Darah Pendekar Jilid 02

Cerita silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Darah Pendekar Jilid 02
Sonny Ogawa

Darah Pendekar Jilid 02 karya Kho Ping Hoo - "SUDAHLAH," kata si baju coklat, "Katakanlah murid-muridku salah, akan tetapi mereka inipun tidak penting. Sekarang aku ingin minta dengan cara persaudaraan yang baik kepadamu, Bu-suheng. Guruku ingin melihat pusaka yang diberikan oleh mendiang kakek guru kepada mendiang supek, ayah suheng. Kata guruku, pusaka itu hanya hendak dipinjam sebentar, setelah dipelajari akan dikembalikan kepadamu."

Novel silat Darah Pendekar karya Kho Ping Hoo

Kakek berjenggot panjang itu menghadapi tamunya yang bersikap kasar dengan tenang. Kemudian terdengar dia berkata, suaranya tenang dan halus namun lantang dan mengandung ketegasan,

"Bhong-sute, mendiang kakek guru adalah seorang sakti yang bijaksana dan adil sekali. Di antara tiga orang muridnya, masing-masing telah diberi sebuah pusaka, Mendiang ayahku sebagai murid pertama menerima pemberian pusaka, demikian pula ji-susiok (paman guru ke dua) yang menjadi gurumu, dan juga sam-susiok (paman guru ke tiga), masing-masing telah menerima pemberian pusaka. Kenapa sekarang ji-susiok ingin memiliki pusaka yang telah diberikan kepada mendiang ayahku dan telah diwariskan kepadaku?"

"Tapi suhu hanya ingin meminjam sebentar, Bu-suheng."

"Sute, engkau tentu sudah tahu, dan demikian pula ji-susiok bahwa pusaka sama dengan jiwa, tidak boleh dipinjam-pinjamkan."

"Ha-ha-ha, jiwa tidak boleh dipinjamkan akan tetapi bisa saja diambil!" Kakek berambut riap-riapan itu tertawa. "Mendiang sucouw kita tidak adil dalam pembagian itu, demikian kata suhu. Kalau yang lain hanya diberi sebuah kitab pusaka, ternyata supek diberi dua kitab. Yang pertama adalah rahasia ilmu tenaga dalam yang merupakan inti perguruan kita, juga supek masih diberi kitab rahasia ilmu ketabiban. Padahal guruku hanya diberi rahasia ilmu silat perguruan kita dan susiok hanya diberi rahasia ilmu ginkang kakek guru yang termasyhur itu. Nah, karena itu maka guruku merasa curiga, jangan-jangan dalam kitab ilmu ketabiban itu diterangkan mengenai kelemahan-kelemahan ilmu yang lain. Ini namanya tidak adil!"

"Sute, kita golongan muda tidak tahu sama sekali akan hal itu. Pembagian itu adalah urusan orang-orang tua. Kalau ji-susiok merasa tidak adil, kenapa tidak sejak dahulu mengurusnya dengan mendiang sucouw, atau dengan mendiang ayahku?"

"Bu Kek Siang!" Si jubah coklat membentak sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka kakek jenggot panjang itu. "Ucapanmu sungguh menghina! Dengan menyuruh suhu berurusan dengan orang-orang yang sudah mati, bukankah itu berarti engkau menyuruh suhu mati? Keparat..., pendeknya serahkan kitab itu atau terpaksa aku akan melakukan kekerasan!"

Sepasang mata kakek berjenggot panjang itu berkilat karena diapun marah sekali. "Bhong Kim Cu, jangan mengira bahwa aku takut akan ancamanmu. Sebelum tubuh ini menggeletak tanpa nyawa, jangan harap untuk mendapatkan kitab pusaka kami!"

Orang yang bernama Bhong Kim Cu itu mengeluarkan suara gerengan seperti seekor binatang buas dan diapun sudah menerjang ke depan, menyerang kakek berjenggot yang bernama Bu Kek Siang itu. Kakek berjenggot itupun menyambut serangan ini dengan sikap tenang dan merekapun sudah saling serang dengan hebat, masing-masing mengeluarkan pukulan-pukulan yang mengandung tenaga sinkang sedemikian hebatnya sehingga terasa angin menyambar-nyambar di sekitar tempat itu.

Sementara itu si baju biru yang baru datang bersama Bhong Kim Cu itupun sudah maju dan disambut oleh pemuda jangkung putera Bu Kek Siang dan merekapun ternyata memiliki kepandaian seimbang sehingga terjadilah pertandingan yang amat seru.

Ketika si baju biru yang pertama hendak maju Pek Lian membentak, "Mari kita lanjutkan pertandingan kita!" dan iapun sudah menyambut dengan pedangnya.

Akan tetapi, tiba-tiba dua orang berbaju hijau telah menerjangnya dari kanan kiri sehingga terpaksa Pek Lian melayani pengeroyokan dua orang ini. Sedangkan si baju biru telah menerjang dan disambut oleh pengeroyokan. Kini-suipoa dan Pek-bin-houw. Ternyata fihak penyerbu itu cerdik sekali. Tadinya mereka tahu bahwa kepandaian nona berpedang itu tidak banyak selisihnya dengan kepandaian dua orang pria yang menjadi tamu di tempat itu, maka untuk mengimbangi mereka, si jubah biru lalu bertukar tempat dengan dua orang muridnya.

Kini, si jubah biru menandingi pengeroyokan dua orang kakek sedangkan nona itu yang dianggap lebih lihai dikeroyok oleh dua orang berjubah hijau. Terjadilah pertempuran yang amat hebat di pekarangan rumah kuno itu. Memang fihak penyerbu cerdik sekali.

Setelah bertukar tempat, kini jelaslah bahwa dikeroyok oleh dua orang jubah hijau, Pek Lian mulai terdesak. Dua orang itu juga sudah mengeluarkan senjata, yaitu keduanya mempergunakan semacam cambuk baja bergigi, semacam joan-pian ak.an tetapi dibentuk mengerikan, seperti ekor ikan pi-hi yang panjang.

Menghadapi kedua orang lawan ini, Pek Lian terdesak dan terpaksa ia memutar pedangnya untuk melindungi tubuhnya dari desakan dua buah senjata panjang yang berbahaya itu. Sedangkan Kim-suipoa dan Pek-bin-houw sudah mainkan senjata pikulannya yang tak pernah terpisah dari tubuhnya itu, akan tetapi si baju biru itu biarpun bertangan kosong, ternyata memiliki gerakan ilmu silat yang aneh dan cepat sekali.

Perobahan-perobahan gerakan kedua tangannya amat hebat dan juga gerakan kedua kakinya gesit dan kadang-kadang si jubah biru ini berloncatan dan meni haritam dengan tiba-tiba secara tidak terduga-duga, membuat kedua orang pendekar itu benar-benar kewalahan.

Sebaliknya, pertandingan antara pemuda jangkung dan jubah biru yang lain amat ramai, sungguhpun perlahan-lahan si pemuda dapat mendesak lawan. Juga tuan rumah, yaitu kakek jenggot panjang yang bernama Bu Kek Siang itu mulai dapat mendesak lawan.

Si jubah coklat yang bernama Bhong Kim Cu itu memang memiliki ilmu silat yang lebih hebat dari pada lawannya, lebih cekatan dan perobahan pada gerakan tangannya amat aneh dan indah sehingga dia dapat memperoleh lebih banyak kesempatan untuk melakukan serangan terhadap lawan.

Namun jelaslah bahwa dalam hal tenaga dalam, dia kalah oleh tuan rumah. Setiap kali mereka bertemu lengan, tentu si jubah coklat itu terhuyung, dan dengan kelebihan tenaga dalam inilah fihak tuan rumah dapat menahan lawan.

"Manusia-manusia tak tahu malu!" Tiba-tiba nampak dua bayangan berkelebat dan ternyata seorang nenek dan seorang dara muda telah berloncatan keluar dan masing-masing membawa sebatang pedang, lalu keduanya menerjang ke dalam medan pertempuran. Mereka tadi telah melihat siapa yang perlu dibantu.

Maka dara cantik seperti bidadari tadi telah menggunakan pedangnya membantu Pek Lian sehingga tentu saja dua orang berjubah hijau itu seketika berbalik terdesak oleh dua orang dara cantik itu. Sedangkan nenek itupun segera menyerbu dan membantu Kim-suipoa dan Pek-bin-houw. Gerakan pedangnya juga amat kuat sehingga si jubah biru yang hanya lebih unggul sedikit saja menghadapi pengeroyokan dua orang pendekar itu, kini menjadi terdesak hebat dan terus main mundur.

Melihat keadaan yang amat tidak menguntungkan ini, di mana semua anggauta fihaknya terdesak dan kalau dilanjutkan tentu akan menderita kekalahan mutlak, Bhong Kim Cu lalu mengeluarkan siulan nyaring dan meloncat mundur, diturut oleh semua muridnya dan tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, lima orang itupun melarikan diri dan menghilang ke dalam gelap.

Setelah semua lawan menghilang, kakek itu menarik napas panjang, lalu dia bersama keluarganya, yaitu isterinya, puteranya dan puterinya, menghadapi Pek Lian dan dua orang gurunya. Kakek itu menjura dan berkata dengan halus, "Kami sekeluarga menghaturkan terima kasih atas bantuan nona dan ji-wi sicu."

Tentu saja Pek Lian dan dua orang gurunya menjadi kikuk sekali dan tergopoh-gopoh mereka membalas penghormatan mereka. Kim-suipoa mewakili rombongannya berkata sambil tersenyum ramah,

"Ah, harap cu-wi tidak bergurau! Mana bisa dinamakan bahwa kami membantu cu-wi? Bahkan kalau tidak ada toanio dan siocia yang menolong, mungkin kami bertiga telah mati konyol. Kepandaian kami bertiga disatukan ini saja masih belum dapat menyamai kelihaian putera-puteri locianpwe."

Ucapan ini bukan hanya merupakan sikap merendahkan diri saja, melainkan mengandung kebenaran yang benar-benar merupakan pukulan dan kekecewaan bagi mereka bertiga. Mereka kini baru sadar dan seolah-olah baru terbuka mata mereka bahwa kepandaian mereka yang selama ini mereka anggap sudah cukup lihai, ternyata belum apa-apa. Berturut-turut mereka bertemu dengan orang-orang yang amat lihai, yang memiliki ilmu kepandaian jauh lebih tinggi dari pada mereka, membuat mereka merasa bodoh sekali.

"Sekarang kami mohon diri dan maafkanlah kalau kami bertiga tanpa sengaja telah mengganggu cu-wi," kata pula Kim-suipoa dan mereka bertiga lalu menjura dan berpamit.

"Ah, malam telah mulai larut dan bulan bersembunyi di balik awan, malam akan gelap. Sebaiknya kalau sam-wi bermalam saja di sini untuk malam ini," kata kakek Bu Kek Siang dengan ramah.

"Maaf, kami tidak ingin mengganggu locianpwe lebih lama lagi," kini Pek-bin-houw berkata.

"Tidak ada yang mengganggu. Kalian boleh bermalam di sini, kecuali kalau kalian merasa takut akan ancaman lawan terhadap tempat ini, tentu kami tidak dapat menahan kalian" kata nenek itu pula.

Pek Lian mengerutkan alisnya dan ia menjawab, "Biarpun kami tidak mempunyai kepandaian, namun kami tidak takut akan ancaman orang jahat! Kami dapat melawan sampai titik darah terakhir untuk menentang kejahatan!"

Kakek berjenggot itu tersenyum menyaksikan semangat nona ini, dan pemuda jangkung itupun lalu berkata, "Maafkan kalau tadi kami semua merasa curiga kepada nona dan paman berdua. Akan tetapi, sekarang kami tahu bahwa paman berdua adalah Kim-suipoa dan Pek-bin-houw, dua orang pendekar terkenal di sepanjang lembah Huang-ho dan Yang-ce itu, bukan?"

Dua orang itu terkejut dan menjura. ''Ah, sungguh pengetahuan kami dangkal bukan main, Taihiap telah mengenal kami, sebaliknya kami sama sekali tidak pernah menduga akan bertemu dengan orang-orang sakti yang sama sekali belum pernah kami kenal namanya. Maaf, maaf" kata Kim-suipoa.

"Masuklah dan jadilah tamu kami untuk malam ini, dan kami akan memperkenalkan diri," kata kakek Bu Kek Siang dengan ramah.

Kini tiga orang itu tidak berani menolak lagi, apa lagi ketika dara yang cantik jelita dan manis sekali itu segera menggandeng tangan Pek Lian dan berkata dengan manis, "Enci, engkau gagah sekali, aku suka padamu!"

Pek Lian juga tersenyum dan balas merangkul. "Ah, tidak ada setengahnya kepandaianmu, adik yang manis."

Merekapun beramai-ramai memasuki rumah itu dan di bawah penerangan beberapa buah lilin, karena keluarga itu tidak berani membuat terlalu banyak penerangan, tiga orang tamu ini lalu dijamu dengan makanan malam sederhana. Namun, kesederhanaan jamuan dan sikap fihak tuan rumah yang amat ramah itu cukup menggembirakan para tamu itu dan sebentar saja mereka telah berkenalan dengan akrab sekali. Terutama sekali Pek Lian yang segera menjadi sahabat baik dari dara yang bernama Bu Bwee Hong itu.

Dalam percakapan mereka, Bu Seng Kun, pemuda jangkung itu, mewakili keluarganya menceritakan keadaan keluarga Bu. Ayahnya bernama Bu Kek Siang, seorang pewaris ilmu tinggi sekali namun yang tidak suka akan ketenaran nama sehingga sampai bertahun-tahun mereka sekeluarga itu tinggal di rumah kuno di tempat sunyi ini, tanpa mencampuri urusan dunia karena menurut ayahnya, dunia sedang kacau dan negeri dikuasai oleh orang-orang yang suka menindas rakyat demi mencapai keinginan mereka untuk menyenangkan diri mereka sendiri.

Seperti juga suaminya, nyonya Bu pandai ilmu silat pula, terutama memiliki ginkang yang mengagumkan. Suami isteri pendekar yang mengasingkan diri ini mempunyai dua orang anak, yaitu Bu Seng Kun yang kini telah berusia duapuluh tahun dan Bu Bwee Hong yang cantik jelita dan manis seperti bidadari itu, yang telah berusia delapanbelas tahun.

Mereka berdua mewarisi ilmu-ilmu silat ayah mereka, dan juga ilmu ketabiban. Biarpun mereka berdua tinggal di dalam hutan dan hanya berhubungan dengan peng-huni dusun di sekitarnya, dan jarang pergi mengunjungi kota, namun keduanya terdidik baik sekali dalam hal kesusasteraan oleh ayah mereka sendiri.

Di rumah gedung yang kuno dan besar itu, mereka mempergunakan tenaga beberapa orang dusun sebagai pelayan, akan tetapi semenjak datang gangguan-gangguan itu beberapa hari yang lalu, semua pelayan disuruh pulang ke dusun agar mereka itu tidak ketakutan dan tidak perlu terancam bahaya karena keluarga mereka.

"Kalau boleh kami mengetahui, keluarga locianpwe ini dari perguruan manakah?" Kim-suipoa memberanikan diri bertanya sedangkan yang lain-lain yang juga hadir di situ hanya mendengarkan saja. Pek Lian duduk di dekat Bwee Hong dan mereka itu nampak akrab sekali.

Kakek Bu Kek Siang menarik napas panjang. "Biarpun kami tidak pernah memperkenalkan diri, namun agaknya sam-wi pernah mendengar nama kakek guruku. Kurang lebih seratus tahun yang lalu, di dunia persilatan terdapat dua orang tokoh yang dianggap sebagai datuk golongan pendekar atau golongan putih, dan dua orang datuk golongan hitam atau kaum sesat. Apakah ji-wi sicu mengenal nama mereka itu?" tanyanya kepada Kim-suipoa dan Pek-bin-houw.

Dua orang ini saling pandang dan cepat mengangguk. "Kalau kami tidak salah, dua orang datuk golongan putih itu adalah Sin-yok-ong (Raja Tabib Sakti) yang dipuja sebagai datuk di selatan, dan ke dua adalah Sin-kun Bu-tek (Tangan Sakti Tanpa Tanding) yang menjadi datuk di utara. Sedangkan dua orang datuk kaum sesat itu kalau tidak salah adalah Cui-beng Kui-ong (Raja Iblis Pengejar Roh) yang mendirikan Tai-bong-pai, dan yang ke dua adalah Kim-mou Sai-ong (Raja Singa Bulu Emas) pendiri dari Soa-hu-pai. Benarkah?"

Kakek itu mengangguk-angguk dan mengacungkan jempolnya. "Ternyata ji-wi mempunyai pengetahuan yang cukup luas. Nah, agaknya, jarang ada yang tahu karena memang murid-murid beliau tidak pernah menonjolkan diri. Akan tetapi, mendiang Sin-yok-ong mempunyai tiga orang murid. Yang pertama adalah mendiang ayahku, dan masih ada dua orang lagi, yaitu ji-susiok (paman guru ke dua) dan sam-susiok (paman guru ke tiga). Nah, mereka yang datang tadi adalah murid-murid atau para pengikut dari ji-susiok."

"Ah...!" Kim-suipoa berseru kaget dan heran. "Maaf, locianpwe. Kiranya keluarga locianpwe adalah keluarga yang mewarisi ilmu dari seorang yang terpandai di antara empat tokoh besar itu seperti yang pernah saya dengar dari guru saya. Akan tetapi, locianpwe Sin-yok-ong terkenal sebagai seorang pendekar sakti yang budiman, dan kami tidak heran melihat locianpwe sebagai keturunan beliau. Hanya anehnya, mengapa para murid-murid dari ji-susiok locianpwe tadi seperti itu sikapnya seolah-olah maaf, seolah-olah mereka itu dari golongan sesat saja?"

Kembali kakek itu menarik napas panjang. "Nyatanya memang demikianlah. Mereka berjumlah tigapuluh orang, termasuk ji-susiok. Ji-susiok sendiri berjubah hitam, mempunyai dua orang murid berjubah coklat, dan setiap orang murid itu mempunyai masing-masing dua orang murid berjubah biru, yang berjubah biru masing-masing mempunyai dua orang murid berjubah hijau dan yang berjubah hijau masing-masing mempunyai dua orang murid berjubah kuning. Jadi jumlah keseluruhannya tigapuluh satu yang merupakan tenaga inti dari perguruan ji-susiok. Para pelayan dan penjaga adalah orang-orang biasa yang tidak termasuk murid perguruan itu."

"Tapi, kalau locianpwe Sin-yok-ong terkenal sebagai seorang pendekar sakti yang budiman, bagaimana muridnya."

"Tak perlu diherankan, sicu. Apakah seorang guru itu dapat menentukan watak atau cara hidup muridnya, apa lagi kalau guru itu sudah meninggal dunia? Tidak. Watak dan cara hidup seseorang hanya ditentukan oleh si orang itu sendiri, dan mungkin saja keadaan sekelilingnya amat mempengaruhinya. Oleh karena itu, kami lebih senang tinggal di tempat sunyi, bergaul dengan kembang-kembang, tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang hutan. Atau paling banyak kami bergaul dengan orang-orang gunung dan dusun yang masih bersih dan polos batinnya."

Dua orang pendekar itu mengangguk dengan penuh kekaguman. "Locianpwe adalah pewaris dari mendiang Raja Tabib Sakti, sungguh kami merasa berbahagia sekali dapat kesempatan berjumpa dengan locianpwe sekeluarga," kata Pek-bin-houw.

"Tidak biasa kami memperkenalkan diri, dan kalau kami menceritakan keadaan kami kepada sam-wi, adalah karena sam-wi telah mendengar akan semua urusan tadi. Harap sam-wi suka menyimpan rahasia kami ini dan tidak menceritakan kepada orang-orang luar, karena kami tidak suka akan banyak urusan."

Para tamu itu menyatakan kesanggupannya dan fihak tuan rumah lalu mempersilahkan para tamunya beristirahat di dalam kamar tamu yang banyak terdapat dalam rumah besar itu. Akan tetapi Pek Lian menolak dan berkata,

"Bagaimana kami dapat tidur kalau keluarga tuan rumah terancam bahaya? Tidak, saya akan bergadang dan ikut menjaga kalau-kalau ada fihak penjahat yang berani datang lagi. Sungguh tidak enak kalau selagi kami tidur, fihak tuan rumah sibuk menghadapi serbuan lagi."

"Wah, enci, kami jadi merepotkan engkau saja, bukankah kau datang untuk beristirahat dan bukan untuk berjaga?" Bwee Hong mencela sambil tertawa.

"Tapi sekarang kita sudah berkenalan dan tak dapat dikatakan tamu orang luar. Biarlah aku akan menemanimu dan kalau ada bahaya, biarpun aku bodoh, aku akan menyumbangkan tenagaku dan aku tidak takut mati di tangan penjahat untuk membela kebenaran!" Ucapan ini juga sambil tertawa, akan tetapi pandang mata yang tajam dari kakek berjenggot itu dapat menyelami hati dara itu dan diam-diam dia merasa kagum.

"Bagus, engkau sungguh seorang berdarah pendekar, nona. Baiklah kalau begitu, akan tetapi kami belum banyak mendengar tentang dirimu. Ceritakanlah sedikit tentang keluargamu."

Ditanya demikian, tiba-tiba Pek Lian menundukkan mukanya dan wajahnya yang tadinya bersemangat dan terang itu menjadi muram dan sampai lama ia tidak mampu menjawab. Terbayanglah kembali ia kepada ayahnya dan hatinya menjadi berduka sekali. Tak dapat ditahannya lagi, kedua matanya menjadi basah dan ia menahan turunnya air mata dengan memejamkan kedua matanya.

Melihat ini, Bu Kek Siang mengerutkan alisnya. Baru saja dia kagum menyaksikan kegagahan dan semangat dara ini dan sekarang dia harus melihatnya menjadi wanita yang cengeng! Dia merasa kecewa dan mengira bahwa dia telah salah menilai orang. Sementara itu, Kim-suipoa lalu berkata dengan suaranya yang ramah,

"Locianpwe, harap maafkan nona Ho yang dilanda kedukaan. Agaknya sukar baginya untuk menceritakan keadaannya dan karena kita telah saling berkenalan, kiranya tidak ada salahnya kalau saya menceritakan keadaannya. Bolehkah, Ho-siocia?"

"Silahkan, suhu...." kata Pek Lian dengan suara lirih dan gemetar.

Semua anggauta tuan rumah heran mendengar betapa Kim-suipoa menyebut nona kepada dara itu dan sebaliknya dara itu menyebut suhu. Kim-suipoa lalu menceritakan keadaan keluarga Ho yang mengalami bencana di tangan kaisar itu. Menteri Kebudayaan Ho Ki Liong adalah seorang duda, dalam arti kata, isterinya yang pertama, yaitu ibu Pek Lian, telah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu karena penyakit.

Kini Menteri Ho tinggal bersama dua orang selirnya, dua orang adik perempuan dan seorang ipar bersama para keponakan dan pelayan-pelayan. Ketika Menteri Ho terkena musibah itu, seluruh keluarganya ditangkap dan dijebloskan penjara, dan hanya Ho Pek Lian seoranglah yang berhasil meloloskan dirinya. Kemudian Kim-suipoa menceritakan usaha mereka untuk membebaskan Menteri Ho.

Dan betapa mereka bertanding melawan seorang tokoh dari Soa-hu-pai yang berjuluk Pek-lui-kong, dan betapa dalam keadaan hampir berhasil, Menteri Ho sendiri yang mencegah mereka dan menyuruh mereka pergi. Betapa kemudian mereka bertiga yang menuju ke Puncak Awan Biru di Fu-niu-san, mengambil jalan darat dan kemalaman serta tersesat sampai ke tempat itu.

"Penasaran....!" Tiba-tiba terdengar Bu Seng Kun menghantamkan tangan kanan ke telapak tangan kiri sendiri sehingga mengeluarkan bunyi keras dan mengejutkan semua orang. Pemuda ini bangkit berdiri, wajahnya yang tampan itu kelihatan merah padam.

"Bagaimana negara dan bangsa kita dipimpin oleh seorang kaisar yang begitu laknat? Kami sudah mendengar tentang ratusan ribu rakyat yang dipaksa membangun Tembok Besar dan ratusan ribu orang tewas. Kini kaisar malah membakari kitab-kitab Nabi Khong Cu dan membunuhi para sasterawan! Sungguh, nama besar Menteri Ho yang membela kaum sasterawan dan berani menentang kaisar sampai berkorban keluarga patut dijunjung tinggi, akan tetapi mengapa membiarkan diri mati penasaran?" Dia duduk kembali dan berkata dengan marah, "Kelaliman, dari siapapun juga datangnya, harus ditentang!"

Sunyi dan hening sejenak setelah pemuda itu mengeluarkan perasaannya melalui kata-kata keras. Kemudian terdengar suara kakek Bu Kek Siang yang halus, mendinginkan suasana yang panas itu,

"Seribu kepala seribu pendapat dan seribu hati seribu selera! Seng Kun, engkau harus dapat menghargai pendapat dan selera lain orang. Karena engkau masih muda dan berdarah panas maka engkau tidak dapat mengerti mengapa Menteri Ho yang budiman itu menolak puterinya menyelamatkannya. Kalau beliau dipaksa dan dibebaskan, hal itu hanya akan menghancurkan hati beliau dan beliau akan merasa terhina sekali."

"Tapi....!" Pek Lian yang merasa cocok dengan pendapat Seng Kun tadi hendak membantah, akan tetapi lengannya disentuh oleh gurunya.

"Nona, ayahmu yang mulia itu adalah seorang patriot sejati, seorang pendekar besar yang di dalam bidangnya sendiri telah berbakti kepada negara dan bangsa, sama sekali bukan kepada kaisar lalim. Beliau sengaja menentang kaisar, sengaja membiarkan dirinya ditangkap agar semua mata para pendekar terbuka. Beliau memberi contoh untuk melawan kaisar dengan taruhan nyawa. Beliau juga memberontak kepada kaisar, akan tetapi bukan dengan cara kasar dari orang-orang golongan bu (silat) seperti kita.

"Beliau menentang dan membe-rontak dengan cara halus, akan tetapi hasilnya ti-dak kalah besarnya. Kaisar akan nampak semakin buruk dalam pandangan kaum patriot sehingga hal itu akan menambah kekuatan mereka yang menentang kaisar. Ayahmu memiliki kegagahan dan keberanian menentang maut, lebih besar dari pada kita menentang maut dengan pedang di tangan ! Aku amat menghormatinya, nona."

Setelah mengenal Pek Lian sebagai puteri Menteri Ho dan dua orang guru nona itu sebagai para pendekar patriot yang membantu Liu Pang, bengcu yang amat terkenal dan dihormati oleh semua orang gagah itu, hubungan antara tamu dan tuan rumah menjadi semakin akrab. Mereka lalu melakukan penjagaan dan perondaan dilakukan secara bergilir. Pek Lian bersama Bwee Hong berada di dalam kamar nona rumah itu, bercakap-cakap dan kemudian mereka mengaso dengan duduk bersila dan melakukan siulian.

Bagi orang-orang yang telah mempelajari ilmu silat tinggi seperti mereka, tidak tidurpun tidak menjadi persoalan dan mereka cukup duduk bersila membiarkan tubuh mereka dan pikiran mereka beristirahat, namun kesadaran mereka masih ada dan biarpun mereka seperti dalam keadaan tidur, namun sedikit perobahan keadaan saja sudah cukup untuk membuat mereka sadar. Mereka tetap waspada. Kakek Bu bersama isterinya juga beristirahat di dalam kamar mereka.

Kim-suipoa duduk bersila seorang diri di ruangan tengah, sikapnya penuh kewaspadaan. Pek-bin-houw dan Bu Seng Kun tadinya juga berjaga di situ, akan tetapi mereka berdua lalu melakukan perondaan di sekitar tempat itu dengan hati-hati dan waspada sekali. Sambil meronda, Pek-bin-houw yang merasa amat tertarik oleh keluarga yang menjadi pewaris ilmu dari tokoh datuk yang hidup seabad yang lalu, yaitu Sin-yok-ong itu, mengajak si pemuda untuk membicarakan soal perguruannya.

"Saya pernah mendengar bahwa seabad yang lalu, nama Sin-yok-ong merupakan nama yang amat hebat dan terkenal di seluruh dunia sebagai tokoh yang paling lihai di antara datuk-datuk lainnya yang pernah ada."

"Menurut keterangan ayah memang ada benarnya demikian. Akan tetapi sesungguhnya ilmu silat empat orang datuk itu, dua dari golongan putih dan dua dari golongan hitam, berimbang tingkatnya. Hanya karena sucouw Sin-yok-ong itu memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang hampir dikatakan sempurna, maka beliau mempunyai kelebihan dari pada yang lain, dan agaknya itulah kemenangannya. Sayang bahwa kami sekeluarga tidak mewarisi ginkang yang hebat itu," kata Bu Seng Kun.

"Menurut kata-kata Bhong Kim Cu si jubah coklat itu, keluargamu menerima dua macam ilmu, taihiap."

Bu Seng Kun menarik napas panjang. "Menurut penuturan ayah, di antara tiga orang murid beliau, tidak ada yang memiliki bakat hebat seperti beliau sehingga tidak ada yang dapat menguasai semua ilmu dari sucouw Sin-yok-ong itu. Maka agar adil, sucouw lalu membagi bagi ilmunya, disesuaikan dengan bakat masing-masing.

"Kakekku, sebagai murid pertama, menerima pusaka tentang latihan tenaga dalam. Murid ke dua menerima kitab pusaka tentang ilmu-ilmu silat dari sucouw dan rahasia-rahasianya, sedangkan murid yang termuda menerima kitab pusaka tentang ilmu ginkang beliau yang hebat itu."

"Sayang bahwa kepandaian yang hebat dari mendiang Sin-yok-ong harus dibagi-bagi seperti itu. Akan tetapi keluarga taihiap selain menerima pusaka, tentang Iweekang, juga memperoleh pusaka ilmu pengobatan."

"Benar, akan tetapi justeru ilmu ini sekarang akan dijadikan rebutan dan karenanya memecah-belah persaudaraan seperguruan," kata si pemuda dengan suara menyesal sekali.

"Lalu di manakah murid termuda yang ahli ginkang itu kini?" Pek-bin-houw merasa amat tertarik.

"Entahlah, sejak kakekku meninggal beliau tidak pernah terdengar lagi berada di mana. Ilmu ginkangnya, menurut ayah, amat hebat, bahkan tidak kalah hebatnya dengan ilmu ginkang yang pernah dimiliki oleh sucouw Sin-yok-ong sendiri."

"Ah, bukan main! Saya kira di dunia ini tidak ada lagi orang yang dapat menyamai kesempurnaan ginkang dari Sin-yok-ong seperti yang pernah saya dengar dari guru saya."

"Paman keliru," bantah Bu Seng Kun. "Pada jaman sucouw itu, masih ada seorang lagi dari golongan hitam yang malang-melintang di utara dan selatan. Dia ini memiliki ginkang yang boleh dibilang setingkat dengan sucouw, biarpun ilmu silatnya tidak setinggi tingkat keempat orang datuk itu. Tokoh ini amat terkenal, terutama di dunia kang-ouw, di kalangan liok-lim dan bahkan ditakuti oleh pemerintah pada waktu itu. Nama julukannya adalah Bit-bo-ong (Raja Kelelawar)."

"Ah, saya pernah mendengar tentang Raja Kelelawar itu. Seperti dalam dongeng saja dan tidak saya sangka bahwa benar-benar ada orangnya. Kabarnya, tokoh ini menguasai semua golongan hitam, baik dari para pencopet paling kecil sampai maling, perampok, tukang tadah, penjudi dan tempat pel4curan semua dikuasainya. Katanya ilmu silatnya juga hebat sekali. Dia dijuluki Raja Kelelawar karena keluarnya hanya di malam hari, tidak pernah keluar di siang hari. Benarkah itu?"

"Kabarnya demikian menurut cerita ayah. Yang sungguh menyedihkan, kalau dulu sucouw amat terpandang sebagai datuk para pendekar sedangkan Raja Kelelawar sekalipun tidak berani main-main di depannya. Akan tetapi murid-muridnya membuat perguruan menjadi terpecah-belah, dan sekarang malah paman kakek guru ke dua mengirim murid-muridnya untuk memaksa ayah menyerahkan kitab pusaka yang menjadi hak milik ayah. Sungguh membikin hati penasaran dan menyesal sekali. Mengapa bermusuhan antara saudara seperguruan sendiri sehingga hanya menimbulkan kelemahan di antara saudara sendiri?"

Pek-bin-houw menarik napas panjang. Dia sudah banyak pengalaman dan tidak merasa heran. Betapapun tinggi kedudukan seorang manusia, betapapun pandainya dia, selama sang aku masih menguasai diri, sang aku yang selalu mengejar kelebihan, sudah pasti hidup ini menjadi arena persaingan, permusuhan dan kebencian.

Dia adalah orang luar, tidak berhak mencampuri urusan keturunan datuk sakti itu. Akan tetapi, melihat betapa sikap Bu Seng Kun demikian polos, demikian terbuka terhadap dirinya, diapun merasa tidak enak kalau hanya diam saja.

"Bu-taihiap, sungguh patut disayangkan bahwa ilmu-ilmu dari mendiang kakek buyut gurumu itu, Sin-yok-ong locianpwe, telah terpecah-pecah dan terbagi-bagi sehingga tentu saja menjadi berkurang kelihaiannya. Siapa tahu kalau-kalau usaha peminjaman pusaka itu bermaksud untuk mempersatukan kembali ilmu-ilmu yang tercecer-cecer itu? Apakah tidak pernah taihiap mempunyai minat untuk mempelajari semua ilmu keturunan perguruan taihiap, dengan jalan mempersatukan dan saling mempelajari dengan ilmu-ilmu yang terjatuh kepada murid-murid yang lain?"

"Ahhh......!" Bu Seng Kun terbelalak dan berteriak kaget. "Benar juga kata-katamu, paman! Kenapa keluarga kami tidak berpikir sejauh itu? Bukankah lebih baik kalau kami memberikan kitab itu dan sebaliknya meminjam pusaka mereka dan kami saudara-saudara seperguruan saling mempelajarinya sehingga kami semua dapat mewarisi seluruh ilmu dengan lengkap?"

Pek-bin-houw tersenyum. "Sebuah pikiran yang baik sekali, Bu-taihiap. Akan tetapi, melihat sikap mereka, agaknya mereka itu tidak dapat digolongkan pendekar-pendekar dan mungkin saja akan bertindak curang. Bagaimanapun juga, sebaiknya kalau taihiap memperbincangkannya dengan ayah taihiap."

Mereka terus meronda dan bulan sudah naik tinggi. Keadaan amat sunyi sekali. Sunyi yang mengerikan karena mereka masih menduga akan adanya ancaman pihak yang tidak beritikad baik terhadap keluarga Bu. Tiba-tiba saja keadaan menjadi terang-benderang di daerah hutan itu. Kiranya awan tipis yang tadinya lewat dan menghalangi sinar bulan, kini lenyap dan bersih terbawa angin. Langit nampak terang dan bulan tidak terhalang apapun sehingga dapat menjatuhkan sinarnya ke bumi sepenuhnya.

Pek-bin-houw dan Bu Seng Kun yang mengadakan perondaan, tiba di tepi hutan. Keadaan tetap amat sunyi dan tiba-tiba terdengar bunyi gonggong anjing dari jauh. Bukan seperti anjing menggonggong ke arah bulan purnama, dengan suara yang menyayat hati, seolah-olah anjing yang menggonggong bulan itu menjadi berduka dan menangis, melainkan gonggong anjing pelacak!

"Sungguh aneh, suara itu bukan suara anjing hutan," kata Bu Seng Kun, "dan setahuku, di sini tidak ada anjing jinak peliharaan orang."

Akan tetapi, Pek-bin-houw memegang lengannya dan menarik pemuda itu menyelinap di balik sebatang pohon besar yang gelap dalam bayangan daun-daun lebat. Hidung pendekar tua itu bergerak mencium-cium seperti hidung anjing pelacak pula.

"Mereka datang...." bisik kakek itu dan mukanya berobah pucat.

"Apa......? Siapa.....?" Seng Kun bertanya, heran sekali melihat kakek pendekar yang gagah perkasa itu nampak seperti orang ketakutan.

"Ssttt...... tunggu dan lihatlah..." kata kakek itu.

Pemuda itu kini dapat pula mencium bau harum. Namun dia masih belum mengerti. Dan tak lama kemudian, terdengar lagi gonggong anjing bahkan suaranya ada beberapa ekor. Kemudian muncullah empat orang yang memikul sebuah keranjang bambu yang besar dan panjang. Pek-bin-houw memandang kepada rombongan orang itu dengan mata terbelalak dan muka pucat.

Memang keadaan mereka itu amat menyeramkan. Pakaian mereka putih-putih dan wajah mereka yang tertimpa sinar bulan itu nampak pucat seperti muka mayat, muka orang yang jarang terkena sinar matahari rupanya. Mereka semua ada delapan orang, empat orang memikul keranjang dan empat orang lagi menjaga di kanan kiri. Empat ekor anjing hitam, putih, coklat dan belang berjalan bersama rombongan ini, kadang-kadang di belakang kadang-kadang mendahului di depan.

Anjing-anjing biasa saja, tidak terlalu besar, namun mereka itu nampak liar dan ganas. Setelah tiba di luar hutan, delapan orang itu berhenti, dengan hati-hati empat orang pemikul keranjang bambu itu menurunkan keranjang dan seorang di antara empat yang lain, yang suaranya nyaring halus mengandung wibawa yang menyeramkan, berkata,

"Kita telah sampai di tempat yang dituju. Kalian harus berhati-hati. Suhu bilang bahwa ilmu silat keturunan locianpwe Sin-yok-ong amat lihai. Biarlah kita berhenti di sini dulu, nanti setelah lewat tengah malam kita mengetuk pintu."

Sementara itu, Bu Seng Kun yang memandang penuh perhatian, tidak juga mengenal siapa adanya orang-orang aneh yang berpakaian putih dan bermuka pucat itu. Melihat bahwa agaknya kakek Pek-bin-houw mengenal mereka, maka diapun berbisik lirih bertanya.

"Ah, apa kau tidak dapat menduga, taihiap? Mereka itu jelas adalah orang-orang dari Kuburan Besar, iblis-iblis dari Tai-bong-pai!"

Kini Seng Kun terkejut sekali dan memandang ke arah rombongan orang yang berhenti agak jauh dari situ dengan penuh perhatian. Tentu saja dia sudah mendengar banyak tentang Tai-bong-pai. Nama Tai-bong-pai muncul pada jaman kakek buyut gurunya, kira-kira seabad yang lalu. Karena agaknya Pek-bin-houw tahu banyak tentang partai ini, maka dia bertanya lagi, "Paman, benar-benar hebatkah mereka itu?"

"Mereka mengerikan!" kata Pek-bin-houw lirih. "Akan tetapi kenapa mereka itu datang ke sini? Padahal, mereka hampir tidak pernah keluar dari sarang mereka, yaitu sebuah kuburan kuno yang amat luasnya, yaitu bekas kuburan para bangsawan di jaman dahulu dan yang letaknya jauh di daerah barat melalui Gurun Go-bi. Kuburan di bawah tanah itu berisi kamar-kamar seperti sebuah istana dengan benteng yang kuat dan luas. Seratus tahun lebih yang lalu, tempat itu dimanfaatkan oleh seorang datuk iblis yang membuat jalan-jalan terowongan antara makam-makam itu dan dijadikan sarang, turun-temurun sampai sekarang."

Seng Kun mengangguk-angguk kagum. "Iblis-iblis Tai-bong-pai ini mudah diketahui karena kemunculan mereka tentu membawa bau dupa dari tubuhnya apa bila mereka berkeringat. Akan tetapi mereka itu jarang sekali keluar sehingga keadaan mereka tidak dikenal orang."

"Paman, mari kita keluar dan kita temui mereka. Mereka tiba di daerah kami, perlu kutanya apa maksud mereka mengunjungi kami di tengah malam begini," kata Seng Kun.

Selagi Pek-bin-houw meragu karena maklum betapa berbahayanya bertemu dengan iblis-iblis atau kawanan Tai-bong-pai itu, tiba-tiba ada anjing menggonggong di dekat mereka. Tentu saja anjing-anjing itu dengan mudah dapat menemukan terapat persembunyian mereka dan kini empat ekor anjing pelacak itu sudah mengurung mereka dan menggonggong dengan ribut sekali.

Melihat keadaan anjing-anjing mereka itu, seorang di antara delapan orang aneh itu sekali menggerakkan kakinya sudah mencelat dan tiba di depan Seng Kun dan Pek-bin-houw yang terpaksa harus keluar dari tempat persembunyian mereka.

"Orang-orang jahat, keluarlah dari tempat persembunyian kalian untuk menerima hukuman!" kata orang Tai-bong-pai itu yang ternyata adalah si pemimpin yang bersuara nyaring tadi.

Muka orang ini pucat sekali, pakaiannya putih-putih seperti orang dalam keadaan berkabung, dari mori kasar dan berlengan pendek. Rambutnya digelung ke atas dan keadaannya amat sederhana, agaknya disesuaikan dengan keadaan orang berkabung. Di tengah dahinya terdapat sebuah benjolan sebesar kacang yang berwarna merah, membuat wajahnya nampak lebih menyeramkan lagi.

Pek-bin-houw melangkah maju dan memandang kepada orang itu, lalu berkata tenang dan sabar, "Harap saudara jangan sembarangan memaki orang sebagai orang jahat. Sebaliknya kalianlah yang datang di tempat orang di malam buta, sungguh amat mencurigakan."

"Nanti dulu, apakah engkau keturunan dari Raja Tabib Sakti?" tanya orang itu.

Tentu saja Pek-bin-houw menggeleng kepalanya. Bukan, aku....."

"Tak perduli engkau siapa, kalau bukan keturunan Raja Tabib Sakti, engkau harus mati karena telah melihat kami!" Berkata demikian, orang berpakaian putih itu sudah menyerang Pek-bin-houw dengan tamparan kedua tangan dari kanan kiri!

"Plak-plak-plak-plakk!" Empat kali Pek-bin-houw diserang dan empat kali dia menangkis dengan pengerahan tenaga, akan tetapi ternyata orang itu kuat sekali dan sama sekali tidak terdorong oleh tangkisan-tangkisannya, bahkan dia sendiri merasa betapa kedua lengannya tergetar hebat! Bukan main, pikirnya. Kembali dia telah bertemu dengan orang yang amat lihai, yang agaknya memiliki tingkat kepandaian tidak kalah tinggi dari padanya.

Dan orang berpakaian putih itupun agaknya penasaran karena empat kali serangannya berturut-turut dapat dihindarkan lawan, maka dia mendesak terus dengan pukulan-pukulan yang semakin lama menjadi semakin dahsyat. Pek-bin-houw mengelak, menangkis dan balas menyerang, namun dia segera terdesak oleh lawan yang memiliki gerakan silat yang luar biasa anehnya itu. Terutama sekali bau dupa harum itu membuatnya agak muak dan pening.

Melihat keadaan Pek-bin-houw yang terdesak itu, Bu Seng Kun menjadi tidak tega, marah dan penasaran. "Berhenti!" teriaknya sambil meloncat ke depan. "Tamu dari manakah yang berani kurang aturan mengacau daerah kami?"

Si muka pucat itu menghentikan serangannya dan memandang kepada Bu Seng Kun. "Apakah engkau keturunan Raja Tabib Sakti?"

"Benar, aku adalah anggauta keluarga Bu!"

"Maafkan kami!" Orang itu lalu menjura dengan hormatnya kepada Bu Seng Kun. "Karena tidak tahu, kami telah membikin ribut." Dan tujuh orang temannya semua menjura kepada Bu Seng Kun dengan sikap hormat sekali.

Tiba-tiba terdengar seruan kaget dari Pek-bin-houw. Ujung lengan bajunya terkena noda merah seperti terkena darah, padahal dia sama sekali tidak merasa telah terluka dalam perkelahian tadi. Keringatnya yang keluar di lengan telah bercampur darah! Dengan mata terbelalak dia memandang kepada bekas lawannya. "Kau...... kau menggunakan ilmu siluman apakah?" tanyanya gagap karena dia teringat akan ilmu-ilmu aneh dari Tai-bong-pai yang pernah didengarnya di dunia kang-ouw.

Si muka pucat itu memandang kepada Pek-bin-houw, sikapnya sama sekali berbeda dengan sikapnya ketika dia menghadapi pemuda she Bu itu. Terdengar dia mendengus, lalu berkata, "Hemm, ilmu itu belum kukeluarkan semua. Kalau tadi dilanjutkan, sebentar kemudian engkau akan menggeletak di sini tanpa darah setetespun di tubuhmu lagi, semua akan keluar membasahi tempat ini."

"Ilmu..... ilmu penghisap darah......!" Pek-bin-houw berseru kaget dan mukanya menjadi pucat. Dia memandang kepada lengannya dan melihat betapa di setiap pori-pori lengan yang bajunya disingkapkannya itu nampak butiran-butiran darah keluar bersama keringat.

"Berterimakasihlah kepada Bu-kongcu karena kalau tidak ada Bu-kongcu yang menghentikan pertempuran tadi, engkau tentu sudah menjadi mayat tanpa darah. Melihat muka tuan rumah yang kami hormati, biarlah kuberi obat kepadamu."

"Tidak perlu!" kata Bu Seng Kun. "Paman ini adalah tamuku, maka akulah yang wajib menolongnya." Pemuda ini mengeluarkan sebutir pel merah dan memberikannya kepada Pek-bin-houw. Paman, telanlah pel ini."

Pek-bin-houw menjadi girang, menerima pel itu dan menelannya. Hal ini dilihat oleh delapan orang kawanan Tai-bong-pai itu dengan pandang mata kagum. Mereka agaknya sudah tahu akan kelihaian tuan rumah dalam ilmu pengobatan, maka mereka merasa kagum sekali betapa hanya dengan sebutir pel saja, maka seketika darah yang keluar dari lubang-lubang lengan bersama keringat itu seketika berhenti!

"Siapakah kalian?" Bu Seng Kun bertanya. "Benarkah dugaan kami bahwa kalian adalah para anggauta Tai-bong-pai?"

Delapan orang itu menjura dengan hormat, dan pemimpin mereka yang tadi melawan Pek-bin-houw menjawab, "Tidak keliru dugaan Bu-kongcu. Harap dimaafkan kalau kami mendatangkan keributan, akan tetapi kami perlu sekali untuk menghadap keturunan Raja Tabib Sakti yang kalau tidak salah bernama Bu Kek Siang taihiap dan tinggal di sini."

"Beliau adalah ayahku. Kalau kalian hendak bertemu dengan keluarga kami, mengapa datang malam-malam?"

"Maaf, kongcu, akan tetapi kami tidak pernah keluar pada siang hari!" Orang itu berkata dan agaknya merasa heran dan penasaran.

Teringatlah Seng Kun akan kebiasaan yang luar biasa dari kawanan Tai-bong-pai, yaitu mereka hanya keluar di malam hari saja. Maka, maklum bahwa mereka itu tentu mempunyai urusan penting sekali dan kalau dia berdua dengan Pek-bin-houw saja yang harus melayani delapan orang ini, tentu keadaannya akan berbahaya sekali.

"Kalau begitu, marilah kalian ikut bersamaku menghadap ayah."

Beramai merekapun mengikuti Bu Seng Kun menggotong lagi keranjang bambu itu. Pek-bin-houw berjalan mengikuti mereka dari belakang, diam-diam menduga-duga apa gerangan isi keranjang bambu yang dipikul dengan amat hati-hati oleh empat orang itu. Dia, sudah banyak mendengar akan kekejaman orang-orang aneh dari Tai-bong-pai yang terdiri dari golongan sesat, maka diapun merasa curiga dan menduga bahwa kedatangan mereka ini tentu membawa niat yang kurang baik.

Bu Seng Kun membawa para tamu itu ke pekarangan luar rumah keluarganya. Pemuda ini bersikap hati-hati sekali maka membawa mereka ke pekarangan, tempat terbuka dan kedatangan mereka tentu saja dapat dilihat dengan baik oleh ayah bundanya. Dan memang sesungguhnyalah. Kedatangan rombongan itu sudah dapat dilihat oleh Bu Kek Siang. Pendekar ini telah melihat dan dapat menduga siapa yang datang berkunjung, maka diapun sudah menanti di ruangan tamu yang berada di depan sebelah kanan.

"Ayah, tamu-tamu dari Tai-bong-pai datang berkunjung!" teriak puteranya dari luar.

"Persilahkan mereka memasuki ruangan tamu!" jawabnya dari dalam ruangan itu yang sudah diterangi oleh cahaya beberapa batang lilin yang dinyalakan.

Bu Seng Kun lalu mempersilahkan tamu-tamunya masuk. Dia mendahului sebagai penunjuk, jalan sedangkan di belakang rombongan itu berjalan Pek-bin-houw. Ketika mereka semua memasuki ruangan tamu, ternyata di situ Bu Kek Siang telah menanti bersama isterinya, puterinya, dan juga Kim-suipoa telah siap sedia dan berada di situ Ketika delapan orang itu memasuki ruangan tamu, bau dupa menyerang hidung. Keranjang bambu diturunkan perlahan-lahan dan delapan orang itu lalu menjura dengan hormatnya.

"Cu-wi jauh-jauh datang ke sini malam-malam, tidak tahu ada urusan apakah dengan kami?" Bu Kek Siang bertanya dengan sikap tenang dan dialah yang dapat menduga bahwa isi keranjang itu tentulah seorang manusia, mungkin yang sedang menderita sakit, karena kalau tidak begitu, apa perlunya mereka ini datang? Selama hidupnya dia belum pernah berurusan dengan pihak Tai-bong-pai.

Akan tetapi delapan orang itu tidak menjawab. Tiba-tiba terdengar suara melengking halus dan tinggi sekali, seperti suara beberapa ekor nyamuk beterbangan dalam ruangan tamu itu, makin lama semakin kuat dan nyaring menyakitkan telinga Kemudian, tahu-tahu di ambang pintu telah berdiri seorang wanita berusia kira-kira limapuluh tahun, membungkuk dan menjura dengan sikap hormat sekali kepada pihak tuan rumah. Bau dupa kini luar biasa kerasnya, mengalahkan bau dupa yang dibawa oleh delapan orang pertama tadi!

Wanita itupun memakai pakaian serba putih dan walaupun kainnya terbuat dari bahan yang lebih baik dari pada delapan orang tadi, namun tetap saja potongannya sederhana sekali. Wajahnya masih membayangkan kecantikan walaupun sudah mulai keriputan, sepasang matanya yang bersinar tajam itu kini nampak diliputi kegelisahan dan kedukaan.

"Maafkan kami," katanya dengan suara halus. "Kami datang dari seberang Gurun Go-bi, untuk minta pertolongan keturunan dari Raja Tabib Sakti yang kami hormati. Puteri kami sedang menderita sakit hebat akibat kesalahan mempelajari ilmu perguruan kami sehingga lumpuh kaki tangannya. Sudah setahun ia menderita dan segala usaha kami sia-sia berlaka. Kemudian kami teringat bahwa di jaman dahulu.

Raja Tabib Sakti merupakan satu-satunya orang yang dapat menyembuhkan segala macam penyakit yang ada di dunia ini. Maka kami mencari keturunannya yang mewarisi kepandaian beliau dan mendengar bahwa Bu-taihiap adalah keturunan itu, maka kami datang untuk minta tolong. Harap dimaafkan bahwa kami datang di tengah malam, maklumlah karena kami tidak biasa melakukan perjalanan pada siang hari."

Setelah berkata demikian, wanita itu menghampiri keranjang bambu lalu membuka tutupnya dengan hati-hati sekali. Nampaklah seorang gadis yang berwajah cantik rebah di situ. Namun gadis itu kurus sekali dan wajahnya, lehernya, kedua tangan yang tidak tertutup itu nampak pucat kebiruan seperti membeku.

Bahkan bibirnyapun nampak kebiruan sehingga dipandang sepintas lalu saja orang tentu akan mengira bahwa yang rebah di dalam keranjang itu tentu telah menjadi mayat Wanita itu berusaha untuk menahan perasaannya, namun tidak urung air matanya berlinang dan menuruni pipinya yang keriputan. Agaknya karena kedukaan maka wanita ini menjadi kurus keriputan.

"Anakku...." bisiknya menahan isak.

Bu Kek Siang mengerling ke arah puterinya sendiri yang berdiri di dekat Bu Seng Kun. Dia dapat membayangkan betapa akan sedih hatinya sebagai seorang tua kalau melihat puterinya, Bu Bwee Hong mengalami penderitaan seperti gadis dalam keranjang bambu itu.

Selain itu, diapun mempunyai watak sebagai seorang ahli pengobatan tulen, selalu merasa kasihan kepada yang sedang menderita sakit dan setiap macam penyakit merupakan musuh atau tantangan yang harus ditanggulanginya dan dikalahkannya. Makin berat penyakit itu, makin besar pula gairah di dalam batinya untuk mengalahkannya.

"Bu-taihiap, tolonglah anakku...." Nyonya itu meratap.

"Baiklah, toanio. Biarkan aku memeriksanya." Bu Kek Siang lalu bangkit dari tempat duduknya, menghampiri keranjang itu lalu melakukan pemeriksaan. Diperiksanya nadi pergelangan tangan gadis itu, dibukanya pelupuk mata itu, dan setelah dia mengetuk sana-sini dengan penuh ketelitian, pendekar itu lalu kembali ke tempat duduknya, menarik napas panjang berkali-kali dan setiap gerak-geriknya diikuti oleh pandang mata nyonya itu dengan penuh kegelisahan.

"Bagaimana, Bu-taihiap......?" Akhirnya dia bertanya dengan gelisah, akan tetapi penuh harap-harap cemas.

"Keadaan puterimu memang parah, toanio. Kami suka membantu, walaupun aku tidak dapat menjamin apakah kami akan berhasil. Untuk menyembuhkan puterimu, selain pengobatan berupa obat minum dan tusuk jarum, juga dibutuhkan sinkang yang kuat dari aliran persilatan kami. Tenaga sinkangku sendiri terbatas, maka terpaksa aku harus minta bantuan anak isteriku. Kalau kami semua turun tangan, kiranya baru berhasil, walaupun aku belum yakin apakah kekuatan kami itu sudah cukup untuk menembus semua pembuluh darah dan urat-urat syaraf dalam tubuh puterimu yang seperti sudah membeku itu. Kami dengan segala senang hati akan berusaha menolongnya, akan tetapi...."

"Akan tetapi, bagaimana, taihiap.....?" sang ibu bertanya penuh kegelisahan.

"Ketahuilah, toanio, pada saat ini keluargaku sedang mengalami gangguan dan ancaman dari... musuh-musuh kami!"

Bu Kek Siang menarik napas panjang dan merasa berduka sekali. Alangkah akan baiknya kalau ji-susioknya itu membantunya mengobati gadis ini, bukannya memusuhinya untuk merampas kitab pusaka seperti sekarang ini. Dengan tenaga sin-kang dari ji-susioknya yang amat hebat, yang lebih tinggi dari pada ilmunya sendiri, apa lagi kalau, dibantu pula oleh sinkang dari sam-susioknya, dan dia sendiri turun tangan mengobati, pasti gadis ini akan dapat disembuhkan dengan cepat.

Mendengar keterangan tuan rumah yang amat diharapkan akan dapat menyelamatkan nyawa puterinya, wanita itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Kek Siang. "Bu-taihiap, kalau taihiap bersama keluarga taihiap sudi menolong puteriku maka kami yang akan menjaga rumah ini dari gangguan siapapun juga. Kami anak murid dari Partai Kuburan Besar, biarpun bukan orang-orang yang disukai oleh kaum persilatan, akan tetapi kami tahu membalas budi kebaikan orang lain. Selama hidup turun-temurun, anak murid kami akan menjunjung tinggi budi kecintaan keluarga Bu sampai turun-temurun."

Bu Kek Siang tersenyum. "Toanio salah sangka. Melawan penyakit mengobati orang merupakan kewajiban seorang ahli pengobatan. Bukan hanya kewajiban, juga merupakan suatu pekerjaan yang kucinta. Siapapun yang datang minta tolong kepadaku untuk diobati tentu akan kutolong tanpa pandang bulu, tanpa minta imbalan jasa, tanpa pamrih. Sekarang, baiklah kita mengadakan pembagian kerja. Aku bersama isteri dan kedua orang anakku akan mencoba untuk mengobati puterimu. Tiga orang tamu kami dapat membantu kalau mereka suka...."

Bu Kek Siang memandang ke arah Pek-bin-houw, Kim-suipoa, dan Pek Lian. Sebenarnya, Bu Kek Siang tidak mengharapkan bantuan mereka untuk mengobati gadis itu, melainkan mengharapkan bantuan mereka untuk menghadapi lawan kalau mereka muncul. Karena, selagi melakukan pengobatan, kalau musuh-musuh itu datang sungguh amat berbahaya sekali, dan diapun belum tahu bagaimana nanti sikap orang-orang Tai-bong-pai.

"Jangan khawatir, locianpwe. Saya akan membantu keluarga locianpwe!" kata Pek Lian yang menghampiri Bwee Hong, gadis cantik jelita yang telah menjadi sahabat baiknya itu.

"Benar, kami berduapun siap untuk membantu," kata Kim-suipoa sedangkan Pek-bin-houw juga mengangguk menyetujui.

Diam-diam Bu Kek Siang merasa girang, akan tetapi dia masih mencoba lagi, "Akan tetapi, pengobatan ini akan memakan waktu yang cukup lama, mungkin sampai belasan hari lamanya! Apakah sam-wi akan dapat membantu terus?"

Dua orang pendekar dari Puncak Awan Biru itu menjadi ragu-ragu mendengar ini, akan tetapi mereka telah didahului oleh Pek Lian yang berkata dengan nada suara tetap dan nyaring, "Tentu saja kami akan terus membantu sampai pengobatan itu berhasil baik!"

Wanita berpakaian putih itu cepat menghadap kepada Pek Lian dan dua orang gurunya, lalu menjura dengan hormat. "Tak tahu bagaimana kami harus berterima kasih kepada sam-wi, dan kami sungguh merasa malu sekali bahwa murid kami pernah menyerang penolong kami."

Tiba-tiba wanita itu menoleh ke arah anak buahnya yang tadi berkelahi dengan Pek-bin-houw dan membentak, "A-jui, hayo maju dan serahkan nyawamu!"

Orang yang disebut A-jui itu terbelalak, tubuhnya menggigil akan tetapi dia lalu maju berlutut di depan wanita itu. Semua orang merasa terkejut sekali, akan tetapi ketika wanita itu mengangkat tangannya, tiba-tiba Pek-bin-houw meloncat ke depan dan berseru, "Tahan!!"

Wanita itu tidak jadi menurunkan pukulan mautnya dan menoleh kepada Pek-bin-houw. "Apakah saudara hendak turun tangan sendiri? Lakukanlah, dia sudah menyerahkan nyawanya untuk menebus dosa tadi."

"Tidak!" bentak Pek-bin-houw, bergidik menyaksikan kekejian ini. "Aku sama sekali tidak ingin melihat dia dibunuh hanya karena tadi berkelahi denganku. Kami berkelahi karena salah paham. Toanio, jangan bunuh dia!"

Bu Kek Siang juga melangkah maju. "Siancai...! Aku disuruh menyelamatkan nyawa seseorang dari ancaman maut, akan tetapi sekarang ada orang hendak dibunuh begitu saja. Sama sekali tidak boleh hal ini dilakukan. Toanio, kalau engkau hendak membunuh orangmu, terpaksa aku tidak akan sanggup mengobati puterimu."

Wanita itu nampak terkejut dan matanya terbelalak, seperti orang keheranan, lalu iapun berkata kepada tuan rumah, "Ah, maafkan, Bu-taihiap, akan tetapi sudah menjadi kebiasaan kami untuk menghukum anak buah kami yang bersalah. Biarpun demikian, melihat betapa para tuan penolong kami telah mintakan ampun, terpaksa kamipun akan mentaati. A-jui, tidak lekas menghaturkan terima kasih kepada tuan-tuan ini yang telah mengembalikan nyawamu?"

A-jui, laki-laki yang di tengah dahinya ada benjolan merah itu, cepat menghaturkan terima kasih kepada Bu Kek Siang dan Pek-bin-houw sambil berlutut. Tentu saja pihak tuan rumah dan tamu-tamunya merasa heran sekali melihat sikap luar biasa ini.

"Nah, kulanjutkan pembagian tugas," kata Bu Kek Siang. "Ho-siocia dan kedua saudara Kim-suipoa dan Pek-bin-houw membantu kami dalam ruangan ini, juga sambil menjaga keamanan kami yang sedang mengobati, dan toanio bersama anak buan toanio harap menjaga di sekitar rumah, dan mencegah masuknya orang luar yang nendak mengganggu kami."

"Baik, sekarang juga kami melakukan tugas itu!" kata wanita itu sambil melangkah keluar diikuti oleh delapan orang anak buahnya, setelah ia melempar pandangnya ke arah puterinya dengan pandang mata penun harapan.

Pek Lian dan dua orang gurunya lalu membantu keluarga itu mengadakan persiapan. Sebuah meja panjang diangkat ke dalam ruangan itu, juga sebuah perapian dengan alat-alat menggodok obat dipersiapkan di situ. Kemudian mereka semua beristirahat karena menurut Bu Kek Siang, pengobatan baru akan dimulai besok paginya.

Malam itu ternyata tidak terjadi sesuatu, tidak ada penyerbuan dari orang-orang yang rambutnya riap-riapan itu. Hati mereka menjadi lapang dan merasa dapat beristirahat untuk menghimpun tenaga. Baru pada keesokan harinya, setelah sarapan, keluarga Bu mulai dengan pengobatannya atas diri gadis yang nampaknya seperti sudah mati itu.

Pek Lian dan kedua orang gurunya menyaksikan cara pengobatan yang amat aneh, yang mula-mula dilakukan oleh Bu Kek Siang sendiri, yaitu melakukan totokan-totokan pada beberapa jalan darah rahasia yang merupakan cara pengobatan sukar dan berbahaya sekali.

Totokan-totokan pada jalan darah rahasia itu kalau kurang tepat dilakukan, akibatnya malah akan mencelakakan pasien, dapat membunuhnya! Apa lagi totokan-totokan di bagian leher dan kepala. Selain sukar dan harus tepat, juga membutuhkan pengerahan tenaga yang amat besar sehingga nampak pucat seperti tanpa darah sama sekali.

Bu Kek Siang, Kim-suipoa dan Pek-bin-houw adalah pria-pria yang sudah tua, akan tetapi Bu Seng Kun adalah seorang pemuda, sehingga kalau menurut kebiasaan umum, tidak pantaslah bagi seorang pemuda untuk melihat tubuh seorang wanita muda yang telanjang. Akan tetapi, Bu Seng Kun tidak danat disamakan dengan orang-orang muda biasa. Sejak kecil dia sudah mempelajari ilmu pengobatan dari ayahnya dan dialah yang merupakan ahli waris terakhir dari Raja Tabib Sakti.

Sejak muda sekali Seng Kun telah membantu ayahnya mengobati bermacam-macam orang dengan bermacam-macam penyakit sehingga baginya, tidak merupakan hal aneh untuk melihat wanita bertelanjang bulat ketika diobati. Apa lagi pengobatan yang harus mempergunakan totokan atau penusukan jarum di bagian-bagian yang penting, haruslah bagian itu dibuka agar penusukan dapat dilakukan dengan tepat sekali.

Maka, kini melihat keadaan nona yang kadang-kadang harus telanjang sama sekali itu, dia dapat memandang tanpa bayangan-bayangan cabul sama sekali, yang dilihatnya hanyalah sebatang tubuh yang menderita dan harus diobati sampai sembuh!

Memanglah, kecabulan atau yang dinamakan porno merupakan hal yang amat relatip sekali. Apa dan bagaimanakah porno itu? Apakah porno itu identik dengan tubuh telanjang? Apakah porno itu berarti terbukanya tanpa ditutupi anggauta rahasia pria atau wanita, termasuk buah dada wanita? Itukah porno? Ataukah juga penulisan tentang hal-hal seksuil, hubungan sanggama dan yang menyangkut dengan hal itu?

Lalu sampai di manakah batas-batas kepornoannya? Hal ini agaknya menjadi masalah yang selalu diributkan karena memang tidak mungkin orang menemukan batas-batas tertentu, tidak mungkin menggariskan antara porno dan tidak, seperti juga menggariskan tentang kegilaan dan kewarasan seseorang.

Kecabulan bukan terletak dalam kenyataan di luar. Kecabulan terletak di dalam batin masing-masing. Cabulkah atau p0rnokah kalau ada seorang wanita mandi di sungai bertelanjang bulat? Porn0kah wanita itu dan porn0kah yang melihatnya? Tergantung dari si wanita dan si pemandang sendiri. Wanita mandi tel4njang di sungai itu adalah suatu kenyataan.

Dan kalau si wanita mandi karena tidak ada tempat lain baginya untuk mandi, kalau ia mandi karena kebutuhan akan mandi tanpa mempunyai dasar untuk memamerkan tubuh tel4njangnya itu untuk menarik perhatian orang, untuk menimbulkan gairah pria yang memandangnya, maka ia sama sekali tidak porn0!

Sebaliknya kalau ia mandi tel4njang itu dengan kesengajaan untuk menimbulkan gairah pada pria yang melihatnya, maka jelaslah bahwa perbuatannya itu p0rno! Di lain fihak, kalau ada pria yang melihat ia mandi, melihat tanpa adanya pikiran yang membayang-bayangkan hal lain dari pada yang ada, maka diapun sama sekali tidak p0rno walaupun boleh jadi dia akan melihat wanita mandi itu.

Sebaliknya kalau di waktu dia memandang tubuh wanita tel4njang itu dia membayangkan kemesraan-kemesraan seperti misalnya dia bermain cinta dengan wanita itu sehingga timbullah napsu berahi, maka tentu saja dia itu p0rno! Contoh ini dapat saja ditrapkan dengan pelukis dan penonton lukisan, pengarang dan pembaca karangan, dan sebagainya. Bukan gambar atau cerita yang menentukan p0rno tidaknya, melainkan batin si pelaku itu sendirilah, baik dia itu pencipta keadaan itu maupun si pemandang keadaan.

Dan tentu saja, kalau diteliti mudah saja terasa apakah si pencipta keadaan itu menciptakan sesuatu dengan dasar batin p0rno ataukah tidak. Seorang wanita mandi telanjang bulat belum tentu p0rno, akan tetapi kalau wanita in dengan pakaian lengkap bersikap memancing gairah dengan menyingkap sedikit gaun memperlihatkan betis saja, ia sudah p0rno.

Wanita berpakaian putih bersama delapan orang anak buahnya menjaga dengan tertib dan dengan teliti, bergiliran siang malam dan mereka itu menyediakan keperluan makan mereka sendiri, tanpa mengganggu keluarga tuan rumah. Hanya beberapa kali sehari saja wanita itu menjenguk ke dalam kamar tamu yang menjadi kamar pengobatan itu untuk melihat keadaan puterinya.

Pengobatan itupun tidak dilakukan terus-menerus. Bermacam-macam cara pengobatan dilakukan oleh Bu Kek Siang. Tubuh gadis itu telah digosok seluruhnya oleh arak obat, totokan-totokan dan tusukan-tusukan jarum telah dilakukan. Semua berjalan dengan baik dan lancar, hanya satu hal yang membuat keluarga itu kewalahan. Mereka belum berhasil menembus pembuluh-pembuluh darah dan urat-urat syaraf yang seperti membeku itu.

Bagaimanapun juga, lewat lima hari pengobatan, keadaan gadis itu sudah mengalami banyak sekali perobahan. Tubuhnya yang tadinya pucat kebiruan seperti tubuh mayat itu kini sudah mulai memerah. Pemapasannya yang tadinya seperti telah hampir terhenti itu kini nampak lebih lancar dan longgar. Bahkan ada senyum membayang di bibir yang mulai agak merah itu, cuping hidungnya sudah dapat berkembang-kempis kalau bernapas, hanya gadis itu masih lumpuh sama sekali.

Ibu gadis itu kelihatan gembira bukan main. Biarpun gadisnya masih lumpuh, akan tetapi jelas nampak perobahan-perobahan yang menggembirakan, tanda-tanda bahwa usaha pengobatan sekali ini akan berhasil baik. Dan keluarga Bu juga merasa lega bahwa selama beberapa hari itu tidak ada gangguan pihak musuh sama sekali. Hal ini tentu saja menggirangkan hati mereka dan menimbulkan dugaan bahwa agaknya pihak musuh merasa segan mengganggu karena di situ terdapat orang-orang Tai-bong-pai!

Akhirnya, pengobatan itu mencapai puncaknya pada hari ke sepuluh. "Hari ini bagaimanapun juga kita harus berhasil menembus jalan darah gadis itu," kata Bu Kek Siang. "Sebetulnya, melihat keadaannya, nona Kwa sudah berada di ambang pintu kematian. Maka, perjumpaannya dengan kita dapat dikatakan jodoh, dan kita harus berusaha sekuat tenaga untuk menyembuhkannya."

"Akan tetapi, ayah," kata Seng Kun. "Kalau ayah masih hendak melaksanakan penggabungan tenaga, bukankah hal itu amat berbahaya sekali bagi kita dan juga bagi nona Kwa? Kalau terjadi penyerbuan."

"Jangan khawatir, bukankah sudah sepuluh hari ini tidak terjadi sesuatu? Dan sekali ini, biar kita beritahukan bahaya itu kepada Kwa-toanio agar ia ikut pula melakukan penjagaan terhadap diri puterinya."

Selama beberapa hari tinggal di tempat terpencil itu, wanita berpakaian serba putih telah memperkenalkan diri. "Sebetulnya, kami selalu merahasiakan nama dan keadaan kami, akan tetapi melihat pertolongan cu-wi yang demikian penuh pengorbanan, kami akan meniadakan kebiasaan itu dan perkenalkanlah, saya adalah isteri dari Kwa Eng Ki, seorang di antara tokoh Tai-bong-pai. Dan anak ini adalah puteri tunggal kami bernama Kwa Siok Eng.

"Penyakit yang diderita oleh Siok Eng ini sebetulnya adalah karena kelancangannya sendiri. Diambilnya kitab pusaka partai kami dan diam-diam ia mempelajarinya tanpa memberi tahu kepada kami, sedangkan tingkatnya masih terlampau rendah untuk mempelajari ilmu simpanan partai kami itu, maka beginilah jadinya. Nah, setelah saya memperkenalkan diri, maka mulai sekarang kita telah menjadi sahabat-sahabat karib."

Tentu saja bagi pihak tuan rumah, cerita itu sama sekali bukan pembukaan rahasia, dan hanya memperkenalkan sedikit saja, yaitu hanya nama ibu dan anak itu sehingga keadaan mereka masih tetap diliputi rahasia. Akan tetapi mereka tidak mau bertanya lebih banyak, karena merekapun sebenarnya tidak mempunyai minat untuk bersahabat dengan Tai-bong-pai yang terkenal sebagai perkumpulan golongan hitam yang disamakan dengan iblis-iblis yang kejam sekali.

Setelah diberi tahu bahwa hari itu pihak tuan rumah akan mengadakan pengobatan terakhir yang besar-besaran dengan penggabungan tenaga, nyonya Kwa merasa tegang dan iapun segera menyatakan siap sedia untuk melakukan penjagaan dengan kuat di luar rumah. Pek Lian dan kedua orang gurunya juga melakukan penjagaan di luar. Mereka bertiga maklum akan bahayanya keadaan mereka ketika fihak tuan rumah sekeluarga sedang melakukan pengobatan dengan penggabungan tenaga itu.

Pengobatan dengan pengerahan sinkang membuat orang yang melakukan pengobatan itu sama sekali tidak berdaya terhadap serangan dari luar, karena kalau dia melawan, berarti membahayakan nyawa yang diobati. Dan kini, menurut keterangan Bu Seng Kun terhadap mereka, pemuda itu bersama ayah dan ibunya akan menggabungkan tenaga sehingga kalau sewaktu mereka mengadakan pengobatan itu datang musuh, mereka bertiga takkan berdaya untuk membela diri.

Dengan demikian, maka penjagaan seluruhnya hanya berada di tangan mereka bertiga, dan orang-orang Tai-bong-pai. Bahkan nona Bu sendiripun membantu pengobatan itu dengan tusukan-tusukan jarum.

Pagi itu mereka sudah besiap-siap. Yang berada di kamar pengobatan, selain si sakit, juga empat orang keluarga Bu lengkap. Kwa Siok Eng telah direbahkan di atas meja panjang dengan menelungkup. Kulit tubuhnya yang putih mulus itu tidak begitu pucat lagi, akan tetapi masih belum dapat bergerak sama sekali. Ibunya, nyonya Kwa, menjaga di dekat pintu, sepasang matanya hampir tidak pernah berkedip memandang kepada puterinya dan kadang-kadang saja beralih kepada empat orang yang sedang mengobati puterinya itu.

Hatinya terharu. Nampak jelas olehnya betapa keluarga itu berusaha sungguh-sungguh. Tadi se-belum melakukan pengobatan, Bu Kek Siang telah memberi penjelasan kepadanya sekedarnya sehingga dia tahu bahwa mereka berempat itu, sungguh-sungguh berusaha untuk menolong puterinya, terutama sekali kakek Bu sendiri bersama Bu Seng Kun, pemuda itu.

Mereka berdua ini akan menge-rahkan sinkang sekuatnya untuk menembus jalan darah gadis itu yang belum pulih, dan sebagai seo-rang ahli silat tinggi, tentu saja nyonya itu tahu apa artinya ini. Pengerahan sinkang untuk meno-long orang seperti itu amatlah berbahaya karena tenaganya dikerahkan terus-menerus, kalau keliru sedikit saja tentu dapat membunuh si sakit atau membunuh diri sendiri!

Memang amat menegangkan keadaan dalam ruangan itu. Bu Seng Kun bertelanjang dada, karena dia mempergunakan dadanya itu untuk menempel pada kedua telapak kaki Kwa Siok Eng dan dengan penyaluran tenaga sinkang sepenuhnya dia menya-lurkan hawa murni melalui kedua telapak kaki gadis itu. Pemuda ini memejamkan kedua matanya dan dadanya nampak membesar, wajahnya menjadi merah dan kedua tangannya mencengkeram belakang lutut gadis itu.

Di seberangnya, ayahnya berdiri dan menempelkan tangan kirinya di ubun-ubun kepala gadis itu. Seperti juga puteranya, Bu Kek Siang, kakek ini mengerahkan sinkangnya disalurkan melalui ubun-ubun kepala gadis itu, kedua matanya juga dipejamkan. Isterinya, nenek yang masih nampak cantik itu, berdiri di tepi meja, kedua tangannya ditaruh di atas pinggang telanjang itu.

Dan nenek inilah yang menjadi semacam penghubung atau penampung saluran tenaga dari atas dan bawah itu untuk kemudian, setelah dapat bertemu dan bersatu, dipergunakan untuk membobol semua jalan darah dalam tubuh.

Dan di tepi meja seberangnya, Bu Bwee Hong sibuk mempergunakan jarum-jarum emas untuk menusuki bagian-bagian yang penting untuk mengurangi hambatan-hambatan penyaluran tenaga ayahnya dan kakaknya. Dan memang, dalam hal ilmu pengobatan, gadis inilah yang telah mewarisi kepandaian ayahnya dan dibandingkan dengan ibunya dan kakaknya, ia memang lebih pandai dalam hal tusuk jarum.

Pekerjaan gadis ini, seperti juga ibunya, tak dapat dikatakan ringan, bahkan mengharuskan adanya ketelitian yang luar biasa. Empat orang itu sungguh mengerahkan dan mengeluarkan semua kepandaian mereka untuk menolong gadis itu. Hal ini nampak jelas sehingga seorang seperti nenek Kwa yang selamanya berkecimpung dalam dunia hitam itu merasa terharu.

Matahari telah naik tinggi. Setengah hari telah lewat dan suasana dalam ruangan pengobatan itu menjadi semakin tegang. Empat orang keluarga Bu itu bermandi peluh, namun agaknya usaha mereka itu sia-sia belaka karena seluruh tenaga ayah dan anak itu belum juga dapat dipertemukan! Seng Kun yang telah mengerahkan seluruh tenaganya itu hanya bisa mendorong sampai ke pangkal paha dan dia telah menemui rintangan-rintangan di sepanjang kedua kaki itu yang seolah-olah telah membeku.

Ayahnya lebih sukar lagi, hanya dapat mendorong sampai di bawah pundak. Bwee Hong sibuk menusuk sana-sini sehingga tubuh belakang gadis yang diobati itu penuh dengan jarum kecil kecil, perak dan emas. Dan nyonya Bu juga sibuk sekali, menggunakan sinkang seperti hendak menyedot hawa murni dari atas bawah, namun belum juga terasa olehnya datangnya sinkang yang disalurkan oleh suaminya dan puteranya itu.

"Cepat, tambah lagi tenaganya!" Ibu ini mendorong dan mengerutkan alisnya.

"Ahhh tidak tidak bisa lagi ibu, aku tidak kuat lagi ahhhh!" Seng Kun mendesah dan tiba-tiba dari sudut bibirnya mengalir darah segar.

"Koko!" Bwee Hong berseru khawatir.

Akan tetapi pemuda itu tidak memperdulikan dirinya. "Moi-moi, cepat kau bantu ayah!"

Bwee Hong menoleh memandang ayahnya dan semakin gelisah ia melihat betapa ayahnya juga payah sekali keadaannya, wajahnya pucat pasi dan dari lubang hidungnya juga mengalir darah. "Ibu, ayah itu..."

Akan tetapi, ibunya hanya menggeleng kepala dengan sikap tenang karena ibu ini percaya bahwa suaminya dan puteranya masih akan dapat menolong diri sendiri. Kalau sudah ada darah keluar dari mulut atau hidung, berarti bahwa tenaga mereka sudah sampai di puncaknya, dan tentu mereka akan mengendurkan tenaga karena kalau dilanjutkan berarti mencari mati sendiri.

Ibu gadis yang sakit itu sejak tadi melihat ini. Wajahnya pucat dan beberapa kali ia memejamkan mata, mengepal tinju dan membanting-banting kakinya. Akhirnya iapun berseru, "Sudahlah! Sudahlah!!" Ia melihat betapa usaha keluarga Bu yang mati-matian itu telah menemui kegagalan.

Keadaan yang amat menegangkan itu membuat mereka semua tidak sadar bahwa di luar rumah telah terjadi penyerbuan! Ada beberapa orang yang luar biasa datang menyerang dan tentu saja serbuan itu disambut oleh para penjaga yang berada di luar rumah, yaitu Ho Pek Lian dan dua orang gurunya, dan delapan orang anggauta perkumpulan Tai-bong-pai.

Akan tetapi, para penyerang itupun lihai bukan main. Dua orang di antara mereka adalah orang-orang yang berambut riap-riapan dengan pakaian berwarna coklat! Masih ada lagi teman-teman mereka, yaitu empat orang berjubah biru dan delapan orang berjubah hijau! Tentu saja pihak penyerbu menjadi jauh lebih kuat.

Seperti telah kita ketahui, seorang yang berjubah biru saja kepandaiannya sudah sedemikian hebatnya sehingga ketika dikeroyok oleh Kim-suipoa dan Pek-bin-houw, dua orang pendekar inipun kewalahan. Apa lagi kini terdapat dua orang yang berjubah coklat, ditambah empat orang murid mereka dan delapan cucu murid.

Sebentar saja delapan orang anak buah Tai-bong-pai sudah terpukul roboh dan Pek Lian sendiri bersama dua orang gurunya juga hanya mampu menangkis saja ketika dikeroyok oleh orang-orang berjubah biru dan hijau. Dua orang yang berjubah coklat itu sudah menerjang pintu ruangan dan dengan mengeluarkah suara hiruk-pikuk pintu itu pun jebol! Tentu saja Bwee Hong dan Kwa-toanio terkejut bukan main.

"Awas musuh....!" Kwa-toanio berseru dan Bwee Hong sudah meloncat dan memapaki kedua orang itu dengan sambitan jarum-jarumnya, jarum perak dan emas yang tadinya dipergunakan untuk menusuk dan mengobati Siok Eng.

Akan tetapi, dengan amat mudahnya kedua orang yang berjubah coklat itu meruntuhkan semua jarum dengan kebutan lengan baju mereka. Dan di belakangnya masih bermunculan orang-orang berjubah hijau. Mereka ini segera mengeroyok Kwa-toanio yang merobohkan dua orang di antara mereka. Ketika melihat betapa jarum-jarumnya tidak ada gunanya, Bwee Hong menerjang ke depan sambil mencabut pedangnya, menyerang seorang di antara dua orang berjubah coklat itu.

Akan tetapi orang itu mengelak dan dari belakangnya, Bwee Hong merasakan sambaran angin pukulan dahsyat. Dia mengelak dan membalik, dan ternyata yang menyerangnya telah tidak ada lagi dan juga orang berjubah coklat yang pertama yang diserangnya tadi sudah tidak ada. Mereka berdua itu telah meloncat dengan gerakan yang amat cepatnya, seorang berada di belakang ayahnya dan seorang pula di belakang kakaknya!

Kwa-toanio sendiri sibuk dikeroyok oleh orang-orang baju biru sebanyak empat orang. Ternyata bahwa Pek Lian dan dua orang gurunya juga sudah terluka dan kini hanya dikeroyok oleh orang-orang jubah hijau, sedangkan empat orang berjubah biru sudah menyerbu ke dalam dan mengurung Kwa-toanio, membuatnya tidak berdaya.

Dua orang berjubah coklat itu tahu bahwa di antara mereka semua, yang paling lihai adalah Bu Kek Siang dan Bu Seng Kun, maka merekapun langsung saja meloncat ke belakang ayah dan anak yang masih mengerahkan tenaga kepada si sakit itu. Juga nyonya Bu tak dapat meninggalkan tempatnya, karena hal itu akan membahayakan si sakit. Pula, peristiwanya terjadi sedemikian cepat dan tiba-tiba. Tahu-tahu kedua orang berjubah coklat itu telah mengirim serangan kilat ke arah ayah dan anak itu.

Kakek berjubah coklat yang pertama sudah menghantamkan tangan kanannya dengan jari-jari tangan terbuka ke arah lambung Bu Kek Siang, sedangkan kakek ke dua dengan kepalan tangan kanannya sudah menghantam ke arah punggung Bu Seng Kun. Kedua pukulan ini datang dengan berbareng dan tepat benar.

"Blaaarrrr.....!!'"

Akibatnya hebat! Ayah, anak dan ibu roboh tersungkur! Dari mulut mereka muncrat darah segar dan seketika mereka itu roboh pingsan. Akan tetapi yang lebih aneh lagi, pada saat pukulan itu tiba, terdengar jeritan nyaring dari mulut gadis yang menelungkup itu, dan beberapa batang jarum yang masih menancap di tubuhnya mencelat sedangkan bekas-bekas tusukan jarum itu mengeluarkan darah, dan iapun terkulai dan pingsan.

Kwa-toanio marah sekali, mengira bahwa puterinya tentu menjadi korban dan tewas. Dengan kemarahan meluap, tokoh Tai-bong-pai ini mengamuk, dikeroyok oleh empat orang berjubah biru yang agaknya kewalahan juga menghadapi amukan ibu yang marah ini. Bwee Hong sudah memutar pedangnya, menyerang seorang berjubah coklat akan tetapi ia tidak mampu mencegah ketika seorang berjubah coklat yang lain telah memasuki rumah keluarganya.

Sedangkan menghadapi si jubah coklat itu saja ia sudah merasa amat kewalahan pedangnya tak mampu berbuat banyak karena lawannya itu sedemikian lihainya sehingga lengan orang itu berani menangkis pedangnya tanpa terlu-ka sedikitpun, sebaliknya malah setiap kali terjadi benturan keras, hampir saja pedangnya terlepas dari pegangan karena seluruh lengannya tergetar hebat.

Kwa-toanio yang marah sekali itu mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Kini ditariknya sehelai sabuk putih yang ia gerakkan seperti cambuk dan tangan kirinya kadang-kadang menyambitkan hio-hio yang bernyala. Entah bagaimana hio-hio itu dapat dinyalakan, akan tetapi senjata-senjata rahasia ini memang hebat sekali sehingga para pengeroyoknya yang berjubah biru itu menjadi repot juga karena mereka tidak berani menyambut senjata rahasia itu.

Melihat kehebatan nenek ini, si jubah coklat yang mendesak Bwee Hong lalu meloncat dan menyerang Kwa-toanio, sedangkan dua orang berjubah biru kini mengeroyok Bwee Hong yang masih tetap kewalahan. Setelah si jubah coklat maju mengeroyok, repotlah Kwa-toanio dan akhirnya sebuah tendangan kilat dari si jubah coklat mengenai pahanya dan membuatnya terhuyung.

Pada saat itu, kakek berkubah coklat yang tadi memasuki rumah keluarga Bu, muncul sambil berkata, "Sudah kudapatkan, mari kita pergi!"

Teman-temannya yang masih bertempur segera meloncat keluar dan para anak buah mereka yang berjubah hijau juga sudah melarikan diri sambil membawa teman-teman yang terluka. Sebentar saja, keadaan di situ menjadi sunyi.

Melihat keadaan pihak keluarga tuan rumah, Kwa-toanio menjadi berduka sekali. Tanpa memperdulikan lagi puterinya yang masih rebah menelungkup tak sadarkan diri, pertama-tama yang ditolongnya adalah nyonya rumah karena ia melihat Bwee Hong berlutut dan merangkul nyonya itu sambil berusaha untuk membuat pernapasan dengan cara meniupkan napasnya sendiri melalui mulut ibunya dengan menutup lubang hidungnya.

Bwee Hong tidak menangis, hanya air matanya saja berlinang. Gadis yang juga telah mempelajari ilmu pengobatan ini berusaha untuk bersikap tenang sungguhpun hatinya merasa amat gelisah dan bingung. Hati siapa tidak akan menjadi bingung melihat betapa ayahnya, ibunya, dan kakaknya seluruh keluarganya roboh pingsan dan semuanya menderita luka yang hebat?

Setelah berhasil mengembalikan pernapasan ibunya, walaupun masih amat lemah, gadis itu cepat merebahkan kembali ibunya dan menghampiri ayahnya. Ternyata ayahnya sudah siuman, walaupun keadaannya masih amat payah karena ayahnya juga menderita luka yang amat berat di sebelah dalam tubuhnya.

"Coba periksa kakakmu..., hentikan jalan darah koan-goan-hiat" ayahnya berkata dengan napas terengah.

Gadis itu bangkit dan menghampiri kakaknya. Ternyata pemuda itu masih pingsan, akan tetapi setelah memeriksanya, hati Bwee Hong tidak begitu khawatir akan keadaan kakaknya. Biarpun kakaknya juga menerima pukulan hebat, namun agaknya tubuh muda kakaknya itulah yang menyelamatkannya dan mampu melindungi isi dadanya....

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.