolong tiga orang lawannya itu adalah seorang dara yang cantik jelita! Karena pedang itu gerakannya cepat dan amat kuat, Pek-lui-kong tidak berani memandang rendah dan cepat dia meloncat ke belakang untuk menghindar.
Kesempatan itu dipergunakan oleh nona cantik ini untuk menyerbu ke arah pintu kereta. "Ayah.....!" teriaknya.
Akan tetapi, serangkum angin puyuh yang dingin menyambar dari kiri. Kiranya si pendek sudah menyerangnya. Nona cantik itu agaknya maklum akan kehebatan angin pukulan ini, maka ia terpaksa mundur lagi, tidak jadi menyerbu ke arah kereta dan cepat ia memutar pedangnya, dengan marah ia sudah menyerang lagi kepada si pendek.
Sementara itu, tiga orang pendekar yang tadi rebah kedinginan, sudah dapat memulihkan dirinya dan sudah bangkit lagi, lalu membantu nona cantik tadi untuk mengeroyok si pendek yang amat lihai. Kini terjadilah pertempuran yang makin hebat, dan setelah nona itu datang mengeroyok, ternyata kekuatan mereka hampir seimbang dan si pendek menjadi lebih sibuk menghadapi pengeroyokan mereka.
Siapakah nona cantik itu yang menyebut suhu kepada empat orang pendekar akan tetapi yang ternyata memiliki kepandaian yang agak lebih tinggi dari pada mereka itu? Seperti yang pembaca agaknya dapat menduganya, tawanan di dalam kereta itu bukan lain adalah Menteri Kebudayaan Ho yang telah berani memprotes kepada kaisar tentang pembakaran kitab kitab pelajaran Nabi Khong Hu Cu.
Ho-taijin atau Menteri Ho ini melakukan perjalanan ke selatan untuk mengakhiri pembakaran kitab-kitab dan pembunuhan para sasterawan yang mempertahankan kitab-kitab itu, akan tetapi kaisar yang kena dihasut oleh kaki tangannya itu lalu mengirim pasukan yang dipimpin oleh Ciong-ciangkun untuk menyusul dan menangkapnya. Bukan ini saja, malah keluarga Menteri Ho telah ditangkap lebih dulu dan dijebloskan dalam penjara!
Untung bahwa satu-satunya anak keluarga Ho ini, yaitu seorang anak perempuan yang telah remaja, bernama Ho Pek Lian, telah berhasil diselamatkan oleh empat orang gurunya. Ho-taijin yang sasterawan itu ternyata mempunyai hubungan baik dengan para pendekar, bahkan puteri tunggalnya itu sejak kecil menjadi murid dari Huang-ho Su-hiap.
Maka, ketika terjadi penangkapan atas seluruh keluarga Ho, nona Ho Pek Lian berhasil melarikan diri, dan ia ditolong oleh empat orang gurunya yang membawanya lari kepada Liu-bengcu, yaitu Liu Pang yang menjadi memimpin rakyat yang amat disegani di waktu itu. Liu Pang ini juga merupakan seorang pengagum Ho-taijin. Maka dia menerima Ho Pek Lian yang selanjutnya disebut Ho-siocia dengan suka hati.
Bahkan dia mau pula menerima Ho Pek Lian menjadi muridnya. Sarang atau pusat yang dijadikan tempat para pendekar berkumpul di bawah pimpinan Liu Pang ini, yang menjadi tempat rahasia mereka, terletak di sebuah puncak yang bernama Puncak Awan Biru di Pegunungan Fu-niu-san.
Liu Pang sendiri marah sekali mendengar akan tindakan kaisar yang bukan hanya menyuruh tangkap Ho-taijin, bahkan telah menangkap semua keluarga pembesar yang bijaksana itu. Maka, selain memberi petunjuk kepada murid barunya ini dalam hal ilmu silat, juga Liu Pang lalu mengangkat Ho-siocia menjadi pimpinan dalam usaha mereka untuk membebaskan Ho-taijin dari tawanan. Usaha ini dibantu oleh Huang-ho Su-hiap, yaitu guru-guru pertama dari Pek Lian seperti telah diceritakan di bagian depan.
Dan biarpun Pek Lian menjadi murid-murid mereka, namun karena ia telah menguasai ilmu-ilmu dari mereka, maka penggabungan ilmu inilah yang membuat ia menjadi tidak kalah lihainya dibandingkan dengan seorang di antara guru-guru mereka. Apa lagi ia telah memperoleh petunjuk dari gurunya yang baru dan amat lihai, yaitu Liu Pang.
Demikianlah, seperti telah direncanakan, ketika terjadi pertempuran di dusun itu. tiba-tiba Ho Pek Lian yang disebut Ho-siocia oleh semua orang gagah pengikut Liu Pang, muncul untuk membebaskan ayahnya. Akan tetapi, alangkah kagetnya ketika ia melihat betapa tiga di antara guru-gurunya kewalahan menghadapi seorang lawan yang bertubuh pendek cebol, sedangkan seorang guru yang lain.
Sin-kauw, sedang bertanding dengan serunya melawan komandan pasukan. Maka Pek Lian cepat bergerak menolong tiga orang gurunya yang terancam bahaya maut itu dan kini ia bersama tiga orang gurunya itu mengeroyok si pendek yang kini iapun dapat menduga tentu Pek-lui-kong yang kabarnya diam-diam menyelundup ke dalam pasukan pengawal yang menangkap ayahnya.
Setelah kini Pek Lian membantu, dan mereka berempat mengeroyok, maka Pek-lui-kong menjadi sibuk juga. Terpaksa dia mengeluarkan senjatanya, yaitu sabuk rantai baja, akan tetapi dia hanya mampu mengimbangi saja empat orang pengeroyoknya.
Sementara itu, pertempuran antara Sin-kauw yang melawan Ciong-ciangkun juga amat seru dan keduanya sudah menerima hantaman dari lawan, telah menderita luka-luka yang tidak membahayakan nyawa, akan tetapi mereka masih terus bertanding dengan hebatnya. Hanya keadaan para anak buah yang mengalami pembahan.
Biarpun jumlahnya lebih banyak, namun perajurit itu tidak dapat bertahan menghadapi amukan para pendekar yang rata-rata memiliki ilmu silat yang lebih tinggi. Banyak di antara perajurit yang roboh terluka atau tewas. Melihat keadaan ini, Pek Lian cepat berseru kepada para pembantunya,
"Cepat...... bebaskan Ho-taijin !" Teriakan ini ditujukannya kepada para anak buah yang berhasil mendekati kereta. Ia sendiri bersama tiga orang gurunya tidak berani meninggalkan Pek-lui-kong. karena berkurang satu saja di antara mereka berarti keadaan mereka akan terdesak dan berbahaya. Dengan berempat, mereka mampu mengimbangi kelihaian Pek-lui-kong.
Mendengar perintah dari Ho-siocia (nona Ho) ini, seorang di antara para anak buah Puncak Awan Biru ini cepat meloncat ke atas kereta. Di bagian depan, kusir muda yang sejak tadi tidak ikut berkelahi, masih menelungkup di atas bangkunya dan menutupi muka dengan kedua tangan, tubuhnya gemetar dan nampaknya dia merasa ngeri dan ketakutan.
Melihat ini, anggauta Puncak Awan Biru itu menendang dan kusir itu mengeluarkan seruan keras, tubuhnya terguling ke bawah dan jatuh ber debuk ke atas tanah. Dia menjadi semakin ketakutan, dengan kedua tangan masih menutupi mukanya dan tidak memperdulikan rasa nyeri karena terbanting tadi, dia berteriak-teriak,
"Jangan dirusak keretaku! Kereta ini cuma disewa oleh perajurit-perajurit itu! Jangan dirusak, ini keretaku!"
Pada saat itu, beberapa orang pendekar anggauta Puncak Awan Biru telah berloncatan dan mereka hendak membuka pintu kereta yang agaknya terkunci kuat sekali. Melihat betapa pintu kereta itu ditarik-tarik dan agaknya hendak dibuka dengan paksa, si kusir itu takut kalau-kalau keretanya rusak, maka diapun lari menghampiri dan dengan marah dia menarik dari belakang beberapa orang pendekar sambil berteriak-teriak, "Jangan dirusak keretaku ini!"
Para pendekar itu tentu saja menganggap si kusir sebagai kaki tangan pasukan perajurit biarpun mengaku bahwa keretanya hanya disewa. Mereka menjadi marah dan seorang di antara mereka yang menjadi gemas itu mengayun goloknya sambil menghardiknya. "Pergi kau!"
Kusir muda itu mencoba untuk mengelak, akan tetapi karena agaknya dia memang tidak mengenal ilmu silat sama sekali, gerakannya kaku dan kurang cepat sehingga golok itu sempat menggores lengan kirinya.
"Crett.....! Aduhhh.....!" Darah mengucur dari lengan yang terobek kulitnya dan sebuah tendangan membuat kusir muda itu terlempar dan jatuh terbanting.
Dan terjadilah hal yang amat aneh, diawali dengan suara ketawa yang mendirikan bulu roma. "Ha-ha-hi-hi-hi.....!"
Suara ketawa ini nyaring sekali sehingga semua orang menengok ke arah pemuda kusir yang tertawa itu. Para pendekar yang tadinya berusaha membuka pintu kereta juga menengok. Baru sekarang mereka memandang kusir muda itu penuh perhatian dan melihat bahwa kusir itu masih muda sekali, berperawakan tinggi tegap, pinggangnya ramping dan nampaknya kuat. Juga wajahnya yang membayangkan kesederhanaan, bahkan kebodohan itu, nampak tampan dan gagah.
Akan tetapi, kini sepasang matanya yang lebar dan yang dilindungi alis hitam tebal seperti golok itu terbelalak dan beringas. Lengan kirinya berdarah, matanya beringas memandang ke kanan kiri seperti orang gila. Semua orang yang memandangnya menjadi terkejut dan juga ngeri. Kusir muda itu telah menjadi gila.
"Heh-heh, hi-hi-hi... darah.... darah...! Hemmm...!" sambil berjingkrak-jingkrak seperti menari-nari, pemuda itu lalu menjilati darah yang keluar dari luka di lengannya!
Melihat ini, semua orang menjadi semakin ngeri. Mereka mengira bahwa tentu kusir muda itu menjadi gila karena takutnya setelah lengannya terbacok luka itu. Seorang perajurit yang merasa ikut malu melihat ulah kusir kereta yang tadi dikawalnya itu, membentaknya dan memukulnya untuk mengusirnya pergi dari situ.
"Pergi.... aiiiiihhhhh....!" Bentakan itu disambung dengan jeritan yang mengerikan dan tubuh perajurit yang menghantam itu terlempar seperti didorong oleh tenaga dahsyat, lalu tubuhnya terbanting ke atas tanah dan ternyata perajurit itu telah tewas dengan kepala retak-retak! Padahal tadi dialah yang memukul pemuda yang seperti gila itu! Tentu saja semua orang menjadi kaget setengah mati. Kiranya kusir muda yang gila itu memiliki kepandaian yang luar biasa hebatnya.
Ketika kusir itu melihat perajurit terbanting tak jauh dari situ, dia berlari maju dan menubruk mayat itu, dipelukinya dan diapun menangis. Diangkatnya mayat itu, dipangkunya dan mulutnya tiada hentinya mengeluarkan ratap tangis, "Ayaahh.... ayaahhh.....!"
Dan kusir itupun menjadi semakin beringas. Setelah menurunkan kembali mayat itu ke atas tanah, diapun meloncat berdiri dan mulailah dia mengamuk! Tidak perduli siapapun yang berada di dekatnya, perajurit maupun pendekar, tentu diamuknya. Dan tidak ada seorangpun yang mampu bertahan terhadap amukannya. Setiap ayunan kaki atau tangan tentu membuat orang itu terlempar sampai jauh!
Melihat ini, semua orang menjadi gempar dan ketakutan, semua lari menyingkir setelah mencoba melawan yang hanya berakhir dengan tubuhnya terlempar jauh dan terbanting keras. Karena semua perajurit dan pendekar menjauhinya, kusir muda yang gila itu kemudian lari ke arah Sin-kauw yang masih bertanding dengan serunya melawan Ciong-ciangkun.
Mereka berdua sudah luka-luka dan sudah agak lemas, namun masih tidak mau saling mengalah. Dan begitu pemuda itu menyerbu, keduanya telah dapat ditangkap pada tengkuk masing-masing dan sekali menggerakkan kedua tangannya, kusir muda itu telah berhasil melemparkan Sin-kauw dan Ciong-ciangkun sampai lima meter jauhnya. Mereka berdua jatuh terbanting, tidak terluka parah tetapi juga nanar dan merangkak bangun dibantu oleh anak buah masing-masing. Semua orang terkejut. Bukan main hebatnya kepandaian kusir muda itu.
Dan kini kusir itu telah menerjang ke arah pertempuran antara Pek-lui-kong yang bertubuh pendek dan yang dikeroyok oleh empat orang lihai itu. Dan rusaklah perkelahian itu setelah kusir muda ini masuk. Dia memukul dan menendang, tanpa berpihak, bahkan diserangnya mereka kelimanya dengan gerakan kacau dan kaku, secara membabi-buta saja.
Hek-coa, Pek-bin-houw dan Kim-suipoa terdorong mundur sebelum menangkis, terdorong oleh angin pukulan yang keluar dari kedua tangan kusir muda itu. Mereka terkejut sekali, dan Pek Lian juga cepat menyerang dengan pedangnya. Akan tetapi, kusir muda itu menangkis dengan mengipaskan tangannya dan akibatnya, tubuh nona itu terlempar sampai dua tiga meter jauhnya!
"Hyaaahhh.....!" Pek-lui-kong mengeluarkan bentakan nyaring sambil menyambut pukulan kusir muda itu dengan dorongan kedua telapak tangannya.
"Dess......!" Dua tenaga aneh yang dahsyat berjumpa dan akibatnya, si pendek itu tergetar hebat dan terhuyung ke belakang, sedangkan kusir itupun terpelanting jatuh. Akan tetapi dia sudah cepat bangkit kembali dan menangis melolong-lolong seperti anak kecil!
Si pendek terkejut setengah mati karena dia mendapat kenyataan bahwa tenaga kusir ini ternyata tidak kalah kuatnya dibandingkan dengan tenaga sinkang yang dikeluarkannya tadi. Dia menjadi gentar, karena dia tidak tahu di pihak siapakah kusir itu berdiri. Tadinya kusir itu jelas membunuh seorang perajurit, akan tetapi diapun melihat kusir gila itu menyerang kalang-kabut tanpa memilih orang.
Selagi semua orang dari kedua pihak gentar memandang kepada pemuda yang menangis melolong-lolong itu, tiba-tiba jendela kereta terbuka dari dalam dan nampaklah kepala seorang pria tua tersembul dari dalam. Pria itu bukan lain adalah Menteri Ho sendiri. Dengan suara penuh wibawa pembesar yang menjadi tawanan ini berkata, suaranya tegas dan tak mungkin dapat dibantah lagi oleh mereka yang menghormati dan mengaguminya.
"Pek Lian.... anakku, dan para sahabatku semua. Kalian pulanglah. Aku tidak menghendaki kalian memberontak kepada pemerintah. Semenjak turun-temurun, nenek moyang keluarga Ho adalah orang orang yang setia mengabdi kepada nusa dan bangsa, setia kepada pemerintah yang berkuasa dan tidak pernah ada yang menjadi pemberontak. Aku tidak ingin menodai nama keluarga Ho dengan pemberontakan. Nah, pulanglah. Bagaimanapun juga, aku tidak mau melarikan diri dari tahanan pemerintah."
"Ayahhhh....!"
"Anakku, pergilah! Semoga Thian selalu memberkahimu, selamat berpisah!" Daun jendela kereta itu tertutup kembali.
Ho Pek Lian menangis, akan tetapi Kim-sui-poa, gurunya, menuntunnya dan mengajaknya pergi dari situ. Pertempuranpun berhenti ketika kedua fihak menyerukan agar anak buah masing-masing itu mundur. Ciong-ciangkun yang maklum bahwa pasukannya akan menderita kekalahan kalau pertempuran dilanjutkan merasa lega bahwa Ho-taijin sendiri yang menghentikan pertempuran dan para penyerbu itu mundur dan meninggalkan tempat itu.
Dia lalu mengumpulkan sisa pasukannya, meninggalkan yang tewas dan luka, lalu tergesa-gesa melanjutkan perjalanan dengan pengawalan sisa pasukan itu yang kini tinggal separuhnya saja. Kusir muda yang gila tadipun telah pergi sambil menangis dan kadang-kadang tertawa, agaknya dalam kegilaannya itu dia sudah lupa akan kereta dan kudanya, ditinggalkannya begitu saja dan entah kemana dia pergi tak ada seorang yang mengetahuinya.
Sikap seperti yang diperlihatkan oleh Menteri Ho itu sudah sering kali diperlihatkan oleh orang-orang yang disebut sebagai "orang besar" di sepanjang sejarah. Memang amat mengherankan sekali. Kalau direnungkan secara mendalam, apakah gunanya sikap seperti itu? Dia tahu bahwa dirinya difitnah, bahwa kaisar telah bersikap lalim dan tidak benar, bahwa dia telah menjadi korban kelaliman kaisar.
Akan tetapi, mengapa dia tidak mau menyelamatkan diri, dengan dalih tidak mau memberontak terhadap pemerintah? Bukankah hal ini didasari oleh kebanggaan diri dan ketinggian hati yang konyol belaka?
Nama baik! Kehormatan! Semua ini hanya sebutan, sebutan yang diperhalus saja untuk menutupi rasa bangga diri dan ketinggian hati itu. Kita melihat betapa diri kita ini kosong melompong tidak ada artinya, bahwa diri kita ini dangkal sekali, menjadi hamba dari pada nafsu belaka dan bahwa hidup ini hanya fana, bahwa tubuh kita ini akhirnya akan hilang ditelan usia dan kematian, bahwa semua pada diri kita ini akhirnya akan lenyap.
Karena itulah, di antara harapan-harapan dan sebutan-sebutan lain, maka nama kita anggap takkan lenyap. Karena itu, nama harus dijaga sebaiknya, agar hidup selama-lamanya biarpun badan ini telah tiada ! Dan demi nama dan kehormatan ini, kita mau saja melakukan segala-galanya, bahkan berkorban nyawa sekalipun, bahkan mati konyol sekalipun seperti yang diperlihatkan oleh sikap Menteri Ho itu!
Apakah gunanya nama besar? Berguna bagi anak cucu? Belum tentu! Yang jelas, apapun gunanya bagi si empunya nama, tidak ada artinya lagi karena si empunya nama telah mati. Akan tetapi, kita mengejar-ngejar nama baik ini, kehormatan ini. Bukan untuk sesudah mati, melainkan untuk sekarang, agar kita dapat berbangga hati dan agar kita merasa tenteram mengingat bahwa kalau kita mati nama kita akan terus dipuji-puji orang, dikagumi orang!
Kalau nama baik dan kehormatan sudah menjadi tujuan, maka semua jalan untuk mencapainya merupakan kepalsuan. Tujuan menghalalkan segala cara. Perbuatan apapun, cara apapun yang kita lakukan, kalau sudah ditujukan untuk sesuatu demi keuntungan diri sendiri lahir maupun batin, maka perbuatan itu, cara itu, tidaklah wajar dan palsu, merupakan pura-pura belaka.
Namun, seperti tercatat dalam sejarah bahkan sampai kinipun masih dilakukan orang, kita tergila-gila akan hal-hal yang kita anggap menyenangkan, seperti harta kekayaan, kemuliaan, kehormatan, nama besar, dengan ukuran dalam pikiran kita bahwa semua itulah sarana untuk mencapai kebahagiaan. Harapan kosong belaka!
Rombongan Ho Pek Lian dan empat orang gurunya yang gagal membebaskan Menteri Ho karena dilarang oleh menteri itu sendiri, pulang ke pegunungan dengan lesu. Mereka telah kehilangan beberapa orang kawan yang tewas dan yang mayatnya mereka bawa dan mereka kuburkan di tengah perjalanan, dan beberapa orang pula luka-luka dan kini ikut melakukan perjalanan pulang.
Di antara empat orang pendekar itu, Sin-kauw mengalami luka-luka pula dalam pertandingannya melawan komandan pasukan, bahkan yang lainpun tidak keluar dari pertandingan itu dengan utuh. Bekas hantaman Pek-lui-kong dan kemudian tangkisan-tangkisan pemuda gila yang menjadi kusir, itu masih terasa oleh Pek Lian dan guru-gurunya. Namun, semua pengorbanan itu ternyata sia-sia belaka! Menteri Ho sendiri, pada saat mereka hampir berhasil membebaskannya, menolak dibebaskan dan menyuruh mereka pergi.
"Ayaahhh...." hati kecil Pek Lian menjerit dan air matapun berlinang di kedua matanya. Keempat orang gurunya menghibur.
"Kami dapat mengerti akan sikap ayahmu, nona," kata Kim-suipoa. Keempat orang pendekar ini selalu menyebut nona kepada murid mereka ini, mengingat bahwa Pek Lian adalah puteri tunggal Menteri Ho yang mereka hormati. "Bagi seorang pejabat seperti ayah nona itu, keluarga sendiri dan nyawa sendiri tidak dipentingkan lagi, yang terpenting adalah mengabdi kepada pemerintah dengan penuh kesetiaan."
"Tapi, suhu!" Pek Lian membantah dengan hati penuh penasaran. "Teecu sendiri juga bukan seorang yang suka berkhianat, bukan pula seorang yang berjiwa pemberontak dan tidak setia kepada negara dan bangsa. Kita yang menamakan diri pendekar dan patriot, memang mencinta negara dan bangsa dan rela mati demi membela nusa dan bangsa. Akan tetapi, kalau negara dipimpin oleh seorang kaisar yang lalim dan jahat, kalau bangsa ditindas demi kepuasan nafsu kaisar lalim, apakah kita juga harus bersetia kepada kaisar seperti itu?
"Bukankah kalau kita setia kepada kaisar lalim, berarti kitapun membantu kaisar untuk menindas bangsa sendiri, untuk membawa negara ke ambang kehancuran? Lihat, betapa banyaknya rakyat terbunuh, ratusan ribu, jutaan, untuk membangun Tembok Besar. Dan pembakaran kitab-kitab itu! Apakah semua itu harus dibiarkan saja?"
"Tentu saja tidak, nona !" kata Pek-bin-houw. "Dan buktinya, Ho-taijin yang mulia sudah bertindak, memprotes kaisar!"
"Dan akibatnya, dia sendiri ditangkap !" nona itu berseru marah. "Dan semua keluarga ayah, bibi, paman, keponakan-keponakan, bahkan pelayan-pelayan, semua ditangkapi dan dijebloskan tahanan!"
"Itulah yang dinamakan membela kebenaran, nona. Ayahmu bukan setia kepada kaisar, melainkan kepada nusa dan bangsa, kepada kebenaran. Demi kebenaran, ayahmu berani menentang kaisar dan berani menghadapi hukuman. Kami mengerti, dengan perbuatannya itu, ayahmu ingin menyadarkan kaisar akan kelalimannya!"
"Benarkah kaisar akan sadar? Aku tidak percaya akan hal ini. Kaisar telah lalim, dan untuk itu, siapa lagi kalau bukan kita kaum pendekar yang bergerak untuk membebaskan rakyat dari kelalimannya? Ini bukan pemberontakan terhadap negara dan bangsa, melainkan pemberontakan terhadap penguasa lalim yang akan menyeret negara dan bangsa ke lembah kehancuran!"
Empat orang gurunya mengangguk-angguk dan diam-diam mereka merasa bangga akan semangat murid mereka itu. "Ucapanmu benar, nona. Pengorbanan ayahmu tidak akan sia-sia, mata para pendekar akan lebih terbuka dan akan makin banyaklah orang gagah yang menentang kaisar yang lalim. Akan tetapi, urusan ini bukan urusan kecil, oleh karena itu kita semua harus menyerahkan segala urusan ini di bawah pimpinan Liu-toako (kakak Liu)."
Mereka melanjutkan perjalanan dan kini empat orang pendekar itu bercakap-cakap tentang kelihaian orang-orang yang mereka temui dalam pertempuran siang tadi. Pek Lian mendengarkan percakapan mereka dengan hati tertarik, karena di dalam hatinya iapun merasa kagum akan kepandaian Pek-lui-kong dan terheran-heran akan perobahan pada diri kusir muda yang tiba-tiba saja menjadi gila dan setelah gila ternyata memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat sehingga si pendek Pek-lui-kong sendiri sampai tidak mampu menandinginya!
"Kepandaian Pek-lui-kong yang lihai itu tidak perlu diherankan lagi," antara lain Kim-suipoa yang lebih berpengalaman sebagai pedagang yang suka merantau dari pada saudara-saudaranya berkata, "dia adalah murid dari Soa-hu-pai tingkat tinggi, tentu saja ilmunya hebat bukan main dan masih baiklah kalau kita berempat tadi masih mampu menandinginya dan tidak sampai tewas di tangannya."
"Suhu, teecu rasakan tadi pukulannya mengandung hawa yang berputaran seperti angin puyuh, dan juga terasa dingin bukan main. Pukulan apakah itu?" Pek Lian sejenak melupakan kedukaannya karena ditangkapnya ayahnya dan mengajukan pertanyaan itu.
"Itulah pukulan yang disebut Pukulan Pusaran Pasir Maut!" jawab Kim-suipoa sambil bergidik. "Pukulan itu merupakan inti dari ilmu Perkumpulan Danau Pasir itu. Aku hanya mengetahui sedikit saja, nona, akan tetapi perlu juga kaudengarkan agar kelak dapat berhati-hati kalau bertemu dengan tokoh dari Soa-hu-pai itu. Danau itu sebetulnya kini lebih tepat disebut rawa berpasir yang terletak di sebuah puncak, merupakan kawah yang sudah mati, dan mirip sebuah danau, akan tetapi bukan air yang berada di danau itu, melainkan pasir. Pasir ini amat panas, kadang-kadang mengepulkan asap yang panas dan berbau keras. Dan dalamnya pasir ini tak pernah ada yang dapat mengukurnya, mungkin saja tak dapat diukur selamanya. Selain amat dalam dan juga amat panas, pasir ini mempunyai sifat yang mengerikan, yaitu dapat bergerak menyedot segala sesuatu yang terjatuh di situ. Biar binatang yang kuat seperti harimau sekalipun, sekali terjatuh ke dalam pasir, jangan harap akan dapat keluar lagi karena tersedot terus sampai lenyap tanpa meninggalkan bekas.
"Ih, mengerikan.....!" kata Pek Lian, membayangkan betapa mengerikan kalau sampai ia terjatuh ke dalam kubangan pasir itu.
"Dan hasil ilmu dari tempat itupun mengerikan, kata lagi Kim-suipoa. "Tokoh yang menemukan ilmu itu kemudian mendirikan partai Soa-hu-pai berjuluk Kim-mou Sai-ong, seorang pendeta berambut keemasan yang amat terkenal abad lalu, Dan ilmu itu bertingkat-tingkat. Kabarnya hanya Kim-mou Sai-ong seoranglah yang dapat mencapai tingkat ke tigabelas.
Ilmu itu luar biasa sukarnya dan mempelajarinya harus dengan taruhan nyawa, maka jaranglah ada murid yang mencapai tingkat tinggi. Kabarnya, guru dari Pek-lui-kong itu sendiripun hanya mencapai tingkat ke sepuluh! Akan tetapi, melihat ilmu si pendek itu, sungguh aku heran sekali entah tingkat berapa sekarang telah dicapainya."
"Bagaimana sih mempelajarinya, suhu?" tanya Pek Lian, tertarik.
"Akupun hanya mendengar beritanya saja, nona. Karena danau pasir itu luas sekali dan Kim-mou Sai-ong kebetulan bertapa di tempat itu, pertapa yang sakti ini lalu mencari daya upaya untuk dapat menanggulangi bahaya dari danau pasir ini. Dia lalu menciptakan ilmu yang didasarkan untuk mengatasi kehebatan pasir itu. Dengan latihan sinkang di atas pasir itu, Kim-mou Sai-ong berhasil menemukan tenaga sinkang yang kekuatannya menolak daya sedot pasir itu.
"Dapat dibayangkan betapa hebatnya tenaga sinkang itu kalau sudah mampu menolak daya sedot seperti itu. Selain ini, juga untuk melawan panasnya pasir ketika berlatih di atas pasir, diapun berhasil membuat hawa sinkangnya menjadi dingin untuk menahan panas. Oleh karena itu, setelah ilmunya yang dinamakan Ilmu Pukulan Pusaran Pasir Maut itu sempurna, ilmu itu mengandung hawa yang memutar dan mendorong untuk melawan sedotan itu, dan juga mengandung hawa dingin yang dapat mematikan lawan."
Perjalanan mereka kini tiba di tepi Sungai Yang-ce-kiang yang amat lebar. Di situ sudah menanti beberapa orang teman mereka yang sudah mempersiapkan perahu-perahu untuk mereka. Maka perjalanan dilanjutkan dengan naik beberapa buah perahu. Akan tetapi Pek Lian tidak mau naik perahu.
"Harap suhu sekalian dan saudara-saudara semua melanjutkan perjalanan dengan perahu," katanya kepada empat orang suhunya. "Teecu lebih senang mengambil jalan darat naik kuda, karena teecu ingin menghibur hati dengan melihat pemandangan alam yang indah."
"Ah, jalan darat lebih berbahaya dari pada jalan air, nona," kata Sin-kauw yang masih lemah oleh luka-lukanya.
"Teecu tidak takut, suhu."
"Kalau begitu, biarlah aku menemani nona Ho mengambil jalan darat," kata Hek-coa.
"Tidak, Ular Hitam, engkau lebih ditakuti para bajak, maka sebaiknya kalau engkau menemani Si Monyet Sakti yang terluka itu mengambil jalan air. Biarlah aku dan Harimau Muka Putih yang menemani murid kita mengambil jalan darat," kata Kim-suipoa yang merupakan orang tertua dan juga menjadi pemimpin setelah Ho Pek Lian yang mereka anggap sebagai pemimpin mereka seperti yang telah ditentukan oleh Liu-toako.
Si Ular Hitam tidak membantah, lalu dia bersama teman-temannya menggunakan perahu-perahu itu, mendayung perahu ke tengah dan sebentar saja perahu-perahu itu telah menghilang di suatu tikungan. Kim-suipoa dan Pek-bin-houw lalu mengajak murid mereka melanjutkan perjalanan.
"Matahari telah mulai condong ke barat, sebaiknya kalau kita mempercepat perjalanan agar dapat melewati hutan di depan, nona. Hutan ini tidak kita kenal, dan kalau sudah melewati hutan barulah kita sampai di sebuah dusun nelayan di mana kita boleh beristirahat."
"Baiklah, suhu."
Mereka lalu melanjutkan perjalanan memasuki hutan. Akan tetapi, jalan setapak yang dilalui oleh kuda mereka itu makin lama makin menjauhi sungai dan akhirnya sungai tidak nampak sama sekali karena jalan itu terhalang oleh tebing-tebing dan batu-batu besar di tepi sungai. Akhirnya mereka sama sekali terputus dari sungai dan berada di tengah-tengah hutan yang amat liar dan gelap.
Sementara itu, cuaca menjadi semakin gelap. Mereka melanjutkan perjalanan, akan tetapi kegelapan malam membuat mereka tersesat jauh ke dalam hutan, makin menjauhi jalan setapak dan akhirnya mereka terpaksa menghentikan kuda karena mereka tidak tahu lagi mana jalan yang benar.
Tiga orang itu adalah pendekar-pendekar yang memiliki kepandaian tinggi, tentu saja mereka tidak takut berada di dalam hutan itu. Mereka tidak takut terhadap binatang buas, juga tidak takut akan orang jahat. Betapapun juga, mereka merasa tidak enak kalau harus melewatkan malam di dalam hutan lebat yang tanahnya lembab dan hawanya dingin itu.
Pek-bin-houw lalu memanjat pohon besar sampai ke puncaknya dan dari situ dia mencari-cari dengan pandang matanya. Akhirnya, di sebelah kirinya, di tempat yang agak meninggi, dia melihat sinar api kecil yang tak lama kemudian lalu padam. Cepat dia turun kembali dan berkata, "Di sebelah sana kulihat ada sinar api. Mungkin ada rumah orang."
Kim-suipoa menjadi girang. "Bagus, sebaiknya kalau kita tuntun saja kuda kita, lebih mudah mencari jalan kalau begitu."
Demikianlah, di bawah penerangan bulan yang baru saja muncul, dan dengan hati-hati sekali, mereka lalu berjalan sambil menuntun kuda. Pek-bin-houw di depan karena dialah yang melihat api tadi dan dia yang selalu mengingat-ingat di mana letak api yang dilihatnya tadi. Pek Lian di tengah sedangkan Kim-suipoa di belakang. Mereka sudah berjalan selama dua jam.
Namun belum juga melihat ada rumah orang. Yang ada hanyalah pohon-pohon raksasa dan tanah yang penuh dengan alang-alang, rumput dan tumbuh-tumbuhan liar. Akan tetapi, jalan mulai mendaki dan Pek-bin-houw berseru, "Agaknya kita tidak salah jalan. Api itu memang berada di tempat yang agak tinggi."
Dan makin menanjak jaian itu, makin berkuranglah pohon-pohon besar, terganti padang rumput sehingga tiga orang itu menjadi lapang pula. Akan tetapi mereka masih belum tahu jalan mana yang menuju ke arah jalan setapak yang akan membawa mereka kembali ke tepi sungai.
Dan selagi mereka mencari-cari, tiba-tiba Pek Lian yang masih remaja dan penglihatannya lebih tajam dibandingkan dengan dua orang gurunya, berseru lirih, "Nah, di sana itu ada rumah!"
Dua orang gurunya cepat menengok dan mengerutkan alis untuk dapat memandang lebih jelas dan merekapun dapat melihat bayangan remang-remang di bawah sinar bulan. Merekapun merasa gembira dan cepat tiga orang ini menuntun kuda mereka menuju ke arah bayangan rumah itu yang ternyata masih cukup jauh. Setelah tiba di pekarangan rumah, mereka menambatkan kuda mereka pada pohon di depan rumah, kemudian merekapun menuju ke pintu depan.
Rumah itu besar sekali, besar dan menakutkan karena gelap dan rumah itu kuno. Suasana menyeramkan meliputi rumah besar yang gelap itu. Tidak nampak penerangan sedikitpun sehingga Pek-bin-houw menyatakan bahwa mungkin bukan ini rumah yang dilihatnya dari atas pohon dalam hutan, karena dari atas tadi ia melihat sinar penerangan walaupun hanya sebentar.
"Rumah siapapun juga, ada penghuninya atau tidak, cukup lumayan untuk kita mengaso malam ini, dari pada di hutan yang lembab dan dingin," kata Kim-suipoa dan mereka lalu mengetuk pintu.
Pek Lian memandang ke kanan kiri. Rumah itu terpencil, tidak terdapat rumah lain di sekeliling tempat itu. Padang rumput yang luas dengan beberapa batang pohon di sana-sini. Ketukan pintu mereka tak terjawab dan Pek-bin-houw mendorong daun pintu. Terdengar bunyi berkriyet ketika daun pintu itu terbuka dengan mudahnya. Kiranya memang tidak terkunci. Mereka lalu memasuki daun pintu itu.
Mereka tidak banyak cakap karena biarpun tempat itu sedemikian sunyinya namun mereka bertiga merasa seolah-olah ada banyak orang mengintai mereka dari empat penjuru. Maka ketiganya memasuki rumah itu dengan sikap yang waspada, siap sedia menghadapi segala kemungkinan. Di tempat yang angker seperti ini, tidak akan mengherankan mereka kalau tiba-tiba ada bahaya mengancam.
Biarpun rumah itu nampak kosong dan tidak berpenerangan, namun ketika mereka masuk, mereka melihat kebersihan dalam rumah, dan perabot-perabot rumah sederhana. Hal ini menunjukkan bahwa rumah itu sebenarnya bukan kosong, tentu ada penghuninya atau setidaknya baru saja ditinggalkan para penghuninya. Mereka berjalan terus dengan hati-hati, memasuki lorong dalam rumah. Di katian kiri lorong itu terdapat kamar-kamar.
Kim-suipoa menunjuk ke kamar di sudut sebelah belakang akan tetapi tiba-tiba dari dalam kamar yang berada di sudut paling kiri terdengar suara wanita, suaranya halus agak parau, pantasnya suara seorang wanita tua.
"Hong-ji, kulihat hanya tiga orang tamu kita malam ini, benarkah?"
"Benar, ibu. Mungkin masih ada yang lain di luar, tapi koko belum bergerak!" jawaban yang terdengar dari gubuk di dekat kolam ikan di taman itu amatlah merdunya, jauh berbeda dan bahkan menjadi kebalikan dari suara wanita pertama.
Mendengar dua suara yang tiba-tiba ini, tentu saja Pek Lian dan dua orang gurunya menjadi terkejut dan mereka bertiga sudah menghentikan langkah dan memandang ke arah suara itu dengan penuh perhatian. Suara pertama datang dari dalam sebuah kamar, dan ketika mereka mencari ke arah suara merdu yang datang dari gubuk di tengah taman itu, nampaklah oleh mereka bayangan seorang wanita yang tinggi ramping sedang berdiri dan bersandar pada tiang gubuk tadi.
Melihat ini, dan mendengar percakapan tadi, ketiganya merasa tak enak dan malu sekali karena mereka maklum bahwa dua orang yang bersuara itu tentulah fihak nyonya rumah. Maka, cepat Kim-suipoa mengajak Pek-bin-houw dan Pek Lian untuk pergi menghampiri wanita yang berada di gubuk itu dan setelah dekat, di bawah sinar bulan mereka dapat melihat bahwa orang ini adalah seorang gadis yang tubuhnya ramping sekali dan garis-garis wajahnya membayangkan kecantikan.
Sebagai wakil rombongannya, Kim-suipoa lalu menjura, diikuti oleh Pek-bin-houw dan Pek Lian, lalu pendekar ini berkata dengan suara penuh hormat, "Kami mohon maaf sebesarnya kepada kouw-nio (nona) atas kelancangan kami bertiga memasuki rumah ini tanpa ijin. Kami adalah tiga orang yang sesat jalan ingin berteduh melewatkan malam dan karena kami mengira bahwa rumah ini kosong maka kami berani memasukinya."
Wanita yang memiliki suara merdu itu berkata, suaranya masih merdu dan enak didengar walaupun mengandung kemarahan, "Hemm, banyak sekali srigala yang berkedok domba selama tiga hari orang-orang jahat berkeliaran di sini, membuat kami banyak pusing. Siapakah yang dapat percaya omongan kalian?"
Mendengar jawaban ini Ho Pek Lian mengerutkan alisnya. Ia sendiri adalah seorang wanita yang halus wataknya, berpendidikan sebagai puteri seorang menteri kebudayaan walaupun sejak kecil ia mempelajari ilmu silat tinggi. Maka, melihat betapa tadi gurunya bersikap hormat dan kini wanita itu sebaliknya bersikap kasar, iapun merasa tidak senang. "Hemm, jangan sembarangan menuduh orang!"
Akan tetapi sebelum Pek Lian dapat melanjutkan kemarahannya, tiba-tiba terdengar suara nyaring sekali, didahului siulan panjang yang terdengar dari jauh. Suara nyaring itu terdengar dari atas genteng, "Hong-moi, awas mereka datang lagi!"
Mendengar suara ini, gadis yang bersuara merdu itu keluar dari gubuk dan diam-diam Pek Lian memandang dengan kagum bukan main. Gadis yang bersuara merdu itu ternyata memiliki kecantikan yang sama indahnya dengan suaranya. Amat cantik jelita dan manis, dan hal ini mudah dilihat biarpun hanya dengan penerangan sinar bulan saja.
Sementara itu, dengan tiba-tiba, seolah-olah muncul dari tiada, di situ telah berdiri seorang wanita tua berusia lebih dari limapuluh tahun, dan ternyata ialah pemilik suara parau tadi karena dengan sikap sembarangan wanita ini berkata kepada mereka bertiga, "Kalau sam-wi (kalian bertiga) memang tidak berniat jahat, lekaslah pergi dari sini agar selamat!" Setelah berkata demikian, wanita itu bersama puterinya lalu pergi ke dalam rumah.
Kim-suipoa dan Pek-bin-houw yang sudah banyak pengalamannya di dunia kang-ouw, maklum bahwa mereka memasuki rumah keluarga yang agaknya sedang menanti datangnya musuh-musuh mereka, maka karena dia tidak ingin terlibat dengan urusan orang lain, Kim-suipoa lalu mengajak Pek-bin-houw dan Pek Lian untuk cepat keluar dari tempat itu. "Mari kita cepat pergi, tidak ada gunanya kita berdiam lebih lama di sini."
Mereka bertiga lalu bergegas keluar, akan tetapi ketika mereka tiba di pintu depan, mereka berhenti. Dari jauh mereka melihat datangnya tiga orang laki-laki yang rambutnya riap-riapan, tiga orang ini semua memakai jubah seperti jubah pendeta, dua di antara mereka berjubah hijau sedangkan orang ke tiga berjubah biru. Di bagian dada dari jubah mereka itu terdapat lukisan seekor naga.
Ketika tiga orang itu, yang berjubah biru di tengah sedangkan yang berjubah hijau berada di kanan kirinya, tiba di depan pintu pekarangan, tiba-tiba nampak ada dua bayangan orang berkelebat melayang turun dari atas genteng dan ternyata mereka itu adalah seorang kakek berusia hampir enampuluh tahun, berjenggot panjang, dan seorang pemuda tampan gagah bertubuh jangkung tegap.
Begitu kedua pasang kaki itu menyentuh tanah, keduanya berdiri dengan tegak, di sebelah depan Kim-suipoa dan dua orang temannya, menghadapi tiga orang berambut riap-riapan itu.
Orang yang berjubah biru itu cepat menjura ke arah kakek berjenggot panjang, diikuti oleh dua orang berjubah hijau dan terdengarlah suaranya yang bernada kasar, "Selamat berjumpa, supek, kami bertiga datang menghadap!"
Kim-suipoa, Pek-bin-houw dan Pek Lian merasa serba salah. Mereka tidak sengaja memasuki rumah orang, dan tidak sengaja pula mereka menjadi saksi pertemuan dua fihak yang agaknya diliputi ketegangan. Oleh karena itu, atas isyarat Kim-suipoa, mereka bertiga lalu melangkah maju, lalu ketiganya menjura sebagai penghormatan ke arah kakek berjenggot dan pemuda tampan karena mereka menduga bahwa tentu keduanya itu yang menjadi tuan rumah.
Kakek berjenggot itu hanya mengangguk sebagai balasan, akan tetapi pandang matanya masih terus ditujukan ke arah tiga orang laki-laki berambut riap-riapan itu. Melihat ini, Kim-suipoa dan dua orang temannya lalu melanjutkan langkah mereka, bermaksud untuk pergi mengambil kuda mereka dan mening-galkan tempat itu.
Akan tetapi ketika mereka hendak melewati tiga orang berambut riap-riapan itu, si baju biru membentak, suaranya kasar dan keras sekali, "Berhenti...... !!"
Sebelum Kim-suipoa dan teman-temannya menjawab, si baju biru itu lalu menghadapi kakek jenggot panjang dan berkata, "Supek, seorangpun tidak boleh meninggalkan halaman ini sebelum tuntutan kami yang kemarin itu supek penuhi dan berikan kepada kami!"
Kakek itu tidak menjawab, akan tetapi pemuda jangkung di sebelahnya yang menjawab, suaranya dingin, "Mereka adalah orang luar, tidak ada sangkut-pautnya dengan kita!"
"Biar orang luar, biar setan, sebelum tuntutan kami dipenuhi, tidak boleh keluar dari tempat ini dalam keadaan bernyawa!" bentak si jubah biru dengan nada suara, keras dan tegas.
Mendengar ucapan ini, Ho Pek Lian sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Dara ini telah mencabut pedangnya. Terdengar suara berdesing dan nampak sinar berkilau ketika sinar bulan menimpa pedang yang tajam itu. "Aku hendak keluar dari sini, ingin kulihat siapa yang akan berani melarangku!" katanya sambil melangkah maju.
Si jubah biru mundur dan berkata kepada dua orang berjubah hijau, "Bekuk bocah ini!"
Dua orang berjubah hijau itu bergerak maju. "Baik, suhu!" kata mereka dan keduanya lalu menggerakkan kedua tangan, jari-jarinya ditekuk dan dibuka seperti kuku harimau dan terdengarlah suara berkerotokan dari buku-buku jarinya.
"Nona, biarlah kami berdua menghadapi mereka," Kim-suipoa berkata dan bersama Pek bin-houw diapun melangkah ke depan.
Melihat dua orang suhunya sudah maju, Pek Lian lalu mundur kembali dan menyimpan pedangnya, namun pandang matanya berapi-api ditujukan kepada si jubah biru, hatinya panas dan marah sekali. Siapapun adanya mereka, ia tidak takut untuk menghadapinya.
"Kalian hendak melarang kami pergi dari sini. Nah, perlihatkanlah kepandaian kalian!" kata Kim-suipoa sambil tersenyum mengejek. Akan tetapi diam-diam dia dan Pek-bin-houw merasa heran sekali dengan munculnya orang-orang berambut riap-riapan yang berjubah dan jubahnya bergambar naga ini.
Selama mereka malang-melintang di dunia kang-ouw dan terutama di daerah lembah Huang-ho dan Yang-ce, mereka berempat telah dikenal oleh semua penjahat, akan tetapi mereka belum pernah bertemu dengan golongan seperti yang mereka hadapi sekarang ini.
Dua orang berjubah hijau itu mengeluarkan suara gerengan keras, lalu mereka menubruk seperti gerakan seekor harimau atau seperti cakar naga. Gerakan mereka cepat dan juga kuat sekali karena dari gerakan ini menyambar angin yang berhawa panas. Namun. Kim-suipoa dan Pek-bin-houw bukanlah orang-orang lemah dan dengan cekatan mereka sudah mengelak dan balas menyerang dengan sama dahsyatnya.
Pek-bin-houw adalah seorang pendekar yang memiliki lweekang yang amat kuat, maka begitu bergebrak selama belasan jurus, lawannya yang berkumis tebal itu beberapa kali menggereng-gereng marah karena pertemuan antara lengan mereka membuatnya kenyerian. Sedangkan Kim-suipoa adalah seorang pendekar yang memiliki banyak macam ilmu silat dan juga memiliki gerakan yang aneh dan cepat sehingga biarpun lawannya juga amat tangguh, namun dia dapat menandingi bahkan mengatasinya.
Dua orang berjubah hijau itu memang hebat sekali gerakannya dan tingkat merekapun seimbang dengan dua orang pendekar ini, namun mereka itu mulai terdesak dan melihat hal ini, si jubah biru menjadi marah bukan main. Tak disangkanya bahwa dua orang muridnya yang amat diandalkannya itu, yang kepandaiannya sudah tinggi dan tidak banyak selisihnya dengan kepandaiannya sendiri, tidak mampu mengalahkan dua orang pria yang menjadi tamu tuan rumah. Dia bersiul panjang dan nyaring sekali.
Dari jauh terdengarlah siulan sebagai jawabannya, dan diapun menggereng lalu menerjang ke depan untuk membantu dua orang muridnya. "Singggg...!" Gulungan sinar terang berkelebat dan si jubah biru terpaksa melompat ke samping. Pedang di tangan Pek Lian menyambar ganas dan memaksa si jubah biru untuk menghadapi dan melawan ia, tidak dapat mengeroyok kedua orang suhunya.
Si jubah biru menjadi semakin marah dan dengan gerengan dahsyat diapun balas menyerang, gerakannya seperti seekor naga marah, kedua tangannya membentuk cakar, kedua lengannya bengkok seperti dua ekor ular yang berdiri dan siap menyerang, dan kedua tangan ini melakukan serangan dengan cara mencengkeram dan menotok, kadang-kadang juga membuat gerakan hendak menangkap. Gerakannya aneh, gesit dan terutama sekali mengandung hawa panas yang membuat Pek Lian menjadi agak kewalahan.
Biarpun pedangnya telah digerakkan dengan cepat, namun selalu pedangnya bertemu dengan hawa pukulan kuat yang membuat gerakannya menyimpang. Tentu saja Pek Lian merasa terkejut dan terheran-heran sekali. Dalam waktu singkat saja dari sejak percobaan membebaskan ayahnya sampai sekarang, ia telah berjumpa dengan banyak sekali orang pandai. Mula-mula Pek-lui-kong si pendek yang lihai itu, lalu si kusir gila.
Dan sekarang orang-orang yang berambut riap-riapan ini ternyata lihai-lihai bukan main. Ia pun menduga bahwa tentu fihak tuan rumah ini merupakan keluarga yang berilmu tinggi, apa lagi mendengar bahwa si jubah biru yang amat lihai ini menyebut kakek berjenggot panjang itu sebagai supek (uwa guru)!
Selagi ramai-ramainya mereka berkelahi, terdengar siulan nyaring dan nampak berkelebat dua bayangan orang yang begitu tiba di situ terus menggerakkan tangan ke arah Pek Lian dan dua gurunya. Angin pukulan yang dahsyat dan panas sekali membuat dara dan dua orang garunya ini terkejut dan cepat meloncat jauh ke belakang.
Kiranya yang datang adalah dua orang yang rambutnya riap-riapan juga, yang seorang berjubah biru dan seorang lagi berjubah coklat. Si jubah coklat ini usianya sudah enampuluh tahunan, rambutnya yang riap-riapan itu sudah setengahnya putih, matanya berkilauan dan tajam sekali, wajahnya membayangkan kekerasan hati.
Dengan matanya yang tajam dia memandang kepada Pek Lian dan dua orang gurunya, lalu berkata dengan suara mengandung ejekan, "Huh, kiranya Bu-suheng telah menjadi penakut dan mengandaikan bantuan orang luar, he-he....!"
"Bhong-sute, jangan menuduh sembarangan. Ketiga orang ini adalah tamu-tamu yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan urusan kita. Akan tetapi murid-muridmu yang tak tahu diri dan menyerang mereka...."